PERSPEKTIF PEDAGOGIK TENTANG LANDASAN MA

TUGAS II
LANDASAN PEDAGOGIK
Dosen : Prof. Dr. Juntika Nurihsan. H. MPd.
PERSPEKTIF PEDAGOGIK
TENTANG LANDASAN MANAJEMEN PENDIDIKAN
April 25, 2014

Oleh :
Adhi Prasetio - 1303238
Arif Partono Prasetio - 1303193

Universitas Pendidikan Indonesia
Program Doktor Ilmu Manajemen
2014

DAFTAR ISI
PERSPEKTIF PEDAGOGIK TENTANG LANDASAN MANAJEMEN PENDIDIKAN .............................2
Manajemen pendidikan berorientasi pada tujuan ................................................................................................ 2
Manajemen pendidikan berbasis pada proses ...................................................................................................... 8
Manajemen pendidikan berorientasi pada hasil .................................................................................................15
Manajemen pendidikan berbasis pada TQM (Total Quality Management) ......................................................17

Referensi............................................................................................................................................................20

1

PERSPEKTIF PEDAGOGIK TENTANG LANDASAN
MANAJEMEN PENDIDIKAN

MANAJEMEN PENDIDIKAN BERORIENTASI PADA TUJUAN
Orientasi

pendidikan

berbasis

sasaran/tujuan

(Goal-based

scenarios-GBS)


dikenalkan oleh Roger Schank. GBS merupakan model pembelajaran konstruktif yang
menggabungkan pembelajaran berbasis kasus (case-based learning) dengan praktek secara
langsung (learning by doing). GBS melakukan pembelajaran melalui serangkaian langkahlangkah yang prlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Medrano, 2005).
Schank (1992) menyatakan bahwa semua aspek di dalam kehidupan individu selalu terkait
dengan pencapaian suatu hasil/tujuan. Jika sasaran atau tujuan tersebut merupakan dasar
pada proses pemikiran manusia, maka model pembelajaran haruslah didominasi dengan
konsep tujuan tersebut. Tidak mengherankan apabila pembelajaran di sekolah mengalami
kegagagalan. Hal itu disebabkan karena pola yang disampaikan berusaha menggantikan
tujuan alamiah pendidikan yang didorong oleh rasa keingintahuan dengan tujuan artifisial
yang ditentukan oleh orang lain (pengajar). Saat ini kebanyakan peserta didik belajar bukan
agar bisa melakukan sesuatu, akan tetapi lebih sekedar pada menyenangkan pengajar,
memperoleh nilai baik atau agar bisa masuk ke perguruan tinggi yang bagus. GBS mencoba
memberikan alternatif sebagai proses pembelajaran yang berusaha mencapai serangkaian
tujuan yang lebih berarti dan memotivasi bagi peserta didik (GBS, 2011).

ELEMEN-ELEMEN DI DALAM GOAL-BASED SCENARIO
Medrano (2005) menjelaskan elemen-eleman di dalam GBS sebagai berikut:




Misi, yang akan memberikan motivasi kepada peserta didik dan tantangan yang harus
dicapai
Latar belakang, yang merupakan penjelasan mengenai pentingnya misi yang ditetapkan.
Di samping itu juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan



ketrampilannya dan mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan



praktek

Skenario, yang harus dibuat selaras dengan misi serta menandung banyak kegiatan

Sumberdaya, yang dapat digunakan oleh siswa untuk memperoleh ketrampilan yang
diharapkan
2




Umpan balik, yang harus diberikan tepat waktu, dalam bentuk bimbingan, penjelasan
akan akibat dari suatu tindakan, dan cerita pengalaman yang mirip dengan kondisi yang
sedang diajarkan. Kesemuanya itu dilakukan oleh pengajar yang memiliki latar
belakang cukup kuat di bidangnya.
Pada konsep aslinya, Schank (Hsu & Moore, 2011) mengemukakan adanya tujuh

elemen di dalam GBS yang akan penulis sajikan pada bagian presentasi. Berikut ke tujuh
elemen tersebut;

Goal Based Learning (GBS) didasarkan pada konsep untuk mengajarkan

serangkaian ketrampilan yang didapatkan melalui suatu proses penyelesaian tugas atau
pencapaian sasaran (Thomas, 2011). Peserta didik mempelajari seperangkat ketrampilan
selama proses pencapaian tujuan yang sesuai dengan kepentingan peserta didik. Hal ini
didasarkan pada konsep bahwa manusia belajar dari pengalaman dan kesalahan, di samping
itu pembelajaran yang terbaik adalah ketika dilakukan pada kondisi belajar alamiah, bukan
kondisi belajar artifisial. Sebaga contoh adalah pembelajaran Bahasa Inggris untuk
mempersiapkan diri dalam penugasan ke negara tersebut. Cara terbaik adalah melalui


3

pembelajaran langsung dari native-speaker , dimana kita bisa mempelajari cara komunikasi
yang dilakukan.
Meski model GBS merupakan cara terbaik, akan tetapi masih banyak orang yang
tidak mau melakukannya. Salah satu alasannya adalah karena orang tidak mau
kesalahannya

diungkapkan

(Thomas,

2011).

Untuk

menjembatani

kondisi


ini

dikembangkan model pembelajaran berbasis komputer (simulasi). Kembali pada contoh
Bahasa Inggris tadi, siswa dapat mempelajarinya melalui program di komputer atau melalui
video. Cara ini memberikan privasi yang lebih besar kepada siswa sebelum yang
bersangkutan melakukan komunikasi langsung dengan native-speaker .
Schank (Thomas, 2011) mengungkapkan kecenderungan belajar berdasarkan cara
eksperimen mulai berkurang dan digantikan dengan cara artifisial. Siswa tidak diajarkan
untuk mengembangkan pengetahuan mereka, tetapi sebaliknya diajarkan untuk sekedar
memperoleh nilai dan lulus. Kondisi ini merupakan akibat dari adanya sistem asesmen
sehingga menyebabkan sasaran pendidikan bukan pada pengembangan pengetahuan akan
tetapi pada pengukuran pemahaman. Dengan menggunakan GBS, perancang pembelajaran
harus menetapkan ketrampilan apa yang harus dikuasai oleh siswa setelah mengikuti mata
kuliah tertentu. Fokus utamanya adalah pada proses untuk mencapai sasaran tersebut. Di
dalam GBS, siswa dapat belajar berbagai ketrampilan dan berbagai subjek pengetahuan
sejalan dengan upaya mereka mencapai sasaran pembelajaran tersebut.
Thomas (2011) menyatakan bahwa Schank merasa yakin perlunya perkuliahan atau
model penyampaian materi untuk direvisi. Model baru yang disarankan adalah model yang
mengakomodasi kepentingan siswa untuk mengejar tujuan mereka. Siswa yang sudah
menentukan topik pilihannya dan menentukan sasaran pembelajaran, biasanya mereka akan

terlibat di dalam proses pembelajaran beragam topik dan ketrampilan yang dibutuhkan
mereka dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Satu hal yang penting dan harus ada di
dalam proses GBS adalah ketersediaan pengajar atau pembimbing yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
Secara sepintas, nampaknya GBS merupakan proses pembelajaran berbasis praktek
(learning by doing). GBS merupakan model yang lebih komprehensif. Pada model belajar
berbasis praktek, semua pembelajaran langsung dilakukan dengan sistem pratek. Pada
banyak kasus hal ini tidak bisa dilakukan. Mengapa demikian? Beberapa pengetahuan
mengandung risiko, sehingga tidak bisa langsung menggunakan sistem praktek. Contohnya
4

adalah cara mengoperasi jantung, cara menjinakkan bom, megemudikan pesawat, dan cara
membuat senjata nuklir. Oleh karena itu, Schank (Thomas, 2011) menyarankan adanya
dukungan dari model digital (teknologi) atau lingkungan pembelajaran virtual (virtual
training environments). Dengan adanya model pendukung aktivitas pembelajarn berbasis

praktek masih dapat dijalankan dengan tingkat risiko yang bisa diminimalkan. Model
belajar dengan lingkungan yang terkondisikan (simulasi, virtual, in-basket) memiliki
kelemahan. Peserta didik hanya menghadapi masalah tertentu yang dirancang selama proses
pendidikan. Oleh karena itu sangat disarankan agar dalam merancang model pendukung ini,

pengajar bisa memasukkan sebanyak mungkin skenario kejadian yang mungkin akan
dihadapi oleh siswa ketika menjelankan pekerjaan pada kondisi aslinya. Sebagai contoh;
siswa penerbangan sebaiknya diberikan skenario yang beragam ketika belajar mendarat.
Misalnya pada kondisi jarak pandang terbatas, ketika hujan, kondisi malam dan siang,
bandara dengan landas pacu beragam, kekuatan angin yang bervariasi, bahkan perlu
dipersiapkan juga cara mendaratkan pesawat di luar landasan normal ketika terjadi bencana.
Kelengkapan skenario ini akan sangat bermanfaat bagi pilot untuk mengantisipasi kondisikondisi yang kemungkinan terjadi.
Model GBS ini juga bisa dikatakan sebagai model pembelajaran yang berbasis
kinerja. Siswa yang menjalankan proses ini diharapkan akan memiliki serangkaian
pengetahuan dan ketrampilan yang akan membantu dia ketika menjalankan pekerjaan.
Dengan pengetahuan yang lengkap (know-how) maka individu yang bersangkutan
diharapkan dapat mencapai kinerja yang diharapkan organisasi. Untuk mencapai hal
tersebut siswa diharapkan bersikap aktif, tidak menunggu materi dari pengajar saja, tetapi
melengkapi dirinya dengan informasi lain yang unik sesuai kebutuhannya. Pada model ini
siswa diajarkan untuk memahami apa yang ada dibalik informasi atau pengetahuan yang
mereka dapatkan. Hal ini penting bagi mereka karena pengetahuan-pengetahuan tersebut
pada akhirnya akan mereka gunakan pada kehidupan nyata. Oleh karena itu sistem ini
sebaiknya dijalankan dengan metode kombinasi antara pembelajaran konseptual dengan
praktek langsung. Keberadaan pembimbing atau pengajar yang sangat berpengalaman
dibutuhkan dalam mendukung keberhasilan model ini. GBS membutuhkan pengajar yang

bisa menjadi pemandu, bukan sekedar mentransfer ilmu saja. Pengajar pada model GBS
harus dapat berinteraksi dengan siswa didik. Tanpa adanya interaksi, maka model GBS
tidak lebih dari sekedar belajar mandiri saja. Pada model pembimbingan ini, pengajar bisa
menyampaikan cerita-cerita positif dan keberhasilan terkait ketrampilan yang diajarkan.

5

Misalnya, kembali pada contoh pilot tadi, pengajar bisa menyajikan keberhasilan pilot
dalam melakukan pendaratan darurat. Ini akan memotivasi siswa bahwa apa yang
dipelajarinya akan bermanfaat bagi pekerjaannya kelak.
Terakhir, GBS berorientasi pada perubahan kinerja yang dialami oleh peserta didik,
bukan pada penambahan pegetahuan saja. Sekedar menambah pengetahuan belum tentu
dapat digunakan di tempat kerja. Penambahan pengetahuan adlah sasawan awal, siswa
harus mendapatkan pengetahuan baru. Akan tetapi yang lebih penting adalah apakah
pengetahuan baru tersebut diaplikasikan di dalam pekerjaan mereka.
Di dalam model pembelajasn GBS ternyata terkandung konsep paradoks. Konsep
ini disampaikan oleh Montgomery (1996). Implementasi model GBS membutuhkan dua
pendekatan, fleksibel dan sekaligus konsisten, dua hal yang sebenarnya bertentangan. Akan
tetapi konsep tersebut saling mendukung dalam penerapan GBS. GBS membutuhkan
fleksibilitas untuk mengakomodasi pembelajaran individual, harus bisa dikembangkan

dengan cepat, harus dapat disesuaikan dengan materi terkini dan dapat didukung dengan
multimedia, serta harus bisa dilakukan melalui perpaduan antara pengajar dan komputer.
Sedangkan untuk sisi konsistennya, GBS haruslah konsisten dengan target awal yang
ditetapkan serta harus senantiasa memberikan dukungan kepada siswa untuk mempelajari
apa yang mereka butuhkan, untuk selalu terlibat dalam kegiatan pembelajaran, dan akhirnya
menghasilkan kinerja di atas standar. Menutup kajian GBS ini penulis menyajikan diagram
yang menggambarkan proses perkembangan di dalam menjalankan model pembelajaran
GSB;

6

KESIMPULAN
Model pembelajaran yang didasarkan pada transfer informasi saja dinilai sudah
tidak sesuai kebutuhan. Siswa didik membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang bisa
digunakan mereka ketika bekerja atau memulai usaha sendiri (entrepreneur ). Teori-teori
perlu disampaikan kepada siswa sebagai bekal dasar mereka untuk mengetahui
pengetahuan tersebut. Selanjutnya, siswa diarahkan untuk mempelajari dan menguasai
ketrampilan yang dibutuhkan ketika nanti mereka dihadapkan pada masalah. Menggunakan
contoh dari Schank (1992), teori mengenai cara pembuatan berita diperlukan siswa, akan
tetapi pembelajaran tidak berhenti disitu saja. Siswa perlu diarahkan untuk mengetahui juga

ketrampilan dan pengetahuan apa saja yang mereka butuhkan untuk menyusun satu berita
tersebut. Dengan demikian siswa didorong untuk tidak sekedar menerima informasi dari
pengajar, tetapi mereka mengkajinya dan membandingkan dengan kebutuhan mereka
nantinya. Ini sejalan dengan paham bahwa manusia belajar dari pengalaman.
Perbedaan antara GBS dengan model pembelajaran konvensional adalah pada
pengntegrasian pengetahuan dan ketrampilan yang mereka peroleh untuk digunakan dalam
menyelesaikan masalah atau mencapai sasaran dalam bekerja. Dengan kata lain, GBS lebih
memotivasi dan mendorong siswa untuk mempelajari tidak saja pengetahuannya, akan
tetapi apa yang ada di balik pengetahuan tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis
berpendapat bahwa GBS adalah suatu lingkungan pembelajaran yang difokuskan pada
perubahan kinerja, dimana siswa diberikan tantangan untuk mencapai suatu tujuan dengan
menggunakan beragam proses dan sumberdaya yang diselenggarakan dalam lingkungan
yang relatif bebas risiko, sehingga siswa mampu mengeksplorasi semua aspek pengetahuan
yang dia pelajari baik dari praktek yang benar atau melalui kesalahan yang dilakukan.
dengan demikian, GBS bukan sekedar model pembelajaran berbasiskan studi kasus,
simulasi, pembelajaran berbasis komputer, dan pembelajaran dalam kondisi miniatur dari
aslinya. GBS lebih sebagai model pembelajarn komprehensif yang menggabungkan
berbagai aspek di atas dengan tujuan agar siswa menguasai sepenuhnya hal yang ingin dia
pelajari.
Sasaran akhir dari GBS adalah memberikan motivasi, perasaan telah mencapai
sesuatu, adanya dukungan sistem, dan fokus pada ketrampilan bukan sekedar fakta. Fakta
seringkali menyesatkan, karena seolah-oleh memberitahu bahwa kita sudah menguasai
suatu pengetahuan. Akan tetapi seringkali kita hanya sekedar tahu saja, tetapi belum

7

memahami dengan benar. GBS yang dipadukan dengan interaksi dua arah dapat menjadi
kerangkan pembelajaran yang memberikan arti dan nilai lebih pada proses pendidikan,
apalagi jika interaksi tersebut dikuatkan lagi dengan kajian contoh-contoh aplikatif dari
lingkungan nyata.
Terakhir, pada model GBS, evaluasi dilakukan tidak mengukur pemahaman siswa
akan materi yang disampaikan, akan tetapi pada bagaimana mereka menyelesaikan masalah
yang dihadapi menggunakan rangkaian informasi yang diperoleh selama menjalani proses
pembelajara. Dengan demikian penggunaan sistem benar salah atau pilihan ganda untuk
mengukur model GBS adalah tidak tepat. Pengajar disarankan agar tidak melakukan cara
pengukuran demikian karena hal itu kurang bermanfaat. Tugas pengajar adalah
menyampaikan teori-teori sesuai dengan mata kuliah yang diajarkan, kemudian mereka
membimbing siswa agar dapat mengaplikasikan teori tersebut dalam menghadapi masalah.
Keberadaan buku teks diperlukan sebagai landangan teoritis, lebih penting lagi pengajar
mencari bahan kajian dari kejadian atau praktek yang terjadi di dunia nyata.

MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS PADA PROSES
Tuntutan untuk menghasilkan proses pembelajaran yang berkualitas semakin besar.
Hal ini muncul karena model pembelajaran yang saat ini ada dinilai belum bisa
mengakomodasi kebutuhan siswa yang makin berkembang. Salah satu model yang
disarankan adalah Process-based Instruction (PBL). Sebelum membahas mengenai
process-based education (learning/instruction) ada baiknya kita lihat dahulu proses belajar

mengajar model tradisional yang saat ini masih banyak digunakan. Proses belajar mengajar
tradisional ini memiliki ciri khusus yaitu adanya transfer pengetahuan dari pengajar ke
siswa. Keberhasilan pengajaran diukur dari seberapa banyak materi yang dikuasai oleh
siswa. Di samping itu, siswa dianggap sebagai pihak yang pasif dan hanya menerima materi
saja (Kutama, 2002). Sedangkan process-based learning (PBL) pada tahap awal juga
sependapat bahwa pengetahuan itu berasal dari lingkungan eksternal siswa yang harus
dikenalkan dan diajarkan. Pada awalnya materi diajarkan pada siswa yang kemudian
mengikuti contoh dari pengajar untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi pada PBL, siswa
diarahkan agar bisa bersikap mandiri untuk belajar dan mengembangkan pemikirannya.
Selanjutnya, pengajar hanya memberikan arahan dalam hal perencanaan pengajaran dan
kemudian melakukan evaluasi.

8

Process-oriented instruction (PBI) didefinisikan sebagai suatu instruksi yang

ditujukan untuk mengajarkan cara berpikir strategis dan penguasaan pengetahuan tertentu
secara terpadu (Vermunt, 1995). Konsep baru ini dihasilkan dari riset psikologi mengenai
cara belajar siswa dan kondisi saling mempengaruhi antara dorongan dari dalam diri
dengan dorongan dari luar terhadap pembelajaran. Sedangkan de Jong (1995) menyatakan
bahwa PBL mencoba mengubah proses pembelajaran dari bersifat perseptif (pasif dan
menerima) menjadi proses yang konstruktif. Pergerseran ini diakibatkan perubahan yang
ada dalam masyarakat yang menuntut kemampuan kognitif dari individu. PBL tidak
terbatas pada aktivitas untuk memproses informasi, tetapi juga aktivitas yang afektif atau
memahami lebih dalam informasi tersebut. Dengan kata lain, PBL berusaha meningkatkan
kompetensi belajar siswa dengan cara mengembangkan kemampuan kognitif dan meta
kognitifnya.
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa PBL memiliki elemen pengajaran
tradisional dalam hal penyampaian materi dan elemen pembelajaran konstruktif ketika
siswa diarahkan untuk bisa mandiri dalam mencari, menemukan, membahas, dan
mengembangkan pemikiran baru terkait materi yang sudah disampaikan sebelumnya.
Vermunt (Kutama, 2002) menyatakan bahwa inti dari PBL adalah konstruktivisme.
Penekanannya adalah pada siswa serta cara pembelajaran dan pemikiran mereka. Proses ini
berjalan secara bertahap, dimulai sejak transfer pengetahuan dari pengajar dan selanjutnya
siswa mengembangkan pengetahuan tersebut. Dengan kata lain siswa juga memiliki
tanggung jawab atas tingkat penyerapan pengetahuan yang diajarkan. Diharapkan pada
akhirnya, siswa bisa mengembangkan pemahaman mereka sendiri terhadap materi yang
diajarkan. Menurut Conway & Ashman (Kutama, 2002) PBL ditandai dengan adanya 3
tahap pembelajaran:
-

Tahap awal

-

Tahapan serangkaian proses kontinyu

-

Tahap pemikiran atau meta kognitif

Tahapan di atas memperlihatkan adanya proses pemikiran reflektif. Hal yang juga
penting adalah PBL merupakan proses membangun pengetahuan oleh siswa. Siswa dilatih
agar bisa mandiri dalam mencari solusi dan menyelesaikan masalah. Proses pembelajaran
yang dapat dianggap sebagai PBL harus memenuhi keriteria sebagai berikut;

9

-

Diselenggarakan di kelas dengan siswa yang beragam (siswa biasa dan yang
berbakat)

-

Terintegrasi dengan kurikulum atau program

-

Mengakomodasi pengajar dan siswa untuk menerapkan model pemecahan
masalah yang baru

-

Mengijinkan siswa untuk beralih dari rangkaian pembelajaran pengajar dan
menggunakan rencana mereka sendiri

Di dalam proses PBL, siswa dapat bekerja secara individual ataupun kelompok
mereka juga bisa berbagi solusi untuk setiap masalah yang dihadapi. Beberapa situasi yang
dapat berlangsung antara lain; memberikan solusi, menjelaskan solusi, mengkaji solusi, dan
menggambarkan solusi. PBL tidak hanya mengajarkan siswa agar berpikir srategis,tetapi
juga membantu mereka dalam mencari solusi untuk menyelesaikan masalah (Kutama,
2002). Ashman, Wright, & Conway (Kutama, 2002) menyatakan bahwa siswa harus
diajarkan bagaimana mengelola dan menyaring pikiran mereka untuk menyelesaikan
masalah, baik di lingkungan akademik ataupun anti di lingkungan industri. Model meta
kognitif ini menjadikan PBL berbeda dengan model lain. Di dalam PBL, pengajar
bertanggung jawab untuk menentukan isi kurikulum, rangkaian aktivitas dan metode
pengajaran. Di dalam prosesnya, siswa diberikan kesempatan untuk bertanggung jawab atas
pembelajaran yang mereka lakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan ulang
dengan kata-kata sendiri masalah yang sedang dibahas atau melalui diskusi dalam
kelompok serta menjadi tutor bagi siswa lain.
TAHAPAN DI DALAM PBL
Ashman, Wright & Conway (Kutama, 2002) juga menyampaikan adanya 4 tahap di
dalam PBL;
1. pengantar, pengajar menyampaikan rencana pengajaran kepada siswa selanjutnya
siswa menyampaikan kebutuhannya
2. pembentukan, setelah siswa memahami materi dan rencana pengajaran maka
mereka mulai menggunakannya pada berbagai situasi
3. konsolidasi, sejalan dengan makin dikuasainya materi siswa mulai bisa
menyelesaikan masalah yang lebih kompleks

10

4. inkorporasi, tahapan ini merupakan evaluasi ketika pengajar mengukur efektivitas
dari model yang diterapkan dan mengukur kemampuan siswa melalui tugas-tugas
baru
Meski siswa diharapkan bisa saling membantu dalam meningkatkan pengetahuan
yang dimiliki, pemantauan dan bimbingan dari pengajar masih diperlukan. Pemantuan ini
dapat membantu pengajar untuk memahami strategi pembelajaran yang digunakan
siswanya. Menurut Vermunt (1995) tes dan ujian merupakan pengukur yang tepat di dalam
PBL. Pengukuran dilakukan terhadap kemampuan berpikir strategis bukan pada
pemahaman siswa terhadap konten atau materi. PBL diharapkan bisa mengarahkan siswa
untuk mengubah orientasinya dari ketergantungan pada lingkungan luar menjadi keyakinan
akan diri sendiri. PBL mengkombinasikan model kognitif, afektif, dan meta kognitif.
DASAR PENERAPAN PBL
Penerapan PBL didasarkan pada konsep bahwa pengetahuan dibangun melalui
kegiatan mental dari siswa. Kegiatan mental disini diartikan sebagai kerangka berpikir atau
konseptual yang menentukan bagaimana pengetahuan digunakan. Dengan demikian,
pembentukan mental yang tepat dapat meningkatkan keberhasilan belajar. Konsep PBL
juga didasarkan pada pandangan teori konstruktif mengenai pengetahuan, konsep
kemandirian dalam belajar. Diyakini bahwa keberhasilan siswa dalam belajar dipengaruhi
oleh konsepsi pembelajaran yang mereka miliki serta pengaturan proses belajar. Penulis
menilai bahwa konsep PBL ini dikembangkan karena munculnya pandangan bahwa
keberhasilan siswa dalam belajar bukan ditentukan oleh pengajar dan kurikulum, tetapi juga
ditentukan oleh cara pandang siswa terhadap pembelajaran yang mereka lakukan. Faktor
terakhir ini justru memiliki peran paling utama.
SASARAN PBL
PBL diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kemampuan kognitif
dan proses meta kognitif siswa dalam membangun dan menggunakan pengetahuan. PBL
menekankan pentingnya pengetahuan untuk mempelajari (knowledge about learning)
sehingga merasa perlu untuk mengembangkan model mental yang kuat. Model mental yang
tepat mengenai isi pengetahuan terdiri dari bentuk pengetahuan yang berarti, mudah
diakses, terorganisir, saling terhubung, dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ilmu
tersebut. Mengembangkan kemampuan ini merupakan tujuan utama dari PBL.

11

Tiberghien dan Megalakaki (Volet, 1995) menyajikan contoh yang jelas mengenai
proses permodelan tersebut membantu siswa untuk menghubungkan pengetahuan berbasis
pengalaman dan teori yang mereka miliki. PBL dapat membantu siswa untuk membiasakan
diri dengan proses berpikir relasional, sehingga mereka bisa mengkaitkan teori dengan
kondisi di dunia nyata. Model mental yang sesuai untuk memahami pegetahuan biasanya
mengandung penetahuan yang deklaratif, prosedural, dan kondisional untuk setiap ilmu.
PBL diarahkan pada penguatan kemampuan siswa dalam hal pengetahuan prosedural dan
kondisional, bukan pada deklaratif. Meski demikian, Falvell dan Weinstein, Goetz, &
Alexander (Volet, 1995) mengasumsikan model mental pembelajaran dari siswa yang
berhasil terdiri dari pengetahuan deklaratif dan pemahaman faktor penting dalam
pembelajaran serta pengetahuan prosedural dan kondisional yang terkait dengan seragaian
strategi pengelolaan pembelajaran.
Model mental ini mendorong siswa untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan
dengan mempertanyakan konsep yang mereka pelajari. Tentu saja untuk bisa
mempertanyakan atau membahas, siswa harus memiliki pengetahuan dasar terlebih dahulu.
Dengan berbekal pengetahuan dasar dan memahami cara belajar yang tepat, siswa bisa
membangun pengetahuan yang lebih luas, lengkap, dan bermanfaat.
FOKUS PBL
Mengacu pada penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa fokus di dalam PBL
adalah pada kegiatan siswa untuk memperoleh pengatahuan. Salah satu aspek penting di
dalam PBL adalah meningkatkan jumlah aktivitas mental selama proses belajar. Siswa
didorong untuk terlibat di dalam kegiatan belajar yang menuntut perhatian mereka seperti
berpikir, mengajukan jawaban, menganalisis, dan membandingkan teori. Pengembangan
model mental kontekstual juga dirangsang dalam bentuk dorongan agar siswa mempelajari
berbagai konten secara simultan dan menggunakannya sesuai kebutuhan. Aktivitas lain
yang mendorong berkembangnya model mental siswa adalah transfer tanggung jawab dari
pengajar ke siswa. Siswa juga harus bertanggung jawab atas apa yang dia pelajari. Peran
pengajar selanjutnya hanya sebagai pembimbing atau fasilitator. Dengan demikian
diharapkan siswa dapat mengalami peningkatan kemampuan berpikir strategis untuk
memecahkan masalah.
Siswa bisa mengembangkan pengetahuan metakognitif dan perilaku kompeten
dengan cara mengaplikasikan aspek tersebut dalam penerapan kognitif yang efektif dan
12

efisien, afektif, dan aktivtas mandiri serta strategi yang digunakan dalam pembentukan
pengetahuan (belajar dan mengkaji). Materi dari pengajar, buku komputer, panduan dan
lain-lain harus mendukung proses belajar mandiri.
Untuk mengukur perkembangannya, dapat dilihat apakah siswa sudah mengalami
peningkatan terkait pemahaman mereka dalam berperilaku mandiri selama menjalankan
proses belajarnya. Hal ini diperlukan untuk melihat siswa yang berhasil dan yang kurang
berhasil. Seperti prinsip utama di dalam PBL yaitu pembelajaran adalah proses
pembangungan pengetahuan secara aktif. Proses belajar bukanlah tindakan pasif dalam
menerima pengetahuan. PBL memahami pentingnya menciptakan suasana dan lingkungan
yang bisa mendorong siswa untuk membangun wawasan serta pengetahuan dengan cara
memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh selama mencari solusi bagi kasus-kasus
kompleks dan praktis yang didasarkan pada kondisi nyata di dalam kehidupan pekerjaan
sehari-hari. Hal ini membuat siswa memperolah gambaran yang lebih luas dan memiliki
pengalaman praktis yang bermanfaat sebagai bekal ketika mereka nanti bekerja.
Selanjutnya, Vermunt (1995) mengatakan bahwa PBL harus memberikan dukungan
bagi siswa untuk lebih bertanggung jawab dan memiliki kendali atas proses pembentukan
pengetahuan mereka. Sedangkan pengajar harus memahami bahwa proses belajar dan
memahami tidak hanya berisi kegiatan kogitif saja, tetapi juga termasuk kegiatan afektif
dan pengaturan (regulatory). Belajar dan pemahaman adalah proses dialog, dengan
demikian proses belajar adalah proses sosial dimana semua peserta di dalam dialog tersebut
harus mengetahui apa yang dikuasai oleh masing-masing pihak, dan bagaimana cara
mereka mengartikan dan memahami melalui komunikasi yang bisa mengakomodasi pihak
yang memiliki pengetahuan lebih rendah, serta mendorong munculnya kepedulian terhadap
semua faktor yang mempengaruhi proses pembentukan pengetahuan.
De Jong (Vermunt, 1995) mengemukakan bahwa kegiatan seperti penemuan,
penjelasan, demonstrasi, tranfer tanggung jawab pembelajaran secara bertahap, berpikir dan
mengemukakan pendapat, berbicara di depan kelas merupakan kegiatan yang sangat
membantu dan efektif di dalam proses belajar dan memahami sesuatu. Sehingga pengajar
harus mampu membangun suasana yang mendukung ke arah sana. Aktivitas-aktivitas
tersebut, yang secara tradisional merupakan domain pengajar harus diupayakan agar bisa
menyatu dengan proses belajar siswa. Dengan demikian, proses pembentukan pengetahuan
secara aktif dapat terlaksana.

13

KESIMPULAN
Melalui penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa PBL atau process-oriented
instruction merupakan pembentukan pengetahuan dasar yang fleksibel melalui kegiatan
pengembangan mental peserta didik (siswa). PBL tidak hanya memperhatikan aktivitas
berbasis kognitif saja tetapi juga pada kegiatan yang bersifat kognitif strategis, metakognitif
(perencanaan, monitoring, dan pengelolaan) serta strategi pembelajaran. PBL mencakup
kegiatan belajar mengajar yang mendorong peningkatan kompetensi belajar dari siswa
(peningkatan kualitas kognitif dan metakognitif) sehingga siswa lebih mampu dalam
mengendalikan proses belajar mereka serta lebih bertanggung jawab atas keberhasilan
mereka dalam membentuk pengetahua yang komprehensif. Hal ini sesuai dengan definisi
dari PBL sebagai suatu bentuk kegiatan pembelajaran yang ditujukan untuk meningkatkan
penerapan gaya belajar yang lebih berarti dan aplikatif. Proses tersebut dapat terbentuk
dengan penerapan prinsip-prinsip yang tercantum pada gambar berikut;

14

MANAJEMEN PENDIDIKAN BERORIENTASI PADA HASIL
Manajemen pendidikan berorientasi pada hasil (Outcome-based Education - OBE)
didefinisikan oleh Davis (2003) sebagai “an approach to education in which decisions
about the curriculum are driven by the exit learning outcomes that the students should
display at the end of the course”. OBE merupakan pendekatan dalam pendidikan di mana

keputusan mengenai kurikulum dibuat berdasarkan hasil pembelajaran yang harus
ditampilkan oleh siswa pada akhir proses pembelajaran. Metode OBE merupakan metode
pembelajaran yang berpusat pada siswa dan memiliki fokus dalam mengukur performansi
siswa secara empiris.
Penekanan pada sistem pendidikan OBE lebih pada pengukuran hasil dan bukan
pada input seperti berapa banyak jam yang dihabiskan siswa dalam kelas, atau buku teks
apa yang disediakan. Hasil dapat berupa pencapaian ketrampilan dan pengetahuan pada
tingkat tertentu, penurunan jumlah angkatan muda yang tidak bekerja atau return-oninvestment (Wiki, 2014). Secara umum, hasil diharapkan untuk dapat diukur secara nyata,

sebagai contoh “seorang siswa dapat berenang sejauh 25 meter dalam waktu kurang dari 2
menit” dan bukan “siswa menikmati kelas pendidikan fisik”. Menentukan hasil dapat
menjadi proses yang sanga tdulit dan pemilihan hasil sering menjadi kontroversi dalam
institusi pendidikan. Setiap institusi pendidikan bertanggung jawab untuk menentukan hasil
mereka sendiri.
Pendekatan berorientasi hasil ini memiliki perbedaan dengan pendidikan tradisional.
Pada sistem dan ekonomi pendidikan tradisional, siswa diberikan peringkat dan
dibandingkan satu sama lain. Isi dan harapan performansi siswa sebagian besar didasarkan
pada apa yang diajarkan di masa lalu pada siswa dengan umur tertentu. Tujuan dasar dari
pendidikan tradisional adalah menyajikan pengetahuan dan ketrampilan generasi terdahulu
kepada siswa generasi selanjutnya, dan menyediakan lingkungan belajar bagi siswa dengan
hanya sedikit perhatian mengenai apakah seorang siswa dapat belajar dari materi yang
disajikan. Bagi sebuah sekolah, mereka cukup memberikan kesempatan belajar, sementara
pencapaian nyata tidak merupakan persyaratan dalam sistem sekolah tersebut.
Pada kenyataannya, pada model tradisional tersebut, siswa diharapkan dapat
menampilkan banyak sekali kemampuan. Kegagalan beberapa siswa masih dapat diterima
dan dianggap sebagai hal yang alami serta tidak dapat dihindari pada kondisi tertentu.

15

Sekolah menggunakan tes yang standar, biasanya berupa pilihan ganda dengan satu
jawaban yang benar untuk menentukan peringkat seorang siswa. Tes tersebut tidak
memberikan kriteria penilaian tentang apakah seorang siswa sudah memenuhi standar
tertentu atau belum. Pemeringkatan ini hanya untuk membandingkan antar siswa satu sama
lain. Meskipun sistem pendidikan dengan pendekatan OBE ini memiliki kelebihan jika
dibandingkan dengan pendekatan tradisional, di mana seorang siswa diharapkan dapat
memiliki tingkat pengetahuan atau ketrampilan tertentu, namun terdapat beberapa kritik
atas pendekatan OBE ini.
Kritik yang pertama adalah mengenai standar pengetesan. Pendekatan OBE
dianggap tidak dapat mengukur secara memadai keahlian siswa atas tujuan hasil yang
sudah ditetapkan. Beberapa orang tua merasa keberatan dengan model pengetesan yang
standar karena mereka berpikir bahwa tidak adil bagi sebuah sekolah untuk mensyaratkan
tingkat kerja yang sama bagi semua siswa yang ada dasarnya memiliki perbedaan masingmasing. Kritik lain tentang OBE terkait dengan hasil yang dianggap tidak memadai.
Banyak orang tidak setuju dengan pendekatan OBE karena mereka tidak menyukai hasil
yang ditawarkan. Mereka berpikir bahwa standar yang dibuat terlalu mudah, terlalu sulit
atau memiliki sudut pandang yang keliru. Standar pencapaian terkadang dibuat rendah
untuk mengakomodir kepentingan siswa yang memiliki pencapaian rendah, dengan harapan
bahwa standar tersebut dapat dipenuhi oleh siswa yang memiliki pencapaian terendah.
Namun demikian, apabila standar dibuat terlalu tinggi maka ada kemungkinan orang tua
siswa meminta agar standar dibuat lebih rendah agar anak mereka dapat lulus.
Kritik berikutnya adalah mengenai hasil tertentu yang tidak disukai. Banyak
keluhan yang ditujukan atas standar tertentu. Hal ini terjadi karena ada perbedaan
pandangan di masyarakat mengenai pengetahuan dan ketrampilan apa yang seharusnya
dimiliki oleh seorang siswa. Masalah ini sebenarnya lebih kepada kritik atas isi dan bukan
pada keberadaan standar itu sendiri. Pendekatan Outcome-based Education ini diterapkan
pada kurikulum yang berorientasi pada pencapaian kompetensi, seperti KBK. Kurikulum
berorientasi pada pencapaian kompetensi, merupakan upaya untuk mempersiapkan peserta
didik agar memiliki kemampuan intelektual, emosional, spiritual dan social yang bermutu
tinggi sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing seperti yang digariskan dalam
undang-undang dan peraturan pemerintah (Saepudin, 2012).

16

Atas dasar hal tersebut, maka kurikulum memberikan keleluasaan pada guru untuk
berimprovisasi sesuai dengan karakteristik siswa dan kondisi daerah setempat. Dengan
demikian setiap guru di sekolah harus mampu menjabarkan kurikulum secara kreatif dan
inovatif ke dalam sistem instruksional sesuai dengan karakteristik siswa dan kondisi serta
kebutuhan daerah. Lebih lanjut, Saepudin (2012) menjelaskan bahwa kurikulum
berorientasi

pada

pencapaian

kompetensi,

memiliki

perbedaan

yang

mendasar

dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Secara filosofis kurikulum ini lebih
menekankan pada tujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kemampuan dasar
(competency oriented) bukan manusia yang hanya menguasai bahan pelajaran (content
oriented). Dari pengertian di atas, dapat ditarik 2 mana tersirat. Yang pertama adalah

mengharapkan adanya hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik
melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna. Makna tersirat kedua adalah
memberikan peluang pada siswa sesuai dengan keberagaman yang dimiliki masing-masing
(Saepudin, 2012).

MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS PADA TQM (TOTAL
QUALITY MANAGEMENT)
Pendekatan lain dalam pendidikan adalah dengan melihat dari kualitas/mutu
pendidikan yang dilakukan. Kualitas merupakan bagian terpenting dari semua hal dan
peningkatan kualitas mungkin merupakan tugas yang paling penting yang harus dihadapi
oleh setiap institusi (Sallis, 2002:1). Urgensi penerapan manajemen mutu adalah perlu
adanya suatu pengelolaan agar mutu yang baik bisa dicapai oleh suatu organisasi.
Pengelolaan inilah yang disebut sebagai manajemen mutu. Manajemen mutu merupakan
sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi, dibangun berdasar konsep
kualitas dan beroirentasi pada kepuasan. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat
karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan.
Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif.
Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang
menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung
menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan
manfaat produk dan jasa tersebut. Pertanyaan yag muncul kemudian adalah, bagaimana
menghasilkan mutu dalam hal pendidikan? Untuk menghasilkan mutu pendidikan yang

17

berkualitas maka perlu adanya kesolidan dari para pengajar dengan diterapkannya aturan
yang jelas dan tegas, dengan orientasi keberhasilan menghasilkan output yang berkualitas.
Sistim pencatatan dan pengolahan data yang terintegrasi dalam pengambilan keputusan,
administrasi yang baik, organisasi yang efisien namun efektif untuk menjalankan misi dan
mencapai visi instansi pendidikan tersebut.
Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil
kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan
kebutuhan dan harapan pengguna/langganan. Setiap pimpinan harus berorientasi pada
proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan
bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang
konsisten dan terus menerus. Kurikulum yang berkualitaspun menjadi faktor penting dalam
menghasilkan mutu pendidikan yang berkualitas, untuk itu perlu sinergi antara pengajar dan
yang diajar dalam mengoptimalkan kurikulum agar maksud dari kurikulum tersebut dapat
tersampaikan. Potensi perkembangan, dan keaktifan murid tentu saja merupakan yang
paling utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Perkembangan fisik yang baik, baik
jasmani maupun otak, akan menentukan kemajuannya. Demikian pula dengan lainnya,
misalnya bakat, perkembangan mental, emosional, pibadi, sosial, sikap mental, nilai-nilai,
minat, pengertian, umur, dan kesehatan. Semuanya akan mempengaruhi hasil belajar dan
mutu seseorang. Untuk itu, maka perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting.
Konsep manajemen yang cukup banyak digunakan terkait dengan pengelolaan
kualitas adalah Total Quality Management (TQM). Total Quality Management (TQM) atau
manajemen mutu menyeluruh adalah suatu konsep manajemen yang telah dikembangkan
sejak 50 tahun lalu dari berbagai aspek/praktek manajemen serta usaha peningkatan dan
pengembangan produktivitas. TQM memperkenalkan pengembangan proses produk dan
pelayanan sebuah organisasi secara sistematik dan bekesinambungan. Pendekatan tersebut
ini berusaha untuk melibatkan semua pihak terkait, dan memastikan bahwa pengalaman dan
ide - ide mereka yang memiliki sumbangan dalam pengembangan mutu.
Sallis (2002:25) menjelaskan TQM sebagai “a practical but strategic approach to
running an organization that focuses on the needs of its customers and clients ”, sebuah

pendekatan praktis yang strategik untuk menjalankan organisasi yang berfokus pada
kebutuhan pelanggan mereka. Di masa lalu, literatur mengenai manajemen lebih berfokus
pada fungsi - fungsi kontrol kelembagaan, termasuk perencanaan pengorganisasian

18

perekrutan staf, pemberian arahan, penugasan, strukturisasi dan penyusunan anggaran.
Konsep manajemen ini kemudian berkembang dan membuka jalan menuju paradigma
berpikir baru yang mulai menekankan pada kepuasan pelanggan, inovasi, dan mutu
peningkatan pelayanan secara berkesinambungan.
Perkembangan tersebut juga mempengaruhi dunia pendidikan. Dunia pendidikan
juga mulai menerapkan TQM. Dunia pendidikan menerapkan TQM sebagai bagian dari
keinginan pencapaian mutu baik oleh internal customer maupun external customer. Di
mana mutu sebagai “subjek” yang diacu dan dikontrol. Hal ini tentu dapat ditempuh dengan
menerapkan metode-metode pendekatan yang sesuai dalam TQM. Peranan TQM sangatlah
penting dikaitkan dengan pelaksanaan pencapaian mutu di bidang pendidikan. Agar
memiliki kinerja yang bermutu, orang harus dapat mengidentifikasi siapa pelanggannya
kemudian juga mengidentifikasi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Untuk sebuah
instansi pendidikan , mutu yang diharapkan adalah kualitas pendidikan kepada peserta didik
agar dapat bersaing di dunia pendidikan yang lebih tinggi atau bahkan dunia persaingan
kerja.
Konsep pendidikan menurut manajemen mutu terpadu ( TQM) pertama kali
dikembangkan di Amerika dan diterapkan dari mulai dasar hingga perguruan tinggi. Usaha
itu kemudian merembet ke negara berkembang, salah satunya dengan menerapkan konsep
jaminan mutu atau pengelolaan mutu yang dilaksanakan bersama dengan sistem akreditasi
sekolah. Untuk dapat melaksanakan prinsip pendidikan berdasarkan TQM diperlukan cara
pandang baru terhadap dunia pendidikan. Sekolah sebagai industri jasa harus mampu
mengidentifikasi kebutuhan dan harapan dari berbagai pelanggannya. Kebutuhan dan
harapan siswa sebagai pelanggan primer harus dapat diidentifikasi dengan baik. Sedangkan
orangtua sebagai pelanggan sekunder menginginkan hasil dari proses pembelajaran
disekolah dibuktikan dengan hasil, diantaranya yaitu: lulus dengan nilai yang memuaskan,
berprestasi, mampu bersaing dalam jenjang selanjutnya.
Total Quality Management adalah suatu sistim perbaikan mutu kinerja yang
dilakukan secara berkelanjutan dan mencakup seluruh organisasi, melalui partisipasi aktif
dari masing-masing anggota, dengan menggunakan alat-alat dan teknik-teknik untuk
meraih mutu. Total Quality Management bukan suatu perangkat aturan ketentuan kerja
yang kaku dan ketat, melainkan prosedur dan proses kerja untuk perbaikan mutu. Dapat

19

pula diartikan sebagai cara lain dalam mengatur kerja tim, menyelaraskan kerja sedemikian
rupa hingga tugas-tugas dapat terselesaikan.
Tuntutan akan mutu dalam bidang pendidikan adalah suatu keniscayaan yang tak
bisa dihindari. Untuk mencapai mutu diperlukan metodologi yang tepat untuk
implementasinya, dan pilihan itu adalah manajemen mutu terpadu ( MMT ) atau dikenal
dengan Total Quality Management ( TQM) dalam bidang pendidikan.

Untuk

implementasinya diperlukan kebijakan umum/strategis di tingkat nasional dan kebijakan
manajerial , baik untuk kalangan lembaga pendidikan maupun publik, yang kemudian bisa
ditindak lanjuti dengan pedoman sektoral bidang pendidikan ( sebagai kebijakan teknis)
tentang MMT atau TQM tersebut.
Untuk mencapai mutu pendidikan diperlukan pendekatan yang antara lain perlunya
penekanan perubahan

cara pandang (mindset), penyuluhan,

pendampingan

dan

pemberdayaan unsur penyelenggara negara dan lembaga dalam bidang pendidikan, aplikasi
teknologi yang menunjang sistem manajemen pendidikan, serta pilihan-pilihan strategis
lainnya, sehingga semuanya itu dapat mendukung untuk mewujudkan pendidikan yang
berkualitas. Boiliu (2013) menyebutkan bahwa faktor rekayasa dan faktor motivasi harus
diperhatikan dalam penerapan TQM dalam dunia pendidikan. Rekayasa dalam konteks
pendidikan dapat dipahami berkaitan dengan tindakan perencanaan secara terstruktur,
komprehensif dan akurat melalui kurikulum dan mata ajar yang dapat diperhatikan dari
kompetensi pencapaian. Di sinilah makna dan maksud faktor rekayasa. Motivasi, di mana
mutu menjadi “subjek” yang diacu sehingga yang terlibat dalam institusi pendidikan paham
bahwa mutu menjadi hal penting. Sehingga peserta didik dapat berhasil baik dari segi hard
skill maupun soft skill.

REFERENSI
Schank, Roger C. (1996) Goal-Based Scenarios: Case-Based Reasoning Meets Learning by
Doing. In: David Leake (ed) Case-Based Reasoning: Experiences, Lessons & Future
Directions.

AAAI Press/The MIT Press. 295-347. http://cogprints.org/635/1/

CBRMeetsLBD_for_Leake.html. diakses 18 April 2014.
de Jong, Frank P.C.M. (1995). Process-oriented instruction: Some considerations.

20

European Journal ofPsychology 01Education 1995. Vol. X No. 4, pp 317-323

Kutama, Mulimisi Erdmann. (2002). An Investigation Into Process-based Instruction in the
Teaching of Grade 8 and 9 Euclidean Geometry. University of South Africa.

Volet, Simon (1995). Process-oriented instruction: A discussion. European Journal of
Psychology of Education . Vol. X. No. 4, pp: 449-459.

Vermunt, Jan D. (1995). Process-oriented instruction in learning and thinking strategies.
European Journal of Psychology of Education. Vol. X. No 4 pp: 325-349.
Hsu, C-H, & Moore, D. R. (2011). Formative research on the Goal-based Scenario model
applied to computer delivery and simulation. The Journal of Applied Instructional
Design, 1(1), 13-24.

Montgomery, Joel R. (1996). Goal-Based Learning: Accelerating Performance Change.
Andersen Worldwide, S.C., St. Charles, IL. August.
Medrano, Hal (2005). Goal-based Scenario. http://halmedrano.com/527/theories/gbs.html.
Diakses 18 April 2014.
Thomas, Randy (2011). Goal-based Scenario. https://sites.google.com/a/nau.edu/learningtheories-etc547-spring-2011/theory/goal-based-scenarios. Diakses 18 April 2014.
Goal-Based

Scenarios.

(2011).

http://teorije-ucenja.zesoi.fer.hr/doku.php?id=

instructional_design:goal_based_scenarios. Diakses 18 April 2014.
Schank,

Roger,

C

(1992)

Goal-Based

Scenarios.

http://cogprints.org/624/1/

V11ANSEK.html. diakses 18 April 2014.
Davis, Margery H. (2003). Outcome-Based Education. Journal of Veterinary Medical
Education, 30 (3), p. 227-232.

Sallis, Edward. (2002). Total Quality Management in Education 3rd Ed. Kogan Page:
London.
Wiki.

(2014).

Outcome-based

Education.

Online.

[3

April

2014].

http://en.wikipedia.org/wiki/Outcome-based_education.
Boiliu,

Noh.

(2013).

TQM

Dalam

Pendidikan.

Online.

[3

April

2014].

http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/04/tqm-dalam-pendidikan-539186.html.
Saepudin, Usep. (2012).
Kompetensi

Model Desain Sistem Pembelajaran Berorientasi Pencapaian
(DSI-PK).

Online.

[3

April

2014].

http://usepsaepudin66.wordpress.com/2012/01/21/model-desain-sistempembelajaran-berorientasi-pencapaian-kompetensi-dsi-pk-2/

21