Perbedaan Pola Dermatoglifi Tangan Pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (Les) Dengan Tangan Orang Normal

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES) DENGAN TANGAN ORANG NORMAL SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Sofi Wardati G0009203

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2013

Skripsi dengan judul: Perbedaan Pola Dermatoglifi Tangan pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan Tangan Orang Normal

Sofi Wardati, NIM: G0009203, Tahun: 2013

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Senin, Tanggal 7 Januari 2013

Pembimbing Utama

Nama : Selfi Handayani, dr., M.Kes NIP : 19670214 199702 2 001

Pembimbing Pendamping

Nama : Dr. H. Endang Sutisna S, dr., M.Kes NIP : 19560320 198312 1 002

Penguji Utama

Nama : Sri Indratni, dr., M.Or NIP : 19480530 197609 2 001

Anggota Penguji

Nama : Sumardiyono, SKM, M.Kes NIP : 19650706 198803 1 002

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes

Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 3 Januari 2013

Sofi Wardati NIM: G0009203

Sofi Wardati, G0009203, 2013. Perbedaan Pola Dermatoglifi Tangan pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan Tangan Orang Normal. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang : Lupus eritematosus sistemik (LES) memiliki etiopatogenesis yang bersifat multifaktorial dengan faktor genetik yang berperan paling penting. Di sisi lain, proses pembentukan dermatoglifi ditentukan secara genetik dan dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat gambaran pola dermatoglifi tangan pasien lupus yang berbeda jika dibandingkan dengan responden normal.

Metode : Penelitian ini bersifat observasional dengan pendekatan cross sectional. Terdapat dua kelompok sampel dalam penelitian ini yaitu kelompok pasien LES sejumlah 30 orang dari komunitas lupus Solo dan Jogjakarta dan kelompok kontrol yang merupakan responden normal sebanyak 30 orang. Parameter dermatoglifi yang diteliti adalah pola sidik jari (arch, ulnar dan radial loop,whorl ), jumlah total guratan/ Total Ridge Count (TRC), frekuensi triradius total/ Pattern Intensity Index (PII) dan besar sudut atd pada telapak tangan. Metode yang digunakan untuk pengambilan cetakan sidik jari menggunakan tinta. Hasil dari dua kelompok dinilai secara deskriptif dan dianalisis secara statistik menggunakan uji Chi-Square dan uji Kolmogorov-Smirnov untuk pola sidik jari dan uji t tidak berpasangan untuk TRC, PII dan sudut atd.

Hasil : Hasil penelitian secara deskriptif didapatkan frekuensi tipe pola sidik jari pasien LES terdiri dari ulnar loop (54.00%), whorl (43.67%), radial loop (1.67%) dan arch (0.67%). Sedangkan pada kelompok responden normal frekuensi pola sidik jari terdiri dari ulnar loop (62.33%), whorl (34.00%), arch (2.33%) dan radial loop (1.33%). Rerata TRC pasien LES adalah 154.10 dan pada responden normal 143.13. Rerata PII pasien LES adalah 14.30 dan pada responden normal 13.17. Besar sudut atd dibedakan antara telapak tangan kanan dan tangan kiri. Rerata sudut atd kanan pasien LES adalah 41.33 dan pada responden normal adalah 41.40. Sedangkan rerata sudut atd kiri pasien LES adalah 41.52 dan pada responden normal 41.77. Analisis secara statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan frekuensi pola sidik jari pada digit I dexter (p = 0.035) dimana pola whorl mengalami peningkatan frekuensi pada pasien LES. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada parameter dermatoglifi lainnya.

Simpulan : Terdapat perbedaan pola dermatoglifi tangan digit I dexter pasien LES dengan tangan orang normal yang mana frekuensi pola whorl mengalami peningkatan pada pasien LES.

Sofi Wardati, G0009203, 2013. The Differences of Hand Dermatoglyphics between Patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE ) and Normal People. Mini Thesis. Faculty of Medicine Sebelas Maret University Surakarta.

Background: The ethiopathogenesis of SLE probably involves multifactorial interaction where genetic aspect is the most important factor. Meanwhile, the development of dermatoglyphics is based on genetic factor though environment could also influence the process. The aim of this study was to examine the differences of dermatoglyphics between patients with SLE compared to normal respondents.

Methods: This study was an observational research with cross-sectional approach. This study was conducted on 30 clinically confirmed SLE patients and an equal number of controls. Different qualitative dermatoglyphic patterns (arch, ulnar and radial loop, whorl) and quantitative dermatoglyphic measures such as Total Ridge Count (TRC), Pattern Intensity Index (PII) and atd angle were studied on SLE patients and controls. Dermatoglyphic patterns were observed by ink method printing The results of this two-sample-groups measurement were descriptively analyzed and compared by using Chi-Square and Kolmogorov- Smirnov tests for digital pattern type and also employs t-test for analyzing TRC, PII, and atd angle.

Results: The digital pattern frequencies of SLE patients include ulnar loop (54.00%), whorl (43.67%), radial loop (1.67%), and arch (0.67%). Meanwhile the digital pattern frequencies of normal respondents are ulnar loop (62.33%), whorl (34.00%), arch (2.33%) and radial loop (1.33%). The TRC average of patients with SLE is 154.10 while the TRC average of normal respondents is 143.31. The PII average of patients with SLE is 14.30 while the PII average of normal respondents is 13.17. The atd angle is different between right and left hand, as shown in the findings that the average of atd angles for patients with SLE are

41.33 and 41.52 for right and left hand respectively, whereas in the normal respondents the average of atd angles for both hands are 41.40 and 41.77. Analytical measurement leads to a significant difference of digital pattern on the I digit dexter (p = 0.035) where whorl type shows the increasing frequency in patients with SLE. The remaining features analysed resembled the control values or showed non-significant differences.

Conclusion: There was a significant difference on hand dermatoglyphics between SLE patients and normal people in which the frequency of whorl in digit I dexter is increasing significantly in patients with SLE.

Keywords: Dermatoglyphics, TRC, PII, atd angle, Systemic Lupus Erythematosus

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dengan judul “Perbedaan Pola Dermatoglifi Tangan pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan Tangan Orang Normal”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku ketua tim skripsi.

3. Selfi Handayani, dr., M.Kes selaku Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan motivasi, bimbingan, dan nasihat bagi penulis.

4. Dr. H. Endang Sutisna S, dr., M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasihat.

5. Sri Indratni, dr., M.Or, selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Sumardiyono, SKM, M.Kes, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Tim skripsi FK UNS, Mb Sri Eni Narbiatty, SH, MH dan Bp. Sunardi yang telah banyak membantu.

8. Komunitas Lupus Griya Kupu Surakarta dan Komunitas Lupus Omah Kupu Jogjakarta, atas segala bantuan dan keterbukaannya dalam menerima penulis.

9. Syamsidhuha Foundation Bandung, selaku pemberi research sponsorship.

10. Aba, Uma, Kak Kiki, Mbak Hayu, Kak Lala dan Kak Suma terimakasih untuk

semua doa, semangat, motivasi, yang tak pernah berhenti tercurahkan.

11. Dezca, Zahra, Sekar, Sabila, Nita, sahabat seperjuangan yang luar biasa, semoga kita bisa sukses bersama.

12. Keluarga Besar Anatomi 2009 (Hanif, Ami, Galih, Anindhito, Syahmi, Ibnu, Banjar, Bagus, Vasa).

13. Sembilan belas sahabat yang selalu bisa jadi rumah pelepas lelah meskipun terpisah jarak, Inggrid, Agietia, Anind, Wina, Icha, Tria, Annisa, Wulan, Tisa, Rissa, Dinda, Alenia, Ajeng, Resty, Auditerry, Meity, Niken, Irene, Adityo.

14. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih jauh dari sempurna, penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, 3 Januari 2013 Sofi Wardati

LAMPIRAN

Tabel 4.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Penelitian dan Jenis

Kelamin ................................................................................................. 45

Tabel 4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Klasifikasi Usia ........................... 46 Tabel 4.3 Distribusi Pola Sidik Jari pada Kelompok Pasien LES ....................... 47 Tabel 4.4 Distribusi Pola Sidik Jari pada Kelompok Responden Normal .......... 48 Tabel 4.5 Karakteristik Jumlah Guratan Total (TRC) pada Dua Kelompok

Penelitian ............................................................................................... 51

Tabel 4.6 Karakteristik Indeks Intensitas Pola (PII) pada Dua Kelompok

Penelitian ............................................................................................... 52

Tabel 4.7 Karakteristik Besar Sudut atd Telapak Tangan Kanan pada Dua

Kelompok Penelitian ............................................................................ 52

Tabel 4. 8 Karakteristik Besar Sudut atd Telapak Tangan Kiri pada Dua

Kelompok Penelitian ............................................................................ 53

Tabel 4. 9 Hasil Uji Normalitas dengan Uji Kolmogorov-Smirnov.................... 54 Tabel 4.10 Nilai p dari Uji t Tidak Berpasangan untuk TRC, PII, dan Sudut atd

Tabel 4.11 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Digiti Dexter I ................................ 56 Tabel 4.12 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Digiti Dexter II............................... 56

Tabel 4.13 Hasil Uji Chi Square Digiti Dexter III ............................................... 57 Tabel 4.14 Hasil Uji Chi Square Digiti Dexter IV ............................................... 57 Tabel 4.15 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Digiti Dexter V .............................. 57 Tabel 4.16 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Digiti Sinister I............................... 57 Tabel 4.17 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Digiti Sinister II ............................. 58

Tabel 4.19 Hasil Uji Chi Square Digiti Sinister IV .............................................. 58 Tabel 4.20 Hasil Uji Chi Square Digiti Sinister V ............................................... 58

Tabel 4.21 Hasil Uji Kolmogorv-Smirnov Pola Dermatoglifi 10 Jari ................ 59 Tabel 4.22 Frekuensi Tipe Pola Sidik Jari pada Beberapa Penelitian ................. 61

Gambar 2.1. Pattern Area……….……………….……………….…………… 9 Gambar 2.2. Tipe Pola Sidik Jari……………………………………………… 11 Gambar 2.3. Pattern Area pada Dermatoglifi Palmar………………………… 15 Gambar 2.4. Principal Line pada Telapak Tangan …………………………… 15 Gambar 2.5 Skema Kerangka Pemikiran ……………………………………… 34

Gambar 2.6 Skema Rancangan Penelitian …………………………………… 39

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Penelitian Dermatoglifi Tangan pada Pasien LES di

Komunitas Lupus Griya Kupu Surakarta dan Komunitas Lupus Omah Kupu Jogjakarta

Lampiran 2. Data Hasil Penelitian Dermatoglifi pada Responden Normal Lampiran 3. Hasil Analisis Uji Normalitas dengan Uji Kolmogorov-Smirnov

Lampiran 4. Hasil Analisis Uji t Tidak Berpasangan untuk Nilai TRC, PII, dan

Sudut atd antara Kelompok Pasien LES dan Responden Normal

Lampiran 5. Hasil Analisis Uji Chi Square untuk Tipe Pola Dermatoglifi Masing-Masing Jari

Lampiran 6. Hasil Analisis Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Tipe Pola Dermatoglifi Jari I, II, V Dexter dan I, II, III Sinister

Lampiran 7. Hasil Analisis Uji Chi Square untuk Tipe Pola Dermatoglifi pada

10 Jari Lampiran 8. Hasil Analisis Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Tipe Pola

Dermatoglifi pada 10 Jari

Lampiran 9. Contoh Cetakan Sidik Jari

Lampiran 10. Formulir Persetujuan setelah Penjelasan (Informed Consent) Lampiran 11. Surat Ijin Penelitian

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan suatu penyakit autoimun kronis yang hingga saat ini belum diketahui secara pasti etiopatogenesisnya. Penyebab dari LES bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik, lingkungan dan hormonal (Isbagio et al, 2007). Faktor genetik merupakan faktor yang berperan penting dalam patogenesis LES. Hahn (2004) mengatakan apabila seseorang memiliki gen yang rentan terhadap LES, kemudian berinteraksi dengan faktor lingkungan yang mendukung dapat menyebabkan penyimpangan sistem imun. Penyimpangan inilah yang mendasari terjadinya LES. LES dapat menyebabkan peradangan pada setiap organ tubuh, yaitu kulit, persendian, ginjal, paru-paru, dan sistem saraf. Oleh karena LES bersifat sistemik dan hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang bersifat kausatif, maka diagnosis secara dini sangat dibutuhkan agar penatalaksanaan yang tepat dapat diberikan.

Pemeriksaan dermatoglifi dapat bermanfaat sebagai metode diagnosis penyaringan bagi penyakit yang berkaitan dengan faktor genetika. Dermatoglifi adalah studi mengenai gambaran guratan epidermis (epidermal ridge) paralel pada jari-jari tangan dan kaki, telapak tangan dan kaki (Ramani et al, 2011). Pola dermatoglifi ditentukan secara genetik Pemeriksaan dermatoglifi dapat bermanfaat sebagai metode diagnosis penyaringan bagi penyakit yang berkaitan dengan faktor genetika. Dermatoglifi adalah studi mengenai gambaran guratan epidermis (epidermal ridge) paralel pada jari-jari tangan dan kaki, telapak tangan dan kaki (Ramani et al, 2011). Pola dermatoglifi ditentukan secara genetik

Sejumlah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa seseorang dengan sindrom aberasi kromosom memiliki keganjilan pada pola dermatoglifi (Vormittag et al, 1981). Sindrom tersebut antara lain sindrom Down, sindrom Turner dan sindrom Klinefelter (Elsaadany, 2010). Bahkan saat ini pola dermatoglifi tangan dapat digunakan sebagai alat diagnostik terhadap penyakit skizofrenia, leukemia dan berbagai kelainan kongenital yang memiliki nilai akurasi cukup tinggi untuk meramalkan prognosis. (Ramani et al, 2011).

Sehubungan faktor genetik berperan dalam etiopatogenesis LES sementara di sisi lain proses pembentukan dermatoglifi ditentukan secara genetik ketika masa intra uterin, diduga terdapat gambaran pola dermatoglifi yang khas pada pasien LES. Beberapa penelitian seperti Qazi et al (1974), Schur (1990), Dubois et al (1976), Vormittag et al (1981) memberikan hasil yang bervariasi dan belum didapatkan kesamaan pendapat. Sedangkan bagaimana karakteristik pola dermatoglifi tangan pada pasien LES di Indonesia belum ditemukan hingga saat ini. Ditambah dengan kenyataan bahwa pada beberapa ras terdapat perbedaan gen yang Sehubungan faktor genetik berperan dalam etiopatogenesis LES sementara di sisi lain proses pembentukan dermatoglifi ditentukan secara genetik ketika masa intra uterin, diduga terdapat gambaran pola dermatoglifi yang khas pada pasien LES. Beberapa penelitian seperti Qazi et al (1974), Schur (1990), Dubois et al (1976), Vormittag et al (1981) memberikan hasil yang bervariasi dan belum didapatkan kesamaan pendapat. Sedangkan bagaimana karakteristik pola dermatoglifi tangan pada pasien LES di Indonesia belum ditemukan hingga saat ini. Ditambah dengan kenyataan bahwa pada beberapa ras terdapat perbedaan gen yang

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat perbedaan pola dermatoglifi tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan tangan orang normal?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut :

1. Tujuan Umum : Mengetahui perbedaan pola dermatoglifi tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan tangan orang normal.

2. Tujuan Khusus :

a. Mendeskripsikan perbedaan pola dermatoglifi tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan tangan orang normal.

b. Menganalisis perbedaan pola dermatoglifi tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan tangan orang normal.

Manfaat penelitian meliputi manfaat teoritis dan manfaat aplikatif sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai gambaran pola dermatoglifi yang khas pada tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES).

2. Manfaat Aplikatif Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam penggunaan dermatoglifi sebagai alat diagnosis penyaring yang mudah, murah, dan non invasif untuk LES sehingga LES dapat dideteksi sedini mungkin.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Dermatoglifi

Istilah dermatoglifi (dari dua kata Yunani- Derma = Kulit, Glyphe = guratan) pertama kali diperkenalkan oleh Cummins dan Midlo pada tahun 1926 yang memiliki arti suatu studi mengenai gambaran guratan-guratan dermal (epidermal ridge) yang paralel pada jari-jari tangan (fingerprint) dan kaki, serta telapak tangan (palmarprint), dan telapak kaki (Ramani et al., 2011). Pola sidik jari tidak ada yang sama antara satu orang dengan yang lainnya (Raden, 2006). Herschel (1858, dalam Ramani et al. 2011) menyatakan bahwa sidik jari tidak akan berubah sepanjang waktu dan oleh karenanya dapat digunakan sebagai suatu alat identifikasi diri yang reliabel. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan pola dermatoglifi tidak terbaca yaitu luka, terbakar, ketiadaan ekstremitas atas, penyakit dan usia tua. Menurut Rafiah (1990) guratan epidermis pada perempuan bersifat lebih halus dibandingkan pada pria dan makin lanjut usia dapat menyebabkan makin kendurnya tegangan dermis sehingga terkadang guratan tidak nampak jelas.

Dermatoglifi diperkirakan mulai terbentuk pada trimester pertama kehamilan atau sekitar minggu ke-10 hingga minggu ke-25

(1976, dalam Ramani et al., 2011 dan Verbov, 1970) menyatakan bahwa proses pembentukan dermatoglifi ditentukan oleh sifat-sifat genetik, namun segala kelainan atau gangguan baik yang berasal dari lingkungan ataupun herediter dapat mempengaruhi pola dermatoglifi tersebut. Naffah (1977) mendapatkan adanya faktor genetika yang mempengaruhi pembentukan pola guratan pada kulit ujung jari yang diturunkan secara poligenik. Sifat poligenik tersebut menyebabkan terjadinya variasi fenotip pola guratan, karena adanya interaksi dari sejumlah gen. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian pada anak kembar identik, terdapat korelasi kuat pada jumlah guratan dan tipe pola dermatoglifi kedua anak tersebut. Dermatoglifi terbentuk pada bantalan atau tonjolan kulit telapak tangan (volar pad), telapak kaki, jari tangan, dan jari kaki (Raden, 2006).

Informasi mengenai lokus bagian mana yang mempengaruhi dermatoglifi belum dapat dipastikan, namun berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa kromosom 21 terlibat dalam penentuan total jumlah guratan dan posisi triradius axial. Kromosom lain yang diduga berpengaruh terhadap dermatoglifi adalah kromosom

X dan kromosom 18 (Alter, 1970).

Pembentukan dermatoglifi dimulai dengan proliferasi sel epitel basal epidermis volar pad sekitar minggu ke-10 sampai minggu ke-11 kehamilan. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini membentuk Pembentukan dermatoglifi dimulai dengan proliferasi sel epitel basal epidermis volar pad sekitar minggu ke-10 sampai minggu ke-11 kehamilan. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini membentuk

Menurut Penrose konfigurasi yang abnormal dari guratan epidermis dapat terjadi apabila terjadi perubahan keseimbangan cairan pada tingkatan awal embriogenik (Ramani et al., 2011). Sebelum kehamilan dua belas minggu faktor lingkungan dapat mempengaruhi dermatoglifi. Hal inilah yang menyebabkan banyak ahli yang menduga setiap gangguan lingkungan sebelum usia dua belas minggu kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan embrio dan juga dapat mempengaruhi garis tangan dan sidik jari (Sufitni, 2007).

Tahun 1893 Sir Edward Henry, dalam Ramani et al. (2011), menerbitkan buku “The classification and uses of fingerprints” yang menjadi awal dari era modern identifikasi sidik jari dan hingga saat ini digunakan sebagai dasar dari sistem klasifikasi sidik jari. Meskipun sidik jari setiap orang berbeda-beda, namun terdapat tipe pola yang khas dan dapat dilihat dengan jelas.

ujung jari tangan (sidik jari) menjadi tiga tipe pola, yaitu arch (garis melengkung), loop (garis melingkar) dan whorl (pusaran). Meskipun banyak subklasifikasi lain yang ada, klasifikasi ini adalah klasifikasi paling mudah dan paling sering digunakan (Ramani et al., 2011; Verbov, 1970; Raden, 2006). Pengklasifikasian tersebut didasari atas banyaknya jumlah triradius. Triradius adalah suatu titik pertemuan tiga sistem guratan yang setiap elemennya membentang dengan arah berbeda dan bertemu pada satu titik tersebut (Ramani et al., 2011; Verbov, 1970). Sudut yang dibentuk antara tiga guratan pada triradius adalah kurang lebih 120 derajat (Ramani et al., 2011).

Sebelum memahami lebih lanjut mengenai tipe pola, ada beberapa istilah yang sering digunakan dan harus dipahami. Core atau inti adalah bagian yang kurang lebih terdapat di tengah dari suatu pola. Bentuk dari inti kadang berbeda antartipe pola. Pada loop, inti biasanya berbentuk garis lurus seperti tangkai atau kumpulan dua atu lebih guratan yang berjalan paralel dan dilalui oleh guratan lain yang melengkung di atasnya. Pada tipe pola whorl inti tampak sebagai titik atau guratan pendek. Pattern area (area berpola) adalah suatu area dari sidik jari, yaitu area yang akan diinterpretasikan dan diklasifikasikan pola sidik jari tersebut (gambar 1). Pattern area dapat ditemukan pada seluruh tipe pola namun pada beberapa arch dan tented arch, pattern area tidak dapat diidentifikasi. Pada tipe pola Sebelum memahami lebih lanjut mengenai tipe pola, ada beberapa istilah yang sering digunakan dan harus dipahami. Core atau inti adalah bagian yang kurang lebih terdapat di tengah dari suatu pola. Bentuk dari inti kadang berbeda antartipe pola. Pada loop, inti biasanya berbentuk garis lurus seperti tangkai atau kumpulan dua atu lebih guratan yang berjalan paralel dan dilalui oleh guratan lain yang melengkung di atasnya. Pada tipe pola whorl inti tampak sebagai titik atau guratan pendek. Pattern area (area berpola) adalah suatu area dari sidik jari, yaitu area yang akan diinterpretasikan dan diklasifikasikan pola sidik jari tersebut (gambar 1). Pattern area dapat ditemukan pada seluruh tipe pola namun pada beberapa arch dan tented arch, pattern area tidak dapat diidentifikasi. Pada tipe pola

Gambar 2.1 Pattern Area (Hoover, 2006)

Arch merupakan pola yang paling sederhana yang ditemukan di ujung jari. Menurut Verbov (1970) pola ini adalah pola yang paling jarang muncul pada seluruh jari orang Inggris, hanya sekitar 5% dari keseluruhan. Arch terbentuk dari rangkain guratan yang paralel, melintang dan membentuk lengkungan yang cekung pada bagian proksimalnya. Ada dua macam arch, yaitu tipe plain arch yang tidak mempunyai triradius dan tipe tented arch yang mempunyai satu triradius. Pada tented arch, triradius terdapat di dekat axis tengah phalanx distal. Pancaran guratan distal dari triradius biasanya mengarah lurus ke puncak dari ujung jari dan pancaran guratan lainnya yang melewati pancaran tersebut akan membentuk lengkungan yang meninggi sehingga terbentuk pola seperti tenda (tent) . Sedangkan pada plain arch guratan-guratan berjalan paralel

Verbov, 1970; Raden, 2006). Tipe pola yang paling sering muncul pada sidik jari adalah tipe loop. Loop muncul kurang lebih pada 70% dari seluruh jari pada orang Inggris (Verbov, 1970). Guratan-guratan pada tipe loop berjalan paralel masuk ke pattern area pada satu sisi dari jari, lalu membelok 180 derajat dan meninggalkan pattern area pada sisi yang sama dimana guratan itu masuk. Apabila guratan terbuka ke arah tulang ulnar maka dinamakan tipe ulnar loop, sedangkan apabila terbuka ke arah tulang radial maka dinamakan tipe radial loop. Tipe pola loop memiliki satu triradius yang biasanya terletak di bagian lateral ujung jari dan selalu di sisi dimana loop tertutup (Ramani et al., 2011; Verbov, 1970; Raden, 2006).

Tipe pola yang terakhir adalah whorl. Pola ini dapat memiliki dua atau lebih triradius. Satu triradius terletak pada sisi radial dan yang lainnya terletak pada sisi ulnar dari pola. Pola ini dinamakan whorl karena konfigurasinya yang terdiri dari guratan-guratan yang melingkari suatu inti (Ramani et al., 2011). Whorl dibagi lagi menjadi empat subtipe, yaitu plain whorl, double whorl, central pocket whorl/ loop, dan accidental. Plain whorl memiliki nama lain konsentris whorl karena guratan-guratannya membentuk rangkaian yang berbentuk oval atau konsentris. Double whorl terdiri dari dua formasi loop yang terpisah dimana keduanya berbentuk spiral mengitari inti Tipe pola yang terakhir adalah whorl. Pola ini dapat memiliki dua atau lebih triradius. Satu triradius terletak pada sisi radial dan yang lainnya terletak pada sisi ulnar dari pola. Pola ini dinamakan whorl karena konfigurasinya yang terdiri dari guratan-guratan yang melingkari suatu inti (Ramani et al., 2011). Whorl dibagi lagi menjadi empat subtipe, yaitu plain whorl, double whorl, central pocket whorl/ loop, dan accidental. Plain whorl memiliki nama lain konsentris whorl karena guratan-guratannya membentuk rangkaian yang berbentuk oval atau konsentris. Double whorl terdiri dari dua formasi loop yang terpisah dimana keduanya berbentuk spiral mengitari inti

Gambar 2.2 Kiri-Kanan: Tipe pola sidik jari plain arch, tented arch, ulnar loop, radial loop, plain whorl, double whorl , central pocket loop , dan accidental (Hoover, 2006)

Beberapa pola memiliki kecenderungan untuk muncul lebih sering pada beberapa jari dibandingkan jari lainnya. Tipe pola whorl

sementara radial loop dan arch paling sering hanya ditemukan di jari telunjuk (digit II). Jari kelingking memiliki frekuensi tertinggi untuk ulnar loop dan frekuensi terendah untuk tipe pola lainnya. Whorl dan radial loop lebih sering ditemukan pada tangan kanan. Selain itu guratan-guratan pada laki-laki cenderung terpisah lebih lebar dibandingkan pada wanita. Insidensi tipe pola arch lebih tinggi pada wanita yang menyebabkan insidensi tipe pola whorl menjadi lebih rendah (Verbov, 1970).

Selain tipe pola, ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasikan dermatoglifi pada ujung jari. Untuk mengindikasikan ukuran dari pola sidik jari digunakan hitungan jumlah guratan (ridge count). Jumlah guratan dihitung dengan cara menghitung guratan-guratan yang dilalui oleh garis khayal dari triradius ke inti (core). Guratan yang merupakan bagian dari inti dan triradius tidak masuk dalam hitungan jumlah guratan (ridge count). Pada tipe pola arch jumlah guratan tidak dapat dihitung atau dikatakan bernilai 0 karena plain arch tidak memiliki triradius dan pada tented arch inti dan triradius terletak berimpitan. Sedangkan pada pola dimana terdapat dua triradius di sana (whorl), maka guratan dengan jumlah terbesar yang akan digunakan (Mavalwala, 1978). Selain itu ada yang dinamakan Total Ridge Count (TRC) atau jumlah guratan

kesepuluh jari. (Ramani et al., 2011; Verbov, 1970; Raden, 2006). TRC untuk laki-laki memiliki nilai rata-rata 145 dan pada wanita nilai rata-ratanya adalah 127. Pengukuran TRC merupakan pengukuran yang paling konsisten dan reliabel untuk penyelidikan familial dan merupakan pewarisan karakter dimana gen adiktif sangat berperan dibandingkan pengaruh dari lingkungan yang memiliki sedikit peran. (Verbov, 1970). Selain itu terdapat yang dinamakan Pattern Intensity Index (PII) atau indeks intensitas pola. Indeks ini mengacu kepada seberapa kompleks konfigurasi guratan pada jari dan telapak tangan. PII jari diperoleh dengan cara menghitung total triradius dari sepuluh jari. Setiap satu jari dapat memiliki nilai pattern intensity 0-3. Pada plain arch nilainya adalah 0 karena arch tidak memiliki triradius. Sedangkan pada tented arch dan loop nilainya adalah 1, dan pada whorl dapat memiliki nilai 2 atau 3 (Zhou, 2001).

Dermatoglifi juga terdapat pada telapak tangan. Ramani (2011) menulis bahwa telapak tangan dibagi menjadi beberapa area secara anatomi. Area-area tersebut adalah area thenar/interdigitalis pertama, kedua, ketiga, keempat, dan area hipothenar (gambar 3). Guratan epidermis pada telapak tangan berjalan dengan arah yang berbeda-beda di setiap areanya. Triradius juga terdapat pada telapak tangan dan dinamakan digital triradius. Biasanya digital triradius terletak pada bagian basis jari kecuali pada ibu jari. Terdapat empat

telapak tangan satu digital triradius sering tidak ditemukan dan biasanya itu adalah digital triradius c. Selain digital triradius terdapat satu triradius yang terletak pada basis telapak tangan (dekat basis metacarpal IV) dan dinamakan axial triradius (t). Posisi dari axial triradius ditentukan secara genetik. Adakalanya ditemukan dua atau bahkan lebih triradius. Apabila triradius ditemukan di tengah-tengah telapak tangan maka itu dinamakan t’’, sementara apabila triradius tersebut terletak diantara t dan t” maka itu dinamakan t’.

Terdapat sebuah sudut yang dinamakan atd. Berdasarkan cara yang ditetapkan oleh Godfrey sudut atd dibentuk oleh axial triradius (t) dan digital triradius pada basis jari telunjuk (a) dan basis jari kelingking (d). Seringnya nilai dari sudut atd berkisar pada angka 45 derajat (Verbov, 1970; Raden, 2006). Semakin besar sudut atd mengartikan bahwa semakin distal posisi dari triradius axial (t) (Ramani et al., 2011). PII pada telapak tangan diperoleh dengan cara menghitung total triradius dari ke lima area (Zhou, 2001). Jumlah guratan dapat dihitung antara dua triradius digital pada telapak tangan dan yang paling sering digunakan sekaligus memuaskan adalah a-b ridge count . Nilai yang digunakan merupakan jumlah rata-rata dari kedua tangan. Fang menunjukkan bahwa a-b ridge count dikendalikan secara genetik (Verbov, 1970; Ramani, 2011).

(principal line). Garis-garis tersebut diberi penamaan dengan menggunakan huruf besar, yaitu A, B, C, D, dan T. Setiap garis utama berpangkal pada triradiusnya (a,b,c,d,t), berjalan melengkung dan biasanya berakhir pada bagian perifer dari telapak tangan. Untuk menunjukkan posisi dari jalan keluar garis utama, batas-batas telapak tangan dibagi menjadi 13 regio, dinomori dari nomor 1 sampai 13. Pada telapak tangan kanan penomoran dimulai dari basis ibu jari lalu berputar sesuai arah jarum jam (Gambar 4). Terdapat daerah dimana tidak ditemukan pola pada telapak tangan yang dinamakan “open fields” atau bidang terbuka (Verbov, 1970).

Gambar 2.3 Pattern area pada dermatoglifi

palmar (Zhou,et al.,

2002)

Gambar 2.4 Principal line pada telapak tangan (Olivier, 1969)

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan cetakan dermatoglifi tangan. Prinsipnya adalah cetakan harus dalam

dengan menggunakan tinta, tanpa tinta, dan elektronik print (German, 2009). Menurut Olivier (1969), teknik ideal yang bisa digunakan untuk mengambil cetakan sidik jari dan telapak tangan adalah dengan membuat pulasan pada jari dan telapak tangan dengan tinta lalu mencetaknya pada kertas. Sedangkan menurut German (2009) teknik pengambilan sidik jari tanpa menggunakan tinta dapat memberikan hasil yang lebih bagus dibandingkan menggunakan tinta atau dengan elektronik print. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dengan menggunakan tinta. Alat dan bahan yang digunakan adalah kertas stiker HVS, plastik mika, dan tinta stensil. Cetakan dermatoglifi didapat dengan melumasi ujung jari bagian distal dan telapak tangan dengan tinta stensil, lalu dicetak pada kertas stiker HVS. Setelah itu kertas sticker HVS berisi cetakan dermatoglifi ditutup dengan plastik mika.

2. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

Banyak orang ketika menyebut penyakit “lupus” maka yang dimaksud adalah penyakit lupus eritematosus sistemik (LES). Lupus sesungguhnya terdiri dari beberapa macam bentuk, yaitu lupus eritematosus sistemik, cutaneus lupus, neonatal lupus, dan drug induced lupus . Dari berbagai macam bentuk lupus yang ada LES merupakan bentuk yang paling sering dijumpai dan bersifat sistemik Banyak orang ketika menyebut penyakit “lupus” maka yang dimaksud adalah penyakit lupus eritematosus sistemik (LES). Lupus sesungguhnya terdiri dari beberapa macam bentuk, yaitu lupus eritematosus sistemik, cutaneus lupus, neonatal lupus, dan drug induced lupus . Dari berbagai macam bentuk lupus yang ada LES merupakan bentuk yang paling sering dijumpai dan bersifat sistemik

Cutaneus lupus adalah bentuk lain dari lupus yang terbatas menyerang organ kulit. Meskipun terdapat banyak tipe ruam dan lesi dari cutaneus lupus, ruam yang paling sering muncul adalah ruam berwarna merah, bersisik dan dengan tepi yang meninggi namun tidak terasa gatal. Ruam seperti itu dikenal dengan sebutan ruam diskoid karena bentuknya yang berupa lingkaran menyerupai lempengan disc. Contoh lain dari cutaneus lupus adalah ruam berwarna merah di daerah malar yang disebut ruam kupu-kupu. Ruam dan lesi dapat muncul di daerah wajah, leher, dan kulit kepala (daerah yang paling sering terpapar sinar matahari), atau di daerah sekitar mulut, hidung dan vagina. Perubahan warna pigmen baik di kulit maupun rambut dan kerontokan rambut juga merupakan gejala lain yang menyertai penyakit ini. Sekitar 10% dari penderita cutaneus lupus dapat berkembang menjadi LES. Akan tetapi biasanya penderita tersebut adalah penderita LES dengan gejala utama berupa ruam pada kulit (Lupus Foundation of America, 2012).

Adapun drug induced lupus adalah penyakit lupus yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Gejala yang muncul serupa dengan gejala pada LES dan dapat menghilang apabila Adapun drug induced lupus adalah penyakit lupus yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Gejala yang muncul serupa dengan gejala pada LES dan dapat menghilang apabila

Meskipun terminologi lupus eritematosus telah dikenal sejak abad ke 19 untuk menggambarkan lesi pada kulit, namun membutuhkan waktu hampir 100 tahun untuk menyadari bahwa penyakit ini dapat bersifat sistemik, menyerang seluruh organ, dan diakibatkan oleh kelainan pada respon autoimun (Tsokos, 2011). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan suatu penyakit peradangan kronis akibat autoimun yang dapat menyerang seluruh organ dan sistem organ tubuh seperti kulit, persendian, ginjal, paru- paru, dan sistem saraf. Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh tidak dapat mengenali jaringan dari tubuhnya sendiri sebagai bagian dari dirinya sehingga menyebabkan antibodi menyerang jaringannya sendiri layaknya dirinya menyerang organisme asing (Manson dan Rahman, 2005; Ginzler dan Tayar, 2008).

LES merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas (Yuriawantini dan LES merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas (Yuriawantini dan

Seperti yang dikatakan di atas, LES dapat menyerang seluruh organ dan sistem organ tubuh. Ini menyebabkan manifestasi klinis dari penyakit ini pada satu orang dengan orang lainnya sangat bervariasi. Gejala LES juga sangat bervariasi dan seringkali menyerupai penyakit lain seperti artritis reumatoid, multipel sklerosis dan bahkan demam berdarah. Itulah mengapa LES sering disebut sebagai penyakit 1000 wajah atau “great imitator” (Hughes, 2011; Ginzler dan Tayar, 2008). Hal inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penegakkan diagnosis LES. Padahal, diagnosis dini dibutuhkan untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini karena hingga saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan LES (Ginzler dan Tayar, 2008).

Gejala LES bermacam-macam tergantung organ yang diserangnya. Beberapa organ dan sistem organ yang sering diserang adalah kulit (ruam, sariawan, rambut rontok), persendian (nyeri, kemerahan, bengkak), ginjal (kelainan urin, gagal ginjal), membran/ selaput organ (pleuritis, perikarditis, peritonitis), darah (anemia, Gejala LES bermacam-macam tergantung organ yang diserangnya. Beberapa organ dan sistem organ yang sering diserang adalah kulit (ruam, sariawan, rambut rontok), persendian (nyeri, kemerahan, bengkak), ginjal (kelainan urin, gagal ginjal), membran/ selaput organ (pleuritis, perikarditis, peritonitis), darah (anemia,

Terdapat gejala-gejala lain yang meskipun tidak spesifik namun sering ditemukan pada pasien LES. Kelelahan merupakan gejala yang paling sering muncul. Penurunan dan peningkatan berat badan juga menjadi salah satu gejala LES. Biasanya peningkatan berat badan terjadi akibat pembengkakan pada kedua tungkai atau pembesaran perut akibat organ ginjal yang terkena. Apabila LES sedang dalam masa eksaserbasi biasanya ditandai dengan demam/ peningkatan suhu tubuh. Demam akibat LES biasanya tidak diikuti dengan rasa menggigil (Lupus UK, 2011; Isbagio et al., 2007)

Etiologi yang pasti dari LES belum diketahui dengan jelas, namun berdasarkan bukti-bukti yang ada dikatakan bahwa penyebabnya bersifat multifaktorial dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun (Isbagio et al., 2007). Namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga masih perlu menjadi fokus utama penelitian.

Tidak diragukan bahwa LES terkait dengan faktor genetik. Orang yang mempunyai riwayat keluarga dengan LES memiliki 3-

penyakit autoimun lainnya seperti artritis reumatoid dan Sjorgen’s Syndrome . Pada kembar identik, risiko LES meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang menyandang LES (Venables, 2011; Schur, 1995). Menurut Isbagio et al. (2007) sekitar 10-20% pasien LES mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang juga menderita LES. Belum ada gen tunggal yang dianggap sebagai penyebab dari penyakit LES, tetapi multipel gen diduga mempengaruhi perkembangan penyakit ini ketika dipicu oleh faktor lingkungan (Marten, 2009). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu terutama HLA- DR2 dan HLA-DR3, serta dengan komponen komplemen yang

berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen (C 1q , C 1r , C 1s , C 2 ,

C 4 ) telah terbukti turut berperan dalam patogenesis LES. Gen-gen lain yang mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Isbagio et al., 2007).

LES berhubungan dengan

munculnya

HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita LES yang Afro-Amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-masing memiliki hubungan dengan LES (Rudolph dan Abraham, 1996). Kusworini melaporkan bahwa alel kerentanan untuk timbulnya

dengan yang dilaporkan pada Cina (ras Mongoloid) dan Afro-Amerika (ras Negroid). Telah diketahui bahwa harapan hidup ras Kaukasoid dengan alel kerentanan HLA-DR3 lebih baik daripada ras Mongoloid dan Negroid. Dalam kaitan dengan LES, orang-orang dengan alel HLA-DR2 diduga mempunyai respon imun yang lebih patogenik dibandingkan orang dengan alel HLA-DR3. Apakah hal ini bahwa secara genetik pasien lebih rentan terhadap LES, masih perlu penelitian lebih lanjut (Nasution dan Sumariyono, 2007). Penelitian mengenai familial lupus eritematosus sistemik telah dilakukan di Finlandia dan didapatkan hasil bahwa familial sistemik lupus eritematosus dan sporadik lupus bukanlah suatu penyakit yang berbeda. Itu artinya analisis genetik dapat diramalkan dari multipleks familial lupus atau keluarga dengan penderita lupus lebih dari satu orang dengan seluruh pasien lupus eritematosus sistemik (Koskenmies et al., 2001). Selain itu tidak didapatkan adanya perbedaan manifestasi klinik antara familial lupus dan sporadik lupus (Zhen et al., 2009).

Faktor hormonal atau neuroendokrin juga dianggap turut mempengaruhi sistem imun. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun (Isbagio et al., 2007). Dari seluruh pasien LES, 90% di antaranya adalah wanita terutama yang dalam masa produktif (usia 15-45 tahun)

(Hahn, 2004; Cruz et al., 2007; Venables, 2011). Hal ini diduga (Hahn, 2004; Cruz et al., 2007; Venables, 2011). Hal ini diduga

XX, XO (betina), XY, XXY (jantan), keberadaan dua kromosom X meningkatkan tingkat keparahan dari penyakit LES. Selain itu, di antara gen yang diketahui berperan dalam patogenesis lupus adalah CD40, dimana gen itu terletak pada kromosom X (Tsokos, 2011).

Faktor lingkungan turut memainkan peran dalam etiopatogenesis LES. Infeksi, zat kimia dan racun, rokok dan sinar matahari adalah beberapa faktor lingkungan yang diduga berperan kuat mencetuskan LES (Bone, 2011). Sinar matahari adalah faktor lingkungan paling nyata yang mampu menyebabkan ekaserbasi pada LES (Cruz et al., 2007). Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya gejala LES pada organ lainnnya. Meskipun selama beberapa dekade ini banyak riset dilakukan, belum ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara satu virus, atau kelompok virus, yang berkaitan langsung dengan penyakit LES (Bone, 2011). Epstein-Bar virus (EBV) diidentifikasi sebagai virus yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit LES. Virus ini terletak dan dapat berinteraksi dengan sel B.

terinfeksi EBV pada pasien LES dibandingkan pada koresponden normal dan pasien dengan LES yang aktif memiliki sel yang terinfeksi lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang mengalami remisi, namun Gross tidak langsung menyimpulkan bahwa EBV adalah etiologi dari lupus. Ditambah dengan kenyataan bahwa hampir 90% orang dewasa terinfeksi oleh EBV tetapi prevalensi dari LES tetaplah rendah. Ini menekankan bahwa penyebab penyakit ini bersifat multifaktorial (Cruz et al., 2007).

LES terjadi ketika seseorang dengan gen yang memiliki predisposisi atau rentan terhadap LES berinteraksi dengan faktor lingkungan yang mendukung sehingga menyebabkan penyimpangan respon imun. Respon imun yang terjadi adalah hiperreaktivitas dan hipersensitifitas dari limfosit T dan B, kegagalan pengaturan ketersediaan antigen, dan respon antibodi yang terus-menerus (Hahn, 2004). Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibodi (Yuriawantini dan Suryana, 2007).

Autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut. Autoantigen yang terbentuk merupakan bagian dari sel yang mengalami nekrosis dan apoptosis (Cruz et al., 2007). Pembersihan (clearance) dari kompleks imun oleh sistem fagosit-makrofag juga mengalami gangguan pada LES sehingga akan menghambat eliminasi kompleks imun dari sirkulasi dan jaringan (Yuriawantini dan Suryana, 2007).

Hingga saat ini, penegakkan diagnosis untuk LES memerlukan suatu konsensus. Untuk membantu membedakan LES dari penyakit lainnya, dokter dari American College of Rheumatology (ACR) telah menentukan 11 kriteria gejala sebagai berikut:

a. Ruam malar

: ruam merah berbatas tegas di daerah pipi cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

b. Bercak diskoid

: bercak merah bersisik di kulit dan penyumbatan folikel rambut

c. Fotosensitif

: ruam kulit kemerahan setelah terpapar sinar

matahari

d. Ulkus mulut

: sariawan-sariawan kecil di daerah mukosa mulut dan nasofaring, biasanya tidak nyeri

e. Serositis

: peradangan di lapisan serosa paru-paru, : peradangan di lapisan serosa paru-paru,

: artritis non erosif pada dua atau lebih persendian non perifer, merupakan manifestasi yang paling sering timbul

g. Gangguan ginjal

: Proteinuria persisten > 0,5 gr/ hr atau +3 Cellular cast: eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

h. Gangguan Saraf

: kejang atau psikosis yang tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik

i. Gangguan Darah

: Anemia hemolitik à dengan retikulosis Leukopenia < 4000/ mm 3 ( ≥1 pemeriksaan) Limfopenia < 1500/ mm 3 ( ≥2 pemeriksaan)

Trombositopenia < 100.000/ mm 3

j. Gangguan Imun : Anti-dsDNA di atas titer normal

anti-Sm (Smith) dan antibodi fosfolipid (+) k. ANA test

: Anti-Nuclear Antibody, sebagai pertanda aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien

Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan pada pasien, diagnosis LES bisa ditegakkan dengan spesifitas 98% dan sensitivitas 97% (Harsono dan Endaryanto, 2011; Tsokos, 2011; Petty dan Laxer, 2005).