upload paper proceeding snisip 2015 ismi
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
ENGENDERING DEVELOPMENT: CASE STUDY ON ECO-TOURISM
(Menggenderkan Pembangunan: Studi Kasus pada Pembangunan Pariwisata
Ramah Lingkungan)
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni; Rara Sugiarti; Sri Marwanti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender-Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini menganalisis tentang bagaimana menggenderkan pembangunan (pada kasus
pembangunan pariwisata ramah lingkungan). Analisis dimulai dengan mengidentifikasi isu-isu
strategis gender dalam pembangunan pariwisata ramah lingkungan, dilanjutkan dengan
merumuskan strategi menggenderkan pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Penelitian
dilakukan di kawasan Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar yang ditetapkan secara purposif.
Dengan melakukan analisis gender terhadap isi dokumen kebijakan, dan diskusi terfokus
terhadap 18 informan kunci, disimpulkan bahwa isu-isu strategis gender dalam pembangunan
pariwisata ramah lingkungan mencakup: (1) Belum ada sinkronisasi dan operasionalisasi antara
kebijakan makro daerah terkait gender pada RPJMD dengan kebijakan renstra dan renja SKPD
yang menangani pembangunan pariwisata ramah lingkungan; (2) Belum ada sensitivitas gender
di kalangan stakeholder sehingga jaminan sistem judicial dan hukum yang memberikan
perlindungan terhadap status perempuan dan laki-laki pada program pembangunan pariwisata
ramah lingkungan tidak terimplementasi secara optimal; (3) Lemahnya peran kelembagaan
struktural dan fungsional PUG mengakibatkan strategi percepatan pengarusutamaan gender
melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender dalam pembangunan pariwisata
belum terimplementasi; (4) Representasi perempuan pada kelembagaan yang berperan strategis
dalam pengembangan pariwisata ramah lingkungan, yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH), tidak ada; (5) Belum ada tindakan affirmative action untuk memberikan layanan
pembangunan pariwisata yang responsif terhadap perbedaan kebutuhan perempuan dan lakilakI;
Strategi engendering development dilakukan dengan cara: (1) melakukan reformasi
kebijakan pembangunan pariwisata melalui dekonstruksi misi pembangunan pariwisata dan
lingkungan hidup serta perumusan Indikator Kinerja Utama pembangunan pariwisata responsif
gender; (2) melakukan reformasi institusional melalui revitaalisasi pokja PUG bidang
pariwisata, pembentukan gender focal point bidang pariwisata, melakukan capacity building
serta bimbingan teknis terhadap Lembaga Driver PUG, pengembangan kolaborasi antara
lembaga driver dengan PT dan LSM dalam menggenderkan pariwisata ramah lingkungan,
serta menetaapkan representasi perempuan minimal 30% sebagai pengurus LMDH (Lembaga
Masyarakat Desa Hutan); (3) reformasi anggaran, berupa integrasi gender dalam perencanaan
dan penganggaran pembangunan pariwisata ramah lingkungan.
Kata Kunci: affirmative action. Lingkungan, pariwisata, pengarusutamaan gender
Pendahuluan
Kesenjangan gender menghambat pembangunan, karena itu isu gender harus selalu
dimasukkan dalam setiap analisis, rancangan, dan implementasi kebijakan sehingga
penyelenggaraan pembangunan dapat lebih efektif (Rahardjo, ed.: 2005; Scheyvens, 2010; Hay,
26
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
2012; Jabeen, 2014). Memasukkan isu gender dalam setiap analisis, rancangan dan
implementasi kebijakan dikenal dengan istilah engendering development.
Pentingnya engendering development di Indonesia disebabkan karena hasil pembangunan
Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN, sementara itu Gender Inequality Index Indonesia lebih tinggi. Posisi
Indonesia dalam capaian Human Development Index (HDI) berada di bawah negara Singapura,
Malaysia, Sri Lanka, dan Thailand. Capaian Gender-related Development Index (GDI)
Indonesia di bawah negara Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, dan Philipina, dan
capaian Gender Inequality Index (GII) Indonesia lebih tinggi dibandingkan Singapura,
Malaysia, Sri Lanka, Thailand, Philipina, Vietnam, dan Myanmar.
Tabel 1: HDI, GDI dan GII di Negara-Negara ASEAN Tahun 2013
No
Negara
HDI
GDI
GII
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1
Singapura
0.901
0.967
0.090
2
Malaysia
0.773
0.935
0.210
3
Sri Lanka
0.750
0.961
0.383
4
Thailand
0.722
0.990
0.364
5
Indonesia
0.684
0.923
0.500
6
Philipina
0.660
0.989
0.406
7
Vietnam
0.638
0.322
8
Timor Leste
0.620
0.875
9
Kamboja
0.584
0.909
0.505
10
Bangladesh
0.558
0.908
0.529
11 Myanmar
0.524
0.430
Sumber: UNDP 2014
Engendering development sejalan dengan kebijakan-kebijakan di tingkat internasional
maupun nasional, diantaranya CEDAW, Beijing Declaration and Platforms for Action yang
menegaskan agar para pembuat kebijakan di negara-negara di dunia mengakhiri diskriminasi
dan menjamin persamaan hak perempuan serta melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan
akses dan kontrol perempuan atas sumber daya ekonomi, politik sosial dan budaya. Di tingkat
nasional, telah dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 yang menegaskan bahwa
setiap kementerian, lembaga pemerintah non departemen, Gubernur dan Bupati/Walikota harus
mengintegrasikan gender di dalam perencanaan pembangunan nasional. Di tingkat daerah, telah
dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 yang menegaskan
perlunya integrasi gender di dalam perencanaan pembangunan di daerah dengan tujuan utama
memberikan manfaat pembangunan yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki.
Selanjutnya, pada tahun 2012 Pemerintah Indonesia melalui Surat Edaran Bersama empat
Kementerian, yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak mengeluarkan Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender
melalui Perencanaan dan Penganggaran Repsonsif Gender (PPRG).
Meskipun engendering development memiliki landasan yuridis formal, namun
implementasinya masih menghadapi berbagai kendala, salah satunya dalam pembangunan
pariwisata. Pembangunan pariwisata ramah lingkungan yang mestinya melibatkan perempuan
dan laki-laki secara seimbang ternyata menunjukkan adanya marginalisasi perempuan, baik
pada tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasinya (lihat Nurhaeni, 2014).
27
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Temuan ini sejalan dengan studi-studi terdahulu dimana pembangunan pariwisata didominasi
oleh kelompok elit laki-laki dan lebih memberikan keuntungan kepada laki-laki daripada
perempuan. Terpinggirkannya perempuan dalam pembangunan pariwisata disebabkan karena
norma-norma tentang identitas peran dan relasi gender (Scheyvens, 2000; Tucker, 2007,
Hitchcock & Brandenburgh, 1990; Stonich, Sorensen, & Hundt, 1995 dalam Tucker & Brenda
Boonabaana, 2012).
Gender, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan saling berhubungan. Kemajuan dalam
satu atau lebih bidang ini sangat tergantung pada kemajuan yang dibuat dalam bidang yang lain.
Karena itu kita harus meninggalkan pendekatan feminist tradisional dan pendekatan perempuan
dan pembangunan kearah pendekatan yang akan membentuk inisiatif untuk mengurangi
kesenjangan gender dan sekaligus mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Artikel ini dimaksudkan untuk mengkaji tentang isu-isu strategis gender dalam
pembangunan pariwisata ramah lingkungan dan dilanjutkan dengan merumuskan strategi
engendering development dalam parisiwata ramah lingkungan. Pentingnya melakukan kajian
tentang gender dan lingkungan tidak hanya menyangkut isu kesetaraan saja, tetapi lebih dari itu
merupakan isu efisiensi karena melibatkan perempuan dan laki-laki akan mendorong terjadinya
peningkatan hasil, peningkatan biaya recovery, dan peningkatan sustainanblility. (Masika &
Baden, 1997 dalam Havet, Franka Braun & Birgit Gocht, 2007).
Kajian Pustaka
Engendering Development
Tantangan terpenting pembangunan saat ini adalah bagaimana memperdalam pemahaman
tentang kaitan antara gender, pembangunan dan kebijakan (Rahardjo, ed.: 2005; Scheyvens,
2010; Hay, 2012; Jabeen, 2014). Hal ini perlu dilakukan karena berbagai regulasi yang ada
mengharuskan setiap institusi pemerintah mengintegrasikan gender dalam kebijakankebijakannya.
Engendering development (memasukkan isu gender) dalam pembangunan merupakan
manifestasi dari reformasi kebijakan publik. Reformasi ini dilakukan karena perubahan
kebijakan yang mestinya terjadi secara otomatis sebagai akibat berlakunya regulasi yang
menjamin kesetaraan dan keadilan gender tidak berjalan.
Holzer & Kathe Callahan (1998) mengemukakan bahwa integrasi manajemen yang
berkualitas, pengembangan sumberdaya manusia, adaptasi teknologi, membangun kemitraan
dan mengukur kinerja kedalam kapasitas internal organisasi, dengan didukung oleh input
sumberdaya berupa uang, tenaga, energi dsb, akan menghasilkan peningkatan produktivitas
sektor publik, baik peningkatan dalam hal output maupun outcome. Dengan mengacu kepada
strategi percepatan PUG melalui PPRG, maka indikator output dan outcome pembangunan
harus dikoreksi dari semula netral gender menjadi responsif gender.
Dengan mengadopsi pada pendapat Holzer and Kathe Callahan (1998), maka produktivitas
sektor publik dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dapat meningkat jika:
1. sektor publik mengimplementasikan manajemen yang berkualitas, yaitu: (a) ada
dukungan dari manajemen puncak; (b) responsif terhadap customer; (c) memiliki
perencanaan strategis jangka panjang; (d) memiliki pegawai yang terlatih dan diakui;
(e) pemberdayaan pegawai dan kelompok kerja serta (f) ada jaminan kualitas.
2. dikembangkan manajemen sumberdaya manusia yang: (a) merekrut pegawai terbaik
dan tercerdas; (b) memberikan pelatihan sistemik; (c) mengakui keragaman; (d)
membangun layanan melalui tim; (e) menyediakan asistensi pegawai dan (f)
menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dengan karyawan.
28
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
3. melakukan adaptasi teknologi berupa: (a) adanya keterbukaan akses terhadap data; (b)
otomatisasi untuk meningkatkan produktivitas; (c) memenuhi permintaan publik; (d)
aplikasi hemat biaya; (e) teknik cross-cutting.
4. membangun kemitraan, mencakup: (1) kemitraan dengan masyarakat; (2) kemitraan
dengan sektor publik; (3) kemitraan dengan sektor swasta; (4) tidak melakukan
kemitraan yang berorientasi kepada keuntungan.
5. melakukan pengukuran kinerja, mencakup (a) menetapkan tujuan dan mengukur
hasilnya; (b) mengestimasi dan menjustifikasi kebutuhan sumberdaya; (c)
mengalokasikan sumberdaya; (d) mengembangkan strategi peningkatan organisasi; (e)
memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya. Model Holzer dan Kathe Callan
ini yang akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan reformasi administrasi publik
berupa engendering development dengan beberapa penyesuaian.
Pembangunan Pariwisata
Pariwisata merupakan salah satu industri andalan untuk meraih devisa, membuka
peluang usaha, dan menciptakan lapangan kerja. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan menyebutkan bahwa kepariwisataan bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya
serta memajukan kebudayaan. Dengan demikian, pembangunan pariwisata memiliki potensi
dalam menyumbang perekonomian suatu daerah dan mendukung perlindungan dan pelestarian
lingkungan hidup. Namun, di sisi lain, pembangunan pariwisata seringkali justru mendukung
terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan adanya
perencanaan pengembangan pariwisata dengan melibatkan peran masyarakat (civil society), baik
laki-laki maupun perempuan, sehingga pembangunan pariwisata tidak cenderung merusak tetapi
justru mendukung kelestarian fungsi lingkungan.
Pembangunan pariwisata ramah lingkungan adalah pembangunan pariwisata yang
mendasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pariwisata ramah lingkungan
sering disebut sebagai pariwisata hijau, pariwisata lestari atau pariwisata berkelanjutan. Ghimire
& Upreti (2011) menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat di dalam pengembangan
pariwisata ramah lingkungan dan mengeksplorasi strategi penguatan partisipasi masyarakat
setempat dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. Sedangkan Farsari & Prastacos (tt) di
dalam penelitiannya mengembangkan indikator pariwisata ramah lingkungan dengan
mendasarkan pada prinsip-prinsip sustainable tourism, yang terdiri atas: using resource
sustainably, reducing over consumption and waste, maintaining diversity, integrating tourism
into planning, supporting local economies, involving local communities, consulting
stakeholders and the public, training staff, marketing tourism responsibly; dan undertaking
research.
Clements (2007) menyebutkan bahwa agar lebih efektif dalam mengimplementasikan
prinsip kesinambungan dalam pembangunan pariwisata, orientasi non-ekonomi perlu
ditingkatkan dengan memperhatikan tiga pilar utama, yakni konservasi (conservation),
partisipasi masyarakat setempat (local participation), dan usaha pariwisata (tourism business)
(Lihat Gambar 1).
29
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Gambar 1: Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan.
Sumber: Diadaptasikan dari Clements (2007).
Pariwisata ramah lingkungan bertujuan untuk menjaga keserasian antara unsurunsurnya, seperti kebutuhan pembangunan pariwisata, kelestarian fungsi lingkungan alam,
sosial dan budaya, mutu produk pariwisata, profesionalisme sumber daya manusia, serta
kepuasan wisatawan. Berbagai unsur tersebut harus dijaga keseimbangannya sehingga tidak
akan menimbulkan benturan antara satu unsur dengan lainnya. Pembangunan pariwisata
berkelanjutan perlu diaplikasikan secara konsekuen. Usaha untuk mencapai keberhasilan
pembangunan pariwisata berkelanjutan memang merupakan jalan yang panjang dan komplek
(Clements, 2007). Banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi dalam hal
mengimplementasikan konsep-konsep pariwisata berkelanjutan. Kendala tersebut antara lain
adalah jenis wisatawan yang beraneka ragam dengan tingkat kesadaran lingkungan yang
berbeda-beda, kurangnya penyampaian informasi mengenai pariwisata berkelanjutan dan
pentingnya menjaga lingkungan, orientasi kepada keuntungan ekonomis yang berlebihan, serta
kurangnya kerjasama antara pihak terkait.
Strategi Engendering Development
Ada dua strategi dalam melakukan engendering development, yaitu gender mainstreaming
dan affirmative action (Yamo, 2014). Gender mainstreaming merupakan suatu proses untuk
mewujudkan kesetaraan gender dengan menempatkan gender sebagai pusat dari semua area
kebijakan utama. Gender mainstreaming dilakukan dengan mengintegrasikan gender dalam
seluruh proses kebijakan (Bendel, Regine & Angelika Schmidt., 2013). Gender mainstreaming
adalah strategi untuk memasukkan isu gender sebagai dimensi integral dari desain,
implementasi, monitoring dan evaluasi kebijakan dan program di semua bidang pembangunan
sehingga perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang sama. Sementara itu affirmative
action merupakan pemberian preferensi/ perlakuan khusus kepada kelompok yang dianggap
kurang beruntung seperti etnis, gender, dan/atau ras. (Cuyler: 2013; Paynes, 2004: 102).
Affirmative action adalah pengembangan program khusus (pemberdayaan perempuan) dalam
rangka meningkatkan kesetaraan gender dalam bidang pekerjaan dan pembangunan (UNFPA,
KPPA dan BKKBN, 2004) Affirmative action bersifat sementara, sampai kelompok tersebut
dianggap sudah memiliki posisi dan kesempatan setara dengan kelompok lain atau kelompok
sosial minoritas. Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara yang ditujukan untuk
mempercepat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi
dan harus dihentikan bilamana tujuan kesetaraan telah dicapai. Affirmative action juga bisa
30
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
diartikan sebagai upaya percepatan peningkatan representasi perempuan di politik. Affirmative
action dilakukan sebagai usaha aktif untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender bagi
orang-oraang yang kurang beruntung.
Dalam konteks pembangunan pariwisata, gender mainstreaming dilakukan dengan
mengintegrasikan isu gender kedalam kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata.
Manifestasi integrasi ini mestinya tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah,
mulai dari RPJMD, renstra dan renja SKPD serta adanya analisis gender yang tertuang dalam
dokumen Gender Analysis Pathway (GAP) dan Gender Budget Statement (GBS) sebagai
dokumen yang tidak terpisahkan dari dokumen RKA. Dengan demikian ada jaminan bahwa
setiap kegiatan pembangunan pariwisata akan memberikan kemanfaatan yang adil dan setara
bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara itu, affirmative action dilakukan melalui
pengembangan program/ kegiatan khusus yang ditujukan untuk memberdayakan perempuan
(jika yang tertinggal adalah perempuan) atau laki-laki (jika yang tertinggal adalah laki-laki)
dalam mengejar ketertinggalan mereka, melalui peningkatan kapasitas, kemandirian, serta
ketrampilan untuk membuat keputusan, menyuarakan aspirasi dan mentransformasi pilihannya
ke dalam suatu tindakan.
World Bank (2002) mengembangkan empat elemen kunci dari pemberdayaan, antara
lain: (1) akses terhadap informasi, (2) inklusi/ partisipasi, (3) akuntabilitas dan (4) kapasitas
organisasi lokal. Menurut Word Bank, informasi merupakan kekuatan. Masyarakat yang
mendapat informasi akan mendapatkan keuntungan berupa akses terhadap pelayanan,
mempraktekkan hak-haknya dan membuat aktor pemerintah maupun aktor non pemerintah
menjadi akuntabel. Selanjutnya, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan merupakan hal yang kritis untuk menjamin adanya penggunaan sumber-sumber
publik yang terbatas. Untuk itu, pegawai publik maupun aktor-aktor swasta harus dijaga agar
mampu mempertanggungjawabkan kebijakan, tindakan dan penggunaan pendapatannya.
Secara administrasi maupun politik, agen-agen pemerintah maupun swasta harus mempunyai
mekanisme akuntabilitas horizontal, internal, maupun terhadap rakyat dan pelanggannya. Pada
akhirnya, organisasi lokal harus mempunyai kapasitas mengorganisir orang-orang untuk bekerja
bersama, dan memobilisasi sumber-sumber yang ada untuk memecahkan masalah yang mereka
hadapi besama. Masyarakat yang terorganisasi harus dapat menyuarakan aspirasi dan
keinginannya agar dapat terpenuhi. Pemberdayaan tidak hanya membuka akses ke pengambilan
keputusan, tetapi juga harus mencakup proses yang menyebabkan orang mampu berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan. Oxaal & Sally Baden (1997: 3) menyatakan bahwa
pemberdayaan digambarkan sebagai kemampuan untuk membuat pilihan, sekaligus melibatkan
kemampuan untuk membuat pilihan yang ditawarkan.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Gunung Lawu Kabupaten Karanganyar,
Indonesia karena lokasi ini memiliki sejumlah daya tarik wisata alam yang rawan dampak
sehingga harus dikelola secara ramah lingkungan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif, yaitu menggambarkan isu-isu strategis gender dalam pembangunan pariwisata ramah
lingkungan dan strategi menggenderkan pembangunan pariwisawata ramah lingkungan.
Sumber data berupa informan, tempat dan peristiwa serta dokumen. Informan ditetapkan secara
purposif, terdiri atas unsur pemerintah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Karanganyar, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar, Badan Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana), dan Perwakilan Kecamatan.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan, focus group discussion, wawancara
31
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
mendalam, dan metode simak. Analisis data penelitian ini menggunakan analisis isi terhadap
dokumen kebijakan dan hasil focus group discussion terhadap 18 informan kunci. Analisis
kualitatif menggunakan analisis interaktif yang menggaribawahi hubungan antar tiga komponen
utama, yakni reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.
Berbagai istilah yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi yang dibuat
oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS, Kementerian Keuangan,
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (2012) sebagai lembaga driver Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan
dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). Yang dimaksud dengan isu-isu strategis adalah
kondisi atau hal yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan pembangunan
daerah karena dampaknya yang signifikan bagi daerah dengan karakteristik bersifat penting,
mendasar, mendesak, berjangka panjang, dan menentukan tujuan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di masa yang akan datang. Yang dimaksud dengan keadilan gender
(gender equity) adalah perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan proses
kebijakan pembangunan, yaitu dengan mempertimbangkan pengalaman, kebutuhan, kesulitan,
hambatan sebagai perempuan dan sebagai laki-laki untuk mendapat akses dan manfaat dari
usaha-usaha pembangunan; untuk ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan serta dalam
memperoleh penguasaan (kontrol) terhadap sumberdaya seperti dalam mendapatkan/
penguasaan keterampilan, informasi, pengetahuan, kredit dan lain-lain. Yang dimaksud dengan
responsif gender adalah perhatian dan kepedulian yang konsisten dan sistematis terhadap
perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang disertai upaya
menghapus hambatan-hambatan struktural dan kultural dalam mencapai kesetaraan gender.
Sensitif gender adalah kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasilhasil pembangunan serta relasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan. Yang
dimaksud kebijakan/ program responsif gender adalah kebijakan/program yang responsif
gender berfokus kepada aspek yang memperhatikan kondisi kesenjangan dan kepada upaya
mengangkat isu ketertinggalan dari salah satu jenis kelamin.
Operasionalisasi integrasi gender dalam kebijakan mengadopsi dari African Development
Bank Group (2009) tentang prioritas isu kesetaraan gender dalam Good Governance, yang
dalam penelitian ini dikaitkan dengan kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata
ramah lingkungan, antara lain:
1. Apakah kebijakan pariwisata dan implementasinya sudah menjamin kesetaraan bagi
perempuan dan laki-laki sebagai warga negara dalam melaksanakan tugas, hak dan
aksesnya terhadap pelayanan publik?
2. Apakah ada jaminan sistem judicial dan hukum yang ditujukan untuk memberikan
perlindungan terhadap status perempuan dan laki-laki dalam pembangunan pariwisata?.
3. Apakah ada anggaran publik yang merefleksikan tujuan untuk mewujudkan kesetaraan
gender dalam pembangunan pariwisata?
4. Apakah struktur dan proses penyelenggaraan pemerintahan serta proses pengambilan
keputusan menjamin partisipasi aktif perempuan dengan jumlah kritis pada institusi
kunci seperti parlemen dan pemerintah lokal (atau lembaga lokal)?
5. Apakah pemberian layanan pada sektor kunci pembangunan pariwisata responsif
terhadap kebutuhan spesifik perempuan maupun laki-laki sehingga mampu
meningkatkan pengambilan keputusan yang transparan, partisipatif, dan akuntabilitas
institusional?
32
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Pembahasan
Isu Strategis Gender dalam Pembangunan Pariwisata
Hasil riset menemukan bahwa jaminan untuk mewujudkan kesetaraan gender termaktub
dalam dokumen kebijakan RPJMD Kabupaten Karanganyar Tahun 2008-2013, khususnya pada
Misi ke- Mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui keseimbangan pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan pembangunan yang bertumpu pada kemandiran, peningkatan kualitas
Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Karaanganyar dalam merumuskan Visi
dan Misinya, namun tidak diacu oleh Badan Lingkungan Hidup maupun Dinas Pariwisata yang
tugas pokok dan fungsinya terkait dengan pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Visi
Badan Lingkungan Hidup adalah mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan tenteram dalam
semangat kemitraan. Sedangkan Visi Dinas Pariwisata adalah mewujudkan Kabupaten
Karanganyar sebagai pusat pariwisata dan kebudayaan yang mapan. Dengan demikian, hasil
penelitian ini menemukan belum adanya sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan pada
RPJMD dengan Renstra dan Renja SKPD.
Ketiadaan sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan RPJMD Kabupaten
Karanganyar, Indonesia dengan Renstra dan Renja Badan Lingkungan Hidup dan Dinas
Pariwisata menunjukkan bahwa persoalan
Temuan penelitian ini diperkuat dengan hasil FGD sebagaimana disajikan pada tabel 2.
Visi pada RPJMD
Kabupaten Karanganyar
Terwujudnya Karanganyar Yang
Tenteram, Demokratis Dan Sejahtera
Misi ke-3 RPJMD Kabupaten
Karanganyar Tahun 2008 2013
Mewujudkan kesejahteraan rakyat
melalui keseimbangan pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan
pembangunan yang bertumpu pada
kemandiran, peningkatan kualitas
SDM dan penyetaraan gender
Visi pada RENSTRA BP3AKB
Mewujudkan penduduk tumbuh
seimbang, kesetaraan gender dan
pemenuhan hak
Misi ke-2 RENSTRA BP3AKB
Tahun 2008 2013
Meningkatkan SDM dan penyetaraan
gender di semua bidang pembangunan
Gambar 1: Sinkronisasi dan Operasionalisasi Visi dan Misi
33
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Tabel 2: Integrasi Gender Pada Pembangunan Pariwisata Ramah Lingkungan
TEMUAN
kebijakan dan implementasi program
pembangunan pariwisata sudah menjamin
kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki
sebagai warga negara dalam melaksanakan
tugas, hak dan akses nya terhadap
pelayanan publik;
Ada jaminan sistem judicial dan hukum
yang
ditujukan
untuk
memberikan
perlindungan terhadap status perempuan
dan laki-laki pada program pembangunan
pariwisata
Ada anggaran publik yang merefleksikan
tujuan mewujudkan kesetaraan gender
dalam pembangunan pariwisata
YA
Ya
TIDAK
-
Ya
-
-
tidak
Struktur dan proses penyelenggaraan
pemerintahan serta proses pengambilan
keputusan dalam pembangunan pariwsata
menjamin partisipasi aktif perempuan
dengan jumlah kritis pada institusi kunci
seperti parlemen dan pemerintah lokal
-
tidak
-
tidak
Pemberian layanan pada pembangunan
pariwisata responsif terhadap kebutuhan
spesifik perempuan maupun laki-laki
sehingga mampu meningkatkan
pengambilan keputusan yang transparan,
partisipatif, dan memenuhi akuntabilitas
insitusional.
Sumber: Hasil Penelitian
KETERANGAN
Ada jaminan pada
kebijakan makro (misi
RPJMD), namun
belum ada pada misi
BLH maupun Dinas
Pariwisata
Belum ada implementasi
perencanaan dan
penganggaran responsif
gender
Representasi perempuan
dalam parlemen < 30%,
representasi perempuan
sebagai pengurus pada
Lembaga Masyarakat
Desa Hutan (LMDH)
tidak ada
Belum ada program yang
bersifat affirmative
action bagi perempuan
pada program
pembangunan pariwisata
Berdasarkan temuan riset dapat diidentifikasi isu-isu strategis sebagai berikut:
Pertama, Belum ada sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan makro daerah terkait
gender pada RPJMD dengan kebijakan renstra dan renja SKPD yang menangani pembangunan
pariwisata ramah lingkungan, yaitu Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Pariwisata. Akibatnya,
tidak ada jaminan bahwa misi daerah untuk mewujudkan kesetaraan daan keadilan gender akan
terimplementasi dengan baik.
Kedua, belum ada sensitivitas gender dari stakeholder sehingga jaminan sistem judicial
dan hukum yang ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap status perempuan dan
laki-laki pada program pembangunan pariwisata ramah lingkungan tidak terimplementasi secara
optimal. Masih lemahnya sensitivitas gender para policy maker, perencana maupun pelaksana
program ditunjukkan dari tidak adanya komitmen pada top manajemen untuk menjadikan isu
gender mainstream dalam kebijakan-kebijakan daerah. Akibatnya, tidak ada regulasi di tingkat
34
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kabupaten (baik berupa surat edaran, surat keputusan Bupati ataupun peraturan daerah sebagai
operasionalisasi dari regulasi yang berada di tingkat atasnya (yaitu Permendagri dan Peraturan
Gubernur yang mengharuskan setiap SKPD melakukan percepatan pengarusutamaan gender
melalui PPRG). Dengan demikian, tidak ada alat pemaksa yang cukup efektif terhadap SKPD
untuk melakukan engendering development sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing
SKPD. Padahal, dengan mengacu pendapat Holzer & Kathe Callahan (1998), komitmen top
manajemen merupakan langkah pertama yang dibutuhkan dalam mendiseminasikan nilai
kesetaraan dan keadilan gender. Untuk itu perlu ada perubahan orientasi kualitas kebijakan
publik dari netral gender menjadi responsif gender dan hal ini harus dimulai dari perubahan
perilaku pada tingkat top manajemen dan perubahan budaya organisasi yang mendorong
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
Ketiga, lemahnya kapasitas kelembagaan struktural maupun fungsional PUG sehingga
mengakibatkan strategi percepatan pengarusutamaan gender melalui Perencanaan dan
Penganggaran Responsif Gender dalam pembangunan pariwisata belum terimplementasi. Secara
struktural, lembaga driver pengarusutamaan gender (yaitu Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda), Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga
Berencana, Dinas Pendapatan Keuangan Daerah dan Inspektorat) belum menjalankan perannya
dalam mendorong dan meningkatkan kapasitas SKPD agar mampu mengintegrasikan gender
dalam kebijakan/ program/ kegiatan yang mereka buat. Padahal masing-masing SKPD
memiliki keterbatasan kemampuan dalam melakukan analisis gender dan memformulasikan
program atau kegiatan untuk mengatasi masalah gender. Secara fungsional, kelompok kerja
(Pokja) gender dibentuk sekedar untuk memenuhi syarat administratif saja dan belum bergerak
ke tingkat akar rumput dalam mendorong integrasi gender pada pembangunan pariwisata. Tim
penggerak gender (gender focal point) pada masing-masing SKPD yang menangani
pembangunan pariwisata belum terbentuk. Akibatnya, Kabupaten Karanganyar tidak memiliki
data terpilah menurut jenis kelamin yang valid dan up-to-date sebagai dasar untuk membuka
wawasan para stakeholder tentang adanya kesenjangan gender. Selain itu, di Kabupaten
Karanganyar belum ada indikator pembangunan yang mengintegrasikan gender sehingga kurang
memacu SKPD dalam mewujudkan tujuan pembangunannya. Hal ini diperparah dengan belum
adanya dukungan keras dari masyarakat yang mendesakkan pentingnya integrasi gender dalam
kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata di daerah.
Ke-empat, belum ada representasi perempuan dalam lembaga lokal yang berperan
strategis dalam pengembangan pariwisata ramah lingkungan, yaitu Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH). Padahal lembaga ini berperan strategis dalam merancang pengembangan
pariwisata ramah lingkungan agar mampu mendukung prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan, yaitu keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan
keberlanjutan teknologi. Tidak adanya keterlibatan perempuan dalam lembaga strategis ini bisa
berakibat terhadap semakin termarginalnya perempuan dalam pembangunan pariwisata.
Akibatnya, kompetensi dan kapasitas perempuan dalam pengembangan pariwisata tidak
diperhitungkan, dan perempuan menerima dampak yang lebih besar dan kurang menguntungkan
dari kerusakan lingkungan.
Kelima, belum ada tindakan affirmative action untuk memberikan layanan
pembangunan pariwisata yang responsif terhadap perbedaan kebutuhan perempuan dan lakilaki. Tindakan affirmative action sangatlah diperlukan agar marginalisasi terhadap perempuan
dalam pembangunan pariwisata dapat diatasi secara terencana dan berkelanjutan.
Strategi Menggenderkan Pembangunan Pariwisata Ramah Lingkungan
35
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Strategi menggenderkan pembangunan pariwisata ramah lingkungan dilakukan
melalui: (1) reformasi kebijakan, (2) reformasi institusional, dan (3) reformasi anggaran.
Strategi pertama, melakukan reformasi kebijakan, yaitu mendekonstruksi Visi, Misi, dan
Strategi pembangunan pariwisata pro gender. Reformasi kebijakan pembangunan pariwisata
perlu dilakukan melalui dekonstruksi misi pembangunan pariwisata dan lingkungan hidup serta
perumusan Indikator Kinerja Utama Pembangunan pariwisata responsif gender. Dekonstruksi
misi dilakukan pada rumusan misi ke-5 dan ke Mendorong
individu, keluarga dan masyarakat agar memiliki komitmen dan melaksanakan secara nyata
pengelolaan lingkungan hidup dan meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia
-2 Renstra Dinas Pariwisata berbunyi
Mewujudkan pariwisata sebagai pendukung peningkatan ekonomi masy
ISU STRATEGIS
Belum ada sinkronisasi dan operasionalisasi kebijakan
Belum ada sensitivitas gender
Lemahnya kapasitas kelembagaan struktural dan fungsional
Tidak adanya representasi perempuan dalam kelembagaan lokal strategis
Belum ada affirmative action dalam pengembangan pariwisata
Reformasi Kebijakan:
Dekonstruksi Visi, Misi,
Strategi pembangunan
Pariwisata Pro gender
IKU Pembangunan Parwisata
Pro Gender
Reformasi Institusional:
Revitalisasi pokja
Pembentukan Gender Focal Point
Capacity building dan bintek PUG
Collaborative governance
Affiirmative Action pada kelembagaan
local strategis LMDH
Reformasi Anggaran:
Gender budgeting pada program
pembangunan pariwisata
Gender budgeting pada program khusus
pemberdayaan perempuan dalam
pembangunan pariwisata
Kesetaraan dan keadilan
gender dalam
pembangunan pariwisata
Gambar 2: Hubungan Isu Strategis dengan Reformasi
Strategi kedua, melakukan reformasi institusional melalui revitaalisasi pokja PUG
bidang pariwisata, pembentukan gender focal point bidang pariwisata dan melakukan capacity
building serta bimbingan teknis terhadap Lembaga Driver PUG. Reformasi institusional
dilakukan melalui pemberdayaan lembaga driver pengarusutamaan gender dalam mendorong,
memfasilitasi, melaksanakan dan mengevaluasi komitmen lembaga pemerintah di tingkat lokal
dalam menggenderkan pembangunan pariwisata serta pengembangan kolaborasi antara lembaga
driver dengan PT dan LSM
dalam menggenderkan pariwisata ramah lingkungan;
Pemberdayaan lembaga driver bisa dilakukan melalui capacity building maupun bimbingan
teknis PUG bidang pariwisata. Selain itu, perlu dikembangkan collaborative governance antara
36
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
pemerintah, swasta, LSM dan PT dalam engendering pembangunan pariwisata. Dalam
collaborative governance ini, pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan bersifat
formal, berorientasi pada konsensus, dan musyawarah serta bertujuan untuk membuat atau
mengimplementasikan atau mengelola program kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan
pariwisata. Kriteria penting dari collaborative governance ini mencakup: (1) forum diprakarsai
oleh instansi publik, (2) peserta forum termasuk aktor non-negara, (3) peserta terlibat langsung
dalam pengambilan keputusan dan tidak hanya '' berkonsultasi '' dengan lembaga-lembaga
publik, (4) forum secara resmi terorganisir dan bertemu secara kolektif, (5) forum bertujuan
untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus, dan (6) fokus kerjasama adalah kebijakan
umum atau manajemen publik terkait pembangunan pariwisata responsif gender. Untuk itu,
dengan mengacu kepada pendapat Ansell & Alison Gash (2007), collaborative governance
memerlukan para pemimpin yang memiliki sejumlah ketrampilan/ skill tertentu seperti:
kemampuan memfasilitasi pertemuan, mengusulkan dan mengontrol diskusi, mengorganisasi
ide-ide, menengahi dan mengurangi konflik, mempertahankan agar partisipan tetap terinformasi
dan terlibat, menjaga agar diskusi tetap relevan, mendorong kemajuan kolektif menuju ke
sebuah resolusi masalah.
Pada akhirnya, reformasi institusional perlu dilakukan dengan memberikan representasi
perempuan minimal 30% sebagai pengurus LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan)
sehingga mereka bisa terlibat dalam pengambilan keputusan pada pembangunan pariwisata
ramah lingkungan. Dengan representasi minimal ini maka (1) perempuan benar-benar terlibat
secara aktif di dalam pengambilan keputusan mengenai pembangunan pariwisata ramah
lingkungan di semua tingkatan; (2) ada kepedulian untuk mengintegrasikan perspektif gender ke
dalam kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan pariwisata ramah lingkungan;
dan (3) memperkokoh atau membentuk mekanisme pada tingkat daerah dalam menilai dampak
pembangunan dan kebijakan-kebijakan pariwisata ramah lingkungan terhadap perempuan.
Strategi ketiga adalah reformasi anggaran, berupa integrasi gender dalam perencanaan dan
penganggaran pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Anggaran pemerintah merupakan
instrumen yang cukup efektif dalam menjamin upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender. Reformasi anggaran dilakukan dengan memasukkan perspektif gender sebagai
indikator output dan outcome dari kegiatan dan program pembangunan pariwisata ramah
lingkungan. Anggaran pemerintah merupakan mediator penting dari ketidaksetaraan gender.
Cara pemerintah menaikkan dan menghabiskan uang memiliki potensi untuk mengurangi
kesenjangan yang terjadi dalam pembangunan pariwisata. Anggaran responsif gender akan
menjamin sensitivitas gender dalam pengeluaran anggaran publik.
Kesimpulan
Isu-isu strategis gender dalam pembangunan pariwisata ramah lingkungan perlu
mendapat perhatian serius agar pembangunan pariwisata ramah lingkungan memberikan
kemanfaatan yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki. Integrasi isu gender sebagai
satu kesatuan dimensi integral dalam perencanaan dan penganggaran, implementasi, monitoring
dan evaluasi pembangunan pariwisata ramah lingkungan harus dilakukan. Selain itu,
pengembangkan program khusus bagi perempuan saja dan atau bagi laki-laki saja perlu
dipikirkan dan dirancang secara matang sehingga kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan dalam pengembangan pariwisata dapat terakomodasi dengan baik. Engendering
development dalam pembangunan pariwisata ramah lingkungan dapat dilakukan melalui
reformasi kebijakan, reformasi institusional, dan reformasi anggaran responsif gender.
37
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Ucapan terima kasih
Terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana
penelitian melalui Hibah Kompetensi Tahun 2014 (tahun ke-1) berdasarkan perjanjian
kerjasama Nomor 6560/UN27.16/PN/ 2014 dan Hibah Kompetensi Tahun 2015 (tahun ke-2).
Daftar Pustaka
African Development Bank Group. 2009. Checklist For Gender Mainstreaming In
Governance Programmes.
Ansell, Chris dan Alison Gash. 2007. Collaborative Governance in Theory and Practice.
Published by Oxford University Press on behalf of the Journal of Public Administration
Researchand Theory ( JPART) 18:543571.
Beijing Declaration and Platform for Actiondalam http://www.lbh-apik.or.id/fac-25.htm.
Gender, Work and Organization Journal. Vol.
20. N0. 4.
Clements, S., 2007, A Resource guide for Sustainable Tourism, Down East Resource
Conservation and Development Council: Sea Grant Publication.
. The Journal of Arts Management, Law, And Society, 43: 98105,
Farsari, Yianna & Poulicos Prastacos, tt, Sustainable tourism indicator for mediterranian
established destinations, Greece: Foundation for the research and the Technology
Hellas (FORTH).
Ghimire, Safal & Bis-friendly
The Journal for Tourism and Peace Research,
2011: 2 (1), pp 55-69.
Evaluation:
. Indiana Journal of Gender Studies 19 (2), 321-340.
Havet, Ines, Franka Braun and Birgit Gocht. 2007. Gender Mainstreaming: Key Driver of
Development in Environment & Energy, Training Manual UNDP. USA: UNDP.
Holzer, Marc dan Kathe Callahan. 1998. Government at Work: Best Practices and Model
Programs. London: sage Publications.
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan Nasional.
International Institute for
Environment and Development (IIED) Vol. 26 (1). 147-165.
Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, Sri Marwanti dan Rara Sugiyarti. 2014. Reformasi Kebijakan
Pemberdayaan Perempuan Dalam Pengembangan Pariwisata Berwawasan Lingkungan
Hidup di Kawasan Gunung Lawu. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. (Laporan
Penelitian-Un published)
Oxaal, Zoë & Sally Baden. 1997. Gender and empowerment: definitions, approaches and
implications for policy: Briefing prepared for the Swedish International Development
Cooperation Agency (Sida). Institute of Development Studies, Brighton.
Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender di Daerah.
38
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Paynes, 2009. Human Resourcess Management for Public and Non Profit Organizations.
San Francisco: Jossey Bass.
Rahardjo, Yulfita (ed). 2005. Engendering Development: Pembangunan Berperspektif
Gender. Jakarta: Dian Rakyat.
Rencana Strategis BLH Tahun 2009-2013.
RPJMD Kabupaten Karanganyar tahun 2008-2013
Rencana Strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar Tahun 2013 2018
Rencana Strategis BP3AKB Tahun 2013-2018
-Timber
Development in Practice Journal, 8:4, 439-453.
Surat Edaran Bersama empat Kementerian, yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tentang Strategi
Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan
Penganggaran Responsif Gender (PPRG).
Tucker, Hazel and Brenda Boonabaana A critical analysis of tourism, gender and
poverty reductionJournal of Sustainable Tourism Vol. 20, No. 3, 437455.
UNDP, 2014. Human Development Report. Diakses melalui htpp://hdr.undp.org/en/data pada
tanggal 12 April 2015
UNFPA, KPPA, BKKBN. 2004. Bunga Rampai Panduan dan Bahan Pembelajaran
Pelatihan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: UNFPA,
KPPA dan BKKBN.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
World Bank. 2002. Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook.
Commonality in Kenyan Policies. The Journal of Pan African Studies, vol.6, no.9.
39
ENGENDERING DEVELOPMENT: CASE STUDY ON ECO-TOURISM
(Menggenderkan Pembangunan: Studi Kasus pada Pembangunan Pariwisata
Ramah Lingkungan)
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni; Rara Sugiarti; Sri Marwanti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender-Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini menganalisis tentang bagaimana menggenderkan pembangunan (pada kasus
pembangunan pariwisata ramah lingkungan). Analisis dimulai dengan mengidentifikasi isu-isu
strategis gender dalam pembangunan pariwisata ramah lingkungan, dilanjutkan dengan
merumuskan strategi menggenderkan pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Penelitian
dilakukan di kawasan Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar yang ditetapkan secara purposif.
Dengan melakukan analisis gender terhadap isi dokumen kebijakan, dan diskusi terfokus
terhadap 18 informan kunci, disimpulkan bahwa isu-isu strategis gender dalam pembangunan
pariwisata ramah lingkungan mencakup: (1) Belum ada sinkronisasi dan operasionalisasi antara
kebijakan makro daerah terkait gender pada RPJMD dengan kebijakan renstra dan renja SKPD
yang menangani pembangunan pariwisata ramah lingkungan; (2) Belum ada sensitivitas gender
di kalangan stakeholder sehingga jaminan sistem judicial dan hukum yang memberikan
perlindungan terhadap status perempuan dan laki-laki pada program pembangunan pariwisata
ramah lingkungan tidak terimplementasi secara optimal; (3) Lemahnya peran kelembagaan
struktural dan fungsional PUG mengakibatkan strategi percepatan pengarusutamaan gender
melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender dalam pembangunan pariwisata
belum terimplementasi; (4) Representasi perempuan pada kelembagaan yang berperan strategis
dalam pengembangan pariwisata ramah lingkungan, yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH), tidak ada; (5) Belum ada tindakan affirmative action untuk memberikan layanan
pembangunan pariwisata yang responsif terhadap perbedaan kebutuhan perempuan dan lakilakI;
Strategi engendering development dilakukan dengan cara: (1) melakukan reformasi
kebijakan pembangunan pariwisata melalui dekonstruksi misi pembangunan pariwisata dan
lingkungan hidup serta perumusan Indikator Kinerja Utama pembangunan pariwisata responsif
gender; (2) melakukan reformasi institusional melalui revitaalisasi pokja PUG bidang
pariwisata, pembentukan gender focal point bidang pariwisata, melakukan capacity building
serta bimbingan teknis terhadap Lembaga Driver PUG, pengembangan kolaborasi antara
lembaga driver dengan PT dan LSM dalam menggenderkan pariwisata ramah lingkungan,
serta menetaapkan representasi perempuan minimal 30% sebagai pengurus LMDH (Lembaga
Masyarakat Desa Hutan); (3) reformasi anggaran, berupa integrasi gender dalam perencanaan
dan penganggaran pembangunan pariwisata ramah lingkungan.
Kata Kunci: affirmative action. Lingkungan, pariwisata, pengarusutamaan gender
Pendahuluan
Kesenjangan gender menghambat pembangunan, karena itu isu gender harus selalu
dimasukkan dalam setiap analisis, rancangan, dan implementasi kebijakan sehingga
penyelenggaraan pembangunan dapat lebih efektif (Rahardjo, ed.: 2005; Scheyvens, 2010; Hay,
26
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
2012; Jabeen, 2014). Memasukkan isu gender dalam setiap analisis, rancangan dan
implementasi kebijakan dikenal dengan istilah engendering development.
Pentingnya engendering development di Indonesia disebabkan karena hasil pembangunan
Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN, sementara itu Gender Inequality Index Indonesia lebih tinggi. Posisi
Indonesia dalam capaian Human Development Index (HDI) berada di bawah negara Singapura,
Malaysia, Sri Lanka, dan Thailand. Capaian Gender-related Development Index (GDI)
Indonesia di bawah negara Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, dan Philipina, dan
capaian Gender Inequality Index (GII) Indonesia lebih tinggi dibandingkan Singapura,
Malaysia, Sri Lanka, Thailand, Philipina, Vietnam, dan Myanmar.
Tabel 1: HDI, GDI dan GII di Negara-Negara ASEAN Tahun 2013
No
Negara
HDI
GDI
GII
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1
Singapura
0.901
0.967
0.090
2
Malaysia
0.773
0.935
0.210
3
Sri Lanka
0.750
0.961
0.383
4
Thailand
0.722
0.990
0.364
5
Indonesia
0.684
0.923
0.500
6
Philipina
0.660
0.989
0.406
7
Vietnam
0.638
0.322
8
Timor Leste
0.620
0.875
9
Kamboja
0.584
0.909
0.505
10
Bangladesh
0.558
0.908
0.529
11 Myanmar
0.524
0.430
Sumber: UNDP 2014
Engendering development sejalan dengan kebijakan-kebijakan di tingkat internasional
maupun nasional, diantaranya CEDAW, Beijing Declaration and Platforms for Action yang
menegaskan agar para pembuat kebijakan di negara-negara di dunia mengakhiri diskriminasi
dan menjamin persamaan hak perempuan serta melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan
akses dan kontrol perempuan atas sumber daya ekonomi, politik sosial dan budaya. Di tingkat
nasional, telah dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 yang menegaskan bahwa
setiap kementerian, lembaga pemerintah non departemen, Gubernur dan Bupati/Walikota harus
mengintegrasikan gender di dalam perencanaan pembangunan nasional. Di tingkat daerah, telah
dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 yang menegaskan
perlunya integrasi gender di dalam perencanaan pembangunan di daerah dengan tujuan utama
memberikan manfaat pembangunan yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki.
Selanjutnya, pada tahun 2012 Pemerintah Indonesia melalui Surat Edaran Bersama empat
Kementerian, yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak mengeluarkan Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender
melalui Perencanaan dan Penganggaran Repsonsif Gender (PPRG).
Meskipun engendering development memiliki landasan yuridis formal, namun
implementasinya masih menghadapi berbagai kendala, salah satunya dalam pembangunan
pariwisata. Pembangunan pariwisata ramah lingkungan yang mestinya melibatkan perempuan
dan laki-laki secara seimbang ternyata menunjukkan adanya marginalisasi perempuan, baik
pada tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasinya (lihat Nurhaeni, 2014).
27
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Temuan ini sejalan dengan studi-studi terdahulu dimana pembangunan pariwisata didominasi
oleh kelompok elit laki-laki dan lebih memberikan keuntungan kepada laki-laki daripada
perempuan. Terpinggirkannya perempuan dalam pembangunan pariwisata disebabkan karena
norma-norma tentang identitas peran dan relasi gender (Scheyvens, 2000; Tucker, 2007,
Hitchcock & Brandenburgh, 1990; Stonich, Sorensen, & Hundt, 1995 dalam Tucker & Brenda
Boonabaana, 2012).
Gender, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan saling berhubungan. Kemajuan dalam
satu atau lebih bidang ini sangat tergantung pada kemajuan yang dibuat dalam bidang yang lain.
Karena itu kita harus meninggalkan pendekatan feminist tradisional dan pendekatan perempuan
dan pembangunan kearah pendekatan yang akan membentuk inisiatif untuk mengurangi
kesenjangan gender dan sekaligus mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Artikel ini dimaksudkan untuk mengkaji tentang isu-isu strategis gender dalam
pembangunan pariwisata ramah lingkungan dan dilanjutkan dengan merumuskan strategi
engendering development dalam parisiwata ramah lingkungan. Pentingnya melakukan kajian
tentang gender dan lingkungan tidak hanya menyangkut isu kesetaraan saja, tetapi lebih dari itu
merupakan isu efisiensi karena melibatkan perempuan dan laki-laki akan mendorong terjadinya
peningkatan hasil, peningkatan biaya recovery, dan peningkatan sustainanblility. (Masika &
Baden, 1997 dalam Havet, Franka Braun & Birgit Gocht, 2007).
Kajian Pustaka
Engendering Development
Tantangan terpenting pembangunan saat ini adalah bagaimana memperdalam pemahaman
tentang kaitan antara gender, pembangunan dan kebijakan (Rahardjo, ed.: 2005; Scheyvens,
2010; Hay, 2012; Jabeen, 2014). Hal ini perlu dilakukan karena berbagai regulasi yang ada
mengharuskan setiap institusi pemerintah mengintegrasikan gender dalam kebijakankebijakannya.
Engendering development (memasukkan isu gender) dalam pembangunan merupakan
manifestasi dari reformasi kebijakan publik. Reformasi ini dilakukan karena perubahan
kebijakan yang mestinya terjadi secara otomatis sebagai akibat berlakunya regulasi yang
menjamin kesetaraan dan keadilan gender tidak berjalan.
Holzer & Kathe Callahan (1998) mengemukakan bahwa integrasi manajemen yang
berkualitas, pengembangan sumberdaya manusia, adaptasi teknologi, membangun kemitraan
dan mengukur kinerja kedalam kapasitas internal organisasi, dengan didukung oleh input
sumberdaya berupa uang, tenaga, energi dsb, akan menghasilkan peningkatan produktivitas
sektor publik, baik peningkatan dalam hal output maupun outcome. Dengan mengacu kepada
strategi percepatan PUG melalui PPRG, maka indikator output dan outcome pembangunan
harus dikoreksi dari semula netral gender menjadi responsif gender.
Dengan mengadopsi pada pendapat Holzer and Kathe Callahan (1998), maka produktivitas
sektor publik dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dapat meningkat jika:
1. sektor publik mengimplementasikan manajemen yang berkualitas, yaitu: (a) ada
dukungan dari manajemen puncak; (b) responsif terhadap customer; (c) memiliki
perencanaan strategis jangka panjang; (d) memiliki pegawai yang terlatih dan diakui;
(e) pemberdayaan pegawai dan kelompok kerja serta (f) ada jaminan kualitas.
2. dikembangkan manajemen sumberdaya manusia yang: (a) merekrut pegawai terbaik
dan tercerdas; (b) memberikan pelatihan sistemik; (c) mengakui keragaman; (d)
membangun layanan melalui tim; (e) menyediakan asistensi pegawai dan (f)
menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dengan karyawan.
28
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
3. melakukan adaptasi teknologi berupa: (a) adanya keterbukaan akses terhadap data; (b)
otomatisasi untuk meningkatkan produktivitas; (c) memenuhi permintaan publik; (d)
aplikasi hemat biaya; (e) teknik cross-cutting.
4. membangun kemitraan, mencakup: (1) kemitraan dengan masyarakat; (2) kemitraan
dengan sektor publik; (3) kemitraan dengan sektor swasta; (4) tidak melakukan
kemitraan yang berorientasi kepada keuntungan.
5. melakukan pengukuran kinerja, mencakup (a) menetapkan tujuan dan mengukur
hasilnya; (b) mengestimasi dan menjustifikasi kebutuhan sumberdaya; (c)
mengalokasikan sumberdaya; (d) mengembangkan strategi peningkatan organisasi; (e)
memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya. Model Holzer dan Kathe Callan
ini yang akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan reformasi administrasi publik
berupa engendering development dengan beberapa penyesuaian.
Pembangunan Pariwisata
Pariwisata merupakan salah satu industri andalan untuk meraih devisa, membuka
peluang usaha, dan menciptakan lapangan kerja. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan menyebutkan bahwa kepariwisataan bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya
serta memajukan kebudayaan. Dengan demikian, pembangunan pariwisata memiliki potensi
dalam menyumbang perekonomian suatu daerah dan mendukung perlindungan dan pelestarian
lingkungan hidup. Namun, di sisi lain, pembangunan pariwisata seringkali justru mendukung
terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan adanya
perencanaan pengembangan pariwisata dengan melibatkan peran masyarakat (civil society), baik
laki-laki maupun perempuan, sehingga pembangunan pariwisata tidak cenderung merusak tetapi
justru mendukung kelestarian fungsi lingkungan.
Pembangunan pariwisata ramah lingkungan adalah pembangunan pariwisata yang
mendasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pariwisata ramah lingkungan
sering disebut sebagai pariwisata hijau, pariwisata lestari atau pariwisata berkelanjutan. Ghimire
& Upreti (2011) menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat di dalam pengembangan
pariwisata ramah lingkungan dan mengeksplorasi strategi penguatan partisipasi masyarakat
setempat dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. Sedangkan Farsari & Prastacos (tt) di
dalam penelitiannya mengembangkan indikator pariwisata ramah lingkungan dengan
mendasarkan pada prinsip-prinsip sustainable tourism, yang terdiri atas: using resource
sustainably, reducing over consumption and waste, maintaining diversity, integrating tourism
into planning, supporting local economies, involving local communities, consulting
stakeholders and the public, training staff, marketing tourism responsibly; dan undertaking
research.
Clements (2007) menyebutkan bahwa agar lebih efektif dalam mengimplementasikan
prinsip kesinambungan dalam pembangunan pariwisata, orientasi non-ekonomi perlu
ditingkatkan dengan memperhatikan tiga pilar utama, yakni konservasi (conservation),
partisipasi masyarakat setempat (local participation), dan usaha pariwisata (tourism business)
(Lihat Gambar 1).
29
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Gambar 1: Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan.
Sumber: Diadaptasikan dari Clements (2007).
Pariwisata ramah lingkungan bertujuan untuk menjaga keserasian antara unsurunsurnya, seperti kebutuhan pembangunan pariwisata, kelestarian fungsi lingkungan alam,
sosial dan budaya, mutu produk pariwisata, profesionalisme sumber daya manusia, serta
kepuasan wisatawan. Berbagai unsur tersebut harus dijaga keseimbangannya sehingga tidak
akan menimbulkan benturan antara satu unsur dengan lainnya. Pembangunan pariwisata
berkelanjutan perlu diaplikasikan secara konsekuen. Usaha untuk mencapai keberhasilan
pembangunan pariwisata berkelanjutan memang merupakan jalan yang panjang dan komplek
(Clements, 2007). Banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi dalam hal
mengimplementasikan konsep-konsep pariwisata berkelanjutan. Kendala tersebut antara lain
adalah jenis wisatawan yang beraneka ragam dengan tingkat kesadaran lingkungan yang
berbeda-beda, kurangnya penyampaian informasi mengenai pariwisata berkelanjutan dan
pentingnya menjaga lingkungan, orientasi kepada keuntungan ekonomis yang berlebihan, serta
kurangnya kerjasama antara pihak terkait.
Strategi Engendering Development
Ada dua strategi dalam melakukan engendering development, yaitu gender mainstreaming
dan affirmative action (Yamo, 2014). Gender mainstreaming merupakan suatu proses untuk
mewujudkan kesetaraan gender dengan menempatkan gender sebagai pusat dari semua area
kebijakan utama. Gender mainstreaming dilakukan dengan mengintegrasikan gender dalam
seluruh proses kebijakan (Bendel, Regine & Angelika Schmidt., 2013). Gender mainstreaming
adalah strategi untuk memasukkan isu gender sebagai dimensi integral dari desain,
implementasi, monitoring dan evaluasi kebijakan dan program di semua bidang pembangunan
sehingga perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang sama. Sementara itu affirmative
action merupakan pemberian preferensi/ perlakuan khusus kepada kelompok yang dianggap
kurang beruntung seperti etnis, gender, dan/atau ras. (Cuyler: 2013; Paynes, 2004: 102).
Affirmative action adalah pengembangan program khusus (pemberdayaan perempuan) dalam
rangka meningkatkan kesetaraan gender dalam bidang pekerjaan dan pembangunan (UNFPA,
KPPA dan BKKBN, 2004) Affirmative action bersifat sementara, sampai kelompok tersebut
dianggap sudah memiliki posisi dan kesempatan setara dengan kelompok lain atau kelompok
sosial minoritas. Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara yang ditujukan untuk
mempercepat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi
dan harus dihentikan bilamana tujuan kesetaraan telah dicapai. Affirmative action juga bisa
30
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
diartikan sebagai upaya percepatan peningkatan representasi perempuan di politik. Affirmative
action dilakukan sebagai usaha aktif untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender bagi
orang-oraang yang kurang beruntung.
Dalam konteks pembangunan pariwisata, gender mainstreaming dilakukan dengan
mengintegrasikan isu gender kedalam kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata.
Manifestasi integrasi ini mestinya tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah,
mulai dari RPJMD, renstra dan renja SKPD serta adanya analisis gender yang tertuang dalam
dokumen Gender Analysis Pathway (GAP) dan Gender Budget Statement (GBS) sebagai
dokumen yang tidak terpisahkan dari dokumen RKA. Dengan demikian ada jaminan bahwa
setiap kegiatan pembangunan pariwisata akan memberikan kemanfaatan yang adil dan setara
bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara itu, affirmative action dilakukan melalui
pengembangan program/ kegiatan khusus yang ditujukan untuk memberdayakan perempuan
(jika yang tertinggal adalah perempuan) atau laki-laki (jika yang tertinggal adalah laki-laki)
dalam mengejar ketertinggalan mereka, melalui peningkatan kapasitas, kemandirian, serta
ketrampilan untuk membuat keputusan, menyuarakan aspirasi dan mentransformasi pilihannya
ke dalam suatu tindakan.
World Bank (2002) mengembangkan empat elemen kunci dari pemberdayaan, antara
lain: (1) akses terhadap informasi, (2) inklusi/ partisipasi, (3) akuntabilitas dan (4) kapasitas
organisasi lokal. Menurut Word Bank, informasi merupakan kekuatan. Masyarakat yang
mendapat informasi akan mendapatkan keuntungan berupa akses terhadap pelayanan,
mempraktekkan hak-haknya dan membuat aktor pemerintah maupun aktor non pemerintah
menjadi akuntabel. Selanjutnya, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan merupakan hal yang kritis untuk menjamin adanya penggunaan sumber-sumber
publik yang terbatas. Untuk itu, pegawai publik maupun aktor-aktor swasta harus dijaga agar
mampu mempertanggungjawabkan kebijakan, tindakan dan penggunaan pendapatannya.
Secara administrasi maupun politik, agen-agen pemerintah maupun swasta harus mempunyai
mekanisme akuntabilitas horizontal, internal, maupun terhadap rakyat dan pelanggannya. Pada
akhirnya, organisasi lokal harus mempunyai kapasitas mengorganisir orang-orang untuk bekerja
bersama, dan memobilisasi sumber-sumber yang ada untuk memecahkan masalah yang mereka
hadapi besama. Masyarakat yang terorganisasi harus dapat menyuarakan aspirasi dan
keinginannya agar dapat terpenuhi. Pemberdayaan tidak hanya membuka akses ke pengambilan
keputusan, tetapi juga harus mencakup proses yang menyebabkan orang mampu berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan. Oxaal & Sally Baden (1997: 3) menyatakan bahwa
pemberdayaan digambarkan sebagai kemampuan untuk membuat pilihan, sekaligus melibatkan
kemampuan untuk membuat pilihan yang ditawarkan.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Gunung Lawu Kabupaten Karanganyar,
Indonesia karena lokasi ini memiliki sejumlah daya tarik wisata alam yang rawan dampak
sehingga harus dikelola secara ramah lingkungan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif, yaitu menggambarkan isu-isu strategis gender dalam pembangunan pariwisata ramah
lingkungan dan strategi menggenderkan pembangunan pariwisawata ramah lingkungan.
Sumber data berupa informan, tempat dan peristiwa serta dokumen. Informan ditetapkan secara
purposif, terdiri atas unsur pemerintah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Karanganyar, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar, Badan Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana), dan Perwakilan Kecamatan.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan, focus group discussion, wawancara
31
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
mendalam, dan metode simak. Analisis data penelitian ini menggunakan analisis isi terhadap
dokumen kebijakan dan hasil focus group discussion terhadap 18 informan kunci. Analisis
kualitatif menggunakan analisis interaktif yang menggaribawahi hubungan antar tiga komponen
utama, yakni reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.
Berbagai istilah yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi yang dibuat
oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS, Kementerian Keuangan,
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (2012) sebagai lembaga driver Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan
dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). Yang dimaksud dengan isu-isu strategis adalah
kondisi atau hal yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan pembangunan
daerah karena dampaknya yang signifikan bagi daerah dengan karakteristik bersifat penting,
mendasar, mendesak, berjangka panjang, dan menentukan tujuan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di masa yang akan datang. Yang dimaksud dengan keadilan gender
(gender equity) adalah perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan proses
kebijakan pembangunan, yaitu dengan mempertimbangkan pengalaman, kebutuhan, kesulitan,
hambatan sebagai perempuan dan sebagai laki-laki untuk mendapat akses dan manfaat dari
usaha-usaha pembangunan; untuk ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan serta dalam
memperoleh penguasaan (kontrol) terhadap sumberdaya seperti dalam mendapatkan/
penguasaan keterampilan, informasi, pengetahuan, kredit dan lain-lain. Yang dimaksud dengan
responsif gender adalah perhatian dan kepedulian yang konsisten dan sistematis terhadap
perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang disertai upaya
menghapus hambatan-hambatan struktural dan kultural dalam mencapai kesetaraan gender.
Sensitif gender adalah kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasilhasil pembangunan serta relasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan. Yang
dimaksud kebijakan/ program responsif gender adalah kebijakan/program yang responsif
gender berfokus kepada aspek yang memperhatikan kondisi kesenjangan dan kepada upaya
mengangkat isu ketertinggalan dari salah satu jenis kelamin.
Operasionalisasi integrasi gender dalam kebijakan mengadopsi dari African Development
Bank Group (2009) tentang prioritas isu kesetaraan gender dalam Good Governance, yang
dalam penelitian ini dikaitkan dengan kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata
ramah lingkungan, antara lain:
1. Apakah kebijakan pariwisata dan implementasinya sudah menjamin kesetaraan bagi
perempuan dan laki-laki sebagai warga negara dalam melaksanakan tugas, hak dan
aksesnya terhadap pelayanan publik?
2. Apakah ada jaminan sistem judicial dan hukum yang ditujukan untuk memberikan
perlindungan terhadap status perempuan dan laki-laki dalam pembangunan pariwisata?.
3. Apakah ada anggaran publik yang merefleksikan tujuan untuk mewujudkan kesetaraan
gender dalam pembangunan pariwisata?
4. Apakah struktur dan proses penyelenggaraan pemerintahan serta proses pengambilan
keputusan menjamin partisipasi aktif perempuan dengan jumlah kritis pada institusi
kunci seperti parlemen dan pemerintah lokal (atau lembaga lokal)?
5. Apakah pemberian layanan pada sektor kunci pembangunan pariwisata responsif
terhadap kebutuhan spesifik perempuan maupun laki-laki sehingga mampu
meningkatkan pengambilan keputusan yang transparan, partisipatif, dan akuntabilitas
institusional?
32
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Pembahasan
Isu Strategis Gender dalam Pembangunan Pariwisata
Hasil riset menemukan bahwa jaminan untuk mewujudkan kesetaraan gender termaktub
dalam dokumen kebijakan RPJMD Kabupaten Karanganyar Tahun 2008-2013, khususnya pada
Misi ke- Mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui keseimbangan pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan pembangunan yang bertumpu pada kemandiran, peningkatan kualitas
Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Karaanganyar dalam merumuskan Visi
dan Misinya, namun tidak diacu oleh Badan Lingkungan Hidup maupun Dinas Pariwisata yang
tugas pokok dan fungsinya terkait dengan pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Visi
Badan Lingkungan Hidup adalah mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan tenteram dalam
semangat kemitraan. Sedangkan Visi Dinas Pariwisata adalah mewujudkan Kabupaten
Karanganyar sebagai pusat pariwisata dan kebudayaan yang mapan. Dengan demikian, hasil
penelitian ini menemukan belum adanya sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan pada
RPJMD dengan Renstra dan Renja SKPD.
Ketiadaan sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan RPJMD Kabupaten
Karanganyar, Indonesia dengan Renstra dan Renja Badan Lingkungan Hidup dan Dinas
Pariwisata menunjukkan bahwa persoalan
Temuan penelitian ini diperkuat dengan hasil FGD sebagaimana disajikan pada tabel 2.
Visi pada RPJMD
Kabupaten Karanganyar
Terwujudnya Karanganyar Yang
Tenteram, Demokratis Dan Sejahtera
Misi ke-3 RPJMD Kabupaten
Karanganyar Tahun 2008 2013
Mewujudkan kesejahteraan rakyat
melalui keseimbangan pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan
pembangunan yang bertumpu pada
kemandiran, peningkatan kualitas
SDM dan penyetaraan gender
Visi pada RENSTRA BP3AKB
Mewujudkan penduduk tumbuh
seimbang, kesetaraan gender dan
pemenuhan hak
Misi ke-2 RENSTRA BP3AKB
Tahun 2008 2013
Meningkatkan SDM dan penyetaraan
gender di semua bidang pembangunan
Gambar 1: Sinkronisasi dan Operasionalisasi Visi dan Misi
33
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Tabel 2: Integrasi Gender Pada Pembangunan Pariwisata Ramah Lingkungan
TEMUAN
kebijakan dan implementasi program
pembangunan pariwisata sudah menjamin
kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki
sebagai warga negara dalam melaksanakan
tugas, hak dan akses nya terhadap
pelayanan publik;
Ada jaminan sistem judicial dan hukum
yang
ditujukan
untuk
memberikan
perlindungan terhadap status perempuan
dan laki-laki pada program pembangunan
pariwisata
Ada anggaran publik yang merefleksikan
tujuan mewujudkan kesetaraan gender
dalam pembangunan pariwisata
YA
Ya
TIDAK
-
Ya
-
-
tidak
Struktur dan proses penyelenggaraan
pemerintahan serta proses pengambilan
keputusan dalam pembangunan pariwsata
menjamin partisipasi aktif perempuan
dengan jumlah kritis pada institusi kunci
seperti parlemen dan pemerintah lokal
-
tidak
-
tidak
Pemberian layanan pada pembangunan
pariwisata responsif terhadap kebutuhan
spesifik perempuan maupun laki-laki
sehingga mampu meningkatkan
pengambilan keputusan yang transparan,
partisipatif, dan memenuhi akuntabilitas
insitusional.
Sumber: Hasil Penelitian
KETERANGAN
Ada jaminan pada
kebijakan makro (misi
RPJMD), namun
belum ada pada misi
BLH maupun Dinas
Pariwisata
Belum ada implementasi
perencanaan dan
penganggaran responsif
gender
Representasi perempuan
dalam parlemen < 30%,
representasi perempuan
sebagai pengurus pada
Lembaga Masyarakat
Desa Hutan (LMDH)
tidak ada
Belum ada program yang
bersifat affirmative
action bagi perempuan
pada program
pembangunan pariwisata
Berdasarkan temuan riset dapat diidentifikasi isu-isu strategis sebagai berikut:
Pertama, Belum ada sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan makro daerah terkait
gender pada RPJMD dengan kebijakan renstra dan renja SKPD yang menangani pembangunan
pariwisata ramah lingkungan, yaitu Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Pariwisata. Akibatnya,
tidak ada jaminan bahwa misi daerah untuk mewujudkan kesetaraan daan keadilan gender akan
terimplementasi dengan baik.
Kedua, belum ada sensitivitas gender dari stakeholder sehingga jaminan sistem judicial
dan hukum yang ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap status perempuan dan
laki-laki pada program pembangunan pariwisata ramah lingkungan tidak terimplementasi secara
optimal. Masih lemahnya sensitivitas gender para policy maker, perencana maupun pelaksana
program ditunjukkan dari tidak adanya komitmen pada top manajemen untuk menjadikan isu
gender mainstream dalam kebijakan-kebijakan daerah. Akibatnya, tidak ada regulasi di tingkat
34
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kabupaten (baik berupa surat edaran, surat keputusan Bupati ataupun peraturan daerah sebagai
operasionalisasi dari regulasi yang berada di tingkat atasnya (yaitu Permendagri dan Peraturan
Gubernur yang mengharuskan setiap SKPD melakukan percepatan pengarusutamaan gender
melalui PPRG). Dengan demikian, tidak ada alat pemaksa yang cukup efektif terhadap SKPD
untuk melakukan engendering development sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing
SKPD. Padahal, dengan mengacu pendapat Holzer & Kathe Callahan (1998), komitmen top
manajemen merupakan langkah pertama yang dibutuhkan dalam mendiseminasikan nilai
kesetaraan dan keadilan gender. Untuk itu perlu ada perubahan orientasi kualitas kebijakan
publik dari netral gender menjadi responsif gender dan hal ini harus dimulai dari perubahan
perilaku pada tingkat top manajemen dan perubahan budaya organisasi yang mendorong
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
Ketiga, lemahnya kapasitas kelembagaan struktural maupun fungsional PUG sehingga
mengakibatkan strategi percepatan pengarusutamaan gender melalui Perencanaan dan
Penganggaran Responsif Gender dalam pembangunan pariwisata belum terimplementasi. Secara
struktural, lembaga driver pengarusutamaan gender (yaitu Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda), Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga
Berencana, Dinas Pendapatan Keuangan Daerah dan Inspektorat) belum menjalankan perannya
dalam mendorong dan meningkatkan kapasitas SKPD agar mampu mengintegrasikan gender
dalam kebijakan/ program/ kegiatan yang mereka buat. Padahal masing-masing SKPD
memiliki keterbatasan kemampuan dalam melakukan analisis gender dan memformulasikan
program atau kegiatan untuk mengatasi masalah gender. Secara fungsional, kelompok kerja
(Pokja) gender dibentuk sekedar untuk memenuhi syarat administratif saja dan belum bergerak
ke tingkat akar rumput dalam mendorong integrasi gender pada pembangunan pariwisata. Tim
penggerak gender (gender focal point) pada masing-masing SKPD yang menangani
pembangunan pariwisata belum terbentuk. Akibatnya, Kabupaten Karanganyar tidak memiliki
data terpilah menurut jenis kelamin yang valid dan up-to-date sebagai dasar untuk membuka
wawasan para stakeholder tentang adanya kesenjangan gender. Selain itu, di Kabupaten
Karanganyar belum ada indikator pembangunan yang mengintegrasikan gender sehingga kurang
memacu SKPD dalam mewujudkan tujuan pembangunannya. Hal ini diperparah dengan belum
adanya dukungan keras dari masyarakat yang mendesakkan pentingnya integrasi gender dalam
kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata di daerah.
Ke-empat, belum ada representasi perempuan dalam lembaga lokal yang berperan
strategis dalam pengembangan pariwisata ramah lingkungan, yaitu Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH). Padahal lembaga ini berperan strategis dalam merancang pengembangan
pariwisata ramah lingkungan agar mampu mendukung prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan, yaitu keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan
keberlanjutan teknologi. Tidak adanya keterlibatan perempuan dalam lembaga strategis ini bisa
berakibat terhadap semakin termarginalnya perempuan dalam pembangunan pariwisata.
Akibatnya, kompetensi dan kapasitas perempuan dalam pengembangan pariwisata tidak
diperhitungkan, dan perempuan menerima dampak yang lebih besar dan kurang menguntungkan
dari kerusakan lingkungan.
Kelima, belum ada tindakan affirmative action untuk memberikan layanan
pembangunan pariwisata yang responsif terhadap perbedaan kebutuhan perempuan dan lakilaki. Tindakan affirmative action sangatlah diperlukan agar marginalisasi terhadap perempuan
dalam pembangunan pariwisata dapat diatasi secara terencana dan berkelanjutan.
Strategi Menggenderkan Pembangunan Pariwisata Ramah Lingkungan
35
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Strategi menggenderkan pembangunan pariwisata ramah lingkungan dilakukan
melalui: (1) reformasi kebijakan, (2) reformasi institusional, dan (3) reformasi anggaran.
Strategi pertama, melakukan reformasi kebijakan, yaitu mendekonstruksi Visi, Misi, dan
Strategi pembangunan pariwisata pro gender. Reformasi kebijakan pembangunan pariwisata
perlu dilakukan melalui dekonstruksi misi pembangunan pariwisata dan lingkungan hidup serta
perumusan Indikator Kinerja Utama Pembangunan pariwisata responsif gender. Dekonstruksi
misi dilakukan pada rumusan misi ke-5 dan ke Mendorong
individu, keluarga dan masyarakat agar memiliki komitmen dan melaksanakan secara nyata
pengelolaan lingkungan hidup dan meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia
-2 Renstra Dinas Pariwisata berbunyi
Mewujudkan pariwisata sebagai pendukung peningkatan ekonomi masy
ISU STRATEGIS
Belum ada sinkronisasi dan operasionalisasi kebijakan
Belum ada sensitivitas gender
Lemahnya kapasitas kelembagaan struktural dan fungsional
Tidak adanya representasi perempuan dalam kelembagaan lokal strategis
Belum ada affirmative action dalam pengembangan pariwisata
Reformasi Kebijakan:
Dekonstruksi Visi, Misi,
Strategi pembangunan
Pariwisata Pro gender
IKU Pembangunan Parwisata
Pro Gender
Reformasi Institusional:
Revitalisasi pokja
Pembentukan Gender Focal Point
Capacity building dan bintek PUG
Collaborative governance
Affiirmative Action pada kelembagaan
local strategis LMDH
Reformasi Anggaran:
Gender budgeting pada program
pembangunan pariwisata
Gender budgeting pada program khusus
pemberdayaan perempuan dalam
pembangunan pariwisata
Kesetaraan dan keadilan
gender dalam
pembangunan pariwisata
Gambar 2: Hubungan Isu Strategis dengan Reformasi
Strategi kedua, melakukan reformasi institusional melalui revitaalisasi pokja PUG
bidang pariwisata, pembentukan gender focal point bidang pariwisata dan melakukan capacity
building serta bimbingan teknis terhadap Lembaga Driver PUG. Reformasi institusional
dilakukan melalui pemberdayaan lembaga driver pengarusutamaan gender dalam mendorong,
memfasilitasi, melaksanakan dan mengevaluasi komitmen lembaga pemerintah di tingkat lokal
dalam menggenderkan pembangunan pariwisata serta pengembangan kolaborasi antara lembaga
driver dengan PT dan LSM
dalam menggenderkan pariwisata ramah lingkungan;
Pemberdayaan lembaga driver bisa dilakukan melalui capacity building maupun bimbingan
teknis PUG bidang pariwisata. Selain itu, perlu dikembangkan collaborative governance antara
36
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
pemerintah, swasta, LSM dan PT dalam engendering pembangunan pariwisata. Dalam
collaborative governance ini, pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan bersifat
formal, berorientasi pada konsensus, dan musyawarah serta bertujuan untuk membuat atau
mengimplementasikan atau mengelola program kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan
pariwisata. Kriteria penting dari collaborative governance ini mencakup: (1) forum diprakarsai
oleh instansi publik, (2) peserta forum termasuk aktor non-negara, (3) peserta terlibat langsung
dalam pengambilan keputusan dan tidak hanya '' berkonsultasi '' dengan lembaga-lembaga
publik, (4) forum secara resmi terorganisir dan bertemu secara kolektif, (5) forum bertujuan
untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus, dan (6) fokus kerjasama adalah kebijakan
umum atau manajemen publik terkait pembangunan pariwisata responsif gender. Untuk itu,
dengan mengacu kepada pendapat Ansell & Alison Gash (2007), collaborative governance
memerlukan para pemimpin yang memiliki sejumlah ketrampilan/ skill tertentu seperti:
kemampuan memfasilitasi pertemuan, mengusulkan dan mengontrol diskusi, mengorganisasi
ide-ide, menengahi dan mengurangi konflik, mempertahankan agar partisipan tetap terinformasi
dan terlibat, menjaga agar diskusi tetap relevan, mendorong kemajuan kolektif menuju ke
sebuah resolusi masalah.
Pada akhirnya, reformasi institusional perlu dilakukan dengan memberikan representasi
perempuan minimal 30% sebagai pengurus LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan)
sehingga mereka bisa terlibat dalam pengambilan keputusan pada pembangunan pariwisata
ramah lingkungan. Dengan representasi minimal ini maka (1) perempuan benar-benar terlibat
secara aktif di dalam pengambilan keputusan mengenai pembangunan pariwisata ramah
lingkungan di semua tingkatan; (2) ada kepedulian untuk mengintegrasikan perspektif gender ke
dalam kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan pariwisata ramah lingkungan;
dan (3) memperkokoh atau membentuk mekanisme pada tingkat daerah dalam menilai dampak
pembangunan dan kebijakan-kebijakan pariwisata ramah lingkungan terhadap perempuan.
Strategi ketiga adalah reformasi anggaran, berupa integrasi gender dalam perencanaan dan
penganggaran pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Anggaran pemerintah merupakan
instrumen yang cukup efektif dalam menjamin upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender. Reformasi anggaran dilakukan dengan memasukkan perspektif gender sebagai
indikator output dan outcome dari kegiatan dan program pembangunan pariwisata ramah
lingkungan. Anggaran pemerintah merupakan mediator penting dari ketidaksetaraan gender.
Cara pemerintah menaikkan dan menghabiskan uang memiliki potensi untuk mengurangi
kesenjangan yang terjadi dalam pembangunan pariwisata. Anggaran responsif gender akan
menjamin sensitivitas gender dalam pengeluaran anggaran publik.
Kesimpulan
Isu-isu strategis gender dalam pembangunan pariwisata ramah lingkungan perlu
mendapat perhatian serius agar pembangunan pariwisata ramah lingkungan memberikan
kemanfaatan yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki. Integrasi isu gender sebagai
satu kesatuan dimensi integral dalam perencanaan dan penganggaran, implementasi, monitoring
dan evaluasi pembangunan pariwisata ramah lingkungan harus dilakukan. Selain itu,
pengembangkan program khusus bagi perempuan saja dan atau bagi laki-laki saja perlu
dipikirkan dan dirancang secara matang sehingga kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan dalam pengembangan pariwisata dapat terakomodasi dengan baik. Engendering
development dalam pembangunan pariwisata ramah lingkungan dapat dilakukan melalui
reformasi kebijakan, reformasi institusional, dan reformasi anggaran responsif gender.
37
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Ucapan terima kasih
Terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana
penelitian melalui Hibah Kompetensi Tahun 2014 (tahun ke-1) berdasarkan perjanjian
kerjasama Nomor 6560/UN27.16/PN/ 2014 dan Hibah Kompetensi Tahun 2015 (tahun ke-2).
Daftar Pustaka
African Development Bank Group. 2009. Checklist For Gender Mainstreaming In
Governance Programmes.
Ansell, Chris dan Alison Gash. 2007. Collaborative Governance in Theory and Practice.
Published by Oxford University Press on behalf of the Journal of Public Administration
Researchand Theory ( JPART) 18:543571.
Beijing Declaration and Platform for Actiondalam http://www.lbh-apik.or.id/fac-25.htm.
Gender, Work and Organization Journal. Vol.
20. N0. 4.
Clements, S., 2007, A Resource guide for Sustainable Tourism, Down East Resource
Conservation and Development Council: Sea Grant Publication.
. The Journal of Arts Management, Law, And Society, 43: 98105,
Farsari, Yianna & Poulicos Prastacos, tt, Sustainable tourism indicator for mediterranian
established destinations, Greece: Foundation for the research and the Technology
Hellas (FORTH).
Ghimire, Safal & Bis-friendly
The Journal for Tourism and Peace Research,
2011: 2 (1), pp 55-69.
Evaluation:
. Indiana Journal of Gender Studies 19 (2), 321-340.
Havet, Ines, Franka Braun and Birgit Gocht. 2007. Gender Mainstreaming: Key Driver of
Development in Environment & Energy, Training Manual UNDP. USA: UNDP.
Holzer, Marc dan Kathe Callahan. 1998. Government at Work: Best Practices and Model
Programs. London: sage Publications.
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan Nasional.
International Institute for
Environment and Development (IIED) Vol. 26 (1). 147-165.
Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, Sri Marwanti dan Rara Sugiyarti. 2014. Reformasi Kebijakan
Pemberdayaan Perempuan Dalam Pengembangan Pariwisata Berwawasan Lingkungan
Hidup di Kawasan Gunung Lawu. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. (Laporan
Penelitian-Un published)
Oxaal, Zoë & Sally Baden. 1997. Gender and empowerment: definitions, approaches and
implications for policy: Briefing prepared for the Swedish International Development
Cooperation Agency (Sida). Institute of Development Studies, Brighton.
Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender di Daerah.
38
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Paynes, 2009. Human Resourcess Management for Public and Non Profit Organizations.
San Francisco: Jossey Bass.
Rahardjo, Yulfita (ed). 2005. Engendering Development: Pembangunan Berperspektif
Gender. Jakarta: Dian Rakyat.
Rencana Strategis BLH Tahun 2009-2013.
RPJMD Kabupaten Karanganyar tahun 2008-2013
Rencana Strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar Tahun 2013 2018
Rencana Strategis BP3AKB Tahun 2013-2018
-Timber
Development in Practice Journal, 8:4, 439-453.
Surat Edaran Bersama empat Kementerian, yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tentang Strategi
Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan
Penganggaran Responsif Gender (PPRG).
Tucker, Hazel and Brenda Boonabaana A critical analysis of tourism, gender and
poverty reductionJournal of Sustainable Tourism Vol. 20, No. 3, 437455.
UNDP, 2014. Human Development Report. Diakses melalui htpp://hdr.undp.org/en/data pada
tanggal 12 April 2015
UNFPA, KPPA, BKKBN. 2004. Bunga Rampai Panduan dan Bahan Pembelajaran
Pelatihan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: UNFPA,
KPPA dan BKKBN.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
World Bank. 2002. Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook.
Commonality in Kenyan Policies. The Journal of Pan African Studies, vol.6, no.9.
39