Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjanjian Jual Beli Melalui Internet ( E-Commerce ) Pasca Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312006040 BAB IV
BAB IV
PENUTUP
Rangkaian tulisam yang penulis buat ditutup dalam bab ini yang berisi dua hal
yaitu (A) kesimpulan dan (B) saran.
A. Kesimpulan
1. Kontrak dalam perdagangan melalui internet ( e- commerce )
belum diatur di dalam Buku III KUH Perdata, pengaturan terhadap
kontrak dalam e-commerce dapat digunakan aturan yang berlaku
secara umum.. Kontrak dalam e-commerce mengikat dan berlaku
bagi para pihaknya ketika kontrak tersebut disepakati oleh kedua
belah pihak, hal ini terjadi dikarenakan adanya sifat terbuka dari
Buku III KUH Perdata. Meskipun ada salah satu syarat sahnya
perjanjian tidak terpenuhi yaitu mengenai syarat kecakapan para
pihak perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh merchant dan
customer
tetap berlaku dan mengikat serta menjadi Undang-
Undang bagi merchant dan customer karena syarat kecakapan
termasuk ke dalam syarat subyektif dimana suatu syarat meskipun
tidak terpenuhi dalam perjanjian tidak menyebabkan perjanjian
atau kontrak menjadi tidak sah, namun perjanjian atau kontrak
tersebut dapat dimintakan pembatalan.Selain itu kontrak dalam e-
118
commerce juga telah memenuhi asas-asas
dalam perjanjian
sehingga dengan adanya pemenuhan terhadap syarat sahnya
perjanjian menurut KUH Perdata dan asa-asas perjanjian maka
kontrak dalam e-commerce adalah sah dan dapat dikenakan aturan
KUH Perdata sebagai pengaturnya.
2. Permasalahan dalam pelaksanaaan e-commerce
pengaturannya
tetap mengacu pada aturan yang berlaku secara umum dalam
perjanjian yaitu KUH Perdata, begitu pula pada pengaturan akibatakibat hokum yang timbul dalam perjanjian e-commerce .
Tanggung jawab penjual jika melakukan wanprestasi dalam jual
beli melalui e-commerce ialah penjual berkewajiban memberikan
ganti rugi kepada pembeli. Baik berupa ongkos, kerugian, atau
bunga. Hak pembeli untuk menuntut ganti kerugian baru ada, jika
penjual sudah dalam keadaan lalai.
B. Saran
1. Ketentuan yang dan tegas mengenai tidak jelas dan tegas mengenai
perjanjian
e-commerce
di Indonesia menimbulkan ketidakpastian
hokum dan resiko yang tinggi bagi para pelaku usaha. Bentuk kontrak
dalam aktivitas electronic commerce pada hakekatnya disebut dengan
online contract sangat berbeda dengan kontrak konvensional. Oleh
karena itu diharapkan kedepannya
adanaya pembaharuan hokum
kontrak dalam aktivitas electronic commerce menjadi suatu yang
sanagat penting. Karena KUH Perdata dan Undang-Undang ITE dirasa
119
belum bisa menjamin sepenuhnya kontrak yang dilakukan melalui
media internet atau e-commerce.
2. Perkembangan
e-commerce tidak dapat dilepaskan dengan adanya
factor pendorong dan penghambat, dengan adanya factor pendorong
yang ada dalam
e-commerce lebih banyak karena kemudahan-
kemudahan yang diberikan dalam
e-commerce daripada proses
perdagangan biasa.
Meskipun
terdapat
kemudahan-kemudahan
yang
diberikan
e-
commerce ternyata juga terdapat suatu factor yang menghambat atas
pelaksanaan e-commerce yang ternyata memberikan permasalahaan
terhadap pelaksanaan e-commerce itu sendiri. Salah satunya adalah
tanggung jawab penjual jika melakukan wanprestasi dalam jual beli
melalui e-commerce. Pelaksanaan kontrak dalam e-commerce pada
umumnya terjadi antara para pihak yang bekedudukan belainan Negara
atau kota, agar pelaksanaan kontrak e-commerce tidak mengalami
hambatan, tentunya permasalahaan mengenai yuridiksi kewenangan
pengadilan dalam menangani sengketa tersebut haruslah ditemukan
pemecahannya
dan
adanya
pengaturannya.
120
aturan
hokum
yang
pasti
dalm
PENUTUP
Rangkaian tulisam yang penulis buat ditutup dalam bab ini yang berisi dua hal
yaitu (A) kesimpulan dan (B) saran.
A. Kesimpulan
1. Kontrak dalam perdagangan melalui internet ( e- commerce )
belum diatur di dalam Buku III KUH Perdata, pengaturan terhadap
kontrak dalam e-commerce dapat digunakan aturan yang berlaku
secara umum.. Kontrak dalam e-commerce mengikat dan berlaku
bagi para pihaknya ketika kontrak tersebut disepakati oleh kedua
belah pihak, hal ini terjadi dikarenakan adanya sifat terbuka dari
Buku III KUH Perdata. Meskipun ada salah satu syarat sahnya
perjanjian tidak terpenuhi yaitu mengenai syarat kecakapan para
pihak perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh merchant dan
customer
tetap berlaku dan mengikat serta menjadi Undang-
Undang bagi merchant dan customer karena syarat kecakapan
termasuk ke dalam syarat subyektif dimana suatu syarat meskipun
tidak terpenuhi dalam perjanjian tidak menyebabkan perjanjian
atau kontrak menjadi tidak sah, namun perjanjian atau kontrak
tersebut dapat dimintakan pembatalan.Selain itu kontrak dalam e-
118
commerce juga telah memenuhi asas-asas
dalam perjanjian
sehingga dengan adanya pemenuhan terhadap syarat sahnya
perjanjian menurut KUH Perdata dan asa-asas perjanjian maka
kontrak dalam e-commerce adalah sah dan dapat dikenakan aturan
KUH Perdata sebagai pengaturnya.
2. Permasalahan dalam pelaksanaaan e-commerce
pengaturannya
tetap mengacu pada aturan yang berlaku secara umum dalam
perjanjian yaitu KUH Perdata, begitu pula pada pengaturan akibatakibat hokum yang timbul dalam perjanjian e-commerce .
Tanggung jawab penjual jika melakukan wanprestasi dalam jual
beli melalui e-commerce ialah penjual berkewajiban memberikan
ganti rugi kepada pembeli. Baik berupa ongkos, kerugian, atau
bunga. Hak pembeli untuk menuntut ganti kerugian baru ada, jika
penjual sudah dalam keadaan lalai.
B. Saran
1. Ketentuan yang dan tegas mengenai tidak jelas dan tegas mengenai
perjanjian
e-commerce
di Indonesia menimbulkan ketidakpastian
hokum dan resiko yang tinggi bagi para pelaku usaha. Bentuk kontrak
dalam aktivitas electronic commerce pada hakekatnya disebut dengan
online contract sangat berbeda dengan kontrak konvensional. Oleh
karena itu diharapkan kedepannya
adanaya pembaharuan hokum
kontrak dalam aktivitas electronic commerce menjadi suatu yang
sanagat penting. Karena KUH Perdata dan Undang-Undang ITE dirasa
119
belum bisa menjamin sepenuhnya kontrak yang dilakukan melalui
media internet atau e-commerce.
2. Perkembangan
e-commerce tidak dapat dilepaskan dengan adanya
factor pendorong dan penghambat, dengan adanya factor pendorong
yang ada dalam
e-commerce lebih banyak karena kemudahan-
kemudahan yang diberikan dalam
e-commerce daripada proses
perdagangan biasa.
Meskipun
terdapat
kemudahan-kemudahan
yang
diberikan
e-
commerce ternyata juga terdapat suatu factor yang menghambat atas
pelaksanaan e-commerce yang ternyata memberikan permasalahaan
terhadap pelaksanaan e-commerce itu sendiri. Salah satunya adalah
tanggung jawab penjual jika melakukan wanprestasi dalam jual beli
melalui e-commerce. Pelaksanaan kontrak dalam e-commerce pada
umumnya terjadi antara para pihak yang bekedudukan belainan Negara
atau kota, agar pelaksanaan kontrak e-commerce tidak mengalami
hambatan, tentunya permasalahaan mengenai yuridiksi kewenangan
pengadilan dalam menangani sengketa tersebut haruslah ditemukan
pemecahannya
dan
adanya
pengaturannya.
120
aturan
hokum
yang
pasti
dalm