BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Implementasi - BAB II DESY PURWANINGTYAS HUKUM'17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Implementasi

  1. Pengertian Implementasi Kebijakan adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Hal ini berarti bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuan (objektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi semua “tindakan” pemerintah.

  Jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan karena “sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh atau dampak yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan pemerintah” oleh pemerintah (Wahab, 2008 : 14).

  Untuk menghasilkan suatu pelaksanaan kebijakan yang baik perlu adanya suatu implementasi kebijakan publik. Implementasi berarti pelaksanaan dari suatu kesepakatan yang telah dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Pendapat dari ahli mengenai Implementasi antara lain : pendapat yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn yang menyatakan bahwa proses Implementasi merupakan sebuah tindakan- tindakan yang dilakukan oleh individu-individu, pejabat, kelompok yang mengarah pada pencapaian sebuah tujuan dalam sebuah kebijakan.

  Presman dan Wildavsky mengemukakan mengimplementasikan

  sebaiknya terkait dengan kata kebijakan dan untuk melaksanakan sebuah kebijakan sangat perlu mendapat perhatian. Daniel A. Masmanian dan

  

Paul A. Sabatier 1979 , menjelaskan mengenai makna dari Implementasi

  serta mengatakan bahwa memahami sesuatu kenyataan dan terjadi setelah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan perhatian dari Implementasi sebuah kebijakan (Solichin Abdul Wahab, 2008: 65 ).

  Suatu program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak yang diinginkan (Winarno, 2002: 101). Budi Winarno (2002), yang mengatakan bahwa implementasi kebijakan dibatasi sebagai menjangkau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu pemerintah dan individu-individu swasta (kelompok-kelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijaksanaan sebelumnya.

  Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa, yaitu :

  “Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

  Dari pandangan ahli di atas dapat dikatakan bahwa suatu proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan adminstratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan suatu program yang telah ditetapkan serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan poltik, ekonomi, dan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang terlibat, sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan ataupun yang tidak diharapakan.

  Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.

  Implementasi merupakan sebuah konsep yang sangat populer dalam praktek penyelenggaraan negara. Dalam konteks ini implementasi dapat dipandang sebagai sebuah realisasi atau tindak lanjut dari suatu kebijaksanaan atau keputusan tertentu yang diambil oleh aparatur penyelenggara negara. Oleh karena itu, konsep implementasi berkembang dalam bentuk implementasi kebijaksanaan.

  Mazmanian dan Sabatier (dalam Solichin Abdul Wahab, 2004:65) mengatakan bahwa “antara apa yang disebut sebagai perumusan kebijaksanaan dan implementasi kebijaksanaan tidak dianggap sebagai suatu hal yang terpisah, sekalipun mungkin secara analitis, bisa saja dibedakan”.

  Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab. (2008:88) berpendapat bahwa implementasi program merupakan fungsi dari 3 variabel ; a. Mudah/tidaknya masalah dikendalikan.

  1) Kesukaran-kesukaran teknis.

  Tercapai atau tidaknya tujuan suatu program akan tergantung pada kemampuan untuk mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja yang tidak terlalu mahal serta pemahaman mengenahi prinsip-prinsip hubungan kausal yang mempengaruhi masalah 2) Keragaman perilaku kelompok sasaran.

  Semakin beragam perilaku yang diatur akan semakin sulit untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas.

  3) Prosentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran.

  Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran yang perilakunya akan diubah, maka akan semakin besar pula peluang untuk memobilisasikan dukungan politik terhadap program.

  4) Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki Semakin besar jumlah perubahan perilaku yang dikehendaki maka semakin sukar semakin besar memperoleh implementasi yang berhasil.

  b. Kemampuan kebijaksanaan untuk menstrukturkan proses implementasi 1) Kejelasan dan konsistensi tujuan. 2) Keterandalan teori kausalitas yang dipergunakan. 3) Ketepatan alokasi sumber-sumber dana. 4) Keterpaduan hierarki dalam dan di antara lembaga pelaksana.

  5) Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana. 6) Rekruitmen pejabat pelaksana. 7) Akses formal pihak luar.

  c. Variabel di luar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implementasi 1) Kondisi sosial, ekonomi dan teknologi. 2) Dukungan publik. 3) Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok- kelompok.

  4) Dukungan dari pejabat pelaksana.

  5) Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana.

  Dalam implementasi program ada beberapa pihak yang terkait, misalnya organisasi pemerintah maupun unsur-unsur masyarakat.

  Dalam hal ini Solichin Abdul Wahab (2008:61) menyatakan Proses implementasi kebijaksanaan sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan kekuatan- kekuatan politik, ekonomi dan sosial, yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak, baik yang diharapkan (intented) maupun yang tidak diharapkan (spillover/

  negative effects).

  Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan (dalam Riant Nugroho, 2004: 158) Budi Winarno (2002: 29) mengemukakan bahwa ”suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit saja jika program tersebut tidak dimplementasikan”. Artinya, implementasi kebijakan merupakan tindak lanjut dari sebuah program atau kebijakan, oleh karena itu suatu program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.

  Pandangan lain mengenai implementasi kebijakan dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier (Samodra Wibawa,dkk, 2004: 21) menjelaskan bahwa mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyata-nyata terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara, baik itu usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha- usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa.

  Sedangkan Samodra Wibawa,dkk (2004: 5), menyatakan bahwa “implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dari suatu kebijakan atau program”. Pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri target group, melainkan menyangkut lingkaran kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya membawa konsekuensi logis terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun dampak yang tidak diharapkan (spillover/negatif effects).

  Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

  Menurut Hogwood dan Gunn dalam Solichin Abdul Wahab. (2008 : 71-81), untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan, antara lain: a. kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana;

  b. tersedia waktu dan sumber daya;

  c. keterpaduan sumber daya yang diperlukan;

  d. implementasi didasarkan pada hubungan kausalitas yang handal;

  e. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubung; f. hubungan ketergantungan harus dapat diminimalkan;

  g. kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap tujuan;

  h. tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis; i. komunikasi dan koordinasi yang baik; j. pihak-pihak yang berwenang dapat menuntut kepatuhan pihak lain.

  Menurut Hogwood dan Gunn dalam Solichin Abdul Wahab, (2008: 71-78), implementasi kebijakan juga dapat berjalan dengan sempurna dengan syarat-syarat sebagai berikut: a. Kondisi ekternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak menimbulkan gangguan/kendala serius.

  b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan suber-sumber yang memadai c. Perpaduan sumber-sumber yang tersedia benar-benar tersedia.

  d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh hubungan kausal yang handal.

  Menurut Grindle (Samodra Wibawa, dkk., 2004) implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan berkaian dengan kepentingan yang dipengaruhui oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Sementara konteks implementasi berkaitan dengan kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasan dan kepatuhan serta daya tanggap pelaksana.

  Sabatier dan Mazmanian dalam Samudra Wibawa. (2004:68) menganggap bahwa “suatu implementasi akan efektif jika birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan

  (petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis). Oleh karena itu model ini disebut sebagai model

  top down”.

  Berdasarkan pendekatan compliance di atas maka kajian tentang Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun akan difokuskan kepada birokrasi pelaksana dan kelompok sasaran.

  a. Birokrasi Pelaksana Birokrasi pelaksana adalah para pelaksana program atau orang-orang yang menangani implementasi suatu kebijakan/program. Dengan demikian birokrasi pelaksana menunjuk pada faktor manusia sebagai pelaksana program.

  Dalam implementasi program faktor manusia menempati posisi yang penting, bahkan paling penting mengingat eksistensi suatu kebijakan pada dasarnya untuk menangani permasalahan dalam kehidupan manusia. Selain itu manusia juga yang menjadi subyek maupun obyek dari impelementasi itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, Handoko (2001:211) berpendapat bahwa “salah satu unsur dasar dari suatu program adalah adanya satuan atau para anggota organisasi yang bertanggungjawab atas setiap langkah program”. Pada sisi lain, adanya birokrasi pelaksana dapat pula dihubungkan dengan pentingnya faktor manusia dalam organisasi. Hal ini dikemukakan oleh A.S. Moenir (2000:88) sebagai berikut :

  Unsur manusia memegang peranan utama dalam organisasi, peranan tersebut terbagi atas peranan sebagai pengembang misi organisasi, peran sebagai pemimpin organisasi dan peran sebagai pekerja atau pelaksana.

  Dari gambaran tersebut di atas jelas bahwa faktor manusia mempunyai peranan yang sangat besar di dalam organisasi, baik sebagai pengemban misi organisasi, pemimpin organisasi maupun pekerja/ pelaksana.

  b. Kelompok Sasaran Menurut Solichin Abdul Wahab (2008:50) yang dimaksud dengan kelompok sasaran atau target group adalah “individu, masyarakat atau organisasi yang hendak dipengaruhi oleh suatu kebijaksanaan atau program yang diharapkan memberi akibat. Kelompok sasaran tidak selalu pihak yang menerima akibat (beneficeries )”.

  Kelompok sasaran merupakan pihak yang akan menikmati dan memanfaatkan hasil-hasil implementasi suatu program. Oleh karena itu implementasi suatu program idealnya benar-benar dapat membangun partisipasi aktif dari kelompok sasaran dan juga mampu memenuhi kebutuhan dari kelompok sasaran. Dengan kata lain implementasi suatu program akan berhasil jika kelompok sasaran menerima dan berpartisipasi aktif di dalamnya dan di sisi lain ada kesesuaian antara hasil (output) program dengan kebutuhan penerima bantuan, sehingga program tersebut dapat dimanfaatkan. Sebaliknya bila hasil-hasil program tersebut tidak sesuai dengan apa yang oleh kelompok sasaran, maka program tersebut tidak dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga program tersebut tidak akan berhasil. Hal ini seperti dikatakan oleh Korten (dalam Solichin Abdul Wahab, 2008:52) bahwa Daya kerja dari suatu program pembangunan adalah fungsi kesesuaian antara mereka yang dibantu, program dan organisasi yang membantu. Program pembangunan akan gagal memajukan kesejahteraan suatu kelompok jika tidak ada hubungan yang erat antara kebutuhan-kebutuhan penerima bantuan dengan hasil program, persyaratan program dengan kemampuan nyata dari organisasi pembantu dan kemampuan pengungkapan kebutuhan oleh pihak penerima dan proses pengambilan keputusan dari organisasi pembantu.

  2. Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III Model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh

  Edward III tahun 1980 menunjukan empat variable yang berperan penting, dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Empat variable tersebut yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Penjelasan lebih jauh dari kempat variable tersebut sebagai berkut:

  a. Komunikasi, yaitu menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adany a distorsi atas kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam. ranah yang sesungguhnya.

  b. Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumberdaya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupanbaikkualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi program/ kebijakan pemerintah. Sebab tanpa kehandalam implementor, kebijakan menjadi kurang enerjik dan berjalan lambat dan seadanya. Sedangkan, sumber daya finansial menjamin keberlasungan program/kebijakan. Tanpa ada dukungan finansial yang memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam mencapai tujuan dan sasaran.

  c. Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang penting dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis.

  Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan.

  Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam aras program yang telah digariskan dalam guideline program. Komitmen dan kejujurannya membawanya semakin antusias dalam melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap implementor dan program/kebijakan.

  d. Struktur Birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program/ kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang dan kompleks.

  Struktur organisasi pelaksana hams dapat menjamin auar.va pengarnbilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara cepat. Dan hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain secara ringkas dan fleksibel menghindari "virus weberian" yang kaku, terlalu hirarkhis dan birokratis.

  Keempat variabel di atas dalam model yang dibangun oleh Edward

  III memiliki keterkaitan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan dan sasaran program/kebijakan. Semuanya saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu variabel akan sangat mempengaruhi variabel yang lain. Misalnya saja, implemenlor yang tidak jujur akan mudah sekali melakukan mark up dan korupsi atas dana program/kebijakan dan program tidak dapat optimal dalam mencapai tujuannya. Begitu-run ketika watak dari implementor kurang demokratis akan sangat mempengaruhi proses komunikasi dengan kelompok sasaran. Model Edward III ini dalam dapat digambarkan sebagai berikut:

  Gambar 1. Model Implementasi Edward III Komunikasi

  Sumberdaya Implementasi

  Disposisi Stuktur birokrasi

  Sumber: Edward III, 1980: 48 (Indiahono,2009:33).

  Model implementasi dari Edward ini dapat digunakan sebagai alat mencitra implementasi program di berbagai tempat dan waktu.

  Meter dan Horn (Subarsono;2006;99) mengemukakan bahwa terdapat lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni; a. Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.

  b. Hubungan antar organisasi, yaitu dalam benyak program, implementor sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

  c. Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma- norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

  d. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, serta apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

  e. Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

  Van Meter dan Van Horn memililiki kesamaan dengan Mazmanian dan Sabatier yang mendasar tentang implementasi sebuah kebijakan.

  Birokrasi memiliki peranan yang cukup penting dalam setiap implementasi, yang juga di pengaruhi oleh faktor sosial lain. Peneliti mengkombinasikan beberapa gagasan dari model-model yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan penelitian dalam menilai kenerja sebuah implementasi, yaitu karakteristik pelaksana, kecenderungan pelaksana, keterpaduan hierarki di dalam lingkungan dan Di antara Lembaga-lembaga/Instansi-instansi pelaksana, penjelasan lebih jauh dari ketiganya adalah sebagai berikut:

a. Karakteristik Pelaksana

  Karakterisitik pelaksana merupakan perbedaan yang mendasar dalam cara pandang pelaksana dalam suatu organisasi yang didasari oleh nilai-nilai yang dianut, hal tersebut sangat tidak dapat dipisahkan dengan struktur birokrasi yang ada dalam tiap orgnisasi. Menurut Van Meter dan Van Horn struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma dan pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan.

  Struktur birokrasi secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi karakter dari pelaksana dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Norma- norma yang terbangun dalam organisasi terbentuk dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi sehingga menentukan tindakan yang akan diambil oleh pelaksana.

  Mintzberg dalam Teguh Sulistyani, (2004: 61) menunjukkan enam tipe struktur birokrasi yang masing-masing cocok dengan kebutuhan organisasi yang dominan yaitu sebagai berikut:

  1) Struktur sederhana. Struktur ini dapat berlaku pada organisasi yang baru saja didirikan dengan pola otoritas yang disentralkan di tangan manejer atau kelompok kecil pemilik. 2) Birokrasi mesin, struktur ini memiliki sebuah gambaran organisasi birokrasi yang telah disebut kan sebelumnya dan mengasumsikan karakterteristik sistem mekanisme organisasi. Organisasi diterapkan secara luas dan lama dan beroperasi dalam lingkungan yang relatif stabil. 3) Birokrasi propesional, struktur ini membiarkan penggunaan keahlian propesional dalam kondisi otonomi dan differensiasi status yang kaku

  (misalnya rumah sakit). Tidak ada kecenderungan untuk memberikan tekanan yang terlalu banyak dalam praktek-praktek birokrasi.

  4) Adhokrasi, struktur ini berlaku pada organisasi secara total atau suatu divisi di dalamnya. Organisasi yang didesain untuk mendorong agar inovasi beroperasi pada lingkungan yang kompleks dan dinamis. Karyawan-karyawan dengan keahliannya, yang cenderung untuk dipekerjakan pada kelompok-kelompok proyek dengan orientasi pasar, menggunakan banyak kuasa dan pengaruh.

  5) Missioner, missioner dipertimbangkan betul karena tidak cukupnya gambaran organisasi formal. Misalnya divisi pekerjaan dan spesialisasi yang sangat tidak jelas. Orang terikat bersama-sama oleh nilai-nilai yang mereka gunakan bersama-sama.

  6) selanjutnya ada tiga struktur yang paling populer yaitu: lini, lini dan staf serta matriks.

  Bentuk lini adalah yang paling sederhana karena merupakan satu kesatuan garis komando yang telah tersusun secara hierarkis ke bawah denga garis vertikal antara atasan dan bawahan, sedangkan antara jabatan yang setingkan dihubungkan dengan garis wewenang. Lini dan staf adalah pimpinan mengangkat beberapa staf yang berada langsung pada kendalinya yang memiliki wewenang hanya memberi nasehat, saran, pelayanan kepada pimpinan dalam melaksanakan fungsi-fungsinya secara baik. Matrik adalah organisasi proyak yang anggotanya adalah dari beberapa unit, apabila telah selesasi tuganya akan dikembalikan kembali pada unit yang bersangkutan.

  Karakter organisasi ditentukan juga oleh budaya, budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakanperbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain. Kedua, budaya merupakan suatu identitas bagi anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individu sesorang. Keempat, budaya menciptakan kemantapan sosial. Budaya merupakan perekat sosial dari organisasi sehingga tercipta suatu tatanan yang terbentuk dan dipahami serta dilakukan oleh anggota.

  Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan: 1) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.

  2) Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan subunit dan dan proses-proses dalam badan pelaksana.

  3) Sumber-sumber politik suatu organisasi. 4) Vitalitas suatu organisasi. 5) Tingkat komunikasi-komunikasi terbuka yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizintal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu diluar organisasi.

  6) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan” (dalam Winarno, 2002: 124)

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan kemauan untuk melakukan sebuah tugas dengan kinerja yang efektif.

b. Kecenderungan Pelaksana

  Arah kecenderungan pelaksana terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan sangat penting. Pelaksana tidak melaksanakan kebijakan dengan baik bisa juga kerena menolak tujuan yang terkandung dalam kebijakan. Van meter dan Van Horn berpendapat ada beberapa alasan kenapa pelaksana menolak tujuan-tujuan yang terkandung tersebut, yaitu:

  1) Tujuan-tujuan yang ditetapkan sebelumnya mungkin bertentangan dengan sistem nilai pribadi pelaksana.

  2) Kesetiaan-kesetiaan ektra organisasi. 3) Perasaan akan kepentingan diri sendiri. 4) Atau karena hubungan-hubungan yang ada atau yang lebih disenangi (dalam Winarno, 2002: 118).

  c.

  

Keterpaduan Hierarki di dalam Lingkungan dan Di antara

Lembaga-lembaga/Instansi-instansi pelaksana

  Elmore da Paul Berman dalam Solichin Abdul Wahab, (2008: 89), menyebutkan kesukaran-kesukaran untuk mewujudkan tindakan yang terkoordinasi didalam lingkungan badan/instansi tertentu dan diantara sejumlah besar badan-badan semi otonom yang terlibat dalam kebanyakan usaha-usaha implementasi. Koordinasi akan semakin sulit jika menyangkut peraturan pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh provinsi dan kabupaten.

  Kemampuan mengkoordiansikan lembaga-lembaga pelaksana secara hierarki sangat diperlukan bagi implementasi sebuah perda. Tingkat keterpaduan hierarki diantara badan-badan pelaksana dipengaruhi oleh: 1) Jumlah titik-titik veto/pihak-pihak yang dapat membatalkan keputusan (veto points) yang terdapat dalam usaha pencapaian tujuan formal, dan

  2) Seberapa jauh para pendukung bagi tercapainya tujuan memiliki cukup pengaruh dan wewenang memberikan sanksi guna tumbuhnya kepatuhan di kalangan mereka yang memiliki potensi untuk memveto (Solichin Abdul Wahab, 2008:89).

  Titik-titik veto disini mencakup semua peristiwa atau keadaan dimana seorang aktor mempunyai kemampuan untuk merintangi upaya pencapaian tujuan formal yang telah digariskan dalam peraturan. Rintangan atau penolakan yang berasal dari titik-titik veto tertentu sudah barang tentu bisa diatasi, jika keputusan kebijaksanaan dibekali dengan wewenang memberikan sanksi atau pengaruh-pengaruh tertentu guna meyakinkan para aktor (baik pada pejabat pelaksana maupun kelompok- kelompok sasaran) untuk mengubah perilaku mereka.

  Sebuah organisasi tanpa adanya koordinasi fungsi manajemen akan menghasilkan kegiatan acak sehingga dalam proses pencapaiaan tujuannya tidak akan dapat berjalam secara efektif. Kebutuhan akan koordinasi akan sangat terlihat jelas diantara bagian-bagian atau unit-unit organisasi yang pekerjaannya saling bergantung sehingga semakin banyak pekerjaan dari unit-unit atau individu yang saling erat hubungannya maka akan semakin besar pula kemungkinan terjadi masalah-masalah dalam koordinasi.

  Menurut George R. Terry ruang lingkup koordinasi dapat ditinjau dari sudut bidang-bidangnya, yakni: (1) koordinasi dalam individu, (2) koordinasi antara individu-individu dari suatu kelompok, (3) koordinasi antara kelompok-kelompok dalam suatu perusahaan, dan (4) koordinasi antara perusahaan-perusahaan dan macam-macam peristiwa dunia (Moekijat, 2004: 27).

  Permasalahan yang muncul dalam sebuah koordinasi sebuah organisasi disebabkan oleh perbedaan orientasi sasaran, orientasi waktu, hubungan antar individu dan kelompok, dan metode standar yang berlainan untuk menilai kemajuan kearah tujuan untuk memberikan penghargaan kepada pegawai, jadi disini tingkat koordinasi bagaimana proses untuk menyerasikan, menyatupadukan, menyinkronisasikan kegiatan-kegiatan dalam pelaksanaan Perda agar terdapat kesatuan dalam tindakan untuk mencapai suatu tujuan.

  Analisis atas implementasi kebijakan tentang keberhasilan dan kegagalan implementasi akan membawa kebijakan kearah yang lebih baik pada masa yang akan datang berdasarkan pengalaman yang telah dijalankan. Strategi implementasi yang baik melalui tahapan kebijakan yang meliputi beberapa langkah , antara lain :

  a. Sosialisasi kebijakan (flow of policy information) b. Konsultasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan

  c. Koordinasi antar instansi-instansi terkait

  d. Mekanisme pelaporan Persetujuan atau delegasi dan keputusan yang dijalankan dalam implementasi. Dari beberapa uraian di atas tentang teori implementasi kebijakan tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu tindakan atau pelaksanaan suatu keputusan dalam bentuk peraturan yang dilakukan baik oleh individu atau swasta maupun pejabat pemerintah dalam usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan berbagai akibat yang ditimbulkan bagi kelompok sasaran atau masyarakat.

  3. Teori Implementasi Hukum Soerjono Soekanto dalam buku Pengantar Ilmu Hukum menjelaskan, Hukum tumbuh hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban dan ketentraman bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat.

  Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri menyadari makna kehidupan hukum untuk mencapai suatu kedamaian dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986: 13).

  Menurut kamus besar bahasa inggris-Indonesia (Echols dan Hasan Sadily, 1992:312), implementasi berasal dari kata “implementation yang berarti pelaksanaan, implemetasi. Implementasi sebagai penerapan atau penggunaan peraturan kebijakan oleh badan atau pejabat administrasi negara yang harus sesuai dan serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku dan tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai. Implementasi kebijakan adalah aktifitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan yang telah ditetapkan dengan penggunaan sarana atau alat untuk mencapai tujuan kebijakan.

  Berdasarkan pengertian tersebut , maka implementasi dalam konteks pengertian ini adalah pelaksanaan Pemerintah Purbalingga mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Purbalingga.

  Howlett dan Ramesh, 1995 dalam Dwiyanto, (2009:31) menyatakan bahwa implementasi dipengaruhi oleh : e. Pangkal tolak permasalahan, jika pangkal tolak permasalahan itu jelas maka implementasi kebijakan publik akan berjalan dengan lancar, artinya dengan mengenali apakah pangkal tolak itu berpedoman sosial, politik, ekonomi, ataupun kebudayaanakan memudahkan implementer kebijakan dalam melaksanakan kebijakan publik tersebut.

  f. Tingkat keakutan masalah yang dihadapi pemerintah;semakin akut permasalahan yang dihadapi sebuah kebijakan publik maka akan membutuhkan waktu penyelesaian dalam implementasi kebijakan, semakin lama dan pengorbanan sumberdaya baik material atau immaterial tentu semakin banyak. g. Ukuran kelompok yang ditargetkan ;semakin kecil target group yang dituju dari sebuah kebijakan publik, tentunya akan semakin mudah dikelola ketimbang kelompok target yang besar dan mempunyai lingkup yang luas.

  h. Dampak perilaku yang diharapkan;jika dampak yang diinginkan semata-mata kuantitatif (ekonomis) maka akan lebih mudah menanganinya ketimbang jika dampak yang diinginkan merupakan perilaku seperti tingkat ketaqwaan seseorang , penghayatan dan pengamalan tentang nasionalisme, pembangunan tentang watak bangsa dan seterusnya. Selain berdimensi kualitatif dampak perilaku macam ini membutuhkan waktu yang tidak pendek.

B. Peraturan Daerah

  1. Pengertian Peraturan Daerah Dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah ada dua produk hukum yang dapat dibuat oleh suatu Daerah, salah satunya adalah Peraturan

  Daerah. Kewenangan membuat Peraturan Daerah, merupakan wujud nyata Pelaksanaan hak Otonomi yang dimiliki oleh suatu sarana Daerah dan sebaliknya. Peraturan Daerah merupakan salah satu sarana dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, untuk Penyelenggaraan Otonomi yang dimiliki oleh Provinsi/Kabupaten/Kota, serta tugas Pembantuan. Peraturan Daerah pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing Daerah. Perda yang dibuat oleh suatu Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi serta mempunyai kekuatan mengikuti setelah diUndangkan dengan dimuat dalam Lembaran Daerah (Rozali Abdullah, 2005: 131-132).

  Perda merupakan bagian dari Peraturan Perundang-undangan, pembentukan suatu Peraturan Daerah harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perda yang baik adalah yang memuat ketentuan, antara lain: a. Memihak kepada rakyat banyak

  b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia c. Berwawasan lingkungan dan budaya.

  Sedangkan tujuan utama dari suatu Perda adalah untuk mewujudkan kemandirian Daerah dan memberdayakan masyarakat. Pembuatan suatu Perda, masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis. Keterlibatan masyarakat sebaiknya dimulai dari proses penyiapan sampai pada waktu pembahasan rancangan Perda (Rozalli Abdullah, 2005:133).

  Kewenangan membuat Peraturan Daerah asalah wujud nyata pelaksanaan hak Otonomi yang dimiliki oleh suatu Daerah dan sebaliknya.

  Peraturan Daerah merupakan salah saru sarana dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah (Rozali Abdullah, 2005: 131).

  Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan dari DPRD. Pembentukan suatu Peraturan Daerah harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan PerUndang-undangan pada umumnya yang terdiri dari kejelasan tujuan, Kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi yang muatan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.

  Muatan suatu Peraturan Daerah yang baik harus mengandung azas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kesamaan kedudukan hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan keseimbangan dalam proses pembentukan suatu Peraturan Daerah, masyarakat berhak memberikan masukan, baik secara lisan, atau secara tertulis. Keterlibatan masyarakat ini dimulai dari proses penyiapan sampai pada waktu pembahasan rencana Peraturan Daerah.

  Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Peraturan Daerah sebagai Hukum merupakan bentuk Hukum tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat umum. Peraturan Daerah dibentuk dengan tujuan mengatur masyarakat disuatu Daerah secara umum agar berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan agar mendukung penyelenggaraan Pemerintah dan Pembangunan. Sebagai peraturan sehingga Daerah lain tidak memiliki daya kekuatan untuk menerapkannya pula (Sabarno, 2007: 196).

  Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan dalam Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan dan menampung kondisi khusus Daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan PerUndang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati. Apabila dalam suatu masa sidang Gubernur atau Bupati dan DPRD menyampaikan rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati digunakan sebagai bahan persandingan.

  Program penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan suatu materi Peraturan Daerah (Pasal 15 Undang-undang Nomor .12 Tahun 2011 tentang pembentukan Perundang-undangan).

2. Peraturan Daerah Nomor 02 tahun 2014 tentang Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun

  Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang di bentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 02 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, seringkali di jumpai adanya beberapa aduan masyarakat terkait dugaan Pencemaran lingkungan, baik yang di sebabkan oleh aktivitas kegiatan lndustri maupun kegiatan/usaha lainnya yang kurang memperhatikan Kelestarian fungsi lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan fungsi lingkungan hidup. Sesuai amanat Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2014 yang merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, mengisyaratkan kepada kita bahwa perlu adanya keseimbangan hak dan kewajiban dalam Pengelolaan lingkungan.

  Penanganan masalah lingkungan hidup perlu adanya komitmen bersama semua pihak untuk peduli dan mau berbuat sesuatu untuk mewujudkan lingkungan hidup yang di harapkaurbalinggakab.go.id).

  Meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia dapat mendorong peningkatan pembangunan bahan berbahaya dan beracun (B3) di berbagai sektor seperti industri, pertambangan, pertanian dan kesehatan. B3 tersebut dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri (impor). B3 yang dihasilkan dari dalam negeri juga ada yang diekspor ke suatu negara tertentu. Proses ekspor dan impor ini semakin mudah untuk dilakukan dengan masuknya era globalisasi. Selama tiga dekade terakhir, penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti limbah bahan kimia kadaluwarsa di Indonesia semakin meningkat dan tersebar luas di semua sektor apabila tidak dikelola dengan baik, maka dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup dan lingkungan hidup, seperti pencemaran udara, tanah, air dan laut (PP No 74 tahun 2001).

C. Tinjauan Umum tentang Lingkungan Hidup

  1. Pengertian Lingkungan Hidup lstilah Lingkungan atau lingkungan Hidup adalah terjemahan dari bahasa lnggris environment, sedangkan lingkungan hidup manusia (human

  environment ) menunjukan pengertian yang khusus, jika dibandingkan

  dengan lingkungan atau lingkungan hidup. Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang pokok-pokok Pengelolaan Hidup, Undang- undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunga Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Menurut kamus lingkungan hidup diartikan sebagai the

  physical, chemical and biotic condition surrounding and organism (Michael Allaby, 1979:21).

  Lingkungan hidup adalah semua benda berupa manusia, hewan ,tumbuhan, organisme, tanah, Air, udara, rumah, sampah, mobil, angin, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya (NHT Siahaan, 2004: 5).

  Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnaya (Supriadi, 2010: 169).

  Pengertian lingkungan hidup itu dapat dirangkum dalam suatu unsur-unsur sebagai berikut : a. Semua benda berupa manusia, hewan, tumbuhan, organism, tanah, air ,udara, rumah, sampah, mobil, angin, dan lain-lain. Keseluruhan yang disebutkan ini digolongkan sebagai materi. Sedangkan satuan- satuannya disebutkan sebagai komponen b. Daya disebut dengan energy

  c. Keadaan disebut juga kondisi atau situasi

  d. Perilaku atau Tabiat

  e. Ruang yaitu Wadah berbagai komponen berada

  f. Proses interaksi disebut juga saling mempengaruhi atau bias pula disebut dengan jaringan kehidupan Berdasarkan unsur-unsur tersebut salah satu unsur lingkungan hidup yang penting adalah adanya interaksi. melalui unsur ini terjalin suatu proses saling mempengaruhi antara komponen-komponen lingkungan. Proses demikian dapat berjalan langsung atau tidak langsung.

  Dalam pengertian teoritis, setiap komponen memiliki fungsi masing- masing, yang bukan saja dinikmati oleh dirinya tetapi juga oleh komponen-komponen lain. Berdasarkan fungsi-fungsi ini, maka terjalinlah mata rantai kehidupan (lie chains). Masing-masing komponen menjaga dan mempertahankan eksistensi dan fungsinya. Selama terdapat ketaraturan fungsi dan interaksi, maka proses interaksi akan tetap terkendali sedemikian rupa sehingga tetap tercapai keseimbangan. Adanya keseimbangan bukanlah berarti tidak ada perubahan (statis), keseimbangan itu dapat berjalan dalam pola yang dinamis, berubah, dalam perubahan kecil atau besar. Perubahan ini bia terjadi melalui proses alam maupun karena perbuatan manusia (NHT Siahaan, 2004: 10).

  Perusakan Lingkungan Hidup, dan Kerusakan Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pengertian pencemaran lingkungan hidup, perusakan lingkungan dan kerusakan lingkungan hidup adalah sebagai berikut :

  a. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energy, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui Baku Mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan

  b. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik,kimia, dan atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui criteria baku kerusakan lingkungan hidup c. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan atau tidak langsung terhadap sifat fisik,kimia dan atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

D. Tinjauan Umum tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

  1. Pengertian Pengelolaan Lingkungan hidup

  Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.