Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mental Accounting : Perilaku Boros Versus Self-Control T2 912010008 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Setiap
individu
dihadapkan
dengan
situasi
pengambilan keputusan, oleh karena itu pengambil keputusan
harus mengedepankan rasionalitas sehingga tidak mengarah
pada hasil yang tidak optimal. Dari berbagai keputusankeputusan yang harus segera diambil ini, maka akan timbul
bagaimana
cara
mengelola
keuangan
yang
ada
untuk
mendapatkan suatu penghasilan yang maksimal. Pengelolaan
ini yang disebut dengan manajemen keuangan (financial
management).
Manajemen
menyangkut
keuangan
dari
kegiatan
adalah
sebuah
perencanaan,
kegiatan
analisis,
dan
pengendalian kegiatan keuangan. Sehingga terdapat dua
keputusan
utama
dalam
manajemen
keuangan
yaitu
bagaimana menggunakan dana dan bagaimana mencari
pendanaan.
Mengutip
mengungkapkan
(www.modelindo.wordpress.com)
keputusan
yang
akhirnya
diambil
oleh
individu berbeda dengan yang diambil oleh manajer keuangan
karena individu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
psikologis dan sosial. Padahal, semua keputusan keuangan
perusahaan pun dihadapi oleh seseorang sebagai individu.
Individu
harus
tetap
menganggarkan
uangnya,
harus
1
melakukan investasi, dan harus memutuskan kebijakan kredit
yang paling sesuai. Dengan menerapkan cara pengelolaan
keuangan yang benar, maka seseorang diharapkan bisa
mendapatkan
manfaat
yang
maksimal
dari
uang
yang
dimilikinya pada saat ini.
Kenyataan menunjukan bahwa individu seringkali
tidak
rasional
dalam
pengambilan
keputusan
karena
pengololaan keuangan yang tidak baik. Masalah keuangan
yang
dihadapi
sebagian
oleh
individu
setiap
tidak
individu
mampu
disebabkan
karena
membedakan
mana
kebutuhan primer dan sekunder serta tidak ada skala
prioritas. Untuk mengatasi masalah keuangan ini, individu
memanfaatkan kemudahan fasilitas kredit yang diberikan oleh
pihak
perbankan
Bahkan
juga
untuk
membuat
membiayai
individu
kebutuhan
mereka.
meningkatkan
tingkat
konsumsinya.
Supramono;
mengatakan
Kaudin;
rumah
konsumsinya
Mahstanti;
tangga
(overspending)
Damayanti
cenderung
dengan
(2010)
meningkatkan
melakukan
kredit
daripada meningkatkan jumlah tabungan. Dalam artian,
kenaikan
tabungan,
gaji
sering
melainkan
tidak
simetris
simetris
dengan
dengan
kenaikan
kenaikan
kredit.
Demikian halnya, individu lebih menyukai kredit dengan
bunga yang relative tinggi daripada tabungan yang dimilikinya
dengan menerima bunga yang relatif rendah dari pihak
perbankan
untuk
kepentingan
konsumsi.
Lebih
lanjut
2
dikatakan bahwa fenomena tersebut dalam keuangan berbasis
perilaku dikenal dengan mental accounting, yaitu seseorang
seringkali berpikir parsial.
Selanjutnya, Shefrin & Thaler (1988) melalui teori
behavioral life-cyle mengelompoka aset ke dalam tiga mental
account yaitu; current income, current asset dan future income.
Mereka memprediksi seseorang akan menggunakan
lebih
banyak rejeki atau bonus yang diperoleh jika dimasukan
kedalam rekening current income daripada jika dimasukan
kedalam tabungan (current asset), dan digunakan paling
sedikit untuk kegiatan konsumtif jika dimasukan kedalam
rekening pendapatan yang akan datang (future income). Selain
itu, rejeki yang diterima sekaligus cenderung akan dimasukan
sebagai current asset, sementara jika diterima per-bulan
sebagai current income.
Selain itu dalam Karlsson, Garlin & Selart (1997)
mengajukan
hipotesis
bahwa
keengganan
menggunakan
tabungan sebagaimana diprediksi oleh mental accounting akan
menurun jika motif menabung dan konsusmsi adalah sesuai.
Lindgvist
(1981)
membedakan
empat
motif
menabung;
manajemen kas, berjaga-jaga, media keuangan mewujudkan
keinginan
dimasa
datang
dan
manajemen
kekayaan.
Sedangkan Holge & Mason (1995), menemukan bukti empirik
bahwa
terdapat
perbedaan
memberlakukan
tabungan
tergantung darimana tabungan tersebut diperoleh.
3
Thaler dan Shefrin (1981) mengemukakan bahwa alasan
seseorang mengambil keputusan di dalam hal keuangan bisa
dijelaskan
dengan
istilah
“mental
accounting.
Sebuah
fenomena perilaku finansial atau ekonomi perilaku (behavioral
finance) yang pertama kali diteliti oleh Richard Thaler. Mental
accounting adalah perilaku ekonomi bilamana seseorang
menggolongkan masukan dan keluaran berdasarkan pos-pos
seperti halnya model akuntansi (account code).
Sebagai
contoh,
perilaku
dengan bonus yang diterima.
seorang
pegawai
swasta
Bapak A baru saja menerima
bonus tahunan sejumlah 2 kali gaji. Di akhir pekan itu juga
dia mengajak keluarganya pergi ke toko peralatan elektronik,
di mana ia membeli satu set TV plasma lengkap dengan home
theater. Sesampai di rumah, ia memasang satu set peralatan
tersebut, dan menonton bersama keluarga film animasi WallE. Dalam hatinya, Bapak itu puas telah menghabiskan bonus
tahunannya
menerima
untuk
bonus
sebuah
tahunan
barang
yg
sejumlah
tepat.
2
kali
Bapak
gaji
B
dari
perusahaan yg sama dgn Bapak A. Di siang hari berikutnya ia
segera pergi ke bank, di mana ia membeli sebuah produk
reksadana saham (mutual fund) dengan seluruh uang bonus
tersebut. Sepulang dari bank, Bapak itu membuka catatan
investasinya,
dan
tersenyum
puas
melihat
assetnya
bertambah 10%. Dalam kasus pemanfaatan bonus, dapat
terlihat bahwa faktor pshikolog dan sosial sangat menentukan
pilihan keputusan seseorang. Bapak A menilai uang bonus 2
4
kali gaji tidak sama nilainya dengan gaji 2 bulan (meskipun
jumlahnya sama persis). Bapak A tidak akan membelanjakan
gajinya selama 2 bulan untuk seperangkat home theater.
Sebaliknya, Bapak B memilih untuk segera „mengenyahkan‟
uang tersebut agar tidak terjebak ke dalam perilaku mental
accounting ini, dengan cara investasi. Karena pengaruh mental
accounting inilah maka uang yang diperoleh dari bonus 2 kali
gaji dan uang yang diperoleh dari kerja keras 1 bulan,
tidaklah
sama
nilainya.
Padahal
jumlahnya
sama.
(http://pratolo.com).
Mental accounting terjadi apabila pertama, seseorang
mengira
dirinya
bukanlah
pemboros,
tetapi
ia
sendiri
mengalami kesulitan untuk menabung, meskipun penghasilan
individu cukup besar. Kedua, seseorang berbelanja lebih
banyak jika menggunakan credit card ketimbang jika memakai
uang cash. Ketiga, kebanyakan dana pensiun individu berada
pada penghasilan tetap atau investasi rentan inflasi lainnya.
Keempat, seseorang memperlakukan Rp 1 juta dari uang
warisan mertua berbeda dengan Rp 1 juta dari hasil kerja
(www.pratolo.com).
Thaler (1990) dan Davis (2003) berpendapat mengapa
seseorang
menggunakan
mental
accounting?
Karena
memungkinkan transaksi akan dievaluasi secara terpisah dari
transaksi lain. Hal ini akan mengurangi beban koqnitif
pengambilan keputusan dan pengambilan keputusan lebih
mudah. Chatterjee, Heath dan Min (2009) mengungkapkan
5
mental accounting dapat membawa dampak yang tidak baik
dalam
pengambilan
menyatakan
tidak
keputusan.
perlu
Tetapi
kuatir
apakah
Thaler
(1999)
seseorang
yang
mengalami mental accounting itu rasional atau tidak. Karlsson
(1998) dan Hoch & Loewenstein (1991) menegaskan bahwa
mental accounting dapat digunakan sebagai perangkat selfcontrol. Dalam artian mencegah pemanfaatan dana untuk
kepentingan yang bersifat overspending karena dana sudah
dipilah-pilahkan kedalam rekening tertentu seperti tabungan
dan investasi sehingga dana tersebut tidak mudah digunakan
untuk kepentingan lain (konsmtif).
Dari berbagai penelitian atau eksperimen sebelumnya,
lebih banyak mengkaji dampak mental accounting dari sisi
negatifnya (boros) tetapi belum mengkaji secara komprehensif
bahwa
mental
(misalnya
menegaskan
accounting
self-control).
bahwa
juga
memiliki
Padahal,
mental
dalam
accounting
dampak
positif
Mike
(2010)
dapat
digunakan
sebagai perangkat self-control. Oleh karena itu, penelitian ini
akan mencoba melihat hubungan antara mental accounting
dengan
self-control.
Fokus
penelitian
ini
akan
menguji
pengaruh antara mental accounting dengan self-control.
1.2.
Masalah Penelitian
1. Apakah terdapat fenomenal mental accounting dalam
pengelolaan keuangan pada Pegawai Non Akademik
UKSW Salatiga khususnya wanita.
6
2. Apakah mental accounting dapat dijadikan sebagai
self-control
pada
Pegawai Non Akademik UKSW
Salatiga khususnya wanita.
3. Apakah ada hubungan antara mental accounting
dengan faktor demografi tertentu.
1.3.
Tujuan penelitian
1.
Menguji
fenomenal
mental
accounting
dalam
pengelolaan keuangan pada Pegawai Non Akademik
UKSW Salatiga khususnya wanita.
2.
Menguji mental accounting sebagai perangkat selfcontrol pada Pegawai Non Akademik UKSW Salatiga
khususnya wanita.
3.
Menguji hubungan mental accounting dengan factor
demografi tertentu.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian
mengenai
mental
accounting
sebagai
perangkat self-control dalam pengelolaan keuangan ini adalah
berdasarkan
penelitian-penelitian
sebelumnya,
maka
diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman
yang baik tentang mental accounting yang mempunyai fungsi
tertentu
(self-control)
melandasi
seseorang
dalam
kehidupan
dalam
sehari-hari
menentukan
pilihan
yang
atau
mengambil keputusan keuangan.
7
Jika hasil penelitian ini memberikan bukti mengenai
kecenderungan mental accounting dapat dijadikan sebagai
perangkat self-control, maka akan mendukung apa yang
dikatakan oleh
Karlsson (1998) dan Hoch & Loewenstein
(1991). Lebih lanjut penelitian ini akan mendeskripsikan
perbedaan faktor demografi responden yang terdiri dari
marital status, usia, dan pendidikan terakhir berkaitan
kecenderungan mental accounting dapat dijadikan sebagai
perangkat self-control.
8
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Setiap
individu
dihadapkan
dengan
situasi
pengambilan keputusan, oleh karena itu pengambil keputusan
harus mengedepankan rasionalitas sehingga tidak mengarah
pada hasil yang tidak optimal. Dari berbagai keputusankeputusan yang harus segera diambil ini, maka akan timbul
bagaimana
cara
mengelola
keuangan
yang
ada
untuk
mendapatkan suatu penghasilan yang maksimal. Pengelolaan
ini yang disebut dengan manajemen keuangan (financial
management).
Manajemen
menyangkut
keuangan
dari
kegiatan
adalah
sebuah
perencanaan,
kegiatan
analisis,
dan
pengendalian kegiatan keuangan. Sehingga terdapat dua
keputusan
utama
dalam
manajemen
keuangan
yaitu
bagaimana menggunakan dana dan bagaimana mencari
pendanaan.
Mengutip
mengungkapkan
(www.modelindo.wordpress.com)
keputusan
yang
akhirnya
diambil
oleh
individu berbeda dengan yang diambil oleh manajer keuangan
karena individu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
psikologis dan sosial. Padahal, semua keputusan keuangan
perusahaan pun dihadapi oleh seseorang sebagai individu.
Individu
harus
tetap
menganggarkan
uangnya,
harus
1
melakukan investasi, dan harus memutuskan kebijakan kredit
yang paling sesuai. Dengan menerapkan cara pengelolaan
keuangan yang benar, maka seseorang diharapkan bisa
mendapatkan
manfaat
yang
maksimal
dari
uang
yang
dimilikinya pada saat ini.
Kenyataan menunjukan bahwa individu seringkali
tidak
rasional
dalam
pengambilan
keputusan
karena
pengololaan keuangan yang tidak baik. Masalah keuangan
yang
dihadapi
sebagian
oleh
individu
setiap
tidak
individu
mampu
disebabkan
karena
membedakan
mana
kebutuhan primer dan sekunder serta tidak ada skala
prioritas. Untuk mengatasi masalah keuangan ini, individu
memanfaatkan kemudahan fasilitas kredit yang diberikan oleh
pihak
perbankan
Bahkan
juga
untuk
membuat
membiayai
individu
kebutuhan
mereka.
meningkatkan
tingkat
konsumsinya.
Supramono;
mengatakan
Kaudin;
rumah
konsumsinya
Mahstanti;
tangga
(overspending)
Damayanti
cenderung
dengan
(2010)
meningkatkan
melakukan
kredit
daripada meningkatkan jumlah tabungan. Dalam artian,
kenaikan
tabungan,
gaji
sering
melainkan
tidak
simetris
simetris
dengan
dengan
kenaikan
kenaikan
kredit.
Demikian halnya, individu lebih menyukai kredit dengan
bunga yang relative tinggi daripada tabungan yang dimilikinya
dengan menerima bunga yang relatif rendah dari pihak
perbankan
untuk
kepentingan
konsumsi.
Lebih
lanjut
2
dikatakan bahwa fenomena tersebut dalam keuangan berbasis
perilaku dikenal dengan mental accounting, yaitu seseorang
seringkali berpikir parsial.
Selanjutnya, Shefrin & Thaler (1988) melalui teori
behavioral life-cyle mengelompoka aset ke dalam tiga mental
account yaitu; current income, current asset dan future income.
Mereka memprediksi seseorang akan menggunakan
lebih
banyak rejeki atau bonus yang diperoleh jika dimasukan
kedalam rekening current income daripada jika dimasukan
kedalam tabungan (current asset), dan digunakan paling
sedikit untuk kegiatan konsumtif jika dimasukan kedalam
rekening pendapatan yang akan datang (future income). Selain
itu, rejeki yang diterima sekaligus cenderung akan dimasukan
sebagai current asset, sementara jika diterima per-bulan
sebagai current income.
Selain itu dalam Karlsson, Garlin & Selart (1997)
mengajukan
hipotesis
bahwa
keengganan
menggunakan
tabungan sebagaimana diprediksi oleh mental accounting akan
menurun jika motif menabung dan konsusmsi adalah sesuai.
Lindgvist
(1981)
membedakan
empat
motif
menabung;
manajemen kas, berjaga-jaga, media keuangan mewujudkan
keinginan
dimasa
datang
dan
manajemen
kekayaan.
Sedangkan Holge & Mason (1995), menemukan bukti empirik
bahwa
terdapat
perbedaan
memberlakukan
tabungan
tergantung darimana tabungan tersebut diperoleh.
3
Thaler dan Shefrin (1981) mengemukakan bahwa alasan
seseorang mengambil keputusan di dalam hal keuangan bisa
dijelaskan
dengan
istilah
“mental
accounting.
Sebuah
fenomena perilaku finansial atau ekonomi perilaku (behavioral
finance) yang pertama kali diteliti oleh Richard Thaler. Mental
accounting adalah perilaku ekonomi bilamana seseorang
menggolongkan masukan dan keluaran berdasarkan pos-pos
seperti halnya model akuntansi (account code).
Sebagai
contoh,
perilaku
dengan bonus yang diterima.
seorang
pegawai
swasta
Bapak A baru saja menerima
bonus tahunan sejumlah 2 kali gaji. Di akhir pekan itu juga
dia mengajak keluarganya pergi ke toko peralatan elektronik,
di mana ia membeli satu set TV plasma lengkap dengan home
theater. Sesampai di rumah, ia memasang satu set peralatan
tersebut, dan menonton bersama keluarga film animasi WallE. Dalam hatinya, Bapak itu puas telah menghabiskan bonus
tahunannya
menerima
untuk
bonus
sebuah
tahunan
barang
yg
sejumlah
tepat.
2
kali
Bapak
gaji
B
dari
perusahaan yg sama dgn Bapak A. Di siang hari berikutnya ia
segera pergi ke bank, di mana ia membeli sebuah produk
reksadana saham (mutual fund) dengan seluruh uang bonus
tersebut. Sepulang dari bank, Bapak itu membuka catatan
investasinya,
dan
tersenyum
puas
melihat
assetnya
bertambah 10%. Dalam kasus pemanfaatan bonus, dapat
terlihat bahwa faktor pshikolog dan sosial sangat menentukan
pilihan keputusan seseorang. Bapak A menilai uang bonus 2
4
kali gaji tidak sama nilainya dengan gaji 2 bulan (meskipun
jumlahnya sama persis). Bapak A tidak akan membelanjakan
gajinya selama 2 bulan untuk seperangkat home theater.
Sebaliknya, Bapak B memilih untuk segera „mengenyahkan‟
uang tersebut agar tidak terjebak ke dalam perilaku mental
accounting ini, dengan cara investasi. Karena pengaruh mental
accounting inilah maka uang yang diperoleh dari bonus 2 kali
gaji dan uang yang diperoleh dari kerja keras 1 bulan,
tidaklah
sama
nilainya.
Padahal
jumlahnya
sama.
(http://pratolo.com).
Mental accounting terjadi apabila pertama, seseorang
mengira
dirinya
bukanlah
pemboros,
tetapi
ia
sendiri
mengalami kesulitan untuk menabung, meskipun penghasilan
individu cukup besar. Kedua, seseorang berbelanja lebih
banyak jika menggunakan credit card ketimbang jika memakai
uang cash. Ketiga, kebanyakan dana pensiun individu berada
pada penghasilan tetap atau investasi rentan inflasi lainnya.
Keempat, seseorang memperlakukan Rp 1 juta dari uang
warisan mertua berbeda dengan Rp 1 juta dari hasil kerja
(www.pratolo.com).
Thaler (1990) dan Davis (2003) berpendapat mengapa
seseorang
menggunakan
mental
accounting?
Karena
memungkinkan transaksi akan dievaluasi secara terpisah dari
transaksi lain. Hal ini akan mengurangi beban koqnitif
pengambilan keputusan dan pengambilan keputusan lebih
mudah. Chatterjee, Heath dan Min (2009) mengungkapkan
5
mental accounting dapat membawa dampak yang tidak baik
dalam
pengambilan
menyatakan
tidak
keputusan.
perlu
Tetapi
kuatir
apakah
Thaler
(1999)
seseorang
yang
mengalami mental accounting itu rasional atau tidak. Karlsson
(1998) dan Hoch & Loewenstein (1991) menegaskan bahwa
mental accounting dapat digunakan sebagai perangkat selfcontrol. Dalam artian mencegah pemanfaatan dana untuk
kepentingan yang bersifat overspending karena dana sudah
dipilah-pilahkan kedalam rekening tertentu seperti tabungan
dan investasi sehingga dana tersebut tidak mudah digunakan
untuk kepentingan lain (konsmtif).
Dari berbagai penelitian atau eksperimen sebelumnya,
lebih banyak mengkaji dampak mental accounting dari sisi
negatifnya (boros) tetapi belum mengkaji secara komprehensif
bahwa
mental
(misalnya
menegaskan
accounting
self-control).
bahwa
juga
memiliki
Padahal,
mental
dalam
accounting
dampak
positif
Mike
(2010)
dapat
digunakan
sebagai perangkat self-control. Oleh karena itu, penelitian ini
akan mencoba melihat hubungan antara mental accounting
dengan
self-control.
Fokus
penelitian
ini
akan
menguji
pengaruh antara mental accounting dengan self-control.
1.2.
Masalah Penelitian
1. Apakah terdapat fenomenal mental accounting dalam
pengelolaan keuangan pada Pegawai Non Akademik
UKSW Salatiga khususnya wanita.
6
2. Apakah mental accounting dapat dijadikan sebagai
self-control
pada
Pegawai Non Akademik UKSW
Salatiga khususnya wanita.
3. Apakah ada hubungan antara mental accounting
dengan faktor demografi tertentu.
1.3.
Tujuan penelitian
1.
Menguji
fenomenal
mental
accounting
dalam
pengelolaan keuangan pada Pegawai Non Akademik
UKSW Salatiga khususnya wanita.
2.
Menguji mental accounting sebagai perangkat selfcontrol pada Pegawai Non Akademik UKSW Salatiga
khususnya wanita.
3.
Menguji hubungan mental accounting dengan factor
demografi tertentu.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian
mengenai
mental
accounting
sebagai
perangkat self-control dalam pengelolaan keuangan ini adalah
berdasarkan
penelitian-penelitian
sebelumnya,
maka
diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman
yang baik tentang mental accounting yang mempunyai fungsi
tertentu
(self-control)
melandasi
seseorang
dalam
kehidupan
dalam
sehari-hari
menentukan
pilihan
yang
atau
mengambil keputusan keuangan.
7
Jika hasil penelitian ini memberikan bukti mengenai
kecenderungan mental accounting dapat dijadikan sebagai
perangkat self-control, maka akan mendukung apa yang
dikatakan oleh
Karlsson (1998) dan Hoch & Loewenstein
(1991). Lebih lanjut penelitian ini akan mendeskripsikan
perbedaan faktor demografi responden yang terdiri dari
marital status, usia, dan pendidikan terakhir berkaitan
kecenderungan mental accounting dapat dijadikan sebagai
perangkat self-control.
8