FISIP id Pojok Literasi Pemuda dan Nasionalisme

Exported from http://fisip.ub.ac.id/berita/pojok-literasi-pemuda-dan-nasionalisme.html

export date : Tue, 29 Aug 2017 4:27:53

Pojok Literasi - Pemuda dan Nasionalisme
“Pojok Literasi―  di Gazebo belakang Gedung FISIP Universitas Brawijaya, menggelar diskusi bersama antara Mahas
dan Dosen bertemakan “Pemuda dan Nasionalisme―. Yogi Eka Chalid Farobi selaku asisten dosen jurusan Sosiologi FI
UB yang menjadi pembicara mengatakan tema tersebut sebagai bentuk keresahan bagaimana kualitas pemuda dalam
konteks pemahamanya, kecintaannya, dan perilakunya terhadap realitas ke-Indonesiaan, yang menurutnya nasionalisme
pemuda masa kini pada titik terendah. “Nilai – nilai Nasionalisme itu termanifestasi dalam nilai - nilai sosial seperti goton
royong, toleransi antar masyarakat, keterbukaan untuk saling menerima keadaan. Hal – hal tersebut mulai terkikis di perilaku
pemuda zaman sekarang,  lebih pentingnya lagi, saat ini masyarakat harus sadar bahwa terdapat hujaman dan kekuatan –
kekuatan  tertentu yang menghendaki agar nilai-nilai perilaku positif itu terkikis, disni kekuatan yang paling besar itu
adalah ekonomi, ekonomi kemudian men-setting hal – hal tersebut melalui media massa, media sosial yang kemudian itu
sengaja dicetak untuk merubah perilaku termasuk di dalamnya keengganan untuk mencintai bangsanya sendiri― jelas Yogi
saat diwawancarai Jumat lalu (5/4/17). Yogi menambahkan pengaplikasian nilai nilai luhur seperti sopan santun, toleransi,
kepedulian tersebut di setting untuk mengikuti selera produsen ekonomi, hal ini nantinya menjadi keresahan dan sebagai
peringatan kepada pemuda untuk tidak menjadi generasi prakmatis dan korban mode, Â serta tidak menjadifollowers yang
hakikatnya followers penuh kepentingan dan justru bagaimana pemuda memahami bagaimana menjadi produktif, karena
nasionalisme tidak hanya dengan omongan, tapi dengan perilaku, serta berfikir apa yang bisa dikontribusikan kepada
masyarakat indonesia. “Pemuda zaman sekarang tengah menghadapi dua jenis nasionalisme yaitu nasionalisme substansial

dan artifisial. Saat ini yang dilakukan media massa adalah membangun nasionalisme itu artifisal yakni secara tidak nyata,
yang sebatas hanya dipermukaan saja dan sebagai bungkus saja, tidak mengena pada kehidupan sehari hari, contohnya ada
petisi tentang kemiskinan yang harus dilawan, tapi nihil aplikasi serta tidak ada praktek di lapangan, masyarkat yang
menandatangani atau bersimpati perilakunya tetap hedonis, ngawur dan tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya, Â lain
halnya jika di medsos menggembor - nggemborkan perubahan, Â hal ini tentunya mudah hilang, nasionalisme seprti ini cuma
dipermukaan saja, dan anehnya itu menjadi trend kita, yakni nasionalisme tanpa substansi jelas dalam diri kita― papar Yogi.
Laode Machdani Afala, S.IP., M.A. selaku dosen ilmu Pemerintahan FISIP UB yang juga sebagai pembicara
menambahkan “Membangun nasionalisme memang tidak  mudah, perlu latihan, perlu membaca dan memperbanyak dis
sehingga pemuda terbangun dari kegelisahan serta keinginan untuk membuat keberpihakan yang lebih nyata untuk
membangun nasonalisme kembali, sehingga apa yang kita berikan ke masyarakat lebih nyata dan tidak kontraproduktif,
tidak lewat medsos saja viral dan gaduh, namu di lapangan butuh sesuatu yang lebih riil untuk dilakukan contohnya
seperti membantu pengobatan masyarakat kurang mampu, aktif di masyarakat dengan membangun keberdayaan, tidak
usah muluk muluk menciptakan yang besar, hal – hal tersebut bisa dimasukkan sebagai contoh dari Nasional Substansial. â€
papar Laode. “Gejala Masyarakat zaman sekarang ini adalah gejala instan, seperti  beragarama dengan cara yang ekstrim,
agama itu kemudian kan sebagai bentuk pemahaman semua itu harus diletakkan secara proposional, lalu ada juga K-pop,
bukan berarti mode itu harus kita ikuti, kita harus membaca realitas atau fenomena secara lengkap, karena jika lengkap kita
dapat membbrikan sebuah pertimbangan, dan jangan setengah-setengah sehingga bingung harus menentukan jalan yang
akan diambil dan mana yang tidak,― papar Yogi. Yogi menambahkan bahwa kalangan muda saat ini kurang belajar dan
membaca sehingga banyak dari mereka yang memiliki budaya instan salah satunya menganggap bahwa K-Pop menjadi
semacam jalan atau hal yang bisa mereka ikuti dengan alasan mereka suka namun tidak rasional yakni tidak bisa memilih

yang harus diikuti mana yang cukup dikagumi yang mana, ia mengatakan pemuda harus tetap kritis dan terbuka, serta
menggali ilmu dengan membaca. “Saat ini, kampus dan Mahasiswa sekedar menggugurkan kewajiban normatif tanpa
subtabsi yang jelas, aktivis mahasiwa sekedar aktivsime, seakan - seakan sibuk, tapi kesibukan tersebut tidak memiliki nilai,
nilai – nilai yang dimaksud adalah nilai – nilai  kebermanfaatan dan keberpihakan kepada masyarakat, dalam konteks â€
konteks, banyak acara – acara mahasiswa yang di dalamnya tidak terlihat nilai – nilai, yang penting usai, sudah menjalank

prokernya, jarang  penyelenggaraan diskusi, padahal diskusi penting untuk melebarkan wacana, meluas cakrawala berpikir,
dan kita bisa paham perbedaan dan kekurangan,― jelas Yogi. Selain itu menurutnya saat ini acara mahasiswa di kampus lebih
cenderung ke hal - hal yg sifatnya gemerlap atau mewah, yang perlu ditekankan kepada mahasiswa ialah bagaimana
mahasiswa memahami pengabdian masyarakat, terlepas di jaman sekarang sudah banyak sekali perbedaan, seperti aksi
yang ingin diliput media, nasionalisme tidak akan tumbuh dengan hal hal yang seperi itu, nasionalisme akan tumbuh
dengan keterbukaan cakrawala berpikir dari membaca sekaligus dengan membangun jejaring  korepondensi dari luar, hal
hal tersebut dapat dilakukan untuk memperkuat fondasi nasionalisme. (Anata/Humas FISIP)