ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI TRAN (1)
ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI TRANSAKSI
PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-COMMERCE)1
OLEH
SRI WALNY RAHAYU2
I.
LATAR BELAKANG
Perkembangan perekonomian, perdagangan dan perindustrian
yang semakin meningkat memberikan kemudahan yang luar biasa bagi
konsumen karena terdapat beragam variasi produk barang dan jasa yang
dapat dikonsumsi oleh konsumen yang ditawarkan oleh pelaku usaha3.
Globalisasi perdagangan tersebut didukung oleh teknologi informasi dan
telekomunikasi yang memberi ruang yang sangat bebas dan leluasa
dalam setiap transaksi perdagangan sehingga konsumen dengan
mudahnya dapat memperoleh barang/jasa dari dalam dan luar negeri
yang dipasarkan sesuai diinginkan dan kebutuhannya.
Globalisasi perdagangan menyebabkan dunia menjadi sebuah
perkampungan besar, sehingga batas-batas negara menjadi sangat
kabur. Sementara itu, ekonomi global mengikuti logikanya sendiri. Dalam
proses tersebut, dunia dimanfaatkan serta terjadi intensifikasi kesadaran
terhadap dunia sebagai satu kesatuan utuh. Namun demikian, proses
1
Dipresentasikan pada kegiatan kuliah video confrence, “Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce” dilaksanakan oleh ALSA LC
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, ALSA LC UNAIRSurabaya, ALSA LC UNDIP - Semarang dan ALSA LC UNIBRAW-Malang, Selasa 12
Nopember 2013.
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.
3
Konsumen diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK TAHUN 1999) yaitu “ Setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak dapat diperdagangkan. Pelaku
usaha adalah setiap orang perserorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara RI baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi, lihat Pasal 1 ayat (3) UU No. Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen jo Pasal 1 ayat (5) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.
1
globalisasi yang memungkinkan adanya arus informasi bebas hambatan
melalui internet 4 , peningkatan lalu lintas arus barang dan personalia
secara internasional serta keanggotaan di dalam berbagai organisasi
dunia, secara potensial memunculkan persoalan-persoalan hukum yang
berdampak bagi masyarakat, yang mau tidak mau harus ditangani oleh
para ahli hukum.
5
Berbagai permasalahan yang dimunculkan oleh
teknologi informasi dan harus dihadapi oleh hukum semestinya telah
cukup jelas dan dapat diduga.6
Perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik (ecommerce) 7 tidak terlepas dari laju pertumbuhan internet karena ecommerce berjalan melalui jaringan internet. John Nielson salah seorang
pimpinan perusahaan Microsoft, menyatakan dalam kurun waktu 30 tahun
4
Internet (International Network) adalah sebuah jaringan komputer yang sangat
besar terdiri dari jaringan-jaringan kecil yang saling terhubung yang menjangkau seluruh
dunia. Di Indonesia, jaringan internet mulai dikembangkan pada tahun 1983 di
Universitas Indonesia, yakni UINet oleh Joseph F. P Luhukay yang ketika itu baru saja
menamatkan program Doktor Filosofi Ilmu Komputer di Amerika Serikat.
5
E.K.M. Masinambow, (ed), Hukum dan Kemajemukan Budaya, Sumbangan
Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O. Ihromi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000, hlm. 3.
6
David Bainbridge, Introduction to Computer Law, 3 nd Edition. London: Pitman
Publishing, 1996, hlm.1.
7
Jenis-jenis transaksi e-commerce antara lain, pertama, business to business
(B2B), model transaksi e-commerce merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku
bisnis atau dengan kata lain transaksi secara eletronik antar pelaku usaha (dalam hal ini
pelaku bisnis) yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau volume produk yang
besar. Kedua, Bisnis ke konsumen (business to consumer), dalam E-Commerce ini
merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan
pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu.
Sebagai contoh internet Mall. Transaksi bisnis ini produk yang diperbelanjakan mulai
produk barang dan jasa baik dalam bentuk berwujud maupun dalam bentuk elektronik
atau digital yang telah siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Ketiga, konsumen ke
konsumen (consumer to consumer). Konsumen ke konsumen merupakan transaksi bisnis
secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan
tertentu, dan pada saat tertentu pula segmentasi konsumen ke konsumen ini sifatnya
lebih khusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan
transaksi. Internet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk
baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya. Selain itu antar customer juga dapat
membentuk komunitas pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidak puasan customer
dalam mengkonsumsi suatu produk dapat segera tersebar luas melalui komunitaskomunitas tersebut. Internet telah menjadikan customer memiliki posisi tawar yang tinggi
terhadap pelaku usaha dengan demikian menuntut pelayanan pelaku usaha menjadi
lebih baik. Abdul Halim Barkatullah, “Urgensi Perlindungan Hak-hak Konsumen dalam
Transaksi di E-Commerce”, Jurnal Hukum, No. 2 Vol. 12 April 2007, hlm 247-248.
2
30 % transaksi penjualan kepada konsumen dilakukan melalui ecommerce. 8
Pertumbuhan pengguna internet15 yang sedemikian pesatnya
merupakan Kenyataan yang membuat internet menjadi salah satu media
yang efektif bagi pelaku usaha untuk memperkenalkan dan menjual
barang atau jasa ke calon konsumen dari seluruh dunia. E-commerce
merupakan model bisnis modern yang non-face (tidak menghadirkan
pelaku bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan
asli)9. Hadirnya e-commerce memungkinkan terciptanya persaingan yang
sehat antara pelaku usaha kecil, menengah, dan besar dalam merebut
pangsa pasar.10
Dalam transaksi e-commerce diciptakan transaksi bisnis yang lebih
praktis tanpa kertas (paperless) dan dalam transaksi e-commerce dapat
tidak bertemu secara langsung (face to face) para pihak yang melakukan
transaksi, sehingga dapat dikatakan e-commerce menjadi penggerak
ekonomi baru dalam bidang teknologi. Selain keuntungan tersebut, aspek
negatif dari pengembangan ini adalah berkaitan dengan persoalan
keamanan dalam bertransaksi dengan menggunakan media e-commerce.
Munculnya
bentuk penyelewengan-penyelewengan
yang cenderung
merugikan konsumen dan menimbulkan berbagai permasalahan hukum
dalam melakukan transaksi e-commerce.11
Realitas dari fenomena tersebut memiliki tantangan positif karena
memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih dan memiliki
kebebasan menentukan jenis dan kualitas barang/jasa yang diinginkannya
Dalam penerapannya transaksi jual beli melalui e-commerce dipilih dan
8
Abu Bakar Munir, Cyber Law: Policies and Challenges (Malaysia, Singapore,
Hongkong, Butterworths Asia, dalam Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional,
Jakarta : RadjaGrafindo, 2004, hlm. 161.
9
Niniek Suparni, Masalah Cyberspace Problematika Hukum dan Antisipasi
Pengaturannya. Jakarta: Fortun Mandiri Karya, 2001. hlm. 33.
10
Farizal F. Kamal, 1999. Cyber Business, cet. 3. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 1999, hlm.1.
11
Atip Latifulhayat, “Perlindungan Data Pribadi dalam Perdagangan Secara
Elektronik (e-Commerce)”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 18 , Maret 2002, hlm. 24.
3
dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pengedar barang/jasa dan
konsumen sebagai pengguna layanan barang atau jasa bermanfaat dalam
penggunaan e-commerce antara lain:
1. Dapat meningkatkan market exposure (pangsa pasar)
2. Menurunkan biaya operasional (operating cost).
3. Melebarkan jangkauan (global reach)
4. Meningkatkan costumer loyalty
5. Meningkatkan supply management
6. Memperpendek waktu produksi
Dengan
alasan-alasan
praktis
tersebut, e-commerce dianggap
mampu memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk berbelanja atau
melakukan transaksi selama 24 jam sehari dari tempat, jarak, dan waktu
yang tidak terbatas. Aplikasi e-commerce tidak hanya dilakukan mulai
pada sektor ekonomi dan perdagangan, tetapi juga masuk ke sektor ilmu
pengetahuan dan pendidikan, politik, sosial, budaya, hukum, pertahanan,
dan keamanan.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari e-commerce ini kepentingan
pelaku usaha memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen sering
terjadi hubungan yang tidak setara di antara keduanya. Posisi konsumen
berada pada posisi tawar-menawar yang lemah dan karena dapat menjadi
sasaran eksploitasi pelaku usaha yang secara sosial ekonomi memiliki
posisi yang kuat.
Transaksi elektronik sebagaimana dikemukakan Onno W. Purbo
keamanan sistem informasi berbasis internet menjadi suatu keharusan
untuk diperhatikan karena jaringan komputer internet bersifat publik dan
global pada dasarnya tidak aman. Pada saat data dikirim dari suatu
komputer ke komputer lainnya di dalam internet data tersebut melewati
sejumlah komputer yang lain yang berarti memberi kesempatan pada
pengguna internet lainnya untuk menyadap atau mengubah data
4
tersebut.12 Risiko pembobolan data di internet hampir setiap hari terjadi di
seluruh dunia selain sangat dimungkin penyusup (hacker) mengakses
data-data di dalam jaringan yang dilindungi. Jika hal ini terjadi
ketidakamanan dalam jaringan komputer menjadi suatu kejahatan yang
sangat serius untuk diperhatikan bagi konsumen yang posisinya dalam hal
ini paling rentan.
Masalah hukum lainya adalah perlindungan terhadap konsumen
yang melakukan transaksi e-commerce dengan merchant dalam satu
negara atau berlainan negara. Di dalam jual beli melalui internet,
seringkali terjadi kecurangan. Kecurangankecurangan tersebut dapat
terjadi yang menyangkut keberadaan pelaku usaha, barang yang dibeli,
harga barang, dan pembayaran oleh konsumen. Kecurangan yang
menyangkut pelaku usaha, misalnya pelaku usaha (virtual store) yang
bersangkutan merupakan toko yang fiktif.
Contoh lainnya, barang yang dikirimkan oleh pelaku usaha, barang
tersebut tidak dikirimkan kepada konsumen atau terjadi kelambatan
pengiriman yang berkepanjangan, terjadi kerusakan atas barang yang
dikirimkan atau barang yang dikirimkan cacat, dan lain-lain. Menyangkut
purchase dan pembayaran oleh konsumen yang disangkal kebenarannya
oleh pelaku usaha. Misalnya, pelaku usaha hanya mengakui bahwa
jumlah barang yang dipesan kurang dari yang tercantum di dalam
purchase yang dikirimkan secara elektronik atau harga per unit dari
barang yang dipesan oleh konsumen dikatakan lebih tinggi dari pada
harga yang dicantumkan di dalam purchase. Dapat pula terjadi pelaku
usaha mengaku belum menerima pembayaran dari konsumen, padahal
kenyataannya konsumen sudah mengirim pembayaran untuk seluruh
harga barang.
Luasnya akses pasar yang diperoleh konsumen sebagai akibat
proses
globalisasi
ekonomi
harus
tetap
menjamin
peningkatan
12
Onno W. Purbo dan Toni Wiharijito dalam Sukarmi, Cyber Law : Kontrak
elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, Pustaka Sutra, hlm. 3,
[diakses tanggal 11 Nopember 2013].
5
kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan
keamanan barang dan jasa yang diperjualbelikan melalui e-commerce.
Paling tidak terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan terkait
perlindungan konsumen melalui perdagangan e-commerce. Pertama,
tanggung jawab produsen (baca: penjual) terhadap barang yang
dipasarkan yaitu berdaya saing tinggi. Kedua, barang/jasa yang
ditawarkan/dijual bermutu. Ketiga barang/jasa tersebut bernilai tambah
atau berdaya guna tinggi.
Ketiga hal tersebut memiliki muatan tanggungjawab hukum
(product liability) yang berakibat pada sikap kehati-hatian (precoison) baik
dalam menjaga kualitas produk, penggunaan bahan maupun memenuhi
apa yang telah di sepakati dalam perjanjian.
Pengaturan
perjanjian
antara
pihak
pelaku
usaha
dengan
konsumen dalam sistem hukum perdata terdapat pada Pasal 1313 KUH
Perdata menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”. Adapun yang dimaksudkan perjanjian menurut
Sudikno Mertokusumo bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara
dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau
kaedah hukum atau hak kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati
dan dijalankan. Kesepakatan itu menimbulkan akibat hukum dan bila
kesepakatan dilanggar maka akibat hukumnya si pelanggar dapat
dikenakan akibat hukum atau sanksi.13
Permasalahan
commerce banyak
memberikan
yang
terjadi
ditunjukkan
kewajibannya
dalam
dengan
kepada
transaksi
pelaku
usaha
konsumen
dalam
jual
yang
beli etidak
bertransaksi.
Menurut pasal 1234 KUH Perdata, tahap ini adalah ditunjukkan dengan
adanya wanprestasi yaitu tidak dapat dipenuhinya kewajiban dalam
perjanjian yang dapat disebabkan oleh dua kemungkinan sebagai berikut:
13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1990, Hlm.97
6
1
Debitur sama sekali tidak memenuhi perjanjian; debitur tidak
memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi
dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang
ditetapkan oleh undang- undang
2.
Debitur terlambat memenuhi perjanjian; debitur memenuhi prestasi
tetapi tidak tepat waktu, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian
tidak dipenuhi
3.
Debitur keliru memenuhi prestasi; debitur melaksanakan atau
memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh
undang-undang tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut
kualitas yang telah ditentukan dalam perjanjian atau yang telah
ditetapkan oleh undang–undang
4.
Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian atau tidak
boleh dilakukan.
Perlindungan yang berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan, serta kepastian hukum terhadap konsumen
sebagai pengguna barang/jasa, maka dalam UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1)
UUPK menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen”.
II.
BATASAN MASALAH
Berdasarkan hal tersebut maka paper terbatas ini menguraikan
secara
ringkas
Bagaimanakah
perlindungan
konsumen
dan
permasalahannya dalam e-commerce di Indonesia.?
III.
PEMBAHASAN
Filosofi
dari
UUPK
Tahun
1999
adalah
sebuah
sistem,
penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen tidak dapat
dilepaskan
dari
konteks
pembangunan
nasional.
Adanya
konsep
7
keterpaduan
pada
UUPK
perlindungan
hukum
Tahun
bagi
1999
konsumen
dalam
jika
penyelanggaraan
dibandingkan
dengan
konsiderans UUPK Tahun 1999 tentang latar belakang perlindungan
hukum bagi konsumen ini dilandasi motif-motif yang dapat diabstraksikan
sebagai berikut:
1.
Mewujudkan demokrasi ekonomi;
2.
Mendorong diversifikasi produk barang dan atau jasa sebagai
sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat luas pada era
globalisasi, serta menjamin ketersediaannya;
3.
Globalisasi
ekonomi
harus
tetap
menjamin
peningkatan
kesejahteraan masyarakat luas serta kepastian mutu, jumlah,
keamanan barang dan atau jasa;
4.
Peningkatan harkat dan martabad konsumen melalui hukum
(UUPK)
untuk
mewujudkan
keseimbangan
perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam suatu
perekonomian yang sehat.
Asas perlindungan hukum bagi konsumen pada Pasal 2 UUPK,
yakni asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum. Dapat dikatakan pembentuk undangundang menyadari bahwa perlindungan hukum bagi konsumen ibarat
sekeping uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, satu sisi
merupakan konsumen, sedangkan sisi yang lainnya pelaku usaha, dan
tidak mungkin hanya menggunakan satu sisi tanpa menggunakan kedua
sisi sekaligus.
a.
Konsumen dan Perlindungan Hak Konsumen
Konsumen (consumer) secara harfiah diartikan sebagai “orang atau
pelaku usaha yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu”; atau “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu
persediaan atau sejumlah barang”. Ada juga yang mengartikan “setiap
orang yang menggunakan barang atau jasa”. Pengertian di atas
8
memperlihatkan bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai orang
alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai pelaku usaha atau
badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah
konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri
atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).1421
UUPK Tahun 1999 mendefinisikan konsumen sebagai ... “Setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Lihat Ketentuan Umum Pasal
1 Ayat 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen
adalah end user/pengguna terakhir, tanpa konsumen merupakan pembeli
dari barang dan/atau jasa tersebut.
Berdasarkan hal tersebut perlindungan hukum bagi hak-hak
konsumen secara garis besar dibagi dalam 3 (tiga) hak yang menjadi
prinsip dasar, yaitu:
1.
hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari
kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta
kekayaan;
2.
hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga
wajar; dan
3.
hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap
permasalahan yang dihadapi.
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) menjadi landasan bagi sahnya perjanjian e-commerce selain
KUH Perdata Pasal 1313, Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata.
14
Arrianto Mukti Wibowo, et.al., 1999. “Kerangka Hukum Digital Signature dalam
Electronic Commerce”, Grup Riset Digital Security dan Electronic Commerce. Depok,
Jawa Barat: Fakultas Ilmu Komputer UI, hlm. 102.
9
c.
Ruang Lingkup dan pengaturan E-commerce
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) menjadi landasan perdagangan elektronik di Indonesia. Julian
Ding mendefinisikan e-commerce sebagai berikut :
“Electronic or e-commerce as it is also known is a commercial
transaction between a vendor and purchase or parties in similar
contractual relationship for the supply of goods, services or
acquisition of right. This commercial transaction is executed or
entered into electronic medium or digital medium where the
physical presence of parties is not required and medium exist in a
public network or system as opposed to private network (closed
system). The publish network system must considered on open
system (e.g the internet our world wide web). The transaction
concluded regardless of nation boundaries or local requirement”.
Terjemahan bebas pernyataan di atas adalah perdagangan secara
elektronik dikenal juga sebagai transaksi komersial antara vendor dan
pembeli atau pihak dalam hubungan kontraktual yang sama untuk
penyediaan barang, jasa atau akuisisi hak. Transaksi komersial ini
dijalankan atau dimasukkan ke dalam media elektronik atau media digital
di mana kehadiran fisik para pihak tidak diperlukan dan menengah yang
ada di jaringan publik atau SISTEM sebagai lawan jaringan pribadi (sistem
tertutup). Mempublikasikan jaringan SISTEM harus mempertimbangkan
SISTEM terbuka (misalnya jaringan internet dunia yang luas). Transaksi ecommerce disimpulkan tanpa mengenal batas negara atau kebutuhan
lokal.
Hal terse but menjelaskan ecommerce merupakan suatu transaksi
komersial yang dilakukan antar penjual dan pembeli atau dengan pihak
lain dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah
barang, pelayanan atau peralihan hak. Transaksi komersial ini terdapat
di dalam media elektronik (media digital) yang secara fisik tidak
memerlukan pertemuan para pihak yang bertransaksi dan keberadaan
media ini di dalam jaringan publik atau sistem yang berlawanan dengan
private
network
(sistem
tertutup).
Dari
definisi
tersebut, e-
10
commerce memiliki karakteristik yaitu adanya transaksi antar dua belah
pihak, adanya pertukaran barang jasa atau informasi, dan internet
merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme perdagangan.
Secara filosofis, Pasal 3 UU ITE Tahun 2008 mengatur bahwa
setiap pemanfaatan teknologi informasi harus didasarkan pada asas
“kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan netral
teknologi”. Lebih lanjut, mengenai pentingnya kepastian hukum ini
tertuang dalam Pasal 4 UU ITE yang mengatur bahwa “transaksi
elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman,
keadilan dan kepastian hukum…” Hal ini menyiratkan bahwa pelaku
usaha jual-beli dalam e-commerce harus mematuhi aturan hukum yang
berlaku.
Mekanisme transaksi secara e-commerce seperti di bawah ini :
1. Penjual
(merchant),
menawarkan
yaitu
produknya
perusahaan/produsen
melalui
internet.
Untuk
yang
menjadi
merchant, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai
merchant account pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan
agar merchant dapat menerima pembayaran dari customer
dalam bentuk credit card.
2.
Konsumen/ card
memperoleh
holder,
produk
yaitu
orang-orang
(barang/jasa)
melalui
yang
ingin
pembelian
secara online. Konsumen yang akan berbelanja di internet
dapat
berstatus
konsumen
perorangan
merupakan
atau
perorangan,
perusahaan.
maka
Apabila
yang
perlu
diperhatikan dalam transaksi e-commerce adalah bagaimana
sistem pembayaran yang digunakan, apakah pembayaran
dilakukan
dengan
mempergunakan credit
card atau
dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual/cash. Hal
ini penting untuk diketahui, mengingat tidak semua konsumen
yang akan berbelanja di internet adalah pemegang kartu kredit.
Pemegang kartu kredit adalah orang yang namanya tercetak
11
pada kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit berdasarkan
perjanjian yang dibuat.
3. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan
penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan
penerbit). Perantara pengaihan adalah pihak yang meneruskan
penagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk
kepadanya yang diberikan oleh penjual barang/jasa. Pihak
perantara pembayaran antara pemegang dan penerbit adalah
bank di mana pembayaran kartu kredit dilakukan oleh pemilik
kartu kredit/ card holder, selanjutnya bank yang menerima
pembayaran ini akan mengirimkan uang pembayaran tersebut
kepada penerbit kartu kredit.
4.
Issuer, yaitu perusahaan credit card yang menerbitkan kartu. Di
Indonesia
ada
beberapa
lembaga
yang
diijinkan
untuk
menerbitkan kartu kredit, yaitu:
a.
Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak semua
bank dapat menerbitkan credit card, hanya bank yang telah
memperoleh ijin dari card international, dapat menerbitkan
credit card, seperti Master dan Visa card.
b.
Perusahaan non bank dalam hal ini PT. Dinner Jaya
Indonesia International yang membuat perjanjian dengan
perusahaan yang ada di luar negeri.
c.
Perusahaan yang membuka cabang dari perusahaan induk
yang ada di luar negeri, yaitu American Express.
5. Certification Authorities yaitu pihak ketiga yang netral yang
memegang
hak
untuk
mengeluarkan
sertifikasi
kepada
merchant, kepada issuer dan dalam beberapa hal diberikan
kepada card holder.
Apabila transaksi e-commerce tidak sepenuhnya dilakukan secara
online dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang online
sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual/cash, maka
12
pihak acquirer, issuer dan certification authority tidak terlibat di dalamnya.
Disamping pihak- pihak tersebut diatas, pihak lain yang keterlibatannya
tidak secara langsung dalam transaksi e- commerce yaitu jasa pengiriman
(ekspedisi).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dianalogikan bahwa dalam
setiap transaksi jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen dilakukan
suatu perjanjian yang menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.
Pengertian perjanjian di atas belumlah lengkap dan terlalu luas,
belum lengkap karena perumusan diatas hanya mengenai perjanjian
sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena cakupan rumusan diatas
bias saja keluar dari maksud perjanjian dalam KUH Perdata yakni pada
lapangan hukum kekayaan. Sehingga pasal 1313 KUHPerdata tidak dapat
diajukan acuan dalam memperoleh pengertian perjanjian. Abdulkadir
Muhammad menyatakan, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal mengenai harta kekayaan. Maka untuk sahnya perjanjian
diperlukan 4 (empat) syarat sebagaimana yang disebut dalam pasal 1320
KUH Perdata yakni:
1.
Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya
2.
Capak untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal
Kaitannya
dengan
transaksi
e-commerce antara
pihak e-
merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet)
dengan e-customer (pihak yang membeli barang atau jasa melalui
internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya
berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang
digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan
dokumen
elektronik
(digital
document).
Kontrak online dalam e-
13
commerce memiliki banyak tipe dan variasi berdasarkan sarana yang
digunakan untuk membuat kontrak, yaitu :
1.
Kontrak melalui chatting dan video conference
2.
Kontrak melalui e-mail
3.
Kontrak melalui web
Jika dikaitkan permasalahan penegakan hukum dalam transaksi e-
commerce di Indonesia, berdasarkan Penjelasan umum atas Undangundang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor
utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah
tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya
diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Hal
ini diperlukan suatu upaya serius dari pemerintah untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia mengenai sosialisasi peraturan
hukum dan pengetahuan dalam transaksi e-commerce yang sebagaimana
untuk mencegah terjadinya perkembangan pidana dalam transaksi ecommerce yang berlangsung di dunia maya tersebut.
Pada hakikatnya sepanjang pelaksanaan e-commerce dilakukan
secara legal dan tidak melanggar ketentuan hukum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak ada alasan
bagi Aparat Penegak Hukum melakukan tindakan hukum apapun
terhadap pelaku usaha nakal dalam transaksi e-commerce ini.
Hal yang berkaitan langsung dengan pidana dalam praktik bisnis ecommerce dalam UU ITE terkait informasi bohong atau menyesatkan
terhadap konsumen (Pasal 28 ayat [1]) dan perbuatan memproduksi atau
memperdagangkan perangkat keras atau perangkat lunak yang digunakan
untuk memfasilitasi perbuatan pidana UU ITE (Pasal 34 ayat [1]).
Bunyi lengkap Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UU ITE
adalah sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”
14
Pasal 34 ayat (1) UU ITE sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan atau memiliki:
a. Perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang
atau
secara
khusus
dikembangkan
untuk
memfasilitasi
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai
dengan pasal 33 UU ITE”
b. Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis
dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat
diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33.”
Pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut dapat
dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1
miliar. Sedangkan, pelanggaran terhadap Pasal 34 ayat (1) UU ITE dapat
dikenai pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 10 miliar
rupiah. Dalam hal terdapat dugaan tindak pidana transaksi elektronik,
penyidik
pejabat
polisi
berwenang
untuk
melakukan
penyidikan,
penggeledahan, penyitaan terhadap sistem elektronik, penangkapan
maupun penahanan. Di sisi lain, secara perdata, apabila terdapat pihak
yang merasa dirugikan atas kegiatan perdagangan yang menggunakan
sistem elektronik, pihak tersebut dapat menggugat terhadap pihak yang
menyelenggarakan transaksi elektronik tersebut.
Dalam penerapan UU PK Tahun 1999 diperhatikan asas- asas
yang dijelaskan dalam pasal 2 UUPK yang menyebutkan “perlindungan
konsumen
berasaskan
masnfaat,
keadilan,
serta
keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”.
Asas- asas tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 UUPK
yang menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai
15
usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu:
1.
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberi manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat
dapat
diwujudkan
secara
maksimal
dan
memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3.
Asas
keseimbangan
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan antar kepentingan konsumen, pelaku usaha,
dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas kesamaan dan keselamatan
kepada
konsumen
dalam penggunaan,
pemakaian,
dan
pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara
menjamin kepastian hukum.
Untuk
menginterpretasikan
asas-asas
tersebut,
maka
perlu
diketahui hak- hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku usaha.
Hak- hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen dan pelaku
usaha tercantum di dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUPK Tahun
1999.
Di dalam pasal 5 UUPK, diatur tentang kewajiban konsumen yaitu:
16
1.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian
atau
pemanfaatan
barang
dan/
jasa,
demi
keamanan dan keselamatan
2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/ jasa
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengeketa perlindungan
konsumen secara patut
Di dalam pasal 6 UUPK, diatur tentang hak pelaku usaha yaitu:
1.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau
jasa yang diperdagangkan
2.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen beritikad tidak baik
3.
Hak untuk mendapatkan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen
4.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/
atau jasa yang diperdagangkan
5.
Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan
lainnya.
Di dalam pasal 7 UUPK, diatur tentang kewajiban pelaku usaha
yaitu:
1.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur dan tidak diskriminatif
17
4.
Menjamin mutu barang dan atau/atau jasa yang diproduksi
dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutut barang dan/ atau jasa yang berlaku
5.
Memberikan konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba
barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau
garansi
atas
barang
yang
dibuat
dan/
atau
yang
diperdagangkan
6.
Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian
apabila barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum
berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Adanya perbuatan melawan hukum;
b.
Adanya unsur kesalahan;
c.
Adanya kerugian;
d.
Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa
adanya kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang.
e.
Adanya unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan
melawan
hukum
memenuhi
unsur-unsur
berikut
:
(1) Bertentangan dengan hak orang lain; (2) Bertentangan
dengan kewajiban hukumnya sendiri; (3) Bertentangan dengan
kesusilaan; (4) Bertentangan dengan keharusan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain
atau benda.
Selain itu, dalam penerapan hak dan kewajiban yang harus
dilakukan oleh konsumen dan pelaku usaha, terdapat aturan yang
terdapat dalam UUPK yang mengatur perbuatan yang dilarang bagi para
pelaku usaha diatur dalam Bab IV UUPK yang terdiri dari 10 pasal, dimulai
dari pasal 8 sampai dengan pasal 17 yang diperuntukkan agar terjadinya
18
pertanggungjawaban hukum apabila terjadi kerugian yang dialami oleh
konsumen akhir.
Pasal 8 UUPK meliputi perbuatan larangan kegiatan usaha dalam
melaksanakan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan jasa
yang:
1.
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan
jumlah dalam htungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
3.
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4.
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/ atau jasa tersebut;
5.
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan,
gaya
mode,
atau
penggunaan
tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/ atau jasa tersebut;
6.
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/ atau jasa
tersebut;
7.
Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang
tersebut;
8.
Tidak
mengikuti
ketentuan
berproduksi
secara
halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam
label;
9.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/ isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
19
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menyurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/ atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Apabila pelaku usaha dalam menjalankan usahanya
melanggar
larangan-
larangan
dan
atau
menumbulkan
kerusakan, pencemaran dan/ atau kerugian kepada konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang diperjual
belikan maka pelaku usaha tersebut bertanggung jawab
memberikan ganti rugi. Ganti rugi tersebut dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa
sejenis atau secara nilainya atau perawatan kesehatan dan/
atau pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi (lihat pasal 19 UUPK). Disamping itu pelaku
usaha periklanan juga bertanggung jawab atas iklan yang
diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan
tersebut (Pasal 20 UUPK Tahun 1999).
Apabila telah terjadi suatu sengketa yang terjadi antara pelaku
usaha dengan konsumen terkait pemberian sesuatu, berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam pasal 1233 Jo 1234 KUH
Perdata atau dapat pula berbagai kombinasi dari prestasi tersebut. Objek
sengketa konsumen dalam hal ini dibatasi hanya menyangkut produk
konsumen yaitu barang atau jasa yang pada umumnya digunakan untuk
keperluan rumah tangganya dan tidak untuk tujuan komersial.
Pasal 23 UUPK Tahun 1999 menyebutkan bahwa apabila pelaku
usaha pabrikan dan/ atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau
tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat
20
pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dengan cara mengajukan
gugatan kepada peradilan di tempat kedudukan konsumen tersebut.
Pernyataan tersebut sejalan dengan Pasal 45 UUPK:
1.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungannya;
2.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela pihak yang bersengketa;
3.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada angka (2) tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang;
4.
Apabila telah dipilih upaya sengketa konsumen di luar
pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah
satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
IV.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, kesimpulan yang diperoleh
adalah, konsumen merupakan posisi yang rentan karena perjanjian yang
ditawarkan merupakan perjanjian baku, dimana posisi yang tidak
seimbang antara konsumen dan pelaku usaha. Selain itu menimbulkan
permasalahan dalam transaksi e-commerce di Indonesia yang harus
diselesaikan seperti penggunaan domain name, alat bukti, pembajakan
internet (Internet piracy) berkaitan dengan HKI, perlindungan konsumen
dalam transaksi e-commerce, pajak atas transaksi e-commerce yang
dilakukan oleh para pihak, pilihan hukum (choice of forum) yaitu pilihan
21
mengenai pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan sengketa di
antara para pihak yang melakukan transaksi e-commerce.
Saran
Peningkatan SDM dan prinsip kehati-hatian konsumen serta
penerapan tanggungjawab produk harus selalu di kedepankan dalam
penyelesaian masalah perlindungan konsumen secara e-commerce selain
diperlukan peningkatan SDM dan profesionalitas kinerja aparat penegak
hukum
dalam
mencegah
dan
menegakkan
hukum
perlindungan
konsumen terkait dengan hukum Cyber yaitu UU ITE Tahun 2008 dan
produk peraturan UU HKI di Indonesia. Hal lainnya penegakan hukum
seharusnya memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi
masyarakat khususnya bagi konsumen akhir selaku korban.
22
PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-COMMERCE)1
OLEH
SRI WALNY RAHAYU2
I.
LATAR BELAKANG
Perkembangan perekonomian, perdagangan dan perindustrian
yang semakin meningkat memberikan kemudahan yang luar biasa bagi
konsumen karena terdapat beragam variasi produk barang dan jasa yang
dapat dikonsumsi oleh konsumen yang ditawarkan oleh pelaku usaha3.
Globalisasi perdagangan tersebut didukung oleh teknologi informasi dan
telekomunikasi yang memberi ruang yang sangat bebas dan leluasa
dalam setiap transaksi perdagangan sehingga konsumen dengan
mudahnya dapat memperoleh barang/jasa dari dalam dan luar negeri
yang dipasarkan sesuai diinginkan dan kebutuhannya.
Globalisasi perdagangan menyebabkan dunia menjadi sebuah
perkampungan besar, sehingga batas-batas negara menjadi sangat
kabur. Sementara itu, ekonomi global mengikuti logikanya sendiri. Dalam
proses tersebut, dunia dimanfaatkan serta terjadi intensifikasi kesadaran
terhadap dunia sebagai satu kesatuan utuh. Namun demikian, proses
1
Dipresentasikan pada kegiatan kuliah video confrence, “Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce” dilaksanakan oleh ALSA LC
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, ALSA LC UNAIRSurabaya, ALSA LC UNDIP - Semarang dan ALSA LC UNIBRAW-Malang, Selasa 12
Nopember 2013.
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.
3
Konsumen diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK TAHUN 1999) yaitu “ Setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak dapat diperdagangkan. Pelaku
usaha adalah setiap orang perserorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara RI baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi, lihat Pasal 1 ayat (3) UU No. Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen jo Pasal 1 ayat (5) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.
1
globalisasi yang memungkinkan adanya arus informasi bebas hambatan
melalui internet 4 , peningkatan lalu lintas arus barang dan personalia
secara internasional serta keanggotaan di dalam berbagai organisasi
dunia, secara potensial memunculkan persoalan-persoalan hukum yang
berdampak bagi masyarakat, yang mau tidak mau harus ditangani oleh
para ahli hukum.
5
Berbagai permasalahan yang dimunculkan oleh
teknologi informasi dan harus dihadapi oleh hukum semestinya telah
cukup jelas dan dapat diduga.6
Perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik (ecommerce) 7 tidak terlepas dari laju pertumbuhan internet karena ecommerce berjalan melalui jaringan internet. John Nielson salah seorang
pimpinan perusahaan Microsoft, menyatakan dalam kurun waktu 30 tahun
4
Internet (International Network) adalah sebuah jaringan komputer yang sangat
besar terdiri dari jaringan-jaringan kecil yang saling terhubung yang menjangkau seluruh
dunia. Di Indonesia, jaringan internet mulai dikembangkan pada tahun 1983 di
Universitas Indonesia, yakni UINet oleh Joseph F. P Luhukay yang ketika itu baru saja
menamatkan program Doktor Filosofi Ilmu Komputer di Amerika Serikat.
5
E.K.M. Masinambow, (ed), Hukum dan Kemajemukan Budaya, Sumbangan
Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O. Ihromi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000, hlm. 3.
6
David Bainbridge, Introduction to Computer Law, 3 nd Edition. London: Pitman
Publishing, 1996, hlm.1.
7
Jenis-jenis transaksi e-commerce antara lain, pertama, business to business
(B2B), model transaksi e-commerce merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku
bisnis atau dengan kata lain transaksi secara eletronik antar pelaku usaha (dalam hal ini
pelaku bisnis) yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau volume produk yang
besar. Kedua, Bisnis ke konsumen (business to consumer), dalam E-Commerce ini
merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan
pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu.
Sebagai contoh internet Mall. Transaksi bisnis ini produk yang diperbelanjakan mulai
produk barang dan jasa baik dalam bentuk berwujud maupun dalam bentuk elektronik
atau digital yang telah siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Ketiga, konsumen ke
konsumen (consumer to consumer). Konsumen ke konsumen merupakan transaksi bisnis
secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan
tertentu, dan pada saat tertentu pula segmentasi konsumen ke konsumen ini sifatnya
lebih khusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan
transaksi. Internet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk
baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya. Selain itu antar customer juga dapat
membentuk komunitas pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidak puasan customer
dalam mengkonsumsi suatu produk dapat segera tersebar luas melalui komunitaskomunitas tersebut. Internet telah menjadikan customer memiliki posisi tawar yang tinggi
terhadap pelaku usaha dengan demikian menuntut pelayanan pelaku usaha menjadi
lebih baik. Abdul Halim Barkatullah, “Urgensi Perlindungan Hak-hak Konsumen dalam
Transaksi di E-Commerce”, Jurnal Hukum, No. 2 Vol. 12 April 2007, hlm 247-248.
2
30 % transaksi penjualan kepada konsumen dilakukan melalui ecommerce. 8
Pertumbuhan pengguna internet15 yang sedemikian pesatnya
merupakan Kenyataan yang membuat internet menjadi salah satu media
yang efektif bagi pelaku usaha untuk memperkenalkan dan menjual
barang atau jasa ke calon konsumen dari seluruh dunia. E-commerce
merupakan model bisnis modern yang non-face (tidak menghadirkan
pelaku bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan
asli)9. Hadirnya e-commerce memungkinkan terciptanya persaingan yang
sehat antara pelaku usaha kecil, menengah, dan besar dalam merebut
pangsa pasar.10
Dalam transaksi e-commerce diciptakan transaksi bisnis yang lebih
praktis tanpa kertas (paperless) dan dalam transaksi e-commerce dapat
tidak bertemu secara langsung (face to face) para pihak yang melakukan
transaksi, sehingga dapat dikatakan e-commerce menjadi penggerak
ekonomi baru dalam bidang teknologi. Selain keuntungan tersebut, aspek
negatif dari pengembangan ini adalah berkaitan dengan persoalan
keamanan dalam bertransaksi dengan menggunakan media e-commerce.
Munculnya
bentuk penyelewengan-penyelewengan
yang cenderung
merugikan konsumen dan menimbulkan berbagai permasalahan hukum
dalam melakukan transaksi e-commerce.11
Realitas dari fenomena tersebut memiliki tantangan positif karena
memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih dan memiliki
kebebasan menentukan jenis dan kualitas barang/jasa yang diinginkannya
Dalam penerapannya transaksi jual beli melalui e-commerce dipilih dan
8
Abu Bakar Munir, Cyber Law: Policies and Challenges (Malaysia, Singapore,
Hongkong, Butterworths Asia, dalam Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional,
Jakarta : RadjaGrafindo, 2004, hlm. 161.
9
Niniek Suparni, Masalah Cyberspace Problematika Hukum dan Antisipasi
Pengaturannya. Jakarta: Fortun Mandiri Karya, 2001. hlm. 33.
10
Farizal F. Kamal, 1999. Cyber Business, cet. 3. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 1999, hlm.1.
11
Atip Latifulhayat, “Perlindungan Data Pribadi dalam Perdagangan Secara
Elektronik (e-Commerce)”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 18 , Maret 2002, hlm. 24.
3
dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pengedar barang/jasa dan
konsumen sebagai pengguna layanan barang atau jasa bermanfaat dalam
penggunaan e-commerce antara lain:
1. Dapat meningkatkan market exposure (pangsa pasar)
2. Menurunkan biaya operasional (operating cost).
3. Melebarkan jangkauan (global reach)
4. Meningkatkan costumer loyalty
5. Meningkatkan supply management
6. Memperpendek waktu produksi
Dengan
alasan-alasan
praktis
tersebut, e-commerce dianggap
mampu memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk berbelanja atau
melakukan transaksi selama 24 jam sehari dari tempat, jarak, dan waktu
yang tidak terbatas. Aplikasi e-commerce tidak hanya dilakukan mulai
pada sektor ekonomi dan perdagangan, tetapi juga masuk ke sektor ilmu
pengetahuan dan pendidikan, politik, sosial, budaya, hukum, pertahanan,
dan keamanan.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari e-commerce ini kepentingan
pelaku usaha memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen sering
terjadi hubungan yang tidak setara di antara keduanya. Posisi konsumen
berada pada posisi tawar-menawar yang lemah dan karena dapat menjadi
sasaran eksploitasi pelaku usaha yang secara sosial ekonomi memiliki
posisi yang kuat.
Transaksi elektronik sebagaimana dikemukakan Onno W. Purbo
keamanan sistem informasi berbasis internet menjadi suatu keharusan
untuk diperhatikan karena jaringan komputer internet bersifat publik dan
global pada dasarnya tidak aman. Pada saat data dikirim dari suatu
komputer ke komputer lainnya di dalam internet data tersebut melewati
sejumlah komputer yang lain yang berarti memberi kesempatan pada
pengguna internet lainnya untuk menyadap atau mengubah data
4
tersebut.12 Risiko pembobolan data di internet hampir setiap hari terjadi di
seluruh dunia selain sangat dimungkin penyusup (hacker) mengakses
data-data di dalam jaringan yang dilindungi. Jika hal ini terjadi
ketidakamanan dalam jaringan komputer menjadi suatu kejahatan yang
sangat serius untuk diperhatikan bagi konsumen yang posisinya dalam hal
ini paling rentan.
Masalah hukum lainya adalah perlindungan terhadap konsumen
yang melakukan transaksi e-commerce dengan merchant dalam satu
negara atau berlainan negara. Di dalam jual beli melalui internet,
seringkali terjadi kecurangan. Kecurangankecurangan tersebut dapat
terjadi yang menyangkut keberadaan pelaku usaha, barang yang dibeli,
harga barang, dan pembayaran oleh konsumen. Kecurangan yang
menyangkut pelaku usaha, misalnya pelaku usaha (virtual store) yang
bersangkutan merupakan toko yang fiktif.
Contoh lainnya, barang yang dikirimkan oleh pelaku usaha, barang
tersebut tidak dikirimkan kepada konsumen atau terjadi kelambatan
pengiriman yang berkepanjangan, terjadi kerusakan atas barang yang
dikirimkan atau barang yang dikirimkan cacat, dan lain-lain. Menyangkut
purchase dan pembayaran oleh konsumen yang disangkal kebenarannya
oleh pelaku usaha. Misalnya, pelaku usaha hanya mengakui bahwa
jumlah barang yang dipesan kurang dari yang tercantum di dalam
purchase yang dikirimkan secara elektronik atau harga per unit dari
barang yang dipesan oleh konsumen dikatakan lebih tinggi dari pada
harga yang dicantumkan di dalam purchase. Dapat pula terjadi pelaku
usaha mengaku belum menerima pembayaran dari konsumen, padahal
kenyataannya konsumen sudah mengirim pembayaran untuk seluruh
harga barang.
Luasnya akses pasar yang diperoleh konsumen sebagai akibat
proses
globalisasi
ekonomi
harus
tetap
menjamin
peningkatan
12
Onno W. Purbo dan Toni Wiharijito dalam Sukarmi, Cyber Law : Kontrak
elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, Pustaka Sutra, hlm. 3,
[diakses tanggal 11 Nopember 2013].
5
kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan
keamanan barang dan jasa yang diperjualbelikan melalui e-commerce.
Paling tidak terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan terkait
perlindungan konsumen melalui perdagangan e-commerce. Pertama,
tanggung jawab produsen (baca: penjual) terhadap barang yang
dipasarkan yaitu berdaya saing tinggi. Kedua, barang/jasa yang
ditawarkan/dijual bermutu. Ketiga barang/jasa tersebut bernilai tambah
atau berdaya guna tinggi.
Ketiga hal tersebut memiliki muatan tanggungjawab hukum
(product liability) yang berakibat pada sikap kehati-hatian (precoison) baik
dalam menjaga kualitas produk, penggunaan bahan maupun memenuhi
apa yang telah di sepakati dalam perjanjian.
Pengaturan
perjanjian
antara
pihak
pelaku
usaha
dengan
konsumen dalam sistem hukum perdata terdapat pada Pasal 1313 KUH
Perdata menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”. Adapun yang dimaksudkan perjanjian menurut
Sudikno Mertokusumo bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara
dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau
kaedah hukum atau hak kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati
dan dijalankan. Kesepakatan itu menimbulkan akibat hukum dan bila
kesepakatan dilanggar maka akibat hukumnya si pelanggar dapat
dikenakan akibat hukum atau sanksi.13
Permasalahan
commerce banyak
memberikan
yang
terjadi
ditunjukkan
kewajibannya
dalam
dengan
kepada
transaksi
pelaku
usaha
konsumen
dalam
jual
yang
beli etidak
bertransaksi.
Menurut pasal 1234 KUH Perdata, tahap ini adalah ditunjukkan dengan
adanya wanprestasi yaitu tidak dapat dipenuhinya kewajiban dalam
perjanjian yang dapat disebabkan oleh dua kemungkinan sebagai berikut:
13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1990, Hlm.97
6
1
Debitur sama sekali tidak memenuhi perjanjian; debitur tidak
memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi
dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang
ditetapkan oleh undang- undang
2.
Debitur terlambat memenuhi perjanjian; debitur memenuhi prestasi
tetapi tidak tepat waktu, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian
tidak dipenuhi
3.
Debitur keliru memenuhi prestasi; debitur melaksanakan atau
memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh
undang-undang tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut
kualitas yang telah ditentukan dalam perjanjian atau yang telah
ditetapkan oleh undang–undang
4.
Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian atau tidak
boleh dilakukan.
Perlindungan yang berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan, serta kepastian hukum terhadap konsumen
sebagai pengguna barang/jasa, maka dalam UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1)
UUPK menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen”.
II.
BATASAN MASALAH
Berdasarkan hal tersebut maka paper terbatas ini menguraikan
secara
ringkas
Bagaimanakah
perlindungan
konsumen
dan
permasalahannya dalam e-commerce di Indonesia.?
III.
PEMBAHASAN
Filosofi
dari
UUPK
Tahun
1999
adalah
sebuah
sistem,
penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen tidak dapat
dilepaskan
dari
konteks
pembangunan
nasional.
Adanya
konsep
7
keterpaduan
pada
UUPK
perlindungan
hukum
Tahun
bagi
1999
konsumen
dalam
jika
penyelanggaraan
dibandingkan
dengan
konsiderans UUPK Tahun 1999 tentang latar belakang perlindungan
hukum bagi konsumen ini dilandasi motif-motif yang dapat diabstraksikan
sebagai berikut:
1.
Mewujudkan demokrasi ekonomi;
2.
Mendorong diversifikasi produk barang dan atau jasa sebagai
sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat luas pada era
globalisasi, serta menjamin ketersediaannya;
3.
Globalisasi
ekonomi
harus
tetap
menjamin
peningkatan
kesejahteraan masyarakat luas serta kepastian mutu, jumlah,
keamanan barang dan atau jasa;
4.
Peningkatan harkat dan martabad konsumen melalui hukum
(UUPK)
untuk
mewujudkan
keseimbangan
perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam suatu
perekonomian yang sehat.
Asas perlindungan hukum bagi konsumen pada Pasal 2 UUPK,
yakni asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum. Dapat dikatakan pembentuk undangundang menyadari bahwa perlindungan hukum bagi konsumen ibarat
sekeping uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, satu sisi
merupakan konsumen, sedangkan sisi yang lainnya pelaku usaha, dan
tidak mungkin hanya menggunakan satu sisi tanpa menggunakan kedua
sisi sekaligus.
a.
Konsumen dan Perlindungan Hak Konsumen
Konsumen (consumer) secara harfiah diartikan sebagai “orang atau
pelaku usaha yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu”; atau “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu
persediaan atau sejumlah barang”. Ada juga yang mengartikan “setiap
orang yang menggunakan barang atau jasa”. Pengertian di atas
8
memperlihatkan bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai orang
alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai pelaku usaha atau
badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah
konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri
atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).1421
UUPK Tahun 1999 mendefinisikan konsumen sebagai ... “Setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Lihat Ketentuan Umum Pasal
1 Ayat 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen
adalah end user/pengguna terakhir, tanpa konsumen merupakan pembeli
dari barang dan/atau jasa tersebut.
Berdasarkan hal tersebut perlindungan hukum bagi hak-hak
konsumen secara garis besar dibagi dalam 3 (tiga) hak yang menjadi
prinsip dasar, yaitu:
1.
hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari
kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta
kekayaan;
2.
hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga
wajar; dan
3.
hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap
permasalahan yang dihadapi.
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) menjadi landasan bagi sahnya perjanjian e-commerce selain
KUH Perdata Pasal 1313, Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata.
14
Arrianto Mukti Wibowo, et.al., 1999. “Kerangka Hukum Digital Signature dalam
Electronic Commerce”, Grup Riset Digital Security dan Electronic Commerce. Depok,
Jawa Barat: Fakultas Ilmu Komputer UI, hlm. 102.
9
c.
Ruang Lingkup dan pengaturan E-commerce
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) menjadi landasan perdagangan elektronik di Indonesia. Julian
Ding mendefinisikan e-commerce sebagai berikut :
“Electronic or e-commerce as it is also known is a commercial
transaction between a vendor and purchase or parties in similar
contractual relationship for the supply of goods, services or
acquisition of right. This commercial transaction is executed or
entered into electronic medium or digital medium where the
physical presence of parties is not required and medium exist in a
public network or system as opposed to private network (closed
system). The publish network system must considered on open
system (e.g the internet our world wide web). The transaction
concluded regardless of nation boundaries or local requirement”.
Terjemahan bebas pernyataan di atas adalah perdagangan secara
elektronik dikenal juga sebagai transaksi komersial antara vendor dan
pembeli atau pihak dalam hubungan kontraktual yang sama untuk
penyediaan barang, jasa atau akuisisi hak. Transaksi komersial ini
dijalankan atau dimasukkan ke dalam media elektronik atau media digital
di mana kehadiran fisik para pihak tidak diperlukan dan menengah yang
ada di jaringan publik atau SISTEM sebagai lawan jaringan pribadi (sistem
tertutup). Mempublikasikan jaringan SISTEM harus mempertimbangkan
SISTEM terbuka (misalnya jaringan internet dunia yang luas). Transaksi ecommerce disimpulkan tanpa mengenal batas negara atau kebutuhan
lokal.
Hal terse but menjelaskan ecommerce merupakan suatu transaksi
komersial yang dilakukan antar penjual dan pembeli atau dengan pihak
lain dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah
barang, pelayanan atau peralihan hak. Transaksi komersial ini terdapat
di dalam media elektronik (media digital) yang secara fisik tidak
memerlukan pertemuan para pihak yang bertransaksi dan keberadaan
media ini di dalam jaringan publik atau sistem yang berlawanan dengan
private
network
(sistem
tertutup).
Dari
definisi
tersebut, e-
10
commerce memiliki karakteristik yaitu adanya transaksi antar dua belah
pihak, adanya pertukaran barang jasa atau informasi, dan internet
merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme perdagangan.
Secara filosofis, Pasal 3 UU ITE Tahun 2008 mengatur bahwa
setiap pemanfaatan teknologi informasi harus didasarkan pada asas
“kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan netral
teknologi”. Lebih lanjut, mengenai pentingnya kepastian hukum ini
tertuang dalam Pasal 4 UU ITE yang mengatur bahwa “transaksi
elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman,
keadilan dan kepastian hukum…” Hal ini menyiratkan bahwa pelaku
usaha jual-beli dalam e-commerce harus mematuhi aturan hukum yang
berlaku.
Mekanisme transaksi secara e-commerce seperti di bawah ini :
1. Penjual
(merchant),
menawarkan
yaitu
produknya
perusahaan/produsen
melalui
internet.
Untuk
yang
menjadi
merchant, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai
merchant account pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan
agar merchant dapat menerima pembayaran dari customer
dalam bentuk credit card.
2.
Konsumen/ card
memperoleh
holder,
produk
yaitu
orang-orang
(barang/jasa)
melalui
yang
ingin
pembelian
secara online. Konsumen yang akan berbelanja di internet
dapat
berstatus
konsumen
perorangan
merupakan
atau
perorangan,
perusahaan.
maka
Apabila
yang
perlu
diperhatikan dalam transaksi e-commerce adalah bagaimana
sistem pembayaran yang digunakan, apakah pembayaran
dilakukan
dengan
mempergunakan credit
card atau
dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual/cash. Hal
ini penting untuk diketahui, mengingat tidak semua konsumen
yang akan berbelanja di internet adalah pemegang kartu kredit.
Pemegang kartu kredit adalah orang yang namanya tercetak
11
pada kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit berdasarkan
perjanjian yang dibuat.
3. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan
penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan
penerbit). Perantara pengaihan adalah pihak yang meneruskan
penagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk
kepadanya yang diberikan oleh penjual barang/jasa. Pihak
perantara pembayaran antara pemegang dan penerbit adalah
bank di mana pembayaran kartu kredit dilakukan oleh pemilik
kartu kredit/ card holder, selanjutnya bank yang menerima
pembayaran ini akan mengirimkan uang pembayaran tersebut
kepada penerbit kartu kredit.
4.
Issuer, yaitu perusahaan credit card yang menerbitkan kartu. Di
Indonesia
ada
beberapa
lembaga
yang
diijinkan
untuk
menerbitkan kartu kredit, yaitu:
a.
Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak semua
bank dapat menerbitkan credit card, hanya bank yang telah
memperoleh ijin dari card international, dapat menerbitkan
credit card, seperti Master dan Visa card.
b.
Perusahaan non bank dalam hal ini PT. Dinner Jaya
Indonesia International yang membuat perjanjian dengan
perusahaan yang ada di luar negeri.
c.
Perusahaan yang membuka cabang dari perusahaan induk
yang ada di luar negeri, yaitu American Express.
5. Certification Authorities yaitu pihak ketiga yang netral yang
memegang
hak
untuk
mengeluarkan
sertifikasi
kepada
merchant, kepada issuer dan dalam beberapa hal diberikan
kepada card holder.
Apabila transaksi e-commerce tidak sepenuhnya dilakukan secara
online dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang online
sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual/cash, maka
12
pihak acquirer, issuer dan certification authority tidak terlibat di dalamnya.
Disamping pihak- pihak tersebut diatas, pihak lain yang keterlibatannya
tidak secara langsung dalam transaksi e- commerce yaitu jasa pengiriman
(ekspedisi).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dianalogikan bahwa dalam
setiap transaksi jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen dilakukan
suatu perjanjian yang menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.
Pengertian perjanjian di atas belumlah lengkap dan terlalu luas,
belum lengkap karena perumusan diatas hanya mengenai perjanjian
sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena cakupan rumusan diatas
bias saja keluar dari maksud perjanjian dalam KUH Perdata yakni pada
lapangan hukum kekayaan. Sehingga pasal 1313 KUHPerdata tidak dapat
diajukan acuan dalam memperoleh pengertian perjanjian. Abdulkadir
Muhammad menyatakan, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal mengenai harta kekayaan. Maka untuk sahnya perjanjian
diperlukan 4 (empat) syarat sebagaimana yang disebut dalam pasal 1320
KUH Perdata yakni:
1.
Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya
2.
Capak untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal
Kaitannya
dengan
transaksi
e-commerce antara
pihak e-
merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet)
dengan e-customer (pihak yang membeli barang atau jasa melalui
internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya
berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang
digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan
dokumen
elektronik
(digital
document).
Kontrak online dalam e-
13
commerce memiliki banyak tipe dan variasi berdasarkan sarana yang
digunakan untuk membuat kontrak, yaitu :
1.
Kontrak melalui chatting dan video conference
2.
Kontrak melalui e-mail
3.
Kontrak melalui web
Jika dikaitkan permasalahan penegakan hukum dalam transaksi e-
commerce di Indonesia, berdasarkan Penjelasan umum atas Undangundang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor
utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah
tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya
diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Hal
ini diperlukan suatu upaya serius dari pemerintah untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia mengenai sosialisasi peraturan
hukum dan pengetahuan dalam transaksi e-commerce yang sebagaimana
untuk mencegah terjadinya perkembangan pidana dalam transaksi ecommerce yang berlangsung di dunia maya tersebut.
Pada hakikatnya sepanjang pelaksanaan e-commerce dilakukan
secara legal dan tidak melanggar ketentuan hukum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak ada alasan
bagi Aparat Penegak Hukum melakukan tindakan hukum apapun
terhadap pelaku usaha nakal dalam transaksi e-commerce ini.
Hal yang berkaitan langsung dengan pidana dalam praktik bisnis ecommerce dalam UU ITE terkait informasi bohong atau menyesatkan
terhadap konsumen (Pasal 28 ayat [1]) dan perbuatan memproduksi atau
memperdagangkan perangkat keras atau perangkat lunak yang digunakan
untuk memfasilitasi perbuatan pidana UU ITE (Pasal 34 ayat [1]).
Bunyi lengkap Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UU ITE
adalah sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”
14
Pasal 34 ayat (1) UU ITE sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan atau memiliki:
a. Perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang
atau
secara
khusus
dikembangkan
untuk
memfasilitasi
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai
dengan pasal 33 UU ITE”
b. Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis
dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat
diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33.”
Pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut dapat
dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1
miliar. Sedangkan, pelanggaran terhadap Pasal 34 ayat (1) UU ITE dapat
dikenai pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 10 miliar
rupiah. Dalam hal terdapat dugaan tindak pidana transaksi elektronik,
penyidik
pejabat
polisi
berwenang
untuk
melakukan
penyidikan,
penggeledahan, penyitaan terhadap sistem elektronik, penangkapan
maupun penahanan. Di sisi lain, secara perdata, apabila terdapat pihak
yang merasa dirugikan atas kegiatan perdagangan yang menggunakan
sistem elektronik, pihak tersebut dapat menggugat terhadap pihak yang
menyelenggarakan transaksi elektronik tersebut.
Dalam penerapan UU PK Tahun 1999 diperhatikan asas- asas
yang dijelaskan dalam pasal 2 UUPK yang menyebutkan “perlindungan
konsumen
berasaskan
masnfaat,
keadilan,
serta
keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”.
Asas- asas tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 UUPK
yang menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai
15
usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu:
1.
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberi manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat
dapat
diwujudkan
secara
maksimal
dan
memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3.
Asas
keseimbangan
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan antar kepentingan konsumen, pelaku usaha,
dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas kesamaan dan keselamatan
kepada
konsumen
dalam penggunaan,
pemakaian,
dan
pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara
menjamin kepastian hukum.
Untuk
menginterpretasikan
asas-asas
tersebut,
maka
perlu
diketahui hak- hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku usaha.
Hak- hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen dan pelaku
usaha tercantum di dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUPK Tahun
1999.
Di dalam pasal 5 UUPK, diatur tentang kewajiban konsumen yaitu:
16
1.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian
atau
pemanfaatan
barang
dan/
jasa,
demi
keamanan dan keselamatan
2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/ jasa
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengeketa perlindungan
konsumen secara patut
Di dalam pasal 6 UUPK, diatur tentang hak pelaku usaha yaitu:
1.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau
jasa yang diperdagangkan
2.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen beritikad tidak baik
3.
Hak untuk mendapatkan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen
4.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/
atau jasa yang diperdagangkan
5.
Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan
lainnya.
Di dalam pasal 7 UUPK, diatur tentang kewajiban pelaku usaha
yaitu:
1.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur dan tidak diskriminatif
17
4.
Menjamin mutu barang dan atau/atau jasa yang diproduksi
dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutut barang dan/ atau jasa yang berlaku
5.
Memberikan konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba
barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau
garansi
atas
barang
yang
dibuat
dan/
atau
yang
diperdagangkan
6.
Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian
apabila barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum
berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Adanya perbuatan melawan hukum;
b.
Adanya unsur kesalahan;
c.
Adanya kerugian;
d.
Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa
adanya kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang.
e.
Adanya unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan
melawan
hukum
memenuhi
unsur-unsur
berikut
:
(1) Bertentangan dengan hak orang lain; (2) Bertentangan
dengan kewajiban hukumnya sendiri; (3) Bertentangan dengan
kesusilaan; (4) Bertentangan dengan keharusan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain
atau benda.
Selain itu, dalam penerapan hak dan kewajiban yang harus
dilakukan oleh konsumen dan pelaku usaha, terdapat aturan yang
terdapat dalam UUPK yang mengatur perbuatan yang dilarang bagi para
pelaku usaha diatur dalam Bab IV UUPK yang terdiri dari 10 pasal, dimulai
dari pasal 8 sampai dengan pasal 17 yang diperuntukkan agar terjadinya
18
pertanggungjawaban hukum apabila terjadi kerugian yang dialami oleh
konsumen akhir.
Pasal 8 UUPK meliputi perbuatan larangan kegiatan usaha dalam
melaksanakan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan jasa
yang:
1.
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan
jumlah dalam htungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
3.
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4.
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/ atau jasa tersebut;
5.
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan,
gaya
mode,
atau
penggunaan
tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/ atau jasa tersebut;
6.
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/ atau jasa
tersebut;
7.
Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang
tersebut;
8.
Tidak
mengikuti
ketentuan
berproduksi
secara
halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam
label;
9.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/ isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
19
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menyurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/ atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Apabila pelaku usaha dalam menjalankan usahanya
melanggar
larangan-
larangan
dan
atau
menumbulkan
kerusakan, pencemaran dan/ atau kerugian kepada konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang diperjual
belikan maka pelaku usaha tersebut bertanggung jawab
memberikan ganti rugi. Ganti rugi tersebut dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa
sejenis atau secara nilainya atau perawatan kesehatan dan/
atau pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi (lihat pasal 19 UUPK). Disamping itu pelaku
usaha periklanan juga bertanggung jawab atas iklan yang
diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan
tersebut (Pasal 20 UUPK Tahun 1999).
Apabila telah terjadi suatu sengketa yang terjadi antara pelaku
usaha dengan konsumen terkait pemberian sesuatu, berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam pasal 1233 Jo 1234 KUH
Perdata atau dapat pula berbagai kombinasi dari prestasi tersebut. Objek
sengketa konsumen dalam hal ini dibatasi hanya menyangkut produk
konsumen yaitu barang atau jasa yang pada umumnya digunakan untuk
keperluan rumah tangganya dan tidak untuk tujuan komersial.
Pasal 23 UUPK Tahun 1999 menyebutkan bahwa apabila pelaku
usaha pabrikan dan/ atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau
tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat
20
pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dengan cara mengajukan
gugatan kepada peradilan di tempat kedudukan konsumen tersebut.
Pernyataan tersebut sejalan dengan Pasal 45 UUPK:
1.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungannya;
2.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela pihak yang bersengketa;
3.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada angka (2) tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang;
4.
Apabila telah dipilih upaya sengketa konsumen di luar
pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah
satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
IV.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, kesimpulan yang diperoleh
adalah, konsumen merupakan posisi yang rentan karena perjanjian yang
ditawarkan merupakan perjanjian baku, dimana posisi yang tidak
seimbang antara konsumen dan pelaku usaha. Selain itu menimbulkan
permasalahan dalam transaksi e-commerce di Indonesia yang harus
diselesaikan seperti penggunaan domain name, alat bukti, pembajakan
internet (Internet piracy) berkaitan dengan HKI, perlindungan konsumen
dalam transaksi e-commerce, pajak atas transaksi e-commerce yang
dilakukan oleh para pihak, pilihan hukum (choice of forum) yaitu pilihan
21
mengenai pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan sengketa di
antara para pihak yang melakukan transaksi e-commerce.
Saran
Peningkatan SDM dan prinsip kehati-hatian konsumen serta
penerapan tanggungjawab produk harus selalu di kedepankan dalam
penyelesaian masalah perlindungan konsumen secara e-commerce selain
diperlukan peningkatan SDM dan profesionalitas kinerja aparat penegak
hukum
dalam
mencegah
dan
menegakkan
hukum
perlindungan
konsumen terkait dengan hukum Cyber yaitu UU ITE Tahun 2008 dan
produk peraturan UU HKI di Indonesia. Hal lainnya penegakan hukum
seharusnya memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi
masyarakat khususnya bagi konsumen akhir selaku korban.
22