FISIP id Pojok Literasi Kartini Habis Gelap Belum Tentu Terang

Exported from http://fisip.ub.ac.id/berita/pojok-literasi-kartini-habis-gelap-belum-tentu-terang.html

export date : Tue, 29 Aug 2017 4:27:01

Pojok Literasi Kartini “Habis Gelap Belum Tentu Terang―
Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB)
menggelar pojok literasi dengan tema “Habis Gelap Belum Tentu Terang― pada Hari Jumat, 21 April 2017 di Gazebo
belakang Gedung FISIP UB. Acara yang dihadiri oleh segenap dosen dan mahasiswa ini merupakan rangkaian acara kedua
pojok literasi FISIP sejak diselenggarakan pada hari Jumat tanggal 31 Maret 2017 silam. Berkaitan dengan tema yang
diangkat pada agenda pojok literasi kedua, Primadiana Yunita, MA atau biasa dipanggil Nita sebagai Dosen FISIP UB
sekaligus salah satu pemateri dalam acara tersebut meyampaikan alasan acara bertema “Habis Gelap Belum Tentu Terang â
ia menuturkan bahwa kondisi dan harapan Kartini di era post modern ini belum sepenuhnya terwujud, “Pada kenyataannya
di zaman sekarang, seratus persen dari wanita belum mendapat pencerahan, pencerahan yang dimaksud disini adalahÂ
wanita belum mendapatkan kelayakan dalam hal pendidikan, banyak yang masih lulusan SMP atau SMA yang hal itu
berimbas ke perkerjaannya, banyak dari wanita masih di marginalkan dan dipandang sebelah mata,― tutur Nita. ‘Habis Ge
Belum Tentu Terang’ menandakan adanya gap antara harapan Kartini dan kondisi wanita di zaman sekarang, selain itu
dalam pembahasan di acara tersebut emansipasi dalam Kartini disalahartikan, Nita Menjelaskan pemahaman emansipasi
Kartini disamakan dengan feminisme yang identik dengan budaya western. “Banyak masyarakat Indonesia menilai paham
emansipasi yang dipahami saat ini hanya sebatas kesetaraan gender wanita dalam pekerjaan yang kemudian diversuskan
dengan peran laki – laki, padahal emansipasi tidak hanya berbicara tentang itu, emansipasi dalam Kartini lebih berbicara
tentang kebebasan wanita dalam mengungkap pendapat, dalam memperoleh hak pendidikan yang sama, bukan hanya

berbicara tentang kedudukan wanita yang mendominasi pria― imbuhnya saat ditemui pada Jumat (21/04/17) Selain itu dalam
pemahaman feminisme dalam Kartini tidak seharusnya secara keseluruhan dipahami dari sudut pandang barat, mengingat
Indonesia lebih mengadopsi budaya timur, Nita menuturkan hal itu ditandai dengan keberagama agama, budaya, nilai – nilai
adat dan sosial di Indonesia, “Menurut saya bagaimana paham feminisme yang ingin ditekankan Kartini adalah keinginan
agar wanita ingin lebih dilihat perannya, dan dihargai, selain itu hal – hal tersebut juga tak luput dari nilai sosial dan budaya
yang ada di Indonesia, serta tidak menyalahi dan tidak  keluar dari koridor ketimuran,― Jelas Nita. Beberapa poin pentin
yang ingin disalurkan melalui pojok literasi tersebut adalah agar kaum pria mengerti tentang paham emansipasi yang
diusung Kartini, selama ini wanita banyak diabadikan melalui hari-hari nasional seperti hari Ibu, hari Kartini, hari
Perempuan Nasional, melalui hal – hal tersebut wanita lebih ingin dilihat perannya dari hal – hal terkecil seperti ibu yang
menjadi tempat pertama penyalur pendidikan untuk anak – anaknya. Seperti yang disampaikan Kartini dalam suratnya pada
tanggal 4 Oktber 1902, “Kartini memohon
diusahakan pengajaran dan pendidikan, terutama untuk anak – anak perempuan
,
bukan sekali-kali karena menginginkan anak-anak perempuan tersebut menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan
hidupnya. Tapi karena Kartini yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya untuk menjadi ibu, pendidik
manusia yang pertama-tama.―
-Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902-. (Anata/Humas FISIP)