Dampak Pembangunan Hutan Tanaman Terhada

DAMPAK PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN
Oleh :
Fatahul Azwar
ABSTRAK
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu dan non-kayu dari hutan yang
semakin tidak dapat dipenuhi dari hutan alam, telah dikeluarkan kebijakan
pembangunan hutan tanaman baik dalam bentuk Hutan Tanaman Industri
(HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), maupun Hutan Rakyat (HR) dengan
berbagai pola penamanan baik secara monokultur maupun campuran. Dalam
perkembangannya selain pencapaian hasil sumber bahan baku kebutuhan
kayu dan non-kayu (ekomomis), hutan tanaman juga menunjukan dampak
yang positif terhadap perbaikan kualitas lingkungan melalui fungsinya
sebagai penyerap karbon, konservasi air dan tanah, serta konservasi
keanekaragaman jenis (biodiversity). Keberadaan hutan tanaman juga
memberikan manfaat dalam peningkatan kualitas habitat satwa liar dan
keanekaragaman jenis tumbuhan didalamnya. Dampak positif lingkungan
akibat pembangunan hutan tanaman akan terjadi apabila pembangunannya
dilakukan dengan perencanaan dan pola silvikultur yang tepat.
Kata kunci : Hutan tanaman, lingkungan, karbon, tanah, air,
keanekaragaman jenis


I. Pendahuluan
Hutan memiliki manfaat langsung dan tidak langsung yang telah
dikenal secara luas. Manfaat langsung adalah sebagai penghasil kayu dan
hasil non-kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur
iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma
nutfah yang sangat penting bagi kehidupan manusia saat ini dan di masa
yang akan datang. Hutan selain memiliki fungsi ekonomis juga memiliki
fungsi ekologis dimana seharusnya keduanya berjalan seiring dan seimbang.
Indonesia merupakan negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia
setelah Brazil dan Zaire, bahkan dalam tataran global keanekaragaman
hayati hutan Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah Colombia.

Namun seiring waktu dan meningkatnya populasi penduduk di
Indonesia, kebutuhan akan kayu dan lahan menjadi sesuatu yang tidak dapat
dipungkiri, sehingga pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan
besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non-kehutanan
akibatnya laju degradasi hutan antara tahun 1997 – 2003 diperkirakan
sebesar 2,83 juta ha per tahun, meningkat secara signifikan dari periode
sebelumnya yaitu tahun 1985 – 1997 dimana laju degradasi lahan hutan
hanya sebesar 1,8 juta ha per tahunnya. Pada periode tahun 1985 – 1987,

penurunan penutupan vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di pulau
Sumatera dan Kalimantan, sedangkan pada periode 1997 – 2000 terjadi
selain di Sumatera dan Kalimantan, juga di Papua (Departemen Kehutanan,
2007).
Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia antara lain
disebabkan oleh : (a) kebakaran dan perambahan hutan; (b) illegal logging
dan illegal trading; (c) adanya konversi kawasan hutan secara permanen
untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain; dan (d)
adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam
pakai kawasan hutan dan pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan
prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (PHL).
Guna mengantisipasi permasalahan deforestasi dan degradasi hutan di
Indonesia (khususnya hutan alam), pemerintah menggulirkan beberapa
program, salah satunya ialah dengan pembangunan hutan tanaman, baik
hutan tanaman industri (HTI), hutan tanaman rakyat (HTR) maupun hutan
rakyat (HR). Pembangunan hutan tanaman ini diharapkan selain dapat
memnuhi kebutuhan bahan baku kayu maupun non-kayu (ekonomis) juga
diharapkan dapat menjadi pemelihara lingkungan hidup, seperti fungsi
mengatur tata air, habitat kehidupan liar, sumber keanekaragaman hayati,
penyerap karbon, pensuplai kebutuhan oksigen dan mempertahankan

kesuburan tanah.
Pembangunan hutan tanaman skala luas akan memberikan perubahan
yang berarti pada lingkungan. Dampak penting akibat pembangunan hutan

tanaman dalam skala luas adalah perubahan ekosistem asli. Jika hutan alam
ditebang habis dan dilakukan pembuatan hutan tanaman, dapat dipastikan
akan terjadi penurunan keanekaragaman jenis dan kerusakan habitat serta
lingkungan. Sebaliknya, apabila hutan tanaman dibangun pada lahan kritis,
bekas

perladangan

dan

tanah

kosong/marjinal,

maka


akan

terjadi

peningkatan kualitas habitat, keragaman jenis, kualitas tanah dan konservasi
air yang lebih baik.
II. Hutan Tanaman dan Kualitas Lingkungan
Pada dasarnya pembangunan hutan tanaman seharusnya dilakukan
pada lahan-lahan kritis, lahan hutan yang tidak produktif, lahan hutan yang
rusak (areal bekas tebangan), dan lahan dengan penutupan vegetasi non
hutan (alang-alang, semak belukar, lahan kosong). Hal ini di sebenarnya
selain bertujuan pada peningkatan produktivitas hutan guna memenuhi
kebutuhan bahan baku hasil hutan baik kayu maupun non-kayu juga
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Pembangunan
hutan tanaman (dalam berbagai pola dan pengusahaan) sejatinya bila
dibangun dengan perencanaan yang baik tidak hanya bermanfaat secara
ekonomis tetapi juga secara ekologis. Beberapa parameter penting dampak
pembangunan hutan tanaman terhadap lingkungan secara ilmiah dapat
dilihat dari hasil penelitian, yaitu penyerapan karbon (carbon sink),
konservasi air dan tanah (hidro-orologis), serta keanekaragaman jenis

(biodiversity).
A. Hutan tanaman sebagai penyerap karbon
Tingkat emisi karbon atau secara awam dikatakan sebagai polusi
akibat pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi, dan
rumah tangga yang tinggi memicu efek rumah kaca dimana terjadi
peningkatan suhu global di bumi. Efek rumah kaca juga bisa diakibatkan oleh
deforestasi akibat konversi hutan dan degradasi lahan hutan akibat illegal
logging, kebakaran hutan, over cutting, dan lain-lain.

Hutan tidak hanya sebagai penyerap karbon (bila terjaga dengan baik)
namun juga bisa berpotensi sebagai sumber emisi karbon (apabila tidak
terjaga dengan baik). Peningkatan serapan karbon dapat dilakukan melalui
kegiatan perluasan hutan tanaman, mengingat hutan alam di Indonesia
(bahkan dunia) sudah semakin menipis akibat deforestasi dan degradasi
lahan. Tomich dkk. (2001) menyampaikan beberapa jenis pemanfaatan lahan
di

Sumatera

dalam


menyerap

karbon,

sebagaimana

dirinci

pada

Tabel 1.
Tabel 1. Kapasitas beberapa jenis pemanfaatan lahan di Sumatera dalam
menyerap karbon
Tipe Penggunaan
Lahan

Skala Pengamatan

Rata-rata serapan

Karbon
(th/ha)
Hutan alam
25 ha
254
Hutan kemasyarakatan 35 ha
176
Hutan bekas tebangan 35.000 ha hutan konsesi 150
Agroforestry karet
Petak-petak 1-5 ha
116
Monokultur karet
Petak-petak 1-5 ha
97
Monokultur
kelapa 35.000 ha
91
sawit
Sawah/hortikultur
Petak-petak 1-2 ha

74
Ketela pohon
Petak-petak 1-2 ha
39
Sumber : Tomich dkk (2001)
Tabel 1 menunjukkan bahwa fungsi hutan dalam penyerapan karbon
lebih besar dibandingkan dengan penggunaan lahan non-kehutanan, bahkan
pola hutan tanaman kemasyarakatan serta pola hutan tanaman campuran
(agroforestry dengan karet) lebih baik dibandingkan dengan pemanfaatan
lahan perkebunan sistem monokultur dan hortikultura (pertanian). Khusus
pada hutan tanaman, penelitian Gintings dan Prajadinata (2002, 2003, 2004,
2005) menunjukkan kandungan karbon bervariasi pada berbagai jenis pohon
pada umur, dan lokasi yang berbeda (Tabel 2). Dari Tabel 1 dan 2 terlihat
bahwa daya serap karbon pada beberapa jenis tertentu di hutan tanaman
monokultur (sejenis) tergolong tinggi dibandingkan tanaman perkebunan dan
pertanian monokultur.

Tabel 2. Kandungan karbon pada berbagai jenis tanaman hutan di berbagai
lokasi hutan tanaman di Indonesia
Jenis/Lokasi

Umur Kerapatan
Kandungan
(tahu (N/ha)
Karbon
n)
(ton/ha)
Mahoni (Sumsel)
20
1.111
202,99
Mangium (Sumsel)
6
1.111
99,85
Sungkai (Sumsel)
10
1.111
41,97
Sungkai (Lampung)
25

1.666
91,29
Puspa (Lampung)
25
1.666
91,46
Kemiri (Lampung)
25
312
203,08
Pinus (Jatim)
14
622
83,94
Mahoni (Jatim)
16
533
77,51
Sengon (Jatim)
8

711
134,31
Gmelina (Sulsel)
4
1.600
89,69
Pinus (Sulsel)
13
977
40,80
Eukaliptus (Sulsel)
21
577
68,21
Sumber : Gintings dan Prajadinata (2002, 2003, 2004, 2005)
B. Hutan tanaman bagi konservasi air dan tanah
1. Peranan hutan tanaman terhadap tata air
Fungsi hutan dalam pengendalian daur hidrologis dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
a. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses :
evapotranspirasi, dan pemakaian air konsumtif untuk pembentukan
jaringan tubuh vegetasi
b. Menambah uap air di atmosfir
c. Sebagai penghalang sampainya air ke bumi secara langsung melalui
proses intersepsi
d. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat : tahanan
permukaan dari bagian batang di permukaan, dan tahanan aliran air
permukaan karena adanya seresah di permukaan
e. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan karakteristik fisik
tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan
dinamika bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di
dalam tanah.

Berkaitan dengan konservasi air, banyak penelitian menunjukkan
bahwa aliran air tahunan meningkat jika vegetasi hutan dihilangkan atau
dikurangi (evapotranspirasi hutan cenderung lebih tinggi). Hal ini berkaitan
dengan tajuk tanaman di hutan yang relatif lebih tinggi dan beraneka ragam
dibandingkan pertanian monoklutur. Ada perbedaan yang signifikan dalam
daur hidrologis antara tipe penggunaan lahan hutan tanaman dengan
penggunaan lahan non-kehutanan yaitu terletak pada siklus keseimbangan
air. Pada lahan-lahan berhutan, ketersediaan air pada musim hujan dan
kemarau relatif stabil, sedangkan pada pemanfaatan lahan non-kehutanan
(khususnya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perumahan)
mengakibatkan ketersediaan air jauh berbeda antara saat musim penghujan
dan musim kemarau.
Laju evapotranspirasi hutan tanaman dan perkebunan relatif sama dan
besar tetapi juga memberi input yang besar juga terhadap pembentukan
hujan di awan khususnya pada daerah - daerah dataran rendah di mana
evapotranspirasi besar, namun evapotranspirasi yang terjadi pada hutan
tanaman tidak langsung dari air tanah melainkan dari hasil respirasi
tanaman dan intersepsi (aliran tajuk dan batang) sehingga kondisi air tanah
tetap terjaga sebagai salah satu sumber air. Peran hutan tanaman dalam
meyerap dan melepas air juga masih lebih baik dibandingkan lahan yang
hanya ditutupi vegetasi rumput dan semak. Hal ini ditunjukan dalam
penelitian Pudjiharta (1995) dalam Wibowo dkk. (2008), bahwa persen
evapotranspirasi

hutan

tanaman

Altingia

excelsa,

Schima

wallichii,

Eucalyptus urophylla, dan Dalbergia latfolia (masing-masing 42%, 22,9%,
36,9% dan 41,68%) masih lebih kecil daripada evapotranspirasi dari lahan
yang ditutupi hanya oleh vegetasi rumput dan tumbuhan bawah lain (rumput
57,60%, telekan 51,53%, kirinyu 55,41%, pakis 55,12% dan campuran
tumbuhan bawah 57,74%).

Penetuan strategi konservasi air dalam pengelolaan hutan tanaman
membutuhkan pertimbangan geografis, dan penentuan jenis tanaman untuk
kesesuaian lahannya, pemilihan tanaman fast growing yang cenderung
bersifat rakus air (Acacia mangium, Pinus merkusii dan tanaman higroskopis
lainnya) disarankan tidak di lakukan pada daeah bercurah hujan rendah.
Selain itu manfaat terpenting dari kehadiran hutan tanaman adalah
berkaitan dengan pengaturan lingkungan hidrologis melalui perlindungannya
terhadap bahaya erosi dan banjir yang merupakan hasil akumulasi dari
gempuran energi kinetik air hujan terhadap permukaan tanah secara
langsung.
2. Peranan hutan tanaman terhadap konservasi tanah
Peran hutan tanaman secara umum terhadap konservasi tanah pada
dasarnya sama dengan prinsip konservasi tanah oleh hutan alam. Hutan
dengan strata tajuk dan seresah yang ada pada permukaan tanah menjaga
tanah dari ancaman erosi akibat gesekan kinetis air hujan yang jatuh ke
permukaan tanah sehingga aliran permukaan yang terjadi tidak secara
langsung dan unsur hara pada tanah lapisan atas juga terjaga dari proses
pencucian akibat adanya penahanan dari vegetasi hutan dan seresah lantai
hutan. Sistem perakaran vegetasi hutan juga mampu menjaga kekuatan
tanah dari ancaman longsor pada lahan yang berlereng atau lahan dengan
kemiringan yang cukup tinggi. Keberadaan seresah pada lantai hutan juga
memberi masukan unsur hara pada lapisan tanah atas (top soil) akibat
proses dekomposisi yang dialami seresah.
Beberapa penelitian unsur hara di lahan hutan tanaman, khususnya
hutan

tanaman

dengan

tanaman

jenis

fast

growing

(daur

pendek)

menunjukkan penurunan unsur hara pada tahun tanam tertentu dan unsur
hara biasanya kembali meningkat setelah masa panen/penebangan seperti
yang ditunjukan oleh penelitian pada hutan tanaman Eucalyptus grandis
dimana pada umur tegakan 9 tahun terjadi penurunan unsur hara N, K , dan
Ca dibanding pada tegakan yang berumur 3 tahun dan unsur tersebut

mengalami kenaikan lagi setelah masa penebangan/pemanenan (Wibowo
dkk., 2007). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan unsur hara tertentu
disebabkan oleh kebutuhan nutrisi dari jenis tanaman yang meningkat setiap
tahunnya, namun masih dalam tingkat kewajaran mengingat pengembalian
unsur hara melalui dekomposisi seresah pada tanaman fast growing lajunya
lebih rendah dari pada jenis tanaman lain. Penelitian Purwanto dan Gintings
(1995) menunjukkan bahwa pada hutan tanaman Shorea pinanga, S.
compressa dan S. palembanica sifat reaksi tanah pada ketiga jenis tegakan
tersebut tidak berbeda nyata untuk setiap umur tegakan dan bahkan jenis S.
palembanica

berpengaruh

lebih

baik

terhadap

bulk

density

serta

permeabilitas tanahnya. Perubahan unsur hara N, C-organik, K, Mg, Ca dan
KTK juga tidak berbeda nyata. Dari segi pengembalian hara, terlihat bahwa
jenis S. pinanga lebih baik terlihat dari kadar unsur N, P, K yang terkandung
dalam serasahnya.
Penelitian Kunarso dan Azwar (2007)

terkait penanaman hutan

tanaman (A. mangium, Mahoni, Pinus, Sungkai, Seru, dan campuran) pada
lahan terdegradasi (alang-alang) menunjukkan unsur hara yang lebih baik
daripada lahan yang tidak ditanami tanaman hutan (dibiarkan menjadi
alang-alang),

bahkan

pada

hutan

tanaman

dengan

pola

campuran

kandungan unsur hara N, P, K, Na, Ca serta C-organiknya lebih besar
daripada lahan alang-alang dan lahan hutan tanaman pola monokultur. Hal
ini menunjukkan bahwa rehabilitasi lahan pada tanah kosong, tidak produktif
atau rehabilitasi lahan non-hutan dengan pemilihan jenis tanaman hutan,
dan

dengan

pola

pengelolaan

dan

penanaman

yang

tepat

dapat

memperbaiki kualitas tanah.

C. Hutan tanaman dan keanekaragaman jenis
Perambahan hutan dan konversi lahan hutan menjadi lahan non-hutan
sudah diakui menjadi penyebab hilangnya keanekaragaman jenis tumbuhan

dan satwa. Untuk mengantisipasi hal ini pemerintah telah menetapkan
kawasan-kawasan hutan konservasi (taman nasional, Tahura, hutan lindung
dan lain-lain), dan perluasan pembangunan hutan tanaman. Diharapkan
dengan adanya hutan tanaman yang lokasinya diarahkan pada lahan yang
tidak produktif seperti tanah kosong dan padang alang-alang, semak belukar
serta hutan rawa yang rusak, dapat mengembalikan fungsi hutan sebagai
sumber keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis hutan tanaman
tidaklah setinggi hutan alam (baik hutan alam primer dan sekunder) tetapi
melalui

kegiatan

penyusunnya

silvukultur

tetap

keanekaragaman

jenis

di

mampu

dalamnya

dan

berkontribusi

tumbuhan

dan

satwa

komposisi

lebih

baik

vegetasi
terhadap

dibandingkan

dengan

pemanfaatan lahan non-kehutanan.
Wibowo dkk. (2007) menunjukkan bahwa hutan tanaman jati di daerah
penyangga Taman Nasional Baluran memiliki Indeks Nilai Penting (INP) pada
dominasi jenis vegetasi di tinggkat semai, pancang, dan pohon masih relatif
tinggi (di atas 50%) dan indeks kekayaan jenis pada tingkat tiang jauh lebih
tinggi dibanding hutan alam pada taman nasional yang berbatasan.
Keberadaan hutan tanaman jati masih lebih baik dalam hal perjumpaan jenis
burung dibanding pada areal lahan yang telah menjadi pemukiman
penduduk dan pertanian, dimana 24% jenis satwa liar di hutan alam (taman
nasional yang berbatasan dengan areal penanaman hutan tanaman jati)
dapat dijumpai juga di hutan tanaman jati.
Penelitian Bismark dan Sawitri (2006) pada beberapa areal hutan
tanaman

juga

menunjukkan

perjumpaan

satwa

yang

lebih

sering

dibandingkan pada areal perkebunan/perladangan, dan areal pertanian di
beberapa daerah sekitar taman nasional. Lebih khusus lagi, penelitian
Kunarso dan Azwar (2007, 2008, 2009) menunjukkan keanekaragaman jenis
tumbuhan bawah pada beberapa tegakan hutan tanaman monokultur dan
campuran lebih baik dibandingkan lahan alang-alang seperti terlihat pada
Gambar 1.

100
90

Jumlah jenis

80
70
60
50
40
30
20
10
0
Al

Aa

Ab Ac

Ad

Ae

Af

Ag Ah Kr1 Kr2 Kr3 Ks1 Ks2

S

P

Htc

Sf

Tegakan

Keterangan :

Aa, Ab, Ac, Ad, Ae, Af, Ag, Ah : Hutan Tanaman Acasia Mangium (monokultur) pada berbagai
umur tegakan.

Al : Lahan terbuka (lahan alang-alang)

Kr1, Kr2, Kr3 : Kebun karet masyarakat pada berbagai tingkat umur

Ks1, Ks 2 : Kebun sawit masyarakat pada tingkat umur yang berbeda

S : Hutan Tanaman Sungkai (monokultur)

P : Hutan Tanaman Pinus (monokultur)

Htc : Hutan Tanaman Campuran

Sf : Hutan alam sekunder

Gambar 1. Grafik jumlah jenis tumbuhan pada masing-masing tegakan

Sumber : Kunarso dan Azwar (2007, 2008, 2009)

Hutan tanaman juga merupakan habitat hewan yang lebih baik
daripada areal lahan kosong atau alang-alang, khususnya di hutan tanaman
daerah Benakat Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan selama periode
2007 – 2009 ( Kunarso dan Azwar, 2009). Hal ini dikarenakan pada beberapa
areal hutan tanaman lebih tersedia pakan dan naungan serta sumber air
sehingga lahan hutan tanaman bisa menjadi habitat permanen atau
alternatif/semusim serta daerah jelajah bagi beberapa satwa liar.
Kondisi khusus pada Hutan tanaman Tembesu di daerah Benakat –
Sumsel yang di kelola dengan silvikultur intensif, selain memberi dampak
bagi dinamika tumbuhan bawah (percepatan suksesi) juga mengundang

beberapa satwa liar seperti burung, babi, rusa dan bahkan beruang sebagai
tempat mereka mencari makan dan sebagai wilayah jelajah mereka. Selain
itu komposisi vegetasi penyusun hutan tanaman juga secara tidak langsung
turut memberi kontribusi terhadap keberadaan hewan makrofauna tanah
sebagai salah satu bagian penting dari rantai proses dekomposisi seresah
dalam siklus pengembalian hara tanah seperti yang terlihat pada Gambar 2
(Kunarso dan Azwar, 2009).

Keterangan :



MH : Musim Hujan
MK : Musim Kemarau

Gambar 2. Grafik jumlah jenis makrofauna tanah pada musim hujan dan
kemarau
Sumber : Kunarso dan Azwar (2009)
Perlakuan silvikultur intensif pada hutan tanaman untuk peningkatan
produktivitas akan membuat keanekaragaman jenis di dalamnya menjadi
fluktuatif. Namun perlakuan tertentu justru dapat menstimulasi percepatan
kekayaan jumlah vegetasi khususnya vegetasi tumbuhan bawah seperti
ditunjukan oleh penelitian Azwar dan Etik (2010) pada perlakuan penyiangan

lahan, dan pemangkasan tajuk pada hutan tanaman Tembesu dengan jarak
tanam yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 3.
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
3x2m
3x1m

Keterangan :




Pengamatan ke-1 : sebelum dilakukan perlakuan silvikultur
Pengamatan ke-2 : 2 minggu setelah pemangkasan tajuk dan penyiangan lahan
Pengamatan ke-3 : 8 minggu setelah pemangkasan tajuk dan penyiangan lahan

Gambar 3. Grafik jumlah total individu tumbuhan bawah sebelum dan
sesudah perlakuan silvikultur
Sumber : Azwar dan Etik (2010)
III. Penutup
Pembangunan hutan tanaman dalam bentuk Hutan Tanaman Industri
(HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), maupun Hutan Rakyat (HR) yang ada
selain sebagai penyedia bahan baku kebutuhan kayu ataupun non-kayu
(aspek ekonomi) juga berfungsi sebagai salah satu upaya dalam perbaikan
kualitas lingkungan (asek ekologi) seperti dalam penyerapan karbon,
konservasi tanah dan air, serta konservasi sumber keanekaragaman hayati.
Upaya konservasi air dan tanah melalui pembangunan hutan tanaman
penting dijaga keberadaannya sebagai daerah tangkapan air (water
catchment area), dan penyeimbang siklus air (water reservoir). Fungsi hutan
tanaman sebagai penyedia air karena hutan tanaman mampu menjaga

keseimbangan

daur

hidrologis.

Oleh karena

itu

pemilihan jenis

dan

pengelolaan lahan yang tepat dalam pengelolaan hutan tanaman dapat
melindungi kestabilan air sepanjang musim. Keberadaan hutan tanaman juga
berkontribusi

dalam

perbaikan

kualitas

tanah,

baik

dalam

proses

pengembalian hara maupun perbaikan struktur tanah melalui komposisi
vegetasi penyusunnya.
Pembangunan hutan tanaman juga

berdampak

positif terhadap

keanekaragaman hayati di dalamnya, karena dapat menjadi sumber pakan,
tempat bernaung (habitat), serta daerah jelajah bagi satwa liar. Perlakuan
silvikultur dalam pengelolaan hutan tanaman tidak menggangu terhadap
pengkayaan jenis vegetasi penyusun selain tanaman utama bahkan dengan
perlakuan silvikultur yang tepat dapat memicu pengayaan jenis vegetasi
penyusun di dalamnya.
Fungsi ekologis dari hutan tanaman sebagai upaya perbaikan kualitas
lingkungan dapat berjalan dengan baik apabila pembangunannya dilakukan
dengan perencanaan yang tepat, seperti pemilihan lokasi lahan, pemilihan
jenis, pola tanam dan perlakuan silvikultur yang tepat. Dengan demikian
tidak ada alasan untuk tidak membangun hutan tanaman sebagai salah satu
upaya perbaikan kualitas lingkungan.

Daftar Pustaka
Azwar, F. dan Etik Ernawati Hadi. 2010. Laporan Hasil Penelitian Budidaya
Tembesu ; Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Kehutanan - Palembang.
Palembang.
Bismark dan Sawitri. 2006. Pengembangan dan Pengelolaan Daerah
Penyangga Kawasan Konservasi. Prosiding Ekspose Hasil-hasil
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.

Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Badan
Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Gintings, A. N. dan S. Prajadinata. 2002, 2003, 2004, dan 2005. Assesment of
the Potency Of Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating
the Climate Change. Interim Reports. Cooperation between Forest and
Nature Conservation Research and Development Center (FNCRCDC) and
Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center (JIFPRO).
Kunarso, A. dan Azwar, F. 2007, 2008, dan 2009. Laporan Hasil Penelitian
Perubahan Keanekaragaman Jenis dan Lingkungan Akibat Pembangunan
Hutan Tanaman. Balai Penelitian Kehutanan - Palembang. Palembang
Purwanto, Ign. dan Gintings, A. N. 1995. Pengaruh Berbagai Jenis Vegetasi
Terhadap Kapasitas Infiltrasi Tanah di Cijambu, Sumedang, Jawa Barat.
Buletin Penelitian Kehutanan No. 573, 1995, pp ; 13 – 25. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor
Tomich, T. P., H. de Foresta, K. Dennis, D. Murdiyarso, Q. M. Katterings, F.
Stolle, Suyanto, dan M. Van Noordwijk, M. 2001. Carbon Sequestration
for Conservation and Development in Indonesia. Submitted to American
Journal of Alternative Agriculture
Wibowo, A., Yunita L., P. Tambunan, dan Zuraida. 2007. Sintesa Hasil
Penelitian Pengelolaan Lingkungan Hutan Tanaman. Prosiding Workshop
Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman. Pusat Penelitian Hutan Tanaman.
Bogor
Wibowo, A., Yunita L., P. Tambunan, Zuraida, Adi K., Agung B. S., Susi A., dan
Sukresno. 2008. Pengelolaan Lingkungan Hutan Tanaman. Prosiding
Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman. Pusat Penelitian Hutan
Tanaman. Bogor