REFORMASI SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN MAFIA PERADILAN

  108

REFORMASI SISTEM PERADILAN PIDANA

DALAM RANGKA PENANGGULANGAN MAFIA PERADILAN

  

J. Paj ar Widodo

  Fakult as Hukum Universit as Lampung E-mail:

  

Abst r act

The pur pose of r ef or mat ion cr i mi nal j ust i ce syst em i s t o st r engt hen t he pr i nci ple of i ndependence

and i mpar t i al i t y cr i minal j ust i ce. St r engt heni ng of i ndependence pr inci pl e and i mpar t i al i t y cr i mi nal

j ust i ce i s done i n t he pr ocess of const i t ut i onal amendment and l egi sl at i on. The r ef or mat i on of t he

cr i minal j ust i ce syst em i ncl udes t he subst ance of t he l aw of one r oof syst em desi gn of j udi ci al power

t hat cul mi nat ed i n t he Supr eme Cour t . The st r engt hening of t he pr i nci pl e of i ndependence and

i mpar t i al i t y cr imi nal j ust i ce i s t o over come j udi ci al maf i a pr act i ce t hat equi pped by l aw

r ef or mat ion cul t ur e t o uphol d t he val ue syst em, whi ch ar e val ues and pr i nci pl es due pr ocess of l aw.

Keywor d: Judi ci al r ef or m, i ndependence, j udi ci al maf i a

  

Abst rak

  Tuj uan ref ormasi sist em peradilan pidana adalah unt uk memperkuat prinsip independensi dan imparsialit as peradilan. Penguat an prinsip independensi dan imparsialit as peradilan dilakukan dalam proses legislasi dalam amandemen konst it usi dan perat uran perundang-undangan. Ref ormasi sist em peradilan meliput i subst ansi hukum yait u desain one r oof syst em kekuasaan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Penguat an prinsip independensi dan imparsialit as peradilan merupakan sarana unt uk menanggulangi prakt ik maf ia peradilan, yang dilengkapi dengan ref ormasi kult ur hukum unt uk menegakkan sist em nilai, yait u nilai-nilai dan prinsip-prinsip due process of law. Kat a kunci : Ref ormasi peradilan, independensi, maf ia peradilan

  

Pendahuluan sendi independensi dan imparsialit as pengadil-

  Fungsi ideal pengadilan sebagai inst it usi an, karena rekayasa hukum yang dilakukan sin- penegak hukum yang bert ugas menegakkan hu- dikat maf ia peradilan melanggar prinsip-prinsip kum dan keadilan, sert a menj amin perlindung- due pr ocess of l aw dalam proses peradilan pi- an hak asasi manusia, pada saat ini mengalami dana. Akibat langsung dari prakt ik maf ia per- ket erpurukan, yang disebabkan karena adanya adilan menimbulkan diskriminasi perlakuan t er- rekayasa, diskriminat if dan ket idakadilan seba- hadap pencari keadilan berdasarkan pert imba- gai hasil korupsi pengadilan (j udi ci al cor r upt - ngan rasionalit as–pragmat isme, bert umpu pada

  1

t i on), yang populer disebut maf ia peradilan. kekuat an “ uang dan kekuasaan” , mengabaikan

Maf ia peradilan merupakan bent uk kegagalan prinsip penegakan hukum pidana yang adil.

  peradilan sebagai sarana mencari keadilan, t e- Proses peradilan pidana dij alankan ber- lah menj adi pola t indakan menyimpang dalam dasarkan pert imbangan “ t ransaksional” ant ar proses peradilan pidana. para pihak yang mempunyai kekuat an ekonomi

  Prakt ik maf ia peradilan merupakan per- dengan kekuasaan publik yait u penengak hu- buat an melawan hukum yang merusak sendi- kum, menghasilkan penegakan hukum pidana yang t idak adil dan diskriminat if . Prakt ik maf ia 1 peradilan menj adi cat at an buruk bagi pengadil-

  Lihat art i i si t l ah maf ia peradil an pada Donny Dar adono,

  an karena merusak int egrit as pengadilan, bah-

  “ Uang, Ideol ogi, Jabat an dal am Maf ia Per adil an, Reduksi t erhadap The Pol i t i cal ” , Renai , Jur nal Kaj i an

  kan ada sebagian hakim yang menganggap t u- Pol i t i k Lokal dan St udi Humani or a. Tahun VII No 2. Ref or masi Si st em Per adil an Pidana dal am Rangka Penanggul angan Maf ia Per adil an 109

  t uk usaha yang diarahkan unt uk mendapat kan keunt ungan.

  negakan hukum dan keadilan, kemudian dibe- lokkan pada j uga berkait an dengan problem konsept ual yuridis. Paradigma posit ivime hu- kum yang mewarnai hukum modern, mengede- pankan f ungsi perat uran perundang-undangan, cenderung t erikat pada f ormalisme dan prose- dural perat uran perundang-undangan, kurang menggali nilai-nilai subst ansial dari hukum, se- hingga menimbulkan krit ik t aj am. Krit ik t erha- dap karakt er hukum modern yait u bagimana keluar dari f ormalisme yang membabi-but a dan bagaimana mendamaikan prinsip legalit as hu- kum dengan moralit as.

2 Jika put usan hakim sudah t erkon-

  t aminasi kepent ingan mat eri, maka put usan t i- dak berpihak pada keadilan, sehingga masyara- kat t idak percaya kepada pengadilan. Ket idak- percayaan masyarakat t erhadap pengadilan bi- sa berupa main hakim sendiri ( ei genr i cht i ng) at au penghinaan t erhadap pengadilan ( obst r uc-

3 Penegakan hukum pidana t erdist orsi ra-

  Pi dana t erhadap Ti ndak Pi dana Korupsi APBD yang Dil akukan Anggot a Dewan” , Jur nal Di nami ka Hukum. Vol ume 11 Edi si Khusus. Februari 2011. Fakul t as hukum UNSOED, Purwokert o, hl m. 131-132. 3 Nurhayat i Mar di n, “ Makna Kepal a Put usan Pengadil an: Keadil an Berdasarkan Ket uhanan Yang Maha Esa

  (Tinj auan Recht phil osopie)” , Jur nal Hukum Akt ual i t a. Vol II No 3 Desemebr-Maret 2007, Fakul t as Hukum

  Proses peradilan pidana saat ini menun- j ukkan kaburnya orient asi para penegak hukum ant ara usaha menegakkan hukum dan menegak- kan keadilan. Tuj uan ut ama dalam berperkara bukan unt uk menegakkan hukum dan keadilan, t et api unt uk memenangkan perkara. Pergeser- an orient asi para penegak hukum dalam per- adilan pidana yang lebih menekankan rasionali- t as pragmant is, mendist orsi nilai et is moral pe- 2 Noor Aziz Said, “ Rekonst ruksi Pert anggungj awaban

  4 Konsep hukum sebagai t eks undang-un-

  dang dalam penerapannya bert olak dari silogis- me met odologis, t erst rukt ur dalam silogisme dedukt if -logis, sehingga subj ekt ivit as nilai et is- moral t erperangkap dalam logika dedukt if -lo- gis. Put usan pengadilan t idak lebih sebagai ha- sil konklusi dari deduksi t eks undang-undang t erhadap perist iwa konkrit dalam suat u kasus, sehingga pert imbangan adil dan t idak adil men- j adi sangat nisbi, karena argument asi hukum hakim berakhir dalam konklusi logika deduksi yang lebih menekankan kepast ian hukum, me- ngabaikan nilai-nilai moral keadilan.

  sionalit as t ransaksi ekonomi, sehingga proses peradilan pidana t idak lebih dari lembaga yang berusaha mencari “ pembenaran ( j ust i f i cat i on), yang seharusnya pengadilan mencari” kebenar- an ( t r ut h) dan keadilan (j ust i ce). Prakt ik maf ia peradilan semakin kreat if dalam membuat pembenaran proses hukum yait u dengan mem- bent uk t im lobi sebagai bagian st rat egi pembe- laan perkara t im pengacara unt uk merekayasa proses hukum. Pembelaan perkara pidana t idak lagi dibangun at as dasar argument asi hukum yang logis, t e-t api berdasarkan kekuat an lobi- lobi dan pendekat an ke berbagai pihak yait u penyidik, penunt ut umum at au hakim unt uk memenangkan perkara, meringankan pidana at au membebaskan t erdakwa kliennya. Bahkan kekuat an maf ia peradilan j uga t elah merambah ke komunit as akademik, dengan cara “ meng- at ur” ket erangan hukum ahli saksi dalam pem- bukt ian memberikan ket erangan di muka peng- adilan.

  seharusnya menj alankan f ungsi kemasyarakat - an, dengan menggerakan pengadilan unt uk me- nyelesaikan masalah masyarakat , t idak sebat as menerapkan perat uran perundangan yang me- nekankan kepast ian hukum.

  6 Berdasarkan karakt erist ik yang sedemiki-

  an,

  7

  maka bisa di pahami secara konsept ual, mengapa prakt ik maf ia peradilan bisa lolos dari penilaian sebagai perbuat an melanggar hukum. Para penegak hukum berlindung dalam aras po- sit ivisme hukum, bert olak dari logika rasional, 4 C. Maya Indah S, “ Ref l eksi sosi al at as Kel emahan hukum

  Modern, suat u disemi nasi hukum t radional dal am cit r a hukum Indonesia” , Jur nal Masal ah-Masal ah Hukum, Fakul t as Hukum Uni versit as Diponegoro, Semar ang, Vol 103 No. 37 t ahun 2008, hl m. 164. 5 M. Syamsudi n, “ Fakt or-Fakt or Sosio-l egal yang Menent u- kan Dal am penanganan Perkara Korupsi di Pengadil an” ,

  Jur nal Medi a Hukum. UMJ. Yogyakar t a. 2010, hl m. 408. 6 Edy Ri f ai, 2010, “ Peran Hakim Dal am Penemuan Hukum dan Mencipt akan Hukum Pada Era Ref ormasi” , Jur nal Il mu Hukum “ Pr aevi a” Fakul t as Hukum Unil a. Vol . 4.

  No. 1 t ahun 2010, hl m. 49. 7 Ani s Ibrahi m, “ Hukum Progresi f : Sol usi at as Ket erpur uk- an Hukum Indonesi a” , Jur nal Hukum Pr ogr esi f , Vol 2

  t i on of j ust i ce).

  5 Peradilan

  110 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 12 No. 1 Januari 2012

  membangun argument asi rasional dalam st ruk- t ur logis-sist emat is, ant ara lain dalam rent ang minimal-maksi-mal pidana, j enis pidana yang mengunt ungkan t erdakwa. Terdapat kecende- rungan umum ( mai nst r eam) para hakim mengi- kut i pola pikir legal posi t ivi sm berupa pola pikir legal f ormal mengesampingkan nilai et is-subs- t ansial hukum.

  kim, t idak t ampak cacat hukum sert a dapat di pert anggungj awabkan lepas dari produk put us- an kolut if . Bahkan put usan pengadilan hanya bisa dikoreksi secara int ernal dalam st rukt ur vert ikal proses hukum selanj ut nya mulai dari upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi, ka- sasi dan penunj auan kembali di Mahkamah Agung. Put usan kolut if yang penuh rekayasa, dengan demikian t idak t erj angkau dari koreksi at au eksaminasi ekst ernal pengadilan, khusus- nya masyarakat yang menj adi t uj uan dari pro- duk put usan pengadilan. Semangat unt uk mem- berant as prakt ik korupsi di pengadilan hanya menyalahkan sist em yang ada, kurang berorien- t asi pada pengawasan kinerj a prof esionalit as penegak hukum, sehingga t erhalang perilaku penegak hukum yang menyalahgunakan kekua- saan ( abuse of power) yang t ersamar dalam legalit as kewenangan penegak hukum

  st rukt ur penegakan hukum pidana, bersumber dari sist em penegakan hukum yang dibangun berdasarkan desain konst it usional. Pasca aman- demen ke-3 UUD 1945, yang kemudian diikut i t erbit nya UU No. 48 Tahun 2009 t ent ang Kekua- saan Kehakiman sebagai perat uran pelaksana, t erdapat koreksi pada ‘ Kekuasaan Kehakiman’ . Desain kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 Amandemen ke-3, sebagaimana t ersebut dalam

  Bab IX, meliput i Mahkamah Agung dan peradil- an dibawahnya, Mahkamah Konst it usi dan Komi- si Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial dalam 8 M. Syamsudin, “ Rekonst ruksi Pol a Pikir Haki m dal am

  Memut us Perkara Korupsi Berbasis Hukum Progresif ” Jur nal Di nami ka Hukum, Vol 11 No 1 Januari 2011, Fakul t as Hukum UNSOED Purwokert o, hl m. 10 9 Jawade Haf i dz, “ Si st em Pert anggungj awaban Perkar a Korupsi Dal am Percepat an Penyel emat an Keuangan

  Negara” , Jur nal Di nami ka Hukum. Vol 11 Edisi Khusus, Fakul t as Hukum UNSOED, Purwokert o, Februar i 2011.

  Bab IX bersama-sama dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konst it usi, pada dasarnya dide- sain sebagai lembaga yang melaksanakan ke- kuasaan kehakiman, yait u sebagai

  suppor t i ng el ement berpasangan dengan Mahkamah Agung

  dan Mahkamah Konst it usi, unt uk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial, guna menegkkan hukum dan ke- adilan.

8 Argument asi hukum yang dibangun ha-

  Derivasi persoalan konsept ual kekuasaan kehakiman selanj ut nya adalah legalit as dan ke- dudukan lembaga penyidikan dan penunt ut an yang t idak j elas. Apabila polit ik hukum kekua- saan kehakiman berorient asi pada upaya mem- perkuat independensi dan imparsialit as pera- dilan pidana, sudah pada t empat nya, dilakukan evaluasi dan koreksi secara konsept ual, bahwa keseluruhan penegak hukum dalam peradilan pidana adalah lembaga penegak hukum kekua- saan kehakiman yang bersandar konst it usi. Pe- nyidik dan penunt ut umum secara legal f ormal bukanlah bagian dari kekuasaan kehakiman ka- rena masuk dalam ranah kekuasaan eksekut if , t et api secara f ungsional bersama-sama dengan pengadilan melaksanakan kekuasaan kehakiman ( r echt er l i j ke macht ). Pengert ian sist em pera- dilan pidana, secara konsept ual sering dipa- hami secara keliru karena komponen pendu- kungnya secara normat if , t erdiri dari sub sist em penyidikan, penunt ut an, pengadilan dan pelak- sana pidana. Kebij akan f ormulasi lembaga pen- dukung sist em peradilan yang bersif at parsial, yang menempat kan penyidikan dan penunt u- t an di luar kekuasaan kehakiman, akan t et api menj alankan kekuasaan bersama pengadilan, menimbulkan kelemahan koordinasi dan peng- awasan kekuasaan kehakiman. Desain kekuasa- an kehakiman pasca amandemen ke-3 UUD 1945, masih bersif at parsial dan belum int egral dalam keseluruhan kekuasaan peradilan.

9 Persoalan konsept ual yang menyangkut

  Keseluruhan proses peradilan pidana di- j alankan at as prinsip kekuasaan kehakiman, t e- t api penyidik, penunt ut umum dan pelaksana eksekusi put usan pengadilan berada dalam ra- nah kekuasaan eksekut if . Problem hukum dari kebij akan sist em peradilan pidana yang bersif at parsial menyebabkan lemahnya prinsip inde- Ref or masi Si st em Per adil an Pidana dal am Rangka Penanggul angan Maf ia Per adil an 111

  mahnya pengawasan int ernal dan ekst ernal dari masyarakat . Kelemahan ini menj adi kendala sist emat is penanggulangan maf ia peradilan. Permasalahan penanggulangan maf ia peradilan berkait an dengan masalah apakah ada problem konsept ual-j uridis dan bagaimana ref ormasi sis- t em peradilan pidana yang int egral unt uk mem- perkuat independensi peradilan.

  per t ama, pemint aan uang j asa, laporan dit in-

  Maret 2010, Fakul t as Hukum Univer sit as Isl am Bandung.

  33 Tahun 2005, Universit as Isl am Bat ik, Sur akart a, hl m. 104. 12 Wahyu Wiri adinat a, “ Masal ah Maf i a Per adil an dan Korupsi di Indonesia” , Jur nal Syi ar Hukum, Vol XIL No 1

  cuur l i bel ) sehingga t erdakwa divonis bebas; 11 M. Edi Sant oso, “ Kebij akan Pi dana Dal am Proses Gerakan Sosial Mel al ui Si st em Peradil an Pidana t erhadap Maf i a Peradil an” , Jur nal Gema, Vol XVIII. No

  unt uk merundingkan uang damai, surat pang- gilan sengaj a t anpa st at us ” saksi” at au “ t er- sangka” , pada uj ungnya saat pemeriksaan akan di-mint ai uang agar st at usnya t idak “ t ersang- ka” ; kedua, negosiasi st at us, perubahan st at us t ahanan t ersangka menj adi alat t awar mena- war; ket i ga, pelepasan t ersangka, melalui surat perint ah penghent ian penyidikan (SP3) dengan sengaj a membuat dakwaan yang kabur ( obs-

  12 Maf ia peradilan di kej aksaan meliput i: per t ama, pemerasan, penyidikan diperpanj ang

  pasal yang dikenakan t erhadap t ersangka de- ngan imbalan uang yang berbeda-beda, menun- da surat pemberit ahuan dimulainya penyididi- kan (SDPD) kepada kej aksaan; dan kedua, pe- merasan oleh polisi, t ersangka dianiaya t erlebih dahulu agar mau koorporat if dan menyerahkan uang, mengarahkan kasus lalu menawarkan j a- lan damai. Pengat uran ruang t ahanan, penem- pat an di ruang t ahanan menj adi alat t awar- menawar.

  per t ama, negosiasi perkara, t awar menawar

  daklanj ut i set elah (pelapor) menyerahkan la- poran uang j asa; dan kedua, penggelapan per- kara, penanganan perkara dihent ikan set elah set elah ada kesepakat an membayar sej umlah uang j asa kepada polisi (penyelidik). Pada t a- hap penyidikan, modus operandinya meliput i:

  dibedakan pada t a- hap penyelidikan, modus operandi meliput i:

  Mafia Peradilan dan Permasalahannya

  11

  Prakt ik maf ia peradilan pada t ahap pe- meriksaan di Penyidikan (kepolisian) dan Pe- nunt ut Umum, t idak j auh dari modus opr eandi di pengadilan yang mengarah pada perbuat an mengkondisikan proses hukum sebagai ruang menarik keunt ungan mat eri, dengan mengabai- kan hukum. Di Kepolisian,

  vonis hakim, t erj adi negosiasi t awar menawar ant ara hakim, j aksa, pengacara t ent ang hukum- an dan uang yang harus dibayarkan.

  Lihat dal am

  sendiri at au memint a j asa panit era pengadilan; dan ket i ga, negosiasi put usan pengadilan, su- dah ada kordinasi sebelumnya t ent ang t unt ut an Jaksa Penunt ut Umum yang beruj ung pada 10 Busryo Muquddas. Maf i a Per adi l an Ber j al an Si st emi k.

  kedua, penent uan maj elis hakim, dilakukan

  umum prakt ik maf ia peradilan di persidangan pengadilan meliput i: per t ama, permint aan uang j asa, dalam hal ini pengacara harus me- nyiapkan uang ekst ra bagian regist rasi perkara;

  Modus operandi prakt ik maf ia peradilan semakin rapi dan melibat kan banyak pihak, de- ngan peranan yang berbeda-beda, sehingga bersif at sist emat is sepert i sindikat .

  Terdapat empat bent uk modus oper andi akt ivit as “ maf ia peradilan yang t erj adi dalam proses peradilan. Per t ama, penundaaan pem- bacaan put usan oleh maj elis hakim. Hakim akan menghindar bila dit anyakan alasan penun- daan, dengan menyat akan, ” kalau dit anyakan ke panit era akan mendapat kan sinyal, bahwa hakim mint a sesuat u” . Kedua, hakim sengaj a t idak memberi penilaian at as suat u f akt a at au bukt i t ert ent u, sehingga put usan pengadilan ri- ngan, bahkan put usan bebas. Ket i ga, manipula- si penerapan perat uran perundang-undangan yang t idak sesuai dengan f akt a hukum yang t er- ungkap di persidangan. Maj elis hakim mencari perat uran hukum sendiri, sehingga f akt a hukum dit af sirkan berbeda, akhirnya dakwaan t idak t erbukt i, put usan bebas. Keempat , pencarian perat uran perundang-undangan oleh maj elis Hakim, agar dakwaan Jaksa beralih ke pihak lain, t erut ama pada kasus korupsi, dibuat agar t erdakwa melakukan hal t ersebut at as pe- rint ah at asan, sehingga t erdakwa dibebaskan.

10 Secara

  112 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 12 No. 1 Januari 2012 keempat , penggelapan perkara, berkas perkara

  dihent ikan j ika memberikan sej umlah uang, saat dilimpahkan ke kej aksaan, polisi mengat a- kan “ sudah ada yang mengurus” , sehingga t idak t ercat at dalam regist er; kel i ma, negosiasi per- kara, proses penyidikan yang diulur-ulur me- rupakan isyarat agar keluarga t ersangka mene- mui Jaksa, bisa melibat kan calo perkara yang berasal dari kej aksaan, anak pej abat , penga- cara rekanan j aksa, berat –ringannya dakwaan menj adi alat t awar menawar; dan keenam, pe- ngurangan t unt ut an, t unt ut an pidana bisa diri- ngankan bila t erdakwa memberikan sej umlah uang, Berit a Pemeriksaan (BAP) dibocorkan saat penyidikan, Pasal yang disangakakan j uga dapat diperdagangkan.

  Modus operandi maf ia peradilan yang digambarkan di at as, t ergambar pula ada Kasus Gayus Tambunan Pegawai Direkt orat Jendral Paj ak Depkeu di Jakart a. Proses penanganan kasus Gayus sej ak t ahap penyidikan, penunt ut - an sampai put usan penegadilan dit emukan kej anggalan. Pada t ahap penyidikan dan Pra- penunt ut an, Pasal pelanggaran hukum yang di- t erapkan penyidikan, kumudian dikoreksi Pe- nunt ut Umum, sudah ada gej ala “ rekayasa” . Semest inya t ersangka dij erat t iga pasal yait u pelanggaran t indak pidana korupsi, pencucian uang dan penggelapan. Hasil pra penunt ut an Tersangka “ diarahkan” pada pelanggaran Pasal pencucian uang dan penggelapan, kemudian Penunt ut Umum membuat Dakwaan Alt ernat if , pelanggaran t indak pidana pencucian uang at au peng-gelapan. Hasil pembukt ian persidangan di PN. Tangerang, t erdakwa divonis bebas, karena t idak t erbukt inya dakwaan, sert a sudah ada pe- ngembalian uang dari t erdakwa kepada saksi Andi Kosasih. Put usan Kasus Gayus membuat bi- ngung masyarakat , mengapa Jaksa sembrono menyusun dakwaan, hingga t idak t erbukt i, me- ngapa hakim bisa keliru membuat put usan? Mungkin inilah yang disebut maf ia peradilan.

  Put usan pembebasan Gayus membuat kont roversi di masyarakat , kemudian Kapolri membent uk Tim Penyidik Independen, hasilnya penyidik kasus Gayus menj adi t ersangka kasus suap, Kej agung membent uk Tim Eksaminasi, cermat an yang disengaj a, seharusnya dakwaan disusun secara kumulat if yait u t indak pidana korupsi, pencucian uang dan penggelapan, ke- nyat aan disusun alt ernat if t indak pidana pen- cucian uang dan penggelapan. Vonis bebas, memaksa Komisi Yudisial memanggil Hakim Ket ua Sidang PN Tangerang. Hasilnya, Hakim Asnun mengaku mendapat kan uang suap dari Gayus lima puluh j ut a rupiah. Penunt ut umum dan Hakim kasus Gayus, saat ini t elah menj adi Terdakwa dan dipidana di pengadilan dan di pidana.

  Prakt ik maf ia peradilan pada umumnya menggunakan dan menyamarkan “ kewenangan/ kekuasaan hukum” , sebagai dalih unt uk mela- kukan prakt ik suap menyuap. Pemegang kekua- saan j udisial dengan berdalih kekuasaan j udisial yang bebas dan independen, dalam ket ert upan proses hukum melakukan penyimpangan hukum dit ukar dengan keunt ungan mat eri pribadi.

  13 Akibat korupsi peradilan, kewibawaan lembaga

  peradilan meluncur kebawah, sebagaimana di- nyat akan Para Cumaraswani, Pelapor kasus pa- da Perserikat an Bangsa-bangsa yang menyim- pulkan bahwa korupsi peradilan di Indonesia adalah salah sat u yang t erburuk di dunia, yang hanya mungkin disamai oleh Meksiko, negara yang mayorit as rakyat nya t idak t erkej ut sama sekali dengan f enomena korupsi peradilan.

  14 Fenomena prakt ik suap menyuap dalam

  maf ia peradilan pada dasarnya merupakan ben- t uk pert ukaran kekuasaan, yait u bart er ant ara “ kekuasaan hukum” yang dipegang penegak hu- kum dengan “ kekuasaan mat er i / uang” yang di- pegang para pencari keadilan (t ersangka/ t er- dakwa). Pert ukaran kekuasan t ersebut , bisa di- j elaskan dengan t eori pert ukaran ( exchange

  t heor y) dari Pet er M. Blau, yang bert olak dari

  pert ukaran kekuasaan. Pert ukaran kekuasaan t erj adi lebih massif apabila ada kesenj angan penguasaan “ kekuasaan” ant ara “ power f ul ” dengan “ power l ess” . Carut marut penegakan 13 Bambang Wij oyant o, “ Harmoni sasi Peran Penegak Hu-

  kum Dal am Pemberant asan Korupsi ” , Jur nal Legsi l asi Indonesi a, Vol 4 No. 1 Maret 2007. Direkt or at Jender al Perundang-undangan Depkumham RI, hl m. 7. 14 Noor Azi s Said. op, ci t , hl m. 132 Ref or masi Si st em Per adil an Pidana dal am Rangka Penanggul angan Maf ia Per adil an 113

  hukum pidana, yang dimulai dari rusaknya kom- ponen kult ur, kemudian merambah pada kom- ponen st rukt ur penegakan hukum. Pengert ian st rukt ur penegakan hukum sebagaimana dimak- sud Friedman sebagai “ … t he st r uct ur e of t he

  bahwa j udi ci al cor r upt ion yang kemudian dike- nal sebagai “ maf ia peradilan” , bahkan t elah menj adi “ ikon” t indakan menyimpang dalam proses peradilan pidana. Maf ia peradilan me- rupakan j ej aring illegal ant ar para pihak yang t erlibat dalam pelaksanaan peradilan pidana, dij alankan secara sist emik t ransaksional yang bert uj uan mencari keunt ungan mat eri dengan menyamarkan penyalahgunaan hukum dalam bat asan-bat asan kekuasaan peradilan, yait u para penegak hukum dengan pihak lain yang t erlibat dalam penyelenggaraan peradilan pida- na.

  bahwa dalam hubungan sosial t erdapat hubu- ngan ket ergant ungan ant ar pihak berdasarkan 15 Suset iawan, “ Masyarakat Indonesi a Dal am Bingkai

  16 Pet er M. Blau lebih lanj ut menyat akan

  Blau, dalam in-t eraksi para pihak yang berke- pent ingan, ket ika t erj adi ket impangan pert u- karan, maka perbedaan kekuasaan akan muncul dalam asosiasi para pihak yang berint eraksi.

  pr ocit y” (norma pert ukaran). Menurut Pet er

  suap menyuap sebagai bent uk prakt ik maf ia pe- radilan, secara t eorit is bisa dij elaskan dengan t eori pert ukaran ( exchange t heor y) dari Pet er M. Blau. Tit ik awal t eori pert ukaran ialah per- t ukaran barang-barang dan j asa, yang mene- kankan pada pent ingnya norma-norma “ r eci -

  15 Gej ala

  hak yang t erlibat maf ia peradilan berdasarkan logika t ransaksional yait u mempert ukarkan ba- rang dengan j asa sebagai komodit i.

  publ i c power ). Proses int eraksi ant ar para pi-

  Prakt ik maf ia peradilan yang melibat kan para penegak hukum dengan pihak yang ber- perkara, pada umumnya berorient asi pada ke- unt ungan f inansial dengan kompensasi penya- lahgunaan kekuasaan publik ( i l l egal abuse of

  ci al cor r upt ion. Kenyat aan membukt ikan lain,

  syst em i s it skel et al f r ame wor k, it i s t he per - manent shape, t he i nst it ut ional body of t he syst em, t he t ough, r igi d bones t hat keep t he pr ocess f l owi ng wit hi n bounds” , adalah serang-

  penegak hukum t elah menghambat laj u ref or- masi peradilan, dalam usaha pembaharuan ins- t it usi peradilan, merusak independensi dan im- parsialit as pengadilan, menurunkan t ingkat ke- adilan. Apabila konsist en dengan t uj uan ref or- masi pengadilan yang t elah memperkuat prinsip independensi dan imparsialit as pengadilan da- lam konst it usi dan perat uran perundang-un- dangan, seharusnya t idak akan dit emukan j udi -

  Judi ci al Cor r upt ion yang melibat kan para

  t unggal), dengan puncak kekuasaan kehakiman di Mahkamah Agung. Sist em penegakan hukum at ap t unggal ini, secara konsept ual memberi- kan j aminan “ kekuasaan kehakiman yang mer- deka” , lepas campur t angan kekuasaan ekst ra j udisial.

  one r oof syst em (sist em sat u at ap/ sist em at ap

  dan anomali ref ormasi peradilan pidana yang dit uj ukan pada penguat an prinsip independensi pengadilan. Ref ormasi peradilan secara subs- t ansial t elah berhasil menempat kan lembaga pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan keha- kiman yang independen, yait u dengan desain sist em penegakan hukum yang bert umpu pada

  r upt ion (korupsi peradilan), menj adi t it ik balik

  Terungkapnya beberapa kasus suap-me- nyuap di lembaga peradilan pidana yang meli- bat kan j aj aran penegak hukum dalam proses peradilan pidana, sebagai bent uk Judi ci al Cor -

  ( val ue syst em) yait u asas-asas penegakan hu- kum due pr ocess of l aw, sepert i asas persama- an di depan hukum.

  t em), sepert i Prot ap di at as dan sist em nilai

  kaian syarat dan prosedur hukum dalam keselu- ruhan proses peradilan pidana, dengan st andar yang t elah dit ent ukan. Misalnya dalam pedom- an penyelidikan dan penyidikan di kepolisian. Prosedur Tet ap Penunt ut an di Kej aksaan, Pro- t ap Rencana Dakwaan (Rendak), Prot ap Rent ut , yang sudah baku. Pelangaran aspek St rukt ur yang menyebabkan carut marut penegakan hu- kum pidana, t erdapat dua aspek, yait u rusak- nya sist em prosedur ( pr ocedur al / f i si cal sys-

  Perubahan Di al ekt i s” , Jur nal Mi mbar Hukum Fakul t as Hukum UGM. 2007 hl m. 135. . 16 Pet er M. Bl au dal am George Rit zer & Dougl as J. Good- man, 2009, Teor i Sosi ol ogi , Dar i t eor i Sosi ol ogi Kl asi k, sampai Per kembangan Mut akhi r Teor i Sosi al Post Mo- der n, Cet . Ket iga, Pener j emah Inyi ak Ri dwan Muzir .

  114 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 12 No. 1 Januari 2012 perbedaan kekuasaan dan konsekuensi mat eri.

  Hubungan yang t idak seimbang dalam pengua- saan kekuasaan, pihak yang lebih berkuasa akan dapat memaksakan kehendak dan kepent i- ngannya kepada pihak lain ket ika berhubungan secara sosial. Kekuasaan t ersebut dapat diper- t ukarkan unt uk menghasilkan hubungan sosial yang relat if set ara dengan imbalan mat eri. Ke- t ika sat u pihak dalam hubungan sosial memer- lukan sesuat u dari pihak lainnya, t idak memiliki sesuat u yang sebanding unt uk dit awarkan, t er- sedia empat alt ernat if . Per t ama, orang dapat memaksa orang unt uk membant unya; kedua, mencari sumber lain unt uk mencari apa yang diperlukan; ket i ga, mereka t erus menj alaninya, meskipun t anpa sesuat u yang diperlukan dari orang lain; dan keempat , ini yang t erpent ing, mereka dapat melet akkan diri mereka pada posisi yang lebih rendah dari orang lain, sehing- ga memberikan “ nilai umum” kepada orang lain dalam hubungan sosial yang dij alani, selanj ut - nya orang lain dapat menarik kembali penilaian t ersebut ket ika mereka ingin melakukan sesua- t u (alt ernat if t erakhir ini, t ent u saj a, merupa- kan ciri t erpent ing dari kekuasaan).

  Berdasarkan hasil penerapan t eori pert u- karan, t erlihat bahwa penet apan dari suat u rancangan “ r eci pr oci t y” akan memberikan sua- t u kesempat an unt uk menghindarkan st rukt ur- st rukt ur hukum yang membeku dan membant u yang akan dapat , di dalam beberapa wilayah

  soci al l i f e, memudahkan proses-proses ekono-

  mi. Konsekuensi negat if dari proses-proses ekonomi yang bersif at “ negat if ” , yait u berhu- bungan proses pengkarat an (

  cor r osi on) dari sis-

  t em hukum yang berlangsung secara sist emat is dan konst an akibat adanya serangan dari peri- laku, dimana perilaku t ersebut menggunt ing prest ise dari sist em hukum t ersebut . Sit uasi su- lit , ant ara lain berupa bl ack-mai l (pemerasan) dan “ keharusan” unt uk mengeluarkan uang suap, semua ini t elah dianggap sebagai sesuat u yang secara inf ormal harus dit erima sebagai sesuat u yang umum dan dij adikan pola-pola st rukt ural operasional dari perilaku-perilaku yang t erkoordinasi.

  Suap menyuap aparat peradilan dapat di- dari Pet er M. Blau, bahwa aparat penegak hu- kum diposisikan sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan besar, sedang pihak t erdakwa pihak yang lemah kekuasaan. Dalam proses hukum t erj adi int eraksi sosial yang mendekat kan dua kepent ingan, yait u aparat penegak hukum dan t erdakwa, int eraksi dua kepent ingan bert emu dalam hubungan resiprosit as ( r eci pr ocit y r el a-

  t i on), pada akhirnya t erj adilah hubungan per-

  t ukaran kekuasaan, yait u pert ukaran ant ara ke- kuasaan yang dimiliki penegak hukum berupa kewenangan hukum (j asa) dengan kekuasaan t erdakwa berupa mat eri (uang/ barang). Secara st rukural operasional muncullah pert ukaran ba- rang dengan j asa.

  Telaah t eort is t erhadap gej ala “ maf ia pe- radilan” sebagaimana t elah dibahas berdasar- kan t eori pert ukaran ( exchange t heor y) dari Pe- t er M. Blau di at as, j uga bisa dij elaskan dalam kont eks Lembaga Peradilan Pidana dengan me- nggunakan t eori int egrasi dari Harry . C. Brede- meier. Teori yang dikembangkan Bredermeier merupakan derivasi dari t eori sibernet ik Talcot Parson. Bert olak dari kerangka Talcot Parsons, Bredermeier menggambarkan bagaimana proses pert ukaran (i nt er change) ant ara sub-sub sist em dalam kerangka Parsons. Dibawah ini dij elas- kan dalam bent uk bagan supaya lebih j elas:

  17

  17 Lihat dal am Sat j i pt o Rahar dj o, 1982, Il mu Hukum, Ban- Ref or masi Si st em Per adil an Pidana dal am Rangka Penanggul angan Maf ia Per adil an 115

  Bredermeier berusaha menj elaskan t eori- nya dengan melakukan analisis bagaimana hu- kum saling berint erelasi dengan pat t er n var i a- bl es yang ada dalam sist em sosial masyarakat .

  Pat t er n var i abl es dalam sist em sosial meliput i pat t er n var i abl e of adapt ion (economy, sci en- ce, and t echnol ogy), pat t er n var i abl e of goal pur suance (pol i t y) dan pat t er n mai nt enance

  ( soci et y ) yang mempunyai f ungsi pemeliharaan eksist ensi sist em sosial. Sebaliknya posisi hu- kum merupakan out put dari solidarit as sosial dari hasil int erpret asi t erhadap rasa keadilan. Int egrasi ant ar pat t er n var i abl e dalam sist em sosial dengan out put berupa hukum, pada da- sarnya memposisikan hukum melakukan konkre- t isasi bent uk-bent uk st rukt ur peran, t ugas dan kewaj iban, t et api ef isiensi dari dari proses kon- kret isasi t ergant ung kepada goal st r uct ur e yang dimiliki masyarakat , sert a kemampuan masya- rakat unt uk mendayagunakan seluruh pot ensi yang ada dalam hukum yang dimilikinya.

  Proses int egrasi ant ar pat t er n var iabl e sist em sosial t ergant ung dari hukum yang meru- pakan ilmu t ent ang f ungsi dari berbagai j enis perilaku. Persoalan t ent ang int ensit as f ungsi hukum dalam menj alankan int egrasi, sesung- guhnya berada di luar hukum sebagai sist em normat if , sehingga solusi at as permasalahan t ersebut hanya bisa dij elaskan dari kekuat an

  pat t er n var i abl e yang melingkupinya. Int errela-

  si ant ar pat t er n var i abl e akan menggambarkan bagaimana hubungan sosial sebagai sist em so- sial bisa berf ungsi mengat ur sat u sist em sosial t ert ent u. Int egrasi ant ara pat t er n var i abl e akan mencipt akan suat u mekanisme t ert ent u unt uk mencapai t uj uan dalam sist em sosial. Hu- kum berperan unt uk melakukan int erpret asi respon-respon dari pol i t y enf or cement pr oce-

  dur e, akan t et api apabila akan menerapkan

  kebij akan hukum berdasarkan goal pur suance kasus-kasus individu, diperlukan penget ahuan bent uk hubungan sosial yang t erj adi dan mung- kin akan merint angi penerapan kebij akan t er- sebut . Hukum dalam menj alankan f ungsinya, akan membent uk organisasi dalam masyarakat dan kemampuan inilah yang menj adi ciri ut ama hukum yang disebut adapt i ve pr ocess.

  Terj adinya proses hukum yang korupt if , yang lazim disebut maf ia peradilan, pada da- sarnya merupakan hasil dari int erelasi ant ar para pihak dengan lat ar belakang yang ber- agam, sert a dibedakan dari aspek j abat an dan kewenangan, kemampuan mat eri ekonomi, ke- kuasaan polit ik. Berdasarkan t eori pert ukaran kekuasaan ( exchange t heor y) dari Pet er M. Blau dan t eori int ergrasi dari Harry. C. Bredemeier, sert a bert olak dari perist iwa pert ukaran ( ex-

  change) ant ar sub sist em sosial, dengan lat ar

  belakang ekonomi, polit ik dan sosial. Pert ukar- an ant ar sub sist em sosial t ersebut , bisa ber- ubah menj adi kriminogen, apabila dimot ivasi t indakan menyimpang unt uk memenuhi kepen- t ingan bersama ant ar pihak-pihak, dengan me- ngorbankan dan mengabaikan t uj uan umum dari sist em sosial, yait u keadilan, legalit as hu- kum dan ket ert iban yang t ercakup dalam sis- t em sosial.

  Prakt ik maf ia peradilan pada hakikat nya merupakan t indakan yang merusak sist em sosial dan menghasilkan out put hukum yang t idak adil. Maf ia peradilan yang dilakukan secara sist emat is oleh para penegak hukum merupakan pengabaian secara sengaj a dan t erencana t er- hadap sist em penegakan hukum yang sudah baku dalam mekanisme dan prosedur. Pengge- rogot an dan perusakan t erhadap sist em pene- gakan hukum, t idak hanya pada sist em prose- dural ( pr ocedur al / physi cal syst em), t et api j uga merusak dan mengabaikan sist em t at a nilai ( va-

  l ue syst em) berupa asas-asas hukum yang adil,

  kedua sist em t ersebut t ercakup dalam sist em due pr ocess of l aw.

  Prakt ik maf ia peradilan merupakan per- buat an melanggar hukum dan melanggar sist em nilai (moralit as) dalam peradilan pidana. Pe- langgaran t erhadap prinsip-prinsip dasar proses hukum yang adil ( due pr ocess of l aw) menim- bulkan proses hukum yang sewenang-wenang ( ar bi t r ar y pr ocess). Prakt ik suap penegak hu- kum t elah merusak sist em prosedur dan sist em nilai. Akibat prakt ik maf ia peradilan, t erj adi penyimpangan dan pelanggaran prosedur baku dan melanggar nilai-nilai moralit as yang ada dalam asas penegakan hukum due pr ocess of

  116 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 12 No. 1 Januari 2012

  mengabaikan asas-asas peradilan yang baik, j uga merusak sist em int eraksi yang sudah baku st andarnya, yang t erj adi kemudian adalah carut marut penegakan hukum pidana. Penegak hu- kum yang t erlibat maf ia peradilan, menukar ke- wenangan hukum dengan keunt ungan mat eri.

  20 Subst ansi nilai meru- 20 Hibnu Nugroho, “ Opt imal i sasi Penegakan Hukum Dal am

  Secara konsept ual, int i dan art i penegak- an hukum t erlet ak pada kegiat an menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dij abarkan dalam kai- dah-kaidah yang mant ab dan mengej awant ah sert a sikap t indak sebagai rangkaian penj abar- an nilai t ahap akhir, unt uk mencipt akan, me- melihara dan mempert ahankan kedamaian dan ket ert iban masyarakat .

  lam mekanisme proses peradilan mencakup rant ai kewenangan sist em peradilan pidana.

  l aw. Int eraksi ant ar inst ansi penegak hukum da-

  adilan pidana sebagai sist em mencakup dua aspek, yait u aspek st rukt ur inst it usi yang me- libat kan beberapa inst ansi penegak hukum dan aspek nilai, yait u asas-asas penegakan hukum pidana yang t ercakup dalam due pr ocess of

  mechani sm f or t he r esol ut ion of di sput es). Per-

  Sist em peradilan pidana sering diart ikan secara sempit sebagai sist em pengadilan yang menyelenggarakan keadilan at as nama negara at au sebagai mekanisme unt uk menyelesaikan suat u perkara/ sengket a. Dalam art i sempit , pe- radilan pidana hanya melihat aspek st rukt ural (yait u “ syst em of cour t ” sebagai inst it usi) dan hanya melihat aspek kekuasaan mengadili/ me- nyelesaikan perkara ( admini st r at ion j ust i ce/

  gal cul t ur e), akibat nya penegak hukum yang

  lam kasus Gayus misalnya, berdasarkan hasil Eksaminasi Kej agung dit emukan “ Ket idakcer- mat an yang disengaj a” yait u pelanggaran pro- ses dan prosedur penunt ut an, sehingga Penun- t ut Umum dan Jaksa Penelit i dianggap melaku- kan kecerobohan yang berakhir dengan bebas- nya t erdakwa karena Surat Dakwaan t idak bisa dibukt ikan. Penyalahgunaan kekuasaan publik oleh penegak hukum unt uk memperoleh keun- t ungan mat eri, pada hakikat nya t elah sengaj a “ memperdagangkan hukum” . Hukum menj adi komodit i bisnis, masuk dalam permasalahan sebagai “ pert ukaran ant ara penawaran dan per- mint aan” . Urusan hukum t idak lagi menj adi urusan moral, yang menyebabkan masyarakat (pencari keadilan) t idak bisa mengelak dari t a- rikan ekonomi, menyebabkan gangguan morali- t as hukum semakin berambah besar t erhadap hukum, khususnya penegakan hukum pidana

  dan sub sist em pelaksanaan put usan peng- adilan yait u Lembaga Pemasyarakat an. Prakt ik maf ia peradilan, pada hakikat nya adalah per- buat an sist emat is yang merusak sist em dalam peradil-an pidana. Rusaknya sist em peradilan pidana, pada dasarnya bisa bersumber dari sis- t em prosedural ( pr ocedur al / physi cal syst em) dan sist em nilai ( val ues syst em). Kedua kompo- nen ini akan runt uh apabila salah sat u mengala- mi serangan yang merusak. Perilaku penegak hukum yang menerima uang suap merupakan t indakan merusak komponen kult ur hukum ( l e-

  Terpadu” , Jur nal Hukum For um Cendeki a, Vol 18 No. 2

  Korupsi dengan Hukum Progresif ” , Jur nal Hukum Pr o- gr esi f , Vol 1/ No 2 Okt ober 2005. PDIH UNDIP. Sema- rang, hl m. 133. 19 Haf ri da, “ Sinkronisasi Ant ar Lembaga Penegak hukum dal am Mewuj udkan Si st em Per adil an Pi dana yang

  aspek pendekat an sist em hukum, maka beker- j anya peradilan pidana sangat t eragant ung dari sinkronisasi dan harmonisasi dari komponen peradilan pidana, yait u sub sist em penyidikan, sub sist em penunt ut an, sub sist em pengadilan 18 Kamr i Ahmad, “ Membangun Vi si Baru: Pemberant asan

  Peradilan pidana merupakan bagian pen- t ing dalam usaha penanggulangan kej ahat an dengan sarana hukum pidana. Peradilan pidana bekerj a dalam suat u sist em penegakan hukum pidana yang bersif at t erpadu, menit ikberat kan pada ket erpaduan sist em, sehingga lazim dise- but Sist em Peradilan Pidana. Ket erpaduan da- lam sist em peradilan pidana dimaksudkan agar proses peradilan berj alan secara ef ekt if dan ef isien, saling menunj ang ant ar penegak hukum dalam menemukan hukum dan menerapkan yang t epat unt uk menj amin kepuasan pencari keadilan yait u mewuj udkan keadilan dalam ke- sadaran kenyat aan hukum masyarakat .

  Reformasi Sist em Peradilan Pidana dan Usaha Penanggulangan Mafia Peradilan

  18 .

19 Apabila peradilan pidana dipahami dari

  Ref or masi Si st em Per adil an Pidana dal am Rangka Penanggul angan Maf ia Per adil an 117

  pakan f ondasi f ilosof is dalam rangka memper- kuat asas-asas penegakan hukum yang adil ( due

  pr ocess of l aw), sebaliknya konsep penegakan

  hukum yang lebih menekankan pada pendekat - an sist em yang kaku dan prosedural, mengej ar t uj uan t et api mengabaikan aspek kemanusiaan dan t uj uan hukum yait u mewuj udkan keadilan. Hukum adalah alat yang digunakan unt uk mene- gakkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan hanya sebat as pemenuhan prosedur hukum yang kaku, t et api unt uk menj unj ung t inggi nilai kemanu- siaan, karena sesungguhnya hukum adalah un- t uk manusia.