PENGADAAN BARANG JASA PEMERINTAH oleh Mudjisantosa: MAJALAH IAPI EDISI 5 TAHUN 2017 MAJALAH IAPI 5

(1)

E d isi 5 | Ta h u n 2 0 1 7

Manajemen

Pengadaan

&

HUKUM


(2)

b

Peran DPD IAPI Bali dengan Pemda

IAPI in


(3)

Para Pengurus IAPI dalam acara EXPO IAPI 2017


(4)

Kegiatan DPD IAPI Papua

Pelantikan Pengurus DPD IAPI Kalbar


(5)

DAFTAR ISI

Mulai dari Diri Sendiri

|

3

Kenal Lebih Dekat dengan yang Namanya Proses Kaji Ulang

|

5

Konvergensi dan Reformasi Public

Procurement Laws

di Negara-Negara Uni Eropa

|

8

.

Makna Kerugian Keuangan Negara pada Delik Korupsi

|

13

Kerugian Keuangan Negara Dugaan Tipikor Belum Tentu Benar ?

|

18

Pada Penanganan Korupsi Pengadaan Harus Ada Audit

|

21

Penerapan Sanksi Hukum Pidana untuk Pengelola Pengadaan

|

23

Pengadaan Barang Medis di Rumah Sakit Pembelajaran Akreditasi Internasional Rumah Sakit

|

27

Konsolidasi dan Keberpihakan Pemerintah Terhadap

Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi Kecil

|

29

Apakah Bukti/Nota Pembelian Terutang Bea Meterai?

|

32

Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan

|

35

Menanam Pohon adalah Investasi Rupiah

|

40

Wisata Candi Penataran (Kab. Blitar – Jawa Timur)

|

43

Sustainable Green Procurement

|

46

E d isi 5 | Ta h u n 2 0 1 7


(6)

2

Manajemen

Pengadaan

atau

HUKUM

Pengadaan

K

ecenderungan pengadaan di Indonesia, agak berbeda dengan pengadaan di negara-negara lain, lebih banyak pengadaan di Indonesia dikaitkan dengan kesalahan proses, kesalahan kerugian negara dan ramainya pengadilan TUN, pengadilan perdata dan pengadilan Tipikor dengan kasus kasus pengadaan.

Di berbagai belahan dunia, pengadaan hanya dipermasalahkan kalau ada suap / bribery / rasuah / riswah. Ini bedanya dengan Indonesia, yang para pihak berharap bahwa pengadaan akan bermasalah kalau ada mens rea yang terbukti.

Di berbagai negara modern, pengadaan adalah menuju pada value for money bukan membicarakan ketepatan prosedural. Edisi ini membahas beberapa hal pengadaan berkaitan dengan kerugian negara ataupun masalah Tipikor.

Buku-buku referensi pengadaan yang digunakan di organisasi dunia modern maupun dinegara modern, membahas pengadaan sebagai kesatuan rantai pasok sebagai pembahasan secara manajerial, jarang sekali membahas secara aspek hukum. Di Indonesia pembahasan pengadaan sering dikaitkan dengan aspek hukum. Semoga beberapa artikel yang tersaji dalam majalah ini, memberi pencerahan kepada kita dan kepada para pemerhati pengadaan di negeri ini.

Salam IAPI Salam Redaksi

2


(7)

3

Mulai dari

Diri

Sendiri

I

ntegritas pengelola pengadaan, Sharing sedikit boleh ya, mulai Februari

kemaren, saya ketambahan tugas baru sebagai veriikator Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kemenkeu.

Tugasnya? Saya memveriikasi dokumen dari rekanan berupa PT/CV/Perorangan yang telah mendaftar online, lalu saya cek kebenaran dokumen nya, kemudian user nya saya aktifkan. Baru deh rekanan tersebut bisa mengikuti lelang secara nasional.

Gada angin gada hujan, semenjak kamis kemarin banyak rekanan yang tetiba datang ke kantor untuk veriikasi. Sehari bisa 2-3 rekanan yang dateng, padahal biasanya rekanan yang datang ke kantor, paling banter cuma 2/3 dalam 2 minggu lah. Usut punya usut mereka adalah rekanan-rekanan yang "dilempar" dari LPSE provinsi dan kota, untuk veriikasi di Kemenkeu, karena sudah dua minggu server di kantor sebelah "mengalami gangguan" dan user mereka nggak selesai2.

Setiap kali selesai melayani veriikasi, rekanan-rekanan yang "dilempar" tersebut selalu bertanya "berapa bang?" dan selalu pula saya jawab "ga ada biaya pak gratis".

Nah hari selasa kemarin saya kedatangan rekanan yang nasibnya "dilempar" juga. Uniknya, ini rekanan juga belum mendaftar online. Jadi ke kantor cuma bawa berkas asli macem akta notaris, surat izin, sertiikat, dan lainnya yang bahkan belum di copy. Si rekanan bilang bahwa dia minta tolong dibuatkan akun, dan bersedia bayar berapa pun. Intinya, si rekanan dateng bawa berkas, saya suruh ngerjakan, tau2 jadi, dan si bapak tinggal bayar aja dan bisa ikut lelang (#plak!)

Saya bilang ke si rekanan ini bahwa tugas saya cuma melakukan veriikasi dan aktivasi saja, namun saya tawarkan agar rekanan tsb mendaftar online di kantor, dengan catatan saya bimbing, bapaknya yang ketik ketik, dan tidak perlu bayar. Saya pinjamkan laptop jujitsu saya (#pamer, padahal punya kantor), saya copy

kan semua dokumennya (#ngelunjak juga ini rekanan, besok2 selembar 500


(8)

4

perak), saya bimbing pelan-pelan itu rekanan layaknya seorang emak nge bimbing balita nya buat latihan jalan (ti-tah-ti-tah-ti-tah #halah)

Dari jam 11 sampai jam 2 siang saya pandu dan aktivasi langsung user rekanan tersebut (bye bye nggak makan siang), si bapak kaget dan takjub karena begitu cepat prosesnya gak sampai satu hari. Setelah selesai, si bapak kekeuh tanya "berapa?" dan selalu saya jawab "gratis pak". Tetiba dengan gerakan secepat ninja hatori melewati lembah sungai mengalir indah ke samudera bersama teman berpetualang (#halah), tangan si bapak berusaha menggapai saku kemeja saya sambil masukin gulungan uang merah gambar soekarno hatta (kirain mau ngapain kan udah parno aja). Entah jumlahnya berapa, yg jelas lumayan lah buat beli tiket promo er-esia ke Kuala Lumpur. Kaget, saya relek mundur ke belakang sampai kepala kejedot tembok. Si bapak kaget, saya kaget+kesakitan, cicak di dinding pun sampai kaget juga (#halah). Saya tolak dengan halus pemberian si rekanan sambil menyampaikan bahwa pelayanan ini bebas biaya, dan di ruangan juga ada CCTV (bohong, padahal gak ada sama sekali!), saya terikat dengan kode etik (sok-sok an). Si rekanan ini sekali lagi takjub, kaget, sekaligus heran mungkin, ada orang udah bantu dia tapi gamau dibayar seperti yang lainnya. Lalu si bapak pamit sambil sekali lagi bilang terima kasih sekaligus apresiasi layanan yang sudah diberikan yang serba cepat dan gratis. Yah rumput sebelah kadang nggak selalu lebih hijau kan, yg penting kerja kita berkah dan halal.

Betapa beruntungnya saya bisa kerja di lingkungan yang tergolong bersih, membentuk pribadi yang berintegritas (#halah).

Integrity is not

something that you

made. Integrity

is something that

already rooted in

your deepest soul.


(9)

5

Oleh: Gusti Noviar

Kenal Lebih Dekat dengan

yang Namanya

Proses

Kaji Ulang

P

roses Kaji Ulang merupakan proses reaksi terhadap dokumen-dokumen pengadaan barang/jasa baik dokumen Rencana Umum Pengadaan (RUP) maupun dokumen Rencana Pelaksanaan Pengadaan (RPP) yang telah disusun dan ditetapkan oleh para pihak organisasi pengadaan barang/jasa dalam hal ini adalah Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sesuai dengan tugas pokok dan kewenangannya.

Perihal proses kaji ulang salah satu dasar hukumnya ada diatur pada pasal 34 ayat 1 Perpres No. 54/2010

dan perubahannya ttg Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tepatnya pada BAB VI PENGADAAN BARANG/JASA

MELALUI PENYEDIA BARANG/JASA bagian kedua perencanaan pemilihan penyedia barang/jasa yang berbunyi: Perencanaan penyedia barang/jasa terdiri atas kegiatan

· Pengkajian ulang paket pekerjaan

· Pengkajian ulang jadwal kegiatan pengadaan.

Aturan lainnya ditemukan pada Peraturan Kepala LKPP tepatnya diatur lebih detail oleh Perka No 14/2012tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Khususnya untuk Pekerjaan Konstruksi pada BAB III TATA CARA PEMILIHAN PENYEDIA PEKERJAAN KONSTRUKSI, pada poin 2 berbunyi sebagai berikut:


(10)

6

Kalimat yang perlu digaris bawahi adalah PPK mengundang ULP/PEJABAT PENGADAAN DAN TIM TEKNIS, dalam artian pihak yang sebenarnya aktif menurut petunjuk teknis ini adalah pihak PPK, hal ini dikarenakan PPK adalah pihak yang secara hukum akan menandatangani kontrak tentunya harus memperhatikan secara cermat Dokumen Rencana Pemlilihan (RPP) yang akan ditetapkannya, sesuai dengan pasal 11 ayat 1 Perpres No 54 Tahun 2010 dan perubahan terakhirnya yang berbunyi:

PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut:

menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi:

1) spesiikasi teknis Barang/Jasa; 2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan

3) rancangan Kontrak.

Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses kaji ulang adalah: 1. Apakah ada pihak yang mengundang atau tidak?

sesuai dengan pokok pembahasan diatas. 2. Yang diundang adalah ULP/Pejabat pengadaan

dan tim teknis untuk proses kaji ulang RUP, dan bisa saja yang diundang atau mengundang adalah PPK perihal kaji ulang RPP, khusus ULP kenapa kalimat Perka 14/2012 adalah ULP saja tidak langsung Pokja ULP, hal ini menurut pemahaman saya berkaitan dengan sistem manajerial ULP yang juga terdapat pihak strukturalnya, ada sistem tata kelola disana, seperti SOP ULP nomor : 3485/D.3/06/2014 tanggal 19 juni 2014,

oleh karena itu tentunya harus ada tata kelola disini antara Kepala ULP, Sekertariat ULP, dan Pokja ULP 3. Paket pekerjaan yang sifatnya tipikal, tidak

kompleks, sederhana, dalam artian sudah jelas berdasarkan pengalaman pekerjaan sebelumnya (yang sudah dilakukan pengkajian ulang), bisa dijadikan pembelajaran dalam pengkajian ulang terhadap proses pelelangan paket pekerjaan yang akan dilaksanakan dengan mempelajari dokumentasi BERITA ACARA KAJI ULANG

paket pekerjaan sebelumnya yang sejenis, dan untuk paket pekerjaan yang tidak sederhana, kompleks, resiko sedang-tinggi, memerlukan teknologi madya-besar, dan berbiaya sedang-besar, tidak dapat dipenuhi oleh usaha mikro, usaha kecil serta koperasi kecil, wajib dilakukan kaji ulang dan didokumentasikan dalam BERITA ACARA KAJI ULANG


(11)

7

PROSES KAJI ULANG sangat penting untuk dalam tahapan proses pengadaan barang/jasa, Selain memang untuk menyamakan persepsi antara Pokja ULP, dengan PPK, PA selaku user mengenai output yang diinginkan bagaimana,dan penyedia yang bagaimana (memenuhi ketentuan pada pasal 19 Perpres 54/2010 dan perubahan terakhirnya), sehingga apabila sudah berupa dokumen pengadaan hal ini sesuai dengan kewenangan pokja pada pasal 17 ayat 2 Perpres 54/2010 dan perubahan terakhirnya yaitu menetapkan dokumen pengadaan, yang mana akan jadi dasar acuan pokja ULP dalam melakukan evaluasi penawaran sesuai pasal 79 ayat 1 Perpres 54/2010 dan perubahan terakhirnya yang berbunyi kelompok kerja ULP harus berpedoman pada tata cara/kriteria yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan

Selain itu proses kaji ulang selain untuk penyamaan persepsi dalam proses pemilihan penyedia, apabila nanti ada suatu proses hukum dikemudian hari, maka berdasarkan pasal 184 UU 8/1981 ttg KUHAP salah satu alat bukti yang sah adalah surat, yang mana menurut Pasal 187 UU 8/1981 ttg KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, salah satunya adalah: berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; isi Pasal 187 UU 8/1981 ttg KUHAP adalah sbb:

Kalimat yang perlu digaris bawahi adalah

1. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi (B.A Kaji Ulang masuk kategori ini)

2. yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, (para pihak yang terlibat pada proses kaji ulang sebut saja PA, KPA, PPK, Pokja ULP, unsur Konsultan perencana, dan Pengawas, Tim Teknis, atau Tim pendukung dll.)

3. yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; (isi dari kaji ulang itu sendiri).


(12)

8

Oleh: R. MURWANTARA*

Konvergensi

dan Reformasi

Public Procurement Laws

di Negara-Negara Uni Eropa

S

alah satu tugas pemerintah adalah menyelenggarakan dan menyediakan sarana dan prasarana infrastrukur yang memadai dalam menunjang program-program terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu, hampir semua negara di dunia telah dan sedang melakukan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya, tak terkecuali Indonesia. Sejak masa pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, pembangunan infrastruktur merupakan bagian yang sangat dominan dalam rencana pemerintah yang tercermin dengan semakin meningkatnya anggaran pemerintah yang disediakan untuk pembangunan infrstruktur. Hal ini mengingat index kualitas infrastruktur Indonesia yang terbilang masih rendah dibandingkan dengan rata-rata ASEAN yaitu 4.2 pada skala 7 yaitu ranking 72 dari 144 negara (Global Competitiveness Report 2014-2015). Issue tersebut juga dapat menjadi salah satu faktor keengganan bagi investor dari dalam maupun luar negeri untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi di negara-negara Uni Eropa. Tuntutan terhadap perbaikan pelayanan publik dan konektivitas antar negara juga menjadi tantangan dalam kerangka kerjasama Uni Eropa (European Union-EU). Oleh karena itu, negara-negara EU mencoba untuk mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki untuk tujuan bersama. Salah satu mega-proyek yang berjalan adalah Program TEN-T. Program TEN-T yang terdiri dari ratusan proyek bertujuan untuk meyakinkan adanya keterpaduan, interkoneksi dan pengoperasian


(13)

9

bersama dalam rangka trans-European Transport Network serta akses yang sama terhadap proyek. Secara umum, maksud TEN-T adalah : (1) mengembangkan link kunci dan interkoneksi

yang diperlukan untuk mengeliminasi kebuntuan terkait mobilitas antar wilayah; (2) mengisi

rute-rute yang kosong dan melengkapi rute-rute utama khususnya yang di luar batas

antar wilayah; (3) mengatasi hambatan-hambatan silang yang terjadi secara alamiah; dan

(4) memperbaiki tingkat operasionalisasi pada rute-rute utama. Proyek-proyek ini berlokasi di setiap anggota EU dan meliputi beberapa moda transportasi seperti jalan, jalur kereta, infrastruktur maritime, jalur penyeberangan, infrastruktur angkutan udara, logistik dsb.

Sebelum masuk pada topik khusus di atas, penulis berusaha mendeskripsikan secara singkat sejarah Uni Eropa (European Union). Pada awal dideklarasikan pada tahun 1957, persekutuan ini bernama Komunitas Ekonomi Eropa (European Economic Community) yang dari 6 negara pendiri yaitu: Belgia, Perancis, Italia, Luxembourg, Belanda dan Jerman Barat). Dalam perkembangannya, berdasarkan Perjanjian Maastricht tanggal 1 November 1993 berubah menjadi Economic Community (EC) atau Europen Union (EU) dan sampai dengan tahun 2016 terdapat 28 negara Uni Eropa dengan bergabungnya negara-negara lain berturut-turut:

Denmark, Irlandia, Inggris (1973); Yunani (1981); Portugal, Spanyol (1986); Austria, Swedia, Finlandia (1995); Republik Ceko, Cyprus, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Slovakia, Slovenia (2004); Romania, Bulgaria (2007) dan Croasia (2013). Selain itu, masih terdapat

5 negara kandidat EU yaitu Albania, Montenegro, Serbia, Macedonia dan Turki serta 2 negara potensial menjadi anggota EU yaitu Bosnia-Herzegovina dan Kosovo. Pada perkembangan terakhir, Britania Raya atau Inggris Raya menyelenggarakan referendum keanggotaannya dalam Uni Eropa atau yang kemudian dikenal dengan “BREXIT”. Dan sebagaimana kita ketahui, kelompok pro keluar dari Uni Eropa memenangkan referendum tersebut, sehingga Inggris Raya memproklamirkan keluar dari Uni Eropa. Namun demikian, proses legal keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa masih membutuhkan waktu yang cukup panjang. Pembahasan-pembahasan masih berlangsung, karena berdasarkan perjanjian EU proses keluar masuknya anggota harus melalui proses yang cukup kompleks dan melibatkan seluruh anggota di markas besar EU di Brusel, Belgia. Tidak diduga sebelumnya, Italia yang selama ini menjadi anggota aktif EU dan bahkan pendiri utama EU tahun 1957, juga sedang mempersiapkan referendum keluar atau masih di EU.

Berbicara masalah pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari aspek “governance” artinya harus dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah penyelenggaraan pemerintah yang baik. Salah satu aspek governance yang sangat penting adalah bagaimana governance dalam pengadaan barang dan jasa (procurement) yang berdasarkan prinsip-prinsip transparan, kompetitif,

akuntabel dan eisien. Dalam kaitan dengan itu, artikel ini akan membahas public procurement laws yang berlaku di negara-negara uni Eropa. Public procurement laws di negara-negara Uni Eropa cenderung diterapkan secara seragam berdasarkan pedoman European Commission (EC) Directives. Pada bagian berikutnya, penulis akan membahas lebih dalam reformasi Public Procurement Laws yaitu dari EC Directives dari 2004/18/EC menjadi 2014/24/EU.

KONVERGENSI PUBLIC PROCUREMENT LAWS DI NEGARA-NEGARA UNI EROPA

Pertama-tama kita akan membahas Directive 2004/18/EC yaitu kerangka hukum pada prosedur pengadaan pemerintah yang berlaku di wilayah Uni Eropa. DalamDirective diatur empat prosedur pengadaaan barang dan jasa pemerintah yaitu Prosedur Lelang Terbuka (open procedure), Prosedur Lelang Terbatas (restricted procedure), Prosedur Negosiasi (negotiated procedure) dan Competitive Dialogue.Prosedur lelang terbuka adalah prosedur lelang yang mengundang semua peminat lelang untuk mengirimkan penawaran, namun demikian proposal atau penawaran oleh calon peserta tender bersifat mengikat, sehingga tidak dapat diubah dan/atau dinegosiasikan selama prosedur berjalan. Salah satu keuntungan prosedur ini adalah meningkatkan level kompetisi dalam proses tender dan memudahkan dalam pembandingan penawaran antar peserta lelang. Sedangkan dalam prosedur lelang terbatas, calon peserta lelang


(14)

10

mengajukan permohonan untuk mengikuti lelang, tetapi institusi yang bertanggung jawab dalam proses lelang (biasanya disebut Government Procurement Agency atau Contracting Authority) hanya mengundang kandidat yang memenuhi persyaratan untuk mengajukan penawaran. Selanjutnya, dalam Prosedur Negosiasi, Contracting Authority melakukan konsultasi dengan calon peserta lelang dan menegosiasikan satu atau beberapa pasal-pasal yang ada dalam kontrak. Dalam praktiknya, prosedur ini dapat dibagi beberapa tingkatan yang berbeda

yaitu pra kualiikasi, undangan untuk negosiasi, penawaran terbaik dan penawaran inal serta penawar yang

diprioritaskan. Dalam setiap tingkatan, jumlah peserta dikurangi sampai penawar yang diprioritaskan akhirnya terpilih, meskipun negosiasi dilanjutkan sampai pada tingkatan terakhir. Terakhir, Competitive Dialogue adalah prosedur lelang yang relatif baru diperkenalkan oleh EU Directive, dimana para peminat tender mengajukan diri untuk mengikuti prosedur dan dimana Contracting Authority melaksanakan suatu dialog dengan kandidat diundang dalam prosedur dengan maksud mengembangkan satu atau lebih alternatif yang sesuai untuk memenuhi persyaratan pada basis dimana kandidat terpillih diundang untuk mengikuti lelang. Dengan fase dialog ini memungkinkan Contracting Authorityuntuk berdiskusi dengan penawar dengan maksud untuk

mengidentiikasi dan mendeinisikan pemenuhan kebutuhan Contracting Authority yang sesuai dan terbaik. Dalam uraian berikut akan dijelaskan bagaimana perbedaan keempat metode dilihat dari jumlah penawar, proses, prosedur negosiasi dan dasar penentuan pemenang.

Table 1 Empat Perbedaan Mendasar pada Empat Metode Lelang

Items Prosedur Lelang Terbuka Prosedur Lelang Terbatas

Prosedur Negosiasi Competitive Dialogue

Kemungkinan membatasi jumlah penawar

Pra kualiikasi atau seleksi

awal tidak diperbolehkan. Para peminat lelang dapat mengajukan penawaran.

Jumlah penawar mungkin dibatasi yaitu tidak kurang dari 5 sesuai dengan kriteria yang disepakati dalam kontrak (terkait

dengan pra kualiikasi

dan daftar terbatas diperbolehkan)

Jumlah penawar mungkin dibatasi tidak kurang dari kriteria apa dan

spesiikasi yang ada

dalam kontrak (terkait

dengan pra kualiikasi

dan daftar terbatas diperobolehkan)

Jumlah penawar mungkin dibatasi yaitu tidak kurang dari 3 berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam

kontrak (pra kualiikasi dan daftar

terbatas diperbolehkan)

Diskusi selama proses

Spesiikasi mungkin tidak

diubah selam proses lelang dan tidak ada negosiasi atau dialog bersama para penawar. Namun demikian,

klariikasi diperbolehkan.

Spesiikasi mungkin

tidak diubah selama proses lelang dan tidak ada negosiasi atau dialog bersama para penawar. Namun

demikian, klrariikasi

diperbolehkan

Negosiasi diperbolehkan selama atau melalui proses. Tingkatan ukuran sukses dapat digunakan untuk mengurangi jumlah penawar (atau daftar urut /shortlisting).

Sebuah dialog dengan para penawar diperbolehkan pada semua aspek (mirip dengan prosedur negoasiasi termasuk kemudian daftar urut/ shortlistings).Ketika dialog dilakukan,

penawaran yang inal dan lengkap

harus dimintakan kepada para penawar berdasarkan solusi yang dikembangkan selama dialog berlangsung.

Diskusi setelah penawaran

inal diajukan

Tidak ada lingkup negosiasi dengan penawar setelah penawaran diajukan

Tidak ada lingkup negosiasi dengan penawar setelah penawaran diajukan

Tidak relevan, karena negosiasi dapat dilanjutkan sampai kontrak disetujui.

Hanya diperbolehkan untuk

klariikasi, sedikit penyesuaian atau spesiikasi penawaran. Perubahan

yang bersifat mendasar tidak diperbolehkan.

Basis penilaian pemenang

Harga terendah atau paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan

Harga terendah atau paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan

Harga terendah atau paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan

Paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan


(15)

11

REFORMASI PUBLIC PROCUREMENT LAWS

Reformasi Public Procurement Laws di negara-negara Uni Eropa dilakukan melalui Directive 2014/24/EU yang mengganti Directive 2004/18/EC) di bulan Maret 2014. Setiap anggota EU

dapat meratiikasi atau mengubah Directive ini ke dalam hukum atau peraturan di

masing-masing negara sampai 18 April 2016. Directive ini mengatur sejumlah masalah terkait isu pengadaan yang dapat diterapkan pada seluruh pengadaan di atas threshold khusus (Kontrak pemerintah : (1) sebesar €162.000 untuk pengadaan barang dan jasa di luar point

2; (2) sebesar € 249.000 untuk pengadaan barang dan jasa yang dilakukan Contracting Authority,pengadaan di bidang militer, dan pengadaan jasa lain termasuk sektor telekomunikasi;

serta € 6.242.000 untuk kontrak pekerjaan umum). Directive juga menetapkan aturan pada prosedur umum dan issue pengadaan yang relevan (khususnya untuk pengadaan dengan skema Public Private Partnerships/PPPs)seperti: pengecualian sektor, penggunaan pengadaan sistem e-procurement dan kerangka perjanjian, publikasi, deadline dan standar transparansi serta prinsipgovernance dari pengadaan pemerintah secara keseluruhan.

Dalam Directive yang baru, prosedur lelang terbuka dan terbatas masih relatif tidak berubah. Terdapat prosedur baru yang diperkenalkan yaitu kerjasama innovasi (innovation partnership) khususnya untuk PPPs. Yang paling menarik bagi pengadaan melalui skema PPPs adalah pengenalan prosedur kompetitif dengan negosiasi (competitive procedure with Negotiation), yang mengganti prosedur negosiasi (negotiated procedure) dan menghilangkan beberapa keterbatasan-keterbatasan penggunaannya. Secara nilai, prosedur ini nampaknya

menarik bagi skema pengadaan dengan PPPs karena relatif leksibel dan memberikan lingkup

yang lebih besar bagi Contracting Authority untuk mendisain proses pengadaannya sendiri. Prosedur ini memuat elemen negosiasi diluar aspek yang banyak dan menentukan sebagaimana prosedur Competitive Dialogue,meskipun ada beberapa kelemahan potensial yang dimiliki. Dalam prosedur yang baru, Procuring Authority dapat mengidentiikasi kebutuhan sesuai dengan produk, jasa atau pekerjaan yang tidak dijumpai di pasar; atau menyatakan persyaratan

kualitatif yang minimal. Satu atau beberapa penawar mencoba untuk mengembangkan

produk, jasa atau pekerjaan yang terbaik sesuai dengan spesiikasi awal (dengan negosiasi

biaya yang berlanjut melaui beberapa fase proyek), sebelum Procuring Authority memutuskan apa dan bagaimana cara untuk melanjutkan proyek, Kemampuan untuk mengarahkan penawar dengan cara ini sebelumnya tidak dapat dilakukan sampai kriteria penetapan pemenang dan

spesiikasi teknis dipublikasi. Oleh karena itu, ketika persyaratan utama tetap terpelihara seperti

kebutuhan untuk mempublikasikan dengan jelas kriteria evaluasi bagi para penawar pada permulaan proses, prosedur baru menawarkan Procuring Authority leksibilitas yang lebih besar untuk mengantarkan produk, jasa atau pekerjaan yang sebelumnya tidak pasti. Prosedur baru ini sepertinya dapat dimanfaatkan dalam proyek-proyek riset dan teknologi dimana terdapat

ketidakpastian tentang produk inal, sehingga Procuring Authority mungkin mengharapkan untuk menyelidiki apa ide dan solusi terhadap pasar sebelum memutuskan apakah memberli satu dari solusi yang dihasilkan.

BAGAIMANA MEMILIH PROSEDUR YANG TEPAT?

Baik competitive procedure with negotiation dan competitive dialogue proceduredapat digunakan oleh Procuring Authority secara lebih luas sesuai dengan kontrak, Directive baru memiliki empat area terkait prosedur mana yang mungkin dapat digunakan yaitu:

· Ketiadaan solusi yang siap tersedia yang tidak memerlukan adaptasi · Kebutuhan untuk disain atau solusi inovasi

· Masalah hukum dan keuangan kompleks yang mengikuti solusi

· Spesiikasi teknis yang tidak dapat dikembangkan dengan ketelitian yang cukup


(16)

12

baru memberikan Procuring Authority pertimbangan pada lingkup yang lebih luas untuk menggunakan solusi negosiasi daripada prosedur lelang terbuka atau terbatas. Selain itu, Competitive procedure with negotiationmenyediakan beberapa leksibilitas pre-inal tender yang penting pada Procuring Authority, Namun

demikian, leksibilitas dapat membutuhkan pengeluaran biaya pada beberapa detail post-inal tender. Prosedur ini mungkin bermanfaat pada situasi dimana Procuring Authority relatif percaya diri tentang persyaratan proyek dan kemampuan pasar untuk merespon secara tepat, tetapi masih akan merasakan manfaat negosiasi sebelum

penawaran inal. Disamping itu, prosedurCompetitive Dialogue masih dapat dimanfaatkan pada proyek-proyek yang bersifat kompleks dimana Procuring Authority tidak begitu yakin apa yang tersedia di pasar untuk memenuhi kebutuhan dan sedang diusahakan untuk memaksimalkan pengalaman mengenai tersediaannya

di pasar. Prosedur ini memiliki leksibilitas tambahan dengan mengijinkannya untuk mengkonirmasi dan mengoptimalkan detail inal dan hal-hal lain setelah tender.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan reformasi Procurement Laws di Indonesia dan di

negara-negara Uni Eropa, tetapi hanya menguraikan spesiikasi khusus dari Procurement Laws di negara-negara Uni Eropa yaitu masalah keseragaman penerapan atau konvergensi dan perkembangan atau penyesuaian mengikuti perkambangan global atau reformasi Public Procurement Laws berdasarkan Procurement Directive 2014/24/EU.

*) PhD Researcher Public Administration and Managemen University of Antwerpen Belgium and Senior Auditor BPKP (Pegawai Tugas Belajar


(17)

13

Oleh: Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H.

(Direktur Eksekutif Street Lawyer Legal Aid)

Makna Kerugian Keuangan

Negara pada

Delik Korupsi

P

asal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang PTPK) adalah delik formel.1

Menurut Indriyanto Seno Adji unsur “Kerugian keuangan negara” pada Pasal-pasal tersebut bukan bestandeel delict karena tidak menentukan mengenai perbuatan yang dapat dipidana, yang menjadi bestadeel delict dari Pasal 2 adalah unsur “Melawan hukum” sedangkan pada Pasal 3 adalah unsur “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.2 Namun setelah putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006 yang pada pertimbangannya menghendaki unsur

“Yang dapat merugikan keuangan negara” harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi, dan kerugian keuangan negara tersebut harus ditentukan seorang ahli di bidangnya, menjadikan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang PTPK tersebut menjadi delik campuran.3 Makna delik campuran di sini adalah yang menentukan dipidananya seseorang tidak sebatas

pada perbuatannya (delict formeel), tetapi juga akibat dari perbuatannya yaitu “Merugikan keuangan negara”

1 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang PTPK “……. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan

keuan-gan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.” Andi Hamzah menyatakan pada delik formil, disebut hanya suatu perbuatan tertentu sebagai dipidana misalnya Pasal 160, 209, 242, 263, 362 KUHP (Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Jakarta: PT. Raja Graindo Persa -da, Cetakan Ke-6, Mei 2014, Hlm 134)

2 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Dan Penegakan Hukum, Jakarta: Diadit Media, 2009. Hlm 29-44

3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006, Hlm 72. Pertimbangan Mahkamah Kon -stitusi yang menyatakan kerugian keuangan negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun perkiraan dan belum terjadi adalah bertentangan dengan makna kerugian keuangan negara yang telah ditentukan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Perben-daraan Negara yang mensyaratkan kerugian yang nyata dan pasti jumlahnya.


(18)

14

harus dibuktikan pula.4

Berbeda dengan rumusan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merumuskan relasi antara perbuatan dengan kerugian keuangan negara sebagai delik materil atau terjadinya kerugian keuangan negara merupakan syarat mutlak dari tindak pidana korupsi yang dimaksud.5 Menurut Andi Hamzah perubahan dari

delik materiil menjadi delik formil sebagaimana rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang PTPK tersebut, karena dalam konvensi Internasional mengenai korupsi, perbuatan memperkaya diri secara tidak sah yaitu kenaikan yang berarti aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal adalah tidak lagi mensyaratkan adanya atau dapatnya menimbulkan kerugian negara.6

Pertimbangan huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit menghubungkan tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara, dengan pertimbangan “Menimbang: a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan

nasional yang menuntut eisiensi tinggi;”. Pertimbangan tersebut tetap dipertahankan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan:“Menimbang: a. bahwa

4 Terkait dengan delik campuran ini sebenarnya Pasal 32 Undang-Undang PTPK implisit mengha-ruskan untuk dibuktikannya unsur “Yang dapat merugikan keuangan negara” sebagai syarat dipidananya seseorang, meskipun Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang PTPK sebagai delik formil. Rumusan Pasal 32 tersebut yaitu: “Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka pe-nyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil pepe-nyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”.

Rumusan Pasal 32 Undang-Undang PTPK tersebut menggunakan frasa “satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti”, yang dalam kaitannya dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang PTPK timbul suatu pertanyaan yaitu apakah unsur “Yang dapat merugikan keuangan negara” merupakan salah satu unsur tindak pidana korupsi yang dimaksud ataukah tidak. Tentunya unsur tersebut merupakan salah satu unsur tindak pidana korupsi dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang PTPK, akan tetapi apabila memang unsur tersebut merupakan unsur tindak pidana korupsi dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang PTPK, mengapa kalimat selanjutnya setelah frasa “satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti” adalah frasa “sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara”. Dari ketidak jelasan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006 memberikan pertimbangan bahwa unsur “Yang dapat merugikan keuangan negara” mesti dibuktikan dan oleh karena itulah menjadi tepat bahwa ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang PTPK tersebut merupakan delik campuran.

5 Pasal 1 huruf a dan b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Maret 1971, Lembaran Negara Re-publik Indonesia Tahun 1971 Nomor 19. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Ditetapkan dan Diundangkan di Jakarta pada tang-gal 9 Juni 1960. Sedangkan Perpu Nomor 24 tahun 1960, menggantikan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/013/1958 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. prt/Z.I/1/7 tanggal 17 April 1958.

6 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Jakarta: PT. Raja Graindo Persada, Cetakan Ke-6, Mei 2014, Hlm 174 s.d 175. Pasal 20 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), tahun 2003 merumuskan: “Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a

signiicant increase in the assets of a public oficial that he or she cannot reasonably explain in relation to his 


(19)

15

tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”.

Menyangkut deinisi kerugian keuangan negara itu sendiri, penjelasan Pasal 32 ayat (1)

Undang-Undang PTPK menetapkan bahwa “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”, yang

sama sekali tidak mendeinisikan arti dari kerugian keuangan negara itu sendiri, melainkan

hanya merumuskan tentang pengaturan mengenai landasan penentuan kerugian keuangan negara oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik. Mengenai arti dari keuangan negara bahwa penjelasan Umum Undang -Undang PTPK menguraikan dengan rumusan

“Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”7

Dari rumusankeuangan negara tersebut menurut Abdul Halim dan Icuk Rangga Bawono terdapat kekacauan dalam perumusannya, karena mempersamakan keuangan negara dengan kekayaan negara, padahal kedua pengertian tersebut menyangkut substansi yang berbeda.

Keuangan negara adalah sistem tata kelola keuangan pada suatu negara, sedangkan kekayaan negara merupakan daftar kepemilikan negara atas hak kebendaan dan/atau barang tak berwujud (intangible assets).8

Selain penjelasan Undang-Undang PTPK tersebut makna keuangan negara tercantum pada Pasal 3 Undang-Undang Keuangan Negara yang menetapkan keuangan negara sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pada deinisi ini yang memaknai keuangan negara

termasuk ‘segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan

milik negara’ adalah tidak tercantum pada deinisi yang diberikan oleh Undang-Undang

PTPK.9 Akan tetapi rumusan “dijadikan milik negara” sebagaimana tercantum pada

Undang-Undang Keuangan Negara tersebut, menurut Muhammad Djafar Saidi, adalah tidak sesuai dengan substansi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang hanya menempatkan negara sebagai pihak yang menguasai bukan sebagai pemilik yang dikonkretkan oleh

7 Sedangkan arti dari perekonomian Negara menurut penjelasan Undang-Undang tipikor adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberi-kan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

8 Abdul Halim dan Icuk Rangga Bawono, Pengelolaan Keuangan Negara-Daerah (Hukum, Kerugian

Negara, Dan Badan Pemeriksa Keuangan), Yogyakarta:Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggil Ilmu Manajemen, 2011. Hlm 15-16. Bandingkan dengan pengertian dari Muhammad Djafar Saidi yang mengarti-kan keuangan negara merupamengarti-kan aspek teknis yang terkait dengan pengelolan keuangan negara (Muham-mad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: PT. Raja Graindo, Cetakan Ke-2 tahun 2011, Hlm 1)

9 Meskipun tidak sama persis antara deinisi keuangan negara yang tercantum pada Undang-Un -dang PTPK dengan yang tercantum Un-dang-Un-dang Keuangan Negara, tetapi kedua pengertian keuangan negara tersebut adalah selaras dan tidak terdapat pertentangan satu sama lainnya.


(20)

16

Presiden sebagai kepala pemerintahan negara untuk mengelola dan bertanggung jawab terhadap keuangan negara.10

Pada Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai Undang-Undang korupsi yang berlaku sebelum Undang-Undang-Undang-Undang PTPK (Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), sama juga dengan Undang-Undang PTPK yang tidak memberikan

deiisi dari kerugian keuangan negara, melainkan hanya menetapkan makna dari keuangan negara meliputi

juga keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum yang menggunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain. Sedangkan untuk keuangan dari badan/badan hukum yang

seluruhnya modal diperoleh dari swasta misalnya P.T., Firma, CV. dan lain-lain, tidak mengkualiikasikannya

sebagai keuangan negara.11

Dalam perspektif peraturan menyangkut pemberantasan korupsi yang mula-mula berlaku sebagaimana tercantum pada Peraturan Penguasa Perang dari Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1950 Nomor Prt/Peperpu/013/1958 dan dari Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor Prt/Z.1/I/7 tanggal 09 Juni 1960, yang kemudian kedua peraturan tersebut diberlakukan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Perppu Nomor 24 tahun 1960), yang selanjutnya Perppu Nomor 24 tahun 1960 tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960, juga tidak memberikan arti dari kerugian keuangan negara.12 Meskipun tidak memberikan arti

mengenai yang kerugian keuangan, tetapi peraturan tersebut merinci ruang lingkup keuangan yang dilarang untuk dirugikan yaitu keuangan daerah, keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, keuangan badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat.13 Setelah itu pada ketentuan di dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi

merugikan keuangan negara sebagaimana Pasal 387 dan 388 KUHP sebagai delik tentang perbuatan curang, yang kemudian dijadikan Pasal 7 Undang-Undang PTPK dan Pasal 415 sebagai delik penggelapan uang dan surat berharga, yang kemudian dijadikan Pasal 8 Undang-Undang PTPK, tidak pula memberikan arti dari kerugian keuangan negara.14

Dikarenakan ketentuan Undang-Undang PTPK baik yang berlaku sekarang maupun yang terdahulu tidak

memberikan deinisi tentang kerugian keuangan negara, tetapi hanya memberikan makna mengenai keuangan

negara, maka pengertian kerugian keuangan negara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dapat menjadi acuan makna kerugian keuangan negara Pasal 2 dan Pasal 3

Undang-Undang PTPK. Hal mana pada Pasal 1 angka 22 Undang-Undang-Undang-Undang Perbendaharaan Negara mendeinisikan

kerugian negara/daerah dengan kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Kerugian negara pada Undang-Undang Perbendaharaan Negara tersebut telah mencakup kerugian keuangan negara yang dimaksud oleh Undang-Undang PTPK, karena di dalamnya disebutkan tentang kekurangan uang. Sehubungan dengan pengertian itu Muhammad Djafar Saidi mengartikannya sebagai pengertian yang luas sehingga mudah dipahami dan ditegakkan bila terjadi pelanggaran dalam pengelolaan keuangan negara, dan kerugian negara tidak boleh diperkirakan sebagaimana yang dikehendaki tetapi wajib dipastikan berapa jumlah yang dialami oleh negara pada saat itu yang bertujuan untuk kepastian hukum.15 Dalam kaitan

10 Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: PT. Raja Graindo, Cetakan Ke-2 tahun 2011, Hlm 10 s.d. 11. 11 Penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 12 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, Jakarta: Diadit Media, 2007, Hlm 6.

13 Pertimbangan huruf a Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960.

14 Rumusan delik pada KUHP yang ditarik menjadi rumusan pada Undang-Undang PTPK antara lain Pasal 5 yang ditarik dari Pasal 209 KUHP, Pasal 6 yang ditarik dari Pasal 210 KUHP, Pasal 7 yang ditarik dari Pasal 387 dan 388 KUHP, Pasal 8 dari Pasal 415 KUHP, Pasal 9 dari Pasal 416 KUHP, Pasal 10 dari Pasal 417 KUHP, Pasal 11 dari Pasal 418 KUHP, Pasal 12 dari Pasal 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP, Pasal 23 dari Pasal 220, 231, 421, 422, 429 dan 430 KUHP


(21)

17

pengertian keuangan negara yang berkorelasi dengan kerugian keuangan negara sebagaimana Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang PTPK menurut Indriyanto Seno Adji dalam pengertian ini kekurangan satu rupiahpun, akan berarti uang negara akan berkurang dan dianggap merugikan Negara.16

Berkaitan itu, dengan berpedoman dengan azas hukum acara pidana cepat, sederhana dan biaya ringan, serta penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berorientasi pengembalian aset kerugian keuangan negara, maka sangat diperlukan untuk memberikan batasan maksimal kerugian keuangan negara terhadap perkara yang tidak harus diajukan ke proses persidangan.17 Hal ini guna menghindari

biaya yang digunakan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara berupa proses persidangan lebih besar dari kerugian keuangan negara itu sendiri, yang menjadikan penegakan hukum tindak pidana korupsi hanya berorientasi memberikan hukuman.18

16 Op.Cit. Indriyanto Seno Adji. Korupsi Dan Penegakan Hukum, Hlm 32.

17 Azas cepat sederhana dan biaya ringan ini eksplisit tercantum pada penjelasan angka 3 huruf e KUHAP yang menentu-kan bahwa “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.”

18 Lihat pembukaan(preambule) UNCACyang menyatakan “Determined to prevent, detect and deter in a more effective

manner international transfers of illicitly acquired assets and to strengthen international cooperation in asset recovery” dan “Ac-knowledging the fundamental principles of due process of law in criminal proceedings and in civil or administrative proceedings to adjudicate property rights”.


(22)

18

Kerugian Keuangan Negara

DUGAAN

TIPIKOR

Belum Tentu Benar ?

I. PENYEBAB KRIMINALISASI AUDIT

Tulisan Kriminalisasi Audit Kerugian Keuangan Negara ini berdasarkan pengalaman menjadi Ahli Audit Kerugian Keuangan Negara atas permintaan Terdakwa di 11 Provinsi yaitu Pengadilan Tipikor Medan, Padang, Pekanbaru, Lampung, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya. Banjarmasin, Pontianak, Palangkaraya serta Pengadilan Negeri Semarang, Jakarta Selatan dan PTUN Palangkaraya.

Dasar Ahli menjadi Ahli Audit Kerugian Keuangan Negara di Pengadilan Tipikor maupun Pengadilan Negeri dan PTUN adalah berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan/Audit Kerugian Keuangan Negara yang diterbitkan oleh BPK, BPKP, Inspektorat maupun Kantor Akuntan Publik

Ada dua hal yang menjadi Penyebab mengapa terjadi Kriminalisasi dalam melakukan Audit Kerugian Keuangan Negara,yaitu :

1. Audit yang dilakukan bertentangan dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2004 2. Hasil Audit bertentangan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 2004

Ad 1. Audit Bertentangan dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2004

Penyebab bertentangan dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2004 adalah Audit yang dilakukan tidak berdasarkan Standar Pemeriksaan/Audit sehingga tidak sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menyebutkan,

Pemeriksaan adalah : Proses Identiikasi Masalah, Analisis dan Evaluasi yang dilakukan secara Independen,

Obyektif dan Profesional Berdasarkan Standar Pemeriksaan untuk menilai Kebenaran, Kecermatan, Kredibilitas dan Keandalan Informasi mengenai Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebutkan, Standar Pemeriksaanadalah : Patokan untuk melakukan Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang meliputi Standar Umum, Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, dan Standar Pelaporan yang Wajib Dipedomani oleh BPK dan/atau Pemeriksa.


(23)

19

Berdasarkan Undang-Undang tersebut Khususnya tentang Standar Pemeriksaan maka :

1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menerbitkan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

(SPKN).

2. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) menerbitkan Peraturan Nomor : PER/05/M.PAN/03/2008 Tgl 31 Maret 2008 Tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

Pelaksanaan Pemeriksaan/Audit yang tidak berdasarkan SPKN maupun Standar Audit APIP adalah: a. Auditi/yang diperiksa tidak mengetahui kalau Tim Audit sedang melakukan Audit Kerugian

Keuangan Negara, hal ini disebabkan tidak ada tembusan Surat Tugas Audit kepada Auditi

b. Tim Audit tidak melakukan Klariikasi/Konirmasi kepada Auditi tentang Kelengkapan data/

bukti audit, hal ini disebabkan Tim Audit percaya saja dengan bukti audit yang diterima dari Penyidik Korupsi, padahal data tersebut belum tentu lengkap.

Bukti audit Harus Cukup, Kompeten dan Relevan.

Bukti audit yang cukup berkaitan dengan jumlah bukti yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk penarikan suatu kesimpulan audit. Untuk menentukan kecukupan bukti audit, auditor harus menerapkan pertimbangan keahliannya secara profesional dan obyektif. bukti audit harus diperoleh dengan tidak menggunakan metode sampling.

Bukti audit disebut kompeten jika bukti tersebut sah dan dapat diandalkan untuk menjamin kesesuaian dengan faktanya. Bukti yang sah adalah bukti yang memenuhi persyaratan hukum dan peraturan perundang-undangan. Bukti yang dapat diandalkan berkaitan dengan sumber dan cara perolehan bukti itu sendiri.

Bukti audit disebut relevan jika bukti tersebut secara logis mendukung atau menguatkan pendapat atau argumen yang berhubungan dengan tujuan dan kesimpulan audit. Pengumpulan bukti harus dilakukan dengan teknik-teknik tertentu antara lain wawancara kepada pengadu,

saksi, korban, dan pelaku; reviu catatan; pengumpulan bukti forensik; pengintaian dan pemantauan; serta penggunaan teknologi komputer.

c. Tim Audit tidak melakukan Pengujian Bukti berupa Klariikasi/Konirmasi kepada

Auditi dan pihak-pihak terkait tentang kebenaran bukti, hal ini disebabkan Tim Audit percaya saja dengan bukti audit yang diterima dari Penyidik Korupsi, padahal bukti tersebut tersebut belum tentu benar.

d. Tim Audit tidak memberi kesempatan kepada Auditi untuk melakukan sanggahan/jawaban atas kesimpulan hasil audit,hal ini disebabkan Auditor Otoriter sehingga menggangap hasil auditnya sudah benar padahal tidak benar.

e. Auditi tidak mengetahui Penyebab dan besarnya Kerugian Keuangan Negara, hal ini dikarenakan Auditor tidak memberikan tembusan Laporan Hasil Audit kepada Auditi.

Ad 2. Hasil Audit Bertentangan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 2004

Penyebab Hasil Audit bertentangan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 2004 adalah Hasil Auditnya Tidak Nyata dan Tidak Pasti Jumlahnya sehingga tidak sesuai dengan Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan Kerugian Negara/Daerah adalah : Kekurangan Uang, Surat Berharga, dan Barang Yang Nyata dan


(24)

20

Pasti Jumlahnya sebagai akibat Perbuatan Melawan Hukum Baik Sengaja maupun Lalai. Penyebab Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara Tidak Nyata dan Tidak Pasti Jumlahnya adalah : a. Data Tidak Lengkap tapi dipaksakan menghitung

b. Metode Perhitungan yang tidak benar

c. Salah mengartikan Kerugian Keuangan Negara

II. MENGURANGI DAN MENGGUGURKAN HASIL AUDIT/PENETAPAN TERSANGKA

Berdasarkan Pengalaman menjad Ahli Audit maka ada 3 hal yang diputus Majelis Hakim berdasarkan Kesaksian Ahli Audit, yaitu :

1. Mengurangi Jumlah Kerugian Keuangan Negara. 2. Menggugurkan Kerugian Keuangan Negara 3. Menggugurkan Penetapan Tersangka.

Ad 1. Mengurangi Jumlah Kerugian Keuangan Negara.

Ahli Audit sudah biasa mengoreksi/mengurangi Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara dari ratusan juta sampai dengan puluhan miliar rupiah dan yang terakhir adalah diPengadilan Tipikor Medan Perkara Bank SUMUT yang ditangani Kejaksaan Tinggi Provinsi Sumatera Utara, menurut Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara Kantor Akuntan Publik Tarmizi terdapat Kerugian Keuangan Negara sebesar 10,8 Miliar dan diputus Majelis Kurang dari 400 Juta sehingga Kerugian Keuangan Negara berkurang sebesar 10,4 Miliar.

Ad 2. Menggugurkan Kerugian Keuangan Negara

Berdasarkan Kesaksian Ahli diPengadilan Tipikor maka majelis Menggugurkan Kerugian Keuangan Negara sesuai Hasil Audit, yaitu :

a. Pengadilan Tipikor Medan.

DiPengadilan Tipikor Medan dua Kali Majelis menggugurkan Laporan Hasil Audit yaitu : 1. Perkara Dinas PU Kabupaten Batu Bara.

Majelis Hakim menggugurkan Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara sebesar kurang lebih 1 Miliar, setelah ada putusan Mahkamah Agung baru tersangka ditahan dan Kerugian Keuangan Negaranya tetap gugur.

2. Perkara Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Langkat.

Majelis Hakim menggugurkan Laporan Hasil Pemeriksaan Kerugian Keuangan Negara BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Utara sebesar kurang lebih 1 Miliar, ditingkat Pengadilan Negeri dan Tinggi tersangka tidak ditahan dan kini menunggu putusan Mahkamah Agung.

b. Pengadilan Tipikor Jakarta.

Majelis Hakim menggugurkan Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara BPKP Pusat Perkara Busway sebesar 63 Miliar Putusan Mahkamah Agung juga Kerugian Keuangan Negaranya Gugur.

c. Pengadilan Tipikor Pontianak.

Tiga kali Ahli menjadi Ahli Audit atas Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara BPKP Perwakilan Pontianak dan dua diantaranya digugurkan majelis dan divonis Bebas

d. Pengadilan Tipikor Banjarmasin.


(25)

21

1. Perkara Alat Kesehatan.

Majelis Hakim menggugurkan Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara BPKP Perwakilan Kalimantan Selatan dan divonis Bebas.

2. Perkara Dinas Pendidikan

Majelis Hakim menggugurkan Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara BPKP Perwakilan Kalimantan Selatan dan divonis 1 Tahun Penjara.

e. Pengadilan Tipikor Bandung.

Empat kali ahli menjadi ahli audit, dua sudah diputus yaitu :

1. Perkara Bank Jawa Barat.

Majelis Hakim menggugurkan Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara BPKP Pusat Perkara

Bank Jawa Barat sebesar 298 Miliar dan diVonis Bebas.

2. Perkara KUR Bank BNI.

Satu bebas dan dua ditahan f. Pengadilan Tipikor Pekanbaru.

Majelis Hakim menggugurkan Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara Inspektorat Provinsi sebesar 26 Miliar dan divonis Bebas

Ad 3.Menggugurkan Penetapan Tersangka.

Berdasarkan Kesaksian Ahli Audit bersama Ahli Lainnya maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggugurkan Penetapan Tersangka yang dilakukan Kejaksaan Agung.

Demikian Tulisan ini dibuat, Ahli berpengalaman melakukan Audit Kerugian Keuangan Negara, Ahli pernah bertugas di KPK, Dirjen Pajak dan Kementerian Kehutanan, pernah bertugas di BPKP DKI Jakarta selama 17 Tahun, BPKP Provinsi Kalimantan Selatan selama 1,5 Tahun dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara selama 5 Tahun.

Medan, April 2017

Sudirman,SE.SH.MM KONSULTAN AUDIT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (INDEPENDEN)

Jln.Jend Gatot Subroto Km.3,5 No.355C Medan Telp.0852 7000 6899, 0852 6116 6088, email : Sudirman_audit@yahoo.com


(26)

22

Penanganan Korupsi Pengadaan

Harus Ada

Audit


(27)

23

A

rgumentasi yuridis yang dapat digunakan JPU dalam menjawab/ menghadapi praperadilan dan pembelaan yang menggunakan SE MA tentang "PENANGANAN KORUPSI HARUS ADA AUDIT BPK".

Jika dikatakan hanya BPK yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara, hal tersebut bertentangan atau tidak sejalan dengan setidaknya 12 (dua belas) poin, Antara lain sebagai berikut:

1. Kewenangan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah: BPKP, Irjen, Inspektorat) menghitung kerugian Keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan;

2. Kewenangan BPK, Pemerintah dan Pengadilan menetapkan kerugian keuangan negara sebagaimana diatur

Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;

3. Kewenangan Menteri / Pimpinan Lembaga / Gubernur / Bupati / Walikota dalam menetapkan kerugian keuangan negara sesuai dengan Pasal 62 ayat (1) dan 63 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan

dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;

4. Kewenangan akuntan publik (swasta) menghitung kerugian keuangan negara sebagaimana diakui penjelasan Paal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;

5. Kewenangan APIP berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (menghitung kerugian Keuangan negara)

sebagaimana diatur Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;

6. Kewenangan penyidik menghadirkan ahli (termasuk ahli menghitung kerugian keuangan negara) sebagaimana diatur Pasal 22 dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001;

7. Kewenangan penyidik menghadirkan ahli (termasuk ahli menghitung kerugian keuangan negara) sebagaimana diatur Pasal 224 KUHP dan Pasal 1 angka 28 jo. Pasal 7 ayat 1 huruf h jo. Pasal 120 ayat (1) jo.

Pasal 179 jo. Pasal 184 ayat (1) jo. Pasal 186 jo. Pasal 187 huruf c KUHAP;

8. Pasal 6 huruf a dan b serta Penjelasannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

9. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 (Pertimbangan hukum

pada halaman 53 s.d. 54);

10. Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan;

11. APIP dapat menghitung kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 4 Tahun 2015; dan

12. Putusan-putusan berkekuatan hukum tetap Mahkamah Agung yang menggunakan APIP atau ahli lain sebagai Ahli untuk menghitung kerugian keuangan negara.


(28)

24

Penerapan

Sanksi

Hukum

Pidana

untuk Pengelola Pengadaan

T

indak pidana apalagi jika tergolong kejahatan luar biasa, membutuhkan usaha untuk mengungkap dengan analisis yang tidak biasa. Jika auditor maupun penegak hukum berusaha menangkap kasusnya dengan cara ‘biasa saja’, bahkan jika dilandasi dengan motif balas dendam ataupun desakan politik, dapat berujung pada kriminalisasi. Lebih lanjut justru mengakibatkaan melemahnya semangat birokrat dalam tugas pelayanan publik. Tulisan berikut cukup tajam menyoroti hal itu dalam konteks pengadaan barang dan jasa.

Selalu dan selalu, pengadaan barang jasa pemerintah menjadi perhatian besar bagi para pemangku

kepentingan di negeri ini. Sesuai dengan deinisi dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 beserta

segenap perubahannya, pengertian pengadaan barang jasa tetap dinyatakan sebagaimana berikut :“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”

Ada pemerintah (K/L/D/I) sebagai subjek, barang/jasa sebagai objek, dan serangkaian proses sebagai predikat, perantara antara subjek dan objek. Pengadaan barang/jasa sesungguhnya hanya merupakan aktivitas ekonomi, sebagaimana aktivitas ekonomi individu atau aktivitas ekonomi entitas masyarakat

yang lainnya. Pengadaan barang/jasa pemerintah pun, secara ilosois juga sama, membelanjakan

anggaran dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan sebuah organisasi atau bahkan pemenuhan kewajiban pemerintah kepada rakyatnya. Hampir setiap tahun, pengadaan menjadi perhatian bagi internal dan ekternal pemerintahan.


(29)

25

Bagi pengelola/birokrasi, pengadaan barang jasa masih menjadi momok sepanjang masa. Sehingga tidak jarang kita mendengar sulitnya menetapkan pejabat yang akan jadi pengelola, terjadi silang sengketa Tata Usaha Negara (TUN) maupun perdata, bahkan yang paling menakutkan, ketika pengadaan berujung kepada sebuah tindak pidana korupsi. Bagi pihak eksternal, pengadaan menjadi lahan yang ‘gurih dan renyah’ untuk mencapai kepentingan individu dan golongannya. Sekedar mencari keuntungan sewajarnya, berbisnis dengan pemerintah adalah sebuah hal yang lazim. Akan tetapi ketika menjadikan pengadaan barang/jasa sebagai alat untuk ‘merampok’ pundi pundi negara, adalah sebuah kejahatan yang pantas dipidanakan.

DISKURSUS PENGADAAN KONTRA TIPIKOR

Semakin banyaknya kasus dalam TUN dan Perdata, merupakan konsekuensi logis dari sebuah aktivitas ekonomi pemerintah. Proses pengadaan barang/jasa mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan terpilihnya penyedia barang/jasa, adalah bagian dari hukum administrasi dan tata usaha negara. Sedangkan proses kontrak sampai dengan selesainya pekerjaan, merupakan ranah kontraktual yang tunduk kepada hukum perdata.

Akan tetapi, di republik ini, terjadi deviasi penegakan hukum terhadap pengadaan barang/jasa. Mata dan telinga ini terkadang sangat bosan, mendengar pemberitaan adanya tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa. Dan yang lebih aneh serta menggelikan lagi, ternyata sebagian besar para pelaku yang dituduhkan melakukan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) adalah mereka yang tidak sedang memegang kekuasaan. Padahal sebuah kejahatan luar biasa, hanya akan mampu digerakkan oleh oknum pemegang kekuasaan yang benar-benar berkuasa.

Mengutip tulisan Profesor DR. Eddy OS Hiariej, seorang Guru Besar Bidang Pidana UGM berjudul Pasal Keranjang Sampah, yang intinya mengatakan bahwa pasal 2 dan 3 UU Tipikor tersebut mengandung norma kabur yang dapat digunakan untuk menjerat siapapun yang melakukan perbuatan apapun. Maka semakin jelaslah, bahwa ada yang belum tepat dalam perumusan tindak pidana korupsi termasuk dalam pengadaan barang/jasa.

Sekali lagi, proses pengadaan barang/jasa, merupakan ranah dari hukum administrasi, tata usaha negara dan perdata. Sehingga konsisten dengan ruang lingkup tersebut, maka konsekuensi hukum dalam proses pengadaan barang jasa, harusnya mengikuti ketentuan dalam ranah hukum tersebut. Akan tetapi luar biasa, setiap pelanggaran prosedur bisa berujung korupsi, banyak terjadi kriminalisasi dalam pengadaan barang/jasa.

Dalam pengadaan barang jasa, bangunan pengadaan, yang dimulai dari perencanaan, pemilihan dan kontrak, masih dibungkus dengan prinsip, etika dan kebijakan umum pengadaan. Sehingga apabila dalam proses pengadaan barang/jasa terdapat kekurangan atau bahkan kesalahan prosedur akan tetapi lebih mengedepankan prinsip, etika dan kebijakan umum pengadaan, maka kekurangan dan kesalahan tadi, hanyalah merupakan kesalahan administrasi pengadaan. Ya, hanya sebatas administrasi semata. Hal ini akan memiliki implikasi berbeda apabila kesalahan dan kekurangan tadi dilandasi dengan niatan dan perbuatan jahat yang nyata mengakibatkan adanya transaksi haram. Dalam kondisi ini, maka ranah hukum pidana bahkan pidana korupsi dapat diterapkan, apabila kondisinya memenuhi.


(30)

26

BEBERAPA KASUS

Di sebuah kabupaten di Jawa Barat, semua tahapan proses pengadaan sudah dijalankan sesuai prosedur, termasuk proses evaluasi. Dalam pelaksanaan pekerjaan, terjadi pengalihan pekerjaan dari dukungan, yang berbeda dengan dukungan pada saat proses pelelangan. Alasan pengalihan dukungan tersebut, dikarenakan pemberi dukungan awal mengalami ketiadaan stok. Outputpengadaan sesuai dengan ketentuan, bahkan secara outcome, memberikan dampak luar biasa bagi daerah, karena daerah tersebut menjadi daerah percontohan secara nasional.

Dalam proses ini, proses pengalihan pekerjaan berada di ranah kontrak, akan tetapi Pokja ULP dianggap turut bersalah dan ditetapkan tersangka oleh penyidik. Ketidak tepatan penetapan tersangka terhadap pokja ini disadari penyidik, sehingga membutuhkan pendapat/keterangan ahli, untuk dapat dilakukan ekspose ulang. Berbekal pendapat ahli pengadaan yang relevan, maka dilakukan ekspose ulang, dan menghasilkan kesimpulan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Berbeda lagi dengan sebuah penanganan perkara yang ditangani penyidik lainnya. Pengelola pengadaan disangkakan tindak pidana korupsi, hanya karena dalam menentukan HPS sebuah proses lelang kompleks, tidak menggunakan satu harga. HPS dalam pelelangan tersebut menggunakan kisaran harga, menyesuaikan dengan jenis teknologi yang akan diterapkan masing-masing penyedia. Dalam kajian profesional dan independen yang dilakukan P3I, mendasarkan berbagai data dan fakta di lapangan, dijumpai bahwa proses pengadaan tersebut, sudah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan. Bahkan pengadaan tersebut sudah menggunakan penyetaraan teknis, yang pada masa itu belum lazim, tetapi malah sudah menerapkan best practice di dunia pengadaan modern. Terlebih lagi, sudah dilakukan pendampingan yang cukup memadai dari BPK dan BPKP, sehingga sangkaan tipikor menjadi absurd. Dalam ekspose ulang menggunakan dasar kajian tersebut, maka aparat penyidik akhirnya menyimpulkan terjadinya suatu kondisi “error in persona”, yaitu penerapan tersangka yang tidak tepat. Sehingga akhirnya SP3 pun keluar dan tersangka dibebaskan dari sangkaan/dugaan.

CELAH ANTIKRIMINALISASI

Penegakan pemberantasan korupsi yang serampangan, tidak lagi mencerminkan perbuatan korupsi sebagai sebuah extra  ordinary  crime, apalagi kejahatan yang berkaitan dengan kekuasaan. Pengadaan barang jasa sangat rentan dilakukan kriminalisasi oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai kapasitas, maupun oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, masih terdapat celah antikriminalisasi dalam KUHAP pasal 65 yang menyatakan “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”

Perjuangan menegakkan integritas tetap harus dilakukan. Tuduhan atau sangkaan tipikor kepada pengelola pengadaan, haruslah dicermati secara objektif dan proporsional. Kalau memang ada niat dan perbuatan jahat, maka biarlah hukum yang berlaku, akan tetapi apabila tidak terpenuhinya niat dan perbuatan jahat, maka tidak perlu menjadi psikopat, karena kapasitas penjara sudah overloadberlipat-lipat. Semoga menjadi kesadaran bersama, untuk menuju penegakan hukum yang bermartabat.

*) Ahli independen Pengadaan Barang

KUALITAS

TERJAMIN

SANKSI

PIDANA


(31)

27

Pengadaan

Barang Medis di

Rumah Sakit

Pembelajaran Akreditasi Internasional

Rumah Sakit

P

ada bulan Mei Tahun 2016, Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita memperoleh sertiikat akreditasi internasional rumah sakit yang penilaiannya dilakukan berdasarkan standar dari Joint Commission International (JCI) yaitu sebuah lembaga yang berpusat di Amerika Serikat yang bertugas menetapkan dan menilai standar performa pemberi layanan kesehatan.

JCI merupakan suatu lembaga independen dari luar negeri yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai pelaksana akreditasi internasional untuk rumah sakit di Indonesia sebagai upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Standar akreditasi internasional rumah sakit yang diikuti saat itu terangkum dalam edisi ke 5 Joint Commission International Accreditation Standards for Hospitals dimana ada penambahan standar dari edisi sebelumnya yaitu penilaian mengenai manajemen rantai pasokan/supply chain management

terutama mengenai barang medis seperti obat – obatan dan alat kesehatan di rumah sakit.

Penilaian untuk akreditasi international JCI dilakukan dengan metode wawancara dan penelusuran dokumen oleh surveyor. Biasanya ada beberapa surveyor yang ditugaskan dan pada saat penilaian dibagi berdasarkan keahliannya, surveyor – surveyor tersebut berasal dari manca negara dan telah mempunyai kompetensi sesuai standar JCI. Tulisan ini hanya akan menggambarkan secara garis besar tentang pengalaman dalam mengikuti penilaian akreditasi tersebut dan berbagi tentang hal – hal yang harus diperhatikan khususnya dalam pengadaan barang medis.

Sesuai dengan alur pengadaan barang/jasa maka perencanaan menjadi pembahasan yang pertama didiskusikan. Bagaimana cara memutuskan barang medis yang akan dibeli merupakan hal yang penting, yang seharusnya berdasarkan pada pelayanan dan kebutuhan pasien. Data – data seperti jenis dan jumlah barang yang harus tersedia agar pelayanan berjalan lancar,data riwayat pemakaian suatu peralatan medis, data barang yang sifatnya kritis atau rekomendasi dari organisasi profesi dapat dijadikan dasar dalam penentuan keputusan


(32)

28

pengadaan barang medis. Dalam peraturan pengadaan kita mengenal

istilah identiikasi kebutuhan, pada proses inilah data – data tersebut

seharusnya dicantumkan sehingga pengambilan keputusan pengadaan suatu barang medis dapat dipertanggungjawabkan.

Proses pemilihan penyedia barang medis juga menjadi poin yang akan dinilai pada saat survey. Di Indonesia khususnya untuk Rumah Sakit Pemerintah tentu proses pemilihan penyedia mengacu pada Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No 4 Tahun 2015.

Saat ini Pemerintah melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah memfasilitasi pengadaan obat dan alat kesehatan melalui e catalogue, penyedia yang berkontrak di e catalogue adalah produsen atau pabrikan sedangkan untuk peralatan medis yang sebagian besar masih merupakan produk import adalah importir atau distributor utama yang ditunjuk oleh pabrikan. Sedangkan untuk distribusinya masing – masing penyedia tersebut menunjuk distributor yang akan mengirimkan pesanan sesuai permintaan rumah sakit. Dengan sistem seperti ini rantai pasokan menjadi lebih pendek, legalitas dan integritas penyedia lebih terjamin dan tentu memudahkan dalam proses penelusuran suatu barang. Untuk barang medis yang belum ada di e catalogue dan dilakukan proses pelelangan yang biasanya diikuti oleh distributor sebagai penyedia maka dalam dokumen pengadaan dicantumkan persyaratan yang menjamin legalitas diantaranya surat izin Pedagang Besar Farmasi atau Pedagang Besar Alat Kesehatan dan dapat ditambahkan surat penunjukan atau LoA (Letter of Aggrement) dari pabrikan ke distributor. Agar tidak terjadi pelelangan gagal maka perlu diperhatikan pemaketannya atau dilakukan pelelangan secara itemized.

Hal lain yang penting menjadi perhatian adalah pada saat penerimaan barang, harus dapat dipastikan bahwa barang yang diterima bukan barang yang terkontaminasi, barang yang diganti atau barang palsu seperti kasus vaksin palsu yang mencuat beberapa waktu lalu. Disini sekali lagi perlu diperhatikan pentingnya pembelian barang kepada penyedia dengan rangkaian rantai pasokan yang lebih pendek, semakin panjang rantai pasokan maka semakin sulit melacak riwayat produksi suatu barang dan semakin tinggi juga resiko kesalahan atau penyalahgunaan terjadi. Cara pengiriman barang medis seperti obat dan alat kesehatan juga perlu dipastikan apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang tertera pada kemasan untuk menjamin obat atau alat kesehatan tidak rusak atau efeknya berkurang karena proses pengiriman. Pemeriksaan kemasan seperti cetakan merk dan logo,hologram,barcode atau indikator pengaman lainnya dengan teliti juga dapat mencegah diterimanya barang palsu. Bila ada keraguan dapat mengontak pabrikan dengan melacak kode barang atau batch number. Untuk menjamin mutu pengadaan barang medis maka perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan baik kepada barang medis yang dibeli, penyedia maupun proses pengadaan. Evaluasi kepada barang medis dilakukan oleh tenaga medis yang menggunakan alat sehingga didapat data terkait mutu barang medis. Data mengenai mutu barang medis menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan pengadaan barang medis. Evaluasi kepada penyedia dilakukan terkait kinerja penyedia barang antara lain ketepatan waktu dalam pengiriman barang,

kesesuaian spesiikasi barang termasuk ketepatan cara pengiriman barang dan lain – lain.

Untuk distributor obat perlu dilakukan peninjauan ke gudang penyimpanan distributor untuk memastikan bahwa obat disimpan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Proses pengadaan barang medis hendaknya menjamin keamanan dan mutu rantai pasokan, sehingga perlu dibuat standar prosedur operasional (SPO) yang mendukung hal tersebut.

Tentu banyak kendala dalam mewujudkan supply chain management yang baik dan bermutu antara lain masalah koordinasi karena banyak pihak terkait yang bertanggung jawab dalam setiap proses rantai pasokan. Komitmen kuat dari semua pihak diperlukan dengan tujuan yang sama yaitu mutu layanan dan keselamatan pasien .


(33)

29

Konsolidasi dan Keberpihakan

Pemerintah Terhadap

Usaha Mikro, Usaha

Kecil dan Koperasi Kecil

Abstrak

Keberpihakan pemerintah terhadap usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi kecil terdapat dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Skema konsolidasi tidak bertentangan dengan kebijakan tersebut karena terdapat pengembangan berupa kemitraan antara usaha non kecil dengan usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi kecil.

Kata kunci : keberpihakan, konsolidasi, kemitraan

Keberpihakan pemerintah terhadap usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi kecil salah satunya dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah dan perubahannya. Keberpihakan tersebut bentuknya antara lain berupa kebijakan umum dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dan metode pemilihan untuk memilih penyedia barang/jasa.

PEMAKETAN PEKERJAAN

Pengadaan Barang/jasa Pemerintah dimulai dengan kegiatan penyusunan rencana umum pengadaan (RUP).

Rencana umum pengadaan terdiri dari kegiatan (i) identiikasi kebutuhan B/J, (ii) Penyusunan dan menetapkan

rencana penganggaran untuk pengadaan barang/jasa, (iii) Penetapan Kebijakan Umum tentang pemaketan pekerjaan, cara pengadaan, pengorganisasian Pengadaan Barang/Jasa,dan (iv) pembuatan Kerangka Acuan Kerja.


(1)

Gambar Museum Penataran

Di sebelah museum terdapat Diaroma P4 (Pancasila) dan juga Petilasan Makam Syech Subakir, yang mana beliau adalah tokoh besar ulama Islam yang menyebarkan ajaran Islam. Selain itu terdapat wahana bermain anak seperti kolam renang, danau kecil untuk sepeda air.

Satu hal lagi di daerah Nglegok terkenal dengan hasil buah durian, jadi bagi penggemar buah durian silahkan untuk berkunjung ke daerah wisata Candi Penataran ketika musim buah durian, karena dijamin bisa menikmati buah durian sepuasnya.

Kompleks wisata Candi Penataran tidak hanya tempat wisata sejarah tapi juga tempat hiburan bagi keluarga, saudara maupun teman, ayo kunjungi Kabupaten Blitar.


(2)

46

Willem Siahaya

Penulis adalah praktisi Pengadaan dan Dosen Pascasarjana di beberapa Universitas serta Regulator Pengadaan yang tercatat sebagai Ketua Tim Ahli Penyusunan RUU Pengadaan Publik.

Sustainable

Green

Procurement

INTRODUCTION

N

ew trends of procurement require embedment of sustainability principles in the way the entire procurement

process is executed. The need to improve organizational eficiency, reduce waste, overcome supply chain

risk, and achieve competitive position has made companies to start considering environmental issues as part of state consideration and responsibility.

Sustainable procurement is an emergent concept that can improve procurement practices and enhance the sustainability performance of the industry, construction, logistics, and goods transportation. Procurement organizations are more seriously involved in designing and implementing sustainable green procurement policies, focusing on environmental issues can be integrated in the procurement activities.

Sustainable procurement, green procurement, environmental, supply chain, ethical practices. Sustainable procurement is an emergent concept that can improve procurement practices and enhance the sustainability performance.

Green procurement is the activities with the intentions of having the environmentally friendly products and services the selection of partners, and the setting of environmental requirements. In addition, it aims to build

perceptions of procurement professionals on the beneits of using sustainable green procurement in doing

business.

Green procurement steams from pollution prevention principles and activities. Green procurement policies are applicable to all organizations, regardless of size. Its programs may be as simple as procuring renewable

energy, recycled ofice paper or more involved such as setting environmental requirements for all procurement

people involved. The obstacles to implementing a green procurement program include lack of readily available environmental friendly products, expensive or zero environmental alternatives, and lack of organizational support.

POLICY

The policy for sustainable green procurement should be carefully evaluated and the results are important

to improve the approaches in regards to the costs and beneits. The organization should have suficient

special knowledge to new effective methods when assessing procurement for sustainable green procurement implementation. The imployees should be equipped with the competencies of designing and managing


(3)

contracts by trainings of after sales service and human resources to perform functional and environmental to be able to have the end product and verify contract performance.

The policy of sustainable green procurement application consists of:

1. Compliance to all relevant regulatory compliance requirements.

2. Procuring minimum of hazardous or toxic substances.

3. Procuring extended product life of recycled content.

4. Encouragement of lesser consumption of resources like energy, water and other natural resources.

5. Extended producer responsibility of environmental. 6. Recyclable packaging.

7. Certiication for environment products.

PROGRAM

The following are the steps in implementing sustainable green procurement program:

1. Establish organizational support to change the policy and procedure in order to be successful in implementing this program.

2. Implement self-evaluation to evaluate the present procurement practices.

3. Set goals policy on on speciic priorities and

targets.

4. Develop strategy to identify and implement changes, both short and long-term, identify suitable products and services, and evaluate the environmental performance of vendors.

5. Run a pilot project to provide practical experience in procuring green products and services, by applying green procurement principles to a

speciic product or service.

6. Assign the accountability plus a well designed communications plan addressing employees, customers, investors, vendors, and the public. 7. Sustain all business practices. It is important

that a systematic review of the sustainable green procurement program be carried out, in order to establish whether the scheme is meeting the goals and objectives.

TECHNOLOGY

Some of the technologies that have helped in

sustainable green procurement are: 1. e-Procurement systems

Good procurement processes rely on information exchange and the e-procurement or procure-to-pay platforms are the best bet to ensure the right information is available at the right time.

2. e-Sourcing

Companies, during the evaluation of vendors of any key commodity, are progressively engaging in developing information to identify and investigate

vendors by using green technologies to beneit

the environment. 3. Contract management

The use of contract management solution helps to implement mandatory eco-friendly clauses during the authoring of the contract and tracks the milestones attached to such an agreement.

GOALS

Environmentally preferable procurement is the selection of products and services that have a lesser or reduced impact on the environment over the life-cycle of the products or services when compared with competing products or services serving the same purpose.

The environmental performance goals include:

1. The reduction of greenhouse gas emissions and

air contaminants; improved energy and water eficiency.

2. Reduced waste and support of reuse and recycling. 3. The use of renewable resources.

4. Reduced hazardous waste.

5. Reduced toxic and hazardous substances.

Environmentally preferable procurement involves the selection of goods and services that positively impact or have less harmful consequences for the environment than traditional products. Sustainable green procurement is dedicated to helping customers meeting their procurement goals by providing environmentally preferable procurement contracts.

IMPLEMENTATION

Environmentally responsible or sustainable green procurement is the selection of products and services that minimize environmental impacts. It requires company to carry out an assessment of the environmental consequences of a product


(4)

48

and consider the costs of securing raw materials, manufacturing, transporting, storing, handling, using, and disposing of the product.

Green procurement can offer cost savings. In particular, procure green usually involves products that are easily recycled, last longer or produce less waste.

IMPLICATIONS

Sustainable green procurement should consider the environmental, social and economic consequences of design non-renewable material use, manufacture and production methods, logistics, delivery, operations, maintenance, recycling options, disposal, and vendor capabilities to address consequences throughout the supply chain.

The general implications of sustainable green procurement are:

1. Emphasis on development and operation of environmental procurement policies across all business partners. Key performance measures reduction in wastes, reduction in emissions, new products developed but which can be recycled. 2. Increasing intervention of the government

in ensuring minimization of the impact of business activities on the environment through environmental regulations.

3. Increased need to create stakeholder awareness on the issues of sustainability procurement practices.

4. Increasing need to use costing approaches that accommodate environment related activities and costs.

5. Process low analysis especially at product design

and evaluation.

BENEFITS

Green procurementis not just the process of buying goods and services that are environmentally friendly, but also a way of providing a sustainable process that ensures the continuity of supply chain. This includes choosing the vendors who provide materials that are less harmful to human and society. Procurement needs to consider both the environmental aspects, potential social impacts, and also carefully evaluate the life-cycle assessment of goods and services in order to decide upon possible dumping and recycling alternatives for each component.

The beneits of sustainable green procurement are:

1. Increase business sustainable goods and services

from responsible vendors, enhance reputation, increase customer loyalty, and attract new customers.

2. Improve reputation management with vendor or country with a poor environmental, social and ethical record.

3. Improve access to capital investors and lenders look to a country’s social, environmental and governance performance.

CONCLUSION

Sustainable green procurement gives a higher priority to materials with lower environmental impact to expand the market of green products, promotes the development of environmentally friendly products, and raises environmental awareness among vendors and others who are involved in the supply chain. Therefore, all related parties should consider sustainable green procurement and ethical practices in the perspective of countries in the future. More empirical sustainable green procurement practices to such related practices as green industry, green logistics, green transportation, green warehousing among others also need to be considered urgent. ____________________________________________________ Buku Procurement Management ini merupakan cetakan ketiga Oktober 2016 yang mengalami revisi disesuaikan dengan kemajuan Pengadaan dan Teknologi. Buku ini merupakan Buku Wajib di beberapa Perguruan Tinggi dan sebagai pedoman kerja di dunia bisnis dan sebagai referensi bagi pejabat pembuat kebijakan Pengadaan.

Tersedia di Toko Buku Gramedia dan Gunung Agung.


(5)

AGENDA

IAPI

Pontianak

Kalimantan Barat

18-19 Agustus ‘17

Medan

Sumatera Utara


(6)

50

Keluarga Besar

IAPI

Mengucapkan Selamat Hari Raya

Idul Fitri 1438H

Mohon Maaf Lahir Batin

Minal Aidin Wal Faizin

Taqobbalahuminna Waminkum

IKATAN AHLI PENGADAAN INDONESIA

IAPI