Pemilu 2014 dan Keadilan Sosial
PEMILU 2014 DAN KEADILAN
SOSIAL1
Oleh
Fridiyanto2
“Di dalam massa, dengan massa, untuk massa! Itulah harus menjadi
semboyan kami dan semboyan tiap – tiap orang Indonesia yang mau
berjuang untuk keselamatan tanah air dan bangsa!”
-Bung Karno -
Pendahuluan
Pemilu merupakan media peralihan kekuasaan yang dilakukan dengan
regulasi, norma, dan etika sehingga pergantian kekuasaan dapat dilakukan
secara damai. Pemilu diadakan sebagai proses sirkulasi elit penguasa secara
kompetitif dan legal. Selain itu Pemilu dilakukan untuk pendidikan politik,
dimana rakyat dapat menyampaikan aspirasi mereka secara langsung,
bebas, dan massal. Melalui Pemilu inilah rakyat menentukan dan melegalkan
program dan kebijakan wakil-wakil mereka di eksekutif maupun legislatif.
Pemilu 2014 yang tinggal beberapa saat lagi (Pemilu legislatif 9 April dan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli) akan dirayakan seluruh rakyat
Indonesia, seharusnya bukanlah merayakan oligarki politik, dan dominasi elit
terhadap rakyat yang hanya berorientasi kepentingan kelompok. Prinsip Vox
Populi Vox Dei bahwa Suara Rakyat Suara Tuhan harus benar-benar menjadi
fatsoen berpolitik. Artinya, momen poltik empat tahunan ini harus mampu
mencerap dan menjalankan aspirasi dan amanat rakyat, salah satunya
adalah mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kutipan
preambule UUD 1945 alinea 4 berikut, seharusnya mengembalikan
kehidupan politik kita pada cita-cita konstitusi“...untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”
Makalah ini membahas Pemilu 2014 hubungannya dengan etika politik, serta
mengulas momen pemilihan umum 2014 relasinya dengan keadilan sosial.
Politik Otentik
Mendiskusikan politik otentik di tengah-tengah kemarut politik di Indonesia
saat ini, seperti sebuah hal yang absurd. Saat ini perpolitikan di Indonesia
selalu identik dengan politik Machiavelis yang hanya berpikir merebut,
memperluas, dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku elit yang korup
1
Dipresentasikan pada Diskusi Kebangsaan PKC PMII Sumatera Utara di Hotel Madani tanggal 28 Februari 2014.
2
Staf Pengajar IAIN Sumatera Utara.
sudah menjadi tontonan sehari-hari publik. Sehingga apa pun terkesan halal
untuk dilakukan oleh elit politik selama memang bisa sebagai jalan
mewujudkan syahwat politik mereka. Politik tidak lagi menjadi ajang
perjuangan kepentingan rakyat, tetapi sudah seperti menjadi alat
memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok. Muhammad Natsir
sudah pernah menyampaikan praktik politik yang sedang terjadi saat ini
“Akan tetapi riwayat cita-cita Parlemen Indonesia ini, mengajarkan kepada
kita bahwa biasanya di dalam percaturan politik, tidak ada cara pilantropi
semata, yang lebih lazim dan laku ialah cara tawar menawar. Bukan dengan
semata-mata dengan omongan akan tetapi dengan sesuatu yang nyata bisa
dihadirkan, bilamana dikehendaki oleh pihak yang dilawan bertawaran itu.”
Perilaku politik sandera seperti menjadi hal biasa, dimana sesama elit politik
berusaha melindungi kebobrokan dan kekoruppan mereka, namun ketika
bermasalah dengan hukum dan telah diketahui publik, bargaining politic dan
lobi-lobi dilakukan untuk saling melindungi. Tetapi ketika penawaran tidak
cocok atau tidak bisa dilakukan, maka “kartu rahasia” untuk saling
menjatuhkan pun dilemparkan kepada publik untuk dikonsumsi. Di
Indonesialah kita melihat politik untuk politik, bukan politik sebagai alat
untuk membangun kesejahteraan publik. Pertarungan wacana terus
digulirkan, perdebatan-perdebatan terus dipertontonkan, sehingga politisi
dan pemerintah lupa kerja mereka sebenarnya apa. Tetapi hanya asyik
masyuk dalam pusaran politik Machiavelis.
Rakyat sudah maklum bahwa politik hanyalah pergulatan kepentingan partai
politik, pertarungan para politisi, sikut menyikut anggota legislatif,
pencitraan, perebutan suara, yang kemudian bermuara pada bagi-bagi
kekuasaan yang disana terdapat kue-kue ekonomi. Rakyat di negeri ini sudah
terlanjur memahami bahwa politik
hanya sebagai penguasaan, dan
pertarungan kepentingan. Sehingga kalau dielaborasi pandangan Leviathan
Thomas Hobes, bahwa di negeri ini seorang politisi adalah musuh bagi
politisi lainnya, dan elit-elit politik siap menerkam rakyat yang diwakilinya.
Sebaliknya, rakyat seperti pasrah di medan pertarungan politik,
sebagaimana kata pepatah “gajah yang bertarung, pelanduk yang terinjak.”
Seorang filsuf perempuan asal Jerman, Hannah Arendt menggugat praktikpraktik politik yang kotor. Arendt telah memberikan warna dalam pemikiran
dan etika politik. Bagi Arendt, politik tidaklah semata-mata pemaksaan dan
dominasi negara kepada rakyat yang dipaksa pasif. Politik harus dipahami
sebagai upaya para politisi untuk memahami hal-hal diluar dirinya. politik
harus mampu mentransformasi individu keluar dari individualitas mereka,
dan mengeluarkan kelompok dari nilai-nilai kelompoknya. Untuk selanjutnya
melakukan dan menyelesaikan pergulatan-pergulatan tentang permasalahan
yang tidak melulu soal dirinya, tetapi memilih untuk berempati kepada
kehidupan publik. Politik harus mampu membebaskan rakyat dari
permasalahan-permasalahan sosial, dan hak-hak ekspresinya. Olehkarena
itu, menurut Arendt, publik tidak bisa pasif dalam menyikapi permasalahanpermasalahan dan momen politik, tetapi juga ikut terjun dalam perpolitikan.
Bila dibandingkan konsep politik otentik Arendt tersebut dengan pandangan
Bung Karno mengenai partai “Partailah yang memegang obor, partailah yang
berjalan dimuka, partailah yang menyuluhi jalan gelap dan penuh dengan
ranjau-ranjau itu sehingga menjadi terang. Partailah yang memimpin massa
itu di dalam perjuangannya merebahkan musuh, partailah yang memegang
komando daripada barisan massa. Partailah yang harus memberi ke –
bewust an pada pergerakan massa, memberi kesadaran, memberi
keradikalan.” Bagi Bung Karno partai politik harus radikal dan revolusioner
serta menjadi pelopor membela kepentingan rakyat. Partai harus mampu
mendidik rakyat, dan mengolah tenaga rakyat untuk mencapai cita-cita
berbangsa. Bukan hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri.
Relasi politik “tuan-budak” yang berlangsung selama ini di Indonesia,
seharusnya tidak terjadi. Jika para pelaku politik menyadari otentisitas
berpolitik. Rakyat seharusnya tidak hanya menjadi sub ordinan dari
kelompok-kelompok kepentingan yang muncul pada momen-momen politik,
seperti Pemilu 2014 ini misalnya. Partai politik yang bertarung melalui
momen demokrasi hanya untuk merebut penguasaan ekonomi haruslah
dihentikan. Para politisi yang dianggap sebagai wakil rakyat, seharusnya
menampakkan perjuangan untuk kepentingan bersama, yang diwujudkan
melalui kebijakan-kebijakan mereka yang pro publik. Para penguasa yang
telah duduk di kursi kekuasaan secara konstitusional melalui Pemilu
bukanlah Tuan majikan, juga bukan Raja, dimana rakyat harus melayani dan
menghamba pada mereka. Tetapi para politisi dan penguasa itu adalah
pengejawantahan perjuangan rakyat yang melayani kehidupan rakyat.
Mewujudkan Keadilan Sosial
“Keadilan sebagai kejujuran” kata John Rawls seorang filsuf yang banyak
melahirkan gagasan mengenai keadilan sosial. Menurut Rawls Keadilan sosial
merupakan prinsip kesamaan terhadap kesempatan. Olehkarena itu
perbedaan sosial bukanlah alasan untuk membedakan akses terhadap
ekonomi, maka negara harus mengatur distribusi ekonomi dan peluang
kesejahteraan bagi kelompok termarjinalkan, bahkan kelas inilah yang harus
menjadi prioritas dan memperoleh perlindungan khusus. Setiap strata sosial
harus diberikan hak hidup yang sama, dengan pengaturan kesenjangan
ekonomi melalui keuntungan sosial ekonomi timbal balik yang bisa dilakukan
pemerintah dan institusi politik.
Bung Karno dalam pidatonya tentang Pancasila, mengatakan “Keadilan sosial
ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur,
berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan,
tidak ada penghisapan. Tidak ada – sebagai yang saya katakan di dalam
kuliah umum beberapa bulan yang lalu – exploitation de l’homme par
l’homme.” Selanjutnya Bung Karno menegaskan kembali, bahwa Negara
Indonesia didirikan untuk kesejahteraan umum, bukan hanya dikuasai elit
dan oligarki partai-partai politik “Kita hendak mendirikan suatu negara
“semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,
baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi “semua
buat semua.”
Dari perspektif ekonomi dan demokrasi, keadilan sosial menurut Bung Hatta,
aktifitas politik harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada
kepentingan individu. Olehkarena itu lapangan kerja harus dibuka, adanya
standar hidup layak bagi masyarakat, pemerataan kemakmuran dengan
menghapuskan ketidakmerataan perekonomian. Sedangkan menurut Bung
Syahrir bahwa cita-cita Negara Indonesia yang adil, makmur, tanpa
eksploitasi manusia dan sumber daya alam akan dapat diwujudkan dalam
jalan sosialisme. Agar tidak adanya praktik diktator dan otoritarian, maka
demokrasi di segala bidang harus mendinamisir sosialisme. Bagi Syahrir
demokrasi ekonomi dan keadilan sosial dapat diwujudkan dengan demokrasi
politik.
Prinsip Keadilan Sosial dalam Pancasila sebagaimana yang pernah
dirumuskan oleh Panitia ad-hoc Permusyawaratan Rakyat tahun 1966 yaitu
“sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia
akan mendapat perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi dan
kebudayaan.” Dengan Sila Keadilan Sosial, seharusnya setiap aktifitas
kehidupan berbangsa, termasuk di dalamnya politik bahwa seluruh elemen
bangsa, seluruh manusia Indonesia menyadari hak dan kewajibannya untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Prinsip
mewujudkan keadilan sosial harus mampu manjalankan pemerataan
berbagai bidang
pada momen-momen politik nasional; 1) Pemerataan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang, dan
papan; 2) Pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; 3)
Pemerataan pembagian pendapatan; 4) Pemerataan kesempatan kerja; 5)
Pemerataan
kesempatan
berusaha;
6)
Pemerataan
kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan
perempuan; 7) Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah
tanah air; 8) Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Delapan
prinsip keadilan sosial tersebut harus menjadi platform visi, misi, dan
program partai-partai politik yang bertarung di Pemilu 2014. Pemerintahan
baru yang akan terbentuk nanti harus benar-benar mempunyai keinginan
politik untuk memenuhi kebutuhan mendasar rakyat tersebut, tanpa adanya
diskriminasi.
Pemilu 2014 harus menjadi perayaan rakyat terhadap perjuangan
mewujudkan keadilan sosial. Bilik-bilik suara yang akan dimasuki rakyat pada
April 2014 nanti merupakan sebuah proses penentuan bahwa kehidupan
rakyat harus berubah, ketidakadilan harus dilenyapkan, bukan untuk
melanggengkan monopoli ekonomi, dan melegitimasi penguasaan elit
terhadap kehidupan rakyat. Sehingga apa yang dikatakan oleh Hannah
Arendt bahwa rakyat hanya memiliki kedaulatan beberapa menit saja dalam
momen politik, selanjutnya kedaulatan telah beralih ke elit politik tidak akan
terjadi.
“Marilah kita memeras tenaga menjalankan suruhan riwayat, yakni
mendatangkan suatu masyarakat yang adil dan sempurna: Adil dan
sempurna buat negeri Indonesia! Adil dan sempurna buat bangsa
Indonesia!” kutipan dari Buku Bung Karno berjudul di Bawah Bendera
Revolusi ini sekiranya menyadarkan kita bahwa keadilan sosial yang
sempurna merupakan tugas kesejarahan kita, dan tidak gampang
mewujudkannya.
Penutup
Ditengah-tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan
elit politik, merupakan tantangan pada Pemilu 2014 khususnya bagi partai
politik untuk membuktikan bahwa orientasi politik mereka bukan hanya
politik kekuasaan, tetapi sebuah upaya mewujudkan keadilan sosial.
Pemilu 2014 yang merupakan peralihan kekuasaan secara konstitusional
maka pemerintahan baru nanti harus mempunyai daya dan kepekaan
terhadap ketidakadilan yang dialami rakyat. Wujud nyata perjuangan
keadilan sosial tersebut, harus dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang
mengoreksi praktik ketidakadilan yang dialami rakyat.
Masyarakat harus tidak lagi hanya menjadi sub ordinan yang pasif dari para
politisi, dan elit penguasa. Maka masyarakat dituntut terlibat aktif dalam
proses-proses politik: mengamati, mempelajari, menyeleksi, dan memilih
partai politik, calon anggota legislatif serta Presiden dan Wakil Presiden
sebagai salah satu langkah mewujudkan keadilan sosial.
BAHAN BACAAN
Agus Sudibyo. Politik Otentik (Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran
Hannah Arendt). Jakarta: Marjin Kiri, 2012.
Gaus, F. Gerald., Kukathas, Chandran. Handbook Teori Politik. Jakarta:
Nusamedia, 2012
Natsir, M. Capita Selecta. Bandung: Van Hoeve. 1954
Rawl, John. Theory of Justice. Original edition. London: Harvard University
Press, 1971
Soekarno. Di bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Di bawah Bendera Revolusi.
1964
________ Indonesia Menggugat: zonder perjuangan itu tidaklah ia akan
menjadi realitet! Jakarta: Fraksi PDI P. 2010
http://kolomsejarah.wordpress.com/2008/06/09/perekonomian-indonesiamenurut-moh-hatta/
http://insanicita.blogspot.com/2012/03/konsep-keadilan-sosial-menurutjohn.html
SOSIAL1
Oleh
Fridiyanto2
“Di dalam massa, dengan massa, untuk massa! Itulah harus menjadi
semboyan kami dan semboyan tiap – tiap orang Indonesia yang mau
berjuang untuk keselamatan tanah air dan bangsa!”
-Bung Karno -
Pendahuluan
Pemilu merupakan media peralihan kekuasaan yang dilakukan dengan
regulasi, norma, dan etika sehingga pergantian kekuasaan dapat dilakukan
secara damai. Pemilu diadakan sebagai proses sirkulasi elit penguasa secara
kompetitif dan legal. Selain itu Pemilu dilakukan untuk pendidikan politik,
dimana rakyat dapat menyampaikan aspirasi mereka secara langsung,
bebas, dan massal. Melalui Pemilu inilah rakyat menentukan dan melegalkan
program dan kebijakan wakil-wakil mereka di eksekutif maupun legislatif.
Pemilu 2014 yang tinggal beberapa saat lagi (Pemilu legislatif 9 April dan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli) akan dirayakan seluruh rakyat
Indonesia, seharusnya bukanlah merayakan oligarki politik, dan dominasi elit
terhadap rakyat yang hanya berorientasi kepentingan kelompok. Prinsip Vox
Populi Vox Dei bahwa Suara Rakyat Suara Tuhan harus benar-benar menjadi
fatsoen berpolitik. Artinya, momen poltik empat tahunan ini harus mampu
mencerap dan menjalankan aspirasi dan amanat rakyat, salah satunya
adalah mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kutipan
preambule UUD 1945 alinea 4 berikut, seharusnya mengembalikan
kehidupan politik kita pada cita-cita konstitusi“...untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”
Makalah ini membahas Pemilu 2014 hubungannya dengan etika politik, serta
mengulas momen pemilihan umum 2014 relasinya dengan keadilan sosial.
Politik Otentik
Mendiskusikan politik otentik di tengah-tengah kemarut politik di Indonesia
saat ini, seperti sebuah hal yang absurd. Saat ini perpolitikan di Indonesia
selalu identik dengan politik Machiavelis yang hanya berpikir merebut,
memperluas, dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku elit yang korup
1
Dipresentasikan pada Diskusi Kebangsaan PKC PMII Sumatera Utara di Hotel Madani tanggal 28 Februari 2014.
2
Staf Pengajar IAIN Sumatera Utara.
sudah menjadi tontonan sehari-hari publik. Sehingga apa pun terkesan halal
untuk dilakukan oleh elit politik selama memang bisa sebagai jalan
mewujudkan syahwat politik mereka. Politik tidak lagi menjadi ajang
perjuangan kepentingan rakyat, tetapi sudah seperti menjadi alat
memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok. Muhammad Natsir
sudah pernah menyampaikan praktik politik yang sedang terjadi saat ini
“Akan tetapi riwayat cita-cita Parlemen Indonesia ini, mengajarkan kepada
kita bahwa biasanya di dalam percaturan politik, tidak ada cara pilantropi
semata, yang lebih lazim dan laku ialah cara tawar menawar. Bukan dengan
semata-mata dengan omongan akan tetapi dengan sesuatu yang nyata bisa
dihadirkan, bilamana dikehendaki oleh pihak yang dilawan bertawaran itu.”
Perilaku politik sandera seperti menjadi hal biasa, dimana sesama elit politik
berusaha melindungi kebobrokan dan kekoruppan mereka, namun ketika
bermasalah dengan hukum dan telah diketahui publik, bargaining politic dan
lobi-lobi dilakukan untuk saling melindungi. Tetapi ketika penawaran tidak
cocok atau tidak bisa dilakukan, maka “kartu rahasia” untuk saling
menjatuhkan pun dilemparkan kepada publik untuk dikonsumsi. Di
Indonesialah kita melihat politik untuk politik, bukan politik sebagai alat
untuk membangun kesejahteraan publik. Pertarungan wacana terus
digulirkan, perdebatan-perdebatan terus dipertontonkan, sehingga politisi
dan pemerintah lupa kerja mereka sebenarnya apa. Tetapi hanya asyik
masyuk dalam pusaran politik Machiavelis.
Rakyat sudah maklum bahwa politik hanyalah pergulatan kepentingan partai
politik, pertarungan para politisi, sikut menyikut anggota legislatif,
pencitraan, perebutan suara, yang kemudian bermuara pada bagi-bagi
kekuasaan yang disana terdapat kue-kue ekonomi. Rakyat di negeri ini sudah
terlanjur memahami bahwa politik
hanya sebagai penguasaan, dan
pertarungan kepentingan. Sehingga kalau dielaborasi pandangan Leviathan
Thomas Hobes, bahwa di negeri ini seorang politisi adalah musuh bagi
politisi lainnya, dan elit-elit politik siap menerkam rakyat yang diwakilinya.
Sebaliknya, rakyat seperti pasrah di medan pertarungan politik,
sebagaimana kata pepatah “gajah yang bertarung, pelanduk yang terinjak.”
Seorang filsuf perempuan asal Jerman, Hannah Arendt menggugat praktikpraktik politik yang kotor. Arendt telah memberikan warna dalam pemikiran
dan etika politik. Bagi Arendt, politik tidaklah semata-mata pemaksaan dan
dominasi negara kepada rakyat yang dipaksa pasif. Politik harus dipahami
sebagai upaya para politisi untuk memahami hal-hal diluar dirinya. politik
harus mampu mentransformasi individu keluar dari individualitas mereka,
dan mengeluarkan kelompok dari nilai-nilai kelompoknya. Untuk selanjutnya
melakukan dan menyelesaikan pergulatan-pergulatan tentang permasalahan
yang tidak melulu soal dirinya, tetapi memilih untuk berempati kepada
kehidupan publik. Politik harus mampu membebaskan rakyat dari
permasalahan-permasalahan sosial, dan hak-hak ekspresinya. Olehkarena
itu, menurut Arendt, publik tidak bisa pasif dalam menyikapi permasalahanpermasalahan dan momen politik, tetapi juga ikut terjun dalam perpolitikan.
Bila dibandingkan konsep politik otentik Arendt tersebut dengan pandangan
Bung Karno mengenai partai “Partailah yang memegang obor, partailah yang
berjalan dimuka, partailah yang menyuluhi jalan gelap dan penuh dengan
ranjau-ranjau itu sehingga menjadi terang. Partailah yang memimpin massa
itu di dalam perjuangannya merebahkan musuh, partailah yang memegang
komando daripada barisan massa. Partailah yang harus memberi ke –
bewust an pada pergerakan massa, memberi kesadaran, memberi
keradikalan.” Bagi Bung Karno partai politik harus radikal dan revolusioner
serta menjadi pelopor membela kepentingan rakyat. Partai harus mampu
mendidik rakyat, dan mengolah tenaga rakyat untuk mencapai cita-cita
berbangsa. Bukan hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri.
Relasi politik “tuan-budak” yang berlangsung selama ini di Indonesia,
seharusnya tidak terjadi. Jika para pelaku politik menyadari otentisitas
berpolitik. Rakyat seharusnya tidak hanya menjadi sub ordinan dari
kelompok-kelompok kepentingan yang muncul pada momen-momen politik,
seperti Pemilu 2014 ini misalnya. Partai politik yang bertarung melalui
momen demokrasi hanya untuk merebut penguasaan ekonomi haruslah
dihentikan. Para politisi yang dianggap sebagai wakil rakyat, seharusnya
menampakkan perjuangan untuk kepentingan bersama, yang diwujudkan
melalui kebijakan-kebijakan mereka yang pro publik. Para penguasa yang
telah duduk di kursi kekuasaan secara konstitusional melalui Pemilu
bukanlah Tuan majikan, juga bukan Raja, dimana rakyat harus melayani dan
menghamba pada mereka. Tetapi para politisi dan penguasa itu adalah
pengejawantahan perjuangan rakyat yang melayani kehidupan rakyat.
Mewujudkan Keadilan Sosial
“Keadilan sebagai kejujuran” kata John Rawls seorang filsuf yang banyak
melahirkan gagasan mengenai keadilan sosial. Menurut Rawls Keadilan sosial
merupakan prinsip kesamaan terhadap kesempatan. Olehkarena itu
perbedaan sosial bukanlah alasan untuk membedakan akses terhadap
ekonomi, maka negara harus mengatur distribusi ekonomi dan peluang
kesejahteraan bagi kelompok termarjinalkan, bahkan kelas inilah yang harus
menjadi prioritas dan memperoleh perlindungan khusus. Setiap strata sosial
harus diberikan hak hidup yang sama, dengan pengaturan kesenjangan
ekonomi melalui keuntungan sosial ekonomi timbal balik yang bisa dilakukan
pemerintah dan institusi politik.
Bung Karno dalam pidatonya tentang Pancasila, mengatakan “Keadilan sosial
ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur,
berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan,
tidak ada penghisapan. Tidak ada – sebagai yang saya katakan di dalam
kuliah umum beberapa bulan yang lalu – exploitation de l’homme par
l’homme.” Selanjutnya Bung Karno menegaskan kembali, bahwa Negara
Indonesia didirikan untuk kesejahteraan umum, bukan hanya dikuasai elit
dan oligarki partai-partai politik “Kita hendak mendirikan suatu negara
“semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,
baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi “semua
buat semua.”
Dari perspektif ekonomi dan demokrasi, keadilan sosial menurut Bung Hatta,
aktifitas politik harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada
kepentingan individu. Olehkarena itu lapangan kerja harus dibuka, adanya
standar hidup layak bagi masyarakat, pemerataan kemakmuran dengan
menghapuskan ketidakmerataan perekonomian. Sedangkan menurut Bung
Syahrir bahwa cita-cita Negara Indonesia yang adil, makmur, tanpa
eksploitasi manusia dan sumber daya alam akan dapat diwujudkan dalam
jalan sosialisme. Agar tidak adanya praktik diktator dan otoritarian, maka
demokrasi di segala bidang harus mendinamisir sosialisme. Bagi Syahrir
demokrasi ekonomi dan keadilan sosial dapat diwujudkan dengan demokrasi
politik.
Prinsip Keadilan Sosial dalam Pancasila sebagaimana yang pernah
dirumuskan oleh Panitia ad-hoc Permusyawaratan Rakyat tahun 1966 yaitu
“sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia
akan mendapat perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi dan
kebudayaan.” Dengan Sila Keadilan Sosial, seharusnya setiap aktifitas
kehidupan berbangsa, termasuk di dalamnya politik bahwa seluruh elemen
bangsa, seluruh manusia Indonesia menyadari hak dan kewajibannya untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Prinsip
mewujudkan keadilan sosial harus mampu manjalankan pemerataan
berbagai bidang
pada momen-momen politik nasional; 1) Pemerataan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang, dan
papan; 2) Pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; 3)
Pemerataan pembagian pendapatan; 4) Pemerataan kesempatan kerja; 5)
Pemerataan
kesempatan
berusaha;
6)
Pemerataan
kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan
perempuan; 7) Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah
tanah air; 8) Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Delapan
prinsip keadilan sosial tersebut harus menjadi platform visi, misi, dan
program partai-partai politik yang bertarung di Pemilu 2014. Pemerintahan
baru yang akan terbentuk nanti harus benar-benar mempunyai keinginan
politik untuk memenuhi kebutuhan mendasar rakyat tersebut, tanpa adanya
diskriminasi.
Pemilu 2014 harus menjadi perayaan rakyat terhadap perjuangan
mewujudkan keadilan sosial. Bilik-bilik suara yang akan dimasuki rakyat pada
April 2014 nanti merupakan sebuah proses penentuan bahwa kehidupan
rakyat harus berubah, ketidakadilan harus dilenyapkan, bukan untuk
melanggengkan monopoli ekonomi, dan melegitimasi penguasaan elit
terhadap kehidupan rakyat. Sehingga apa yang dikatakan oleh Hannah
Arendt bahwa rakyat hanya memiliki kedaulatan beberapa menit saja dalam
momen politik, selanjutnya kedaulatan telah beralih ke elit politik tidak akan
terjadi.
“Marilah kita memeras tenaga menjalankan suruhan riwayat, yakni
mendatangkan suatu masyarakat yang adil dan sempurna: Adil dan
sempurna buat negeri Indonesia! Adil dan sempurna buat bangsa
Indonesia!” kutipan dari Buku Bung Karno berjudul di Bawah Bendera
Revolusi ini sekiranya menyadarkan kita bahwa keadilan sosial yang
sempurna merupakan tugas kesejarahan kita, dan tidak gampang
mewujudkannya.
Penutup
Ditengah-tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan
elit politik, merupakan tantangan pada Pemilu 2014 khususnya bagi partai
politik untuk membuktikan bahwa orientasi politik mereka bukan hanya
politik kekuasaan, tetapi sebuah upaya mewujudkan keadilan sosial.
Pemilu 2014 yang merupakan peralihan kekuasaan secara konstitusional
maka pemerintahan baru nanti harus mempunyai daya dan kepekaan
terhadap ketidakadilan yang dialami rakyat. Wujud nyata perjuangan
keadilan sosial tersebut, harus dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang
mengoreksi praktik ketidakadilan yang dialami rakyat.
Masyarakat harus tidak lagi hanya menjadi sub ordinan yang pasif dari para
politisi, dan elit penguasa. Maka masyarakat dituntut terlibat aktif dalam
proses-proses politik: mengamati, mempelajari, menyeleksi, dan memilih
partai politik, calon anggota legislatif serta Presiden dan Wakil Presiden
sebagai salah satu langkah mewujudkan keadilan sosial.
BAHAN BACAAN
Agus Sudibyo. Politik Otentik (Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran
Hannah Arendt). Jakarta: Marjin Kiri, 2012.
Gaus, F. Gerald., Kukathas, Chandran. Handbook Teori Politik. Jakarta:
Nusamedia, 2012
Natsir, M. Capita Selecta. Bandung: Van Hoeve. 1954
Rawl, John. Theory of Justice. Original edition. London: Harvard University
Press, 1971
Soekarno. Di bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Di bawah Bendera Revolusi.
1964
________ Indonesia Menggugat: zonder perjuangan itu tidaklah ia akan
menjadi realitet! Jakarta: Fraksi PDI P. 2010
http://kolomsejarah.wordpress.com/2008/06/09/perekonomian-indonesiamenurut-moh-hatta/
http://insanicita.blogspot.com/2012/03/konsep-keadilan-sosial-menurutjohn.html