Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan E-Commerce dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312012708 BAB II

(1)

18

Di dalam bab ini, Penulis akan menguraikan tiga pokok pikiran yang berkaitan dengan E-Commerce. Pokok-pokok pikiran tersebut yakni pertama, uraian tentang E-commerce pada umumnya. Di dalam pembahasan ini akan diuraikan mengenai definisi dan ruang lingkup serta karakteristik dari E-Commerce dalam kaitannya dengan hukum perjanjian. Kedua, akan membahasan tentang e-commerce dalam perspektif hukum perdata Indonesia, khususnya kaidah-kaidah tentang perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Indonesia. Ketiga, akan membahasan e-commerce dalam perspektif UU ITE.

A. E-Commerce Pada Umumnya

1. Definisi E-Commerce

Bagi banyak kalangan e-commerce merupakan suatu terminologi baru yang belum cukup dikenal. Masih banyak yang beranggapan bahwa e-commerce ini sama dengan aktivitas jual beli alat-alat elektronik. Oleh karena itu dalam bab ini penulis akan mencoba menjelaskan pengertian dari e-commerce tersebut.


(2)

Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi mencoba menggambarkan e-commerce sebagai suatu cakupan yang luas mengenai teknologi, proses dan praktik yang dapat melakukan transaksi bisnis tanpa menggunakan kertas sebagai sarana mekanisme transaksi. Hal ini biasa dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui e-mail atau bisa melalui World Wide Web.25

Secara umum David Baum, yang dikutip oleh W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, mendefinisikan “E-commerce is a dynamic set of technologies,

applications, and business process that link enterprises, consumer and communities through electronic transactions and the electronic exchange of goods, services, and information”. E-commerce merupakan satu set dinamis teknologi, aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen dan komunitas tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, jasa, dan informasi yang dilakukan secara elektronik.26

Assosiation for Electronic Commerce secara sederhana mendefinisikan

e-commerce sebagai mekanisme bisnis secara elektrinis. CommerceNet, sebuah konsorsium industri memberikan definisi lengkap yaitu penggunaan jaringan komputer sebagai sarana penciptaan relasi bisnis.

Selain itu CommerceNet menambahkan bahwa di dalam e-commerce

terjadi proses pembelian dan penjualan jasa atau produk antara dua belah pihak

25Abdulkadir Muhammad. “Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan”. PT Citra

Aditya Bakti. Bandung. 1992. hlm: 20.


(3)

melalui internet atau pertukaran dan distribusi informasi antar dua pihak dalam satu perusahaan dengan menggunakan internet.

Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa, secara mendasar

Assosiation for Electronic Commerce sudah melihat E-Commerce sebagai salah tindakan hukum. Tindakan hukum itu yang dinyatakan dalam contoh jual beli, namun melalui media jaringan komputer, bukan bertatap-tatapan seperti dalam jual beli konvensional.

Sementara itu Amir Hatman dalam bukunya NetReady: Strategies For Success In The E-Conomy secara lebih terperinci lagi mendefinisikan e-commerce

sebagai suatu mekanisme bisnis secara elektronis yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu dengan menggunakan internet sebagai media pertukaran barang atau jasa baik antara dua institusi (Business to Business)

maupun antar institusi dan konsumen langsung (Business to Consumer).27

Menurut ECEG – Australia (Electronic Commerce Expert Group) e-commerce adalah: “Electronic Commerce is a broad concept that covers any

commercial transaction that is effected via electronic means and would include such means as facsimile, telex, EDI, internet and the telephone”28

.

Berdasarkan pengertian dari ECEG – Australia, maka pengertian e-commerce meliputi transaksi perdagangan melalui media elektronik. Dalam arti

27 Sebagaimana dikutip oleh Richardus Eko Indrajit. E-Commerce: “Kiat Dan Strategi Bisnis Di

Dunia Maya”. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. 2001. hlm: 3


(4)

kata tidak hanya media internet yang dimaksudkan, tetapi juga meliputi semua transaksi perdagangan melalui media elektronik lainnya seperti facsmile, telex, EDI dan telepon.

Oleh karena itu, Julian Ding mendefinisikan e-commerce sebagai berikut: “Electronic Commerce or e-commerce as it is also known, is a

commercial transaction between avendor and purchaser or parties in similar contractual relationship for the supply of goods, services or acquisition of “rights”. This commercial transaction is executed or entered into electronic medium (or digital medium), where the physical presence of parties is not required, and medium exist in a public network or system as opposed to private network (closed system). The public network system must considered on open system (e.g the internet or world wide web). The transaction concluded regardless of nation boundaries or local requirement”29

.

Dalam pengertian ini e-commerce merupakan suatu transaksi komersial yang dilakukan antara penjual dan pembeli atau dengan pihak lain dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang, pelayanan atau peralihan hak.

Transaksi komersial ini terdapat di dalam media elektronik (media digital) yang secara fisik tidak memerlukan pertemuan para pihak yang bertransaksi dan keberadaan media ini dalam public network atas sistem yang berlawanan dengan private network (sistem tertutup).

Lain halnya dengan Kosiur yang menyatakan bahwa e-commerce bukan hanya sebuah mekanisme penjualan barang atau jasa melalui media internet tetapi

29Julian Ding. “

E-Commerce: Law And Practice”. Sweet and Maxwell Asia. Malaysia. 1999. hlm: 25


(5)

lebih pada transformasi bisnis yang mengubah cara-cara perusahaan dalam melakukan aktivitas usahanya sehari-hari.30

Oleh karena itu Penulis mencoba melihat E-Commerce sebagai suatu rangkaian atau proses yang terjadi dalam dunia Commerce (yang mana para pihak sudah terjadi perikatan, yaitu perjanjian untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu) yang dilakukan melalui media elektronik (dunia maya), namun secara prinsip tetap tunduk pada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip hukum perjanjian dalam hukum perdata.

Berkaitan dengan hal itu pula, maka dapat dilihat ruang lingkup dari E-Commerce yang pada dasarnya merupakan aktivitas komersial yang terjadi di dunia maya, baik itu jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pelayanan jasa (services) dan lain sebagainya.

Sehingga hal tersebut lah yang mengakibatkan berbagai definisi yang diuraikan di atas tidak dapat terlepas dari unsur hukum, yaitu unsur yang menunjukan adanya suatu perbuatan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dari para pihak.

2. Karakteristik E-Commerce

Dari berbagai definisi yang ditawarkan dan dipergunakan terdapat kesamaan dari masing-masing definisi tersebut. Kesamaan tersebut memperlihatkan bahwa e-commerce mempunyai karakterisik sebagai berikut:


(6)

1. Terjadinya transaksi (perjanjian) antar dua belah pihak 2. Adanya pertukaran barang, jasa atau informasi

3. Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme perdagangan tersebut.

Dari karakteristik tersebut terlihat jelas bahwa pada dasarnya e-commerce merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, dan secara signifikan mengubah cara manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya, yang dalam hal ini terkait dengan mekanisme dagang. Meskipun demikian, cara tersebut tidak dapat menghilangkan ciri-ciri dari suatu perjanjian yang sudah diatur dalam hukum perjanjian.

Karakteristik e-commerce berbeda dengan transaksi perdagangan biasa, transaksi e-commerce memiliki beberapa karakteristik yang sangat khusus, yaitu31:

1. Transaksi tanpa batas

Sebelum era internet, batas-batas geografi menjadi penghalang suatu perusahaan atau individu yang ingin go-internasional. Sehingga, hanya perusahaan atau individu dengan modal besar yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Dewasa ini dengan internet pengusaha kecil dan menengah dapat memasarkan produknya secara internasional cukup dengan membuat situs web atau dengan memasang


(7)

iklan di situs-situs internet tanpa batas waktu (24 jam), dan tentu saja dengan pelanggan dari seluruh dunia dapat mengakses situs tersebut dan melakukan transaksi secara on line.

Selain itu, disebut transaksi tanpa batas oleh karena para pihak yang melakukan aktivitas di dalam E-Commerce tersebut tidak terbatas pada ruang dan waktu. Artinya, siapa saja dan dari negara mana saja orang tersebut dapat melakukan transaksi bisnis dengan orang lain, dan waktu untuk melakukan transaksi tersebut dapat terjadi kapan saja, sehingga disebut transaksi tanpa batas.

2. Transaksi anonim

Para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet tidak harus bertemu muka satu sama lainnya. Penjual tidak memerlukan nama dari pembeli sepanjang mengenai pembayaran telah diotorisasi oleh penyedia sistem pembayaran yang ditentukan, yang biasanya dengan kartu kredit.

Artinya, antara para yang berjanji dalam E-Commerce cukup memberikan kata sepakat satu sama lain, meskipun antara kedua belah pihak tidak pernah bertemu secara langsung. Dalam hal ini memerlukan kepercayaan antar para pihak.

3. Produk digital dan non digital


(8)

Produk-produk digital seperti software komputer, musik dan produk lain yang bersifat digital dapat dipasarkan melalui internet dengan cara mendownload secara elektronik. Dalam perkembangannya obyek yang ditawarkan melalui internet juga meliputi barang-barang kebutuhan hidup lainnya.

4. Produk barang tidak berwujud

Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce dengan menawarkan barang tak berwujud seperti data, software dan ide-ide yang di jual melalui internet.

Segmentasi atau ruang lingkup e-commerce itu meliputi 3 sisi, yakni e-commerce yang terdiri dari segmentasi bisnis ke bisnis (business to business), bisnis ke konsumen (business to consumer) serta konsumen ke konsumen (consumer to consumer).32

1. Bisnis ke bisnis (business to business)

Bisnis ke nisnis merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik antar perusahaan (dalam hal ini pelaku bisnis) yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau volume produk yang besar. Aktivitas e-commerce dalam ruang lingkup ini ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis


(9)

itu sendiri. Karakteristik yang umum akan segmentasi bisnis ke bisnis adalah antara lain:

1) Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama. Pertukaran informasi berlangsung di antara mereka dan karena sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan;

2) Pertukaran yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkala format data yang telah disepakati. Jadi service yang digunakan antara kedua sistem tersebut sama dan menggunakan standar yang sama pula;

3) Salah satu pelaku tidak harus menunggu partners mereka lainnya untuk mengirimkan data;

4) Model yang umum digunakan adalah peer to peer dimana

processing intelegence dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.

2. Bisnis ke konsumen (business to consumer)

Bisnis ke konsumen dalam e-commerce merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu. Umumnya jenis perjanjian dalam bisnis ke konsumen merupakan


(10)

perjanjian on-line yang telah berbentuk perjanjian dan ditawarkan kepada pihak umum dalam bentuk take it or leave it contract. Serta ada pula perjanjian dalam bentuk shirnkwrap contract dan click wrap contract yang merupakan perjanjian yang menawarkan kepada konsumennya penggunakan produk dengan syarat-syarat yang menyertai produk tersebut, umumnya terjadi dalam perjanjian penggunaan suatu software komputer.

Seorang pembeli seolah-olah telah telah menyetujui syarat-syarat yang diajukan dalam tindakannya untuk menahan atau menggunakan produk tersebut setelah diberikan kesempatan untuk membacanya atau menolaknya. Karakteristik yang umum untuk segmentasi bisnis ke konsumen diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara umum pula;

2) Service yang diberikan bersifat umum sehingga mekanisme dapat digunakan oleh banyak orang sebagai contoh karena sistem web telah umum di kalangan masyarakat maka sistem yang digunakan sistem web pula;

3) Service yang diberikan adalah berdasarkan permintaan. Konsumen berinisiatif sedangkan produsen harus siap merespon terhadap inisiatif konsumen tersebut;


(11)

4) Sering dilakukan pendekatan client-server dimana konsumen di pihak client menggunakan sistem yang minimal (berbasis web) dan penyedia barang atau jasa (business procedure) berada pada pihak server.

3. Konsumen ke konsumen (consumer to consumer)

Konsumen ke konsumen merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antarkonsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu pula, segmentasi konsumen ini sifatnya lebih khusus karena transaksi dolakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi.

Internet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya. Selain itu antar

customer juga dapat membentuk komunitas pengguna/ penggemar produk tersebut.

Ketidakpuasan customer dalam mengonsumsi suatu produk dapat segera tersebar luas melalui komunitas-komunitas tersebut. Internet telah menjadikan customer memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap perusahaan dengan demikian menuntut pelayanan perusahaan menjadi lebih baik.


(12)

B. E-Commerce

Dalam Perspektif Hukum Perdata Indonesia

E-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum aktivitas e-commerce di Indonesia 33, atau ketentuan lain tentang perikatan tergantung pada jenis perjanjian yang diperjanjikan oleh para pihak dalam E-Commerce.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perdagangan elektronik atau e-commerce merupakan suatu perbuatan hokum, maka secara hukum,

e-commerce masuk ke dalam lingkup Hukum Perdata. Untuk itu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat digunakan sebagai salah satu ketentuan hukum dalam melakukan perdagangan elektronik.

Hukum Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III BW. Tetapi seperti juga telah dikemukakan, kebebasan berkontrak tersebut bukan berarti boleh membuat kontrak/ perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu kontrak/ perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak adalah bebas untuk menentukan atau menetapkan isi dan macamnya


(13)

kontrak/ perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (pasal 1335 dan pasal 1337 BW)34.

Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam pasal 1320 BW yaitu35:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal.

ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antar pihak didalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberi persetujuannya dan kesepakatannya jika memang menghendaki apa yang disepakati.36

Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan bahwa kedua belah pihak menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kesesuaian kehendak antara keduanya belum dapat melahirkan perjanjian, karena kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain. Apabila pihak lain telah menerima atau menyetujui, maka timbul kata sepakat.

ad.2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

34 Riduan Syahrani. Seluk - Beluk Dan Asas - Asas Hukum Perdata. Alumni, Bandung. 1992.

hlm: 213


(14)

Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurtu undang-undanng dinyatakan tidak cakap. Ketidak cakapan ini dijelaskan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu orang yang belum dewasa, di bawah pengampuan, dan perempuan. Berkaitan dengan perempuan, melalui SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 1963 menetapkan bahwa perempuan dewasa cakap melakukan perjanjian 37 . Dalam perkembangannya Mahkamah Agung melalui putusan No. 447/SIP/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka batas seseorang di bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun.38

ad.3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut pasal 1333 BW barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.39

36 J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I. Citra Aditya Bakti.

Bandung. 1995. hlm: 164

37 Ridwan Khairandy. hlm: 48 38


(15)

ad.4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat ini pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.40

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang disepakati, walaupun tidak mematuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka.

Apabila suatu saat ada pihak yang tidak mengakui adanya perjanjian tersebut sehingga menimbulkan sengketa, maka hakim akan menyatakan perjanjian itu batal. Syarat pertama dan kedua yakni kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subyektif karena menyangkut subyek pelaku sedangkan syarat kedua merupakan syarat obyektif karena menyangkut obyek dari perjanjian.

Selain persyaratan-persyaratan tersebut, UU ITE juga menambahkan beberapa persyaratan lain, misalnya41:

a. Beritikad baik (Pasal 17 ayat 2 UU ITE, syarat ini juga telah ada dalam KUHPerdata);


(16)

b. Ketentuan mengenai waktu pengiriman dan penerimaan Informasi dan/atau Transaksi Elektronik (Pasal 8);

c. Menggunakan Sistem Elektronik yang andal dan aman serta bertanggung jawab (Pasal 15).

Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya adalah42:

 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 Kitab Undang-Undang Hukim Acara Perdata

 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

40 Ibid. Riduan Syahrani. hlm: 219

41 www.batan.go.id/sjk/uu-ite.html. Diakses 30 Januari 2013

42


(17)

 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

 Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan dibidang Perbankan

 Serta Undang-Undang dan Peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce.

Artinya, beberapa perundangan yang disebutkan di atas dapat menjadi Umbrella Act bagi suatu perbuatan E-Commerce yang terjadi di dunia maya. Hal itu juga tergantung pada jenis E-Commerce yang dilakukan. Jika memang lebih spesifik pada suatu hal tertentu yang tidak diatur dalam KUHPerdata dan UU ITE, maka E-Commerce tersebut dapat merujuk kepada perundangan lain yang terdapat kaidah hukumnya.

C.

E-Commerce Dalam Perspektif Undang

Undang Nomor

11 Tahun 2008

Oleh karena untuk tetap mewadahi perkembangan zaman menyangkut cara bertransaksi dari para pihak43, maka dibuatlah aturan mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

43

Dalam konteks ini, Penulis ingin menyatakan bahwa, bukan berarti Hukum tertinggal oleh perkembangan zaman sehingga baru dibentuk UU ITE. Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa E-Commerce tetap memiliki ciri dari perjanjian yang sudah diatur sebelumnya dalam hukum perdata, sehingga secara prinsip bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun, mengingat cara melakukan transaksi E-Commerce bukan seperti pada transaksi konvensonal, maka dirasakan untuk diatur dalam suatu undang-undang yang khusus untuk itu sebagai Lex Specialis dari hukum perdata.


(18)

Elektronik. Aturan-aturan yang berbicara tentang E Commerce adalah sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa, transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

b. Pasal 5

1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan


(19)

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.44

Hukum pembuktian pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sendiri bersifat lex specialis, dikarenakan undang-undang tersebut mengatur segala sesuatu yang lebih spesifik dalam hukum pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik bertujuan mengatur hukum diranah internet, baik yang berkaitan dengan aspek pidana, aspek perdata, aspek administrasi Negara dan beberapa aspek lainnya yang berkenaan dengan perbuatan hukum diranah cyber.

Dengan demikian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur alat bukti baru sebagai perluasan dari alat bukti konvensional karena undang-undang mengatur keberlakuan hukum diranah cyberspace atau dunia maya.

Berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 11/ 2008, bahwa informasi elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah, meliputi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetakannya; Ketentuan ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia (UU Nomor 8/ 1982 tentang


(20)

KUHAP). Bagaimana dengan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila menggunakan sistem elektronik dan dianggap sah akan diatur sesuai ketentuan dalam undang-undang ini.45

Suatu dokumen/ data/ informasi elektronik yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik biasanya telah dilegalisir atau dijamin oleh para profesional yang berwenang untuk itu. Jika proses tersebut dapat berjalan sebagaimana semestinya dan selama tidak dibuktikan lain oleh para pihak, maka semestinya dapat diterima sebagaimana layaknya bukti akte otentik dan bukan akta otentik.

Dengan demikian keberadaan dokumen elektronik tersebut seharusnya tidak dapat disangkal keberadaannya (non repudiation) dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang ada di dalamnya.46

c. Pasal 18

1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.

2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

45Siswanto Sunarso. “Hukum Informasi Dan Transaksi Elektronik. Studi Kasus: Prita Mulyasari”.

PT Rineka Cipta. Jakarta. 2009. hlm: 50

46Edmon Makarim. “Kompilasi Hukum Telematika”. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003.


(21)

3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.

4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.47

Keberadaan kontrak elektronik jelas merupakan perkembangan baru dalam jenis kontrak yang modern sehingga membutuhkan pengaturan yang tepat dan berdasar hukum jelas. Oleh karena itu, sangatlah perlu dikaji lebih lanjut tentang keabsahan kontrak elektronik ini sebagai dasar dari perikatan antara dua pihak yang mengadakan perikatan.48

47 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

48 Gagasanhukum.wordpress.com/2008/09/15/kontrak-elektronik-menurut-uu-ite-dan-bw/ Diakses


(1)

b. Ketentuan mengenai waktu pengiriman dan penerimaan Informasi dan/atau Transaksi Elektronik (Pasal 8);

c. Menggunakan Sistem Elektronik yang andal dan aman serta bertanggung jawab (Pasal 15).

Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya adalah42:

 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 Kitab Undang-Undang Hukim Acara Perdata

 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

40 Ibid. Riduan Syahrani. hlm: 219

41 www.batan.go.id/sjk/uu-ite.html. Diakses 30 Januari 2013

42


(2)

 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

 Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan dibidang Perbankan

 Serta Undang-Undang dan Peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce.

Artinya, beberapa perundangan yang disebutkan di atas dapat menjadi Umbrella Act bagi suatu perbuatan E-Commerce yang terjadi di dunia maya. Hal itu juga tergantung pada jenis E-Commerce yang dilakukan. Jika memang lebih spesifik pada suatu hal tertentu yang tidak diatur dalam KUHPerdata dan UU ITE, maka E-Commerce tersebut dapat merujuk kepada perundangan lain yang terdapat kaidah hukumnya.

C.

E-Commerce Dalam Perspektif Undang

Undang Nomor

11 Tahun 2008

Oleh karena untuk tetap mewadahi perkembangan zaman menyangkut cara bertransaksi dari para pihak43, maka dibuatlah aturan mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

43

Dalam konteks ini, Penulis ingin menyatakan bahwa, bukan berarti Hukum tertinggal oleh perkembangan zaman sehingga baru dibentuk UU ITE. Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa E-Commerce tetap memiliki ciri dari perjanjian yang sudah diatur sebelumnya dalam hukum perdata, sehingga secara prinsip bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun, mengingat cara melakukan transaksi E-Commerce bukan seperti pada transaksi konvensonal, maka dirasakan untuk diatur dalam suatu undang-undang yang khusus untuk itu sebagai Lex Specialis dari hukum perdata.


(3)

Elektronik. Aturan-aturan yang berbicara tentang E Commerce adalah sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa, transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

b. Pasal 5

1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan


(4)

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.44

Hukum pembuktian pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sendiri bersifat lex specialis, dikarenakan undang-undang tersebut mengatur segala sesuatu yang lebih spesifik dalam hukum pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik bertujuan mengatur hukum diranah internet, baik yang berkaitan dengan aspek pidana, aspek perdata, aspek administrasi Negara dan beberapa aspek lainnya yang berkenaan dengan perbuatan hukum diranah cyber.

Dengan demikian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur alat bukti baru sebagai perluasan dari alat bukti konvensional karena undang-undang mengatur keberlakuan hukum diranah cyberspace atau dunia maya.

Berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 11/ 2008, bahwa informasi elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah, meliputi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetakannya; Ketentuan ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia (UU Nomor 8/ 1982 tentang


(5)

KUHAP). Bagaimana dengan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila menggunakan sistem elektronik dan dianggap sah akan diatur sesuai ketentuan dalam undang-undang ini.45

Suatu dokumen/ data/ informasi elektronik yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik biasanya telah dilegalisir atau dijamin oleh para profesional yang berwenang untuk itu. Jika proses tersebut dapat berjalan sebagaimana semestinya dan selama tidak dibuktikan lain oleh para pihak, maka semestinya dapat diterima sebagaimana layaknya bukti akte otentik dan bukan akta otentik.

Dengan demikian keberadaan dokumen elektronik tersebut seharusnya tidak dapat disangkal keberadaannya (non repudiation) dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang ada di dalamnya.46

c. Pasal 18

1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.

2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

45Siswanto Sunarso. “Hukum Informasi Dan Transaksi Elektronik. Studi Kasus: Prita Mulyasari”.

PT Rineka Cipta. Jakarta. 2009. hlm: 50

46Edmon Makarim. “Kompilasi Hukum Telematika”. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003.


(6)

3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.

4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.47

Keberadaan kontrak elektronik jelas merupakan perkembangan baru dalam jenis kontrak yang modern sehingga membutuhkan pengaturan yang tepat dan berdasar hukum jelas. Oleh karena itu, sangatlah perlu dikaji lebih lanjut tentang keabsahan kontrak elektronik ini sebagai dasar dari perikatan antara dua pihak yang mengadakan perikatan.48

47 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

48 Gagasanhukum.wordpress.com/2008/09/15/kontrak-elektronik-menurut-uu-ite-dan-bw/ Diakses


Dokumen yang terkait

KEABSAHAN KONTRAK PERDAGANGAN SECARA ELEKTRONIK ( E-COMMERCE) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

0 0 19

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

1 1 65

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

2 8 65

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan E-Commerce dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan E-Commerce dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312012708 BAB I

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan E-Commerce dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312012708 BAB IV

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjanjian Jual Beli Melalui Internet ( E-Commerce ) Pasca Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312006040 BAB I

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjanjian Jual Beli Melalui Internet ( E-Commerce ) Pasca Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312006040 BAB II

0 0 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjanjian Jual Beli Melalui Internet ( E-Commerce ) Pasca Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312006040 BAB IV

0 0 3

BAB II INFORMASI ELEKTRONIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Pengertian Informasi Elektronik - Informasi yang Menyesatkan dalam Perdagangan Efek Tanpa Warkat Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

0 0 11