macam bahan yang kemasan hortikultura

TUGAS 3 RESUME
PENGARUH BAHAN PANGAN PENGEMAS (PLASTIK,
STYROFOAM, KERTAS) TERHADAP BAHAN PANGAN
(diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengemasan, Penyimpanan, dan Penggudangan)

Disusun oleh:
Alifah Ulfah

NIM 1005151

Llisrestu Rahayu

NIM 1000198

Osad Imron Rosadi

NIM 1002457

Rita Aisyatul Dalfah

NIM 1005338


Rizky Al Fauzi

NIM 1005217

Slamet Hadi Kusuma

NIM 1002439

Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri
Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Universitas Pendidikan Indonesia
2013

RESUME
Pengaruh Bahan Pangan Pengemas (Plastik, Styrofoam, Kertas) Terhadap Bahan Pangan
A. Kemasan Plastik
Kemasan plastik merupakan kemasan yang paling banyak digunakan pada saat ini
dibandingkan dengan kemasan lainnya, seperti kemasan logam dan gelas. Hal ini disebabkan
karena kelebihan dari kemasan plastik yang ringan, fleksibel, multiguna, kuat, tidak karatan,

serta dapat diberi warna dan harganya yang relatif murah. Akan tetapi, pemakaian plastik yang
makin meluas tidak disertai perhatian terhadap dampak negatif yang ditimbulkannya. Selain
merusak lingkungan, penggunaan plastik untuk kemasan bahan pangan berpotensi mengganggu
kesehatan manusia.
Bahan kemasan plastik secara umum tersusun dari polimer rantai panjang dari satuansatuan yang lebih kecil yang disebut monomer. Monomer-monomer dipolimerisasikan untuk
menghasilkan suatu unit berulang tunggal yang disebut homopolimer. Dalam beberapa hal
polimer dapat dibuat dengan proses adisi lebih dari satu macam monomer, atau dengan reaksi
kondensasi tiga macam monomer. Dalam kedua hal tersebut, akan diperoleh unit berulang lebih
dari satu jenis monomer yang disebut kopolimer. Monomer-monomer penyusun bahan kemasan
plastik ini dapat berpindah ke dalam bahan pangan yang dikemasnya, terutama jika bahan
pangan tersebut mengandung lemak atau asam. Pada bahan pangan yang dikemas dalam
kemasan plastik, adanya migrasi ini tidak mungkin dapat dicegah 100%, karena pada suhu kamar
dengan waktu kontak yang cukup lama pun, senyawa berberat molekul kecil yang disebut
monomer, serta bahan-bahan tambahan dalam pembuatan plastik seperti plastisizer, stabilizer,
dan antioksidan dapat bermigrasi atau masuk ke dalam bahan pangan secara bebas.
Migrasi monomer-monomer dan bahan-bahan tambahan dalam pembuatan plastik dari
kemasan plastik ke dalam bahan pangan yang dikemasnya dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu luas
permukaan yang kontak dengan bahan pangan, jenis bahan plastik, suhu, serta lamanya kontak.
Mc. Gueness melaporkan bahwa semakin panas bahan pangan yang dikemas, semakin tinggi
peluang terjadinya migrasi zat-zat plastik ke dalam bahan pangan tersebut. Semakin lama kontak

antara bahan pangan dengan kemasan plastik, jumlah monomer yang bermigrasi dapat semakin
tinggi. Saat makanan panas dimasukkan ke dalam plastik, plastik akan menjadi lemas dan tipis.
Ini adalah tanda terputusnya ikatan-ikatan monomer dan berpindah ke bahan pangan. Selain itu,

beberapa monomer berbahaya penyusun bahan kemasan plastik bersifat larut dalam lemak dan
asam sehingga dapat terakumulasi lebih tinggi pada bahan pangan yang mengandung lemak atau
asam tinggi.
Monomer yang perlu diwaspadai yaitu vinil klorida, akrilonitril, metacrylonitil, vinylidene
klorida serta styrene. Monomer vinil klorida dan akrilonitril cukup tinggi potensinya untuk
menimbulkan kanker pada manusia. Vinil klorida dapat bereaksi dengan guanin dan sitosin pada
DNA, sedangkan akrilonitril bereaksi dengan adenin. Vinil asetat telah terbukti menimbulkan
kanker tiroid, uterus, dan hati pada hewan. Akrilonitril menimbulkan cacat lahir pada tikus yang
memakannya. Monomer lain seperti akrilat, stirena dan metakriat serta senyawa turunannya,
seperti vinil asetat, polivinil klorida, kaprolaktam, formaldehida, kresol, isosianat organik, heksa
metilandiamin, melamin, epodilokkloridin, bispenol, dan akrilonitril dapat menimbulkan iritasi
pada saluran pencernaan terutama mulut, tenggorokan dan lambung. Aditif plastik jenis
plastisizer, stabilizer, dan antioksidan dapat menjadi sumber pencemaran organoleptik yang
membuat makanan berubah rasa serta aroma dan bisa menimbulkan keracunan.
B. Kemasan Logam
Migrasi merupakan perpindahan bahan kimia baik itu polimer, monomer, ataupun

katalisator kemasan (contoh formalin dari kemasan/wadah melamin) kedalam pangan. Migrasi
bahan kimia tersebut memberikan dampak berupa penurunan kualitas pangan dan keamanan
pangan, juga menimbulkan efek terhadap kesehatan. Jumlah senyawa termigrasi pada umumnya
tidak diketahui secara pasti, tetapi dapat berpengaruh fatal terutama pada jangka panjang
(bersifat kumulatif dan karsinogenik). Faktor yang mempengaruhi migrasi adalah jenis serta
konsentrasi bahan kimia yang terkandung, sifat dan komposisi pangan, suhu dan lama kontak
serta kualitas bahan kemasan (jika bahan bersifat inert atau tidak mudah bereaksi maka potensi
migrasinya kecil dan demikian pula sebaliknya).
Kemasan kaleng dapat terbuat dari berbagai jenis logam misalnya seng, aluminium, dan
besi. Dalam kadar rendah alumunium dan seng tidak beracun bagi tubuh manusia. Namun perlu
diperhatikan bahwa logam akan bereaksi dengan asam, yang menyebabkan logam tersebut
melarut. Banyak bahan pangan yang bersifat asam, sehingga kontak antara asam dengan
kemasan logam dapat melarutkan kemasan logam yang bersangkutan. Waktu kontak berkorelasi
positif dengan banyaknya logam yang terlarut, artinya semakin lama waktu kontak, maka

semakin banyak logam yang terlarut. Oleh karena itu perlu dipilih jenis pangan yang layak
dikemas dengan kaleng atau kemasan logam, agar kualitas produk pangan tetap terjaga. Perlu
pula diperhatikan penggunaan bahan tambahan pada pembuatan kaleng seperti: cat, serta bahan
pelapis kaleng organik epoksi fenol dan organosol. Kaleng ataupun kemasan logam lainnya tidak
boleh mengandung logam timbal, kromium, merkuri, dan kadmium karena dapat mengakibatkan

efek negatif terhadap kesehatan manusia.
Kaleng yang sekarang banyak digunakan untuk pengalengan makanan mengandung kurang
dari 25% timah. Dalam makanan kaleng yang tertutup hermetis, korosi wadah merupakan suatu
proses yang terjadi bertahap. Baja yang digunakan untuk membuat kaleng makanan mengandung
kadar karbon yang rendah. Penelitian telah membuktikan bahwa komposisi baja merupakan
faktor penting untuk memperoleh umur pakai yang memadai bagi bahan pangan yang korosif.
Kadar fosfor dan silika sangat menentukan, tetapi kadar mineral lain seperti tembaga , nikel dan
molibdat dapat juga mempengaruhi daya tahan kaleng terhadap korosi (Muchtadi, 1995).
Kemasan kaleng baik bagian luar maupun bagian dalamnya harus memenuhi beberapa
persyaratan daya tahan korosi. Korosi oleh suatu produk disebabkan adanya hubungan atau
kontak langsung antara produk dan permukaan kaleng serta cara pengalengan. Keadaan korosi
dapat disebabkan oleh dua faktor utama yaitu detinning, berupa terkelupasnya atau hilangnya
lapisan timah putih sehingga terjadi evolusi hidrogen dan kebocoran atau perforasi, serta
terjadinya reaksi kimia produk dengan bahan kaleng (Muchtadi, 1995).
Karatan adalah pembentukan lapisan longgar dari feroksida yang berwarna merah
kecoklatan sebagai hasil proses korosi produk pada permukaan dalam kaleng. Pembentukkan
karat membutuhkan banyak oksigen, oleh karena itu karat terjadi biasanya pada bagian head
space. Proses korosi dapat terus berlangsung sehingga menimbulkan lubang dan mengakibatkan
kebocoran kaleng. Adanya dan terjadinya karat kadang-kadang tidak nampak karena mungkin
saja bagian yang berkarat sudah jatuh membaur ke dalam produk (Muchtadi, 1995).

Beberapa faktor yang menentukan terjadinya pembentukan karat pada bagian dalam kaleng
antara lain sifat bahan pangan, terutama pH; pemacu pembentukan karat seperti nitrat, beberapa
bahan belerang, zatwarna antosianin; banyaknya sisa oksigen dalam bahan pangan,
khususnya pada ruang udara (head space); suhu dan waktu penyimpanan; serta beberapa faktor
yang berasal dari bahan kemas, seperti berat lapisan timah macam dan komposisi lapisan baja
dasar, efektifitas perlakuan pada permukaan lapisan, jenis lapisan, dan lain sebagainya.

Logam-logam seperti timah, besi, timbal dan alumunium dalam jumlah yang besar akan
bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Batas maksimum kandungan logam dalam
bahan pangan menurut FAO/WHO adalah 250 ppm untuk timah dan besi dan 1 ppm untuk
timbal. Logam-logam lain yang mungkin mencemari bahan pangan adalah air raksa (Hg),
kadmiun (Cd), arsen (Ar), antimoni (At), tembaga (Cu) dan seng (Zn) yang dapat berasal dari
wadah dan mesin pengolahan atau dari campuran bahan kemasan. Wadah dan mesin pengolahan
yan telah mengalami korosi dapat menyebabkan pencemaran logam ke dalam bahan pangan.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya korosif adalah asam organik, nitrat, oxidizing
agent, atau bahan pereduksi, penyimpanan, suhu, kelembaban dan ada tidaknya bahan pelapis
(enamel). Keracunan yang diakibatkan logam-logam ini dapat berupa keracunan ringan atau
berat seperti mual-mual, muntah, pusing dan keluarnya keringat dingin yang berlebihan.
Kerusakan-kerusakan khemis lainnya yang disebabkan oleh adanya interaksi komponen
logam kaleng dan bahan makanan dapat ditunjukkan oleh adanya:

1. Pemucatan warna kaleng bagian atas.
2. Pemucatan warna makanan.
3. Keruhnya medium makanan.
4. Korosi atau pengkaratan maupun lobang-lobang kecil dari badan kaleng.
5. Penurunan nilai gizi makanan.
C. Kemasan Kertas
Kemasan kertas merupakan salah satu jenis pengemas yang dapat digunakan sebagai
pengemas bahan pangan yang berfungsi untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik
sebagai kemasan primer, tersier, atau kuarterner. Supaya kemasan kertas berfungsi sebagai
mestinya, maka hal penting yang harus diperhatikan adalah kemasan kertas sebagai pengemas
primer, karena kemasan ini langsung bersentuhan dengan bahan pangan. Oleh karena itu,
kemasan kertas sebagai kemasan primer memiliki potensi untuk mempengaruhi bahan pangan
disebabkan interaksi dari komponen penyusun kertas, dan cara migrasi komponen tersebut pada
bahan pangan. Sebagian komponen kemasan tersebut dapat menimbulkan efek buruk dan
membahayakan kesehatan. Komponen berbahaya tersebut dapat berasal dari residu bahan baku
(starting material) kemasan misalnya monomer, katalis yang digunakan untuk mempercepat
laju reaksi, hasil penguraian bahan dasar, dan bahan tambahan yang digunakan dalam proses
pembuatan kemasan pangan.

Interaksi antara komponen-komponen penyusun bahan pengemas dengan bahan yang

dikemas dapat terjadi karena tidak ada sistem wadah-tutup yang inert secara total. Reaksi
ineteraksi tersebut diantaranya adalah sorpsi, migrasi (proses terjadinya perpindahan suatu zat
dari kemasan pangan ke dalam bahan pangan), dan permeasi (masuknya kelembapan ke dalam
kemasan. Yang akan dibahas disini adalah proses migrasi. Struktur dasar kertas adalah bubur
kertas (selulosa) dan felted mat. Komponen lainnya adalah hemiselulosa, fenil propan
terpolimerisasi sebagai lem untuk merekatkan serat, minyak esensial, alkaloid, pigmen, dan
mineral. Pada pembuatan kertas kadang menggunakan klor sebagai pemutih, adhesive,
aluminium, pewarna, dan pelapis. Bahan berbahaya yang dapat bermigrasi adalah tinta dan klor.
Apabila kertas bekas yang mengandung tinta digunakan untuk membungkus produk pangan
berminyak seperti gorengan, maka minyak dalam keadaan panas dapat melarutkan Pb (timbal)
yang terkandung pada tinta dan bermigrasi ke produk pangan. Sedangkan kertas bekas yang
diputihkan dengan cara menambahkan klor jika terkena suhu tinggi akan menghasilkan dioksin,
yaitu senyawa karsinogenik.
Selain kedua komponen di atas, sebagian besar migrasi dari kertas yaitu berasal dari tinta
printer

atau

adhesive


yang

digunakan

dalam

pembuatan

kemasan,

kecuali

Diisopropylnaphthalenes (DIPNs). Risiko kontaminasi makanan dari tinta cetak dalam kemasan
terjadi dalam dua mekanisme, yaitu perpindahan melalui bahan kemasan dan fenomena set-off.
Pertama, fenomena set-off berarti komponen tinta cetak berpindah dari permukaan yang dicetak
ke permukaan yang tidak dicetak melalui kontak langsung selama pembuatan bahan,
penyimpanan, dan penggunaan. Kedua, penggunaan bahan daur ulang seperti serat dari kertas
daur ulang dapat mengakibatkan adanya kontak langsung antara komponen tinta dan makanan,
akan tetapi jalur paparan pada mekanisme ini yaitu menjadi lebih pendek.
D. Kemasan Kaca/ Gelas

Kaca/gelas dan porselen merupakan kemasan yang paling tahan terhadap air, gas ataupun
asam, atau memiliki sifat inert. Kemasan kaca juga dapat diberi warna, banyak digunakan untuk
produk minuman yang memiliki sifat-sifat tertentu sehingga dapat menyaring cahaya yang
masuk ke dalam kemasan kaca. Jenis kemasan ini dianggap kemasan yang paling aman untuk
produk pangan. Porselen atau keramik, biasanya sering digunakan sebagai gelas atau peralatan
makan. Selain ada yang dibuat dari tanah liat, ada pula porselen yang dibuat dari bahan dolomite
dengan beberapa bahan campuran lainnya. Porselen cukup aman digunakan sebagai wadah

makanan, terutama yang bersuhu tinggi. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
memilih gelas, atau peralatan makan dari porselen antara lain suhu pembakaran pada saat
pembuatan serta bahan bakunya. Porselen dibuat dengan cara dibakar pada suhu sangat tinggi
yaitu di atas 1200°C.
Pembakaran yang sempurna akan menghasilkan porselen yang baik dan kuat. Namun bila
pembakaran kurang dari 800°C, maka porselen yang dihasilkan akan kurang baik. Bila bahan
baku yang digunakan adalah dolomite, maka kualitas porselen juga kurang baik. Porselen dari
bahan baku dolomite dengan pembakaran yang kurang sempurna, dapat berpotensi terjadi
migrasi senyawa kimia kalsium karbonat (CaCO3) dan magnesium karbonat (MgCO3) dari
dolomite ke dalam bahan pangan. Dolomite merupakan bahan baku yang cukup luas
penggunaannya, antara lain digunakan dalam industri gelas dan kaca lembaran, industri keramik
dan porselen, industri refraktori, pupuk dan pertanian. Warna porselen umumnya putih,

sedangkan bila dengan bahan dolomite akan berwarna agak kusam.

Migrasi merupakan perpindahan bahan kimia baik itu polimer, monomer, ataupun katalisator
kemasan (contoh formalin dari kemasan/wadah melamin) kedalam pangan. Migrasi bahan kimia
tersebut memberikan dampak berupa penurunan kualitas pangan dan keamanan pangan, juga
menimbulkan efek terhadap kesehatan. Jumlah senyawa termigrasi pada umumnya tidak
diketahui secara pasti, tetapi dapat berpengaruh fatal terutama pada jangka panjang (bersifat
kumulatif dan karsinogenik). Faktor yang mempengaruhi migrasi adalah jenis serta konsentrasi
bahan kimia yang terkandung, sifat dan komposisi pangan, suhu dan lama kontak serta kualitas

bahan kemasan (jika bahan bersifat inert atau tidak mudah bereaksi maka potensi migrasinya
kecil dan demikian pula sebaliknya).
Migrasi bahan toksik merupakan masalah serius jangka panjang bagi kesehatan konsumen,
oleh karena itu diperlukan perhatian khusus dalam pemilihan kemasan pangan. Menyikapi
keberadaan jenis bahan kemasan yang mudah berimigrasi kedalam produk pangan, diperlukan
kebijakan khusus yang efektif dan mencapai sasaran dalam pemilihan kemasan.
E. Kemasan Kayu
Kemasan peti kayu memiliki sifat fisik dan mekanik yang bervariasi sehingga untuk
keperluan tertentu dilakukan pemilihan yang selektif terhadap jenis kayu yang digunakan. Pada
dasarnya tidak ada kriteria khusus untuk menentukan jenis kayu yang digunakan sebagai
kemasan. Pemilihannya umumnya ditentukan hanya berdasarkan jumlah kayu yang tersedia,
kemudahannya untuk dipaku, jenis produk yang akan dikemas, kekuatan dan kekakuan kayu,
serta harganya (Hanlon, 1984). Bahan kayu yang dipilih untuk pembuatan kotak kayu ini
biasanya kayu yang ringan dan kuat sehingga mudah dipindah-pindahkan dan dapat dilakukan
penumpukan. Permukaan papan kayu yang digunakan sebagai bahan kemasan harus dibuat
sehalus mungkin. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan terjadinya luka pada buah

atau

sayuran karena gesekan dari serat kayu yang mencuat keluar. Menurut Sjaifullah (1976),
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pustaka dan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Sub Bagian Perlakuan Segar Hasil Hortikultura Bagian

Teknologi, Lembaga Penelitian

Hortikultura Pasar Minggu, jenis yang digunakan untuk

membuat peti kayu adalah yang

berwarna putih dan lentur seperti kayu teki (Albizia lebbeck Benth), kayu kenanga dan kayu
sengon.
Peti kayu merupakan salah satu alternatif kemasan yang masih banyak digunakan untuk
pengangkutan komoditas hortikultura, misalnya untuk mengemas buah jeruk, salak, tomat dan
komoditi lainnya. Bahan baku dan tenaga kerja untuk membuatnya juga tersedia dan relative
murah, disamping itu kebutuhan akan perlatan khusus tidak terlalu banyak. Menurut Poernomo
(1979), keuntungan pemakaian peti kayu sebagai kemasan yaitu dapat ditumpuk dengan
ketinggian tertentu tanpa menyebabkan kerusakan yang diakibatkan oleh penumpukan tersebut
dan mampu melindungi komoditi yang dikemas terhadap kerusakan yang mungkin terjadi akibat
adanya tekanan dari segala arah. Bila dibandingkan dengan kemasan peti karton bergelombang,

peti kayu mampu mempertahankan bentuknya bila ditempatkan dalam ruangan yang lembab atau
bila terkena air.
Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa kemasan kayu sangat rentan terhadap serangan
penyakit tanaman (OPT) yang dapat membahayakan produk. Namun demikian permintaan
terhadap kemasan berbahan kayu terus meningkat baik dalam bentuk peti, pallet atau lainnya.
Hal ini dikarenakan, kemasan tersebut memiliki banyak keunggulan. Antara lain, kokoh, ramah
lingkungan, harga terjangkau, dan mudah ditangani.
Untuk mengatasi OPT tersebut, setidaknya ada tiga metode yang sering digunakan, yakni
perlakuan panas (heat treatment). Methyl bromide (MB), dan semi permanent immunization
treatment (S.P.I.TTM). Pada table di tunjukan perbandingan dari ketiga jenis metode tersebut. Dari
table tampak bahwa metode S.P.I.TTM adalah metode yang terbaik. Apalagi untuk Negara tropis
seperti Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor dan LIPI menunjukan,
bahwa hingga saat ini hanya metode S.P.I.TTM yang cocok dan aman untuk Indonesia.

Pada kemasan kayu biasanya tidak memberikan efek migrasi secara langsung terhadap
komoditas pangan yang dikemas. Komoditas pangan yang rusak akibat pengemasan
menggunakan peti kayu yaitu terjadinya gesekan atau benturan antara komoditas pangan
sehingga terjadinya reaksi kimia dan terjadinya migrasi dari komoditas pangan tersebut.

KESIMPULAN
Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi yang tepat bagi bahan
pangan, dengan membatasi antara bahan pangan dan keadaan normal sekelilingnya untuk
menunda proses kerusakan dalam jangka waktu yang diinginkan. Pengemasan dilakukan dengan
menggunakan wadah atau pembungkus yang dapat membantu mencegah atau mengurangi
terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas atau dibungkusnya. Wadah atau
pembungkus ini lebih dikenal dengan istilah kemasan. Salah satu kemasan yang digunakan pada
saat ini adalah kemasan logam.
Bahan logam mempunyai kekuatan mekanik yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bahan non logam. Bahan logam merupakan penghambat yang baik terhadap gas, uap air, jasad
renik, debu dan kotoran sehingga cocok untuk kemasan hermetis. Toksisitas bahan logam relatif
rendah meskipun ada kemungkinan migrasi unsur logam ke bahan yang dikemas. Logam tahan
terhadap perubahan-perubahan atau keadaan suhu yang ekstrim serta mempunyai permukaan
yang ideal untuk dekorasi dan pelabelan. Bentuk kemasan dari bahan logam yang digunakan
untuk bahan pangan yaitu bentuk kaleng tinplate, kaleng alumunium, dan alumunium foil.

DAFTAR PUSTAKA
Hanlon, J. F. 1984. Handbook of Package Engineering. McGraw Hill Book Co., New York.
Hidayat, Atep afia. Bahaya Kemasan Plastik!. [Online]. Tersedia: http://www.pantonanews.com/
berita-119-bahaya-kemasan-plastik-.html [13 Maret 2013]
Julianti, Elisa dan Nurminah, Mimi. 2007. Teknologi Pengemasan. Departemen Teknologi
Pertanian Universitas Sumatera Utara: Medan.
Kemasan kayu yang terlindungi [Online]. Tersedia: http://www.foodreview.biz

Poernomo, 1979. Daerah produksi, tempat penumpukan, pengepakan, pengangkutan,
pemasaran/distribusi, dan pengemasan hasil hortikultura merupakan masalah penanganan
lepas panen. Hortikultura, No. 6: 168-174.
Sulchan, Mohammad. 2007. Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan Styrofoam. Program Pasca
Sarjana FK UNDIP: Semarang.