Pengembangan Program dan Media Pembelaja

Pengembangan Program dan Media Pembelajaran untuk Literasi Media Anakanak
Oleh: A. A. S. Mirah Mahaswari J. M., Susanti Nurul Amri, Maulin Ni’am

Karya ini berjudul Pengembangan Program dan Media Pembelajaran untuk
Literasi Media Anak-anak. Fokus dari karya ini ditujukan untuk menumbuhkan
kesadaran (awareness) pada guru dan anak usia dini terhadap tayangan televisi
melalui pembelajaran literasi media. Tujuan tersebut kemudian diturunkan dalam
beberapa tujuan, yakni untuk mengenalkan jenis dan isi tayangan televisi Indonesia,
untuk membangun kemampuan memilih dan memilah (selecting and mapping)
program tontonan, untuk membangun kemandirian guru dan anak-anak dalam
menerapkan program literasi media dalam kehidupan sehari-hari. Secara
keseluruhan, pencapaian program ini diharapkan mampu membentuk sikap kritis
guru dan anak usia dini berinteraksi dengan media massa, khususnya televisi.
Metode yang kami gunakan dalam program ini meliputi lima tahapan penting yakni:
pematangan program, pengumpulan data, pengembangan pesan, pembuatan media
ajar, praktik pembelajaran literasi media. Program ini pun menghasilkan bentuk fisik
seperti buku ajar literasi media untuk anak, tayangan animasi, dan aktivitas
pembelajaran lainnya. Kata kunci: literasi media, televisi, pendidikan anak usia dini.

A. Pendahuluan
Media massa hampir tak bisa dielakkan dari kehidupan masyarakat modern.

Aktivitas menonton televisi tidak hanya memberi pengalaman tentang sebuah praktik
menonton, akan tetapi juga memberi referensi atas peristiwa yang tidak kita alami
sendiri atau yang disebut sebagai pengalaman kedua, ketiga dan seterusnya.
Keberadaan televisi sebagai sumber informasi maupun sarana hiburan mampu
menawarkan realitas media yang seringkali bias dari realitas sosial.
Sayangnya industri televisi yang semakin hari semakin condong pada
kekuasaan modal, perlahan berubah menjadi sesuatu yang mengganggu. Alih-alih
menjalankan fungsi edukasi, televisi justru mengepung audiens terlebih anak dengan
pesan-pesan negatif. Terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia tahun 2002 menunjukkan bahwa 60% acara televisi
yang dipilih anak adalah bukan tayangan untuk anak.

Minimnya tayangan ‘aman’ untuk anak ini tentu membawa dampak sosial
bagi pertumbuhan anak-anak. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa media
massa sangat efektif menularkan virus kekerasan, kejahatan, pergaulan bebas, serta
perilaku menyimpang melalui tayangan/isi pesannya. Sebuah survei mengatakan
bahwa 60% anak-anak seringkali meniru perilaku yang mereka lihat di televisi
(Liebert, Neale dan Davidson, 1973). Fakta tersebut menguatkan asumsi-asumsi teori
kultivasi yang diperkenalkan Gerbner. Bahwa tayangan televisi mempunyai kekuatan
untuk membentuk apa yang disebut budaya televisi bagi pemirsanya (Griffin, 2003:

380). Untuk kasus di Indonesia saja, tentu kita masih ingat pemberitaan beberapa
waktu lalu tentang dampak tayangan smackdown yang merenggut nyawa. Meskipun
tak sedikit penelitian yang menyanggah, tapi semuanya sepakat bahwa terpaan media
(media exposure) disadari dapat membentuk sikap, persepsi, dan perilaku audiens,
khususnya anak dan remaja.
Setidaknya ada tiga problem utama yang berkaitan dengan interaksi anak dan
media televisi. Pertama, intervensi media terhadap kehidupan anak akan makin
bertambah besar dengan intensitas yang semakin tinggi. Kedua, kehadiran orangtua
dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari akan semakin berkurang akibat pola
hidup masyarakat modern yang menuntut aktivitas di luar rumah. Ketiga, persaingan
bisnis yang makin ketat antar media dalam merebut perhatian khalayak, termasuk
anak-anak, telah mengabaikan tanggungjawab sosial, moral, dan etika, serta
pelanggaran hak-hak konsumen (YKAI, 2002). Sementara negara belum cukup
mampu mengatasi problem penyiaran tersebut. Untuk itulah diperlukan upaya
penumbuhan kesadaran media (media literacy) yang menekankan pada pendekatan
audiens. Ketika audiens memiliki kesadaran tentang media atau disebut audiens aktif,
setidaknya mereka bisa meminimalisir efek negatif dari media.
Terdapat banyak definisi literasi media (media literacy) yang ditawarkan,
namun secara sederhana media literasi dapat dipahami sebagai kemampuan
menyaring dan mengalisis pesan yang menginformasikan, menawarkan, dan

membujuk kita tiap hari. Media literasi mutlak diperlukan sebagai kemampuan dasar
berpikir kritis untuk hidup di abad informasi. Tiap hari kita diterpa ribuan informasi
dan kita harus selektif dalam memilih informasi mana yang akan kita respon,
tayangan mana yang akan kita tonton, dan mengapa kita menonton. Kemampuan ini
tidak hanya penting untuk dimiliki oleh anak yang rasionalitasnya masih rendah,
tetapi juga oleh orang dewasa, khususnya orang tua dan guru sebagai significant
other.
Berbagai upaya untuk menumbuhkembangkan budaya literasi media telah
dilakukan. Mulai dari penelitian, seminar, Aksi Hari Tanpa TV hingga penerbitan

media anak sebagaimana yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak
(YPMA). Khusus untuk Hari Tanpa TV sendiri, diperingati setiap 20 Juli sejak tiga
tahun yang lalu. Lembaga survei AC Nielsen mencatat bahwa selalu terjadi
penurunan dalam hal kepemirsaan di Hari Tanpa TV. Selain YPMA ada juga Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia yang melakukan serangkaian pelatihan dan workshop
untuk mengembangkan modul pembelajaran media bagi anak SD yang didanai oleh
UNICEF.
Dalam upaya penyebarluasan literasi media, mahasiswa ilmu komunikasi
memiliki posisi yang strategis. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa memiliki
tanggung jawab moral untuk berkontribusi kepada masyarakat dalam penyelesaian

problem sosial. Sementara ilmu komunikasi merupakan disiplin ilmu yang secara
ontologis mengkaji media beserta seluruh konsep yang melingkupinya. Oleh
karenanya mahasiswa ilmu komunikasi diharapkan mau dan mampu berperan dalam
pendidikan literasi media sebagai bentuk kontribusi kaum intelektual kepada
masyarakat atas problem sosial.
B. Tujuan
Fokus dari karya ini ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran (awareness)
pada guru dan anak usia dini terhadap tayangan televisi melalui pembelajaran literasi
media. Tujuan tersebut kemudian diturunkan dalam beberapa tujuan berikut:
1. Untuk mengenalkan jenis dan isi tayangan televisi Indonesia
2. Untuk membangun kemampuan memilih dan memilah (selecting and
mapping) program tontonan
3. Untuk membangun kemandirian guru dan anak-anak dalam menerapkan
program literasi media dalam kehidupan sehari-hari
Secara keseluruhan, pencapaian program ini diharapkan mampu membentuk
sikap kritis guru dan anak usia dini berinteraksi dengan media massa, khususnya
televisi.
C. Metode Penelitian
Untuk mencapai keberhasilan komunikasi diperlukan perencanaan strategis
yang meliputi :



Analisis sasaran, yaitu dengan menggali informasi mendalam tentang
karakteristik yang dimiliki kelompok sasaran. Informasi diperoleh dengan
cara wawancara. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui seberapa







jauh pemahaman guru dan anak tentang media literasi, pola menonton televisi,
dan harapan mereka terhadap tayangan.
Pengembangan pesan, yaitu penyusunan pesan yang akan disampaikan yang
sesuai dengan karakteristik sasaran. Hasil dari analisis sasaran digunakan
untuk mencari insight tentang tayangan televisi. Penggunaan bahasa,
pemilihan warna, dan visual menjadi perhatian penting. Bentuk pesan disusun
dengan kalimat persuasif, menggunakan pendekatan emosional, tentang
harapan atas tayangan.

Metode komunikasi, yaitu pemilihan dengan cara bagaimana pesan yang
telah tersusun akan disampaikan, menggunakan saluran komunikasi apa saja,
serta alat bantu apa saja yang perlu disiapkan. Beberapa metode yang akan
digunakan antara lain sharing, pemutaran cuplikan tayangan TV, permainan
atraktif.
Pelaksanaan, yaitu penerapan dari rencana strategis yang telah disiapkan
sebelumnya.

Secara skematik, berikut adalah alur kerja program literasi media yang kami
lakukan:

Permohonan Ijin
Pematangan Program
Observasi Lapangan

Kuesioner Anak

Interview Orang Tua

Analisis Data

Pengembangan Pesan
Pembuatan Media Ajar
Sosialisasi Program dan Diskusi Terarah
Praktik Pembelajaran Literasi Media di Kelas

Evaluasi
Gambar 1. Alur Kerja Program
Program literasi media ini dilaksanakan selama 5 (lima) bulan. Dimulai dari
minggu kedua November 2008 hingga akhir bulan Maret 2009. Dilaksanakan di 2
lembaga pendidikan anak usia dini yaitu TK ABA Sumberan dan Sekolahku My
School. Sasaran utama dalam kampanye ini adalah pengajar dan anak-anak di dua
lembaga pendidikan anak usia dini tersebut.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pematangan program
Pematangan program telah dilakukan oleh tim dengan dosen pembimbing di
Ruang Sidang Jurusan Ilmu Komunikasi pada tanggal 28 November 2008. Diskusi ini
menghasilkan lima tahapan program yang masing-masing tahapnya terdiri dari
beberapa kegiatan. Tahap pertama, identifikasi masalah tentang bagaimana anak
menggunakan dan atau menonton TV yang meliputi apa, kapan, bagaimana, dengan
siapa,dan sikap anak terhadap tayangan yang ditonton. Tahap kedua, merancang

kuesioner dan interview guide, mengumpulkan data responden, dan menentukan
sampel. Tahap ketiga, terjun ke lapangan dan analisis data. Tahap keempat,
pengembangan program dengan membuat bahan ajar dalam berbagai metode, misal
story-telling, permainan, dan kreativitas. Selain itu, kami juga perlu mengamati minat
anak (ikon/tokoh dalam TV favorit, gambar, suara) untuk pembuatan bahan ajar
tersebut. Tahap kelima, pembuatan CD interaktif. Pada kedua tahapan terakhir kami
juga merencanakan untuk melibatkan mahasiswa komunikasi lainnya dalam
mendukung kinerja tim sebagai divisi kreatif (layouter, graphic designer, ilustrator,
dll.)
2. Pengumpulan Data
Penggalian data untuk siswa sudah kami lakukan tanggal 15 s.d. 24 Desember
2008. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu observasi langsung,
mengisi kuesioner sesuai jawaban anak dan mewawancarai orang tua.
Penggalian data ini dimaksudkan untuk mengetahui 3 hal. Pertama, tingkat
pengetahuan umum anak tentang media televisi yaitu dengan menanyakan nama
stasiun TV yang mereka ketahui dan membedakan jenis tayangan. Kedua, kebiasaan
bermedia yang meliputi waktu menonton, siapa yang mendampingi, tayangan yang

disukai atau tidak disukai beserta alasannya. Ketiga, sikap menonton yakni dengan
menanyakan apa yang mereka lakukan saat mereka tidak memahami tayangan serta

reaksi saat mereka menonton tayangan kategori dewasa, contoh adegan ciuman.
Dari jawaban kuesioner yang terkumpul, bisa ditarik kesimpulan awal bahwa:
1. Anak di TK ABA cenderung mengenal nama tayangan bukan nama
stasiun TV. Sedangkan anak di TK SMS sudah mampu membedakan
stasiun TV.
2. Anak di kedua TK umumnya menonton TV di pagi hari sebelum
berangkat sekolah dan sepulang sekolah hingga sore. Bagi anak di TK
SMS mereka jarang menonton TV di sore hari karena mengikuti program
Day Care. Namun tak jarang mereka menonton tayangan Si Unyil di
sekolah sambil menunggu kegiatan berikutnya.
3. Tayangan yang sering diingat oleh anak-anak di kedua TK, hasilnya
cenderung sama antara lain Cita-Citaku, Si Bolang, Jalan Sesama,
Ultraman Cosmos, Naruto, Laptop Si Unyil, Dora. Namun beberapa anak
di TK SMS sudah mengenal tayangan anak dalam bentuk CD/DVD.
Selain itu, kami juga mewawancarai beberapa orang tua untuk memperoleh
gambaran tentang keseharian anak di rumah serta pola menonton TV dalam keluarga.
Beberapa contoh pertanyaan yang diajukan antara lain:
1. Apakah mereka meluangkan waktu untuk mendampingi anaknya
menonton TV?
2. Apakah mereka mendiskusikan tayangan yang anak tonton?

3. Bagaimana pendapat orang tua tentang manfaat TV sebagai media
pembelajaran?
4. Apa usaha yang dilakukan untuk mendidik anak dalam menonton TV?
5. Apa kritik Anda terhadap tayangan TV khususnya yang ditonton anak?
Beberapa temuan dari wawancara dengan orang tua antara lain:
a.
Sebagian besar orang tua tidak meluangkan waktu secara khusus
untuk mendampingi anak menonton TV, sehingga mereka jarang
menanyakan atau mendiskusikan apa yang ditonton anak. Hal ini
disebabkan oleh kesibukan orang tua yang harus bekerja atau kuliah S2.
b.
Orang tua menyadari bahwa pada dasarnya TV bisa dijadikan media
pembelajaran, karena beberapa tayangan berguna untuk menambah
pengetahuan baru.
c.
Orang tua menyayangkan adanya tayangan-tayangan bergenre kartun
tetapi sebenarnya tidak sesuai untuk anak. Di lain pihak, tayangantayangan yang bagus untuk anak justru ditayangkan pagi hari saat anak
harus berangkat ke sekolah.

d.


Tidak semua orang tua memiliki upaya khusus untuk mengatur pola
anak menonton TV. Selain karena dipandang tidak perlu, atau tidak terlalu
penting dilakukan, sebagian orang tua juga berpendapat bahwa TV hanya
sebuah alat hiburan. Bagi sebagian yang lain terkadang TV justru menjadi
pengalih perhatian ketika orang tua sibuk dengan pekerjaannya dan tak
ingin diganggu anak.
Berdasar pada temuan-temuan tersebut, teridentifikasi beberapa poin penting
yang menjadi catatan terkait dengan kebiasaan anak menonton TV antara lain:
1. Anak-anak seringkali menonton TV begitu bangun tidur di pagi hari.
Karena memang ada acara TV yang disukai yaitu Dora, SpongeBob
(GlobalTV), Land Before Time (Anteve). Permasalahannya tidak pada isi
tayangan tetapi justru pada aktivitas menonton di pagi hari yang
menyebabkan mereka malas mandi dan berangkat sekolah. Cerita berjudul
“Terlambat ke Sekolah” menjadi cara tim menyampaikan pesan tersebut.
2. Ada kecenderungan anak-anak untuk meniru adegan dalam tayangan TV,
baik gerak tubuh maupun suara tokoh. Seperti misalnya Osa, sebagaimana
dijelaskan Miss Riri, kepala Sekolahku My School. Ketika Osa sedang
suka tayangan tertentu, dia akan menirukan gaya suara tokoh tertentu
untuk berbicara selama berhari-hari. Tidak jauh beda dengan yang terjadi
di TK ABA Sumberan. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner, tayangan
favorit anak-anak TK ABA adalah Naruto, yang banyak mengandung
adegan kekerasan. Kami menyampaikan pesan penting ini dalam cerita
“Di-Kamehame”
3. Anak-anak TK ABA pada kenyataannya kurang mengenal tayangan
alternatif selain TV, seperti CD/DVD. Meskipun sebagian besar anak-anak
di TK SMS sudah mengenal media alternatif ini. Kesadaran orang tua
untuk membelikan CD/DVD juga turut berperan. Ini perlu ditularkan
kepada anak-anak di TK ABA. Kegelisahan ini digambarkan oleh tim
dalam cerita berjudul “Menonton VCD”.
4. Pemahaman anak-anak TK ABA tentang proses produksi sebuah tayangan
masih kurang. Bahwa tayangan TV adalah rekaan, juga belum sepenuhnya
diketahui. Kemampuan membedakan antara realitas sosial dan realitas
media sesungguhnya merupakan salah satu bagian dari kemampuan
literasi media. Hal inilah yang berusaha ditangkap tim dan disampaikan
dalam cerita berjudul “Bertemu Si Unyil”.
5. Anak-anak cenderung diam saat mereka tidak memahami tayangan yang
sedang mereka tonton. Hal ini membuat kami harus menyampaikan bahwa
sebaiknya mereka bertanya pada orang tua, kakak, ataupun guru jika

mereka kesulitan. Alternatif lain adalah mencari jawaban atas
ketidaktahuan mereka dengan membaca buku ataupun ensiklopedia. Pesan
ini kami sampaikan dalam cerita berjudul “Gerhana Bulan”.
6. Baik anak-anak di TK SMS maupun TK ABA cenderung ketagihan
menikmati acara TV. Mereka dapat menonton TV tanpa henti dari siang
sampai petang. Mereka menjadi malas beranjak dari depan TV. Hal ini
tentu menyebabkan mereka lupa akan kegiatan lain yang harus mereka
lakukan, seperti: mandi, makan, dan belajar. Fenomena ini kami potret
dalam cerita berjudul “Lupa Tugas Sekolah”.
7. Masih banyak anak-anak di TK SMS yang terbiasa menghabiskan
waktunya di depan TV. Mereka kurang memiliki alternatif kegiatan lain
untuk mengisi waktu. Padahal banyak kegiatan seru lainnya yang dapat
mereka lakukan selain menonton TV. Salah satunya adalah bermain
dengan teman-teman di luar rumah. Hal ini menjadi inti cerita “Berlibur
ke Rumah Nenek”
3. Pengembangan Pesan
Bentuk media :
a. Buku cerita bergambar
Buku cerita bergambar ini berjudul 7 Cerita Rimo&Tevi. Sesuai judulnya,
terdapat tujuh kumpulan cerita dalam buku bergambar ini. Tujuh cerita tersebut
merepresentasikan tujuh pesan yang kami angkat dalam pembahasan sebelumnya.
Tokoh utama yang kami munculkan dalam cerita ini adalah Dito. Ia adalah anak TK
yang berasal dari keluarga menengah, anak tunggal, suka menonton TV, dan jarang
bermain dengan teman sebayanya di luar rumah.
Karakteristik buku cerita ini adalah sebagai berikut:
Ukuran 23cm x 18 cm;
Warna: full colour;
Jumlah halaman: 109 halaman + i-iii;
Jenis kertas: Ivory 210gr (cover) dan HVS 100gr (isi);
Kategori: Seri Literasi Media Anak;
Segmen pembaca: anak usia lima tahun ke atas
Rimo dan Tevi kami angkat sebagai ikon dalam buku cerita bergambar ini.
Rimo adalah representasi dari remote dan Tevi adalah representasi dari televisi.
Remote dan televisi adalah dua objek yang mengawali kegelisahan kami tentang
dunia literasi media ini. Dalam setiap akhir cerita, Rimo dan Tevi selalu tampil untuk
memberikan nilai moral dalam cerita tersebut. Berikut adalah gambar Rimo dan Tevi.

Gambar 5. Ikon program Rimo&Tevi
b. Tayangan animasi
Tayangan ini merupakan rangkuman 7 pesan yang telah termuat dalam buku
cerita bergambar. Tayangan ini merupakan bentuk alternatif media ajar lain disamping
buku cerita. Tayangan ini berdurasi 2 menit 48 detik dan berformat animasi. Animasi
ini digarap dengan menggunakan software Adobe Flash Professional.
4. Pembuatan Media Ajar
Pada tahapan ini kami mulai melibatkan 3 orang sebagai ilustrator dan
seorang animator. Kami mengawali pembuatan media ajar dengan penyusunan narasi
untuk ketujuh pesan yang telah dirumuskan sebelumnya. Selanjutnya kami berdiskusi
dengan ilustrator untuk membahas karakter tokoh, ide gambar, lay out, dan
pewarnaan. Proses produksi ini berlangsung selama sebulan terhitung dari 15 Januari
s.d. 16 Februari 2009.
Tahapan berikutnya adalah membuat tayangan animasi Rimo dan Tevi. Kami
mengawalinya dengan membuat skenario cerita yang diturunkan dari tujuh pesan
cerita bergambar. Tokoh yang ditampilkan dalam tayangan ini adalah Rimo dan Tevi.
Alasan pembuatan tayangan animasi ini adalah adanya nilai lebih yang dimiliki media
audio visual yakni gambar yang bisa bergerak dan bersuara.
Kendala yang dihadapi oleh tim adalah adanya keterbatasan waktu dan
peralatan, serta minimnya SDM. Hal ini membuat tayangan yang kami hasilkan
masih jauh dari kesempurnaan.
Selain buku dan tayangan animasi tersebut, kami juga merancang aktivitas
pendukung dalam bentuk mewarnai logo stasiun TV, tracing ikon Rimo dan Tevi,
Cross word tayangan baik dan buruk, bermain engklek, bermain boneka tangan,
memperkenalkan ensiklopedia, menyanyi serta bermain Tepuk Rimo Tevi.
5. Praktik Pembelajaran Literasi Media
Pelaksanaan program kami lakukan selama dua hari di masing-masing TK. Di
TK ABA, program berlangsung pada tanggal 3 dan 4 Maret 2009 sedangkan di TK

SMS berlangsung pada 12 dan 13 Maret 2009. Pada hari pertama di masing-masing
TK, kegiatan akan dipandu oleh tim. Sedangkan pada hari kedua, kegiatan dipandu
oleh staf pengajar dengan materi kegiatan yang telah disusun oleh tim. Rancangan ini
kami susun dengan harapan, ke depannya staf pengajar memahami konsep media
literasi dan mampu menggunakan media ajar yang diberikan tim.
Pelaksanaan hari pertama di TK ABA diawali tim dengan membacakan buku
ajar dengan mengambil cerita berjudul Di-Kamehame. Dalam sesi ini, tidak semua
anak menyimak cerita dengan baik. Meskipun beberapa anak lain terlihat antusias
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tim. Setelah itu, anak-anak dibagi
menjadi tiga kelompok untuk berdiskusi dengan masing-masing anggota tim tentang
cerita yang telah disampaikan. Ketika tim menanyakan kembali tentang cerita yang
telah dibawakan, mereka kurang mampu memahami dan menangkap pesan dalam
cerita. Hal ini kami akui sebagai keterbatasan tim dalam penyampaian pesan. Pada
sesi berikutnya, mereka diajak untuk mengenal nama dan logo stasiun TV. Dengan
baik mereka dapat menyebutkan nama setiap logo, akan tetapi kemampuan mereka
dalam mengidentifikasi perbedaan istilah stasiun dan tayangan dirasa masih kurang.
Meskipun demikian, anak-anak dapat menyebutkan dengan lancar tayangan apa saja
yang terdapat di setiap stasiun TV. Mereka lantas dilibatkan dalam kompetisi
mewarnai logo-logo stasiun TV tersebut. Lima anak dengan karya terbaik
mendapatkan reward dari tim. Sebagai bentuk apresiasi, karya tersebut dipajang di
dinding kelas B2.
Sesuai rencana, aktivitas hari kedua dipandu oleh ibu guru penanggung jawab
kelas B2, Bu Endang. Beliau dapat membawakan cerita Rimo&Tevi dengan baik.
Cerita yang dibawakan berjudul Gerhana Bulan. Anak-anak mau mendengarkan
dengan seksama dan mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan Bu Endang
kemudian. Pada akhir pembacaan cerita tim memperkenalkan ensiklopedia, sesuai
dengan cerita yang disampaikan Bu Endang. Selanjutnya anak-anak dibagi dalam tiga
kelompok kecil dan setiap anggota tim mengajak mereka mengenal lebih dalam
fungsi dan isi ensiklopedia. Ternyata anak-anak sangat antusias mengikuti kegiatan
tim, karena mereka belum mengenal ensiklopedia. Masih dalam kelompok kecil, tim
mengajak anak-anak bermain Tepuk Rimo Tevi, dimana secara bergantian anak-anak
menyebutkan nama stasiun TV dan nama tayangan sambil bernyanyi dan bertepuk
tangan membentuk lingkaran. Mereka masih ragu-ragu dalam menyebutkan nama
stasiun TV dan tayangan tersebut. Aktivitas selanjutnya adalah tracing gambar Rimo
Tevi. Anak-anak diwajibkan menyambung titik-titik sesuai urutan angka yang
nantinya membentuk gambar Rimo Tevi. Beberapa anak dapat melakukan kegiatan

ini dengan baik, namun tak sedikit yang kesulitan. Setelah tracing selesai dilakukan,
gambar diwarnai, dan lima hasil terbaik mendapatkan reward dari tim.
Secara garis besar, kegiatan di TK SMS berlangsung serupa. Pada hari
pertama, tim membacakan cerita berjudul “Bertemu Si Unyil”. Anak-anak TK SMS
terlihat antusias dan tak jarang mereka menganggapi gambar dan cerita yang
disampaikan. Kebanyakan dari mereka sudah paham bahwa tayangan semacam si
unyil dan jalan sesama menggunakan boneka dalam penggarapannya. Mereka paham
bahwa terdapat alat penggerak boneka dan pengisi suara. Untuk lebih memahami
proses pembuatan tayangan tersebut, tim juga membawa boneka tangan dari kertas.
Lima anak kelas Puntodewo bersedia maju ke depan kelas untuk mempraktekkan cara
mengunakan boneka tersebut. Mereka menggerakkan boneka sekaligus menjadi
pengisi suaranya. Setelah itu, anak-anak diajak bermain crossword tayangan baik dan
buruk. Meskipun memakan waktu yang cukup lama, berkat kerjasama kelas yang
baik mereka akhirnya dapat menemukan lima tayangan baik dan lima tayangan buruk
yang tersembunyi dalam lembar crossword.
Pada hari kedua, staf pengajar TK SMS kelas Puntodewo, yakni Miss Mila,
yang memandu kegiatan kelas. Miss Mila membawakan cerita berjudul “Berlibur ke
Rumah Nenek” dengan metode yang berbeda, yaitu tanpa menunjukkan gambar
dalam buku melainkan hanya sekedar membacakan narasinya. Metode ini sedikit
banyak mengundang rasa penasaran anank-anak pada gambar. Namun, mereka tetap
dapat menangkap inti cerita dengan baik. Mereka juga diajak mendiskusikan kembali
pesan dalam cerita oleh Miss Mila. Selanjutnya tim memutar tayangan animasi Rimo
Tevi di kelas. Mereka terlihat antusias memperhatikan tayangan, namun keterbatasan
alat pemutar yang digunakan tim, membuat mereka kesulitan menangkap narasi
tayangan. Pada sesi berikutnya, anak-anak diajak menggambar bebas tentang
tayangan yang mereka sukai, sekaligus membuat cerita singkat tentang gambar
tersebut. Gambar yang dibuat anak-anak didominasi oleh tayangan Spongebob dan
Dora. Beberapa anak justru menggambar ikon putri salju dan gambar lain yang bukan
merupakan tayangan televisi. Karena belum semuanya dapat menulis dengan lancar,
Miss Mila masih membantu beberapa anak dalam menuliskan narasi gambar yang
mereka maksud. Setelah selesai, satu per satu dari mereka menceritakan kepada tim
tentang gambar yang mereka buat. Sebenarnya, tim merancang dua aktivitas lain,
yaitu bermain engklek, seperti dalam cerita “Berlibur ke Rumah Nenek” dan
bernyanyi Tepuk Rimo Tevi. Kedua aktivitas tersebut sayangnya tak sempat
dilakukan karena keterbatasan waktu.
Aktivitas yang diberikan tim di kedua TK memang sedikit berbeda. Hal ini
disebabkan karena perbedaan kompetensi yang dimiliki siswa kedua TK. Di TK

ABA, anak-anak yang mampu menulis dan membaca dengan lancar masih sangat
sedikit, sedangkan hampir seluruh anak di TK SMS sudah mampu melakukannya
dengan baik. Oleh karena itu, tim berusaha merancang aktivitas yang sesuai dengan
kondisi di kedua TK.
E. Kesimpulan
Seluruh tahapan program telah terlaksana dengan baik meskipun jadwal
kegiatan tidak sesuai dengan rancangan timeline awal. Kedua TK sasaran
memberikan tanggapan yang positif terhadap keberlangsungan program. TK ABA
memberi saran agar orangtua dilibatkan pada program ini. TK SMS pun memberikan
banyak masukan pada media ajar yang digunakan tim. Kami menyadari masih banyak
hal-hal yang harus diperbaiki dalam media ajar tersebut. Koreksi yang diberikan TK
SMS telah berusaha kami realisasikan dalam edisi revisi buku cerita Rimo&Tevi.
Koreksi tersebut berupa: kalimat narasi yang teralu panjang, tidak adanya glossary
istilah-istilah asing dalam buku, dan buku dirasa terlalu tebal mengingat kebiasaan
anak-anak yang cepat bosan dan lebih suka menonton TV daripada membaca.
Secara keseluruhan program ini memberikan wacana baru dan pengetahuan
tersendiri bagi TK ABA. Sedangkan bagi TK SMS, program ini membantu
keberlanjutan praktik literasi media yang telah mereka jalankan, yakni mengenal
tayangan lewat praktik menonton TV di sekolah.Kegiatan-kegitan yang kami lakukan
di TK SMS sedikit banyak juga memberika inspirasi untuk tema praktik literasi
media di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Griffin, EM. 2003. A First Look at Communication Theory. New York: Mc. Graw
Hill.
Guntarto, B dan Dina Filia. 2002. PEMBELAJARAN LITERASI MEDIA: Mampukah
Menjadi Perisai Pengaruh Siaran Televisi Pada Anak?. Seminar Hasil Proyek
Percontohan Pembelajaran Literasi media pada Siswa Sekolah Dasar. Jakarta,
24 September 2002. YKAI dan UNICEF
Liebert, R. M., J. M. Neale and E.S. Davidson. 1973. The Early Window: Effect of
Television on Children and Youth. New York: Pergamon.
Situs internet
Tallim, Jane. What is Media Literacy tersimpan dalam
awareness.ca/english/teachers/media_literacy/index.com.

http://media-