MASALAH KEMISKINAN DAN UPAYA MENGATASINY

MASALAH KEMISKINAN DAN UPAYA MENGATASINYA

  

Elieser Lande

  Dosen Fakultas Ekonomi UKIP

  

Abstrak

  Siapapun orangnya, pasti tidak menginginkan hidup miskin. Jangankan orang kaya, tetapi orang miskin sekalipun tentunya tidak menghendaki hal itu terjadi. Oleh sebab itu, perhatian terhadap masalah kemiskinan perlu diprioritaskan dan diusahakan untuk mengupayakan mengatasinya. Kemiskinan bukan saja di monopoli perkotaan, tetapi dipedesaan pun di jumpai kemiskinan yang jumlahnya lebih banyak.

  Kata Kunci : Kemiskinan diperkotaan dan dipedesaan.

  I. PENDAHULUAN

  Masalah kemiskinan hampir kita jumpai pada beberapa negara di dunia ini, khususnya di negara berkembang atau terbelakang. Masalah ini merupakan salah satu masalah berat dan kompleks yang dihadapi oleh manusia. Kemiskinan dapat dijumpai di mana-mana khususnya di kota-kota besar, seperti di pusat-pusat keramaian, pinggir-pinggir jalan, di sekitar lorong- lorong gelap emper-emper toko, dan di kolong jembatan. Tampaknya bagi mereka hidup hanya sekedar mengadu nasib. Di antara mereka itu ada yang menjadi pengemis, penjual koran di pinggir jalan, gelandangan, pemungut puntung rokok atau pemulung, tunawisma bahkan ada yang tuna susila. Ironisnya, di antara mereka itu kebanyakan dalam usia muda yang seharusnya masih harus duduk di bangku sekolah, tetapi oleh ketidakberdayaan orang tuanya akibat kemiskinanya terpaksa sang anak “berkorban” atau “dikorbankan” demi kelangsungan hidup. Kemiskinan bukanlah monopoli perkotaan. Di pedesaan pun dijumpai kemiskinan, bahkan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan yang ada di kota. Di pedesaan, kemiskinan tampaknya sudah dianggap sebagai suatu keadaan yang biasa dan bahkan boleh dikatakan sudah mendara daging dalam kehidupan mereka.

  Dari situasi dan kondisi demikian, tidaklah mengherankan kalau pada akhir-akhir ini para Ilmuwan dari lembaga Perguruan Tinggi semakin menaruh perhatian terhadap masalah kemiskinan ini baik melalui seminar, lokakarya maupun melalui penelitian-penelitian. Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran secara garis besar mengenai masalah kemiskinan, penyebabnya dan upaya untuk mengatasinya.

  II. KONSEP MENGENAI KEMISKINAN Kata “kemiskinan” sudah tidak asing lagi bagi kita.

  Namun jawaban atas apa itu “kemiskinan” tampaknya masih simpang siur. Menurut Prof. Dr. Sajogyo kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat berdasarkan atas kebutuhan beras dan kebutuhan gizi, sedangkan Emil Salim mengatakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

  Dari kedua pendapat di atas dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok serta ketidakmampuan untuk mencapai tingkat kehidupan yang layak. Dimana kemiskinan itu tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek material saja, tetapi juga aspek-aspek nonmaterial.

  Mengenai pengertian dari kemiskinan pada umumnya mengandung dua dimensi yang erat hubungannya satu dengan yang lain. Kedua dimensi tersebut yaitu kemiskinan absolut (absolute

  property) dan kemiskinan relatif (relative inequality). Kemiskinan absolut diartikan sebagai

  suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolut dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, dan kesehatan. Konsumsi pokok ini dinyatakan secara kuantitatif fisik atau dalam uang berdasarkan harga pada suatu tahun dasar tertentu. Porf. Dr. Sajogyo, menggunakan tingkat pendapatan 240 ekuivalen beras perkapita pertahun bagi daerah pedesaan dan 30 kg perkapita pertahun untuk daerah perkotaan berdasarkan patokan ini diperkirakan 46% penduduk pedesaan dan 49% penduduk perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 1969, sedangkan Prof. Dr. Sumitro, mempergunakan patokan pendapatan $ 75 perkapita per tahun, dari bank dunia diperkirakan bahwa 40% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.

  Selanjutnya kemiskinan relatif dinyatakan dengan berapa persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya. Kriteria yang ditetapkan oleh Bank Dunia untuk mengukur kemiskinan relatif adalah sebagai berikut : pertama; jika 40% jumlah penduduk dengan jumlah pendapatan terendah menerima kurang 12% dari pendapatan nasional (GNP) maka disebut kepincangan menyolok, kedua; jika 40% penduduk dengan pendapatan terendah menerima antara (12 – 17%) dari pendapatan nasional maka disebut kepincangan sedang dan ketiga; jika 40% penduduk dengan pendapatan terendah menerima 16% dari pendapatan nasional, maka disebut kepincangan lunak/ terendah.

  Prof. Dr. Sayogyo membedakan kemiskinan atas dua, yaitu “miskin dan miskin sekali”. Dikatakan “miskin” jika pengeluaran rumah tangga dibawah 320 kg nilai tukar beras perorang per tahun. Dan dikatakan “miskin sekali” jika pangan tidak cukup dibawah 240 kg nilai tukar beras perorang pertahun. membedakan kemiskinan atas “kemiskinan alamiah” dan “kemiskinan buatan”, pembedaan ini dikaitkan dengan faktor penyebabnya. “Kemiskinan buatan” adalah lebih erat hubungannya dengan perubahan-perubahan ekonomi, teknologi dan pembangunan secara keseluruhan. “Kemiskinan buatan” dapat terjadi karena kelembagaan yang ada anggota masyarakat tidak menguasai sumber- sumber secara ekonomis dan fasilitas-fasilitas secara merata. Sedangkan “kemiskinan alamiah” adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat sumber- sumber daya yang langkah jumlahnya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang rendah.

  Adapun ciri-ciri dari kemiskinan, Emil Salim mengatakan dalam bukunya “perencanaan pembangunan dan pemerataan pendapatan” ada lima ciri-ciri yang dimiliki orang miskin, yaitu pertama, mereka pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup modal ataupun keterampilan yang memadai faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan untuk memperoleh tambahan pendapatan menjadi sangat terbatas. Kedua, mereka umumnya tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asat produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sementara mereka pun tidak memiliki syarat (seperti jaminan) untuk memperoleh kredit dari lembaga perbankan (yang sah), sehingga mereka perlu dan butuh kredit terpaksa berpaling kepada “lintah darat” yang biasanya meminta syarat pelunasan yang cenderung memberatkan si peminjam dan memungut bunga yang tinggi. Ketiga, tingkat pendidikan mereka rendah, umumnya tidak sampai tamat sekolah dasar. Waktu yang mereka miliki umumnya lebih banyak tersisa (habis) untuk mencari nafkah sehingga tidak ada tersisa lagi untuk belajar. Demikian juga anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan atau menjaga adik-adik di rumah, sehingga secara turun temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan dibawah garis kemiskinan. Keempat, kebanyakan di antara mereka tinggal di pedesaan dan tidak memiliki tanah garapan, jika ada relatif kecil, pada umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar sektor pertanian. Karena sektor pertanian bekerja dengan musiman, maka kesinambungan kerja kurang terjamin sehingga banyak di antara mereka lalu menjadi “pekerja keras” (self employed) yang berusaha apa saja.

  Akibatnya, dalam keadaan penawaran tenaga kerja yang banyak, tingkat upah rendah. Perolehan upah yang rendah tentu saja akan mendukung mereka kemiskinan”. Adanya kesulitan hidup di desa, langsung atau tidak langsung akan mendorong mereka untuk pergi ke kota (urbanisasi) dengan satu harapan dapat memperoleh hidup yang lebih baik. Kelima, di antara mereka yang hidup di kota kebanyakan masih berusia muda dan kurang memiliki keterampilan (skill) atau pendidikan, sementara itu, kota belum siap menerima gerak urbanisasi desa.

  III. SUMBER-SUMBER KEMISKINAN

  3.1 Jumlah Penduduk yang besar

  Jumlah penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan yang tinggi disertai penyebaran penduduk yang tidak merata, urbanisasi dan pengangguran merupakan sumber terjadinya kemiskinan. Salah satu struktural penyebab kemiskinan adalah besarnya jumlah penduduk pedesaan yang tidak memiliki tanah, terutama tanah sawah, yaitu buruh tani dan juga jumlah petani kecil atau gurem yang mencakup sepertiga jumlah seluruh penduduk Indonesia yang tingkat hidupnya masih jauh dibawah kebutuhan minimum. Di Indonesia, para petani merupakan golongan terendah pendapatannya. Rendahnya pendapatan mereka itu terutama disebabkan oleh produksi yang rendah. Produksi yang rendah ini disebabkan lahan usaha tani yang sempit dan umumnya dikelolah dengan teknologi yang sederhana serta peralatan yang terbatas. Keadaan ini tentu akan lebih buruk lagi apabila lahan garapan si petani adalah milik orang lain yang harus dibayar dengan uang atau bagi hasil. Rendahnya pendapatan yang mereka peroleh, jelas akan mengakibatkan daya beli menjadi rendah, yang pada gilirannya tidak mampu membentuk permintaan efektif bagi pertumbuhan hasil-hasil industri. Di samping itu, mereka tidak mampu menabung dan menambah investasi. Akibatnya teknologi dan peralatan yang mereka gunakan tetap sederhana dan tidak mengalami kemajuan, akhirnya produksi dan pendapatan tetap rendah. Bagi negara berkembang, seperti Indonesia, terdapatnya jumlah penduduk yang melimpah apabila disertai tingkat pengetahuan dan keterampilan yang rendah, jelas merupakan penghambat bagi proses percepatan pembangunan.

  3.2 Lingkaran Kemiskinan

  Pendapatan rendah, luas tanah garapan sempit, teknologi tradisional dan peralatan yang terbatas merupakan unsur yang kait-mengait yang membentuk suatu lingkaran yang tak berujung pangkal. Sadono Sukirno mendefinisikan lingkaran kemiskinan sebagai suatu rangkaian kekuatan- kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan yang membuat suatu negara akan tetap miskin dan akan mengalami banyak kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi, sedangkan menurut Nurkse lingkaran kemiskinan yang terpenting adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan kepada terciptanya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Pada satu pihak pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan dan di lain pihak oleh perangsang untuk menanam modal. Pada negara berkembang keadaan kedua faktor tersebut tidak memungkinkan untuk dilaksanakannya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Jadi menurut pandangan Nurkse, terdapat dua jenis lingkaran kemiskinan yang menghalangi negara- negara berkembang untuk mencapai tingkat pembangunan yang pesat, yaitu dari segi penawaran modal dan dari segi permintaan modal. Dari segi penawaran modal lingkaran kemiskinan dapat dinyatakan sebagai berikut : tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung juga rendah. Ini akan menyebabkan tingkat pembentukan modal yang rendah. Selanjutnya , akan menyebabkan sesuatu negara menghadapi kekurangan barang modal dan dengan demikian tingkat produktifitas akan tetap rendah berikutnya dari segi permintaan modal, lingkaran kemiskinan dapat dinyatakan sebagai berikut: di negara-negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas. Ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang rendah. Pendapatan yang rendah disebabkan oleh produktifitas rendah yang diwujudkan oleh pembentukan modal yang terbatas pada masa lalu. Pembentukan modal yang terbatas ini disebabkan oleh kekurangan perangsang untuk menanam modal. Meier dan Baldwin mengemukakan bahwa lingkaran kemiskinan timbul dari hubungan saling mempengaruhi diantara keadaan masyarakat yang masih terbelakang dan tradisional dengan kekayaan alam yan masih belum dikembangkan. Untuk mengembangkan kekayaan alam yang dimiliki, dalam suatu masyarakat harus ada tenaga kerja yang mempunyai keahlian untuk memimpin dan melaksanakan berbagai macam kegiatan ekonomi. Di negara-negara sedang berkembang kekayaan alam belumlah sepenuhnya diusahakan dan dikembangkan karena tingkat pendidikan masyarakat masih relatif rendah, kurangnya tenaga- tenaga ahli yang diperlukan dan terbatasnya mobilitas dari sumber-sumber daya. Berdasarkan pendapat Nurkse beserta Meier dan Baldwin di atas, maka lingkaran kemiskinan dapat digambarkan sebagai berikut.

  Sumber : Sadono Sukirno, 1985, Ekonomi Pembangunan hal. 219

  GAMBAR 1 LINGKARAN KEMISKINAN

  Kekayaan alam kurang dikembangkan Masyarakat masih terbelakang

Pembentukan modal rendah Kekurangan modal Produktivitas rendah

Tabungan rendah

  (2) (1) (3) Dari gambar 1 di atas lingkaran kemiskinan dapat dijelaskan sebagai berikut : Lingkaran kemiskinan dimulai dari hubungan yang saling mempengaruhi diantara keadaan masyarakat yang masih terbelakang dan tradisional dengan kekayaan alam yang masih kurang dikembangkan, ini menyebabkan produktivitas rendah. Produktivitas rendah mengakibatkan pendapatan riil rendah, tabungan dan pembentukan modal rendah dan selanjutnya menyebabkan kekurangan modal. Selanjutnya tingkat produktivitas akan tetap rendah. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya teori lingkaran kemiskinan berpendapat bahwa : (I) Ketidakmampuan untuk mengerahkan tabungan yang cukup, (II) Kurangnya perangsang untuk melakukan penanaman modal dan (III) taraf pendidikan, pengetahuan kemahiran masyarakat yang relatif rendah merupakan faktor utama yang menghambat terciptanya modal dan perkembangan ekonomi yang pesat di negara-negara berkembang.

  Menurut Prof. Dr. Mubyarto, apabila dalam suatu masyarakat masih terlihat fenomena kemiskinan yang cukup luas, pastilah ada faktor lain sebagai penyebabnya. Faktor-faktor lain tersebut adalah, antara lain, ketimpangan atau kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat.

  Secara umum dapat dikatakan bahwa mungkin makin tinggi pendapatan per kapita suatu masyarakat, makin kecil proporsi penduduknya yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan. Akan tetapi perlu juga diingat bahwa di samping tergantung kepada pendapatan per kapita, besarnya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tergantung juga kepada corak distribusi pendapatan. Makin tidak merata distribusinya, makin besar persentase penduduk yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan.

  Satu hal yang perlu diingat bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak memberikan manfaat yang seberapa bagi si miskin jika pendapatan tidak didistribusikan kepada masyarakat secara merata. Keberhasilan pembangunan masyarakat yang adil dan makmur tidak hanya diukur dengan tingkat dan laju pertumbuhan produksi atau pendapatan per kapita justru yang paling utama adalah bagaimana pendapatan itu dibagi di antara para warga masyarakat secara merata, siapa mendapat berapa dan siapa beruntung dengan adanya kemajuan yang telah tercapai itu. Apakah hasil pembangunan itu telah dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama lapisan bawah. Timpangnya distribusi pendapatan, bila tidak diatasi secara serius akan menimbulkan “Gap” atau

  “jurang” yang lebar antara kelompok miskin dan kelompok kaya, dimana si miskin akan semakin miskin dan si kaya semakin kaya.

  IV. UPAYA MENGATASI KEMISKINAN

  Kalau kita diperhadapkan pada pertanyaan “mengapa kita harus berperan melawan kemiskinan?”, maka jawabannya tidaklah sulit. Kita dapat menjawab: karena kemiskinan itu menimbulkan hambatan kepada pembangunan di masa yang akan datang; karena kemiskinan itu musuh pembangunan; karena kemiskinan borok pembangunan yang tidak baik untuk dilestarikan; karena kemiskinan itu tidak disenangi setiap orang.

  Selanjutnya, kalau kita diperhadapkan pada pertanyaan “bagaimana mengatasi kemiskinan?” “strategi apa yang harus diinginkan?”, maka kita harus memutar otak sambil mengerutkan kening untuk mencari jawabannya. Mengingat kemiskinan itu memiliki banyak aspek dan aspek tersebut saling berhubungan satu sama lainnya, maka upaya mengatasi kemiskinan haruslah ditangani secara konseptual dan terpadu dan serentak. Artinya, kita tidak dapat memperoleh suatu perbaikan yang berarti dan abadi tanpa adanya suatu perbaikan yang dilakukan secara terpadu dan serentak pada sektor-sektor atau aspek- aspek kemiskinan lainnya. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang patut diperhatikan/diperlukan untuk menghilangkan kemiskinan. Pertama, perubahan-perubahan struktural, seperti mobilitas penduduk dari daerah yang tertekan dalam menciptakan lapangan kerja. Dalam hubungan ini, pelaksanaan program transmigrasi merupakan langkah cepat, khususnya bagi negara yang padat penduduknya dan terkonsentrasi pada satu wilayah/ daerah tertentu. Secara konseptual kebijaksanaan transmigrasi adalah usaha nyata pemerintah untuk mengatasi berbagai macam ketimpangan yang terjadi. Sebagai konsekuensinya, pelaksanaan program transmigrasi tidak cukup hanya bertujuan penyebaran penduduk dan tenaga kerja, membuka lahan baru, dan pengembangan produksi pertanian. Namun, yang utama untuk meningkatkan kualitas hidup para transmigran. Dengan kata lain, keberhasilan pelaksanaan transmigrasi (secara kuantitatif) tetapi harus juga dibarengi peningkatan taraf hidup para transmigran (secara kualitatif).

3.3 Ketimpangan Distribusi Pendapatan

  Kedua, memperbesar kesempatan kerja, perluasan kesempatan kerja hanya dapat terlaksana dengan jalan meluaskan dasar kegiatan ekonomi. Namun, ini harus disertai dengan usaha meningkatkan produktivitas, baik di bidang kegiatan yang baru maupun di bidang “tradisional”. Sebab salah satu faktor yang menghambat produksi dan menekan tingkat hidup golongan pendapatan rendah adalah produktivitas yang disertai penggunaan angkatan kerja yang maksimal (under

  • – utilization).

  Untuk memperluas kesempatan kerja dapat dilakukan dengan cara : pengembangan industri, terutama jenis industri yang bersifat padat karya (labour intensive) yang dapat menyerap relatif banyak tenaga kerja dalam proses produksi (labour

  absorptive), dan melalui berbagai proyek pekerjaan

  umum, seperti, pembuatan jalan, saluran air, dan jembatan . Penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produktiitas di sektor-sektor kegiatan yang semakin meluas akan menambah pendapatan bagi bagian penduduk yang bersangkutan. Kebijaksanaan yang diarahkan pada perluasan kesempatan kerja dan peningkatan produktifitas harus dilihat dalam hubungan dengan kebijaksanaan yang menyangkut peraturan pendapatan dalam masyarakat.

  Kebijaksanaan perluasan kesempatan kerja erat kaitannya dengan kebijaksanaan kependudukan. Ini berarti pengurangan pengangguran dapat dilakukan dengan menurunkan jumlah angkatan kerja. Oleh karena itu , penurunan angkatan kerja dapat dilakukan dengan mengurangi laju pertumbuhan penduduk.

  Penciptaan dan perluasan kesempatan kerja tidak hanya terbatas pada sektor formal saja, tetapi juga menyangkut sektor informal. Dalam proses pembangunan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang, sektor informal telah dinobatkan sebagai “Katup Pengaman” dari ledakan angkatan kerja yang semakin bertambah banyak setiap bulan.

  Kehadiran sektor informal dalam pembangunan ekonomi dapat memberikan manfaat ganda. Di samping mempunyai daya absorbsi kesempatan kerja dan menaikkan taraf hidup masyarakat ekonomi lemah juga dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional agar sektor informal semakin berperan dalam pembangunan ekonomi, khususnya dalam bidang kesempatan kerja dibutuhkan pembinaan yang berkesinambungan, meningkatkan program pembangunan daerah yang memberikan tekanan kepada pengembangan sektor informal di daerah masing-masing.

  Ketiga, yang diperlukan untuk menghilangkan kemiskinan adalah pembangunan merupakan prasyarat untuk mempertahankan martabat manusia. Melalui pendidikan manusia diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan membina kehidupannya dalam masyarakat. Perluasan kesempatan untuk menikmati pendidikan berarti pula perluasan dan perataan kesempatan ekonomis dalam masyarakat.

  Hal ini akan menunjang kebijaksanaan untuk mewujudkan perataan pendapatan.

  Pendidikan dan latihan kejuruan untuk meningkatkan keterampilan merupakan salah satu usaha pokok untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran. Karena itu pendidikan maupun latihan kejuruan serta latihan-latihan lainnya harus diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak lagi kemewahan bagi masyarakat umum.

  Kenyataan menunjukkan bahwa usaha peningkatan dan perluasan pendidikan di negara- negara berkembang belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Output dari Akademi/Perguruan Tinggi kebanyakan yang “siap tahu” tetapi tidak “siap pakai” memiliki “pengetahuan”, tetapi tidak bisa “berbuat”. Maka tidak mengherankan kalau banyak ditemukan golongan penganggur terdidik (educative unemployed), seperti sarjana-sarjana yang menganggur. Ini boleh jadi sebagai akibat materi pelajaran yang diberikan sekolah sifatnya abstrak dan tidak berorientasi pada kenyataan sehari-hari/ kebutuhan masyarakat serta kebutuhan masa depan. Kalau demikian keadaannya sistem pendidikan dan latihan memerlukan reformasi serta penyesuaian dengan pembangunan yang dijalankan. Penyesuaian ini tercermin dalam perbaikan kurikulum baik secara substantif maupun secara metodologis.

  V. PENUTUP

  5.1 Simpulan

  Kemiskinan merupakan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok serta ketidakmampuan untuk mencapai tingkat kehidupan yang layak, dimana kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek material saja, tetapi juga aspek-aspek non material. Ada banyak sumber yang dapat menyebabkan kemiskinan di antaranya adalah (a). Jumlah penduduk yang besar. Jumlah penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan yang tinggi disertai penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan sumber terjadinya kemiskinan. (b). Lingkaran kemiskinan. Lingkaran kemiskinan merupakan suatu rangkaian kekuatan-kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan suatu negara akan tetap mengalami kemiskinan, dan terakhir adalah (c). yaitu ketimpangan distribusi pendapatan. Semakin tidak meratanya distribusi pendapatan kepada masyarakat. maka akan semakin besar persentase penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan. Mengingat kemiskinan itu memiliki banyak aspek dan aspek tersebut saling berhubungan satu sama lainnya, maka upaya untuk mengatasi kemiskinan haruslah ditangani secara konsepsual, terpadu dan serentak. Artinya, kita tidak dapat memperoleh suatu perbaikan yang berarti dan abadi DAFTAR PUSTAKA tanpa adanya suatu perbaikan yang dilakukan secara terpadu dan serentak pada sektor-sektor kemiskinan lainnya, setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mengatasi ALA BAYO, ANDRE (ed), 1981, Kemiskinan dan kemiskinan, yaitu : Strategi Memerangi Kemiskinan, Liberti, (a). Perubahan-perubahan struktural, seperti Yogyakarta. mobilitas penduduk dari daerah yang tertekan dalam menciptakan lapangan kerja. (b). GILARSO, T, 1985, Ekonomi Indonesia Sebuah Memperbesar kesempatan kerja. perluasan Pengantar, Kanisius, Yogyakarta. kesempatan kerja hanya dapat terlaksana dengan jalan meluaskan dasar kegiatan ekonomi dengan MUBYARTO, 1988, Sistem dan Modal Ekonomi disertai usaha meningkatkan produktivitas, baik di Indonesia, LP3ES, Jakarta. bidang. kegiatan yang barn maupun di bidang “tradisional”, dan yang terakhir. (c). yaitu PRAYITNO HADI dan ARSYAD LINCOLIN, pembangunan di sektor pendidikan dalam arti luas. 1987, Petani Desa dan Kemiskinan, BPFE, Perluasan kesempatan untuk menikmati pendidikan Yogyakarta. berarti pula perluasan dan pemerataan kesempatan ekonomis dalam masyarakat ini akan SUKIRNO SADONO, 1985, Ekonomi menunjang kebijaksanaan untuk mewujudkan Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar pertain pendapat. Di samping itu pendidikan dan Kebijaksanaan, Bima BG Grafika, Jakarta. latihan kejuruan diperlukan juga untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja. SIAGIAN, H, Drs, 1978, Pembangunan Ekonomi

  Dalam Cita-Cita dan Realita, Alumni, Bandung,

5.2 Saran

  H. PENULIS : Drs. ELIESER LANDE, MM, Staf Untuk dapat bahkan kalau bisa mengatasi masalah

  Pengajar Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen kemiskinan maka penulis menyarankan beberapa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus. langkah antara lain : Menekan pertumbuhan jumlah penduduk misalnya melalui keluarga berencana dimana hal ini dipandang oleh dunia berhasil dijalankan di Indonesia.

  Memutus rantai lingkaran kemiskinan dengan cara mengelola sumber daya alam dengan menggunakan teknologi tepat guna artinya, teknologi yang digunakan dapat menggunakan tenaga kerja (menyerap tenaga kerja) dengan cukup agar pengangguran dapat diatasi khususnya di Indonesia. Tenaga kerja tersebut harus dididik atau ditraining agar dapat mempunyai keahlian untuk dapat memimpin dan melaksanakan berbagai macam kegiatan ekonomi. Mengusahakan agar tidak terjadi ketimpangan distribusi pendapatan. Artinya, diusahakan agar distribusi pendapatan kepada masyarakat secara adil dan merata agar pendapatan masyarakat bisa meningkat.