KEMISKINAN DAN KRITIK ATAS GLOBALISME NEO-LIBERAL

  KEMISKINAN DAN KRITIK ATAS GLOBALISME NEO-LIBERAL Zakiyuddin Baidhawy

KEMISKINAN DAN KRITIK ATAS GLOBALISME NEO-LIBERAL

  Zakiyuddin Baidhawy Edior: Fakih Nabhan Cetakan Pertama: Oktober 2015 16 x 23,5 cm; vi+164 hlm. Penerbit: LP2M-Press, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02, Kode Pos 50721, Salatiga Email: lp2miainsalatiga@gmail.com

  ISBN 978-602-73757-1-0 All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa

pun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

  

PRAKATA

  Sudah beberapa tahun yang lalu, niat untuk menulis buku tentang kritik atas globalisme model neo-liberal, dan pemikiran alternatif untuk mengatasi kebuntuan ideologi ini dalam meng hasil kan tatanan dunia berkeadilan, muncul. Akhirnya niat itu kesam paian juga berkat pergumulan pemikir- an yang semakin mendorong niat itu untuk direalisasikan.

  Ini tidak lain beranjak dari kegelisahan yang tidak lagi kuasa di- pendam. Melalui berbagai forum kaum muda Muhammadiyah yang meng organisir diri secara informal dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, penulis dapat merampungkan buku ini. Karena itu, kuhaturkan banyak terima kasih atas sumbang pikir dan dialog yang mengalir dari teman-teman penulis, baik melalui obrolan ringan, tatap muka, via email, facebook, seminar, workshop dan jaringan. Mereka yang berjasa telah memperkaya pemikiran penulis adalah: teman-teman di Solo; Norma, Sarbini, Jinan, Dewi, Helmi, Almuntaqa, Farid, M. Ali, Syifaul, Yusuf, Mahmud, Shalahuddin, Imun, Fattah, Yayah, Thoyibi, dan Abdullah Aly, dll; teman-teman Jogja: Zuly Qodir, Budi Asyhari, Wiyadi, Beni Setiawan, Kunny, Maya, Mitha, Elis, Subkhi Ridho, Dani Muhtada, Muqowim, Nurwanto, Asep PB, Irvan Mawardi, Fauzi Fashri dll; teman-teman di Jawa Timur: Pradana Boy, Choirul Mahfud, Siddiq Notonegoro, Aji, Biyanto, Sufiyanto, Cholid, dll; teman-teman di Jakarta: Moeslim Abdurrahman, Fuad Fanani, Fajar, Said Ramadhan, Ayu, Ninik Annisa, Najib Burhani, Tuti Alawiyah, Alfa Amirrachman, David Alka, Raja Juli, Joko Sustanto, Sarah Muwahidah, dll; teman-teman kerja di Salatiga, Tomo, Saerozi, Baehaqi, Miftahuddin, Adang Kuswaya, Hammam, Irfan Helmy, Agus Suaidi, Nafis, Abdul Aziz, Mochlasin, Mukti Ali, Farkhani, Noormalihah, dll. Semoga Allah berkenan memberi balasan terbaik atas kontribusi mereka.

  Akhirnya, penulis juga sangat berterima kasih atas pengorbanan waktu dan kesetiaan dari istri tercinta Nur, dan anak-anakku Nadia dan Azca, yang dari hari ke hari, waktu ke waktu, bersama membangun se- mangat “berjuang”. Dan penulis berharap buku ini memberi manfaat bagi mereka yang membacanya, mendiskusikannya, lebih-lebih mewu- jud kannya dalam aksi dan gerakan pemihakan kepada mereka yang dhuafa dan mustadh`afin. Amin.

  Omah Nderes, Soditan, Sukoharjo

  10 Februari 2015 Zakiyuddin Baidhawy

  

DAFTAR ISI

Prakata ......................................................................................iii

Daftar Isi ...................................................................................... v

Pendahuluan ................................................................................ 1

  BAB I GLOBALISASI MELIPATGANDAKAN KEMISKINAN DAN PEMISKINAN .........................11 A. Kilas Balik Globalisasi ....................................................... 11 B. Beberapa Perspektif Globalisasi ...................................... 13 C. Rahwana Globalisasi: Massifikasi Kemiskin an

  versus Janji Kemakmuran .................................................. 18

  BAB II ARTI DAN FENOMENA KEMISKINAN GLOBAL ..................................................................... 57 A. Teori tentang Kemiskinan ................................................. 57 B. Perspektif Islam tentang Kemiskinan Kontemporer ... 63 C. Tiga Dimensi Kemiskinan ................................................ 73 D. Mustadh`afin Kontemporer: Bukan Sekadar Penerima Zakat ..................................................................................... 75

BAB III VISI BARU KEBERPIHAKAN ................................. 82

A. Mempertegas Visi Keberpihakan: al-Maun

  sebagai option for the poor ..................................................... 85

  B. Mencerdaskan visi al-Takathur: “Kapitalisasi” untuk Pemihakan ........................................................................... 89

  C. Ummah wasath: Pejuang Keadilan dan Kemanusiaan .. 91

  D. Pendekatan Berbasis maqasid al-syariah ......................... 93

  BAB IV VISI KEPEMIMPINAN PROFETIK- TRANSFORMATIF AL-MAUN ...............................106 A. Wahyu Transformatif: Sebuah Ancangan .................... 107 B. Model Kepemimpinan .................................................... 111 BAB V PENDIDIKAN AL-MAUN: PENYADARAN DAN POLITIK KEBERPIHAKAN ..........................134 A. Baldah Thayyibah: Merevitalisasi Peran Komplementer Negara ................................................................................ 135 C. Keluarga Sakinah: Menggerakkan Kepedu li an dari Lingkup Terkecil ............................................................... 147

Daftar Pustaka ..........................................................................157

BIOGRAFI PENULIS .............................................................163

  PENDAHULUAN

  Globalisasi memang tak terelakkan sebagai akibat langsung perkem- bangan teknologi komunikasi, informasi, transportasi yang memper- cepat hubungan antar manusia tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Globalisasi di satu sisi berjasa membuat hidup manusia lebih ber ke majuan, progresif; di sisi lain globalisasi juga bertanggung jawab telah membuat kehidupan sebagian umat manusia lebih menderita. Bila kemajuan merupakan tujuan dari globalisasi, para penentangnya meman dang telah mengalami kegagalan kolosal. Kekuatan-kekuatan pasar dan birokrasi internasional telah mendikte aturan-aturan dengan akibat-akibatnya yang telah terbukti di seputar kita.

  Setelah krisis dan devaluasi dialami Mexico pada 1994-1995, separuh penduduk Mexico jatuh di bawah garis kemiskinan. Mulai pertengahan 1997, negara-negara macan Asia baru bergelimpangan ditimpa krisis ekonomi. Dalam satu dekade terakhir, kemiskinan mendera bangsa Indonesia. Jumlah bunuh diri di Korea dan Thailand meningkat tajam karena para pekerja tidak mempunyai harapan bagi diri mereka sendiri dan keluarganya. Di Rusia, harapan hidup kaum lelaki merosot tujuh tahun hanya dalam satu dekade, suatu peristiwa yang jarang didengar pada abad 20.

  Pertumbuhan spekulasi finansial makin tidak terkontrol di pasar- pasar yang sedang bangkit. Ini membawa pada bencana bagi kebanyak- an penduduk di negara-negara terdampak. Warga negara dan pemerintah kadang-kadang bermanfaat bagi penggerak utama globalisasi. Warga negara tanpa disadari dipaksa membayar pajak untuk pemberian jaminan (bail-out) kepada IMF, yang pada akhirnya kebanyakan pajak itu tidak ber- kontribusi bagi mereka yang menderita, tetapi justru dimanfaatkan oleh para spekulator yang menyebabkan krisis. Warga negara lebih jauh di- wajibkan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan swasta yang seram pang an, perusahaan-perusahaan yang sudah jelas-jelas gagal, se perti kegagalan tabungan dan pinjaman di Amerika Serikat, Kredit Lyonnais di Perancis, dan bank-bank serta perusahaan-perusahaan raksasa di Jepang.

  Ketika Manajemen Kapital Jangka Panjang hedge fund swasta di Amerika Serikat akhir-akhir ini guncang setelah meminjam ratusan kali dari basis kapital awalnya, the Federal Reserve New York mengkoordinasi

  

bail-out dana yang wajib dibayarkan oleh bank-bank karena takut jika

kegagalan ini dapat mendestabilisasi keseluruhan ekonomi global.

  Apa yang dipaparkan di muka menggambarkan bahwa globalisasi menciptakan lebih banyak pecundang dari pada pemenang, dan tak se orang pun punya rencana untuk menjadi pecundang. Orang-orang yang tidak akan pernah bertemu ditempatkan dalam suatu persaingan langsung, seperti halnya “setiap manusia adalah musuh bagi yang lainnya”, mengutip Thomas Hobbes. Persaingan semacam ini menciptakan apa yang sekarang disebut sebagai race to the bottom dan telah menghancurkan standar-standar pekerjaan dan lingkungan hidup seiring negara-negara mem buka laju investasi asing secara langsung. Semua ini membiarkan kebebasan modal untuk melintas batas, sementara kaum pekerja atau buruh berakar dan tidak dapat bergerak secara bebas.

  Persaingan bebas membiarkan modal transnasional lari dari tang- gung jawab pajak hampir secara menyeluruh. Menurut kantor akuntan pemerintah Amerika Serikat, tiga perempat perusahaan-perusahaan asing di negara ini tidak membayar pajak sama sekali. Di Eropa, pajak perusahaan memberi kontribusi kurang dari sepertiga pendapatan negara. Di AS hanya 17% pendapatan negara diperoleh dari mereka. Tidak adanya pajak modal membuat proteksi sosial jauh lebih sulit di- berikan karena pemerintah kemudian mengambil pajak upah, gaji, dan konsumsi lebih besar sehingga warga negara mengalami kerugian.

  Persaingan bebas dalam membuka investasi asing secara langsung telah menghadiahkan kepada banyak kawasan yang memiliki modal sumber daya alam kerusakan lingkungan. Secara sistematis persaing- an telah memarjinalkan biaya-biaya lingkungan dan sosial. Globalisasi ekonomi dalam bentuknya yang sekarang bukanlah suatu kecelakaan. Meskipun teknologi membuatnya menjadi mungkin, globalisasi ekonomi secara sengaja didesain oleh ekonom-ekonom dan pemerintah-peme- rintah neo-liberal, institusi-institusi keuangan internasional (IFIs), kor- porasi dan para pemimpin perbankan. Bertindak atas nama kepen tingan kelompok paling minoritas, sistem ini telah menyebabkan penderitaan mayoritas. Penderitaan dan kesengsaraan sosial telah tampak ke per- mukaan sebagai akibat langsung globalisasi yang pada akhirnya juga me mukul kelompok paling minoritas itu sendiri. Kesalahan besar pada penganjur globalisasi adalah ketidakmampuan mereka menjamin proteksi jangka panjang bagi sistem yang dapat terus menerus melimpahkan ke- kuasaan dan keuntungan.

  Para pembuat keputusan harus mengakui bahwa model globalisasi semacam ini hanya akan menghasilkan dan melipat gandakan kemiskinan, pemiskinan, marjinalisasi, dan konflik sosial. Tantangannya adalah bagai- mana kita bisa menghapus ideologi yang sedang berkuasa sehingga globalisasi neo-liberal disumbat, dan keuntungannya dapat melimpah kepada semua warga dunia. Ini bukan realitas tetapi doktrin, sesuatu yang sedikit di bawah agama.

  Lebih jauh, karena globalisasi lebih menggambarkan masalah eko- nomi, dan karena itu kekuatan sosial dari warga negara, komunitas, dan negara-bangsa secara simultan terus mengalami penurunan kapasitas untuk melindungi diri mereka sendiri dari serangan gencar pasar, ada kebutuhan mendesak untuk mem ber dayakan warga negara, komunitas dan negara sembari mengupayakan pelembagaan aturan-aturan demo- kratis dan berkeadilan pada tingkat internasional.

  Akhirnya, pada tingkat yang paling fundamental, kita harus meng- uji kembali makna otoritas dan legitimasi. Aktor-aktor besar dalam sistem dunia sekarang ini memperlihatkan pengaruh luar biasa atas basis legitimasi mereka. Para direktur perusahaan dan banker, manajer pen- siun dan hedge-fund, ekonom IMF, para hakim perdagangan WTO, dan ke banyakan peserta pertemuan tahunan World Economic Forum di Davos, Swiss, semuanya tidak bertanggung jawab. Mereka memper- oleh kekuasaan besar melampaui kehidupan banyak penduduk dunia. Legitimasi dan otoritas mereka telah meminggirkan semua suara yang lain. Peminggiran dari proses pengambilan keputusan tidak kurang pen ting nya dibandingkan dengan peminggiran dari keuntungan-ke- untungan material dan perlu diuji kembali jika solidaritas di dalam dan antara bangsa-bangsa hendak diperbaiki demi dunia yang lebih baik dan manusiawi.

  Kini Amerika Serikat jatuh dalam krisis kepercayaan dan krisis finansial, kemudian diikuti oleh negara-negara maju lainnya di Eropa dan menyebarkan ancaman krisis kepada seluruh bagian dunia ini. Skandal kredit macet perumahan, skandal Madoff, runtuhnya perusa- haan-perusahaan transnasional raksasa, merupakan tengara kegagalan globalisasi ala neo-liberal. Inilah peluang bagi ideologi-ideologi alternatif untuk maju dan menawarkan sebuah dunia lain yang mungkin, another

  worlds are possible.

  Kehadiran buku ini merupakan satu upaya bagaimana kita bisa memandang dunia global yang penuh dengan ketidakadilan ini dengan kritik radikal, dan semangat menyajikan berbagai kemungkinan yang dapat memberikan pilihan lain di tengah-tengah pemaksaan oleh rejim hegemoni dan homogenisasi itu. Alternatif apa pun akan bermakna ketika kita menyadarinya bukan semata sebagai state of mind, namun lebih dari itu dapat dimanifestasikan ke dalam aksi-aksi dan praksis sosial yang membumi. Seperti kata pepatah, menyalakan lilin sekecil apa pun adalah

  

lebih baik daripada mengumpat dalam kegelapan. Dalam kegelapan dan ke-

  tidakadilan globalisasi itu, kita perlu melakukan dua hal: bicara lantang dan mempertajam wacana akan kebangkrutan globalisasi model neo- liberalisme, dan menawarkan diskursus baru dan lain yang menge de- pankan keadilan sosial dan kesejahteraan; dan memperbanyak aksi dan gerakan sosial yang membela harkat dan martabat penduduk dunia yang terpinggirkan dan termarjinalisasi sebagai akibat ketimpangan dan ke- senjangan yang menyakitkan mata kepala dan mata batin kemanusiaan kita.

  Buku ini memulai dari kupasan mengenai kejahatan-kejahatan globalisasi yang perlu secara terus-menerus diperbincangkan dan di- sebarluaskan kepada seluruh penduduk dunia agar mereka melek akan sisi hitam dari ideologi ini. Globalisasi tanpa arah merupakan kejahat- an kemanusiaan karena ia telah merusak tatanan kehidupan melalui pelipatgandaan kemiskinan dan pemiskinan. Ketidakadilan global se- macam ini sepertinya merupakan representasi kontemporer dari empat gembong kriminal yang pernah diilustrasikan oleh al-Quran: Qarun, Fir`aun, Haman, dan Samiri.

  Qorun adalah wajah dari rejim neo-liberalisme yang merupakan corong dari kekuatan-kekuatan ekonomi global hegemonik dan me- nindas banyak penduduk dunia. Lembaga-lembaga keuangan global (IFIs) yang siap mengucurkan dana bantuan dalam skema jeratan hutang dan bunganya yang mencekik.

  Fir`aun adalah gambaran penguasa-penguasa politik yang korup dan dipaksa korup untuk melahirkan sejumlah deregulasi-deregulasi yang memenangkan kepentingan-kepentingan kekuatan-kekuatan ekonomi global di atas, melalui forum-forum pertemuan atau konferensi tingkat tinggi kepala-kepala negara; juga rezim-rezim nasional dan lokal yang diperalat untuk mendahulukan kepentingan mereka dengan tumbal ke- pentingan rakyat dan kemaslahatan publik umumnya. Mereka ialah pe- nguasa ”penyembelih” yang kemaruk harta/uang walau harus meng- khianati amanah rakyat yang telah memilihnya.

  Haman merupakan kaum intelektual ”begundal” dan teknokrat tukang yang digaji besar dan diberi kedudukan terhormat oleh para Qarun dan Fir`aun globalisasi neo-liberal. Tugas suci mereka adalah mem buat rasionalisasi dan justifikasi atas segala kepentingan dan ke- bijakan yang menguntungkan rezim ekonomi dan penguasa global itu. Mereka juga menciptakan teori-teori ekonomi dan pembangunan yang melegitimasi perampasan, perampokan, pencurian atas aset-aset negara- negara di dunia, menindas warga negaranya, dan mengeruk keuntungan sebesar-besar di atas penderitaan penduduk dunia lainnya. Karakter kaum intelektual dan teknokrat tukang ini mudah dikenali: mereka suka mem- buat penyataan dukungan atas kebijakan penguasanya yang sudah pasti menyesengsarakan rakyatnya; kerja intelektual dan teknokrasinya ialah melanggengkan kemiskinan dan pemiskinan.

  Samiri adalah kaum agamawan ”bandit” yang cenderung pro status

  quo

  . Mereka suka berdalil, mengutip firman-firman suci namun tujuan- nya untuk memanipulasi doktrin-doktrin dan hukum-hukum agama untuk eksploitasi terhadap kaum fakir miskin dan

  mustadh`afin. Me-

  lalui cara ini mereka memperoleh keuntungan finansial dan material dari Qarun, Fir`aun dan Haman globalisasi neo-liberal yang menjadi patronnya. Inilah tipikal agamawan candu, sebagaimana disitir oleh Karl Marx, agama adalah opium bagi masyarakat karena ia meninabobokan mereka dalam kesadaran palsu dan membuat mereka lemah, letih dan lesu gairahnya untuk bangkit melawan kemiskinan, pemiskinan dan pe- nindasan.

  Bab II menghadirkan upaya untuk memahami fakta dan realitas kemiskinan yang makin kompleks. Dalam bab ini kemiskinan dipahami sebagai suatu kondisi multidimensi dan multiaspek yang mencakup antara lain: Pertama, kemiskinan karitas, yaitu kelangkaan dalam meme- nuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs), pendapatan pribadi, akses kesejahteraan publik, aset fisik (physical capital termasuk tanah dan kepe- milikan materi, kesehatan), aset lingkungan seperti pepohonan, hutan, air, dan produk-produk non kayu-kayuan. Kedua, kemiskinan kapasitas, yaitu ketidakpastian harapan dan masa depan disebabkan mereka miskin dalam hal pendidikan, life skill, training, kekuatan bekerja. Ketiga, kemiskinan otoritas, yakni ketidakberdayaan yang mencakup mar ji- nalisasi sosial, marjinalisasi partisipasi, marjinalisasi hak-hak asasi, dan marjinalisasi perlindungan hukum. Karena definisi kemiskinan meng- alami perluasan dan kompleksitasnya semakin rumit, maka upaya-upaya pemberdayaannya pun perlu dilakukan secara kompehensif. Mem- perlakukan fakir miskin hanya sebatas sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) sudahlah usang. Karena pemahaman ini sering menjerumuskan distribusi zakat dalam kerangka karitatif, sekali pakai habis, dan tidak pernah dapat mengentaskan kaum miskin dan papa dapat meningkatkan kelayakan dan kesejahteraan mereka sendiri.

  Upaya-upaya pemberdayaan komprehensif dan simultan membu- tuhkan visi keberpihakan yang lugas dan bernas. Karena itu Bab III me- na warkan kerangka pemahaman baru yang komprehensif dan simultan mengenai pandangan, aksi dan gerakan keberpihakan kepada kaum miskin dan

  mustadh`afin. Inilah visi keberpihakan al-Maun, suatu ma-

  nifes to option for the poors. Upaya ini diiringi dengan visi kapitalisasi yang cerdas, yakni al-takathur yang bertujuan untuk mengembangkan filantropi sosial-keagamaan, bukan untuk tujuan kapitalisasi dan ambil untung itu sendiri. Agen dari pembumian wahyu transformatif yang tegas visi keberpihakannya dan cerdas visi filantropinya adalah mereka yang mem- persiapkan diri sebagai pejuang keadilan dan kemanusiaan (ummah wasath).

  Dalam bab ini dibahas pula tentang alternatif untuk memahami kemiskinan dan upaya pengentasannya yang mencermin keberpihakan itu. Yaitu menawarkan pendekatan berbasis maqashid al-syariah meliputi: pendekatan kesadaran religius yang profetik-transformatif, pendekatan pro kehidupan, pendekatan pro penguatan akal, pengetahuan dan pen- didikan, pendekatan pro keluarga dan keturunan yang sejahtera dan bahagia, pendekatan pendapatan dan kekayaan, serta pendekatan ling- kungan.

  Untuk mengimplementasikan visi keberpihakan pada tingkat paksis sosial, kepemimpinan merupakan keniscayaan tak terelakkan. Kerangka ini dilandasi paham teologis yang memaknai kitab suci, firman/kalam suci sebagai wahyu transformatif. Wahyu transformatif menjadi ancangan keberpihakan di mana kitab suci merupakan titik pijak untuk perubahan dan transformasi sosial. Karena itu, satu surat al-Qur’an yang sangat populer, yakni al-Maun diletakkan dalam bingkai keberpihakan terhadap kaum miskin dan

  mustadh`afin. Inilah kepemimpinan bervisi profetik-

  transformatif yang dikenal sebagai kepemimpinan al-Maun. Disebut se- bagai kepemimpinan profetik karena ia diderivasi dari gerakan-gerakan yang pernah dilakukan oleh para nabi revolusioner; disebut kepe mim- pinan transformatif karena visinya adalah perubahan ke arah kehi- dupan sosial yang lebih adil dan baik. Kepemimpinan ini bisa terjadi dalam banyak level dan aksi sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi, baik dijalankan secara parsial maupun menyeluruh, antara lain: model advokasi politik Harun yang bertujuan untuk memengaruhi regulasi negara untuk redistribusi ekonomi, sosial, dan politik; model pendidik- an kritis Musa dengan “exodus” sebagai pendidikan politik untuk masya rakat madani vis a vis negara/rezim menindas; model partisipatoris Muhammad yang meneladankan hidup sederhana sebagai counter culture atas konsumtivisme, dan hidup bersama orang miskin dan tertindas (pendampingan); model propaganda Ibrahim melalui gerakan simbolik penghancuran berhala ideologi hegemonik-dominatif-eksploitatif (the

  

end of unfair globalism, Neo-liberalism); dan model masjid al-Maun untuk

orang yang hendak mewujudkan rumah/surga Allah di muka bumi ini.

  Inilah yang menjadi inti bab IV.

  Terakhir, pendidikan pada akhirnya merupakan salah satu upaya kultural yang perlu ditempuh untuk menjawab tantangan-tantangan glo- balisme itu dan akibat-akibatnya yang negatif dan menindas. Pendidikan di sini tentu saja bukan pendidikan dalam pengertian biasanya. Ia me- rupakan pendidikan penyadaran kepada semua tingkatan, baik pada negara, komunitas maupun keluarga akan bahaya globalisme. Pendi- dikan ini juga membangkitkan semangat keberpihakan atas mereka yang menjadi korban pemiskinan dan penindasan struktural baik oleh agen-agen kekuatan ekonomi maupun kekuatan politik global yang ber- kolaborasi dalam neo-liberalisme. Penyadaran kepada negara ber tujuan untuk mengembalikan dan memberdayakan perannya dalam melaku- kan intervensi ketika ketidakadilan terjadi. Ketika pasar yang dipercaya oleh neo-liberalism sebagai petugas alokasi dan distribusi sumber daya, gagal memenuhi janji-janji keadilan dan kesejahteraan bagi kebanyak- an warga negara. Negara perlu melakukan peran dan tanggung jawab komplementer atas pasar agar menjadi lokus persaingan sempurna (bukan persaingan bebas). Kala pasar tidak lagi menjamin distribusi ke- kayaan dan pendapatan secara adil, negara campur tangan menjadi agen redistributor bagi semua warga negara. Negara juga memiliki peran dalam mengelola kepemilikan publik dan hajat hidup orang banyak, serta peran regulator yang menjaga performa tatanan kehidupan berbangsa yang berkeadilan dan berkesejahteraan.

  Pada tingkat komunitas, pendidikan penyadaran dan keberpihak- an dimaksudkan untuk membangkitkan daulat komunitas/masyarakat guna melakukan fungsi-fungsi civil society pada aras politik, ekonomi mau- pun kebudayaan. Pada aras politik, komunitas/masyarakat perlu di- pahamkan bahwa mereka mengemban tanggung jawab menciptakan ruang publik dalam rangka mendemokratiskan negara, mengkristal kan opini publik sebagai alat check and control atas kebijakan-kebijakan negara bagi warga negaranya. Pada aras ekonomi, komunitas/masyarakat niscaya untuk disadarkan bahwa mereka mempunyai kewajiban bersama untuk membangun kemandirian, keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Bila negara gagal, komunitas/masyarakat sipil dapat menopang kehi- dupannya dari keswadayaan, menegakkan keadilan dan kesejahteraan melalui filantropi sosial dan keagamaan. Pada aras kultural, pendidikan penyadaran dan keberpihakan berupaya memberikan pencerahan intelektual dan moral kepada kekuatan-kekuatan dalam komunitas/ masyarakat untuk mampu membuat counter hegemoni atas negara. Pen- cerahan intelektual dan moral merupakan modal untuk menjalankan aksi dan gerakan perlawanan pada negara, ketika negara gagal (failed

  

state) dan pemerintahan tidak memerintah (governless) untuk memenuhi

amanah keadilan dan kesejahteraan bagi warganya.

  Adapun pada tingkat keluarga, pendidikan penyadaran dan keber- pihakan ialah usaha untuk mengarahkan dan membimbing keluarga untuk memahami pentingnya gaya hidup sederhana sebagai budaya tandingan atas konsumtivisme dan konsumerisme yang menjadi watak globalisasi neo-liberal. Gaya hidup sederhana dapat menyelamatkan keluarga dari rayuan dan godaan hedonisme dan ketamakan yang me- rupakan titik awal kehancuran peradaban kemanusiaan. Gaya hidup sederhana juga membentengi keluarga dari perilaku konsumsi yang cen- derung tidak rasional (hanya memenuhi keinginan tanpa batas) dan tidak ramah lingkungan.

  Akhirnya, upaya-upaya untuk memahami realitas kemiskinan, pe- miskinan, penindasan, marjinalisasi, harus terus-menerus diper barui me lalui refleksi, semacam gerak antara wacana kritis dan aksi nyata. Kaum intelektual dan para aktivis jangan terjebak pada kesibukan masing-masing. Ibarat gayung bersambut, keduanya perlu bersinergi: kaum intelektual melakukan refleksi terhadap realitas dan aksi-aksi yang dilakukan para aktivis; para aktivis mempertimbangkan refleksi itu untuk perbaikan dan transformasi aksi-aksi mereka. Jika dua pihak ini be kerja- sama, refleksi atas semua wacana dan praksis sosial niscaya mene- mukan paduan dan kesalinghubungan satu dengan yang lain, dan pada gilirannya perjuangan mereka dapat menuai hasil. Fawq dhi `ilm `Alim.

BAB GLOBALISASI MELIPATGANDAKAN KEMISKINAN DAN PEMISKINAN

  I A. KILAS BALIK GLOBALISASI

  Globalisasi adalah seperangkat proses pertautan dan integrasi ekonomi, politik dan kultural, baik pada tingkat global maupun regional. Kekuatan-kekuatan dan peristiwa-peristiwa yang meng antarkan ke arah globalisasi dapat ditelusuri jauh ke belakang sejak 1492 SM ketika orang- orang mulai menghubungkan lokasi-lokasi yang tersebar di dunia ini ke dalam suatu sistem komunikasi, migrasi dan interkoneksi yang makin luas. Pembentukan sistem-sistem interaksi antara global dan lokal ini men jadi kekuatan pengendali utama dalam sejarah dunia (Imade, 2003).

  Perspektif sejarah melihat globalisasi memiliki hubungan dengan sejarah sosial dan ekonomi relasi internasional, dan khususnya dengan sejarah periode-periode awal pertumbuhan pesat dalam perdagangan, investasi, komunikasi dan pengaruh in ter nasional (Rothschild, 1999:2). Ledakan ekspor investasi pada 1860-an dan awal abad 20 hanyalah dua dari contoh-contoh dramatis. Peristiwa-peristiwa dan kekuatan-ke- kuatan utama lain yang membentuk globalisasi sehingga memberikan impak terhadap sejarah global dapat digambarkan sebagai berikut. Pada 325 M Chandragupta Maurya, seorang Budha memicu revolusi globa- lisasi kali pertama dengan menggabungkan kekuatan perluasan agama dunia, ekonomi perdagangan, dan pasukan-pasukan penjajah unuk kali pertamanya menghubungkan kawasan Mediterania, Persia, India dan Asia Tengah. Antara 650-850 M, Islam ikut mengglobal dengan melakukan ekspansi dari Mediterania Barat hingga India. Pada 1492, Christoper Columbus dan pada 1498 Vasco da Gama memulai navigasinya menge- lilingi dunia melalui jalan air dalam rangka menghubungkan dunia ini.

  Yang pertama diduga menemukan Amerika dan yang terakhir me- nemukan jalur menuju India. Penemuan ini merupakan satu tahapan bagi persaingan-persaingan imperialisme yang meliputi negara-negara kapitalis maju antara abad 17 dan 19. Kesalingkaitan ini juga membuka jalan bagi perdagangan budak yang segera diikuti mercantilisme pada 1650. Hingga 1648, kekuatan penjajah menciptakan sistem negara modern yang dimulai oleh pakta Westphalia.

  Karya monumental Adam Smith The Wealth of Nation menyingkap era baru fundamentalisme pasar di Eropa. Dalam karya itu, Smith meng- gunakan invisible hand sebagai istilah yang merujuk pada sistem per- dagangan bebas dan cepat berkembang pada masa itu. Karya ini terus mempengaruhi pemikiran lain tentang prinsip-prinsip dan gagasan ekonomi. Antara 1867 dan 1871, mekanisme yang melahirkan Uni Eropa telah mulai muncul. Perjuangan kekuasaan dan persaingan ekonomi telah menghasilkan terpecah-pecahnya Afrika berdasarkan Konferensi Berlin pada 1885. Krisis ekonomi dan kontradiksi berkaitan dengan perjuangan-perjuangan antara negara imperialis membawa pada ber- bagai konflik di dunia, secara lebih khusus melahirkan Depresi Besar pada 1930-an. Negara bangsa-negara bangsa menarik diri dari pasar internasional yang telah menyebabkan penderitaan tak terperikan dalam bentuk kemiskinan dan pengangguran. Akibat-akibat kumulatif dari per saingan dan kontradiksi dalam kapitalisme ini telah memukul seluruh bagian dunia. Ini dapat menjelaskan terjadinya Perang Dunia I pada 1914 dan Perang Dunia II pada 1935. Liga Bangsa-bangsa, yang didirikan pada pasca PD I dan bermaksud untuk mencegah perang di masa depan, tidak memberi banyak harapan ketika ia gagal menghenti- kan PD II dan kemudian diganti menjadi Persyarikatan Bangsa-Bangsa pada 1945.

  Kebanyakan negara Eropa yang mentas dari PD II dalam ke adaan lemah, dan tidak berdaya. Kelemahan mereka disebabkan ketidak- mampuan Eropa untuk meredam gerakan-gerakan nasionalis militan yang berasal dari wilayah koloni, dan akibatnya berpuncak pada proses dekolonisasi yang dipicu oleh pemrotes dan demonstran di wilayah- wilayah jajahan, yang secara bertahap membebaskan koloni Eropa di Asia dan Afrika (Schraeder, 2000: 131).

  Untuk mengatasi krisis, akhirnya negara-negara memutuskan untuk membangun dan memperkuat ikatan-ikatan internasional pasca PD II yang meletakkan kerangka kerja bagi Sistem Bretton Woods. Hasil per- temuan itu memperkuat globalisasi yang kemudian melahirkan berbagai lembaga seperti IMF, Bank Dunia, dan GATT.

  Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1989, demokrasi ditengarai se- bagai pemenang atas komunisme (Fukuyama, 1992). Globalisasi meng- ibahkan sayapnya secara penuh tanpa ada perlawanan. Peristiwa-peris- tiwa tersebut, bersamaan dengan revolusi industri, meraih puncak ke jayaan hingga kini. Paparan singkat di muka menunjukkan bahwa globalisasi sudah melakukan perjalanan panjang. Ia tetap survive, se buah fenomena global sejati dan akhir sejarah yang menyimbolkan ke me- nangan kapitalisme atas komunisme.

  Putaran globalisasi mengalami percepatan pada 1980-an dan 1990- an seiring dengan berbagai upaya pemerintah-pemerintah di manapun untuk mengurangi hambatan-hambatan kebijaksanaan yang mengha- langi perdagangan dan investasi internasional. Terbuka terhadap dunia luar menjadi bagian dari perubahan yang umum terjadi menuju ke per- cayaan lebih besar kepada pasar dan perusahaan-perusahaan swasta, bersamaan dengan banyak negara, khususnya negara-negara berkembang dan sosialis, mulai yakin bahwa perencanaan dan intervensi pemerintah di bidang ekonomi gagal menghasilkan capaian-capaian pembangunan yang diinginkan. Sebagaimana terjadi pada abad 19, putaran globalisasi didorong oleh kemajuan teknologi yang telah mengurangi biaya trans- portasi dan komunikasi antara negara-negara. Penurunan secara drastis biaya telekomunikasi dan biaya proses, penyebaran dan transmisi infor- masi, membuatnya sangat mudah untuk me lakukan kontak-kontak dan kerjasama bisnis di seluruh dunia, untuk mengkoordinasi operasi di lokasi-lokasi yang sangat ber jauhan, dan untuk memperdagangkan jasa yang sebelumnya tidak dapat diperjualbelikan secara internasional.

B. BEBERAPA PERSPEKTIF GLOBALISASI

  Kini, globalisasi seolah sudah menjadi mantra dan dzikir hampir seluruh penduduk dunia. Kehadirannya yang tak terelakkan telah me- nyerupai agama sipil. Di millenium ketiga ini, hakikat dan dampak globalisasi terus diperbincangkan secara mendalam dan luas di sejumlah kalangan ekonom. Kontroversi terus mengitari perbincangan yang belum habis-habisnya mengenai globalisasi, apakah kekuatan-kekuatan pasar yang bebas dan tak terkekang itu akan menyebabkan terjadinya kesenjangan atau keseimbangan pendapatan negara-negara di seluruh dunia. Para penganjur globalisasi yakin bahwa globalisasi mempromo- sikan pertukaran informasi, membawa kepada pemahaman yang lebih baik tentang kebudayaan-kebudayaan lain, meningkatkan standar hidup, me naikkan daya beli, sangat khusus di Barat, dan membiarkan demokrasi menjadi pemenang atas komunisme. Sementara itu, para pe- nentang globalisasi, yang sering memprotes pertemuan-pertemuan WTO di manapun diselenggarakan, menyatakan ke untungan negara-negara Barat diperoleh dari memeras negara-negara berkembang. Mereka me- mandang globalisasi sama halnya dengan imperialisme baru dan tidak segan-segan mendorong perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional untuk memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara- negara dengan upah buruh termurah dan hukum-hukum lingkungan ter- lemah (Summers, 1999). Lebih lanjut mereka percaya bahwa bahkan di negara-negara maju sekalipun, tak seorangpun menjadi pemenang. Kebebasan yang diberikan globalisasi membawa kepada makin tingginya ketidaknyamanan di tempat-tempat kerja. Para buruh tidak terampil selalu dihantui ketakutan-ketakutan tak ber ke sudahan akibat ancaman perusahaan-perusahaan yang dengan gampang memindahkan basis pro- duksi ke negara yang ekonomi perupahannya sangat murah.

  Pemikiran-pemikiran ekonomi arus utama seringkali menjanji- kan bahwa globalisasi akan mengangkat penduduk miskin melampaui kemiskinan mereka, meruntuhkan kediktatoran, melindungi lingkung- an, menyatukan kebudayaan-kebudayaan, dan jauh lebih pening adalah mengatasi kesenjangan ekonomi antara negara-negara kaya dan miskin di dunia. Namun terbukti bahwa globalisasi telah memperoleh se- rangan politik dari demonstrasi dan protes jalanan yang mewabah atas pertemuan-pertemuan WTO di Seattle pada musim gugur 1999, di Prague pada musim gugur 2000, Quebec pada musim semi 2001, dan Genoa pada musim panas 2001. Pukulan balik ini berhasil menyatukan para pemrotes dari banyak kalangan untuk membentuk suatu front bersama menen tang ketidakadilan yang disebabkan globalisasi. Misalnya, para penjaga budaya merasa bahwa kebudayaan dan identitas-identitas nasional berada dalam ancaman permanen karena penyebarluasan internet, TV satelit, jaringan media internasional, dan perjalanan individu yang makin meningkat. Kaum demokrat memandang perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) menjadi lebih berkuasa dan berpengaruh daripada pemerintah- an yang dipilih secara demokratis. Kelompok ekologis sangat khawatir dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang menyebabkan degradasi lingkungan. Para aktivis HAM terancam kehilangan kebebasan karena kekuasaan korporasi yang menggurita. Para pedagang kecil, pedagang tradisional di pasar-pasar kecil menangis kehilangan pasar mereka karena direbut oleh perusahaan-perusahaan besar. Dengan kata lain, ke- banyakan penduduk dunia ini merasa terkucilkan dari keuntungan-ke- untungan globalisasi.

  Untuk melihat lebih jauh bagaimana globalisasi pada dataran fakta telah menciptakan tragedi kemanusiaan berupa kelangkaan, ke- tidakpastian, dan ketidakberdayaan penduduk dunia, kita memulai dengan menjelaskan terlebih dahulu beberapa sudut pandang tentang globalisasi. Melalui sudut pandang itu kita bisa memastikan apakah globalisasi berhasil menciptakan kemakmuran atau sebaliknya kehan- curan bagi penduduk planet bumi ini.

  Globalisasi sebagai sebuah istilah dan konsep kadang-kadang mem bingungkan karena terus diperdebatkan dan selalu terbuka atas beragam interpretasi dan makna. Globalisasi di mata para sarjana, kaum terpelajar, dan para pengambil keputusan adalah sebuah proses, sistem, kekuatan, masa, atau bahkan revolusi (Dierks, 2001). Sebagian lain mem pergunakan istilah ini dapat dipertukarkan dengan interna sionali- sasi, liberalisasi, universalisasi, dan westernisasi (Axford, 1995). Jadi, ada berbagai perspektif yang saling bersaing.

  Mendefinisikan globalisasi bukan persoalan mudah karena sebagai sebuah konsep ia menerima beragam pemaknaan yang berbeda-beda. Namun, untuk mempermudah globalisasi kita maknai saja sebagai suatu proses yang terdiri dari dimensi-dimensi teknologi, ekonomi, politik, dan kultural yang saling menghubungkan antara individu, pe rusahaan, dan pemerintahan melintasi batas-batas nasional (Dierks, 2001). Seorang ekonom kenamaan David Henderson (1999, dalam Imade, 2003) lebih jauh memperluas definisi globalsiasi menjadi lima komponen yang saling berkaitan namun dapat dibedakan secara jelas: 1) meningkatnya kecenderungan bagi perusahaan-perusahaan untuk memikirkan, merencanakan, dan berinvestasi demi masa depan dengan mempertimbangkan pasar-pasar dan peluang-peluang di se luruh dunia;

  2) tumbuhnya komunikasi internasional yang mudah dan murah dengan internet sebagai aspek terdepan; 3) kecenderungan menuju integrasi ekonomi lebih erat yang ber- akibat pada kurang pentingnya batasan-batasan politik, dan kecen- derungan ini sebagian dipicu oleh dua kecenderungan di muka, namun yang lebih kuat oleh kebijakan-kebijakan resmi yang ber- tujuan untuk liberalisasi perdagangan dan investasi;

  4) perkembangan signifikan isu-isu dan problem-problem yang me- lam paui batasan-batasan nasional dan mendorong terbentuknya tindakan bersama secara internasional; dan

  5) kecenderungan menuju keseragaman atau harmonisasi di mana norma, standar, nilai, aturan, dan praktik-praktik dimaknai dan di- perkuat dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan atau dunia secara menyeluruh, daripada di dalam ikatan-ikatan negara-bangsa.

  Kita dapat membagi paparan tentang globalisasi secara jelas ke dalam tiga teori dominan yang menyediakan suatu titik berangkat untuk memahami globalisasi. Pertama, mazhab realisme. Niccolo Machiavelli dipandang sebagai representasi tradisi realis. Ia mene kankan pada “apa yang senyatanya” sebagai lawan dari “apa yang seharusnya”. Penekanan ini memiliki pengaruh mendalam terhadap para penulis lain sezaman- nya. Tiga asumsi dasar dari mazhab ini antara lain: negara-negara adalah aktor paling penting; mereka selalu mencari kekuasaan; mereka mengeluarkan kebijakan-kebijakan secara rasional, memperhitungkan biaya dan memperkirakan ke untungan (Viotti and Kauppi, tt.).

  Kedua, mazhab liberalisme yang disandarkan pada karya-karya Adam Smith, David Ricardo, dan W.W. Rostow. Kaum liberal memandang globalisasi sebagai pertumbuhan alamiah dari kapitalisme. Mereka per- caya bahwa aktor-aktor non-negara merupakan pemain dominan dalam percaturan globalisasi dan bahwa perdagangan pada hakikatnya adalah

  “mesin pertumbuhan” karena meningkatkan produktivitas dan pen- dapatan di negara-negara berkembang. Integrasi dalam ekonomi inter- nasional melalui perdagangan dimaksudkan untuk merangsang pertum- buhan, me nye barkan teknologi baru, membuka investasi, dan men- trans formasi praktik-praktik sosial-kultural tradisional yang tidak cocok dengan etos pasar (Baylis and Smith, 2001). Mereka juga percaya bahwa masyarakat internasional yang diatur secara hukum dapat muncul tanpa adanya suatu pemerintahan dunia, dan bahwa sumber-sumber utama kemiskinan adalah berasal dari internal masyarakat itu sendiri, yaitu kurangnya pengetahuan, pendidikan dan sains, lemahnya aturan hukum, minimnya lembaga-lembaga yang melindungi kehidupan dan ke pemilikan penduduk dan menyediakan insentif bagi tindakan individu dan perusahaan, kurangnya perlengkapan modal, ketidakstabilan makro- ekonomi masif, dan pemerintahan predator. Problem serupa dapat me- lintasi batasan-batasan nasional dan menghalangi pasar globalisasi.

  Melalui karyanya the Wealth of Nation (1776), Adam Smith mema- parkan sebuah teori bahwa perdagangan bebas tanpa batas meng- untungkan bagi sebuah negara. Ia menyatakan bahwa the invisible hand, dari pada kebijakan pemerintah, harus menentukan apa yang diimpor dan diekspor sebuah negara. Basis argumennya adalah premis tentang prinsip

  

laissez faire. Salah satu penilaian paling berpengaruh tentang dilema

pem bangunan di negara-negara terbelakang (LDCs) adalah karya W.W.

  Rostow. Menurutnya, sebagaimana negara-negara maju di Utara, negara- negara terbelakang di Selatan harus mengalami serangkaian per ubahan dalam sistem sosioekonomi mereka untuk membangun dan melakukan indus trialisasi. Perubahan evolusioner disajikan oleh serangkaian tahapan pertumbuhan ekonomi yang harus dilalui oleh masyarakat yang berada pada jalur pembangunan. Ia mengidentifikasi lima tahapan proses modernisasi: masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, menuju kematangan, dan era konsumsi massal. Teori pem bangunan ekonomi Rostow didasarkan pada pengalaman historis bangsa-bangsa Barat, khususnya Inggris dan AS. Para kritikus menga- takan bahwa wacana neo-liberal secara teoretik cacat dan tidak dibenar- kan oleh bukti-bukti empirik. Sudut pandang ini lahirnya mazhab pe- mikiran yang menyerang liberalisme karena gagal mempertimbangkan variabel lain di samping pasar dalam analisis mereka.

  Ketiga, mazhab Marxisme, yang sejak keruntuhan Uni Soviet di- pandang oleh banyak sarjana dan cendekiawan sebagai ideologi yang tidak lagi bermanfaat untuk menjawab persoalan-persoalan kon tem- porer. Namun, mazhab ini masih dapat eksis dan berguna untuk mem- perdebatkan kembali tentang kapitalisme dan semangat ekspansinya yang luar biasa serta kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalamnya dan telah menciptkaan sistem yang fatal bagi kehidupan banyak masyarakat dunia. Bagi teorisi Marxis dan non-Marxis, evolusi dan penyebaran ka pitalisme di seluruh dunia menjelaskan pertumbuhan kesenjangan antara negara-negara industri di Utara dan negara-negara terbelakang di Selatan. Para sarjana Marxis memandang kapitalisme serupa dengan imperialisme karena agar dirinya tetap survival, kapitalisme harus me- rambah ke mana pun, bersemayam di mana pun dan memapankan hubungan-hubungan di mana pun. Sembari membuat semuanya serupa dan homogen, kapitalisme terus memperdalam jurang-jurang pemisah antara inti, semi pinggiran, dan pinggiran. Senyampang menekankan merger modal industri dan bank ke dalam modal finansial, ekspansi ekspor modal, kapitalisme juga meningkatkan produksi di bidang per- senjataan dan militarisme.

  Kaum Marxis karena itu, mempersoalkan bahwa gagasan-gagasan tentang konsumsi rendah, kelebihan produksi, dan kele bihan tabungan merupakan sumber utama dari ekspansi kapitalis demi survival dan akibatnya melahirkan krisis tak terelakkan dan metamorfosis menjadi sosialisme.

C. RAHWANA GLOBALISASI: MASSIFIKASI KEMISKIN- AN

VERSUS JANJI KEMAKMURAN

  Untuk melihat lebih jauh kecenderungan globalisasi yang lebih me nampakkan wajah laknat ketimbang berkah bagi kemanusiaan dan lingkungan, ada baiknya kita membingkai globalisasi ke dalam empat dimensi yang akan dipaparkan berikut: Qarun globalisasi, Fir`aun globa- lisasi, Haman globalisasi, dan Samiri globalisasi.

1. Qarun Globalisasi

  Qarun adalah sahabat Nabi Musa yang sangat taat. Ketaatannya lambat laun namun pasti luntur dan berubah menjadi sosok penuh kejahatan, ketidakjujuran, pembangkangan. Ia menjadi simbol kekayaan yang digali dengan cara menggangsir, mengeksploitasi dan tidak segan- segan menindas orang-orang lemah dan papa. Pendapatan dan kekaya- an adalah hak mutlak pribadi dan tidak ada kontribusi sosial di dalamya. Makmur atau hancur berlaku sesuai hukum siapa kuat dia menang, survival for the fittest.

  Dalam konteks percaturan globalisasi, Qarun kontemporer adalah simbol yang mewujud diri dalam ideologi neo-liberalisme dan kaki tangan nya. Keyakinan-keyakinan neo-liberalisme meng garisbawahi bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara; menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh; meng- hilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial (social safety net), dan pada saat yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada perusahaan trans- nasional (TNCs) dan perusahaan multinasional (MNCs) melalui tax

  

holidays; mem percayai deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan me-

  nuju persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual (Fakih, 2003). Globalisasi ekonomi neo-liberal memiliki kaki tangan yang kokoh antara lain IMF, Bank Dunia, WTO, dan globalisasi korporasi MNCs dan TNCs yang seluruhnya menjadi penganjur perdagangan bebas atau liberali sasi pasar.

  Ancaman yang sangat jelas dari globalisasi ekonomi adalah bahwa liberalisasi berjasa melipatgandakan kesenjangan antara negara-negara kaya dan miskin. Liberalisasi perdagangan di sini adalah pembukaan batas-batas sehingga barang dan jasa dapat bergerak bebas melampaui batas tanpa hambatan-hambatan apa pun dari beban tarif maupun non- tarif. Lebih jauh, definisi ini mencakup prinsip laissez faire, suatu doktrin ekonomi yang menentang regulasi atau campur tangan pemerintah dalam perdagangan komersial. Doktrin ini menjadi ajaran utama dalam Konsensus Washington. Konsensus ini menyepakati bahwa pasar mesti efisien, negara tidak dibutuhkan, miskin dan kaya sama sekali tidak memiliki konflik kepentingan, pasar akan berjalan pada tingkat tertinggi jika dibebaskan. Juga diyakini bahwa privatisasi, deregulasi, dan pasar modal terbuka mempromosikan pertumbuhan ekonomi, pe me rintah harus menyeimbangkan budget dan memerangi inflasi dan hampir dilarang melakukan selain dari dua kerja tersebut. Liberalisasi perdagangan sudah menjadi kekuatan pengendali paling kuat dari glo- balisasi. Richard Petrella (1999) mencatat enam logika dalam wacana neo-liberal: Anda harus menglobal; Secara terus-menerus anda wajib mengupayakan temuan-temuan tekonologi; Anda harus mengendalikan pesaing-pesaing bisnis anda, atau mereka yang akan mengendalikanmu; Anda harus meliberalkan pasar anda sendiri; Anda harus melawan campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi; dan Anda harus mem- privatisasi diri.

  Para pengkritik globalisasi memandang logika ekonomi sebagai- mana dikemukakan di atas lebih merupakan ilusi daripada kenyataan. Kearifan konvensional mengatakan bahwa pasar bebas jauh dari kesem- purnaan dan keadilan. Mereka juga yakin tentang kegagalan propa- ganda doktrin laissez faire tersebut. Mereka menunjukkan bukti-bukti empirik bahwa negara-negara dengan ekonomi lemah — Thailand, Indonesia, Rusia, dan Brasil — bergelimang dengan uang panas dan rentan mengalami guncangan oleh arus modal yang terus berubah dan ber gerak, serta lebih banyak pengangguran daripada banyak orang yang dihidupi oleh globalisasi. Globalisasi telah memaksa anak-anak bekerja, menyebabkan kerusakan lingkungan, konsentrasi kekayaan hanya pada elite lokal dan perusahaan-perusahaan multinasional, dan menimbul- kan konflik sosial dan politik yang makin intensif. Alasan mengapa glo- balisasi gagal memperluas keuntungan dan kemakmuran, karena ia lebih mempromosikan dan mengistimewakan perusahaan-per usahaan raksasa dan para kakitangan politiknya dengan meli patgandakan bunga untuk memaksimalkan keuntungan.