Lupus Eritematosus Diskoid

Laporan Kasus
LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID
dr. Riana Miranda Sinaga, SpKK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN 2013
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................................. i PENDAHULUAN ....................................................................................................................1 LAPORAN KASUS ..................................................................................................................2 DISKUSI ...................................................................................................................................4 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................10
Universitas Sumatera Utara

LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus diskoid (LED) adalah suatu penyakit autoimun yang mengenai jaringan konektif yang bersifat kronis. LED lebih sering terjadi pada orang berkulit hitam dibandingkan berkulit putih dan pada wanita lebih sering terjadi dibandingkan pria dengan perbandingan 2:1. Walaupun LED dapat terjadi pada semua umur namun lebih sering terjadi pada usia dekade keempat.1-6
Penyebab LED belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga sebagai salah satu predisposisi timbulnya penyakit ini, akan tetapi bagaimana hubungannya secara pasti belum diketahui. Hubungan yang positif dengan HLA-B7,-B8, -Cw7, -DR2, -DR3 dan DQw1 dilaporkan, namun tidak selalu dikonfirmasi. Beberapa faktor lingkungan yang berhubungan dengan eksaserbasi LED yaitu trauma 11%, stress 12 %, paparan sinar matahari 5%, infeksi virus 3%, paparan dingin 2%, dan kehamilan 1 %. Di Leed (Inggris) dilaporkan bahwa dari 120 pasien lupus eritematosus terjadi eksaserbasi sekitar 68% akibat paparan sinar matahari. Sedangkan secara klinis dan histologis diperoleh sekitar 42% dari pasien LED muncul lesi yang diinduksi oleh paparan sinar UVB dan UVA.2,3
Gambaran klinis LED pada awalnya berupa makula eritema, papula atau plak kecil berbentuk koin (diskoid ) selanjutnya permukaanya menjadi hiperkeratotik dengan skuama yang melekat. Lesi awal LED selanjutnya akan melebar, dan pada tepi lesi menjadi eritema dan hiperpigmemasi, meninggalkan gambaran khas adanya skar atrofi pada bagian tengah lesi , telangiektasi dan hipopigmentasi. Lesi diskoid biasanya terlokalisasi diatas leher termasuk kulit kepala, batang hidung, daerah malar, bibir bawah dan telinga. Pada kulit kepala lesi awalnya berupa makula atau plak yang berkembang menjadi putih, atropi dan tidak berbulu . Eritema perifolikular dan adanya rambut anagen yang mudah dicabut merupakan tanda bahwa penyakit aktif dan membantu dalam memantau respon terapi. Pada suatu studi, terjadi keterlibatan mukosa mulut, hidung, mata dan vulva sekitar 24 % pada pasien LED. Pada daerah bibir terdapat lesi berwarna abu-abu atau merah dan hiperkeratotik, kemudian atropi dan berupa daerah inflamasi.1-
6
Universitas Sumatera Utara

LED dapat didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik, psoriasis, rosasea, lupus vulgaris, sarcoidosis, erupsi obat, aktinik keratosis, Bowen’s disease, liken planus, sifilis tersier, erupsi polimorfik yang ringan dan infiltrasi limfositik (Jessner). 1-6
Diagnosis LED ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, laboratorium dan histopatologis.1-6
Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai kelainan seperti peningkatan laju endap darah, leukopeni, ANA (antibodi antinuklear) dengan hasil positif lemah atau negatif, sedangkan anti (ds)DNA, sel LE adalah negatif .Progresi dari LED menjadi lupus eritematosus sistemik(LES) dapat terjadi namun jarang.4,5

Penatalaksanaan LED bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum penderita, mengontrol lesi dan menghambat terjadinya skar atrofi, serta mencegah perkembangan lesi lebih lanjut. Penatalaksanaan diawali dengan menggunakan pelindung terhadap paparan matahari. Pilihan pengobatan secara sistemik yaitu menggunakan obat anti malaria, kortikosteroid, dan obat-obat imunosupresif lainnya seperti methotreksat, azathioprin. Pengobatan topikal dengan kortikosteroid, kalsineurin inhibitor, dan retinoid, selain itu pilihan pengobatan lainnya yaitu menggunakan kortikosteroid intralesi.1-6
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus LED pada seorang wanita usia 42 tahun dengan dijumpainya lesi pada wajah dan leher.
LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 42 tahun, suku jawa , pekerjaan ibu rumah tangga dan tinggal di daerah pesisir pantai (belawan) datang ke poliklinik RSUP H. Adam Malik Medan pada tanggal 16 Januari 2009 dengan keluhan utama kulit menebal kemerahan disertai sisik yang halus pada daerah batang hidung, atas bibir, bibir, belakang telinga kiri dan rahang bawah kanan, dengan jaringan parut pada daerah tengah lesi atas bibir serta bercak putih pada daerah kelopak mata bawah yang dialami penderita selama + 6 tahun terakhir.
Mula - mula hanya berupa bercak kecil kemerahan sebesar kacang kedelai yang timbul pada batang hidung yang semakin lama semakin melebar, kemudian muncul pada daerah atas bibir, bibir, belakang telinga kiri, rahang bawah kanan dan kelopak mata bawah kanan dan kiri.
Universitas Sumatera Utara

Bercak kemerahan lama – kelamaan menjadi menebal dan bersisik dan kulit menebal tersebut semakin memerah dan terasa perih jika penderita terpapar sinar matahari serta terjadi jaringan parut pada daerah tengah lesi pada atas bibir. Sedangkan pada daerah kelopak mata bawah bercak merah menjadi putih. Sebelumnya pasien pernah berobat namun hanya berobat tradisional dan belum pernah berobat ke dokter. Dari anamnesis diperoleh bahwa keluarga penderita tidak ada yang menderita penyakit yang sama.
Pada pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg. frekwensi nadi 86 x / menit, pernafasan 22 x / menit dan suhu tubuh afebris.
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai plak eritem berbatas tegas dengan skuama yang halus pada regio nasalis, regio labialis superior, regio oralis , regio mandibularis dekstra dan regio mastoideus sinistra serta skar atropi pada tengah lesi pada regio labialis superior. Sedangkan pada regio palpebra inferior dekstra et sinstra dijumpai makula hipopigmentasi.
Pasien didiagnosis banding dengan lupus eritematosus diskoid, dermatitis seboroik dan dermatitis kontak alergi. Dengan diagnosis sementara yaitu lupus eritematosus diskoid.
Kemudian dari hasil pemeriksaan laboritorium menunjukkan darah rutin, urin rutin, fungsi ginjal, fungsi hati, kadar gula darah dan elektrolit dalam batas normal, tetapi didapati peningkatan LED : 30 mm/jam. Pada pemeriksaan RA factor negatif, sel LE negatif. anti ds DNA 109 IU/ml, ANA negatif (0,25) .
Hasil konsul ke bagian penyakit dalam dan bagian mata tidak dijumpai kelainan.
Pada pemeriksaan histopatologis dari jaringan atas bibir didapati bahwa tampak sediaan jaringan kulit yang mengalami atrofi dilapisi epitel skuamous berlapis dengan basal membran mengalami reaksi likenoid sub- epidermal tampak sebukan sel-sel radang limfosit, yang prominen, juga tampak kelompok kelenjar sebasea dalam batas normal. Stroma terdiri dari jaringan kolagen yang proliferasi. Tanda-tanda keganasan tidak dijumpai. Kesimpulan : Menyokong suatu lupus eritematosus diskoid.
Diagnosis kerja LED ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dermatologis, laboratorium dan histopatologis. Dengan diagnosis kerja adalah Lupus Eritematosus Diskoid.
Universitas Sumatera Utara

Pada penderita diberi penjelasan mengenai penyakit yang diderita dan disarankan untuk melindungi diri dari paparan sinar matahari dengan menggunakan pakaian yang tertutup dan topi. Sebagai terapi topikal diberikan krim hidrokortison 1 % yang dioleskan 2 x sehari pada daerah hidung , atas bibir, rahang bawah kanan dan belakang telinga kiri, ointment triamsinolon asetonida 0,1% yang dioleskan 2 x sehari pada daerah bibir dan pemberian tabir surya berupa krim dengan SPF 33. Untuk terapi sismetik diberikan kloroquin 1 x 250 mg/hari. Dan sebelum dilakukan pengobatan dengan kloroquin penderita terlebih dahulu menjalani pemeriksaan mata dan dari pemeriksaan mata diperoleh hasil visus dan funduskopi dalam batas normal, serta tidak dijumpai retinopati sehingga kioroquin dapat diberikan.
Pada kontrol setelah 1 bulan pengobatan, plak eritem pada regio nasalis, regio labialis superior, regio oralis , regio mandibularis dekstra dan regio mastoideus sinistra tidak dijumpai lagi dan tidak dijumpai lesi baru, namun masih dijumpai skar atropi pada atas bibir. Terapi tetap diteruskan.
Pada kontrol setelah 2 bulan pengobatan terdapat banyak kamajuan dimana lesi-lesi sudah mulai menyembuh, lesi pada bibir sudah mulai menipis namun skar atropi pada atas bibir masih ditemukan. Terapi tetap diteruskan.

Pada kontrol setelah 3 bulan pengobatan, lesi-lesi hampir tidak tampak lagi dan lesi pada daerah bibir sudah menipis dan mengecil. Pengobatan tetap diteruskan dan penderita dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ke bagian mata dan penyakit dalam dan hasil pemeriksaan tidak dijumpai adanya kelainan. Setelah itu pasien tidak pernah datang berobat kembali.
Prognosis quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad bonam, dan quo ad sanationam dubia.
DISKUSI
Diagnosis LED ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, laboratorium dan histopatologis. Berdasarkan anamnesis pasien seorang wanita berusia 42 tahun, tinggal di daerah pesisir pantai yaitu daerah yang sering terpapar sinar matahari, hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa LED secara umum sering terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan perbandingan 2:1 dan lebih sering terjadi pada usia dekade keempat. Serta salah satu faktor lingkungan yang berhubungan dengan eksaserbasi LED adalah paparan sinar matahari.1-6
Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dari pemeriksaan klinis dijumpai plak eritem berbatas tegas dengan skuama yang halus pada regio nasalis, regio labialis superior, regio oralis , regio mandibularis dekstra dan regio mastoideus sinistra serta skar atropi pada tengah lesi pada regio labialis superior. Sedangkan pada regio palpebra inferior dekstra et sinstra dijumpai makula hipopigmentasi. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa gambaran klinis LED pada awalnya berupa makula eritema, papula atau plak kecil berbentuk koin (discoid ) selanjutnya permukaanya menjadi hiperkeratotik dengan skuama yang melekat. Lesi awal LED selanjutnya akan melebar, dan pada tepi lesi menjadi eritema dan hiperpigmemasi, meninggalkan gambaran khas adanya skar atrofi pada bagian tengah lesi, telangiektasi dan hipopigmentasi. Lesi discoid biasanya terlokalisasi diatas leher termasuk kulit kepala, batang hidung, daerah malar, bibir bawah dan telinga serta dapat terjadi pada daerah mukosa mulut, hidung, mata dan vulva. Pada daerah bibir biasanya terdapat lesi berwarna abu-abu atau merah dan hiperkeratotik, kemudian atropi dan berupa daerah inflamasi.1-6
Sekitar 95 % kasus LED terbatas hanya pada kelainan kulit saja. Progresi dari LED menjadi lupus eritematosus sistemik(LES) dapat terjadi namun jarang. Pada kasus ini tidak terbukti adanya keterlibatan sitemik baik dari pemeriksaan fisik dan hasil konsul ke bagian penyakit dalam maupun dari hasil pemeriksaan laboratorium dengan hasil dalam batas normal tetapi hanya didapati peningkatan LED : 30 mm/jam. Sedangkan pada pemeriksaan RA factor, sel LE, anti ds DNA dan ANA adalah negatif, berdasarkan kepustakaan pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai kelainan seperti peningkatan laju endap darah, , leukopeni, ANA (antibodi antinuklear) dengan hasil positif lemah atau negatif, sedangkan anti (ds)DNA, sel LE adalah negatif .4,5
Menurut klasifikasi Giliam, LED disebut juga lupus eritematosus diskoid klasik yang termasuk dalam kelompok lupus eritematosus kutaneus kronik (LEKK). LED terdiri atas LED terlokalisasi dan LED generalisata. Pada kasus ini perjalanan klinisnya berlangsung kronis yaitu ± 6 tahun sehingga dimasukkan dalam kelompok LEKK, selain itu lesi hanya terdapat daerah leher dan wajah sehingga kasus ini dikatagorikan ke dalam LED yang terlokalisasi.3,5
Pada pemeriksaan histopatologis dari jaringan atas bibir didapati bahwa tampak sediaan jaringan kulit yang mengalami atrofi dilapisi epitel skuamous berlapis dengan basal membran mengalami reaksi likenoid sub- epidermal tampak sebukan sel-sel radang limfosit, yang
Universitas Sumatera Utara

prominen, juga tampak kelompok kelenjar sebasea dalam batas normal. Stroma terdiri dari jaringan kolagen yang proliferasi. Tanda-tanda keganasan tidak dijumpai. Kesimpulan : Menyokong suatu lupus eritematosus diskoid. Berdasarkan kepustakaan gambaran histopatologis pada LED ditemukan kelainan pada semua lapisan epidermis berupa atrofi dan menunjukan hiperkeratosis folikuler yang difus (hyperkeratosis flugging), pada stratum basalis ditemukan degenerasi hidrofik, sel basal menunjukkan beberapa disorganisasi berupa kohesi yang lemah dengan rongga - rongga yang berukuran tidak teratur sehingga membran basalis epidermis dan membran basalis adneksa mengalami penebalan. Selain itu juga tampak edema dermis dan mengalami degenerasi terutama pada papilla dermis , pembuluh darah kapiler di dalam dermis berdilatasi, adanya serbukan sel - sel radang limfositik, terutama di sekeliling folikel rambut, kelenjar lemak dan pembuluh darah. Sering ditemukan ekstravasasi eritrosit. Apendik mengalami atrofi dan menghilang. Dengan pewarnaan khusus alcian blue dapat ditemukan musin dalam jaringan ikat kologen dermis.3,5
Pasien didiagnosis banding dengan lupus eritematosus diskoid, dermatitis seboroik, dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis seboroik dapat disingkirkan dimana ditemukannya kelainan terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan dengan batas yang kurang tegas. Pada daerah supraorbital dapat dijumpai skuama-skuama dengan dasar yang eritem dan dapat pula terjadi blefaritis yaitu pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus. Daerah predileksi dapat mengenai kepala,supraorbital, liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sterna, aerola mame, lipatan di bawah mame pada wanita, interskapular, umbilicus, lipatan paha, pipi, hidung dan pipi. Sedangkan dermatitis kontak alergi dapat disingkirkan oleh karena disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit sehingga menimbulkan kelainan kulit seperti bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian dapat diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula, erosi dan eksudasi(basah). Dapat terjadi pada wajah, kelopak mata, leher bahkan bibir atau sekitarnya akibat bahan-bahan alergen.6
Tujuan penatalaksaan pada kasus ini adalah untuk memperbaiki keadaan umum penderita, mengontrol lesi dan menghambat terjadinya skar atrofi, serta mencegah perkembangan lesi lebih lanjut. Pada kasus ini untuk kelainan kulit yang bersifat fotosintesis diberikan tabir surya dengan SPF 33 serta disarankan pada penderita untuk menghindari paparan sinar matahari dan pada lesi diberikan topikal kortikosteroid potensi lemah sedangkan lesi pada bibir diberi pengobatan
Universitas Sumatera Utara

dengan topikal kortikosteroid potensi poten. Terapi sistemik diberikan antara lain anti malaria. Antimalaria merupakan pilihan utama dalam pengobatan LED. Mekanisme kerja antimalaria pada LED adalah efek anti inflamasi dan imunosupresif, juga mempunyai efek mengurangi fotosensitiftas. Diberikan klorqiun dengan dosis 1x250mg per hari. terapi dengan tabir surya, kortikosteroid topikal dan preparat antimalaria yang biasanya efektif digunakan untuk pengobatan LED.1-6 Pasien datang:
Universitas Sumatera Utara


Kontrol I (1 bulan setelah pengobatan): Kontrol II (2 bulan setelah pengobatan) :
Universitas Sumatera Utara

Kontrol III (3 bulan setelah pengobatan) :
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA 1. Callen JP. Discoid Lupus Erythematosus. 2001. Di unduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1065529-overview 2. Goodfield MJD, Jones SK, Veale DJ. The Connective Tissue Diseases. Dalam : Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. Wiley Blackwell.2010. p.51.1-51.64. 3. Adam AM, Monalisa, Zabudin AN, Rasid NHM, Palin NT. Lupus Eritematosus Diskoid.Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Hasanuddin.2011. Dalam: http://www.scribd.com/doc/47533365/Lupus-Erythematosus-Discoid 4. James WD, Berger TG, Elston DM. Connective Tissue Diseases. Andrews’s Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. Edisi ke-10. Philadelphia: WB Saunders; 2006.p.15766. 5. Costner MI. Sontheimer RD.Lupus Erythematosus. Dalam : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick's Dermatology in general medicine, edisi ke-7. New York: McGraw-Hill, 2008:1515-35. 6. Djuanda S. Penyakit Jaringan Konektif. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.eds.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi ke-5. Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2008.h.264-67.
Universitas Sumatera Utara