ATEROSKLEROSIS PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK.

(1)

Tinjauan Pustaka

ATEROSKLEROSIS PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Daniel Fobia, Gde Kambayana, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit SLE ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan (Isbagio et al., 2009) (1).

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperi bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9):1. Pada SLE yang disebabkan obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2 (Isbagio et al., 2009) (1).

Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan


(2)

Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi selama tahun 2010 (Kasjmir et al., 2011) (1).

Patogenesis

Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperanan penting dalam predisposisi penyakit ini (Isbagio et al., 2009) (1). Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal mempengaruhi kerentanan dan ekspresi klinis dari penyakit SLE. Adanya mekanisme pengaturan imun yang tidak sempurna, seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor yang penting pada perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, peningkatan antigenic load, kelebihan bantuan sel T, terganggunya supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke T helper 2 (Th2) menyebabkan hiperaktivitas dari sel B dan produksi dari autoantibodi patogenik. Beberapa faktor lingkungan juga menyebabkan pemicu timbulnya SLE (Mok dan Lau, 2003). (3)


(3)

Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi

autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada

nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG

dan faktor koagulasi. Anti nuclear antibody (ANA) adalah antibodi yang paling

banyak ditemukan pada penderita SLE (lebih dari 95%). Anti-double stranded DNA

(anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE,

sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE (Isbagio et al., 2009).(1)

Tabel 1.1 Autoantibodi patogenik pada SLE (Isbagio et al., 2009).(1)

Antigen spesifik Prevalensi Efek klinik utama

Anti-ds DNA 70-80% Gangguan ginjal, kulit

Nukleosom 60-90% Gangguan ginjal, kulit

Ro 30%-40% Gangguan ginjal, kulit, jantung fetus

La

Sm

Reseptor NMDA

Fosfolipid

α -Actinin

C1q

15%-20%

10-30%

33-50%

20-30%

20%

40-50%

Gangguan jantung fetus

Gangguan ginjal

Gangguan otak

Trombosis, abortus

Gangguan ginjal

Gangguan ginjal


(4)

Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

laboratorium. Kriteria diagnostik SLE berkembang dimulai sejak kriteria Dubois,

kemudian kriteria pendahuluan American Rheumatology Association (ARA) hingga

kriteria ARA yg telah direvisi terakhir tahun 1997 (Isbagio et al., 2009). Berdasarkan

kriteria ARA tahun 1997, SLE ditegakan bila memenuhi 4 kriteria dari 11 kriteria

yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu (Hochberg, 1997).

Tabel. 1.2 Kriteria Diagnostik SLE berdasarkan American Rheumatology Association revisi tahun 1997 (Hochberg, 1997). (4)

No Kriteria Definisi

1 Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial. 2 Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan

follicular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik 3 Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap

sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa

4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat dokter pemeriksa

5 Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia 6 Serositis a. Pleuritis : riwayat nyeri pleuritik atau adanya pleural

friction rub yang dengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura atau

b. Perikarditis : terbukti dengan rekaman EKG, atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium.

7 Gangguan renal

a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau

b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

8 Gangguan neurologi

a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit).


(5)

9 Gangguan hematologik

a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau

b. Leukopenia < 4000/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau

c. Limfopenia < 1500/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau

d. Trombositopenia < 100.000/mm3tanpa disebabkan oleh obat obatan

10 Gangguan imunologik

a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dalam titer yang abnormal, atau

b. Anti-SM : terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau

c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas : (1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM (2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau (3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

11 Antibodi antinuklear positif (ANA)

Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score,dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium canggih (Kasjmir et al., 2011) (1).


(6)

Tatalaksana

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan pasien SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada pasien atau dengan membentuk kelompok pasien yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Sebelum pasien SLE diberi pengobatan , harus diputuskan dulu apakah pasien tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, pasien SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif (Isbagio et al., 2009). (1)

Tabel 1.3 Tatalaksana konservatif pada SLE (Gordon C., 2010). (5) Nasihat Faktor Risiko Tatalaksana

Hindari sinar matahari dan sinar ultraviolet

Pakai sun block

Hindari Infeksi Terapi infeksi secepatnya dengan antibiotika Hindari kehamilan yang tidak

direncanakan

Penggunaan kontrasepsi

Gunakan NSAID dengan hati-hati Gunakan Steroid oral dengan hati-hati

Monitor aktivitas sakit

Obati hipertensi

Obati DM dan lemak Obati risiko osteoporosis

Gunakan analgetik seperlunya

Pertimbangkan steroid lokal dan intra muskular atau intravena dan agen sitotoksik

Cek urinalisis, darah lengkap, kreatinin, anti-dsDNA antibody, C3, C4

Dengan penghambat channel Calsium dan penghambat ACE

Anjurkan diet dan berikan obat bila diperlukan Berikan wanita post menopause dengan


(7)

Gambar 1.2 Algoritme Penatalaksanaan SLE (Kasjmir et al., 2011). (1)

Algoritma ini merekomendasikan penggunaan steroid serta agen imunosupresan sebagai modalitas dasar terapi dan disesuaikan dengan derajat beratnya penyakit. Pada SLE derajat berat yang tidak menunjukkan respon yang baik dengan steroid dan imunosupresan konvensional dapat ditambahkan targetted therapy seperti rituximab (Kasjmir et al., 2011). Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya (Isbagio et al., 2009).(1)

Aterosklerosis adalah penebalan dan pengerasan arteri akibat terbentuknya plak yang tersusun dari sekumpulan lipoprotein, matriks ekstrasel seperti kolagen, proteoglikan dan glikosaminoglikan, kalsium, sel-sel otot polos, pembuluh darah


(8)

baru. sel-sel radang terutama makrofag, limfosit T, mastosit dan sel dendritik (Vuster, 2007; Falk, 2012) (6).

Aterosklerosis pada pembuluh darah ditandai dengan lesi intima yang disebut atheromatous atau atherosclerotic plaques yang menonjol ke dalam dan menyumbat lumen pembuluh, memperlemah lapisan media di bawahnya (Robbins, 2010). Ada perubahan konsep dalam melihat proses aterosklerosis. Bukan hanya sekedar penyakit degeneratif kronik yang berkaitan dengan usia lanjut tetapi adalah penyakit inflamasi kronik yang sudah ada atau muncul sejak usia dini (prematur aterosklerosis). Jadi dalam usaha pencegahan dan penanganannyapun sudah harus dimulai pada usia dini bahkan sudah harus diantisipasi pada saat masih dalam kandungan ibu (Adi P.R., 2014). (2)

Patogenesis

Arteriosklerosis merupakan istilah umum untuk pengerasan pembuluh darah arteri. Berasal dari kata Yunani, arteria dan skleros yang berarti arteri yang keras. Arteri yang sehat bersifat fleksibel, elastik dan kuat. Dengan beban tekanan yang terus menerus maka pada waktu tertentu bisa menjadi tebal dan kaku, proses inilah yang disebut sebagai arteriosklerosis. Dinding arteri terdiri dari tiga lapis mulai dari yang paling dalam ke luar berturut-turut tunika intima berisi sebaris sel-sel endotel, tunika media berisi sel-sel otot polos juga elastin, dan tunika eksterna/adventitia yang merupakan lapisan terkuat.

Aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi karena terdapat proses inflamasi pada aterosklerosis sejak terjadinya lesi awal yang disebut fatty streak. Fatty streak berisi makrofag ( berasal dari monosit ) dan limfosit T (7,8). Fatty streak sering terjadi pada orang-orang muda, tidak disertai gejala klinis dan dapat berkembang menjadi ateroma atau hilang dengan sendirinya (8,9).

Aterosklerosis dapat disebabkan karena faktor genetik, lingkungan maupun interaksi antara factor genetik dan lingkungan. Lesi aterosklerotik ( ateroma ) terdiri dari sel-sel, elemen-elemen jaringan ikat, lipid dan debris. Ateroma didahului oleh


(9)

fatty streak, akumulasi sel-sel ( makrofag, bersama dengan beberapa sel T ) yang terbungkus lemak di bagian bawah endotelium (9).

Aterosklerosis umumnya terbentuk pada arteri-arteri dengan aliran dan tekanan yang tinggi, seperti jantung, otak, ginjal dan aorta, khususnya di titik percabangan arteri, yang merupakan area di mana terdapat gangguan aliran darah, sehingga mengurangi aktivitas molekul ateroprotektif endotel seperti nitrit oksida ( NO) dan menyebabkan ekspresi vascular cell adhesion molecule-1(VCAM-1 ) (8,10).

Gambar 2.1 Plak Aterosklerosis (Skaggs, 2012) (10)

Terdapat 2 teori aterosklerosis yang mendasari kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah, yaitu response to injury dan kelainan lemak darah (7).

Menurut teori response to injury, permukaan sel endotel senantiasa akan mengalami mikrolesi yang berulang-ulang atau mungkin pula pada suatu saat terjadi makrolesi karena perubahan dinamik gaya gesek pulsatil atau proses stres oksidatif lainnya. Sel endotel akan meresponsnya berupa respons imunologik guna mengatasi secara dinamik dan berkesinambungan (1).

Sel endotel normal tidak mengikat leukosit (6). Adanya rangsangan proinflamasi, termasuk diet tinggi lemak jenuh, hiperkolesterolemia, obesitas, hiperglikemi, resistensi insulin/diabetes melitus, hipertensi dan merokok, memicu ekspresi molekul adhesi endotel seperti VCAM-1, intercelluler adhesion molecule-1 ( ICAM-1 ), P-selectin yang akan mengadhesi leukosit limfosit dan monosit sirkulasi


(10)

sehingga terjadi disfungsi endotel, yang merupakan kelainan sistemik dan proses awal terjadinya aterosklerosis (5,6,).

Karakteristik disfungsi endotel adalah adanya ketidakseimbangan antara faktor-faktor vasodilatasi dan vasokonstriksi yang tergantung endotel sama halnya dengan faktor antitrombosis dan protrombosis. Nitrit oksida mempertahankan vasodilatasi endotel, berlawanan dengan efek vaso-konstriktor seperti endothelin ( ET )-1 dan agiotensin II (11).

Setelah monosit melekat di endotel maka akan bermigrasi dan menembus ke dalam lapisan intima dengan bantuan monocyte chemmoattractant protein-1 ( MCP-1 ). Lapisan intima yang mengalami inflamasi mengekspresikan macrophage colony stimulating factor ( MCSF ) yang merubah monosit menjadi makrofag. MCSF juga meningkatkan ekspresi reseptor scavenger makrofag yang mencerna lipid.

Akumulasi kolesteril ester dalam sitoplasma akan mengubah makrofag menjadi sel busa, yang merupakan karakteristik tanda awal aterosklerosis. Makrofag di dalam ateroma berproliferasi dan meningkatkan respons inflamasi dengan mensekresi berbagai growth factors dan sitokin, termasuk tumor necrosis factor α ( TNF α ) dan interleukin ( IL )-1β yang terlibat dalam progresi lesi dan komplikasi.

Gambar 2.1: Fagosit mononuclear pada aterogenesis. (Libby, 2002) (12 )

Sel T masuk ke dalam lesi sebagai respons terhadap chemokine-inducible protein-10 dan monokine yang diinduksi oleh interferon ( IFN )-γ dan IFN-inducible T cell chemmo-attractant yang kemudian menyebabkan limfosit masuk ke dalam


(11)

lapisan intima di mana subtipe CD4+ mendominasi lesi. Lesi aterosklerotik mengandung sitokin yang memacu respons T-helper ( Th )-1, sehingga sel T teraktivasi terpicu untuk berdiferensiasi menjadi sel efektor ( Th-1 efektor ). Sel efektor Th-1 meningkatkan aktivitas inflamasi lokal dengan memproduksi sitokin proinflamasi seperti IFN-γ dan CD40 ligand, yang berperan penting dalam progresifitas plaque (7,12).

Gambar 2.3 Peran Limfosit T dalam aterogenesis.( Libby 2002) (12 )

Jika proses inflamasi berlanjut maka aktivasi leukosit dan intrinsic arterial cells akan melepaskan mediator fibrogenik termasuk faktor-faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan replikasi, migrasi dan proliferasi sel otot polos, sehingga dinding arteri menjadi menebal (6). Migrasi dan proliferasi sel otot polos akan membentuk kapsula fibrosa yang menutupi lesi "lipid rich core" dan jaringan nekrosis. Kapsula fibrosa ini akan menonjol ke dalam lumen arteri sehingga mengganggu aliran darah dan menimbulkan manifestasi klinis dalam sirkulasi koroner, angina pektoris tak stabil atau infark miokard akut. Jika proses inflamasi berlanjut, makrofag dapat merusak matriks ekstra seluler dengan cara fagositosis atau mengeluarkan ensim proteolitik seperti matrix mettaloproteinase ( MMP ), sistein protease, dan serin protease akibatnya kapsula fibrosa menjadi lemah dan ruptur sehingga terbentuk thrombus (6,12).


(12)

Gambar 2.4 Gambar skematik pembentukkan ateroma.(Libby 2002) (12 )

Teori kelainan lemak darah didasarkan pada penelitian-penelitian hewan dan manusia yang menunjukkan bahwa hiperkolesterolemia menyebabkan aktivasi fokal endotelium dalam arteri-arteri besar dan sedang. Infiltrasi dan retensi low density lipoprotein ( LDL ) dalam tunika intima arteri menginisiasi respons inflamasi dalam dinding arteri. Partikel LDL yang mengalami reaksi ensimatik dan oksidasi di intima berubah menjadi modified-LDL ( mo-LDL ) dan oxidized- LDL ( ox-LDL ) (7,8). Mo-LDL melepaskan fosfolipid yang mengaktivasi sel endotel. Sel endotel yang teraktivasi mengekspresikan berbagai melekul adhesi leukosit. VCAM-1 biasanya meningkat pada respons terhadap hiperkolesterolemia, sehingga sel-sel yang memiliki reseptor VCAM-1 ( monosit dan limfosit ) akan menempel di tempat adhesi dan selanjutnya mensekresi kemokin dan growth factors yang akan merangsang adanya proliferasi, migrasi miosit dan fibroblas memasuki lapisan intima dan menimbulkan reaksi imun (7,8). Ox-LDL bersifat sitotoksik terhadap monosit dan sel otot polos (7). Adanya rangsangan MCSF yang diproduksi oleh tunika intima yang mengalami inflamasi menyebabkan monosit akan menempel dan bermigrasi ke subendotel dan berubah menjadi makrofag. Langkah ini merupakan langkah penting untuk pembentukan aterosklerosis. Makrofag akan memfagosit partikel ox-LDL menjadi sel busa ( sel prototipe aterosklerosis ), dimana hal ini merupakan inisial aterosklerosis.


(13)

Aterosklerosis pada SLE

Telah dijelaskan di atas bahwa aterosklerosis banyak dijumpai pada populasi pasien dengan gangguan sistem imun. Pada SLE, aterosklerosis terjadi pada onset usia yang relatif muda. Hal ini mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskular menjadi tinggi. Aterosklerosis yang terjadi dengan onset usia yang sangat muda pada pasien SLE kemudian dikenal sebagai accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis (Skaggs, 2012).(10) Accelerated atherosclerosis ini rata rata terdiagnosis pada onset usia 34,3 tahun (Urowitz dkk., 2010; Sheane dkk., 2013).(13) Berbagai penelitian kini menaruh perhatian pada tiga hal terkait accelerated atherosclerosis pada SLE yaitu; perbedaan biologis patogenesis penyakit kardiovaskular pada kelompok SLE dan non SLE; identifikasi populasi at-risk sebelum terjadinya aterosklerosis; dan pengembangan modalitas terapi baru dalam mencegah progresivitas aterosklerosis (Doria dkk., 2008). (14)

Accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis terjadi pada hampir 50% pasien SLE. Studi studi terdahulu menyebutkan mortalitas akibat infark miokard 10 kali lebih tinggi pada populasi SLE dibandingkan populasi non SLE pada jenis kelamin dan usia yang sama. Tingginya risiko penyakit kardiovaskuler pada SLE pertama kali dikemukakan tahun 1976. Fakta ini kemudin menjelaskan bimodal patern of SLE mortality. Bimodal patern ini menjelaskan bahwa morbiditas dan mortalitas terbesar pasien SLE disebabkan oleh dua factor utama yaitu infeksi dan kelainan kardiovaskuler.

Disebutkan bahwa overall risk untuk terjadinya infark miokard pada pasien SLE sepuluh kali lebih besar dibanding populasi umum bahkan setelah memperhatikan kombinasi kedua factor risik, baik tradisional dan non tradisional faktor risiko tradisional faktor risiko tradisional Framingham. Risiko ini bahkan lebih besar lagi pada wanita kelompok umur 35 sampai 44 tahun. Framingham Offspring Study menjelaskan bahwa wanita usia 35 sampai 44 tahun yang menderita SLE memiliki risiko infark miokard sebesar 50 kali lebih besar dari populasi non SLE (Urowitz dkk., 2010).(13)


(14)

Gambar 2.5 Faktor risiko tradisional dan non tradisional CVD pada SLE (Blackwell,2005)

Studi studi yang meneliti aterosklerosis pada SLE menggunakan ultrasonografi untuk menegakkan diagnosis aterosklerosis subklinis. Disebutkan bahwa prevalen plak karotis pada pasien SLE dua kali lebih besar dari control. Progresivitas plak disebutkan pula sangat cepat (Roman, 2007; Manzi, 2007). (15) Kerusakan dinding vaskuler yang sangat cepat pada pasien SLE banyak dipengaruhi juga oleh tidak efektifnya repair mechanism (Wrigt, 2006; Kahlenberg & Kaplan, 2011). (16)

Pada keadaan normal tubuh manusia memiliki berbagai mekanisme biologis untuk mencegah terjadinya aterosklerosis. High Density Lipoprotein (HDL) berperan mencegah oksidasi LDL oleh Reactive Oxygen Species (ROS) pada tunika intima serta mencegah terbentuknya foam cell yang adalah prekursor terbentuknya plak aterosklerotik. Endothelial progenitor cell (EPC) dan circulatory angiogenic cell (CAC) berperan dalam memperbaiki kerusakan pada endotel. Pada SLE mekanisme protektif ini terganggu. HDL yang berubah menjadi proinflammatory HDL (piHDL) justru meningkatkan pembentukan oxidized LDL (oxLDL). Mekanisme perubahan HDL menjadi piHDL sampai saat ini belum diketahui. oxLDL selanjutnya akan mengaktivasi

endothelial cell (EC) melepaskan sitokin proinflamasi yang menstimulasi adesi monosit

pada lapisan endotel dan bermigrasi ke tunika intima. Monosit berdiferensiasi menjadi

foam cell. Tingginya kadar homocystein meningkatkan terbentuknya ROS dan

meningkatkan kerusakan sel endotel. Repair mechanism atas defek endothelial cell juga tidak terjadi akibat berkurangnya EPC dan CAC. Kerusakan endotel, gangguan mekanisme repair dan meningkatnya foam cell akibat peningkatan oxLDL, secara kumulatif meningkatkan progresifitas aterosklerosis pada SLE.


(15)

Studi oleh Cacciapaglia dkk. (2009) di Italia melaporkan perbedaan bermakna IMT pasien SLE dibanding kontrol. Studi dilakukan terhadap 33 pasien SLE dan 33 kontrol yang adalah subjek sehat. Populasi kasus dan kontrol disesuaikan berdasarkan usia dan faktor risiko tradisional. IMT diukur dengan Colour Doppler Ultrasonografi pada arteri karotis komunis. Rerata IMT pada kelompok kasus 0,7 ± 0,2 mm dibanding kontrol 0,5 ± 0,1 mm dengan p < 0,0001.

Diagnosis

American Heart Association (AHA) menyarankan pemeriksaan carotid Doppler ultrasonography B mode pada arteri karotis, sebagai pemeriksaan noninvasif untuk mendiagnosis aterosklerosis subklinis (McMahon et al., 2011; Belibou, 2012). (17,) Diagnosis didasarkan pada dua parameter yaitu ketebalan intima media dan ada tidaknya plak. Pengukuran ketebalan tunika intima dapat dilakukan pada beberapa titik anatomis di arteri karotis. Salah satu metode yang digunakan dalam banyak studi tentang aterosklerosis adalah pengukuran pada tiga titik di kedua sisi arteri karotis. Tiga titik dimaksud adalah pada arteri karotis komunis (1 cm sebelum bulbus), arteri karotis eksterna (1 cm kranial bulbus), dan arteri karotis interna (1 cm setelah percabangan aliran). CIMT disebut normal bila nilainya <0.9 mm, dan disebut menebal bila > 0.9 mm, dan disebut plak aterosklerotik bila >1.3 mm (Borhani, 1996; Doria, 2003; McMahon et al., 2011). (14,17)

Pengobatan Aterosklerosis pada SLE

Pengobatan aterosklerosis pada SLE ditujukan pada upaya meminimalisir factor risiko akselerasi atau prematur aterosklerosis dengan memodifikasi factor risiiko penyakit kardiovaskular seperti status merokok, tekanan darah, BMI, diabetes, serum lipid.

Disease modifiying agents pada SLE merupakan implikasi untuk pencegahan aterosklerosis, seperti : terapi antimalaria yang dipercaya bersifat cardioprotektif dan dihubungkan dengan berkurangnya kekakuan aorta, dengan jalan memblok TLR (Toll-like receptors) 7 dan 9 yang merupakan reseptor pada kompleks imun yang melakukan mediasi pada imun innate, yang akan menstimulasi IFNalfa yang akan


(16)

mengakibatkan disfungsi endotel. Durasi penggunaan glukokortikoid dihubungkan dengan aterosklerosis pada SLE, ditambahkan bahwa prednisone dosis > 10mg/hari diprediksi dapat meningkatkan kadar kolesterol pada SLE. MMF ( Mycophenolate mofetil ) merupakan agent immunosupresive yang berpotensi sebagai anti atherogenic. Penggunaan Azathioprine dihubungkan dengan kejadian penyakit jantung koroner dan juga dihubungkan dengan peningkatan ketebalan tunika intima arteri karotis. Terapi direct cell B berkontribusi pada progresifitas aterosklerosis. ( Skaggs, 2012 ) (10)

Ringkasan dan kesimpulan

Aterosklerosis dan penyakit kardivaskular adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penyakit multipel rheumatic. Belum diketahui penyebab akseleration atau premature autoimun pada aterosklerosis, tetapi terdapat bukti kuat yang berhubungan dengan disfungsi imun regulator, inflamasi, factor tradisional,gangguan pada disfungsi dan perbaikan endotel, dan penggunaan terapi pada penyakit autoimun. Homosistein dan kadar lipid merupakan biomarker komprehensif untuk mengidentifikasi risiko awal aterosklerosis, disamping piHDL (progenitor inflamasi HDL), EPC/CAC (endothelial progenitor cell/circulation angiogenik cell). Data terbaru menyebutkan bahwa SLE merupakan elemen spesifik pada peningkatan risiko aterosklerosis. Faktor klinis akselerasi aterosklerosis pada SLE harus menjadi pendekatan yang integral untuk identifikas dan terapi serta diperlukan penelitian yang intensif pada SLE yang pada akhirnya akan memperbaiki dampak kardiovaskular pada pasien SLE


(17)

Daftar Pustaka

1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009; 2565-2579.

2. Adi PR. Pencegahan dan Penatalaksanaan Aterosklerosis. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiyohadi B, Syam AF. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi keenam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2014. h:1427

3. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Journal of Clinical Pathology, 2003;56:481-490.

4. Hochberg Mc. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthrituis Rheumatology 1997;40:1725

5. Gordon C, Sutcliffe N, Clarke AE, Levinton C, Frost C, Isenberg DA. Associates of health status in patients with systemic lupus erythematosus. 2000. Published 2011 Oct 8. Available from: http : // www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/10555890.

6. Falk, E. Atherothrombosis: Role of Inflammation: Introduction dalam Hurst’s The Heart. 2012. 13th edition.

7. Suhardjono. Role of infections, inflammations and immune factors in

atherosclerosis.Dalam: Taniwidjojo S, Rifqi S.eds. Atherosclerosis from Theory to Clinical Practice.Naskah Lengkap Semarang Cardiology-Update (Mini Cardiology-Update III). Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro;2003:43-51.

8. Packard RR, Libby P. Inflammation in atherosclerosis:From vascular biology to biomarker discovery and risk prediction.Clinical Chemistry 2008; 54(1):24-38.

9. Hansson GK. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N Engl J Med 2005; 352 : 1685–95.


(18)

10. Brian J. Skaggs, Bevra H. Hahn, and Maureen McMahon. The role of the immune system in atherosclerosis: molecules,mechanisms and implications for management of cardiovascular risk and disease in patients with rheumatic diseases.National Institites of Health, Nat Rev Rheumatol. 2012 Feb 14; 8(4): 214–223.

11. Lau DCW, Dhillon B, Yan H, Szmitko PE, Verma S. Adipokines:molecular links between obesity and atherosclerosis. Am J Physiol Heart Circ Physiol 2005; 288:H2031-41.

12. Libby P. Inflammation in atherosclerosis. Nature 2002; 420:868-74.

13. Urowitz MB, et al. The bimodal mortality pattern of systemic lupus erythematosus. Am J Med. 1976; 60:221–225.

14. Doria A, et al. Risk factors for subclinical atherosclerosis in a prospective cohort of patients with systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. 2003; 62:1071–1077.

15. Roman MJ, et al. Prevalence and correlates of accelerated atherosclerosis in systemic lupus erythematosus. N Engl J Med. 2003; 349:2399–2406.

16. Kahlenberg JM, Kaplan MJ. The interplay of inflammation and cardiovascular disease in systemic lupus erythematosus. Arthritis Res Ther. 2011; 13:203. 17. McMahon M, Hahn BH, Skaggs BJ. Systemic lupus erythematosus and

cardiovascular disease: Prediction and potential for therapeutic intervention. Expert Review of Clinical Immunology. 2011;7:227–241. Published online 2014 Oct 17. doi: 10.1007/s10753-014-0029-5

18. Ross R. Atherosclerosis–an inflammatory disease. N Engl J Med 1999; 340: 115–26.

19. Wick G, Perschinka H, Millonig G. Atherosclerosis as an autoimmune disease: an update. Trends Immunol 2001; 22: 665–9.

20. George J, Harats D, Gilburd B et al. Adoptive transfer of beta(2)-glycoprotein I-reactive lymphocytes enhances early atherosclerosis in LDL receptor-deficient mice. Circulation 2000; 102: 1822–7.


(1)

yang sangat muda pada pasien SLE kemudian dikenal sebagai accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis (Skaggs, 2012).(10) Accelerated atherosclerosis ini rata rata terdiagnosis pada onset usia 34,3 tahun (Urowitz dkk., 2010; Sheane dkk., 2013).(13) Berbagai penelitian kini menaruh perhatian pada tiga hal terkait accelerated atherosclerosis pada SLE yaitu; perbedaan biologis patogenesis penyakit kardiovaskular pada kelompok SLE dan non SLE; identifikasi populasi at-risk sebelum terjadinya aterosklerosis; dan pengembangan modalitas terapi baru dalam mencegah progresivitas aterosklerosis (Doria dkk., 2008). (14)

Accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis terjadi pada hampir 50% pasien SLE. Studi studi terdahulu menyebutkan mortalitas akibat infark miokard 10 kali lebih tinggi pada populasi SLE dibandingkan populasi non SLE pada jenis kelamin dan usia yang sama. Tingginya risiko penyakit kardiovaskuler pada SLE pertama kali dikemukakan tahun 1976. Fakta ini kemudin menjelaskan bimodal patern of SLE mortality. Bimodal patern ini menjelaskan bahwa morbiditas dan mortalitas terbesar pasien SLE disebabkan oleh dua factor utama yaitu infeksi dan kelainan kardiovaskuler.

Disebutkan bahwa overall risk untuk terjadinya infark miokard pada pasien SLE sepuluh kali lebih besar dibanding populasi umum bahkan setelah memperhatikan kombinasi kedua factor risik, baik tradisional dan non tradisional faktor risiko tradisional faktor risiko tradisional Framingham. Risiko ini bahkan lebih besar lagi pada wanita kelompok umur 35 sampai 44 tahun. Framingham Offspring Study menjelaskan bahwa wanita usia 35 sampai 44 tahun yang menderita SLE memiliki risiko infark miokard sebesar 50 kali lebih besar dari populasi non SLE (Urowitz dkk., 2010).(13)


(2)

Gambar 2.5 Faktor risiko tradisional dan non tradisional CVD pada SLE (Blackwell,2005)

Studi studi yang meneliti aterosklerosis pada SLE menggunakan ultrasonografi untuk menegakkan diagnosis aterosklerosis subklinis. Disebutkan bahwa prevalen plak karotis pada pasien SLE dua kali lebih besar dari control. Progresivitas plak disebutkan pula sangat cepat (Roman, 2007; Manzi, 2007). (15) Kerusakan dinding vaskuler yang sangat cepat pada pasien SLE banyak dipengaruhi juga oleh tidak efektifnya repair mechanism (Wrigt, 2006; Kahlenberg & Kaplan, 2011). (16)

Pada keadaan normal tubuh manusia memiliki berbagai mekanisme biologis untuk mencegah terjadinya aterosklerosis. High Density Lipoprotein (HDL) berperan mencegah oksidasi LDL oleh Reactive Oxygen Species (ROS) pada tunika intima serta mencegah terbentuknya foam cell yang adalah prekursor terbentuknya plak aterosklerotik. Endothelial progenitor cell (EPC) dan circulatory angiogenic cell (CAC) berperan dalam memperbaiki kerusakan pada endotel. Pada SLE mekanisme protektif ini terganggu. HDL yang berubah menjadi proinflammatory HDL (piHDL) justru meningkatkan pembentukan oxidized LDL (oxLDL). Mekanisme perubahan HDL menjadi piHDL sampai saat ini belum diketahui. oxLDL selanjutnya akan mengaktivasi endothelial cell (EC) melepaskan sitokin proinflamasi yang menstimulasi adesi monosit pada lapisan endotel dan bermigrasi ke tunika intima. Monosit berdiferensiasi menjadi foam cell. Tingginya kadar homocystein meningkatkan terbentuknya ROS dan meningkatkan kerusakan sel endotel. Repair mechanism atas defek endothelial cell juga tidak terjadi akibat berkurangnya EPC dan CAC. Kerusakan endotel, gangguan mekanisme repair dan meningkatnya foam cell akibat peningkatan oxLDL, secara kumulatif meningkatkan progresifitas aterosklerosis pada SLE.


(3)

kontrol 0,5 ± 0,1 mm dengan p < 0,0001. Diagnosis

American Heart Association (AHA) menyarankan pemeriksaan carotid Doppler ultrasonography B mode pada arteri karotis, sebagai pemeriksaan noninvasif untuk mendiagnosis aterosklerosis subklinis (McMahon et al., 2011; Belibou, 2012). (17,) Diagnosis didasarkan pada dua parameter yaitu ketebalan intima media dan ada tidaknya plak. Pengukuran ketebalan tunika intima dapat dilakukan pada beberapa titik anatomis di arteri karotis. Salah satu metode yang digunakan dalam banyak studi tentang aterosklerosis adalah pengukuran pada tiga titik di kedua sisi arteri karotis. Tiga titik dimaksud adalah pada arteri karotis komunis (1 cm sebelum bulbus), arteri karotis eksterna (1 cm kranial bulbus), dan arteri karotis interna (1 cm setelah percabangan aliran). CIMT disebut normal bila nilainya <0.9 mm, dan disebut menebal bila > 0.9 mm, dan disebut plak aterosklerotik bila >1.3 mm (Borhani, 1996; Doria, 2003; McMahon et al., 2011). (14,17)

Pengobatan Aterosklerosis pada SLE

Pengobatan aterosklerosis pada SLE ditujukan pada upaya meminimalisir factor risiko akselerasi atau prematur aterosklerosis dengan memodifikasi factor risiiko penyakit kardiovaskular seperti status merokok, tekanan darah, BMI, diabetes, serum lipid.

Disease modifiying agents pada SLE merupakan implikasi untuk pencegahan aterosklerosis, seperti : terapi antimalaria yang dipercaya bersifat cardioprotektif dan dihubungkan dengan berkurangnya kekakuan aorta, dengan jalan memblok TLR (Toll-like receptors) 7 dan 9 yang merupakan reseptor pada kompleks imun yang melakukan mediasi pada imun innate, yang akan menstimulasi IFNalfa yang akan


(4)

mengakibatkan disfungsi endotel. Durasi penggunaan glukokortikoid dihubungkan dengan aterosklerosis pada SLE, ditambahkan bahwa prednisone dosis > 10mg/hari diprediksi dapat meningkatkan kadar kolesterol pada SLE. MMF ( Mycophenolate mofetil ) merupakan agent immunosupresive yang berpotensi sebagai anti atherogenic. Penggunaan Azathioprine dihubungkan dengan kejadian penyakit jantung koroner dan juga dihubungkan dengan peningkatan ketebalan tunika intima arteri karotis. Terapi direct cell B berkontribusi pada progresifitas aterosklerosis. ( Skaggs, 2012 ) (10)

Ringkasan dan kesimpulan

Aterosklerosis dan penyakit kardivaskular adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penyakit multipel rheumatic. Belum diketahui penyebab akseleration atau premature autoimun pada aterosklerosis, tetapi terdapat bukti kuat yang berhubungan dengan disfungsi imun regulator, inflamasi, factor tradisional,gangguan pada disfungsi dan perbaikan endotel, dan penggunaan terapi pada penyakit autoimun. Homosistein dan kadar lipid merupakan biomarker komprehensif untuk mengidentifikasi risiko awal aterosklerosis, disamping piHDL (progenitor inflamasi HDL), EPC/CAC (endothelial progenitor cell/circulation angiogenik cell). Data terbaru menyebutkan bahwa SLE merupakan elemen spesifik pada peningkatan risiko aterosklerosis. Faktor klinis akselerasi aterosklerosis pada SLE harus menjadi pendekatan yang integral untuk identifikas dan terapi serta diperlukan penelitian yang intensif pada SLE yang pada akhirnya akan memperbaiki dampak kardiovaskular pada pasien SLE


(5)

I, Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiyohadi B, Syam AF. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi keenam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2014. h:1427

3. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Journal of Clinical Pathology, 2003;56:481-490.

4. Hochberg Mc. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthrituis Rheumatology 1997;40:1725

5. Gordon C, Sutcliffe N, Clarke AE, Levinton C, Frost C, Isenberg DA. Associates of health status in patients with systemic lupus erythematosus. 2000. Published 2011 Oct 8. Available from: http : // www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/10555890.

6. Falk, E. Atherothrombosis: Role of Inflammation: Introduction dalam Hurst’s

The Heart. 2012. 13th edition.

7. Suhardjono. Role of infections, inflammations and immune factors in

atherosclerosis.Dalam: Taniwidjojo S, Rifqi S.eds. Atherosclerosis from Theory to Clinical Practice.Naskah Lengkap Semarang Cardiology-Update (Mini Cardiology-Update III). Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro;2003:43-51.

8. Packard RR, Libby P. Inflammation in atherosclerosis:From vascular biology to biomarker discovery and risk prediction.Clinical Chemistry 2008; 54(1):24-38.

9. Hansson GK. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N Engl J Med 2005; 352 : 1685–95.


(6)

10. Brian J. Skaggs, Bevra H. Hahn, and Maureen McMahon. The role of the immune system in atherosclerosis: molecules,mechanisms and implications for management of cardiovascular risk and disease in patients with rheumatic diseases.National Institites of Health, Nat Rev Rheumatol. 2012 Feb 14; 8(4): 214–223.

11. Lau DCW, Dhillon B, Yan H, Szmitko PE, Verma S. Adipokines:molecular links between obesity and atherosclerosis. Am J Physiol Heart Circ Physiol 2005; 288:H2031-41.

12. Libby P. Inflammation in atherosclerosis. Nature 2002; 420:868-74.

13. Urowitz MB, et al. The bimodal mortality pattern of systemic lupus erythematosus. Am J Med. 1976; 60:221–225.

14. Doria A, et al. Risk factors for subclinical atherosclerosis in a prospective cohort of patients with systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. 2003; 62:1071–1077.

15. Roman MJ, et al. Prevalence and correlates of accelerated atherosclerosis in systemic lupus erythematosus. N Engl J Med. 2003; 349:2399–2406.

16. Kahlenberg JM, Kaplan MJ. The interplay of inflammation and cardiovascular disease in systemic lupus erythematosus. Arthritis Res Ther. 2011; 13:203. 17. McMahon M, Hahn BH, Skaggs BJ. Systemic lupus erythematosus and

cardiovascular disease: Prediction and potential for therapeutic intervention. Expert Review of Clinical Immunology. 2011;7:227–241. Published online 2014 Oct 17. doi: 10.1007/s10753-014-0029-5

18. Ross R. Atherosclerosis–an inflammatory disease. N Engl J Med 1999; 340: 115–26.

19. Wick G, Perschinka H, Millonig G. Atherosclerosis as an autoimmune disease: an update. Trends Immunol 2001; 22: 665–9.

20. George J, Harats D, Gilburd B et al. Adoptive transfer of beta(2)-glycoprotein I-reactive lymphocytes enhances early atherosclerosis in LDL receptor-deficient mice. Circulation 2000; 102: 1822–7.