Aktualisasi Perjanjian Kelola Tanah Bagi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kebutuhan akan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan berkembangnya
perekonomian Indonesia dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Tanah
tidak saja sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai tempat melakukan usaha dan juga sebagai
jaminan mendapatkan pinjaman bank, untuk keperluan usaha, sewa-menyewa, dan jual-beli.
Begitu pentingannya kegunaan tanah bagi orang atau badan hukum menuntut adanya jaminan
kepastian hukum atas tanah tersebut. Seiring berkembangnya zaman dalam memasuki era
globalisasi, kemungkinan semakin terbukanya kesempatan investor asing untuk berinvestasi dan
membuka usaha maupun untuk memiliki properti di Indonesia kian besar. Mengingat Indonesia
merupakan negara dengan perekonomian yang berkembang, sehingga akan membuat para
pengusaha melirik Indonesia sebagai tempat untuk membuka berbagai usaha.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur dalam segala aspeknya, melainkan hanya
mengatur salah satu aspeknya saja, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah
sebagai bagian dari bumi yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu :
“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain

serta badan-badan hukum”.
Di Indonesia sendiri dalam sistem agraria menganut asas nasionalisme yang menyatakan
bahwa :
“Hanya Warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh
mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara lakilaki dengan wanita serta sesama warga Negara Indonesia baik asli maupun keturunan”.

Asas Nasionalitas adalah salah satu asas dalam UUPA. Asas Nasionalitas dalam hal ini sama
dengan Asas hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah. (Pasal 21
Ayat (1) jo. Pasal 26 Ayat (2) UUPA). Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan
pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang dengan ancaman batal demi hukum. Dalam
asas ini ditegaskan bahwa orang asing tidak dapat memiliki tanah di Indonesia dan hanya warga
negara Indonesia yang dapat memiliki tanah di Indonesia. Jadi tanah itu hanya disediakan untuk
warga negara dari negara-negara yang bersangkutan. Asas nasionalisme ini terdapat dalam UUPA
Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 1 ayat (1) (2) dan (3). Pasal 1 ayat (1) UUPA, menyatakan
bahwa ”seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, menyatakan
bahwa ”Seluruh bumi, air dan rang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air, dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Ini berarti bumi, air, dan
angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak bagi bangsa Indonesia, jadi tidak

semata-mata menjadi hak daripada pemiliknya saja. Demikian pula , tanah-tanah di daerah dan
pulau-pulau tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang
bersangkutan saja. Pada Pasal 1 ayat (3) UUPA, dinyatakan bahwa “ hubungan antara bangsa
Indonesia dan bumi ,air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) Pasal ini adalah
hubungan yang bersifat abadi “.
Dengan demikian warga negara asing atau badan usaha asing tidak mempunyai hak milik
atas tanah di Indonesia. namun warga negara asing dapat memiliki tanah di Indonesia dengan
Hak Guna Usaha (HGU), Hak guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan Hak sewa Untuk
Bangunan. Kesemua hak yang diberikan kepada warga negara asing oleh pemerintah dinyatakan
sudah cukup untuk memberikan peran kepada warga negara asing untuk ikut berpartisipasi dalam
pembangunan di Indonesia. Hak-hak ini diberikan kepada asing untuk memajukan perekonomian
di Indonesia tanpa mencederai dari asas nasionalitas dan asa kebangsaan yang dianut dalam
UUPA. Hal ini secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana akibat hukum WNA yang ingin memiliki tanah di Bali?
2. Apa upaya hukum yang dapat di tempuh bagi WNA untuk ingin memiliki tanah di Bali?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Akibat Hukum bagi WNA yang ingin memiliki tanah di Bali
Provinsi Bali sebagai daerah pariwisata yang terkenal hingga mancanegara menjadi salah
satu tujuan oleh berbagai pihak untuk menanam modal, baik penanam modal dalam negeri
maupun luar negeri. Hal ini banyak memunculkan permasalahan antara lain ketertarikan pihak
asing untuk berinvestasi di Indonesia namun disisi lain pihak penanam modal bukanlah pihak
yang berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah Indonesia. Misalnya warga
negara asing yang berniat untuk membangun tempat tinggal atau perusahaan di Indonesia. Hal
tersebut sudah jelas melanggar Undang-undang yang berlaku di Indonesia, khususnya Undangundang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Hak Pakai dianggap kurang menguntungkan bagi
warga negara asing sehingga penerapan berbagai peraturan tentang hak pakai di Bali, khususnya
tidak berjalan dengan baik.
2.2 Upaya Hukum yang dapat ditempuh WNA yang ingin memiliki tanah di Bali
Permasalahan yang kerap kali timbul berkaitan dengan penguasaan hak atas tanah yaitu
dilarangnya orang asing memiliki tanah dengan status Hak Milik sebagaimana berdasarkan Pasal
21 ayat (1) UUPA. Adanya kecenderungan seseorang untuk memiliki hak atas tanah yang
berstatus hak milik karena merupakan hak yang terkuat dan terpenuh serta tidak ada
kedaluwarsanya. Hal inilah yang menyebabkan seseorang akan berupaya mengambil jalan pintas
agar dapat menguasai hak milik atas tanah dengan suatu perbuatan hukum yang bersifat

penyamaran dan dikualifikasikan sebagai penyelundupan hukum. Hal ini jelas mengabaikan asas
itikad baik dan nasionalitas yang terkandung di dalam UUPA, sehingga dibuatlah suatu
perjanjian pinjam nama yang dikenal dengan istilah Perjanjian Nominee dalam kepemilikan
tanah di Bali.
Penjanjian Nominee merupakan salah satu dari jenis perjanjian innominaat, yaitu
perjanjian yang tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

namun timbul, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Berdasarkan KUHPerdata, perjanjian
Nominee harus tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam Buku III KUHPerdata
tentang perikatan.
Istilah nominee tersebut sering disamakan dengan istilah perwakilan atau pinjam nama,
berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat oleh para pihak, orang asing
meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah
pada sertifikatnya, tetap kemudian warga negara Indonesia berdasarkan akta pernyataan yang
dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebenarnya adalah warga negara asing selaku pihak yang
mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau
diwakilkan kepada warga negara asing tersebut.
Secara implisit, suatu perjanjian nominee memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya perjanjian pemberian kuasa antara dua pihak, yaitu beneficial owner sebagai pemberi
kuasa dan nominee sebagai penerima kuasa, yang didasarkan pada adanya kepercayaan dari

beneficial owner kepada nominee
2. Kuasa yang diberikan bersifat khusus dengan jenis tindakan hukum yang terbatas
3. Nominee bertindak seakan-akan (as If) sebagai perwakilan dari beneficial owner di depan
hukum.
Sekilas terlihat bahwa perjanjian nominee dengan pemberian kuasa pada umumnya
adalah sama karena keduanya memerlukan pihak yang berperan sebagai pemberi kuasa dan
penerima kuasa. Namun apabila dikaji secara seksama, keduanya merupakan hal yang serupa
tetapi tidak sama. Perjanjian nominee dari sifatnya adalah sama dengan perjanjian timbal balik,
dimana para pihak memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasi masing-msing pihak yang
tercantum di dalam perjanjian. Hal ini disebabkan kuasa yang terdapat di dalam perjanjian
nominee lebih bersifat lastgeving, dimana kuasa yang diberikan lebih menekankan kepada
pemberian beban perintah kepada si penerima kuasa untuk melaksakan prestasi yang
diperjanjikan. Adapun pemberi kuasa yang pada umumnya dibuat merupakan perjanjian sepihak

yang bersifat volmacht karena hanya memberikan kewenangan pada si penerima kuasa untuk
mewakili si pemberi kuasa.
Konsep ini mekanismenya diatur bahwa pemilik rumah atau bangunan adalah seorang
WNI dengan biaya yang bersumber pada WNA tersebut. Kepemilikan yang dimaksud adalah
sebuah kepemilikan yang tidak langsung, yang tercipta dari hubungan hukum antara WNI dan
WNA yang dikaitkan didalam suatu perjanjian yang disebut dengan Nominee/Trustee

Agreement, yang dimana perjanjian tersebut berisikan tentang pernyataan hubungan hukum WNI
dengan WNA yang menyatakan bahwa kepemilikan hak atas tanah tersebut pada dasarnya adalah
milik dari WNI dan WNA yang bersangkutan yang dapat memerintahkan berbagai tindakan
hukum terhadap hak yang “dimiliki” oleh WNA yang dipercaya untuk mengelolanya (trustee).
Pada umumnya perjanjian Nominee tersebut terdiri atas Perjanjian Induk yang terdiri dari
Perjanjian Pemilikan Tanah (Land Agreement) dan Surat Kuasa ; Perjanjian Opsi ; Perjanjian
Sewa-Menyewa (Lease Agreement) ; Kuasa Menjual (Power of Attorney to Sell) ; Hibah
Wasiat ;dan Surat Pernyataan Ahli Waris.
Perjanjian yang demikian dimungkinkan karena pada dasarnya tidak memindahkan Hak
Kepemilikan secara langsung, namun hanya memindahkan tanah kelembagaan Hak atas Tanah
(Hak Milik dan Hak Guna Bangunan). Adapun beberapa aspek yang menunjukan pemindahan
hak kepemilikan secara langsung dari perjanjian-perjanjian tersebut dipaparkan sebagai berikut:
1. Perjanjian Pemilikan Tanah ( PPT ) dan Pemberian Kuasa, dalam PPT pihak WNI mengakui
bahwa tanah Hak Milik yang terdaftar atas namanya bukanlah milikya, tetapi milik WNA yang
telah menyediakan dana untuk pembelian tanah Hak Milik tersebut beserta bangunan.
Selanjutnya pihak WNI memberi kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada pihak WNA
untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap tanah Hak Milik beserta bangunan tersebut.
2. Perjanjian Opsi, pihak WNI memberikan opsi untuk membeli tanah Hak Milik beserta
bangunan kepada pihak WNA karena dan untuk pembelian tanah Hak Milik beserta bangunan itu
disediakan oleh pihak WNA.


3. Perjanjian Sewa Menyewa (Lease Agreement), pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur
tentang jangka waktu sewa berikut opsi untuk perpanjangannya, beserta hak dan kewajiban pihak
yang menyewakan (WNI) dengan pihak penyewa (WNA).
4. Kuasa Menjual (Power of Attoney to sell), surat kuasa untuk menjual berisi pemberian kuasa
dengan hak subtitusi dari pihak WNI (Pemberi Kuasa) kepada pihak WNA (Penerima Kuasa)
untuk perpanjangannya, beserta hak dan kewajiban pihak yang menyewakan (WNI) dengan
pihak penyewa (WNA).
5. Hibah Wasiat, pihak WNI menghibahkan tanah Hak Milik bangunan atas namanya kepada
pihak WNA.
6. Surat Pernyataan Ahli Waris, isteri pihak WNI dan anaknya menyatakan bahwa tanah Hak
Milik beserta bangunan terdaftar atas nama suaminya, tetapi suaminya bukanlah pemilik
sebenarnya atas tanah Hak Milik beserta bangunan tersebut.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum tanah nasional tidak mengijinkan warga negara asing untuk memiliki hak atas
tanah di Indonesia. Hanya warga negara Indonesia sajalah yang berhak untuk memiliki hak milik

atas tanah di Indonesia. Kondisi tersebut membuat para pihak investor berkepentingan untuk
mencari jalan lain untuk menyiasati hal tersebut. Cara yang kemudian digunakan adalah dengan
membuat perjanjian nominee antara warga negara Indonesia dan warga negara asing yaitu
dengan meminjam nama. Selain itu terdapat faktor ekonomis-pragmatis yang menjadi
pertimbangan dari masing-masing pihak, baik warga negara asing maupun warga negara
Indonesia dan Notaris untuk membuat perjanjian nominee sebagai akibat dari dilanggarnya
peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah Pasal 21 dan Pasal 26 UUPA.
Dengan adanya perjanjian nominee, orang asing cukup meminjam identitas dari orang
warga negara Indonesia yang tinggal di Bali untuk dicantumkan namanya dalam suatu sertifikat
tanah dan warga negara asing menilai bahwa perjanjian ini jauh lebih praktis dan
menguntungkan untuk kedua belah pihak dibandingkan dengan menggunakan hak pakai. Pada
dasarnya perjanjian nominee merupakan perjanjian yang tidak diatur secara tegas dan khusus.
Namun dalam kenyataannya, perjanjian nominee tersebut dipakai sebagai perjanjian dengan
pinjam nama. Dalam perjanjian nominee ini, dimana orang asing meminjam nama orang
Indonesia untuk memiliki hak atas tanah. Kurangnya pengetahuan, kekurangan pengalaman dan
kurangnya pengertian dari Notaris yang selalu menganggap bahwa akta yang dibuatnya sudah
sah apabila para pihak telah sepakat, dan masing-masing pihak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Namun sering tidak diperhatikan terhadap obyek dan causa yang
diperbolehkan.
3.2 Saran


Pemerintah membuat suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perjanjian nominee secara khusus. Selain itu, melihat dengan adanya penyelundupan hukum
yang dilakukan oleh Warga Negara Asing di Indonesia, penulis menyarankan untuk membuat
pengaturan yang jelas secara khusus mengenai perjanjian nominee sehingga Warga Negara Asing
tidak dengan mudah melakukan penyelundupan hukum serta mendapatkan kepastian hukum. Hal
ini berguna untuk meminimalisir adanya tindakan curang yang dilakukan oleh pihak asing
terhadap Warga Negara Indonesia.

Daftar Pustaka
https://sleepingfailure.wordpress.com/2014/07/19/kepemilikan-hak-atas-tanah-oleh-warganegara-asing-melalui-perjanjian-nominee/
http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/viewFile/18936/12406
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok– pokok
Agraria.