Di Balik Siluet Lampu Kota

Rabu, 230915.11:00

Di Balik Siluet Lampu Kota
Oleh: Rio Heykhal Belvage1

Abstrak
Tulisan ini hendak menyuguhkan potret wajah sebuah kota dari engle
Antropologi. Kota yang akan diulas di dalam tulisan ini memiliki banyak
julukan, dari Kota Pelajar, Kota Seniman, Kota Budaya, Kota Pariwisata,
Kota Istimewa hingga Kota Berhati Nyaman, yang tidak lain ialah
Yogyakarta. Pembahasan tentang kota dan komunitas yang dipilih untuk
tema kali ini diawali dengan menyajikan gambaran mengenai perubahan
ruang-ruang kota yang disponsori oleh prinsip ekonomi-kapitalisme, yang
kemudian dilanjutkan dengan menampilkan bagaimana reaksi kaum muda
kota ketika mengalami alih-fungsi ruang di sekelilingnya. Selain itu,
pembahasan ini juga akan menunjukkan absurditas yang kerapkali muncul
dalam pelaksanaan program pembangunan. Tujuannya, mengingatkan
tentang betapa pentingnya para pemangku kebijakan berbagi ruang agensi
dengan kaum muda, karena dari sanalah benih masa depan itu tumbuh.
Kata kunci: Yogyakarta, kota, kaum muda, perubahan.


Yogya bukan hanya tentang keraton, meski kisahnya selalu menarik untuk disimak.
Bila membuka album-album lama misalnya, kota yang sekaligus Daerah Istimewa ini
pernah menorehkan sejarah menarik puluhan tahun silam. Seperti dinyatakan Emha
Ainun Nadjib (1983) dalam kolomnya di koran harian ketika itu: Yogya antara tahun
1969-1975 dikenal sebagai kotanya sastrawan dengan PSK - nya (Persada Studi Klub).
Di tahun-tahun tersebut tidak kurang dari 1500 penulis dan para seniman berbakat
tergabung ke dalam perkumpulan yang berpusat di Malioboro. Inilah puncak renaisans
kota ini, yang sepertinya turut juga mengilhami terciptanya tembang “Yogyakarta” oleh
band Kla Project di awal 90’an. Akan tetapi kini pesatnya perubahan yang dipicu oleh
iklim kapitalisme membuat Yogya bukan lagi kota yang dialami Emha. Bahkan seorang

Penulis adalah peneliti lepas alumni Pascasarjana Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
Artikel ini sebelumnya dipersiapkan sebagai bahan seminar tentang kota pada akhir tahun 2015,
yang karena suatu hal tidak dapat dihadiri. Dimuat di sini untuk tujuan pendidikan.

1

1

seniman dalam pentasnya di Taman Budaya (TBY) akhir Agustus 2015 lalu mewantiwanti lewat lagunya bahwa Yogyakarta, “Kota yang Hampir Berhenti Nyaman”.

Tulisan ini merupakan refleksi yang dilatarbelakangi oleh disiplin ilmu yang saya
tekuni. Berangkat dari hasil pengamatan dan pengalaman pribadi selama delapan tahun
tinggal di Yogyakarta, tentulah bukan waktu yang singkat untuk mengalami perubahan
yang terjadi di kota ini dari hari ke hari. Sesuai judul yang tertera di atas, pembahasan
pada bagian awal dalam tulisan ini akan bermula dari upaya membongkar citra kota yang
selama ini dikenal sebagai salah satu daerah yang istimewa di Indonesia. Selanjutnya
pembahasan akan diteruskan dengan mengulas agensi kaum muda kota dalam merespon
perubahan yang berlangsung di lingkup ruang kota. Dalam pengamatan saya selama ini,
perkembangan Yogya yang terbilang pesat dalam beberapa dekade terakhir ini ternyata
memperoleh tanggapan kreatif oleh beberapa kaum muda kota. Kreatifitas ini terwujud ke
dalam bentuk aksi-aksi sosial yang menggugah kesadaran sebagai manusia kota. Dari hal
tersebut, tulisan ini ingin menunjukkan justru di sinilah letak keistimewaan dari sebuah
kota, di mana manusia yang tinggal di dalamnya mendapat ruang untuk mengekspresikan
gagasannya. Saya berargumen, kota yang sehat bukan saja kota yang memenuhi syarat
dengan disediakannya taman-taman kota yang riuh, tetapi sebuah kota harus ditatap
sebagai ruang sosial yang diperuntukkan bagi manusia untuk mereka saling berinteraksi,
bertukar gagasan, mendialektikakan pikiran, sehingga manusia kota dapat memanusiakan
manusia, dan yang lebih penting lagi, kota bukan hanya menjadi garasi bagi mesin-mesin
impor atau rimbunan beton yang bersemayam memadatinya.


A. Pembahasan
Kota adalah sebuah tempat yang heterogen, yaitu tempat bertemu dan silangmenyilangnya manusia dari berbagai suku, ras, agama, bangsa, profesi, seks; menjadi
tempat bertemunya berbagai obyek dari berbagai asal budaya, yang di dalamnya terjadi
berbagai bentuk hubungan lintas budaya, antar budaya, multikultural dan subkultural
yang kompleks (Amir Piliang, 2010: 230). Oleh karenanya keberadaan kota tidak dapat
dipandang semata sebagai sebuah wilayah unik nan menarik yang identik dengan warnawarni lampu kota sebagaimana fantasi yang dibenamkan oleh media-media mainstream

2

kepada masyarakat dewasa ini. Sebagai ruang sosial keberadaan kota sekaligus menandai
fase liminal yang dihuni oleh masyarakat yang terus berubah, dari masyarakat tradisional
yang ditopang oleh nilai-nilai lokal tergantikan dengan tipologi masyarakat industri,
yakni para pekerja keras yang terserap oleh daya sakti statistik ekonomi yang ditawarkan
dalam gaya hidup modern abad ini. Dengan demikian kehadiran perkotaan tidak terlepas
dari gesekan-gesekan spasial dan kultural. Dalam sejarahnya, selalu saja ada yang
ditelikung dan didominasi, digusur dan dikonversi demi terbentuknya sistem perkotaan
yang seragam (Izzah, 2006: 3). Kota bukanlah ruang kosong, yang tanpa relasi dan tanpa
makna. Perbincangan kota sekaligus adalah perbincangan tentang apa yang bukan kota.
Karena kota diperbincangkan berdasarkan prinsip pembedaan atau perbedaan. Ada
perbedaan kota/desa, kota/kota, subkota/subkota (Amir Piliang, 2010: 227).

Di Indonesia sendiri, memandang sebuah kota tidak dapat dilepaskan dari tampilan
pedesaan, karena perkembangan desa telah layaknya perkembangan kota yang tertunda.
Anatomi kota hari-hari ini akan lebih tepat jika diandaikan dengan organ kaki kiri
manusia yang menjamah lumpur di sawah, sementara kaki kanan dibungkus sepatu
mengkilat di eskalator-eskalator mall mewah. Begitulah tahap pembangunan yang masih
dan sedang berlangsung di setiap daerah di Indonesia kini - tidak terkecuali kota - yang
tidak bisa tidak, selalu menyisakan ironi tersendiri di balik pembangunannya. Demi
memuluskan proyek modernisasi di segala lini, setiap kota tentu membutuhkan sokongan
biaya dalam jumlah besar di mana ekonomi kapitalitasme menjadi bankir utamanya.
Hari-hari ini, pembangunan semacam itu tidak saja mengenai tipe kota-kota satelit, kota
metropolit, melainkan juga kota kecil di daerah.
Kondisi semacam itu menuntut manusia untuk saling berlomba dengan ‘kemajuan’,
supaya dapat merias wajah kota yang mereka huni. Seperti dinyatakan Amir Piliang
(2010) pada salah satu tulisannya, kini kita berhadapan dengan wajah manusia kota yang
cenderung sama di kota manapun ia hidup dalam skala global2. Sejalan dengan logika
ekonomi skala global, upaya-upaya semacam ini ditujukan semata-mata demi satu tujuan:
meningkatkan pendapatan ekonomi, baik di daerah maupun dalam skala nasional. Logika
Untuk uraian lengkapnya, lihat, Yasraf Amir Piliang, 2010, “Menuju Kota Digital: Potret Kota,
Potret Manusia” dalam “Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
(Edisi Ketiga)”, hlm: 227-234.


2

3

pembangunan yang selama ini cenderung lebih banyak menjatuhkan perhatiannya pada
sektor ekonomi semata inilah yang akan menjadi perhatian pada ulasan berikutnya.

B. Yogya Hari-hari Ini
Wajah manusia kota merupakan cermin dari wajah kotanya, dan begitu juga
sebaliknya. Manusia membangun dan mengubah kota, dan bersama perubahan itu
berubah pula wajah manusianya (Amir Piliang, 2010: 232). Di negeri ini, sudah menjadi
rahasia umum bila keberadaan sebuah kota kerapkali bertabur warna-warni bedak impor,
eyeshadow dan perona bibir berupa slogan dan papan iklan berbahasa Inggris yang
dibayangkan dapat menjadi pelet untuk menarik minat pengembang supaya datang
membawa modal dan menancapkan investasinya di berbagai sektor pembangunan jangka
panjang. Dengan begitulah wajah kota terbentuk, dan tim ahli dari para penguasa di tiap
daerah akan membayangkan perekonomian menjadi bergairah sehingga mendatangkan
surplus alias pemasukan daerah yang cukup untuk membangun istana pasir.
Di tengah kecepatan modernisasi itulah para pemangku kebijakan kerap kurang

tanggap memperhatikan dampak sosio-kultural yang diakibatkan dari pembangunan,
karena pembangunan seringkali diterjemahkan sebagai penghancuran dalam bentuk yang
lain. Seperti dinyatakan Rocky Gerung dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul
Politik dan Akronim, kondisi dewasa ini kerapkali berupa “Kenyataan buruk dapat
disembunyikan dalam ungkapan yang indah, seperti Tegar Beriman (Tertib, Segar, Bersih,
Indah dan Nyaman)3, ambivalensi ruang sosial yang penuh akronim dengan berbagai
banner dan poster yang hari ini justru tampil menghasilkan sampah kota.
Di Yogyakarta sendiri, seperti dinyatakan Twikromo (1999:60) dalam tulisannya,
berbagai macam bentuk budaya “Jawa” yang disuguhkan oleh Yogyakarta menarik
banyak wisatawan, sehingga hal tersebut dapat dimanfaatkan, dijual, dieksploitasi
khususnya untuk mendukung kepentingan para elit yang berkuasa. Kenyataan dari situasi
semacam ini diperkuat oleh beberapa penelitian sebelumnya yang menjadikan
Yogyakarta sebagai obyek kajiannya. Dalam buku Menjadi Jogja (2006:61) misalnya,

3

Lihat, Rocky Gerung, “Politik dan Akronim” dalam Majalah Tempo, 29 September 2014.
4

dinyatakan bahwa hal inilah yang menjadi sumber utama pendapatan penduduk Yogya.

Kecenderungan komersialisasi terutama di bidang pendidikan baik yang dilakukan oleh
perguruan tinggi swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BHMN), telah menggeser
segmen ekonomi para penuntut ilmu di Yogyakarta ke level yang lebih atas lagi. Daya
beli anak-anak muda ini memacu pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan yang kian
mendominasi ruang kota4. Pendapat yang hampir serupa juga pernah diajukan oleh Kadir
(2006) dalam penelitiannya ketika mengamati tubuh kaum urban dalam kosmologi
kapitalisme di Yogyakarta.
“Bahwa pada masyarakat kota dapat terlihat pada setiap bangunan kota,
khususnya yang berada di pinggir jalan utama, di mana nyaris atau bahkan tak
ada yang hanya berfungsi sebagai rumah semata. Namun difungsikan sebagai
bangunan yang mempunyai profitabilitas tinggi. Setiap bangunan tersebut selalu
menghadap ke badan jalan utama sebagai usaha untuk pengumpulan modal dan
laba dengan cara menggaet ribuan calon pembeli dari para pendatang dan tamu
lewat yang diharapkan mampir setiap harinya”.

Di balik siluet lampu kota semacam itulah, meski tak terdengar santer gaungnya,
namun selalu ada rutinitas kegiatan kreatif yang dapat merefleksikan perkembangan kota
di Yogyakarta. Salah satu kreatifitas itu termanifestasikan dalam sekumpulan kaum muda
yang menjuluki kegiatannya sebagai 'Kota untuk Manusia' dengan pentas seni bertajuk
“Trotoar”. Sebuah judul yang membuat kita mungkin akan bertanya-tanya, “Kota untuk

Manusia? Memangnya selama ini kota bukan untuk manusia?”.

Untuk uraian lebih jelasnya, lihat buku “Menjadi Jogja: Menghayati Jatidiri dan Transformasi
Yogyakarta”. Penerbit: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta, hlm: 2006:61.
4

5

Keterangan Gambar: Grafiti Kota Untuk Manusia. (Sumber: Sosial Media).

Berangkat dari satu kegiatan yang diselenggarakan oleh sekumpulan kaum muda
Yogyakarta tersebut, tema yang saya angkat di dalam tulisan ini memperoleh konteks
kongkretnya. Ide awal kegiatan tersebut berangkat dari perkara sederhana. Bermula dari
kegelisahan anak muda yang prihatin terhadap nasib trotoar di Yogyakarta yang dari
waktu ke waktu semakin kehilangan fungsinya sebagai tempat bagi para pejalan kaki.
Kota seolah-olah bukan lagi diperuntukkan bagi manusia, melainkan bagi keruwetan lalulintas, kemacetan mesin kendaraan di lampu merah, tembok-tembok tinggi megah
menjulang dan para pedagang kaki lima yang acapkali berdiri di lajur utama para pejalan
kaki. Seolah kota diciptakan dari uang, uang dan untuk uang semata. Kota disulap
menjadi tempat ideal untuk memusatkan perputaran ekonomi sekaligus memperbesar
sirkulasi modal hingga membuat keberadaan manusia sendiri luput dari perhatian.

Sebagaimana diikrarkan oleh “Kota untuk Manusia”;
“Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, kota budaya dan daerah tujuan
pariwisata. Berbagai kesenian tradisi dan modern, candi-candi dan situs-situs
bersejarah yang ada di Yogyakarta merupakan aset yang sangat berharga bagi
kotanya. Demikian pula Yogyakarta dikenal sebagai kota seni dimana lahir
banyak seniman dan karya karya besarnya, serta sejumlah pemikir, penggagas
baik dari kalangan akademis maupun aktivis yang telah menjejakkan karya
besarnya pula.
Sebagai kota seni dan budaya, Yogyakarta sudah lama menjadi barometer
nasional dan bahkan dunia. Berbagai ajang festival seni dan budaya yang hadir di

6

Yogyakarta selalu dinanti masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Di kota ini
pula hidup dan berkembang sejumlah komunitas seni yang aktif dan bergagasan
kuat, setia melakukan eksplorasi dan kegiatan artistiknya sampai ke taraf
internasional. Jumlah pelajar, mahasiswa, yang menuntut ilmu di kota ini pula
telah memberi predikat intelektual bagi kota ini.
Namun sebagai kota budaya, kini Yogyakarta mulai mengalami pergeseran.
Mengalami kota Yogyakarta saat ini hampir tidak bisa dipisahkan dari

pengalaman akan kebisingan, kemacetan, sampah visual, serta kekurangan atau
bahkan tak tersedianya fasilitas penunjang publik yang memadahi, seperti trotoar,
ruang publik, dan aksesibilitas bagi penyandang cacat. Fakta tersebut dalam
kenyataannya merupakan sebuah tanda dari makin hilangnya kemanusian di kota
ini.
Problem-problem tersebut makin meningkat, berbanding lurus dengan
peningkatan jumlah kendaraan bermotor, pembangunan dan komersialisasi ruang
kota, serta berimbas akhirnya pada penurunan kesadaran publik akan kota dan
kemanusiaannya. Isu-isu kota ini kini mulai menjadi perhatian dari sejumlah
masyarakat dan komunitas yang hidup di Yogyakarta. Hal ini perlu disuarakan
dan disolusikan, dengan langkah yang paling mendasar yaitu pembentukan
kesadaran kolektif tentang pentingnya kemanusiaan dalam berkota, perlunya kota
untuk manusia. Dengan demikian, harapannya adalah sebagai individu kita bisa
mampu membangun kemanusiaan di kota dalam kapasitas kita, dan mampu
menginspirasi pengambil kebijakan untuk menomorsatukan kemanusiaan dalam
menentukan keputusan, dalam konteks ini adalah kota.”5

Melalui berbagai repertoar dan juga pamflet-pamflet yang disebar lewat jejaring
sosial dunia maya, acara ‘Kota untuk Manusia’ mendapat sambutan hangat di kalangan
kaum muda Yogyakarta yang umumnya berlatar-belakang mahasiswa. Acara yang sarat

kreatifitas dan menyita perhatian kaum muda itu berlangsung dengan menampilkan
pertunjukan Pantomim Trotoar yang diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta
(TBY) pada 30 April 2013 lalu.
Ide ini tentu tidak saja menarik ketika acara dilangsungkan, melainkan keberlanjutan
dari proses eksekusi ide itu sendiri. Sebagian besar kaum muda Yogyakarta terbilang
merupakan pendatang dari berbagai daerah di seluruh penjuru Indonesia. Ketika acara
yang diselenggarakan itu mampu menarik animo kaum muda, maka dengan sendirinya
hal itu akan membuat kaum muda menjadi lebih awas dengan kondisi kota, atau
setidaknya mereka menjadi tahu akan situasi kota yang ditinggalinya. Lebih-lebih lagi,
bila perhatian akan kondisi kota itu dapat menginspirasi mereka dan terbawa idenya
Diambil dari laman grup “Kota untuk Manusia” di jejaring sosial media
https://www.facebook.com/kotauntukmanusia/info?tab=page_info, pada 26 September 2015,
pukul 13:33.
5

7

sampai ketika mereka pulang ke daerahnya masing-masing. Tentu ini bukan anganangan belaka jika melihat perubahan tren gaya hidup dari waktu ke waktu yang selalu
bermula dari ‘pusat’ lalu merembet ke ‘pinggiran’, dari kota yang riuh menuju kota-kota
pinggiran dan bahkan merembes hingga wilayah pedesaan.
Gagasan ‘Kota untuk Manusia’ mulanya berangkat dari keprihatian dan kegelisahan
kaum muda yang peduli pada kondisi kotanya. Hal inilah yang kemudian diekspresikan
oleh kalangan terdidik (yang pada umumnya berlatarbelakang mahasiswa) melalui protes
sosial yang dikemas ke dalam wadah kreatif sehingga para pengunjung yang menonton
pertunjukan pun bisa turut menikmati protes tersebut tanpa perlu khawatir terlibat dalam
kerusuhan seperti aksi-aksi protes yang kerap diliput oleh media massa hari ini.

Keterangan Gambar: Selebaran Acara yang diadakan oleh
“Manusia untuk Kota”. (Sumber: Sosial Media).

8

C. Demokratisasi Ruang Publik
Jurgen Habermas (2007:2) menjelaskan bahwa ruang publik merupakan ruang yang
dimiliki dan dapat digunakan oleh masyarakat umum. Segala bentuk yang diikuti dengan
publik merujuk pada sesuatu yang bersifat umum atau terbuka untuk siapa saja6. Tidak
terkecuali tempat-tempat umum yakni space yang biasa digunakan sebagai ruang bertemu,
nongkrong, bertukar pikiran, menyampaikan kegelisahan, hingga ruang-ruang berekspresi
seperti protes sosial dalam beragam bentuknya. Secara konseptual, keberadaan ruang
publik semacam ini berkeinginan untuk mendorong partisipasi seluruh warga untuk
mengubah praktik sosio-politis mereka lewat reformasi hukum dan politik secara
komunikatif (Budi Hardiman, 2010:1).
Di Yogyakarta sendiri, berbagai ruang publik yang berfungsi sebagai tempat umum
seperti itu dapat muncul dalam beragam bentuk, dari angkringan, warung kopi, kafe-kafe,
klub malam, grafiti yang menghiasi sudut dinding kota, perang jargon antar kelompok
sosial tertentu dengan menggunakan spanduk atau poster berukuran besar yang dipasang
di tepi-tepi jalan, demonstrasi rutin di Titik Nol, hingga protes sosial dalam bentuknya
yang kreatif, seperti acara yang digagas oleh 'Kota untuk Manusia' di atas.

Keterangan Gambar: Kumpulan berita koran tentang Yogyakarta.
(Sumber: Sosial Media, diedit oleh Rio Heykhal Belvage).

Untuk lebih jelasnya, lihat, F.Budi Hardiman, 2010, pada bagian Pendahuluan dalam “Ruang
Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis sampai Cyberspace”, hlm: 1-19.

6

9

Beragam bentuk protes semacam itu tidaklah muncul dengan sendirinya. Sehingga
untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentangnya, berbagai aksi tersebut perlu
diletakkan dalam konteks perubahan sosiologi ruang yang berlangsung di Yogyakarta.
Bila menengok pertumbuhan ekonomi Yogyakarta yang begitu pesat pada satu dasawarsa
terakhir, aksi-aksi semacam itu merupakan respon alami yang dilakukan oleh manusiamanusia kota ketika kecepatan perubahan dalam ruang sosial tidak diimbangi oleh
perkembangan nilai-nilai kultural manusia yang tinggal di dalamnya. Dalam perspektif
tersebut, Karl Polanyi (1957) memperlihatkan adanya pertemuan yang menghasilkan dua
gelombang (double-movement): perluasan ekonomi global dan perlawanannya dari
lingkungan hidup setempat7. Akibat dari peristiwa semacam ini, hampir selalu ada protes
yang muncul sebagai reaksi ketidaksepakatan dari pembangunan yang sedang berjalan.
Hal ini misalnya, dapat dilihat dari pembangunan empat mall baru di Kota Yogyakarta
yang pada tahun 2015 ini dua di antaranya telah selesai tahap pembangunan dan sudah
mulai beroperasi, yang tentunya dengan sendirinya akan menuntut kenaikan daya beli
manusia kota. Pembangunan apartemen oleh pengembang yang mulai marak dilakukan di
sekitar tempat hunian warga yang seringkali menyedot debit air dalam volume besar
sehingga hal itu berdampak pada sumur warga yang mengering dan memunculkan aksiaksi protes dari spanduk sampai melalui media massa. Sementara di jalur-jalur utama
jalanan Yogya, seperti di daerah Jalan Solo, di pertigaan UIN Sunan Kalijaga di depan
Museum Affandi, di Jalan Solo daerah Mrican, sepanjang Jalan Kaliurang kilometer 5,
atau juga di depan Universitas Negeri Yogyakarta, kemacetan sudah menjadi rutinitas
setiap pagi dan sore, suatu pemandangan yang jarang ditemukan pada satu dasawarsa lalu
ketika saya tiba di kota ini. Dan inilah yang sering luput dari media. Konstruksi citra
sebuah kota dari media mainstream melalui promosi pariwisata yang menuntut para
aktornya untuk mengeksplorasi siluet eksotisme Yogya membuat sisi lain wajah kota ini
seringkali luput dari media.
Seorang Guru Besar dari Ilmu Geografi UGM yang ahli perkotaan (2006) dalam
tulisannya “Problematika Kehidupan Kota dan Strategi Menuju Suistanable City”
Dikutip dari Karl Polanyi, 1957, dalam Budi Subanar, “Manunggaling Kawula Gusti dalam
Transisi: Potret Dunia Jawa dari Yogyakarta”, dalam “Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz
Magnis-Suseno”, hlm: 68.
7

10

mencoba merumuskan secara lebih sistematis tentang permasalahan yang umumnya
dilanda oleh kota-kota di Indonesia dewasa ini. Menurutnya, pemetaan permasalahan
kota yang mendesak untuk segera diselesaikan di antaranya adalah; (1). permasalahan
kemiskinan kota, (2). permasalahan perumahan, (3). deteriorisasi lingkungan dan yang
terakhir (4). masalah kepadatan penduduk8. Namun perlu juga dikritisi lebih lanjut bahwa
rumusan tersebut melihat kota secara elitis karena seolah perubahan hanya terjadi karena
ditangani oleh pemangku kebijakan tanpa menyisakan tempat bagi partisipasi warga terutama dalam hal ini, kaum muda urban - untuk turut menentukan sendiri perubahan
yang dikehendakinya. Sehingga dengan itu dibutuhkan juga perhatian lebih khususnya
pada berbagai infrastruktur yang mampu menstimulus munculnya ruang-ruang publik
baru, karena di sanalah masyarakat dari segala lapisan bertemu sehingga memungkinkan
terjalinnya interaksi sosial - yang mana hal itu seringkali menghasilkan kreatifitas tak
terduga di benak para pemangku kebijakan, seperti yang telah digagas oleh sekumpulan
kaum muda yang menjuluki kegiatannya sebagai “Kota Untuk Manusia”. Mereka inilah sebagaimana dinyatakan Budi Hardiman (2010: 10) yang justru mampu mereproduksi
ruang publik dan bersamaan dengan itu ruang publik itu sendiri menjadi arena belajar
hak-hak dari para anggota masyarakat. Dengan itu demokrasi dari ruang publik seperti
dibayangkan oleh Habermas bermula.

D. Penutup
Setelah melewati uraian penjelasan yang semoga tidak terasa membosankan, saya
akan mengakhiri tulisan ini dengan singkat. Bagian ini hanya hendak menekankan betapa
pentingnya mengembalikan peran kaum muda sebagai agen perubahan (Agent of Change),
karena seturut pengalaman kolektif masa lalu, politik bahasa dari pergantian penyebutan
“pemuda” menjadi “anak muda” di masa awal berdirinya Orde Baru - seperti dinyatakan
Shiraishi (2001) dalam penelitiannya, telah melenyapkan partisipasi kaum muda dari
hiruk-pikuk politik di negeri ini. Padahal setiap perubahan dalam peradaban di sistem
Untuk lebih lengkapnya, lihat, Hadi Sabari Yunus, 2006. “Problematika Kehidupan Kota dan
Strategi Menuju Suistanable City”, dalam Jurnal Balairung Mahasiswa Gadjah Mada Edisi 40,
No.II, 2006, berjudul “Menera Kota Menakar Peradaban: Narasi atas Modernitas dan Pergulatan
Hasrat Manusia”, pp.6-19.

8

11

sosial mana pun selalu diawali oleh sepak-terjang kaum muda yang berani menatap ke
depan dan mendorong transformasi sosial ke arah terjauhnya. Oleh karena itu, untuk studi
lebih lanjut tentang Suistanable City, pertama-tama dibutuhkan kritik yang menyeluruh,
terutama terhadap gaya hidup kaum urban saat ini. Kritik ini bertujuan untuk merevolusi
pemahaman tentang kota yang selama ini kerap diterjemahkan oleh berbagai pihak secara
keliru karena hanya bersandar pada sektor ekonomi semata. Melihat kondisi kekinian itu,
kota hari ini tidak akan melangkah kemana-mana bila kaum muda sebagai agen
perubahan tenggelam dalam fantasi pasar yang ditawarkan oleh iklim kapitalisme.
Sebaliknya, kota hanya akan menjadi tempat transaksional bagi membiaknya budaya
konsumen. Mendesaknya kebutuhan akan kritik ini tentunya didasarkan pada penerapan
pembangunan yang selalu ditopang oleh regenerasi kaum muda dari waktu ke waktu.
Sebagaimana kita tahu, situasi yang sedang dihadapi hari ini bukanlah apel yang jatuh
dari langit, melainkan ditentukan dan diputuskan juga oleh kaum muda, yakni golongan
kaum muda yang berasal dari generasi 70-80’a. Sehingga budaya konsumerisme yang
membuai saat ini, tentunya akan berbuah 20 atau 30 tahun mendatang.

E. Sumber Bacaan
- Ainun Nadjib, Emha. 1983. “Ustadz Umbu”, dalam “Slilit Sang Kiai” (Cetakan Ketiga),
1991. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
- Amir Piliang, Yasraf. 2010. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan. (Edisi Ketiga). Bandung: Matahari.
- Budi Hardiman, F, dkk. 2010. “Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis
sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.
- Budi Subanar, G. 2006. “Manunggaling Kawula Gusti dalam Transisi: Potret Dunia
Jawa dari Yogyakarta”, dalam “Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno”.
Yogyakarta: Kanisius.
- Buku “Menjadi Jogja: Menghayati Jatidiri dan Transformasi Yogyakarta”. Penerbit:
Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta, 2006.

12

- Habermas, Jurgen. 2007. “Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat
Borjuis”. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
- Izzah, Atiyatul. 2006. “Peta Kota dalam Tiga Studi”, dalam Jurnal Balairung
Mahasiswa Gadjah Mada Edisi 40, No.II, 2006, berjudul “Menera Kota Menakar
Peradaban: Narasi atas Modernitas dan Pergulatan Hasrat Manusia”, pp.2-5.
- Kadir, Abdul Khatib. 2006. “Geliat Dugem sebagai Ritual Baru pada Tubuh Kaum
Urban: Studi Kasus Para Clubbers di hugo’s Cafe”, dalam Jurnal Balairung Mahasiswa
Gadjah Mada Edisi 40, No.II, 2006, berjudul “Menera Kota Menakar Peradaban: Narasi
atas Modernitas dan Pergulatan Hasrat Manusia”, pp.55-65.
- Shiraishi, Saya Sasaki. 2001. “Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam
Politik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Twikromo, Y.Argo. 1999. “Pemulung Jalanan: Konstruksi Marginalitas dan Perjuangan
Hidup dalam Bayang-bayang Budaya Dominan”. Yogyakarta: Media Pressindo.
- Yunus, Hadi Sabari. 2006. “Problematika Kehidupan Kota dan Strategi Menuju
Suistanable City”, dalam Jurnal Balairung Mahasiswa Gadjah Mada Edisi 40, No.II, 2006,
berjudul “Menera Kota Menakar Peradaban: Narasi atas Modernitas dan Pergulatan
Hasrat Manusia”, pp.6-19.
- Rocky Gerung. “Politik dan Akronim” dalam Majalah Tempo, 29 September 2014.
Sumber Laman
- Grup “Kota untuk Manusia” di jejaring sosial media
https://www.facebook.com/kotauntukmanusia/info?tab=page_info, pada 26 September
2015, pukul 13:33.
Sumber Gambar
- Sosial Media, www.facebook.com
- www.google.com

13

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil badan usaha milik daerah terhadap pendapatan asli daerah Kota Tangerang (2003-2009)

19 136 149