Edisi 5 Majalah PA Edisi 5

(1)

MAJALAH

EDISI 5 | DESEMBER 2014

www.badilag.net

Seperempat

Undang-Undang Peradilan Agama

WAWANCARA KHUSUS:


(2)

KELUARGA BESAR

DIREKTORAT JENDERAL BADAN PERADILAN AGAMA

MAHKAMAH AGUNG RI

ATAS PELANTIKAN YANG MULIA:

Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H

Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H

Is Sudaryono, S.H., M.H.

Sudrajad Dimyati, S.H., M.H.


(3)

LIPUTAN KHUSUS:

Seperempat Abad Undang-Undang Peradilan Agama

H. ANDI SYAMSU ALAM

Sosok Yang Bernas, Relijius, Dan Pasrah Total

DR. H. PURWOSUSILO, S.H., M.H.: Hikmah Bisa Datang Dari Siapa Saja

PA INSPIRATIF

Raih ISO, PA Stabat Jadi Hebat

DAFTAR ISI ... 1

SALAM REDAKSI ... 2

EDITORIAL ... 3

LIPUTAN KHUSUS ... 4

FENOMENAL ... 30

ANOTASI PUTUSAN ... 37

PUTUSAN MANCANEGARA ... 43

OPINI ... 52

WAWANCARA KHUSUS ... 60

PROGRAM PRIORITAS ... 66

SOSOK ... 68

POSTUR ... 76

KISAH NYATA ... 78

PA INSPIRATIF ... 80

IBRAH ... 84

AKTUAL ... 87

INSIGHT ... 91

EKONOMI SYARIAH ... 99

JINAYAH ... 102


(4)

DEWAN PAKAR :

Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Dr. H. Ahmad Kamil, S.H., M.Hum.

Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum. Dr. H. Habiburrahman, S.H., M.Hum. Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H. M.H. Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H.

PENASEHAT :

Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H.

PENANGGUNG JAWAB:

H. Tukiran, S.H., M.M.

REDAKTUR SENIOR :

Drs. H. Hidayatullah MS, M.H. Dr. H. Hasbi Hasan, S.H., M.H. Dr. H. Fauzan, S.H., M.M., M.H. Drs. Abd. Ghoni, S.H., M.H. Arief Gunawansyah, S.H., M.H. H. Arjuna, S.H., M.H. Dr. Abu Tholhah, M.Pd. Hirpan Hilmi, S.T. Asep Nursobah, S.Ag., M.H.

REDAKTUR PELAKSANA :

Achmad Cholil, S.Ag., LL.M.

REDAKTUR:

Rahmat Arijaya, S. Ag., M.Ag. Hermansyah, S.HI.

Mahrus Abdurrahim, Lc., M.H. Candra Boy Seroza, S.Ag., M.Ag. Achmad Fauzi, S.HI.

Ade Firman Fathony, S.HI., M.SI. Dr. Ahmad Zaenal Fanani, S.HI., M.SI. Alimuddin, S.HI., M.H.

Edi Hudiata, Lc., M.H. M. Isna Wahyudi, S.HI. M.SI. Mohammad M. Noor, S.Ag.

DESAIN GRAFIS/FOTOGRAFER: Ridwan Anwar, S.Kom

Iwan Kartiwan, S.Kom

DITERBITKAN OLEH:

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI

ISSN 2355-2476 ALAMAT REDAKSI:

Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI lt.6 Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 bypass Cempaka Putih, Jakarta Pusat

Telp. (021) 290 79277; Fax. (021) 290 79211 Email: redaksi@badilag.net

www.badilag.net

Seperempat

Undang-Undang Peradilan Agama

WAWANCARA KHUSUS:

Sekretaris MA RI (H. Nurhadi, S.H., M.H.)

ISSN 2355-2476

9 772355 247DD3

Assalamu’alaikum wr. wb.

Untuk mendapatkan sesuatu, kita harus kehilangan sesuatu.

Ada beberapa momen spesial pada semester kedua tahun ini. Pada bulan September, Pak Purwosusilo memungkasi pengabdiannya sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA, kemudian menjadi hakim agung. Sebulan setelah itu, Pak Andi Syamsu Alam khatam sebagai Ketua Kamar Agama MA. Di antara dua momen itu, ada momen spesial lain, yakni Peringatan Tahun Undang-Undang Peradilan Agama. Acara ini diselenggarakan Badilag di Bandung.

Majalah Peradilan Agama edisi ke- ini mestinya hadir lebih awal. Namun karena satu dan lain hal, publikasinya jadi mundur. Meski tidak sesuai jadwal, ada hikmah yang kita peroleh: Majalah ini jadi lebih berisi karena momennya pas. Desember adalah masa transisi dari tahun lama ke tahun baru.

Karena itu, di samping menyuguhkan ulasan perihal Undang-Undang Peradilan Agama yang telah berusia seperempat abad dan mengalami perubahan dua kali, majalah ini juga menyajikan ulasan-ulasan yang bersifat review sekaligus preview terhadap dinamika peradilan agama tahun ini dan tahun depan.

Kami punya kabar baik. Seiring dengan tampilan baru badilag.net, penempatan majalah Peradilan Agama versi digital di situs tersebut akan diubah sehingga akan lebih gampang diakses, lebih mudah ditelusuri dan terarsipkan lebih baik.

Di samping itu, pimpinan Badilag juga telah berkomitmen untuk terus melanjutkan publikasi majalah ini versi cetak pada tahun-tahun mendatang. Bahkan mulai tahun , oplah majalah ini akan diperbanyak.

Tentu menjadi tantangan buat kami, Tim Redaktur, untuk memberikan kabar baik lainnya berupa meningkatnya kualitas majalah ini, baik dari segi konten maupun desain. Percayalah, di tengah himpitan kesibukan di tempat kerja kami yang terpencar-pencar di seantero nusantara, kami selalu berikhtiar untuk memberikan sajian berbobot dan bernilai guna buat pembaca sekalian.

Selamat membaca dan selamat tahun baru!

Kabar Baik


(5)

D

ua puluh lima tahun yang lalu, tepatnya tanggal Desember Undang-Undang Tentang Peradilan Agama UU Nomor Tahun diundangkan dan disahkan. Kelahiran Undang-Undang yang berisi bab dan pasal ini menandai tonggak sejarah baru bagi perjalanan dan eksistensi peradilan agama di )ndonesia.

Meskipun sudah dua kali diamandemen dengan Undang-Undang Nomor Tahun dan Undang-Undang Nomor

Tahun , banyak pakar menyebut Undang-Undang ini sebagai aturan dasar terpenting bagi peradilan agama sehingga menghantarkan peradilan )slam ini sampai pada kondisinya yang terkini. Tim Lindsey, misalnya, menyebut UU No. / sebagai The Foundational Law of the Religious Courts.

UU No. / juga dianggap sebagai awal modernisasi peradilan agama. Ya, karena sejak Desember itulah peradilan agama berdiri sejajar dengan pengadilan negara lainnya di )ndonesia. )ni ditandai, salah satunya, dengan tidak diperlukannya pengukuhan dari pengadilan negeri atas putusan pengadilan agama untuk keperluan eksekusi. Peradilan agama bukan lagi quasi pengadilan. )a benar-benar menjadi pengadilan yang mandiri penuh.

Dulu, sebelum dan sistem satu atap, peradilan agama serba terbatas. Sarana dan infra strukturnya terbatas, SDM nya terbatas, Kewenangannya terbatas, dan tentu saja anggarannya terbatas.

Kini setelah dua puluh lima tahun berjalan, banyak perubahan yang terjadi. Banyak pencapaian yang sudah

ditorehkan. Sejumlah inovasi terus dikembangkan. Kemajuan peradilan agama semakin pesat paska diberlakukannya sistem satu atap one-roof system di

bawah Mahkamah Agung yang diundangkan sejak walaupun untuk peradilan agama mulai efektif berlaku lima tahun kemudian.

Atas dukungan penuh pimpinan Mahkamah Agung, peradilan agama masa kini semakin modern. Reputasinya dalam hal reformasi peradilan, pelayanan publik, keterbukaan informasi, dan penguatan akses terhadap keadilan sudah dikenal luas tidak hanya untuk tingkat nasional tetapi juga di kalangan dunia internasional.

Peradilan agama kini tidak bisa lagi dikatakan sebagai peradilan yang khusus hanya menangani sengketa hukum keluarga )slam. Kewenangannya dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah dan perkara jinayah di mahkamah syar iyah menjadikan lembaga peradilan ini unik dibandingkan pengadilan sejenis di dunia.

Tantangan peradilan agama ke depan semakin berat. Dengan jumlah pengadilan tingkat pertama sebanyak pengadilan, pengadilan tingkat banding, . hakim,

. tenaga kepaniteraan, tenaga kejurusitaan dan . tenaga kesekretariatan, tak pelak dibutuhkan perhatian dan kerja keras dari seluruh elemen untuk menjadikan peradilan agama semakin maju dan modern.

Dengan kemantapan hati dan kesungguhan bekerja, kita yakin peradilan agama akan terus mampu memberi kontribusi positif demi mewujudkan Mahkamah Agung sebagai badan peradilan yang agung. []

25 Tahun Evolusi

Peradilan Agama


(6)

Jalan Panjang

Merengkuh Eksistensi

29 Desember 1989 adalah tanggal yang sangat bersejarah

bagi peradilan agama dengan disahkannya Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989. 25 tahun sudah sejak lompatan besar

itu terjadi, eksistensinya dahulu dan kini menarik dikaji.

Dr. (. Purwosusilo, S.(., M.(. saat memberikan sambutan pada Peringatan Tahun Undang-Undang Peradilan Agama di Bandung, Rabu


(7)

C

ikal bakal lahirnya peradilan agama berawal dari lembaga

tahkim. Lembaga ini sudah ada

tidak lama setelah )slam masuk ke penjuru nusantara pada abad ke- Masehi. Tahkim adalah lembaga

infor-mal bagi orang-orang yang berseng-keta dengan menunjuk dan memberi-kan kepercayaan kepada seseorang untuk memecahkan kesulitan dan sepakat menerima keputusan yang dibuat oleh orang tersebut.

Melalui lembaga tahkim inilah

masyarakat Muslim di nusantara menyelesaikan berbagai sengketa ter-kait perkawinan, shadaqah dan waris yang timbul di antara mereka Nur-laelawati, : . Model penyele-saian perselisihan ini dikategorikan paling sederhana dan menjadi tong-gak awal perkembangan peradilan agama.

Tradisi tahkim ini kemudian beralih

ke dalam bentuk pendelegasian wewenang kepada ulama otoritatif atau dikenal dengan istilah tauliyah ahl al halli wa al aqdi. Ulama diberi

wewenang untuk menunjuk seorang

qadi yang bertugas menyelesaikan

masalah-masalah keluarga di antara orang-orang Muslim di daerah yang tidak berada di bawah kekuasaan raja atau sultan, seperti di Aceh.

Sedangkan di daerah yang berada di bawah kekuasaan raja atau sul-tan, seorang qadi ditunjuk langsung

oleh raja atau sultan yang disebut

tauliyah al imam. Seperti di Samudra

Pasai yang pada saat itu diperintah oleh Raja Sultan Malik al-Salih Nur-laelawati, : . Di Jawa, Madura dan Sumatera Selatan, qadi disebut

de ngan nama pengulu atau penghulu,

di Aceh dikenal sebutan qadi Malikun

Ade, di Sulawesi disebut kali, di Kali-mantan dan Ternate dikenal sebutan

qadi (isyam, : .

Terbukanya keran otoritas kesul-tanan di bidang peradilan tersebut

menjadi peluang bagi kerajaan-kera-jaan )slam nusantara untuk mema-sukkan ajaran dan orang )slam pada peradilan pradata yang notabene menjadi perkara urusan raja. Pada pemerintahan Sultan Agung di Mata-ram - , misalnya, meski kekuasaan peradilan tetap di ta ngan sultan, namun dalam praktiknya dilaksanakan oleh penghulu yang didampingi oleh ulama pesantren. Siasat yudisial kesultanan tersebut pada akhirnya berhasil mengkon-versi nomenklatur peradilan pradata menjadi Pengadilan Surambi Zuffran Sabrie ed. , : .

Selain bertugas sebagai hakim dari Peradilan Surambi, penghulu bertang-gung jawab sebagai penasihat

spiri-tual terhadap sultan. (al ini menun-jukkan bahwa kekuasaan hukum masih berada di tangan pengu asa. Penghulu bertindak atas nama pengu-asa dan pengupengu-asa merupakan sumber legitimasi Nurlaelawati, : .

Sepanjang masa kerajaan-kera-jaan )slam telah berdiri beberapa per-adilan )slam dengan beragam nama seperti Pengadilan Agama di Cire-bon, Priangan, dan Banten, Mahka-mah Syar iyyah di kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Sulawesi. Termasuk Deli, Asahan, Langkat, dan )ndragiri, Peradilan Qadi di Kerajaan Banjar dan Pontianak di Kalimantan. Dengan demikian, peradilan agama

memi-liki kedudukan sangat kuat di tengah masyarakat karena secara kelem-bagaan maupun sistem peradilannya memperoleh legitimasi dari kerajaan )slam. Kelembagaan sistem peradi-lan agama merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan keseluruhan sistem pemerintahan raja di wilayah kekuasaannya.

Namun, corak hubungan )slam dengan kesultanan yang berkelin-dan akrab tersebut di kemudian hari sedikit banyak menimbulkan resis-tensi bagi kolonial Belanda. Sejak Jean Piterszoon Coen berhasil merebut Jakarta pada Mei , Pemerintah (india Belanda menghendaki hukum yang berlaku di negerinya diberlaku-kan di )ndonesia. Adiberlaku-kan tetapi rencana tersebut ditentang keras oleh umat )slam karena peradilan agama telah menjadi simbol kedaulatan hukum )slam. Akhirnya, pemerintah (india Belanda mengeluarkan Statuta Bata-via tahun yang secara formal menerima penerapan hukum )slam oleh masyarakat Muslim dan mengi-zinkan pengadilan agama untuk terus berlaku.

Pada saat yang sama, Belanda mengusulkan kompilasi hukum )slam, sebagai tindak lanjut Statuta Batavia, sebagai pedoman bagi para

qadi atau penghulu dalam membuat

putusan terkait masalah-masalah hukum keluarga Muslim. Ada dua kompilasi hukum )slam yang populer dan berhasil disusun oleh pejabat Belanda, yaitu Compendium van Clookwijck, yang dihasilkan atas usaha

Clookwijck, Gubernur Sulawesi tahun - dan Compendium Freijer

yang proses penyusunannya dimulai sejak Gubernur Jenderal Jacob Mossel tahun dan diproduksi oleh Freijer pada , setelah berkonsultasi dengan penghulu, ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat. Pada tahun juga dibuat sebuah kompilasi hukum

Melalui lembaga

tahkim

masyarakat Muslim di

nusantara menyelesaikan

berbagai sengketa terkait

perkawinan, shadaqah

dan waris yang timbul


(8)

)slam di Semarang yang diberi nama

Mogharraer Nurlaelawati, : .

Pasang surut perjuangan mereng-kuh eksistensi peradilan agama ber-jalan cukup panjang dan berliku. Dimulai dari sebuah gerakan kultural, representasi peradilan )slam ini juga memanfaatkan pengaruh kekuasaan pada pusat-pusat kerajaan )slam. Wajar jika upaya-upaya merongrong atau bahkan melenyapkan peradi-lan agama dari panggung nusantara kerap menghadapi batu sandungan. Sebab, peradilan agama memiliki akar historis dan sosiologis yang kuat.

Pemikiran politik Lodewijk Wil-lem Cristian Van Den Berg juga memi-liki kontribusi bagi penguatan eksis-tensi Peradilan Agama. Teori receptio in complexu yang dikembangkan

memposisikan hukum yang berlaku di nusantara mengikuti agama yang dia-nut. Jika masyarakat beragama )slam maka hukum )slamlah yang berlaku baginya. Pendapat ini didukung oleh peraturan perundang-undangan (in-dia Belanda melalui pasal , dan

Regerings Reglement . Van Den Berg memiliki dasar pemikiran yang berpijak pada realita historis dan kenyataan sosiologis bahwa umat )slam tidak bisa dipi-sah kan dengan hukum agamanya. Sehingga, pemikiran inilah yang men-dorong pemerintah (india Belanda mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura sebagai suatu badan peradilan yang terkait dengan sistem ketatanegaraan. (al ini berdasarkan

Keputusan Raja Belanda Raja Willem ))) tanggal Januari Nomor yang dimuat dalam Staatsblad Nomor .

Keputusan ini dinyatakan berlaku dan menjadi tanggal kelahiran Pera-dilan Agama di )ndonesia tanggal Agustus yang dimuat pada Sta-atsblad No. . Namun patut diingat, meskipun pasal Staatsblad No. menyatakan bahwa di sam-ping setiap Landraad Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura diadakan satu pengadilan agama yang wilayah hu kumnya sama dengan wilayah hukum Landraad, namun sesungguh-nya peraturan ini hasesungguh-nyalah pengu-kuhan resmi terhadap sesuatu yang telah ada di masyarakat.

Berdasarkan Staatsblad

No. , struktur pengadilan agama terdiri dari seorang penghulu sebagai pimpinan, dibantu setidaknya tiga dan paling banyak delapan orang yang menguasai hukum )slam sebagai anggota, yang ditunjuk oleh gubernur jenderal. Pengadilan agama hanya dapat mengeluarkan putusan jika persidangan diikuti setidaknya oleh tiga anggota, dengan syarat penghulu harus bertindak sebagai ketua majelis. Pengadilan agama juga berada di bawah otoritas landraad peradilan

umum , karena Pengadilan agama bergantung kepada pengadilan umum dalam hal pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan tugasnya, penghulu berada di bawah bupati. Otonomi pengulu dapat disalahi oleh posisi superior bupati. Dalam kenyataan, para penghulu menjadi pembantu bupati dengan tugas khusus mengatur praktik keagamaan

Nurlaelawati, : .

Pembonsaian Peradilan Agama

Penetrasi pemerintahan (india Belanda belum sepenuhnya berakhir. Siasat agar putusan pengadilan

agama berada di bawah subordinasi pengadilan biasa terus digencarkan. Adalah Cornelis Van Vollenhoven sebagai orang yang memperkenalkan hukum adat )ndonesia dan Christian Snouck (ourgronje melalui teori

receptie yang menentang teori receptio in complexu.

Kedua sosok ini menggulirkan suatu pandangan bahwa hukum yang berlaku bagi umat )slam adalah hukum adat masing-masing. (ukum )slam dapat berlaku jika telah diresepsi oleh hukum adat. Teori ini membawa perubahan dramatis yang mengancam eksistensi dan menggiring peradilan agama sebagai lembaga quasi peradilan semu .

Berdasarkan teori receptie, Pasal

dan RR atau Staatsblad No. yang mengakui penerapan hukum )slam diganti dengan Pasal

).S yang menyatakan bahwa seandainya kasus-kasus perdata timbul di antara orang-orang Muslim, kasus-kasus tersebut disidang oleh Pengadilan Agama menurut hukum )slam selama sesuai dengan hukum adat, jika tidak ada hukum lain yang mengatur kasus-kasus tersebut. Tak pelak, perkara kewarisan yang pada awalnya menjadi kompetensi pengadilan agama dinyatakan dicabut dan diserahkan ke peradilan umum dengan pertimbangan hukum waris )slam belum menjadi hukum adat.

Timbulnya aliran hukum adat di kalangan ahli hukum Belanda yang dipelopori Van Vallenhoven yang kemudian estafetnya dilanjutkan oleh Prof. Ter (aar telah menginjeksi cara pandang yang kerdil pemerintah (india Belanda dalam melihat peradilan agama. Sehingga, dilakukan upaya pembonsaian kompetensi dengan beberapa pertimbangan. Pertama, terjadi dualisme peradilan yang memakan waktu dan biaya. Kedua, putusan peradilan agama

Keputusan Raja Belanda Raja Willem III tanggal 13 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad 1882 Nomor 152 menjadi tanggal kelahiran Peradilan Agama di Indonesia tanggal 1 Agustus 1882 yang dimuat pada Staatsblad No. 152


(9)

dianggap asing dari cara waris-mewaris yang menjadi kesadaran hukum masyarakat Peradilan Agama di )ndonesia, : . Alasan inilah yang melahirkan Staatsblad Nomor sehingga kewenangan peradilan agama dikerangkeng sebatas bidang perkawinan saja.

Terlepas dari upaya reduksi kompetensi pengadilan agama oleh pemerintah (india Belanda, selama masa penjajahan Belanda, terdapat beberapa produk hukum yang me nguntungkan bagi eksistensi pe ngadilan agama antara lain: Sta-atsblad No. tentang pem-bentukan Mahkamah )slam Tinggi di Jawa dan Madura, Staatsblad No. dan tentang pembentu-kan Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar di Kalimantan Selatan.

Selama masa penjajahan Jepang, peradilan agama tetap dipertahankan meski hanya berganti nama dengan sebutan bahasa Jepang: Sooryoo (ooin untuk pengadilan tingkat pertama dan Kaikyoo Kooto untuk pengadilan tingkat banding. Peradilan agama sempat terancam ketika Jepang mengajukan pertanyaan kepada

Dewan Pertimbangan Agung perihal kedudukan agama )slam di Negara )ndonesia kelak.

Dewan memberikan pertimba-ngan bahwa dalam negara baru yang memisahkan agama dan negara tidak memerlukan pengadilan agama se bagai pengadilan istimewa. Cukup urusan seseorang yang bersang-kut paut degan urusan agamanya di serahkan kepada pengadilan biasa yang dapat meminta pertimba-ngan ahli agama. Untungnya, ketika kemerdekaan Agustus

diproklamirkan, Dewan Pertimba-ngan Agung buatan Jepang mati sebelum lahir. Sehingga peradilan agama tetap eksis. Peradilan Agama di )ndonesia; Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya. Departemen Agama, : .

Penguatan kelembagaan

Setelah )ndonesia merdeka, ber-dasarkan Pasal )) Aturan Peralihan UUD keberadaan lembaga pera-dilan agama dipertahankan. Saat itu pembinaan peradilan agama di bawah kementerian kehakiman. Namun,

dengan terbentuknya Kementerian Agama pada Januari , atas per-mintaan Menteri Agama pada saat itu, (.M. Rasyidi, pembinaan pera-dilan agama dilakukan oleh Kemen-terian Agama berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor /S.D tanggal Maret Riadi, : .

Di era kemerdekaan eksistensi peradilan agama juga mengalami pasang surut. (al ini ditandai dengan lahirnya UU No. Tahun ten-tang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman. Pasal UU No.

Tahun menegaskan bahwa dalam Negara Republik )ndonesia hanya ada tiga lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, dan Peradilan Ketentaraan. UU tersebut melebur Peradilan Agama ke dalam Peradilan Umum.

Berdasarkan Pasal ayat dinyatakan bahwa perkara-perkara perdata antara orang )slam menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, kemudian harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang hakim

Craig Ewers, Team Leader A)PJ baju biru ikut menghadiri acara peringatan Tahun Undang-Undang Peradilan Agama di Bandung / .


(10)

beragama )slam sebagai ketua, dan dua orang hakim ahli agama )slam sebagai anggota Riadi, : . Namun, UU ini tidak pernah berlaku.

Lahirnya UU Darurat Nomor Tahun kembali meneguhkan eksistensi peradilan agama. Pasal ayat UU tersebut menyatakan keberlanjutan peradilan agama akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut ketentuan pasal tersebut, terbit Peraturan Pemerintah PP No. Tahun tentang Pem-bentukan Mahkamah Syar iyyah di Aceh. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah No. Tahun tentang Pembentukan Pengadi-lan Agama/Mahkamah Syar iyyah di Luar Jawa dan Madura. Kemudian ter-bit Surat Keputusan Menteri Agama No. Tahun tentang pemben-tukan pengadilan agama di Sumatera, termasuk Aceh.

Surat Keputusan tersebut secara otomatis membatalkan Peraturan Pemerintah No. Tahun . Menteri Agama juga menerbitkan Surat Keputusan No. Tahun

tentang pembentukan Pengadilan Agama di Kalimantan dan Surat Keputusan No. Tahun tentang pembentukan Pengadilan Agama di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan )rian Barat.

Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura memiliki kompetensi yang lebih luas meliputi kewarisan. Rujukan hukum yang digunakan oleh hakim-hakim pengadilan agama berupa kitab-kitab fikih yang terdiri dari kitab fikih berdasarkan Surat Edaran Menteri Agama No. B/)/ / . Ketiga belas kitab fikih tersebut merupakan fikih mazhab Syafi iyah, kecuali kitab Fiqh Ala Mazhahib al-Arba ah Nurlaelawati,

: - .

Dengan terbitnya PP No. Tahun keberadaan peradilan agama semakin kokoh. Bahkan, kedudukan peradilan agama dianggap setara dengan peradilan lain yang ada di )ndonesia sebagaimana termaktub dalam UU Nomor Tahun yang disempurnakan dengan UU Nomor Tahun tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Disebutkan bahwa Peradilan Negara Republik )ndonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan empat lingkungan peradilan: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan tata usaha negara.

Persoalannya, paradigma hukum kolonial yang berabad-abad ditanam-kan masih menjadi bayang-bayang hitam yang mengganggu cara pan-dang sebagian masyarakat. Meski )ndonesia telah merdeka secara poli-tik, namun cara berfikirnya masih terjajah. Akibatnya, produk legislasi tidak bisa sepenuhnya keluar dari patron doktrinasi kolonial. Sebut saja UU Nomor Tahun ten-tang Perkawinan, meski mengatur yurisdiksi pengadilan agama, namun pasal ayat menyebutkan bahwa setiap putusan pengadilan agama tetap harus melalui proses penguku-han eksekusi executoir verklaaring

dari peradilan umum.

Selain masalah ketergantungan Pengadilan Agama kepada Peradilan Umum, UU Perkawinan juga secara

Dirjen Badilag MA R) memberikan penghargaan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar iyah berprestasi yang diwakili oleh para ketuanya pada peringatan Tahun Undang-Undang Peradilan Agama.


(11)

tidak langsung mengakibatkan sebuah pertentangan kekuasaan antara Kementrian Agama dan Mahkamah Agung. (al ini bermula ketika perluasan yurisdiksi Pengadilan Agama melalui UU Perkawinan telah mengakibatkan peningkatan perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama, yang mengantarkan para pihak untuk mengajukan upaya hukum hingga ke tingkat kasasi.

Pada tahun , Mahkamah Agung telah mengeluarkan peraturan untuk mengatur prosedur pemerik-saan dan putusan terhadap perkara-perkara yang mengajukan upaya hukum dari pengadilan agama secara lebih efisien. Akan tetapi, meski UU No. tahun secara implisit menyatakan bahwa perkara-perkara pengadilan agama dapat dibawa ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Kementerian Agama masih memper-tahankan peraturan yang berlaku. Putusan banding dari Pengadilan Agama tingkat banding bersifat final. Akhirnya, atas kerja sama kedua lem-baga, pada dibentuk kamar per-data agama dengan menunjuk enam hakim Agung yang beragama )slam untuk menduduki kamar perdata agama, satu di antaranya bertugas sebagai ketua kamar Nurlaelawati,

: - .

Perkembangan pengadilan agama selanjutnya terkait dengan masalah nomenklatur. Untuk menghindari keragaman nama pengadilan agama, pada Kementerian Agama mengeluarkan Surat Keputusan No. tahun tentang standardisasi nama Pengadilan Agama. Surat keputusan tersebut kemudian diratifikasi sebagai Peraturan No. tahun . Berdasarkan peraturan tersebut, peradilan agama tingkat pertama bernama Pengadilan Agama, dan untuk peradilan tingkat banding bernama Pengadilan Tinggi Agama.

Momentum penting terjadi pada tahun . Melalui pembahasan alot dan gesekan luar biasa hebat di kala ngan agamawan dan penga-mat hukum, lahirlah UU No. Tahun

tentang Peradilan Agama. Ada-pun poin penting dari UU No. tahun

adalah pencabutan pasal ayat UU Nomor tahun , sehingga pengadilan agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilakukan oleh jurusita. Di samping itu, kompe-tensi absolut, kedudukan dan hukum acara yang berlaku di lingkungan pera dilan agama semakin jelas.

Lahirnya UU No. tahun

sejatinya terjadi ketika momentum relasi pemerintah dan umat )slam berjalan seirama. Pemerintah sangat akomodatif terhadap keinginan umat )slam yang mendambakan undang-undang peradilan agama karena motifnya untuk mencari simpati dan dukungan. Ketika itu terjadi peris-tiwa besar Revolusi )slam )ran

tahun yang merupakan simbol kebangkitan )slam dunia, sehingga pemerintah khawatir revolusi terse-but secara politik resonansinya mem-pengaruhi kekuatan politik Soeharto.

Reformasi hukum

Gelombang reformasi menghem-buskan angin perubahan. Termasuk reformasi di bidang hukum. Tuntu-tan reformasi menghendaki adanya pemisahan kekuasaan eksekutif,

legis latif dan yudikatif. Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas campur tangan pihak manapun. Maka dari itu, aman-demen ketiga UUD oleh MPR pun dilakukan.

Pasal ayat UUD hasil amandemen menyebutkan bahwa lingkungan peradilan agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan keha-kiman di )ndonesia di bawah MA. Arti-nya, sejak konstitusi mengamanatkan penyatuatapan lembaga peradilan di bawah MA, maka peradilan agama secara otomatis keluar dari bayang-bayang eksekutif yakni Departe-men Agama sekarang KeDeparte-menterian Agama .

Memenuhi tuntutan reformasi hukum, amandemen juga dilaku-kan dengan mengubah UU Nomor

tahun menjadi UU Nomor tahun tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden Nomor tahun tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finan-sial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung.

Agar terwujud harmonisasi hukum, UU No. tahun juga diubah menjadi UU Nomor tahun tentang Peradilan Agama. Melalui undang-undang ini pera-dilan agama di samping diberikan kewenangan baru di bidang eko-nomi syariah, dalam hal kewenangan menyangkut sengketa keperdataan sudah tidak bersinggungan dengan peradilan umum. Selain itu, nomen-klatur Mahkamah Syariah sebagai pengadilan khusus dalam Lingkungan Peradilan Agama juga diatur dalam UU No. tahun sebagai derivasi dari Pasal ayat UU No. tahun

.

Achmad Fauzi, Ahmad Zaenal Fanani, M. Isna Wahyudi, Mahrus

Momentum penting terjadi

pada tahun 1989. Melalui

pembahasan alot dan

gesekan luar biasa hebat

di kalangan agamawan dan

pengamat hukum, lahirlah

UU No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama.


(12)

K

einginan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung sudah diperjuangkan oleh para aparatur peradilan agama sejak tahun -an. Namun sebelum itu, upaya untuk memperkokoh institusi peradi-lan agama sudah ada sejak masa kera-jaan )slam masuk di nusantara.

Redaksi mencatat, pada masa pra kolonial dan kerajaan-kerajaan )slam tidak lepas dari masuknya agama )slam ke Nusantara ini. Pada abad ke- . Penerapan hukum )slam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu melainkan juga diterapkan masalah-masalah muamalah, munakahat, danuqubat

Dalam hal penyelesaikan masalah muamalah, munakahat, dan uqubat

diselesaikan melalui Peradilan Agama. Walaupun secara Yuridis lembaga Peradilan Agama belum ada, tetapi dalam praktiknya telah ada penerapan Peradilan Agama dalam proses penyelasaian perkara-perkara tersebut.

Periodesasi peradilan )slam di )ndonesia sebelum datangnya

peme-rintahan kolonial Belanda terbagi menjadi tiga periode, yaitu periode tahkim. Pada awal masa )slam datang

ke-)ndonesia, komunitas )slam sa ngat sedikit dan pemeluk )slam masih belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan )slam. Bila timbul permasalahan, mereka menunjuk seseorang yang di pan-dang ahli untuk menyelesaikan-nya. Apa pun keputusan yang akan dijatuhkan oleh orang yang ditunjuk itu keduanya harus taat untuk mema-tuhinya. Cara seperti inilah yang dise-but tahkim . Periode Ahl al-Halli wa al-Aqdi. Setelah kelompok-kelompok

masyarakat )slam terbentuk dan mampu mengatur tata kehidupan sendiri, pelaksanaan kekuasaan keha-kiman dilaksanakan dengan cara mengangkat Ahl al-(al wa al-Aqdi. Yaitu orang-orang yang terpercaya dan luas pe ngetahuannya untuk men-jadi sesepuh masyarakat, selanjutnya Ahl al-(al wa al-Aqdi mengangkat para hakim untuk menyelesaikan segala sengketa yang ada di masyara-kat. Penunjukkan ini dilakukan atas

dasar musyawarah dan kesepaka-tan. Periode tauliyah atau pelimpa-han wewenang dari Sultan selaku kepala Negara, kepala Negara selaku Wali al-Amri mempunyai wewenang mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk menjadi hakim di wilayah kerajaan yang ditentukan oleh kepala Negara atau sultan.

Bersamaan dan perkembangan masyarakat )slam, ketika kedatangan orang-orang Belanda pada M, )ndonesia sudah terdiri dari sejum-lah kerajaan )slam. Pada periode ini kerajaan-kerajaan )slam Nusantara sudah mempunyai pembantu jabatan agama dalam sistem pemerintahan-nya. Misalnya di tingkat desa ada jabatan agama yang disebut kaum, kayim, modin, dan amil. Di tingkat

kecamatan di sebut Penghulu Naib.

Di tingkat Kabupaten ada Penghulu Seda dan di tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang berfungsi

seba-gai hakim atau qadhi yang dibantu beberapa penasihat yang kemudian disebut dengan pengadilan Serambi.

Berkembang

Paska Satu Atap

Peradilan Agama mengalami kemajuan

pesat paska Sistem Satu Atap sejak tahun

2004. Sisi organisasi, administrasi, finansial

dan kompetensi makin berkembang.


(13)

Periode - . Secara yuridis

formal, peradilan agama sebagai suatu Badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di )ndonesia Jawa dan Madura pada Agustus . Kelahiran ini berdasarkan suatu keputusan Raja Belanda yakni Raja Willam ))) tanggal Januari Nomor yang dimuat dalam Staatsblad No. . Badan Peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut dengan Rapat Agama atau Raad Agama dan Terakhir dengan

Perbedaan fundamental antara impe-rialisme Jepang dan Barat terletak pada karakter militernya, pemerin-tahan militer Jepang yang menguasai )ndonesia pada gilirannya memegang semua urusan pemerintahan kolonial.

Secara teoretis pemerintahan Jepang berusaha untuk membuat simbol pemisahan yang total dengan Belanda. Semua simbol kekuasaan yang menunjukkan kolonial Belanda harus dihapuskan, sementara segala bentuk pergerakan yang aktif pada masa Belanda dilarang.

nya restrukturisasi lembaga peradilan hanya bertujuan untuk menghilang-kan symbol-simbol kekuatan Eropa dari pandangan masyarakat pribumi saja, sementara karakteristik struk-tural yang mendasar dari masyarakat

pemikiran terhadap hukum tetap tidak ada perubahan apa-apa sam-pai mereka kalah pada perang Dunia kedua.

Pasal )) Aturan Peralihan UUD menyatakan: segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang

Pengadilan Agama.

Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai Agustus yang dimuat dalam Staatsblad No. , dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran Badan Peradilan Agama di )ndonesia adalah Agustus .

Pergeseran otoritas jajahan Jepang membawa pada perubahan yang besar bagi masyarakat )ndonesia.

Ringkasnya, bukti yang dipre-sentasikan di atas menguatkan klaim bahwa situasi yang ada selama masa Jepang pada dasarnya merupakan bentuk pemerintahan status quo situasi yg menoton . Perubahan-perubahan struktural yang dilakukan pemeintah Jepang tidak lebih hanya sekedar kosmetik yang mengubah warna Belanda kepada warna Jepang . Dengan demikian,

tampak-baru menurut Undang-undang Dasar ini . dalam hal ini termasuk bidang Peradilan Agama.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik )ndonesia tanggal Agus-tus , atas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan

(akim Agung, Dr. (. Ahmad Kamil, S.(., M.(um., sedang menekan icon di tablet tanda diluncurkannya beberapa program unggulan Ditjen Badilag pada Peringantan Tahun Undang-Undang Peradilan Agama.


(14)

ketetapan pemerintah Nomor tang-gal Maret . Pada masa awal kemerdekaan, terjadi perubahan dalam pemerintahan, tetapi tidak tam-pak perubahan yang sangat menonjol dalam tata peradilan, khususnya pera-dilan Agama di )ndonesia. (al terse-but disebabkan karena bangsa )ndo-nesia dihadapkan kepada revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali akan menjajah. Namun pada aspek jasa terdapat sebuah peruba-han, yaitu sebelum merdeka pegawai Pengadilan Agama dan hakim tidak mendapat gaji tetap dari pemerin-tah, maka setelah merdeka anggaran belanja Pengadilan Agama disediakan pemerintah.

Pada masa berikutnya, berdasar-kan ketentuan Pasal UUD Semen-tara dan Pasal ayat Undang-Undang Darurat Nomor Tahun , pemerintah mengeluarkan PP Nomor Tahun tanggal Oktober , tentang pembentukan Pengadi-lan Agama/Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura. Menurut keten-tuan Pasal , Di tempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pe ngadilan Agama/mahkamah Syar-iyah, yang daerah hukumnya sama

dengan daerah hukum Pengadilan Negeri .

Dengan berlakunya PP. Tahun , maka di )ndonesia ada tiga macam peraturan tentang susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, yaituStbl. No. jo. Stbl. No. dan untuk Jawa dan Madura. Stbl. No. dan untuk daerah Kalimantan Selatan.PP. No. Tahun Lembaran Negara Tahun No. untuk daerah-daerah selain Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan.

Dalam kurun waktu sekitar tahun sejak kemerdekaan terdapat keanekaragaman dasar penyelengga-raan, kedudukan, susunan, dan kekua-saan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di )ndonesia PAD) . Selanjutnya, tahun -an mengal-ami perubahan, terutama sejak diun-dangkan dan berlakunya Undang-Undang Nomor Tahun dan Undang-Undang Nomor Tahun

serta peraturan pelaksanaannya. Undang-Undang No. tahun mengundangkan : susunan, Kekua-saan dan Acara dari Badan-badan Peradilan Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor Tahun memberi tem-pat kepada PAD) sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di )ndonesia yang melaksanakan kekua-saan kehakiman dalam Negara Kesa-tuan Republik )ndonesia.

Seiring era reformasi tahun , upaya tersebut semakin menggema ditandai dengan amandemen ketiga UUD melalui Rapat Paripurna ke- lanjutan dalam Sidang Tahunan MPR tanggal November

.

Perubahan peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan kehaki-man pasca akehaki-mandemen dikembang-kan menjadi lima pasal dengan

Dalam kurun waktu sekitar 25 tahun sejak kemerdekaan

terdapat keanekaragaman dasar penyelenggaraan,

kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia.

Kiri ke kanan : Dr. (. Purwosusilo, S.(., M.(., Prof. Dr. (. Abdul Manan, S.(., S.)p., M.(um., Craig Ewers.


(15)

memuat sembilan belas ayat. Jaminan konstitusi tersebut sangat penting bagi penyelenggaraan kekua-saan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal

ayat UUD .

Dalam amandemen UUD tersebut ditegaskan perubahan sistem pengelolaan lembaga peradilan satu atap. Pengalihan dilaksanakan secara bertahap dalam jangka waktu paling lama lima tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku.

Aturan tentang kekuasaan kehaki-man secara lebih tegas tertulis dalam ketentuan Pasal Undang-Undang tahun dimana pengalihan pe ngelolaan lembaga peradilan umum dan peradilan tata usaha negara PTUN harus selesai dilaksanakan paling lambat Maret , kemu-dian menyusul peradilan agama dan

peradilan militer harus selesai dilak-sanakan paling lambat Juni .

Perjalanan panjang itupun bera-khir, setelah Menteri Agama Said Agil (usein Al Munawar pada tanggal Juni menyerahkan kewenangan peradilan agama di bawah departe-men agama departe-menjadi kewenangan sepenuhnya di bawah Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman Yusril )hza Mahendra. Secara simbo-lis, penyerahan itu tertuang dalam berita acara serah terima antara dua Menteri, lalu dilanjutkan penyerahan

kewenangan itu dari Menkum (AM kepada Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan.

Terwujudnya sistem satu atap berimplikasi terhadap lahirnya Undang-Undang baru yang mengatur masing-masing lingkungan peradilan, yaitu Undang-Undang No. tahun tentang Perubahan atas Undang-Undang No. tahun tentang Peradilan Umum, Undang-Undang No. tahun tentang Perubahan atas Undang-Undang No. tahun tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang No. tahun tentang Perubahan atas Undang-Undang No. tahun tentang Peradilan Agama. Sementara, Undang-Undang No. tahun tentang Peradilan Militer belum dilakukan perubahan hingga saat ini.

Secara teknis, Presiden melalui Keputusan Presiden Republik )ndo-nesia Kepres Nomor Tahun

tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Ling-kungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. Melalui Kepres ini pula terjadi perubahan dari Direktorat Pembinaan Peradilan Agama ke Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Perubahan nomen-klatur tersebut juga berimplikasi

pada perubahan eselonisasi, dari eselon )) menjadi eselon ).

Pengelolaan Administrasi

Mahkamah Agung MA sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman serta peradilan negara tertinggi, mempunyai posisi dan peran strategis di bidang kekuasaan kehakiman karena membawahi keempat lingkungan badan peradilan di bidang organisasi, administratif, dan finansial. Selain itu juga mengenai manajemen Sumber Daya Manusia serta sarana dan prasarana.

Pembinaan di bidang organisasi meliputi pembentukan pengadilan, klasifikasi dan standarisasi pengadi-lan agama, penyeragaman penyebu-tan badan peradilan, peningkapenyebu-tan eselonisasi, penataan organisasi dan tatalaksana kepaniteraan.

Kebijakan satu atap memberikan tanggung jawab, konsekuensi dan tantangan karena Mahakamah Agung dituntut untuk menunjukkan kemam-puannya mewujudkan organisasi lem-baga yang profesional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.

Sistem peradilan satu atap meng-hendaki semua lembaga peradilan baik secara teknis yudisial maupun organisasi dan finansial berada di bawah pelaksana kekuasaan

kehaki-Sistem peradilan satu

atap meng hendaki semua

lembaga peradilan

berada di bawah

pelaksana kekuasaan

kehakiman tertinggi

yaitu Mahkamah Agung.


(16)

man tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Pembinaan di bidang organi-sa si, administrasi, dan finansial merupakan pengalihan tugas-tugas Departemen Agama, di antaranya pembentukan pengadilan, klasifi-kasi dan standarisasi pengadilan agama, dan penataan organisasi dan tatalaksana kepanite raan. Pembentu-kan pengadilan tingkat pertamadan tingkat banding dilakukan secara terus menerus, sehingga mencapai pertumbuhan sesuai dengan pemeca-han wilayah administrasi kabupaten/ kota dan provinsi.

Proses peralihan kekuasaan ini meskipun berat tetap berjalan de ngan lancar, kecuali peradilan agama yang proses peralihannya sedikit menga-lami perdebatan panjang. Departe-men Agama dan MU) pada awalnya tidak mau melepaskan peradilan agama karena muatan-muatan his-torisnya yang panjang dan sangat melekat dengan umat )slam. Mere ka khawatir ciri-ciri khas peradilan )slam ini akan memudar dan akhirnya hilang.

Namun, mayoritas aparatur pera-dilan agama sendiri, sebagaimana diwakili para Ketua Pengadilan Tinggi Agama di seluruh )ndonesia, meng-hendaki penyatu atapan dilakukan dengan segera. Alasan yang men-dasarinya adalah masalah finansial yang terkait dengan pengelolaan pera-dilan agama itu sendiri yang dianggap sangat tidak memadai untuk sebuah sistem peradilan yang modern dan mandiri selama di bawah Departemen Agama.

Sejak beralih ke Mahkamah Agung, hubungan antara Pengadilan Agama dengan Departemen Agama tidak serta merta selesai. (ubungan baik antar kedua lembaga ini terus ber-langsung melalui peran Pengadilan Agama sebagai lembaga yang ber-wenang untuk memberikan peneta-pan itsbat kesaksian melihat bulan

rukyat al-hilal dalam penentuan

awal bulan pada tahun hijriyah teru-tama awal bulan Ramadhan, Syawal danDzulhijjah .

Pelaksanaan rukyat hilal dilaku-kan oleh Departemen Agama dan

lembaga/ormas-ormas )slam, sedang-kan penetapan (itsbat) terhadap

kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan baru

menjelang awal bulan hijriyah dilaku-kan oleh Pengadilan Agama. Berkai-tan dengan hisab rukyat Pengadi-lan Agama juga dapat memberikan keterangan ataunasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat. Di sisi lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen Agama juga mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah.

Ketua MA periode -Bagir Manan, dalam Strategi Pengem-bangan Peradilan Agama Jakarta:

, menyebutkan bahwa Peradilan

Agama harus melaksanakan strategi pengembangan dan pembinaan yang tepat dan cepat dalam bidang:

pertama,pengembangan dan

pembi-naan organisasi baik organisasi yusti-sial dan non yustiyusti-sial. Kedua,

pengem-bangan dan pembinaan ketenagaan yang meliputi hakim dan non hakim, mulai dari sistem pendidikan,

rekrut-Para Ketua Pengadilan Agama yang berprestasi berpose bersama Dirjen Badilag dan Sekretaris Ditjen Badilag.


(17)

men, promosi dan sebagainya.

Ketiga menurut Bagir Manan,

pengembangan dan pembinaan tata cara beracara, tata tertib persidangan dan sebagainya. Keempat,

pengem-bangan dan pembinaan tata kerja pelayanan administrasi yang efek-tif dan efisien. Kelima,

pengemba-ngan dan pembinaan satuan fasilitas se perti kantor, peralatan, kepustakaan dan sebagainya. Keenam,

pengemba-ngan dan pembinaan integritas serta

disiplin seperti sistem pemindahan terhadap hakim-hakim yang tidak menunjukan integritas dan kecaka-pan melaksanakan kekuasaan keha-kiman sebagai tempat mewujudkan keadilan dan kebenaran.

Sumber Daya Manusia (SDM)

Pra kebijakan satu atap dan pasca kebijakan satu atap, permasalahan utama Sumber Daya Manusia SDM yang dihadapi oleh Peradilan Agama masih sama: sistem rekrutmen yang belum berjalan secara transparan dan

akuntabel, sistem pembinaan yang meliputi peningkatan kapabilitas/ keahlian, dan pengembangan sistem rotasi, mutasi serta pengembangan karir aparatur pegawai yang perlu disempurnakan dengan menyertakan parameter obyektif.

Selama berada di Departemen Agama, calon hakim agama Peradi-lan Agama berasal dari mereka yang sudah menjadi pegawai di pengadilan agama misalnya, panitera atau pani-tera pengganti , atau pegawai Kemen-terian Agama. Sejak ada sistem satu atap, rekrutmen calon-calon hakim agama disamakan dengan cara-cara rekrutmen calon hakim di lingkungan peradilan umum, dan peradilan tata usaha negara.

Menilik ke belakang, hubun-gan antara Badan Peradilan Agama de ngan Mahkamah Agung telah ber-langsung sejak , tatkala diang-kat Ketua Muda Mahkamah Agung Republik )ndonesia Urusan Lingku-ngan Peradilan Agama TUADAMAR) ULD)LAG , untuk melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan teknis yudisial.

Saat itu, pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung dilakukan dengan berbagai jalur dan metode. Pertama,

dilakukan melalui jalur penerbitan pedoman atau petunjuk dalam pelak-sanaan tugas-tugas pengadilan.

Kedua, pembinaan teknis

dilaku-kan melalui jalur penyebaran himpu-nan yurisprudensi, dengan menyusun dan menerbitkan Edisi Putusan-putu-san Pengadilan Agama dalam Serial Yurisprudensi)ndonesia sebagai salah satu sumber hukum,yang menggam-barkan tentang hukum yang hidup didalam masyarakat melalui putusan pengadilan.

Ketiga, pembinaan teknis

dilaku-kan melalui jalur tatap muka secara langsun melalui rapat kerja, loka-karya, dan pelatihan teknis yustisial.

Pembinaan dalam kegiatan rapat kerja dan lokakarya,hanya terbatas di kalangan pimpinan pengadilan. Sedangkan pembinaan yang dapat menjangkau peserta, dalam hal ini hakim, yang lebih luas adalah pelati-han teknis yustisial.

Pasca Satu Atap, proses pembinaan pegawai baik hakim maupun non hakim menjadi terpusat, kebijakan dibuat oleh Mahkamah Agung dan dilaksanakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pusdiklat di bawah kewenangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pela-tihan (ukum dan Peradilan Mahka-mah Agung di Megamendung, Bogor.

Tentang rekruitmen hakim, Komisi Yudisial pernah mengusung wacana untuk melibatkan diri dalam proses seleksi, dan berbagai usulan mulai tingkat pendidikan minimal S. dan berbagai usulan lain pun mencuat. Tapi sampai saat ini, usulan itu masih berada dalam tataran wacana, dan belum diimplementasikan.

Tidak kalah pentingnya, mengenai kebijakan sistem rotasi dan promosi pegawai hakim/non hakim. Satu hal yang membedakan Pra Satu Atap dan Pasca Satu Atap adalah transparansi pengumuman proses rotasi dan pro-mosi pegawai. Adapun parameter obyektif rotasi dan promosi di ling-kungan Peradilan Umum telah diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mah-kamah Agung Nomor /KMA/SK/ V)))/ tentang Pembaruan Pola Mutasi dan Promosi (akim Karir dan Pola Pembinaan (akim Ad (oc Pada Peradilan-Peradilan Khusus di Ling-kungan Peradilan Umum. (al terse-but kemudian diikuti oleh Peradilan Agama dengan menyusun aturan serupa yang sampai saat ini aturan tersebut dalam tahap persetujuan Pimpinan Mahkamah Agung.

Parameter obyektif ini dirasakan mendesak terutama berkaitan dengan

Tidak kalah pentingnya,

mengenai kebijakan

sistem rotasi dan

promosi pegawai hakim/

non hakim. Satu hal yang

membedakan Pra Satu

Atap dan Pasca Satu

Atap adalah transparansi

pengumuman

proses rotasi dan

promosi pegawai.


(18)

adanya kebutuhan untuk menerapkan sistem reward and punishment

yang tepat. Masalah lain yang juga mengemuka adalah distribusi hakim dan aparatur peradilan yang belum merata.

Manajemen Sarana dan Prasarana

Bagir Manan, dalam )jtima Nasi-onal ke- Ulama Fatwa MU) di Ponpes Gontor Ponorogo Mei , menyebutkan anggaran negara yang disediakan untuk Pengadilan Agama sangat kecil sejak dahulu bahkan sampai orde baru.Pernah pada suatu waktu anggaran setiap Pengadilan Agama kurang dari empat juta rupiah untuk satu tahun anggaran.Keadaan tersebut berlaku sampai ditetapkan UU Nomor tahun , kedudukan Pengadilan Agama diposisikan lebih rendah dari lingkungan Pengadilan Negeri.

Sebelum berlaku sistem satu atap, masyakarat umum sering menge-nal Pengadilan Agama sebagai insti-tusi dengan segala kesederhanaan-nya, sehingga dikenal anekdot: “Jika ada rombongan pejabat yang ingin meninjau peradilan di suatu dae-rah, apabila kendaraan mengarah ke pusat kota, maka pastikan yang dituju

adalah Pe ngadilan Negeri. Sedangkan jika konvoi kendaraan menuju ping-giran kota atau tiba-tiba memasuki sebuah gang kecil, maka dapat dipas-tikan yang dituju adalah Pengadilan Agama”.

Saat ini anekdot itu menjadi sebuah kisah masa lalu, karena pasca satu atap, gedung-gedung Pengadilan Agama di seluruh )ndonesia mulai dibangun dan mengejar keterting-galan dari saudara-nya Pengadilan Umum.

Sudah jamak ditemui gedung Pengadilan Agama yang berdiri megah di pusat kota, berdampingan dengan institusi-insitusi pemerintahan lain. )ni adalah salah satu efek Kebijakan Satu Atap.

Bagaimanapun, keberadaan Pe nga-dilan Agama diseluruh penjuru tanah air, menimbulkan keniscayaan adanya kendala pengelolaan sarana dan prasarana, antara lain dikutip dari Cetak Biru Pembaruan Peradilan

- :

. Lokasi pengadilan yang tersebar di seluruh )ndonesia.

. Lokasi pengadilan yang cukup sulit untuk diakses oleh masyarakat yang berasal dari daerah pinggir kota.

. Gedung pengadilan di beberapa daerah yang sudah tidak layak, baik dari sisi keamanan maupun kenyamanan.

. Kemampuan untuk mengelola prasarana dan sarana pengadilan belum memadai sehingga ber-pengaruh terhadap prestasi kerja hakim dan aparatur peradilan dan kepuasan masyarakat atas kualitas pelayanan pengadilan.

. Akuntabilitas pengadaan barang dan jasa, serta manajemen aset negara, yang perlu terus diupa-yakan perbaikannya.

. Penyimpanan dan pengelolaan informasi tentang aset negara

yang belum dibuat secara baik. Di sisi lain, Mahkamah Agung telah berupaya untuk mengaplikasikan teknologi dalam pengelolaan infor-masi yang diperlukan internal orga-nisasi maupun para pencari keadi-lan dan pengguna pengadikeadi-lan. Akan tetapi, internal organisasi MA dan badan-badan peradilan di bawahnya juga masih merasakan perlunya satu kebijakan sistem pengelolaan T) yang komprehensif dan terintegrasi yang berkaitan dengan sarana, prasa-rana maupun SDM tenaga T) untuk memudahkan dan mempercepat proses pelaksanaan tugas dan fungsi di setiap unit kerja, agar peningkatan kualitas pelayanan informasi kepada masyarakat dapat dicapai.

Masalah lain adalah tentang transparansi peradilan yang hingga kini masih menjadi permasalahan yang sangat perlu diperhatikan dan dibenahi. Masyarakat masih menge-luhkan sulitnya mengakses informasi dari pengadilan. (al ini dikarenakan masih kurangnya pemahaman peja-bat peradilan mengenai pentingnya jaminan informasi bagi publik.Oleh karena itu, mekanisme penyediaan dan pe nyimpanan informasi juga perlu terus ditingkatkan sehingga pengadilan selalu siap dalam meres-pon permintaan informasi.

Meskipun demikian, aparatur peradilan agama tetap berjuang untuk memperkokoh institusi pera-dilan agama sebagai institusi hukum dan institusi sosial. Tak lekang oleh panas dan tak luntur karena hujan, keinginan memperjuangkan peradi-lan agama sebagai institusi hukum yang modern hingga kini masih terasa auranya, salah satu bentuk perjua-ngan itu adalah tetap memperta-hankan kewenangan yang sudah ada dan kemungkinan kewenangan baru yang diperkenankan oleh konstitusi.

(Hermansyah, M. Noor, AF. Fathoni, Alimuddin, E. Hudiata)

Sebelum berlaku

sistem satu atap,

masyakarat umum

sering mengenal

Pengadilan Agama

sebagai institusi

dengan segala

kesederhanaannya.


(19)

D

inamika kewenangan pengadilan agama dalam catatan sejarah mengalami pasang surut. Lembaran sejarah pengadilan agama menunjukkan hal itu, baik sejak masa penjajahan, era kemerdekaan, orde baru sampai era reformasi saat ini.

Secara yuridis eksistensi pengadilan agama diakui oleh pemerintah Belanda pada tahun berdasarkan Surat Keputusan Raja Belanda tanggal Januari Nomor yang dimuat dalam Staatsblad Nomor . Keputusan raja

tersebut dinyatakan mulai berlaku tanggal Agustus berdasarkan Staatsblad Nomor .

Pada saat itu, kewenangan pengadilan agama tidak disebutkan secara jelas dalam staatsblad

tersebut. Sehingga, pengadilan agama menentukan sendiri perkara-perkara yang menjadi kewenangan atau kompetensinya, yaitu perkara-perkara di bidang pernikahan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sadaqah, baitul mal dan wakaf Notosoesanto, : .

Pada tahun kewenangan pengadilan agama berubah. Perubahan tersebut akibat adanya teori receptie yang digagas Van

Vol-lenhoven dan Snouck (urgronje. Melalui

Staatsblad Nomor dan

Nomor , kewenangan penga-dilan agama hanya di bidang

perkawinan yaitu meme-riksa perselisihan antara

suami isteri yang beragama )slam tentang nikah, talak, dan rujuk. Kewenangan di bidang kewarisan yang sebe-lumnya menjadi kewenangan peradi-lan agama dicabut dan diserahkan menjadi kewenangan peradilan umum.

Pasang Surut

Kewenangan

Sejak eksistensinya diakui

penguasa, kewenangan mengadili

oleh peradilan agama mengalami

pasang surut. Sejak sewindu

lalu, kewenangannya diperluas

ke perkara ekonomi syariah.

Bagaimana kompetensinya di

masa yang akan datang?


(20)

Kewenangan peradilan agama di bidang perkawinan masih terdapat beberapa pembatasan, yaitu apabila perkawinan itu dilakukan menurut BW seperti suami istri dari golongan Eropa atau Cina yang beragama )slam; apabila perkawinan itu dilakukan menurut peraturan perkawinan campuran

Staatsblad Nomor , yaitu

perkawinan orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan, diatur menurut hukum suaminya; dan apabila perkawinan itu dilakukan menurut Staatsblad Nomor

ordonansi nikah )ndonesia Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon walaupun sesudah perkawinan mereka lalu keduanya atau salah satunya masuk )slam. Depag R), : .

Pada tahun pasca-dikeluar-kannya Peraturan Pemerintah Nomor

Tahun kewenangan penga-dilan agama di luar Jawa dan Madura dan Kalimantan Selatan meliputi beberapa perkara yaitu nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, mas kawin, tempat kediaman maskan , mut ah, ha dhanah, waris, wakaf, hibah shodaqah dan baitulmal.

Kewenangan pengadilan agama mengalami kejelasan dan kepastian pasca-diundangkannya Undang-Undang Nomor Tahun tentang Perkawinan dan Peraturan Pemer-intah Nomor Tahun tentang Perwakafan Tanah Milik.

Sampai pada masa akhir Orde Baru, kewenangan yang dimiliki pengadilan agama tidak mengalami penambahan kewenangan yang sig-nifikan. Akan tetapi pada masa ini pengadilan agama secara kelem-bagaan semakin kuat dibanding pada masa penjajahan dan Orde Lama. Kewenangan pengadilan agama masih berkisar pada bidang hukum keluarga seperti nikah, cerai, waris, wasiat, dan wakaf. Kewenangan tersebut secara tegas bisa dilihat pada pasal ayat Undang-Undang Nomor tahun

.

Penambahan kewenangan secara signifikan terjadi pada tahun pasca disahkannya Undang-Undang Nomor Tahun tentang peruba-han atas Undang-Undang Nomor

tahun tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor Tahun

.

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor tahun dan Undang-Undang Nomor Tahun , maka secara yuridis formal kelembagaan peradilan agama sema-kin kokoh dan mempuyai kedudukan yang sama dan sejajar dengan tiga lingkungan peradilan lainnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor Tahun ini, landasan hukum positif penerapan hukum )slam menjadi lebih kokoh. (al ini mengingat ada beberapa perubahan fundamental yang dilakukan oleh Undang-Undang Nomor Tahun terhadap Undang-Undang Nomor tahun . Di antaranya menyang-kut teknis penyelesaian sengketa kewenangan antara peradilan agama dengan peradilan umum. Ada bebe-rapa titik singgung antara keduanya, khususnya menyangkut hak opsi dan sengketa kepemilikan.

Pertama, menyangkut hak opsi.

Dalam Undang-Undang Peradilan Agama antara lain dinyatakan dalam penjelasan umum bahwa: para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih


(21)

hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian kewarisan lihat penjelasan umum UU Nomor tahun angka . Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor Tahun penjelasan tersebut dihapus.

Kedua, sengketa kepemilikan.

Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lain antara orang-orang yang beragama )slam mengenai objek sengketa, maka menurut Undang-Undang Nomor Tahun dapat langsung diputus oleh pengadilan agama lihat pasal

.

Perubahan lain adalah adanya penambahan kewenangan pengadilan agama, yaitu kewenangan mengadili sengketa zakat dan ekonomi syari ah. Dalam pasal , ada sembilan kewenangan pengadilan agama dari yang sebelumnya hanya tujuh . Kesembilan kewenangan tersebut adalah kewenangan untuk menangani persoalan hukum umat )slam di bidang perkawinan, waris,

wasiat, hibah, wakaf, infaq, shadaqah, zakat dan ekonomi syari ah.

Kewenangan pengadilan agama yang baru antara lain di bidang perkawinan berupa penetapan pen-gangkatan anak berdasarkan hukum )slam. Selain itu, pengadilan agama juga memiliki kewenangan baru yaitu di bidang ekonomi syariah yakni perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip-prin-sip syari ah, antara lain meliputi: bank syari ah; keuangan mikro syari ah; asuransi syari ah; reasuransi syari ah; reksadana syari ah; obligasi syari ah dan surat berharga berjangka mene-ngah syari ah; sekuritas syari ah; pem-biayaan syari ah; pegadaian syari ah; dana pensiun lembaga keuangan sya-riah; dan bisnis syari ah.

Kewenangan pengadilan agama selanjutnya adalah dalam perkara

wakaf, zakat, infaq, wasiat dan hibah. Beberapa kewenangan baru tersebut dimungkinkan munculnya gugatan

class action dari masyarakat karena

menyangkut kepentingan umum yang tidak mungkin mengajukan gugatannya secara orang perorang.

Secara kelembagaan peradilan agama juga mengalami perluasan. Berdasarkan Pasal Undang-Undang Nomor tahun dinyatakan bahwa di lingkungan peradilan agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang. Frasa pengkhususan memiliki maksud adanya pengadilan khusus untuk menangani perkara tertentu di lingkungan pengadilan agama.

Pada tahun , dibentuklah mahkamah syariyyah di Aceh seba-gai pelaksanaan ketentuan pasal Undang-undang Nomor Tahun tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah )stimewa Aceh. Mah-kamah syariyyah tidak hanya mem-puyai kewenangan dibidang hukum perdata agama, tapi juga mempuyai kewenangan pidana jinayah.

Sampai sekarang sudah ada sepuluh bentuk jarimah di bidang jinayah yang menjadi kewena ngan mahkamah syariyyah, yaitu Khamar, adalah minuman memabuk-kan/mengandung alkohol; Maisir, adalah perbuatan yang me ngandung unsur taruhan; Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat ter-tutup antara dua orang berlainan jenis kelamin yang bukan mah-ram dan tanpa ikatan perkawinan de ngan kerelaan keduabelah pihak; )khtilat, adalah perbuatan mesraan seperti bercumbu, ber-sentuh-sentuhan, berpelukan bah-kan berciuman antara laki-laku dan perempuan yang bukan suami-istri dengan kerelaan kedua belah pihak baik ditempat terbuka maupun tem-pat tertutup; Zina adalah

per-buatan persetubuhan antara seorang laki-laki dengan perempuan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak; Pelecehan seksual, perbuatan asusila atau cabul yang sengaja dilakukan oleh sese-orang didepan umum atau terhadap orang lain baik laki-laki maupun perempuan tanpa kere laan korban; Pemerkosaan; Qadzaf, adalah perbuatan menuduh seseorang ber-zina tanpa mengajukan paling kurang

saksi; Liwath, hubungan sejenis antara laki-laki dengan laki-laki atau populer dengan sebutan gay; dan Musahaqah adalah hubu ngan seje-nis antara sesa ma wanita atau lebih po puler dengan sebutan lesbian.

Potensi perluasan kewenangan

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor tahun tersebut menan-dai lahirnya paradigma baru penga-dilan agama. Paradigma baru itu menyangkut kompetensi dan yuris-diksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa: Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan keha-kiman bagi rakyat pencari keadi-lan yang beragama )slam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimak-sud dalam undang-undang ini .

Kata perkara tertentu meru-pakan perubahan terhadap kata

perkara perdata tertentu

sebagai-Sampai sekarang

sudah ada 10 (sepuluh)

bentuk jarimah di

bidang jinayah yang

menjadi kewenaagan

mahkamah syariyyah


(22)

mana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor tahun . Peruba-han kata ini memberi makna bahwa jika negara dan masyarakat memberi kepercayaan maka pengadilan agama dapat ditambah kewenangannya di bidang tertentu di luar perkara per-data yang selama ini sudah menjadi kewenangannya.

Perkembangan hukum dan tuntu-tan masyarakat dewasa ini membuka ruang untuk adanya beberapa potensi perluasan kewenangan yang ke depan bisa menjadi kewenangan absolut peradilan agama. Urgensi perluasan kewenangan peradilan agama dapat dilihat dari dua pendekatan. Pertama,

dalam rangka melaksanakan amanat undang-undang peradilan agama secara paripurna. Penggunaan frasa tertentu dalam undang-undang pera dilan agama secara implisit menandakan bahwa ada kewenangan lain yang merupakan bagian tak ter-pisahkan dari kompetensi peradilan agama. Kedua, kesadaran

masyara-kat Muslim semakin tinggi dalam melaksanakan hukum agamanya secara menyeluruh. Sehingga menun-tut keluwesan dan keluasan caku-pan kewenangan peradilan agama agar tidak terjadi kesenjangan antara problem sosial dengan hukum yang berlaku.

Beberapa potensi perkara yang bisa menjadi kewenangan peradi-lan agama adalah ihwal penghapu-san kekerapenghapu-san dalam rumah tangga

PKDRT , kewenangan menyelesaikan perbuatan melawan hukum PM( , kewenangan penyelesaian sengketa produk halal dan kewena ngan di bidang pidana dalam perkawinan ber-dasarkan hukum )slam.

1. Bidang PKDRT

Kasus perceraian baik itu gugat cerai maupun cerai talak di lingkungan peradilan agama banyak didasarkan

pada alasan kekerasan dalam rumah tangga KDRT . KDRT tersebut jika menjadi fakta hukum yang terbukti dalam proses pembuktian maka KDRT itu hanya sekadar fakta hukum untuk alasan perceraian, tidak sampai pada tindakan penghukuman terhadap pelakunya, karena pengadilan agama hanya berwenang diwilayah perdata agama, bukan pidana.

Ranah tindakan pidana KDRT, se suai Undang-Undang Nomor Tahun tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga PKDRT , korban atau keluarganya harus melaporkan tindakan terse-but ke kepolisian dan korban bisa mendapatkan perlindungan khu-sus dari aparat dan kemudian kakhu-sus pidana KDRT akan diperiksa di penga-dilan negeri.

Pemisahan penanganan perdata perceraian dan pidana KDRT di atas dalam praktek akan membutuh-kan waktu yang lama dan panjang serta bisa berakibat buruk bagi kor-ban KDRT. Tidak sedikit kemudian korban hanya memilih menyelesaikan

perkara perceraian saja dan tidak melanjutkan ke pidananya yang pada akhirnya pelaku KDRT terbebas dari sanksi pidana.

Menurut Amran Suadi, (akim Agung MA R), dalam seminar nasi-onal yang diselenggarakan PP()M Pengadilan Tinggi Agama Surabaya / / menegaskan bahwa ada dua solusi alternatif sebagai tawaran untuk menjadikan pengadi-lan agama agar lebih berperan dalam penyelesaian tindak KDRT.

Solusi pertama adalah perlu dibentuk peradilan koneksitas antara pengadilan agama dengan pengadilan negeri sehingga dapat menyelesaikan perkara cerai dan KDRT secara simultan. Dalam kasus cerai dengan alasan KDRT bisa dilakukan peradilan koneksitas antara pengadilan agama dan pengadilan umum bersama-sama dalam perkara perceraian, di sini sengketa perceraian dan pidana KDRT diputus bersamaan dalam satu perkara.

Sedikit berbeda dengan usulan Amran, jika kita merujuk ke praktek


(23)

yang terjadi di pengadilan Australia, di sana dikenal aturan cross-vesting jurisdiction. Cross-vesting adalah

aturan yang memungkinkan satu pengadilan mengadili secara utuh satu perkara meskipun salah satu dari bagian perkara itu sebenarnya merupakan kewenangan pengadilan yang lain Etihne Mills dan Marlene Ejeber, : .

Mekanisme cross-vesting yang

digunakan untuk mengatasi konflik kewenangan ini sangat membantu masyarakat pencari keadilan karena dapat mengurangi biaya berperkara, mereduksi ketidaknyamanan para pihak serta memenuhi asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan Belinda Fehlberg dan Juliet Behrens, : . Kedepan mungkin juga perlu dikaji apakah memungkinkan jika peradilan agama juga berwenang memeriksa perkara pidana KDRT dan cerai secara bersamaan.

Solusi kedua, menurutnya dengan menggunakan pendekatan restorative justice yakni dengan memberikan

kompensasi ganti rugi kepada si

korban KDRT atau dalam hukum )slam dikenal istilah diyat. Diyat

atau ganti rugi tersebut dilakukan bersamaan dalam perkara perceraian.

Bagaimanapun penyelesaian seng-keta KDRT perlu dilakukan secara lebih humanis ketimbang pendeka-tan legal fomal. Terlebih jika di antara keduanya telah memperoleh anak keturunan. Proses komulasi penyele-saian sengketa perceraian dan KDRT seperti di atas lebih bisa memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan hukum dan sesuai dengan asas ber-perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta berperspektif pene gakan (AM dan gender.

2. Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Pemahaman yang berkembang selama ini dalam perkara sengketa ekonomi syariah pengadilan agama hanya berwenang ketika sengketa tersebut didasarkan pada alasan wanprestasi dan jika didasarkan PM( pengadilan agama tidak berwenang. Pemahaman yang demikian itu

tentu perlu dikritisi karena sengketa perdata mencakup wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

Untuk menjamin keberlangsungan perbankan syariah, secara khusus, dan industri keuangan syariah secara umum, diperlukan pranata hukum yang jelas dan lengkap, termasuk dalam hal penyelesaian sengketa di pengadilan agama.

Berdasarkan Penjelasan Pasal ayat Undang-Undang No. Tahun , Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk sekaligus memu-tuskan sengketa milik atau keper-dataan lain yang terkait dengan obyek sengketa yang diatur dalam Pasal apabila subyek sengketa antara orang-orang yang beragama )slam. (al demikian untuk menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan ada sengketa milik atau keper-dataan lain.

Dari penjelasan pasal di atas, dapat dipahami bahwa alasan hukum

‘illat Pasal ayat UU No. Tahun

adalah untuk menghindari upaya memperlambat penyelesaian sengketa dan hal ini sesuai dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bagaimana dengan perbuatan melawan hukum dalam sengketa ekonomi syariah?

Jika dikaji dari segi illat hukum,

apakah ketentuan Pasal ayat UU No. Tahun dapat dijadi-kan dasar hukum melalui metode analogi bagi kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus perkara per-buatan melawan hukum dalam seng-keta ekonomi syariah? Apakah ada

illat hukum yang sama, yaitu

meng-hindari upaya memperlambat penye-lesaian sengketa?

Jika hanya dilihat dari segi spesies

illat, yaitu menghindari upaya

mem-perlambat penyelesaian sengketa, maka illat tersebut tidak dapat


(1)

P

emerintah daerah merespon undang-undang tersebut dengan mengeluarkan Perda peraturan daerah untuk mengatur proses pelaksanaan syari at )slam secara kaffah di Provinsi Aceh.

Perda-perda tersebut antara lain, Peraturan Daerah No. Tahun tentang Majelis Permusyawaratan Ulama MPU , Peraturan Daerah No. Tahun tentang Pelaksanaan Syari at )slam, Peraturan Daerah No. Tahun tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Daerah No. Tahun tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, Qanun Provinsi NAD No. Tahun tentang Minu-man Khamar dan sejenisnya, Qanun Provinsi NAD No. Tahun ten-tang Maisir perjudian , dan Qanun

Provinsi NAD No. Tahun ten-tang Khalwat Mesum .

)ni menjadi fenomena yang menarik sekaligus menantang untuk dicermati, terutama menyang-kut kesiapan pemerintah Aceh dan masyarakatnya dalam menerima dan menjalankan Syari at )slam secara totalitas.

Al Yasa Abu Bakar dalam buku

Syariat di Wilayah Syari’at Dinas

Syariat )slam : mengatakan bahwa pelaksanaan syari at )slam di Aceh masih trial and error coba-coba

salah . Jadi, masih diperlukan masu-kan-masukan dari berbagai pihak dalam proses pelaksanaan syari at )slam di Aceh. Menyangkut hal ini (akim Tinggi Mahkamah Syar iyah Aceh Dra. (j. Rosmawardhani Ahmad, S(, M( menyebutkan, salah satu problem pelaksanaan syari at )slam di Aceh karena belum adanya negara sebagai acuan pelaksanaan Syari at )slam.

Lebih lanjut (j. Rosmawardhani menyontohkan, sebelum berlakunya Qanun Nomor Tahun tentang (ukum Acara Jinayat (AJ ,

penera-pan hukum acara jinayat itu menggu-nakan UU Nomor Tahun ten-tang (ukum Acara Pidana KU(AP . )ronisnya, penerapan KU(AP dalam perkara jinayat di Mahkamah Syar iyah tidak sama persis dengan KU(AP yang berlaku di lingkungan peradilan negeri.

Tidak ada wewenang Penyidik, Penuntut dan (akim untuk menahan Tersangka/Terdakwa, sehingga ter-sangka/terdakwa dapat melarikan diri sebelum diadili atau sebelum dieksekusi. tulis Ketua Mahkamah Syar iyah Calang Drs. Muhammad Amin, S(, M( dalam surat elektroni-knya, Rabu / pukul : W)B. Sejak disahkannya Qanun (AJ pada tanggal Desember lalu, kewenangan untuk menahan Tersangka/Terdakwa sudah diatur de ngan jelas, sehingga pemeriksaan dan penyelesaian perkara jinayat dapat dilakukan sebagaimana mesti-nya. Meskipun demikian, masih ter-dapat sejumlah kendala yang dihadapi oleh para hakim Mahkamah Syar iyah yang bertugas di Aceh.

Menurut Muhammad Amin, ham-batan yang dihadapi yaitu ancaman dari pihak terdakwa ketika menghu-kum cambuk. (al itu mungkin sep-erti juga yang selalu dialami kawan-kawan (akim di Pengadilan Negeri, jelasnya.

Ancaman tersebut hanya sebagian kecil saja dari beberapa hambatan lain yang dialami oleh para hakim Mahka-mah Syar iyah. (ambatan yang lebih besar adalah rendahnya etos kerja hakim untuk melaksanakan Qanun itu karena dengan penghasilan yang sama, pekerjaan akan bertambah ban-yak dibandingkan dengan hakim yang bertugas di luar Aceh.

Secara struktur dan pranata sos-ial, beberapa hambatan yang sangat krusial dapat dirinci sebagai berikut, pertama faktor internal penegak

hukum dan aparat terkait seperti sebagian aparat penegak hukum tidak memberi respon dengan baik, dise-babkan tidak tersedianya anggaran untuk penyidikan maupun penuntu-tan perkara jinayat. Kemudian tidak semua kepala daerah kabupaten/kota memberikan respon yang memadai dengan mengalokasikan anggaran bagi pelaksanaan dan penyediaan fasilitas saranan dan prasarana untuk menunjang kegiatan Mahka-mah Syar iyah. Kedua, meskipun undang-undang menentukan pembi-ayaan untuk pelaksanaannya dibiayai dari APBN atau APBK. Pasal UU No. Tahun . Ketiga, faktor eksternal, pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan Syari at )slam baru dirasakan oleh masyarakat yang terpelajar dan berpendidikan tinggi.

Bila dirinci secara mental spiri-tual, kurangnya pelatihan-pelatihan praktis bagi para hakim dalam penan-ganan perkara Jinayat adalah momok tersendiri yang belum tuntas. Menu-rut Achmad Fikri Oslami, M(), hal itu berakibat pada pemahaman pelaksa-naan hukum acara jinayat antara satu Mahkamah Syar iyah dengan Mahka-mah Syar iyah lainnya berbeda.

Sebagai contoh ada Mahkamah Syar iyah yang menangani perkara Jinayat dengan acara biasa sehingga pelaksanaan sidang Jinayat itu sendiri dilakukan berkali-kali, namun ada Mahkamah Syar iyah yang menerap-kan acara singkat dimana pemerik-saan Jinayat dilakukan hanya dengan satu kali sidang saja, jadi menurut saya perlu ada sinkronisasi terhadap praktek persidangan Jinayat yang ada di Mahkamah Syar iyah di Aceh sehingga kewenangan mutlak men-gadili perkara Jinayat ini tidak hanya sebagai simbol saja, namun memang menjadi bagian yang penting dalam tata praktek beracara Jinayat di Mah-kamah Syar iyah, tulis Achmad Fikri


(2)

Oslami (akim Mahkamah Syar iyah Sigli dalam surat elektronik pada Rabu / pukul : W)B.

Sinkronisasi antara KU(AP dan (AJ

Pada bagian ini akan dipaparkan tentang sinkronisasi antara keten-tuan sistem peradilan pidana dalam KU(AP dengan sistem peradilan jinayat dalam Qanun (AJ.

Menurut Al Yasa Abu Bakar, pem-bahasan tentang penyelidikan, penyi-dikan dan penahanan dalam qanun hukum acara jinayat ada yang meng-adopsi isi KU(AP. Pikiran untuk meng adopsi isi KU(AP didasarkan oleh alasan bahwa pembahasan dalam kitab-kitab fiqh terhadap masalah ini relatif sukar digunakan di Aceh dewasa ini karena masyarakat )ndo-nesia, termasuk Aceh di dalamnya telah terbiasa dengan sistem KU(AP dalam prosedur beracara.

Jadi, pada bagian ini semacam pengulangan terhadap apa yang telah dimuat KU(AP hanya saja dengan mengganti atau memasukkan nama Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS dari Satuan Polisi Pamong Praja-Wilayatul (isbah Satpol PP-W( . Meskipun demikian, memasuk-kan unsur PPNS dari unsur Satpol PP-W( merupakan hal baru dalam sistem hukum yang terjadi di )ndo-nesia. Karena selama ini, penyelidik dan penyidik tidak mengenal polisi Wilayatul (isbah apalagi kewena ngan yang relatif luas, yaitu mena ngani bidang pidana, walaupun khusus pidana syari at )slam.

Perubahan yang relatif besar ter-jadi pada usulan ketentuan penaha-nan. Selama ini, pelaku tindak pidana syari at )slam tidak dikenakan pena-hanan, karena tidak ada aturan yang membenarkannya. KU(AP mengatur,

yang boleh ditahan adalah pelaku kejahatan yang ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara. Sementara ancaman hukum yang terdapat dalam qanun jinayah tidak ada ancaman hukuman yang mencapai lima tahun penjara. Akibatnya aparat penegak hukum merasa kesulitan dalam pen-egakan qanun-qanun jinayat.

Bagian lain yang terbaru dari Qanun (AJ adalah pelaksanaan putu-san Mahkamah Syar iyah. Pelakputu-sanaan ini perlu mendapat perhatian karena jenis hukuman yang diberikan kepada pelanggar qanun syari at )slam terdiri dari hukuman cambuk, penjara dan denda. (ukuman penjara dan denda telah dikenal dalam KU(P, namun cambuk merupakan jenis hukuman baru dalam sistem hukum )ndonesia yang diberlakukan khusus untuk Aceh.

Secara lebih rinci, (akim Tinggi pada Mahkamah Syar iyah Aceh Drs.

JINAYAH

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 5 | Des 2014 104


(3)

(. Abd. Mannan (asyim, S(, M( dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Qanun Syariat )slam pada Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul (isbah di Grand Nanggroe (otel Banda Aceh, Maret , memaparkan bahwa (AJ telah memberikan hak penahanan kepada Penyidik, jaksa dan (akim, dan ada beberapa perbedaan (AJ dengan KU(AP antara lain; Pertama,

Mahkamah Syar iyah berwenang mengadili Perkara jinayat atas dasar permohonan si pelaku jarimah. Kedua,

penahanan dapat dilakukan dalam hal adanya keadaan yang nyata-nyata menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi jarimah. Ketiga, penggunaan kata atau

lafazh sumpah diawali dengan Bas-malah dan Wallahi .

Keempat, masih dari paparan (.

Abd. Mannan (asyim, penyidik dapat menerima penyerahan perkara dari petugas Wilayatul (isbah. Kelima,

adanya perbedaan alat bukti, dalam (AJ : Keterangan saksi, Ketera ngan ahli, Barang bukti, Bukti surat, bukti elektronik, Pengakuan, ketera-ngan Terdakwa dalam KU(AP. Ket-erangan saksi, ketarangan ahli, surat, petunjuk, keterangan Terdakwa .

Keenam, memperkenalkan penjatuhan

uqubat secara alternatif antara pen-jara, cambuk, dan denda dengan per-bandingan satu bulan penjara dis-etarakan dengan satu kali cambuk atau denda sepuluh gram emas murni. Ketujuh, bagi pelaku jarimah

bersama yaitu antara non muslim dengan muslim, bagi yang non muslim dapat diadili di Mahkamah Syar iyah dengan membuat dan menandata-ngani surat penundukan diri.

Sebagai solusi, upaya yang sedang dilakukan oleh pimpinan Mahkamah Syar iyah di Aceh adalah melakukan koordinasi dengan semua aparat

pen-egak hukum, pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta sosialisasi tentang syari at )slam dan (ukum Jinayat kepada masyara-kat.

Perlahan tapi pasti, perkara jinayat yang menjadi kewenangan dalam

ling-kungan Peradilan Agama/Mahkamah Syar iyah di Aceh adalah sebuah pros-pek, bukan hanya upaya penegakan hukum acara jinayat, namun sebagai upaya penegakan syariat )slam di bumi serambi Mekah.

(Alimuddin, Hermansyah)

Bagan ; Peraturan dan Qanun yang berlaku di Propinsi Aceh Undang-Undang R) Nomor Tahun tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah )stimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Undang-Undang R) Nomor Tahun tentang Perubahan atas Undang-Undang R) Nomor Tahun tentang Peradilan Agama;

Undang-Undang R) Nomor tahun tentang pemerintahan Aceh; Qanun Nomor Tahun , tentang Pelaksanaan syari`at )slam bidang aqidah, ibadah, dan syi`ar )slam.

Qanun Nomor Tahun , tentang Minuman khamar dan sejenisnya. Qanun Nomor Tahun , tentang Maisir perjudian .

Qanun Nomor Tahun , tentang Khalwat Mesum . Qanun Nomor Tahun , tentang Pengelolaan zakat.

Qanun Nomor Tahun tentang (ukum Acara Jinayat yang disahkan bulan Desember yang lalu, mengatur sepuluh macam ketentuan jinayat, yaitu : khamr, maisir, khlawat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qazaf, liwath dan musahaqah lesbian .


(4)

T

erlebih dahulu, saya atas nama pribadi dan keluarga besar Peradilan Agama mengucap-kan Selamat Ulang Tahun Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ten-tang Peradilan Agama yang ke 25”.

Semoga momentum ulang tahun ini dapat kita manfaatkan untuk meng-evaluasi dan mengintrofeksi kinerja kita, baik secara institusi maupun pribadi, agar dari waktu ke waktu terus meningkat ke arah yang sema-kin baik.

Pada kesempatan ini, saya teringat peristiwa yang terjadi sekitar tahun yang lalu. Pada saat itu saya masih menjabat sebagai ketua peng adilan agama di suatu tempat. Saya mendapat pelajaran yang sangat baik sekali dari salah seorang staf saya. Dia adalah salah seoarang pejabat eselon )V di pengadilan agama tersebut. Teman-temannya memanggil dia de ngan panggilan akrab Tullah. Tentu itu

bukan nama yang sebenarnya.

Dia jujur, polos, pekerja keras, bicara apa adanya, orang bilang cep-las-ceplos, tanpa beban. Saya melihat

sekaligus itu menunjukkan keikhla-san apa yang ia ucapkan.

Pelajaran ini sesungguhnya tidak saya terima secara langsung. Pelaja-ran ini ia sampaikan kepada seoPelaja-rang bendahara. Dengan polos dan ikh-las dia katakan: Kalau kamu mau bantu pimpinan, kelolalah keuan-gan ini denkeuan-gan baik”.

Saya tidak sengaja mendengar

uca-pan itu dan saya yakin diapun tidak sedang mencari muka kepada saya selaku pimpinan PA, karena saya yakin dia tidak tahu bahwa saya berada di sana. Bahkan, sampai hari ini pun dia tidak tahu bahwa saya telah mende-ngar apa yang diucapkannya.

Mendengar ucapan itu saya henyak dan sejenak langkah saya ter-henti. Dalam hati saya berkata: Luar biasa ucapan anak ini . Ucapan itu

sederhana dan diucapkan pula oleh orang yang sederhana, salah seorang pejabat eselon )V, akan tetapi uca-pan itu memiliki makna yang sangat dalam, bahkan mengandung falsafah yang luar biasa.

Saya jadi ingat pesan Rasul SAW: “Ambilah kebaikan itu darimana-pun datangnya”, “Jangan meli-hat siapa yang mengatakan, akan tetapi perhatikanlah apa yang dikatakannya”.

Kita bisa mengambil hikmah dari ucapan Tullah tersebut, bahwa penge-lolaan keuangan yang transparan men-jadi salah satu kunci sukses sese orang dalam memimpin suatu lembaga.

Untuk memperkuat tesis ini, saya merenung, selama saya men-jabat seba gai Dirjen Badilag, saya hitung-hitung sebagian besar lapo-ran tidak harmonisnya hubungan di suatu kantor, sebagian besar karena tidak beresnya pengelolaan keua-ngan. Banyak laporan, adanya pro-tes anak buah, adanya surat kaleng, hampir semuanya kalau dicermati

karena tidak arifnya pimpinan dalam masalah keuangan.

Saya menjadi ingat nasehat guru saya beberapa puluh tahun yang telah silam. Sekalipun nasehat ini sudah berlalu beberapa puluh tahun, saya yakin nasehat ini masih tetap up to date, sehingga tidak ada salahnya

kalau saya ungkap kembali dalam Pojok Dirjen ini.

Nasehat guru saya adalah: “Kalau kamu kelola keuangan dengan baik, maka pekerjaanmu telah selesai 50% sehingga kamu tinggal menye-lesaikan sisanya yang 50%. Akan tetapi, kalau kamu kelola keuangan dengan tidak baik, maka peker-jaanmu bertambah 50% sehingga beban pekerjaanmu tidak 100% lagi tetapi menjadi 150%.

Tambahan beban % itu justru yang melelahkan dan menghabiskan energi, mulai dari membuat rekayasa sampai dengan menghadapi protes dari anak buah sendiri, dari merekayasa kegiatan, menfiktif kegiatan, mere-kayasa bukti-bukti, menutup-nutupi rahasia yang tidak semestinya, rasa keta kutan dilaporkan oleh anak buah, dan sebagainya. Dan yang paling mele-lahkan dan bahkan menjadi bola liar kalau sampai ada protes dari anak buah dan munculnya surat pengaduan atau laporan kepada Badan Pengawasan.

Energi menjadi habis, bukan untuk mengerjakan yang prinsip program , akan tetapi menghadapi ekses dan protes dari anak-anak buah kita.

Mudah-mudahan dua pelajaran ini, yaitu satu pelajaran dari staf dan satu pelajaran lagi dari seorang guru yang arif menjadi pelajaran yang ber-harga bagi saya dan tentunya bagi kita semua.

Ternyata pelajaran yang baik itu bisa datang dari manapun, dan kita wajib memperhatikan pelajaran yang baik tersebut dari siapapun datang-nya. Ps

Hi km ah Bi sa Datang

Dar i Si apa Saj a

POJOK DIRJEN

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 5 | Des 2014 106


(5)

SELAMAT

MEMASUKI MASA PURNABHAKTI

Dr. H. Hamdan, S.H., M.H

(Hakim Agung Mahkamah Agung RI)

1. Dr. H. Chatib Rasyid, S.H., M.H.

(Ketua PTA Bandung)

2. Dr. H. Wildan Suyuthi, S.H., M.H.

(Ketua PTA Semarang)

3. Drs. H. Sofyan M. Saleh, S.H., M.H.

(Ketua PTA Medan)

4. Drs. H. Djafar Abdul Muchith, S.H., M.H.I. (Ketua PTA Banjarmasin)

5. Drs. H. Said Husein, S.H., M.H.

(Ketua PTA Bengkulu)

TERIMA KASIH ATAS PENGABDIAN

YANG TELAH DIBERIKAN UNTUK

LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

KELUARGA BESAR

DIREKTORAT JENDERAL BADAN PERADILAN AGAMA

MAHKAMAH AGUNG RI


(6)