ADAPTIVE GENETIC ALGORITHM (AGA) RADIAL BASIS FUNCTION (RBF) NEURAL NETWORK
BASIS FUNCTION (RBF) NEURAL NETWORK UNTUK KLASIFIKASI SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Strata Satu Jurusan Informatika
Disusun oleh : Muh Aziz Nugroho NIM. M0508053
JURUSAN INFORMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA & ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 HALAMAN JUDUL
commit to user
commit to user
(RBF) NEURAL NETWORK UNTUK KLASIFIKASI MUH AZIZ NUGROHO
Jurusan Informatika.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret.
ABSTRAK
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk melakukan klasifikasi. Salah satu model jaringan syaraf tiruan adalah Radial basis function (RBF). Dengan berkembangnya penelitian, muncul beberapa penelitian yang bertujuan meningkatkan akurasi hasil pelatihan JST RBF dengan cara optimasi bobot hasil pelatihan JST RBF. Salah satu algoritma yang dapat digunakan untuk optimasi tersebut adalah algoritma genetika. Sementara itu dari beberapa penelitian mengenai algoritma genetika, muncul beberapa modifikasi untuk meningkatkan performa algoritma genetika. Salah satunya adalah Adaptive Genetic Algorithm (AGA) yaitu dengan pendekatan baru untuk penentuan probabilitas crossover dan probabilitas mutasi yang adaptif sesuai dengan fungsi fitness . Oleh karena itu, penelitian ini melakukan evaluasi tentang penggabungan RBF dengan AGA untuk klasifikasi data untuk mengetahui akurasi AGA RBF.
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan simulasi pada data tumbuhan iris. Penentuan center RBF menggunakan algoritma clustering K-Means. Setelah RBF dilatih dan didapatkan bobot selanjutnya bobot diubah dengan AGA. Fungsi fitness AGA adalah akurasi RBF untuk data training dimana proses training menggunakan 70 % data dan proses testing dengan 30 %. Efektifitas klasifikasi diukur dari hasil akurasi. Skenario yang dijalankan adalah melakukan simulasi untuk mendapatkan variabel RBF yang terbaik untuk masing-masing arsitektur, kemudian kombinasi variabel terbaik dari variabel RBF dari masing-masing arsitektur dikombinasikan dengan variabel AGA RBF untuk mendapatkan variabel AGA RBF yang terbaik untuk masing-masing arsitektur. Arsitektur yang digunakan adalah JST dengan 2 hidden layer sampai 10 hidden layer.
Evaluasi dari simulasi menunjukkan bahwa JST AGA RBF (Adaptive Genetic Algorithm Radial Basis Function ) dapat memperbaiki akurasi untuk arsitektur JST RBF yang sederhana yaitu pada arsitektur dengan hidden layer 2, 3, 4 dan 5, sedangkan untuk arsitektur yang lebih kompleks yaitu pada arsitektur dengan hidden layer 6, 7, 8, 9 dan 10, akurasi AGA RBF relatif sama dengan akurasi RBF, namun cenderung menurun dengan presentase penurunan akurasi yang relatif kecil. Dari seluruh simulasi yang dilakukan dapat direkomendasikan bahwa algoritma yang paling tepat untuk melakukan klasifikasi tumbuhan iris adalah algoritma RBF dengan arsitektur 6 hidden layer.
Kata Kunci : Adaptive Genetic Algorithm, Jaringan Syaraf Tiruan, Klasifikasi, Radial Basis Function
commit to user
(RBF) NEURAL NETWORK FOR CLASSIFICATION MUH AZIZ NUGROHO
Department of Informatic. Mathematic and Science Faculty. Sebelas Maret University
ABSTRACT
Artificial Neural Network (ANN) is one method that can be used to perform classification. One model of neural network is a radial basis function (RBF). With the development of research, there is some research that aims to improve the accuracy of the RBF ANN training by optimization of RBF ANN weight training results. One algorithm that can be used for optimization is the genetic algorithm. Meanwhile, from some research on the genetic algorithm, it has been appeared some few modifications to improve the performance of genetic algorithms. One is the Adaptive Genetic Algorithm (AGA) is a new approach for determining the probability of crossover and mutation probabilities are adaptive according to the fitness function. Therefore, this study evaluates the incorporation of RBF with the AGA for the classification of data to determine the accuracy of AGA RBF.
The research was done by performing simulations on data of iris plants. Determination of RBF's centers using K-Means clustering algorithm. After the RBF trained and gained weight then weight is converted by AGA. AGA's fitness function is the RBF accuracy for training data where the training process uses 70% of the data and testing process by 30%. Effectiveness is measured by classification accuracy results. The Scenario is run simulation to get the best RBF variables for each architecture, then the best RBF variables from each of the architecture combined with a AGA RBF variable to get the best AGA RBF variable for each architecture. ANN's architecture used is a ANN with 2 hidden layer to 10 hidden layer.
Evaluation of the simulation show that the ANN AGA RBF (Radial Basis Adaptive Genetic Algorithm Function) can improve the accuracy for the RBF ANN simple architecture is the architecture with 2, 3, 4 and 5 hidden layer , while for the more complex architecture with 6, 7, 8, 9 and 10 hidden layer, accuracy of AGA RBF relatively equal to the accuracy of RBF, but tends to decrease with the percentage decrease in accuracy which is relatively small. From all the simulations carried out can be recommended that the most appropriate algorithm to classify iris plants are RBF algorithm with 6 hidden layer architecture.
Keyword: Adaptive Genetic Algorithm, Artificial Neural Networks, Classification, Radial Basis Function
commit to user
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain ” (Q.S Alam Nasyrah : 5-7)
“Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”
(Q.S Al-Baqarah : 214)
“Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil, kita baru yakin kalau kita telah be rhasil melakukannya dengan baik” (Evelyn Underhill)
“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah” (Thomas Alva Edison)
“Kita berdoa kalau kesusahan dan membutuhkan sesuatu, mestinya kita juga berdoa
dalam kegembiraan besar dan saat rezeki melimpah” (Kahlil Gibran)
commit to user
Kupersembahkan karya ini kepada :
Ibu, Bapak serta kedua kakak tercinta Mas M a’ruf dan Mbak Iim Semua teman Informatika UNS khsusnya angkatan 2008 Semua teman kos wijaya periode 2008-2012
commit to user
Bismillahirrahmaanirrahiim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang senantiasa memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul Adaptive Genetic Algorithm (AGA) Radial Basis Function (RBF) Neural Network Untuk Klasifikasi, yang menjadi salah satu syarat wajib untuk memperoleh gelar Sarjana Informatika di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki, begitu banyak bimbingan, bantuan, serta motivasi yang diberikan dalam proses penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Wiharto, S.T., M.Kom. selaku Dosen Pembimbing I yang penuh kesabaran membimbing, mengarahkan, dan memberi motivasi kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini,
2. Ibu Bapak Drs. YS. Palgunadi, M.Sc selaku Dosen Pembimbing II yang penuh kesabaran membimbing, mengarahkan, dan memberi motivasi kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini,
3. Ibu Umi Salamah,S.Si.,M.Kom. selaku Ketua Jurusan S1 Informatika,
4. Bapak Wisnu Widiarto, S.Si., M.T. selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak memberi bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh studi di Jurusan Informatika FMIPA UNS,
5. Bapak dan Ibu dosen serta karyawan di Jurusan Informatika FMIPA UNS yang telah mengajar penulis selama masa studi dan membantu dalam proses penyusunan skripsi ini,
6. Ibu, Bapak, dan kakak-kakakku, serta teman-teman yang telah memberikan bantuan sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Surakarta, Agustus 2012
Penulis
commit to user
Gambar 4.17 Grafik Simulasi AGA RBF Dengan 9 Hidden Layer ........................... 60 Gambar 4.18 Grafik Simulasi AGA RBF Dengan 10 Hidden Layer ......................... 61 Gambar 4.19 Grafik Perbandingan Simulasi RBF dan AGA RBF ............................ 63
commit to user
LAMPIRAN A ........................................................................................................... 70 LAMPIRAN B ........................................................................................................... 72 LAMPIRAN C ........................................................................................................... 76 LAMPIRAN D ........................................................................................................... 86
commit to user
p : Konstanta pada fungsi aktivasi JST f(x)
: fungsi variabel x w k+1 : Bobot JST pada cacah ke k-1 w k : Bobot JST pada cacah ke k w ji : Bobot dari unit hidden layer j ke output i
α : Laju konvergensi (learning rate ) (0 < α < 1) v
: Masukan yang diboboti
X m : Vector input RBF ke-m t j : Vector data yang dianggap sebagai center ke-j. y j : Output JST ke-j
q : Jumlah hidden layer MSE
: Mean Square Error φ j : Output fungsi basis ke j
exp : natural number d(x,c)
: Hasil jarak eucledian dari vector data x yang ke vector center c r
: Jarak eucledian antara vector data dengan vector center
c j : Vector center ke-j
d : Lebar fungsi Gaussian σ
: nilai spread x
: Vector input data k
: Urutan cluster 𝑀 𝑘 ( 𝑚) : Center ke-k pada iterasi ke-m 𝑀 𝑖 ( 𝑚) : Center ke-i pada iterasi ke-m
D : Jumlah dimensi pada algoritma K-Means Cl k : Cluster ke-k N k : Jumlah data-data pada cluster k J k : Error data-data terhadap masing-masing center P k : Subset yang berisi data-data untuk cluster ke -k
: Eucledian norm
commit to user
pm : Probabilitas mutasi
f max : Fitness maksimal
f : Fitness terbesar dari solusi yang dimutasi f’
: Fitness terbesar dari solusi yang disilangkan 𝑓
: Fitness rata-rata k 1 : Konstanta pertama untuk update probabilitascrossover k 2 : Konstanta pertama untuk update probabilitasmutasi
k 3 : Konstanta kedua untuk update probabilitascrossover k 4 : Konstanta kedua untuk update probabilitasmutasi Z n : Nilai gen ke n pada kromosom yang merepresentasikan bobot RBF Z n+1 : Nilai gen ke n+1 pada kromosom yang merepresentasikan bobot bias
AP : Akurasi prediksi
commit to user
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan sistem komputasi dimana arsitektur dan operasinya diilhami dari sistem otak manusia. JST dapat digunakan untuk belajar dan menghasilkan aturan atau operasi dari beberapa contoh yang diberikan. Dengan kemampuannya ini JST dapat digunakan untuk klasifikasi, dimana sebuah kelas data dapat diketahui dari variabel yang dimasukkan sehingga walaupun data yang diklasifikasi memiliki jumlah variabel yang cukup besar, JST bisa memetakan input menjadi output yang akurat dari hasil belajarnya.
Salah satu model jaringan syaraf tiruan adalah Radial basis function, Model ini melakukan pembelajaran secara hybrid yaitu menggabungkan antara pembelajaran terbimbing dan pembelajaran tidak terbimbing. Beberapa penelitian tentang radial basis function diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Venkatesan & Anitha (2006) yang memaparkan penggunaan model RBF (radial basis function) untuk melakukan diagnosis penyakit diabetes mellitus. Artsitekur jaringan yang dipakai menggunakan satu hidden layer dengan penentuan center menggunakan metode clustering K-Means. Dari hasil penelitian tersebut, diagnosis menggunakan RBF (radial basis function) lebih baik dari pada menggunakan logistic regression dan MLP (Multi Layer Perceptron) dengan tingkat akurasi mencapai 98%. Selain itu waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pelatihan pada jaringan RBF lebih cepat dari pada MLP.
Senada dengan penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Jayawardena & Fernando (1998) memaparkan perbandingan antara penggunanan model RBF dengan metode clustering data noniterative clustering, RBF dengan metode clustering K-Means dan model MLP (Multi Layer Perceptron) dengan training menggunakan backpropagation. Pada model RBF dengan metode clustering data noniterative clustering mempunyai tingkat error terkecil dengan 6 node pada hidden layer sedangkan RBF dengan metode clustering K-Means mempunyai tingkat
commit to user
model RBF memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dan waktu yang lebih cepat dalam trainingnya.
Dari penelitian di atas bobot neuron model RBF hasil pelatihan langsung digunakan untuk melakukan testing. Namun dengan berkembangnya penelitian, muncul beberapa penelitian yang bertujuan meningkatkan akurasi hasil pelatihan dengan cara optimasi bobot hasil pelatihan jaringan RBF. Salah satu algoritma yang dapat digunakan untuk optimasi tersebut adalah algoritma genetika. Algoritma ini mengadopsi mekanisme evolusi biologis. Salah satu penelitian yang melakukan optimasi pada radial basis function dengan algoritma genetika adalah penelitian yang dilakukan oleh Zhangang, Yanbo, & Cheng (2007). Pada penelitian ini dipaparkan penggabungan antara radial basis function dan algoritma genetika untuk model peramalan. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa AG-RBF mempunyai tingkat akurasi peramalan yang lebih tinggi dan kecepatan konvergensi yang lebih cepat dari pada RBF biasa.
Sementara itu dari beberapa penelitian mengenai algoritma genetika, muncul beberapa modifikasi untuk meningkatkan performa algoritma genetika. Salah satu penelitian mengenai modifikasi algoritma adalah penelitian yang dilakukan oleh Srinivas & Patnaik (1994). pada penelitian ini dipaparkan pendekatan baru untuk penentuan probabilitas crossover dan probabilitas mutasi yang adaptif sesuai dengan fungsi fitness. Pada penelitian ini dilakukan pengujian Adaptive Genetic Algorithm (AGA) untuk penyelesaian TSP, optimasi jaringan syaraf tiruan dan kasus VLSI sirkuit. Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa kemampuan AGA lebih baik dari pada Algorima genetika standar.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa model RBF lebih baik dari pada MLP ditinjau dari tingkat akurasi maupun waktu pelatihan, sementara model RBF yang sudah dimodifikasi juga didapatkan hasil jauh lebih baik. Salah satu modifikasi model RBF adalah dikombinasi dengan algoritma genetika. Oleh karena itu pada penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian mengenai Adaptive Genetic Algorithm Radial Basis Function Neural Network (AGA RBF) Untuk Klasifikasi.
commit to user
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana akurasi Adaptive Genetic Algorithm Radial Basis Function Neural Network (AGA RBF) untuk melakukan klasifikasi tumbuhan iris.
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini hanya menganalisa mengenai Adaptive Genetic Algorithm Radial Basis Function Neural Network (AGA RBF) untuk melakukan klasifikasi dengan studi kasus klasifikasi tumbuhan iris dengan Radial Basis Function Neural Network sebagai pembanding.
2. Jumlah node di hidden layer adalah dari 2 node sampai 10 node.
3. Nilai θ (threshold) adalah 0.5.
4. Nilai k 1 ,k 2 ,k 3 dan k 4 pada AGA berturut-turut adalah 1.0, 0.5, 1.0 dan 0.5.
5. Probabilitas elitism adalah 0.2.
6. Metode crossover pada AGA adalah crossover menengah dengan nilai alpha
dipilih secara random dengan interval [-d. 1+d] dengan d adalah 0.25.
7. Metode mutasi pada AGA adalah mutasi random.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana akurasi Adaptive Genetic Algorithm Radial Basis Function Neural Network (AGA RBF) untuk melakukan klasifikasi tumbuhan iris.
2. Merekomendasikan algoritma yang tepat untuk melakukan klasifikasi tumbuhan iris.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Adaptive Genetic Algorithm yang dikombinasikan dengan Radial Basis Function Neural Network untuk melakukan klasifikasi tumbuhan iris, sehingga dapat direkomendasikan algoritma yang tepat untuk melakukan klasifikasi tumbuhan iris.
commit to user
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari beberapa bab yaitu BAB I PENDAHULUAN, berisi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, berisi mengenai teori yang menjadi dasar dalam penelitian ini, yaitu teori mengenai jaringan syaraf RBF, Algoritma genetika dan dasar teori lain yang mendukung penelitian ini dan penelitian-penelitian terdahulu yang mendukung penelitian yang dilakukan sekarang. BAB III METODE PENELITIAN, berisi tentang metode atau langkah –langkah dalam pemecahan masalah, meliputi penyusunan formula serta algoritma yang digunakan dalam penelitian. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN, Berisi tentang pelatihan dan pengujian algoritma AGA RBF untuk klasifikasi yang diimplementasikan pada sampel data iris yang ada, serta menghitung akurasi algoritma AGA RBF dan dibandingkan dengan algoritma RBF biasa. BAB V PENUTUP, berisi tentang kesimpulan tugas akhir dan saran- saran sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
commit to user
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Jaringan Syaraf Tiruan
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Networks) atau disingkat JST adalah sistem komputasi dimana arsitektur dan operasi diilhami dari pengetahuan tentang sel syaraf biologi di dalam otak. JST dapat digambarkan sebagai model matematis dan komputasi untuk fungsi aproksimasi nonlinear, klasifikasi data, cluster dan regresi non parametric atau sebagai sebuah simulasi dari koleksi model syaraf biologi. (Kristanto, 2004).
Model syaraf ditunjukkan dengan kemampuannya dalam emulasi, analisa, prediksi, dan asosiasi. Berdasarkan kemampuan yang dimiliki, JST dapat digunakan untuk belajar dan menghasilkan aturan atau operasi dari beberapa contoh, untuk menghasilkan output yang sempurna dari contoh atau input yang dimasukkan dan membuat prediksi tentang kemungkinan output yang akan muncul atau menyimpan karakteristik dari input yang disimpan kepadanya.
a. Struktur Jaringan Syaraf Tiruan
Seperti halnya otak manusia, jaringan syaraf juga terdiri dari beberapa neuron dan ada hubungan antara neuron-neuron tersebut. Beberapa neuron akan mentransformasikan informasi yang diterimanya melalui sambungan keluaran menuju neuron-neuron yang lain. Dengan kata lain, neuron / sel syaraf adalah sebuah unit pemroses informasi yang merupakan dasar operasi jaringan syaraf tiruan. Neuron ini dimodelkan dari penyederhanaan sel syaraf manusia yang sebenarnya. Gambar 2.1 menunjukkan contoh suatu neuron.
commit to user
Fungsi Aktivasi
Gambar 2.1 Struktur unit jaringan syaraf tiruan
Gambar 2.1 memperlihatkan struktur unit pengolah jaringan syaraf tiruan. Pada sisi sebelah kiri terlihat beberapa masukan yang menuju ke unit pengolah yang masing-masing datang dari unit yang berbeda x(n). Setiap sambungan mempunyai kekuatan hubungan terkait (bobot) yang disimbolkan dengan w(n). Unit pengolah akan membentuk penjumlahan berbobot dari tiap masukkannya dan menggunakan fungsi ambang nonlinear (fungsi aktivasi) untuk menghitung keluarannya. Hasil perhitungan akan dikirimkan melalui hubungan keluaran seperti tampak pada gambar sisi sebelah kanan (Hermawan, 2006).
b. Fungsi Aktivasi
Operasi dasar dari jaringan syraf tiruan meliputi penjumlahan bobot sinyal input dan menghasilkan suatu output atau fungsi aktivasi. Beberapa fungsi aktivasi yang digunakan dalam jaringan syaraf tiruan adalah (Hermawan, 2006) :
1. Fungsi identitas 𝑓 𝑥 = 𝑥 , untuk semua x
(2.1)
2. Fungsi undak biner (dengan batas ambang) 𝑓𝑥 =
1 untuk x ≥ θ
0 untuk x < 𝜃 (2.2)
3. Fungsi sigmoid 𝑓𝑥 =
1 + exp −px (2.3) 𝑓 ′𝑥 = 𝑝𝑓𝑥 1−𝑓𝑥
(2.4)
commit to user
2.1.2 Jaringan Radial Basis Function
Metode pelatihan jaringan syaraf tiruan terdiri dari 3 macam yaitu, metode pelatihan terbimbing, metode pelatihan tidak terbimbing dan metode pelatihan hibrida. (Hermawan, 2006). Algoritma pelatihan terbimbing memanfaatkan informasi keanggotaan kelas dari setiap contoh pelatihan, dengan informasi ini algoritma pelatihan terbimbing dapat mendeteksi kesalahan klasifikasi pola sebagai umpan balik jaringan sementara algoritma pelatihan tak terbimbing menggunakan contoh yang tidak diklasifikasikan jenisnya, sistem akan dengan sendirinya (heuristacally) memprosesnya. Penggabungan metode pelatihan terbimbing dengan metode pelatihan tak terbimbing disebut metode pelatihan hibrida.
Jaringan Syaraf Tiruan Radial Basis Function merupakan salah satu contoh jaringan syaraf tiruan dengan metode pelatihan hibrida yaitu menggabungkan metode pelatihan terbimbing dan metode pelatihan tak terbimbing.
Seperti halnya jaringan saraf tiruan yang lain, Radial Basis Function (RBF) juga memiliki topologi jaringan. Topologi milik RBF terdiri atas unit lapisan masukan (input), unit lapisan tersembunyi (hidden), dan unit lapisan keluaran (output) (Haryono, 2005). Topologi Jaringan RBF digambarkan sebagai berikut
commit to user
Gambar 2.2 Topologi Jaringan Radial Basis Function
1. Struktur Jaringan Radial Basis Function
1. Input layer
Input layer adalah bagian dari rangkaian jaringan syaraf tiruan radial basis function sebagai masukan untuk melakukan proses pertama. Input layer ini membaca data dari faktor luar yaitu keluaran plant (unit sensor ) dan nilai yang kita kehendaki (referensi) (Kusaedi, 2004).
2. Hidden layer
Pada bagian ini terjadi aktifitas perumusan dalam pembentukan sistem algoritma yang digunakan dalam jaringan RBF. Layer (lapisan) kedua adalah lapisan tersembunyi dari dimensi yang lebih tinggi, yang melayani suatu tujuan pada fungsi basis dan bobotnya dengan nilai yang berbeda.
Algoritma LMS (Least Means Square) merupakan salah satu algoritma yang digunakan untuk pembelajaran atau update bobot jaringan. Algoritma ini banyak digunakan karena kesederhanaan prosesnya dan kemudahan dalam komputasi. Algoritma LMS akan meminimalkan fungsi rata – rata kuadrat error. Secara matematis algoritma LMS dituliskan sebagai berikut (Kusaedi, 2004)
𝑤 𝑘+1 = 𝑤 𝑘 + 𝛼 ∗ 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟 ∗ 𝑣
(2.8)
commit to user
basis. Pada jaringan RBF fungsi basis ini identik dengan dengan Fungsi gaussian yang diformulasikan sebagai berikut (Haryono, 2005) :
3. Output layer
Hasil dari penjumlahan dari perkalian antara bobot dengan fungsi basis akan menghasilkan keluaran yang disebut output layer. Output layer merespon dari jaringan sesuai pola yang diterangkan pada input layer . Transformasi dari ruang masukan ke ruang hidden unit adalah non linier, sedang transformasi dari ruang hidden unit ke ruang keluaran adalah linier (Kusaedi, 2004).
Menurut Haryono (2005), hal yang khusus pada RBF ialah berikut ini
a. Pemrosesan sinyal dari input layer ke hidden layer, sifatnya nonlinier, sedangkan dari hidden layer ke ouput layer sifatnya linear.
b. Pada hidden layer digunakan sebuah fungsi aktivasi yang berbasis radial, misalnya fungsi Gaussian.
c. Pada output unit, sinyal dijumlahkan seperti biasa
d. Sifat jaringannya ialah feed-forward.
2. Strategi Pembelajaran Jaringan Radial Basis Function
Berdasarkan rumus fungsi gaussian dan topologi jaringan dapat di usulkan beberapa strategi pembelajaran pada jaringan RBF ini antara lain (Kusaedi, 2004) :
1. Mengubah posisi center pada fungsi basis dengan lebar fungsi basis dan bobot keluaran setiap fungsi basis diset tetap.
commit to user
basis dan bobot keluaran setiap fungsi basis diset tetap.
3. Mengubah bobot keluaran setiap fungsi basis dengan posisi center pada fungsi basis dan lebar fungsi basis diset tetap.
3. Algoritma Pelatihan Jaringan Radial Basis Function
Jaringan Radial Basis Function memiliki algoritma pelatihan yang agak unik karena terdiri atas cara terbimbing dan tak terbimbing sekaligus. Pelatihan Jaringan Radial Basis Function terdiri atas dua tahap (Haryono, 2005).
1. Tahap Clustering Data
Pada tahap pertama, data di-cluster atau dikelompokkan berdasarkan kedekatan tertentu, misalnya: kedekatan warna antara 2 pixel , kedekatan jarak antar 2 titik, dan seterusnya. Penentuan cluster dengan sendirinya akan menghasilkan center atau pusat dari kelompok data. Jumlah cluster menentukan hidden unit yang dipakai.
Dalam menentukan center, ada dua cara yang bisa dipakai. Cara yang mudah ialah menentukan center secara acak dari kelompok data. Cara yang lebih sulit, tetapi lebih baik ialah dengan menggunakan algoritma clustering. Algoritma yang paling mudah ialah algoritma K-means. Dengan algoritma tersebut, jaringan saraf tiruan mampu mencari sendiri center-center yang terbaik bagi data. Dengan melihat tahap pertama dari pelatihan Jaringan Radial Basis Function tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pada tahap ini, pelatihan bersifat unsupervised.
2. Tahap Pembaharuan Bobot
Jaringan saraf tiruan menyimpan pengetahuannya dalam bobot neuron-neuronnya . Pelatihan tahap berikutnya berfungsi mendapatkan nilai bobot neuron-neuronnya. Pada tahap ini, ada serangkaian perhitungan yang diperlukan untuk memperbaharui bobot. Pada tahap ini juga, dibutuhkan data training beserta targetnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tahap ini bersifat supervised.
commit to user
(Kusaedi, 2004) Langkah 1 : Menentukan fungsi basis yang akan digunakan Langkah 2 : Menentukan center tiap node pada hidden layer Langkah 3 : Menyediakan bobot sebanyak node pada hidden layer Langkah 4 : Inisialisasi bobot w = [0 0 0 . . . . . 0] Set laju konvergensi ( 0 < α <1) , Menentukan maksimal epoch dan MSE maksimal. Langkah 5 : Untuk setiap sinyal latih, selama epoch <= maksimal epoch dan atau MSE <= MSE maksimal, kerjakan langkah 6 – 11. Langkah 6 : Hitung keluaran node pada hidden layer Langkah 7 : Hitung keluaran jaringan RBF Langkah 8 : Hitung kesalahan (error) antara sinyal terhadap (d)
dengan keluaran RBF y. error =d –y
Langkah 9 : Update bobot-bobot tiap fungsi basis dan bobot basis
dengan metode LMS.
Langkah 10 : Hitung MSE = akar dari jumlahan kuadrat error Langkah 11 : epoch = epoch + 1
2.1.3 Algoritma K-Means Clustering
Penghitungan center pada penelitian ini menggunakan K-Means Clustering . Terdapat n data-data training yang memiliki ukuran dimensi d dalam lingkungan R d , yang terbagi dalam k bagian. Permasalahan dalam clustering adalah cara untuk menentukan nilai k yang merupakan jumlah center yang bertujuan untuk meminimumkan mean square distance dari masing-masing data pada center - center yang terdekat. Penghitungan ini sering kali disebut squared-error .
Misalkan n data-data vektor diasumsikan sebagai X j = {x1, x2, x3, …, xN, j=1,2, ..,N} yang akan di pisahkan berdasarkan kemiripannya menjadi k bagian Cl k , k= 1,2, .., K. Clustering akan memproses pengelompokan data-data vektor
commit to user
cluster satu dengan yang lain bersifat disjoint (tidak terdapat interseksi antara cluster ).
Algoritma k-means clustering sebagai berikut: (Ririd, 2008) Menentukan K inisialisasi cluster centers, yaitu M1(1), M2(1), ... , MK(1). Nilai K merupakan jumlah center dimulai dengan nilai terkecil. Nilai center yang diinisialisasi dihitung dengan membagi data menjadi K bagian dan mengambil nilai tengah dari masing-masing bagian.
𝑥 𝑗 −𝑀 𝑘 ( 𝑚) < 𝑥 𝑗 −𝑀 𝑖 ( 𝑚) (2.12) Penghitungan eucledian untuk mencari jarak terdekat masing-masing data pembelajaran terhadap center, pemindahan pengelompokan jika jarak data
terhadap center k lebih kecil daripada jarak ke center i .
2. Penghitungan nilai center baru 𝑀 𝑘 𝑚+1 =
𝑥 𝑗 𝑥 𝑗 ∈𝐶𝑙 𝑘 ( 𝑚)
(2.13)
Penghitungan center yang baru setelah dikelompokkan dengan eucledian.
3. Penghitungan kesalahan dengan Je 𝐽 𝑒 =
(2.14) Dapat dipisah menjadi 2 bagian yaitu :
(2.16) Dengan langkah ini maka dapat dinilai penghitungan center telah konvergen
atau belum.
commit to user
5. Pemeriksaan penghitungan sudah konvergen atau belum Jika telah mendapatkan penghitungan yang konvergen maka dapat ditemukan jumlah cluster yang tepat untuk penghitungan aktivasi.
Berikut adalah flowchart dari K-Means Clustering :
Data pelatihan berupa vector
Inisialisasi jumlah cluster = k dan iterasi maksimum
Pemisahan data range yaitu dengan mengelompokkan data dengan membagi menjadi k bagian dan dan mengambil nilai tengah dari masing-masing bagian
Jarak EUCLEDIAN
Hitung Je iterasi awal
Menghitung center baru
Iterasi = iterasi + 1
Hitung Je iterasi
Je(i+1) == Je Iterasi = max
Y END
Gambar 2.3 Flowchart K-Means Clustering
2.1.4 Algoritma Genetika
Pengertian Algoritma Genetika menurut beberapa sumber :
1. Dalam bukunya, DE Golderg mendefinisikan Algoritma genetika sebagai algoritma pencarian yang didasarkan pada mekanisme seleksi alamiah dan genetika alamiah. (Suyanto, 2005) .
2. Menurut Kusumadewi (2003) , Algoritma genetika adalah algortima pencarian heuristic yang didasarkan atas mekanisme evolusi biologis.
commit to user
mekanisme seleksi alam dan genetika. Algoritma genetika merupakan salah satu algoritma yang sangat tepat digunakan dalam menyelesaikan masalah optimasi kompleks, yang sulit dilakukan oleh metode konvensional (Desiani & Arhami, 2006).
Jadi dapat dikatakan bahwa Algoritma genetika adalah algoritma pencarian yang mengadopsi mekanisme seleksi genetika alamiah. Algoritma genetika pertama kali dikembangkan oleh John Holland dari Universitas Michigan pada tahun 1975. John Holland menyatakan bahwa setiap masalah yang berbentuk adaptasi (alami maupun buatan) dapat diformulasikan ke dalam terminologi genetika. Algoritma genetika adalah simulasi dari proses evolusi Darwin dan operasi genetika atas kromosom. (Kusumadewi, 2003).
Menurut Kusumadewi (2003), misalkan P(generasi) adalah populasi dari suatu generasi, secara sederhana algoritma genetika terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
1. Generasi = 0 (generasi awal).
2. Inisialisasi populasi awal, P(generasi), secara acak.
3. Evaluasi nilai fitness pada setiap individu dalam P(generasi).
4. Kerjakan langkah-langkah berikut hingga generasi mencapai maksimum generasi :
a. Generasi = generasi + 1 (tambah generasi).
b. Seleksi populasi tersebut untuk mendapatkan kandidat induk, P’(generasi)
c. Lakukan crossover pada P’(generasi).
d. Lakukan mutasi pada P’(generasi).
e. Lakukan evaluasi fitness setiap individu pada P’(generasi).
f. Bentuk populasi baru : P(generasi) = {P(generasi-1) yang survive, P’(generasi)}.
commit to user
1. Generasi = 0 (generasi awal). Generasi dapat dikatakan sebagai kumpulan solusi dari masalah yang akan diselesaikan. Pada satu generasi berisi kumpulan solusi yang disebut populasi. Untuk menyatakan solusi tersebut diperlukan pengkodean masalah. Pengkodean adalah suatu teknik untuk menyatakan populasi awal sebagai calon solusi suatu masalah ke dalam suatu kromosom sebagai suatu kunci pokok persoalan ketika
menggunakan algoritma genetika (Desiani & Arhami, 2006). Teknik pengkodean ini meliputi pengkodean gen dan kromosom. Gen merupakan bagian dari kromosom. Satu gen bisanya akan mewakili satu variabel.
Terdapat 3 skema yang paling umum digunakan dalam pengkodean (Suyanto, 2005), yaitu :
a. Real number encoding. Pada skema ini, nilai gen berada dalam interval [0,R], dimana R adalah bilangan real positif dan biasanya R = 1. Real number encoding biasanya digunakan untuk permasalah pencarian rute terpendek, perbaikan bobot JST dan lain sebagainya. Contoh real number encoding adalah gen pada kromosom berisi 0.3 , 0.4 , 0.7 dan seterusnya.
b. Discrete decimal encoding. Setiap gen bisa bernilai satu bilangan bulat dalam interval [0,9].
c. Binary encoding. Setiap gen hanya bernilai 0 atau 1.
2. Inisialisasi populasi awal, P(generasi), secara acak. Ukuran populasi tergantung pada masalah yang akan dipecahkan dan jenis operator genetika yang akan diimplementasikan. Misalnya untuk penyelesaian kasus TSP dengan jumlah lokasi yang sedikit maka ukuran populasinya juga kecil karena solusi yang dimungkinkan juga sedikit, selain itu penentuan ukuran populasi juga tergantung operator genetika yang diimplementasikan misalnya untuk nilai probabilitas mutasi yang kecil maka ukuran populasi dapat diset besar karena dengan ukuran yang besar kemungkinan terjadi mutasi masih ada walaupun dengan probabilitas yang kecil. Setelah ukuran populasi ditentukan, kemudian harus dilakukan inisialisasi terhadap kromosom yang terdapat pada
commit to user
harus tetap memperhatikan domain solusi dan kendala permasalahan yang ada.
3. Evaluasi nilai fitness pada setiap individu dalam P(generasi).
Fungsi fitness merupakan ukuran kinerja suatu individu agar tetap bertahan hidup (Desiani & Arhami, 2006). Pada masalah optimasi, jika solusi yang dicari adalah memaksimalkan sebuah fungsi (dikenal sebagai masalah maksimasi), maka nilai fitness yang digunakan adalah nilai fungsi tersbut, yakni 𝑓 = (dimana 𝑓 adalah nilai fitness). Tetapi jika masalahnya adalah meminimalkan fungsi (masalah minimasi), maka fungsi tidak bisa digunakan secara langsung. Hal ini disebabakan adanya aturan bahwa individu yang memiliki nilai fitness tinggi lebih mampu bertahan hidup pada generasi berikutnya. Oleh karena itu nilai fitness yang bisa digunakan adalah
𝑓=1 (2.17) Yang artinya semakin kecil nilai , semakin besar nilai 𝑓. Tetapi hal ini
menjadi masalah jika bisa bernilai 0, yang mengakibatkan 𝑓 bisa bernilai tak hingga. Untuk mengatasinya, perlu ditambah sebuah bilangan yang dianggap sangat kecil sehingga nilai fitnessnya menjadi :
𝑓=
+𝑎 (2.18) Dimana 𝑎 adalah bilangan yang dianggap sangat kecil dan bervariasi
sesuai dengan masalah yang akan diselesaikan. (Suyanto, 2005). Misalnya untuk kasus meminimalkan fungsi h dengan nilai fungsi h berkisar pada angka 0.01 maka nilai a dapat diset 1x10 -6 , namun jika nilai fungsi h berkisar pada angka yang besar misalnya 100 maka nilai dapat diset 1 dan seterusnya.
4. Kerjakan langkah-langkah berikut hingga generasi mencapai maksimum generasi :
a. Generasi = generasi + 1 (tambah generasi).
b. Seleksi populasi tersebut untuk mendapatkan kandidat induk, P’(generasi) Seleksi akan menentukan individu-individu dari P’ (generasi ) yang akan dipilih untuk dilakukan proses crossover dan mutasi. Salah satu jenis
commit to user
Selection ). Pada metode ini, individu-individu dipetakan dalam suatu segmen garis secara berurutan sedemikian hingga tiap-tiap segmen individu memiliki ukuran yang sama dengan ukuran fitnessnya. Kemudian sebuah bilangan random dibangkitkan dan individu yang memiliki segmen dalam kawasan bilangan random tersebut akan terseleksi. Proses ini akan diulang hingga diperoleh sejumlah individu yang diharapkan.
Contoh metode Roulette Wheel Selection dapat dilihat pada Tabel 2.1. Misalnya ada 11 individu dalam populasi. Individu pertama memiliki nilai fitness terbesar yaitu 2.0, individu kedua memiliki nilai fitness 1.8 dan seterusnya. Kemudian dihitung probablilitas seleksi dengan cara membagi nilai fitness dengan jumlah total fitness. Misalnya untuk probabilitas seleksi individu pertama, diperoleh dari perhitungan sebagai berikut : Total fitness = 2.0 + 1.8 + 1.6 + 1.4 + 1.2 + 1.0 + 0.8 + 0.6 + 0.4 + 0.2 = 11
𝑃𝑟𝑜𝑏𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 = 2.0 11 = 0.18 Setelah semua probabilitas dihitung maka ditentukan kumulatif
probabilitasnya untuk mengetahui ukuran segmen individu tersebut. Misalnya untuk individu kedua, segmen tersebut diperoleh dengan cara sebagai berikut Segmen individu 2 = kumulatif sebelumnya + probabilitas seleksi individu 2 Segmen individu 2 = 0.18 + 0.16 = 0.32
Pembagian segmen pada Roulette Wheel Selection dapat dilihat pada Gambar 2.4. Setelah semua segmen dipetakan, kemudian dibangkitkan bilangan random antara 0-1 sebanyak individu yang akan diseleksi, misalnya akan menyeleksi 6 individu maka dibangkitkan 6 bilangan random. Sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 2.4, misalnya bilangan random pertama adalah 0.8 maka individu yang terpilih adalah individu ke-6 karena nilai 0.8 berada pada segmen individu ke-6.
commit to user
Individu ke-
Gambar 2.4 Seleksi roda roullet
Setelah dilakukan seleksi, maka individu-individu yang terpilih adalah: 1, 2, 3, 5, 6, 9.
c. Lakukan crossover pada P’(generasi). Crossover adalah memindah-silangkan dua buah kromosom untuk mendapatkan kromosom baru. Crossover dilakukan dengan suatu probabilitas tertentu p c . Porbabilitas crossover (p c ) adalah persentase banyaknya populasi yang mengalami crossover, semakin tinggi p c maka semakin banyak individu yang mengalami crossover. Pada umumnya , p c diset mendekati 1, misalnya 0.8. Probabilitas crossover merupakan Adapun nilai p c ditetapkan di awal dan tidak mengalamai perubahan. Salah satu jenis crossover adalah Crossover menengah. Crossover menengah merupakan metode crossover yang hanya dapat digunakan untuk variabel real. Nilai variabel anak dipilih di sekitar dan antara nilai-nilai variabel induk. anak dihasilkan menurut aturan sebagai berikut:
Anak = induk 1 + alpha (induk 2 – induk 1) Dengan alpha adalah faktor skala yang dipilih secara random pada
interval [-d,1+d], biasanya d = 0,25. tiap-tiap variabel pada anak merupakan hasil crossover variabel-variabel menurut aturan di atas dengan nilai alpha dipilih ulang untuk tiap variabel.
commit to user
Induk 1 : 12 25 5 Induk 2 ; 123 4 34 Misalkan nilai alpha yang terpilih adalah; Sampel 1 : 0.5 1.1 -0,1 Sample 2 : 0.1 0.8 0.5 Kromosom baru yang terbentuk: Anak 1 : 67.5 1.9 2.1 Anak 2 : 23.1 8.2 19.5 Crossover disebut juga perkawinan atau penyilangan dua individu
untuk menghasilkan anak. Dari aturan di atas dapat digambarkan misalnya induk 1 adalah ayah dan induk 2 adalah ibu maka aturan tersebut menggambarkan bahwa ayah memiliki pengaruh yang lebih besar dari pada ibu. Pada kondisi lain sesuai dengan proses perkawinan pada manusia dapat juga terjadi ibu lebih dominan, sehingga dari aturan di atas dapat berubah menjadi sebagai berikut
Anak = induk 2 + alpha (induk 1 – induk 2)
Namun untuk aturan crossver menengah di sini digunakan aturan pertama dengan ayah lebih dominan dari pada ibu.
d. Lakukan mutasi pada P’(generasi). Mutasi berperan untuk menggantikan gen yang hilang dari populasi akibat proses seleksi yang memungkinkan munculnya kembali gen yang tidak muncul pada inisialisasi populasi. Proses mutasi ditentukan oleh probabiltias mutasi (p m ). Probabilitas mutasi (p m ) didefinisikan sebagai presentasi dari jumlah total gen pada populasi yang mengalami mutasi. Adapun nilai p m ditetapkan di awal dan tidak mengalamai perubahan.
Salah satu contoh mutasi adalah dengan mengubah gen yang dimutasi dengan bilangan random antara nilai tertinggi dan terendah gen dari kromosom yang dimutasi. (F.Herrera, Lozano, & Vergeday, 1998). Contoh mutasi adalah sebagai berikut :
commit to user
Anak = 23.1 8.2 14.5 Dari contoh tersebut gen ke-3 dengan nilai 19.5 terkena mutasi. Nilai
mutasi diperoleh dengan membangkitkan bilangan random dari 8.2 (nilai terendah kromosom) sampai 23.1 misalnya diperoleh 14.5, maka nilai 14.5 (nilai tertinggi kromosom) tersebut menggantikan gen yang termutasi tersebut.
e. Lakukan evaluasi fitness setiap individu pada P’(generasi).
f. Bentuk populasi baru : P(generasi) = {P(generasi-1) yang survive, P’(generasi)}.
P(generasi-1) yang survive diperoleh dengan proses elitism. Proses elitism adalah proses penyalinan beberapa kromosom terbaik dari P(Generasi - 1), kemudian dimasukkan pada P(Generasi) untuk menggantikan kromosom pada P’(Generasi) yang buruk. Dimana P’(Generasi) adalah populasi hasil proses crossover dan mutasi.
2.1.5 Adaptive Genetic Algorithm (AGA)
Adaptive Genetic Algorithm pada dasarnya sama dengan algoritma genetika, perbedaannya adalah pada probabilitas crossover dan mutasi yang adaptif sehingga diperlukan Update probabilitas crossover dan probailitas mutasi setiap satu generasi sedangkan untuk proses yang lainnya sama dengan algoritma genetika biasa. Secara sederhana algoritma genetika terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
1. Generasi = 0 (generasi awal).
2. Inisialisasi populasi awal, P(generasi), secara acak.
3. Evaluasi nilai fitness pada setiap individu dalam P(generasi).
4. Kerjakan langkah-langkah berikut hingga generasi mencapai maksimum generasi :
a. Generasi = generasi + 1 (tambah generasi).
b. Seleksi populasi tersebut untuk mendapatkan kandidat induk, P’(generasi)
commit to user
d. Lakukan mutasi pada P’(generasi).
e. Lakukan evaluasi fitness setiap individu pada P’(generasi).
f. Bentuk populasi baru : P(generasi) = {P(generasi-1) yang survive, P’(generasi)}.
g. Update probabilitas crossover dan probailitas mutasi dengan rumus : (Srinivas & Patnaik, 1994)
Dengan batasan
Dengan k 3 ,k 4 ≤ 1.0
2.2 Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian mengenai Radial Basis Function diantaranya adalah penelitian yang dilakukana oleh Venkatesan & Anitha (2006). Pada penelitiannya Venkatesan & Anitha (2006) memaparkan penggunaan model RBF (radial basis function) untuk melakukan diagnosis penyakit diabetes mellitus. Arsitekur jaringan yang dipakai menggunakan satu hidden layer dengan penentuan center menggunakan metode clustering K-Means. Pada penelitian tersebut dilakukan perbandingan antara metode RBF (radial basis function), logistic regression dan MLP (Multi Layer Perceptron ).
Venkatesan & Anitha (2006) menggunakan database test dan database eksternal untuk pengujian. Pada database test perancangan model RBF yang digunakan menggunakan center sebanyak 10 buah dan untuk MLP digunakan 4 node di hidden layer. Adapun hasil akurasi ketiga model tersebut dengan data dari database test adalah 73.7 % untuk model LOGISTIK, 91.3 % untuk model MLP dan untuk model RBF mencapai 97.0 %.
Sedangkan untuk database external perancangan model model RBF yang digunakan menggunakan center sebanyak 8 buah dan untuk MLP digunakan 3 node
commit to user
database external adalah 77.0 % untuk model LOGISTIK, 94.3 % untuk model MLP dan untuk model RBF mencapai 98.0 %.
Dari hasil penelitian tersebut, Venkatesan & Anitha (2006) menyimpulkan bahwa diagnosis menggunakan RBF (radial basis function) lebih baik dari pada menggunakan logistic regression dan MLP (Multi Layer Perceptron) dengan tingkat akurasi mencapai 98%. Selain itu waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pelatihan pada jaringan RBF lebih cepat dari pada MLP. Namun jika dibandingkan dengan metode logistic, model RBF dan MLP membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan training. (Venkatesan & Anitha, 2006).
Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Jayawardena & Fernando (1998) yang memaparkan perbandingan antara penggunanan model RBF dengan metode clustering data noniterative clustering, RBF dengan metode clustering K-Means dan model MLP (Multi Layer Perceptron) dengan training menggunakan backpropagation. Pada model RBF dengan metode clustering data noniterative clustering mempunyai tingkat error terkecil dengan 6 node pada hidden layer sedangkan RBF dengan metode clustering K-Means mempunyai tingkat error terkecil dengan 11 node pada hidden layer. Jika dibandingkan dengan MLP, model RBF memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dan waktu yang lebih cepat dalam training nya.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Haryono (2005) memaparkan penggunaan RBF untuk pengenalan huruf abjad dari A sampai Z. Arsitektur JST RBF pada hidden layer digunakan menggunkan fungsi Gaussian sebagai berikut
𝜃 𝑟 = 𝑒𝑥𝑝 −
(2.23) Dimana 𝜎 adalah nilai spread yang didefinisikan sebagai berikut : 𝜎=
(2.24) Sementara untuk menentukan bobot di hidden layer digunakan metode
pseudoinvers . Untuk metode clustering data yang digunakan adalah Randomize
commit to user
pengenalan huruf abjad mencapai 97 %. (Haryono, 2005) Penelitian lain tentang penggunan JST RBF adalah penelitian yang dilakukan oleh Kusaedi. Rancangan JST RBF yang digunakan oleh Kusaedi (2004) dalam Perancangan Kendali Kecepatan Motor DC pada penelitian tersebut menggunakan fungsi Gaussian sebagai berikut :
𝑐−𝑥 𝑗 2
2 𝜎 2 (2.25) Untuk update bobot basis digunakan algoritma LMS yang dirumuskan
sebagai berikut : 𝑤 𝑘+1 = 𝑤 𝑘 + 𝛼 ∗ 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟 ∗ 𝑣
(2.26) Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pelatihan (penggunaan bobot) memberikan hasil yang lebih bagus, walaupun sering terjadi overshoot terlebih dahulu. (Kusaedi, 2004)
Sementara itu Zhangang, Yanbo, & Cheng (2007) mengusulkan sebuah metode pelatihan JST RBF yaitu dengan dikombinasikan dengan algoritma genetika. Topologi JST RBF nya adalah sebagai berikut :
W 1,m,
Input Layer
Hidden Layer
Output Layer
Gambar 2.5 Topologi JST RBF
Pemetaan dari data input sampai ke layer output digunakan rumus sebagai berikut :
commit to user
Radial basis function didefinisikan sebagai fungsi Gaussian sebagai berikut :
𝜑 𝑟 = 𝑒𝑥𝑝 −𝑟 2 /2 𝜎 2 𝜎 > 0, 𝑟 ≥ 0
(2.28) Kromosom dikodekan dalam bentuk string real. Adapun kromosomnya adalah sebagai berikut :
The right to export unit The basic center position The variance of RBF
A chromosome string
Order by number of node in hidden layer
Gambar 2.6 Kromosom GA-RBF
Dari Gambar 2.6 dapat diketahui bahwa kromosom merupakan representasi dari export unit, posisi center dan variance RBF. Sementara fungsi fitness
didefiniskan sebagai 1
𝑀𝑆𝐸
. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa AG-RBF
mempunyai tingkat akurasi peramalan yang lebih tinggi dan kecepatan konvergensi yang lebih cepat dari pada RBF biasa. (Zhangang, Yanbo, & Cheng, 2007).
Senada dengan penelitian Zhangang, Yanbo, & Cheng (2007), Ahmed, Nordin, Sulaiman, & Fatimah (2009) membahas mengenai pelatihan jaringan syaraf tiruan MLP (Multi Layer Perceptron) dengan 1 hidden layer yang dioptimasi menggunakan algoritma genetika. Model MLP yang digunakan adalah back- propagation dengan algoritma training Lavenberg Marquant (LM). Adapun flowchart ANN-GA adalah sebagai berikut :
commit to user
Translate parameter into NN
Evaluate NN performance
Input Layer
Hidden Layer
Output Layer
NN prediction part
Stop
Fitness evaluation
Selection
Extract the cromoshome from the current population
Crossover
Select two chromosome randomly from intermediate
population
ANN parameters design
No
Mutation
Perform mutation with
probability p m
Yes
New Population
Initial Population
Optimasi
Gambar 2.7 Flowchart ANN-AG
Mean Square Error (MSE), Root Mean Square Error (RMSE), dan Determination Coefficients (R²) digunakan untuk mengevaluasi performa ANN-GA. Semakin kecil MSE dan RMSE serta nilai R² mendekati 1 maka ANN-AG menunjukan performa yang bagus dan ketepatan akurasi yang tinggi. Adapun rumus
untuk menghitung MSE, RMSE dan R 2 adalah sebagai berikut :
𝑀𝑆𝐸 =
𝑌 𝑘 −𝑇 𝑘
𝑇 𝑘=1
(2.29)
𝑅𝑀𝑆𝐸 =
𝑌 𝑘 −𝑇 𝑘
𝑇 𝑘=1
(2.30)
𝑅 2 =1 −
𝑌 𝑘 −𝑇 𝑘 𝑇 𝑘=1
𝑌 𝑘 −𝑌 𝑘 𝑇 𝑘=1 (2.31)
commit to user
MSE dan RMSE yang lebih sedikit serta nilai R 2 yang lebih besar daripada model
ANN dengan trial-error procedure. (Ahmed, Nordin, Sulaiman, & Fatimah, 2009)