DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA.

SKRIPSI
DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM
PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM
RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

NIK MIRAH MAHARDANI
NIM. 1203005052

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

\

i

SKRIPSI
DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM
PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM
RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA


NIK MIRAH MAHARDANI
NIM. 1203005052

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

\

ii

DEPENALISASI SEBAGAI KEBIJAKAN HUKUM
PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM
RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NIK MIRAH MAHARDANI

NIM. 1203005052

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

\

iii

\

iv

\

v

\


vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, skripsi yang berjudul ”Depenalisasi
Sebagai Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pecandu Narkotika Dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana” dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih kepada
berbagai pihak yang berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya:
1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H, Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH, MH Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
4. Bapak Dr. Gede Yusa, SH, MH Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana.

5. Kepada Dekanat Fakultas Hukum Universitas Udayana periode sebelumnya.
6. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Udayana.

\

vii

7. Bapak Dr, I Gede Artha, SH.,MH sebagai Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
8. Bapak I Made Tjatra Yasa , SH., MH, Dosen Pembimbing I atas waktu,
bimbingan, masukan serta motivasinya selama penyelesaian skripsi ini.
9. Ibu I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti SH., MH, Dosen Pembimbing II
atas waktu, bimbingan, dan masukan yang telah diberikan selama
penyelesaian skripsi.
10. Untuk orang tua penulis, I Gede Putu Winartha dan Ni Wayan Etnawati atas
dukungan semangat, materi dan doa selama penulis menempuh studi di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
11. Untuk orang terkasih Muhammad Zainal Abidin, S.H yang telah memberikan

semangat serta motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
12. Untuk sahabat “kapak tujeng”, Ni Made Asri Mas Lestari, Gede Angga
Prawirayuda, Made Mas Maha Wihardana, I Gst Ngr Satria Wibawa, dan
Zhafran Raihan Zaky.
13. Untuk sahabat “SMA”, Ni Made Dwidayanti Martini, Kadek Yuliantari, Anak
Agung Gede Ariska Amd.com, Ni Putu Diah Purnama Dewi Amd. Rad dan
teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
dukungan dan motivasi.
14. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

\

viii

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan
hasil penelitian ini, meskipun demikian penulis tetap bertanggung jawab terhadap isi
skripsi ini dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat.
Denpasar, 10 Mei 2016
Penulis,


\

ix

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN . ..............................................................

i

HALAMAN SAMPUL DALAM ..............................................................

ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ..................

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ....................

iv


HALAMAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI . ....................................

v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................. .

vi

KATA PENGANTAR ................................................................................

vii

DAFTAR ISI . .............................................................................................

x

ABSTRAK . ................................................................................................

xiii


ABSTRACT . ..............................................................................................

xiv

BAB I PENDAHULUAN

\

1.1 Latar Belakang ...........................................................................

1

1.2 Rumusan Masalah .....................................................................

6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ............................................................

6


1.4 Orisinalitas Penelitian ................................................................

7

15 Tujuan Penelitian ........................................................................

8

1.6 Manfaat Penelitian ....................................................................

9

1.7 Landasan Teoritis ......................................................................

9

1.8 Metode Penelitian ......................................................................

18


1.8.1 Jenis Penelitan ..........................................................

18

1.8.2 Jenis Pendekatan .......................................................

18

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ..............................................

21

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................

22

x

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum .................................


22

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI
DEPENALISASI SEBAGAI
KEBIJAKAN HUKUM DAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA
2.1 Pengertian Penalisasi dan Depenalisasi ................................

23

2.1.1 Pengertian Penalisasi ...............................................

23

2.1.2 Pengertian dan Tujuan Depenalisasi .......................

25

2.2 Tinjauan Umum Tentang Narkotika .....................................

26

2.2.1 Pengertia Narkotika .................................................

26

2.2.2 Jenis-Jenis Narkotika ..............................................

29

2.3 Pengertian Penyalahguna Narkotika .....................................

32

2.3.1 Pengertian Penyalahguna Narkotika .......................

32

2.3.2 Pecandu Narkotika ..................................................

33

BAB III PENGATURAN DEPENALISAI BAGI PECANDU NARKOTIKA
DALAM HUKUM PIDANA POSITIF SAAT INI
3.1 Pengaturan Depenalisasi Bagi Pecandu Narkotika di Indonesia
dalam KUHP

.....................................................................

37

3.2 Pengaturan Depenalisasi Bagi Pecandu Narkotika
di Indonesia dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika ................................................................................

37

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG DEPENALISASI
BAGI PECANDU NARKOTIKA DI MASA YANG AKAN
DATANG
4.1 Perkembangan pemikiran tentang depenalisai dalam hukum
Pidana

……………………………………………………..

4.2 Kajian perbandingan tentang depenalisasi di beberapa Negara

\

xi

48
52

4.3 Kebijakan hukum pidana tentang depenalisasi bagi pecandu
narkotika di masa yang akan datang ………………………..

55

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................

60

5.2 Saran ......................................................................................

61

DAFTAR PUSTAKA
RINGKASAN SKRIPSI

\

xii

ABSTRAK
Judul dari penelitian ini adalah Depenalisasi Sebagai Kebijakan Hukum Pidana
Terhadap Pecandu Narkotika Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana. Latar
belakang diangkatnya judul ini karena angka pecandu narkotika sudah semakin tinggi
dan perlu adanya suatu suatu solusi baru untuk menanggulangi tingginya angka
pecandu narkotika di Indonesia. Adapun masalah yang diangkat adalah Pengaturan
depenalisasi pada KUHP dan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan
pengaturan depenalisasi di masa yang akan datang. Metode yang digunakan ialah metode
penelitian hukum normatif yaitu norma kabur. Hasil dari analisa dari penelitian ini adalah,
pada KUHP belum mengakomodir depenalisasi sedangkan padaUU No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika terdapat ketidakjelasan norma untuk pecandu narkotika dalam hal
penjatuhan pidana atau diwajibkan untuk rehabilitasi, dan depenalisasi dimasa yang akan
datang dapat disiasati dengan diakomodir pada RKUHP karena kesinkronan tujuan dari
RKUHP dengan konsep depenalisasi itu sendiri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah

KUHP dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai hukum
positif di Indonesia terdapat norma kabur tentang pengaturan depenalisasi terhadap
pecandu narkotika. Depenalisasi dapat disiasati dengan menambahkan kebijakan
hukum pidana tentang depenalisasi untuk pecandu narkotika pada RKUHP di masa
yang akan datang atau memperjelas pengaturan yang telah berlaku..
Kata Kunci: Depenalisasi, Pembaharuan Hukum Pidana, Pecandu Narkotika

\

xiii

Abstract
The title of this research is Depenalisation As the Criminal Law Policy For
Narcotic Addicts in the Framework of Criminal Law Reform. The background this
title is the number of drug addicts has been increasing and we need for a new
solution to solve a high number of drug addicts in Indonesia. As for the problem is
depenalisation at Criminal Code and statute No. 35 Year 2009 on Narcotics and
depenalisation in the future. The method used is a normative legal research methods
are the blurr norm . The results of the analysis of this research is, on the Criminal
Code depenalisation is not accommodated while statute UU No. 35 Year 2009 on
Narcotics there are ambiguities norm for drug addicts in terms of sentences or
required for rehabilitation, and depenalisation future can be cleard by
accommodated on RKUHP because the purpose of RKUHP with depenalisation
concept itself. The conclusion of this research is the Criminal Code and Statute No.
35 Year 2009 on Narcotics as positive law in Indonesia are multiple interpretation
norms depenalistioni for drug addicts. Depenalisation can be added at criminal law
policy on depenalisation for drug addicts in RKUHP in the future or clarify in the
positive law.
Key word : Depenalisation, Criminal Law Reform, Narcotics addict

\

xiv

\

xv

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia memiliki beragam suku dan budaya, begitu juga pengaturan hukumnya,
terdapat hukum yang mengatur untuk kepentingan publik dan kepentingan privasi atau individu.
Hukum yang mengatur tentang kepentingan publik di Indonesia salah satunya adalah Hukum
Pidana. Hukum Pidana merupakan sekumpulan aturan-aturan yang mengatur tentang kejahatan
maupun pelanggaran. Berdasarkan perkembangan peraturan perundang-undangan tersebut harus
dibuat menjadi lebih baik lagi agar selalu dapat menaggulangi kejahatan maupun pelanggaran
pidana yang dewasa ini terus berkembang.
Seperti halnya kejahatan narkotika yang terus berkembang hingga mencapai tahap yang
mengkhawatirkan. Pengguna narkotika semakin meningkat dengan pesat dan tidak untuk tujuan
pengobatan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.1

Hal ini ditunjukan dengan

berdasarkan laporan akhir survei nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba tahun
anggaran 2014, jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai 4,1
juta orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok
usia 10-59. Angka tersebut terus meningkat dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan
BNN (Badan Narkotika Nasional) dengan Puslitkes UI (Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia ) dan diperkirakan jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa pada tahun 2015.
2

1

2

Koesno, Adi, 2014, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Malang, Setara Press, h. 4

Laporan Akhir Survey Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014, h. 1

Akibat maraknya perdagangan ilegal narkoba, para penyalahguna narkoba baik pecandu
maupun kurir mendapat narkoba dari perdagangan ilegal dan terjadi peningkatan dampak
negatif pada sisi sosial, kesehatan dan ekonomi. Penyalahgunaan narkoba berdampak pada
sosial sangatlah besar, yaitu mendorong tindak kejahatan dan meningkatkan kerawanan sosial
yang berkitan dengan kebutuhan ekonomi untuk membiayai pemakaian narkoba yang berharga
mahal hingga mendorong mereka (pecandu) melakukan tindakan kejahatan seperti pencurian
dan perampokan.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat
penegak hukum dan telah banyak putusan hakim terhadap kasus narkotika, semakin intensifnya
upaya yang dilakukan penegak hukum terhadap kejahatan narkotika semakin meningkat pula
peredaran dan penyalahgunaan narkotika tersebut.3 Pendekatan dengan cara menghukum dapat
membuat orang-orang yang membutuhkan perawatan menyembunyikan diri, karena para
pecandu khawatir jika muncul justru akan ditangkap dan si sisi lain memenjarakan pecandu
narkotika dapat menghambat proses perawatan dan pengobatan karena sebagian besar narapidana
dan tahanan merupakan katagori pemakai yang jika dilihat dri aspek kesehatan mereka
sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan sebuah langkah
yang kurang tepat karena telah megabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan, dan hal ini
juga didukung dengan kondisi lembaga pemasyarakatan yang tidak mendukung karena, dampak
negatif dari prilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan
kesehatan pecandu narkotika.
Faktanya yang diperangi adalah para korban tersebut, yang harusnya mendapat
perlindungan atau dilindungi Negara dari dampak buruk napza. Perang ini tidak banyak berhasil

3

O.C. Kaligis & Associates, 2002, Narkoba dan peradilannya di Indonesia, Reformasi Hukum Pidana
Melalui Perundang dan peradilan, PT Alumni, Bandung , h. 260.

menumbangkan musuh yang sebenarnya (produsen dan pengedar gelap napza), malah
menimbulkan banyak sekali korban di pihak kita sendiri (warga masyarakat).4 Berkaitan dengan
masalah pecandu dan penyalahguna narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum
pidana yang memposisikan pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika sebagai korban,
bukan pelaku kejahatan. Mengingat pecandu narkotika merupakan Self-victimizing victims,
yaitu mereka

yang menjadi korban karena kejahatan

yang dilakukannya sendiri.

Pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku sekaligus yang menjadi korban. 5 Pecandu
narkotika menderita ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya
sendiri.
Ketakutan pecandu

untuk tidak melapor juga didukung dengan

stigmatisasi dari

masyarakat yang menganggap pecandu narkotika merupakan pelaku kejahatan dan hal ini justru
menjadi upaya memusuhi anggota masyarakat yang terlanjur menggunakan narkotika.
Masyarakat tidak menyukai pemalas dan anak urakan, walaupun dia bukan pengguna napza,
apalagi pendosa dan pelaku kejahatan. Dalam merespon aturan hukum, secara alamiah orang
yang melakukan tindakan yang dinilai salah atau jahat akan bersembunyi dari masyarakat saat
melakukan kegiatan tersebut. Namun dalam merespons stigma, bersembunyi tidak mengubah
banyak hal, karena dia akan merasa sebagai pelaku kriminal dan pendosa sepanjang waktu,
bahkan saat tidak melakukan kegiatan itu stigma memiliki dampak yang panjang dan merusak. 6

4

Patri Handoyo, 2014, War On Drugs Refleksi Tranformatif Penerapan Kebijakan Global Pemberantasan
Narkoba di Indonesia,Bandung, Swatantra Penerbit buku & Rumah Cemara Bangdung.h. 85
5
Maya Indah S, 2014, Pelindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Edisi
Kedua,Prenadamedia Group, Jakarta, h. 35

6

Patri Handoyo, Op.cit h. 123

Sehingga dirasa perlu adanya suatu terobosan barua atau solusi baru untuk menanggulangi
tingginya angka pemakai narkotika di Indonesia.
Dewasa ini telah berkembang konsep dekriminalisasi dan depenalisasi. Dekriminalisasi
artinya suatu perbuatan yang semula termasuk tindak pidana tetapi kemudian dipandang
sebagai sesuatu prilaku biasa. Sedangkan depenalisasi berarti suatu perbuatan yang semula
termasuk perbuatan yang harus di pidana, ancaman pidana ini dihilangkan tetapi masih
dimungkinkan dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum
administrasi. Depenalisasi ini dapat menjadi suatu cara atau bentuk solusi untuk menanggulangi
kejahatan narkotika khususnya pecandu narkotika.
Terlepas dari depenalisasi , sebenarnya produk hukum untuk pengguna apza di Indonesia
sudah diterbitkan sejak 1971, berupa Intruksi Presiden yang masih menggabungkan
penanggulangan bahaya narkotika dengan hal-hal lain yang dianggap mengancam keamanan
Negara. Hingga dari beberapa kali dikeluarkannya produk hukum,

pada akhirnya lahirlah

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika). UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan penambahan
kekerasan dari dua UU Narkotika sebelumnya.
Selain penambahan berat ancaman hukuman pidana penjara dan denda hingga miliaran
rupiah terhadap pecandu narkotika pada Pasal 117 dan 127 ayat (1), terdapat juga pada Pasal 54,
55 dan Pasal 103 dalam UU No, 35 Tahun 2009 ini yang menjamin pecandu narkotika untuk
diwajibkannya rehabilitasi medis maupun sosial dalam Pasal 54 dan 55 sedangkan Pasal 103
berisi tentang ketika hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus untuk
memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Kata
“dapat” dalam Pasal 103, yang jika di intepretasikan bukanlah suatu kegiatan untuk mewajibkan

dan hal ini tidak sinkron dengan Pasal 54 itu sendiri yaitu mewajibkan peacandu narkotika untuk
di rehabilitasi medis maupun sosial. Berdasarkan hal tersebut bahwa dalam UU No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika terdapat kekaburan norma, karena terdapat beberapa pasal yang saling
tidak sinkron dan menimbulkan intepretasi yang lebih yang tentunya kekaburan norma ini dapat
menghambat proses penanggulangan kejahatan narkotika itu sendiri khususnya pecandu
narkotika.
Berdasarkan uraian pemikiran-pemikiran pada latar belakang yang telah dikemukakan di
atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul “Depenalisasi
Sebagai Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pecandu Narkotika Dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari Uraian latar belakang diatas, maka terdapat beberapa rumusan masalah yang
dianalisa yaitu sebagai berikut :
1.2.1

Bagaimanakah pengaturan depenalisasi terhadap pecandu narkotika dalam hukum
pidana positif saat ini?

1.2.2

Bagaimana pengaturan depenalisasi di masa yang akan datang bagi pecandu
narkotika?

1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang meyimpang dan diluar dari permasalahan yang di
bahas maka perlu terdapat pembatasan ruang lingkup dalam pembahannya adalah sebagai
berikut :

1.3.1 Yang pertama akan membahas mengenai pengaturan tentang depenalisasi pada
pecandu narkotika di Indonesia yaitu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
1.3.2 Yang kedua akan membahas mengenai kebijakan hukum pidana tentang
depenalisai pada pecandu narkotika di masa yang akan datang.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis menampilkan satu skripsi
yang penilitiannya hampir mirip dengan penelitian penulis. Dalam rangka menumbuhkan
semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa di wajibkan
untuk mampu menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan
menampilkan beberapa judul penelitian skripsi yang terdahuli sebagai pembanding.
No

Penulis

Judul Penelitian

1.

Oktavia Efektivitas Sosialisasi
Ikasari tentang
Tentang
Dekriminalisasi dan
Depenalisasi
Bagi
Pecandu dan Korban
Penyalahguna
Narkotika
Nasional
Provinsi
Daerah
Istimewa Yogyakarta

Institusi

Fakultas Syari’ah
dan
Hukum
Universitas Islam
Sunan
Kalijaga
Yogyakarta

Masalah
Bahas

yang di

Bagaimana
efektivitas
sosialisai
tentang
dekriminalis
asi
dan
depenalisasi
yang
dilakukan
oleh Badan
Narkotika
Nasional
Provinsi
Yogyakarta.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis
terjamin orisinalitasnya, dikarenakan aspek penelitian penulis bertitik pada kefokusan Konsep
dipenalisasi sebagai kebijakan terhadap penyalahguna narkotika terkhususnya pecandu narkotika
yang ditinjau dari KUHP dan UU. No.35 Tahun 2009.
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian adalah sebagai berikut :
Untuk menganalisis Pengaturan hukum pidana terkait
pecandu narkotika dari perspektif KUHP dan

Depenalisasi terhadap

UU. No 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika dalam rangka pembaharuan hukum pidana.
1.5.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengnalisis tentang pengaturan mengenai depenalisasi pada pecandu
narkotika khususnya pada KUHP dan UU No.35 Tahun 2009 tentang
narkotika.
2. Untuk menganalisis perkembangan depenalisasi khususnya terhadap pecandu
narkotika pada peraturan perundangan dan aturan diluar itu, dan perbandingan
depenalisasi di beberapa Negara.

1.6 Manfaat penelitian
1.6.1 Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis
mengenai perkembangan tujuan pemidanaan pada pengguna narkotika.
1.6.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan
sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi bagi lembaga legislatif dan
eksekutif dalam hal menetapkan aturan yang sesuai dengan perkembangan kejahatan
nantinya.
1.7 Landasan Teoritis
1.7.1 Teori Pemidanaan Relatif
Menurut teori dari Von Liszt, hukum gunanya untuk melindungi kepentingan
hidup manusia, yang oleh hukum telah diakui sebagai kepentingan hukum dan
mempunyai tugas untuk untuk menentukan dan menetapkan batas–batas dari kepentingan
hukum yang dimiliki oleh orang yang satu dengan orang yang lain. 7 Untuk dapat
melaksanakan fungsinya seperti itu, hukum telah menetapkan norma–norma yang haru
ditegakan oleh Negara. Negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang telah
melanggar norma–norma tersebut. 8
Menurut Von Liszt, ancaman pidana sifatnya memperingatkan dan mempunyai
sifat yang menjerakan, sedang penjatuhan pidana adalah untuk kepentingan semua warga
masyarakat. MenurutVan Hamel, suatu pidana dapat dibenarkan yatu apabila pidana
tersebut :
1. Tujuannya adalah untuk menegakan tertib hukum;
2. Diputuskan dalam batas – batas kebutuhan;
3. Dapat mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan lain oleh
pelakunya;

7

8

P.A.F Lamintang , Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17
Ibid h. 18

4. Dijatuhkannya berdasarkan suatu peneltian yang tuntas menurut, criminele
aetiologie dan dengan menghormati kepentingan yang sifatnya hakiki dari
terpidana.9
Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu
pidana, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan
manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja
dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.10
1.7.2 Teori kebijakan kriminal (criminal policy)
Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy) adalah suatu
kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan
bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), yang seluruhnya
merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau
negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.11
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan
termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak
terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu ”kebijakan sosial” (social policy) yang terdiri dari
kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upayaupaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).12
Marc Ancel merumuskan criminal policy sebagai “rational organization of the control of
crime by society”.13 Sementara itu, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy

9

Ibid
Wirjono Prodjodikoro, 2011, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT Rafika Aditama, h. 25
11
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal .1
12
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru , Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II ) hal. 77.
13
Ibid, hal. 209.
10

is the rational organization of the social reaction to crime”. Berbagai definisi lainnya yang
dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah:
a. Criminal policy is the science of responses;
b. Criminal policy is the science of crime prevention;
c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime;
d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.14
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu sebagai berikut:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;
b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di
dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan
norma-norma sentral dari masyarakat.15
Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam
arti:
a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan “penal”
dan “non penal”.16
Dengan demikian, dalam melaksanakan kebijakan kriminal harus menunjang tujuan
kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan dengan

14

Ibid, hal. 2.
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Selanjutnya disebut sebagai Barda
Nawai Arief I), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 1.
16
Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 3-4.
15

pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk mencegah dan
menanggulangi kejahatan.

1.7.3 Teori kebijakan hukum pidana (penal policy)
Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal policy).
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak
dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut
politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya
penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan
hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy).17
Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan
atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka
melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya
guna.18 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal
policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.19

17

Barda Nawawi Arief II Op.cit, hal. 24.
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.153.
19
Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal.23.
18

Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis
kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.20
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy
atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui
beberapa tahap:
1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
1.7.4 Teori pembaruan hukum pidana (penal reform)
Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Makna dan
hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya
pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan
suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilainilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.21 Makna dan
hakikat pembaruan hukum pidana adalah:
a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

20
21

Barda Nawawi Arief II Op.cit., hal.23.
Barda Nawawi Arief II Op.cit., hal.25.

-

Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk
masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

-

Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya
upaya penanggulangan kejahatan).

-

Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal
substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum.

b. Dilihat dari sudut pendekata nilai
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan
kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan
sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif
hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana,
apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru)
sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP
Lama atau WvS).22
1.7.5 Teori Perlindungan Hukum
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum
memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan
dilindungi.23 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari

22
23

Barda Nawawi Arief II Op.cit., hal.26.
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 69

suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada
dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara
angota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili
kepentingan masyarakat. Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh

hukum.24
Menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan
pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif.25 Perlindungan Hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap
hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkandiskresi dan perlindungan yang resprensif
bertujuan untuk mencegah

terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga

peradilan.26 Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk
mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga
predektif dan antipatif.27 Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi
hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.
Selama ini pengaturan perlindungan korban belum menampakkan pola yang jelas, dalam
hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan
“perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak

24

Ibid, h. 54.
Laksamana Dian Ariawan , 2015, Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Terhadap Hak Pengguna Provider
Seluler Di Yogyakarta (Study Kasus di Lembaga Konsumen Yogyakarta), http://digilib.uinsuka.ac.id/17002/2/11340117_bab-i_iv-atau-v_daftar-pustaka.pdf, diakses pada 4 mei 2016, h. 16
26
Ibid h. 17
27
Ibid.
25

pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan
in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.28 Perlindungan
secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan
perlindungan secara maksimal. Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang
berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan
permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan
teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang undangan yang
berlaku dalam praktek hukum.29
Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini beranjak dari adanya
persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma kabur, kekaburan norma dalam
formulasi dalam Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penelitian
hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Skripsi ini ingin melihat relevansi dari suatu aturan dalam kebijakan hukum pidana
di Indonesia terhadap pelaku penyalahguna narkotika tersebut pada UU No. 35 tahun
2009 tentang Narkotika. Sehingga metode pendekatan yang relevan dipergunakan dalam

28

29

Ibid, h. 18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2000, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT Grafindo
Persada, Jakarta, h.13.

penelitian skripsi ini adalah pendekatan perundang undangan, pendekatan kasus, dan
pendekatan perbandingan.

1. Pendekatan Perundang-undangan
Dalam metode pendekatan perundang–undangan peneliti perlu memahami
hierarki, dan asas–asas dalam peraturan perundang– undangan. Menurut Pasal 1
angka 2 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang–undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapka oleh lembaga Negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang–
undangan. Dari pengertian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud sebagai statue berupa legislasi dan regulasi.30 Jadi demikian
pendekaan perundang–undangan adalah pendekatan dengan menggunakan
legislasi dan regulasi. Produk yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu
keputusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan
khusus, misalnya keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan bupati, dan
keputusan suatu badan tertentu., tidak dapat digunakan dalam pendekatan
perundang–undangan.31 Pendekatan ini digunakan in case terhadap UndangUndang Nomor. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

30
31

Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Prenada Media Group, Jakarta, h. 137
Ibid

2. Pendekatan Kasus
Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh
peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan–alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi
dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta-fakta materiel.32 Fakta fakta
tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya asalkan
tidak tebrukti sebaliknya.33
3. Pendekatan Perbandingan
Pendekatan

perbandingan

dilakukan

dengan

mengadakan

studi

perbandingan hukum. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum merupakan
suatu metode studi untuk perbandingan hukum yang bersifat deskriptif yang
tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan perbandingan
hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu, misalnya keinginan untuk
menciptakan keseragaman hukum dagang. Menurut Holand ruang lingkup
ruang lingkup perbandingan hukum terbatas pada penyelidikan secara
deskriptif.

Studi

perbandingan

hukum

merupakan

kegiatan

untuk

membandingkan hukum suatu negara dengan hukum dengan hukum Negara
lain atau hukum dari sewaktu waktu dengan hukum dari waktu yang lain.
1.8.3 Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :
1. Sumber bahan hukum primer

32
33

Ibid h. 158
Ibid

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoratif). Bahan hukum tersebut terdiri atas (a). peraturan perundang–undangan, (b)
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturang perundangundangan, (c) Putusan Hakim.34. Sumber bahan hukum primer yang digunakan pada
Usulan Penelitian ini

adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.
2. Sumber bahan hukum sekunder
Bahan Hukum Sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang
merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri atas (a) buku–buku
teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum, termasuk
skripsi, tesis, dan disertasi hukum (b) kamus–kamus hukum, (c) jurnal-jurnal hukum,
dan (d) komentar komentar atas putusan hakim.35

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah teknik telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu yaitu cara
mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian
dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian skripsi ini.
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum

34
35

H.Zainudin Ali, 2011,Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47
Ibid h. 54

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan
berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik
sistematisasi.
Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.
Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum
seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran
historis, dan lain sebagainya.
Teknik Kontruksi berupa pembentukan kontruksi yuridis dengan melakukan
analogi dan pembalikan proposisi (acontrario).

BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI DEPENALISASI TERHADAP KEBIJAKAN HUKUM
PIDANA DAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA
2.1 Pengertian Penalisasi dan Depenalisasi
2.1.1 Pengertian Penalisasi
Penalisasi adalah suatu proses pengancaman suatu perbuatan yang dilarang, dengan
sanksi pidana. Umumnya penalisasi ini berkaitan erat dengan kriminalisasi, karena ketika
kebijakan untuk menentukan bahwa suatu perbuatan tertentu dikatagorikan sebagai perbuatan
terlarang atau tindak pidana. Langkah selanjutnya adalah menentukan ancaman sanksi pidana
bagi perbuatan tersebut. Norma pelanggaran tersebut dengan kebijakan kriminalisasi yang
kemudian diikuti dengan penalisasi dan ancaman pidana yang teringan sampai dengan yang
terberat atau pidana.1
Kebijakan penalisasi terkait dengan pengenaan sanksi pidana atau penal terhadap
perbuatan tertentu yang dipandang sebagai perbuatan melawan hukum yang telah dimuat dalam
cabang ilmu lain, secara singkat dapat dikatakan bahwa pembahasan kriminalisasi meniscayakan
pembahasan mengenai penalisasi, walaupun antara keduanya yaitu tindak pidana dan sanksi
pidana merupakan dua topik yang berbeda dalam hukum pidana.2
Dalam kajian mengenai kriminalisasi terdapat beberapa asas yang digunakan, dimana
asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan
dan keputusan mengenai aktivitas hidup manusia. Dalam konteks kriminalisai, asas diartikan
1

Paul Ricardo, Upaya Penanggulangan Penyalahguna Narkotika oleh Kepolisian,
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/Salman%20Luthan.pdf, diakses pada 27 Oktober 2015.
2
Ibid

sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsip-prinsip hukum yang menuntun
pembentukan hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-undangan pidana.3 Ada
tiga asas kriminalisai yang berlaku diperhatikan pembentuk undang-undang dalam menetapkan
suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi pidananya yakni:
a) Asas legalitas
b) Asas subsidiaritas
c) Asas persamaan/kesamaan
Kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang
lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan, persoalan kriminalisasi
timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul
pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah
terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan
tersebut, dan dari kriminalisasi tersebutlah muncul penalisasi yang menentukan sanksi apa yang
sesuai terhadap perbuatan pidana tersebut.4
2.1.2 Pengertian dan Tujuan Depenalisai
Pengertian depenalisasi adalah sebagai suatu perbuatan yang semula diancam dengan
pidana kemudian ancaman pidana ini dihilangkan, tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan
dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi. Di dalam
proses depenalisasi terdapat suatu kecenderungan untuk menyerahkan perbuatan tercela atau anti
sosial itu kepada reaksi sosial saja atau kepada kelembagaan tindakan medis. Perbuatan yang

3

Ibid
Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h, 34

4

termasuk kenakalan remaja ditanggulangi diluar proses peradilan. Demikian pula perbuatan zina
dengan pertimbangan sosial ekonomis menjadi diluar proses peradilan.5
Pengertian depenalisai dalam masalah narkotika dibutuhkan pemahaman khusus, salah
satu pengertian yang dilakukan oleh Badan Pemerintah Pusat Uni Eropa yang mengkordinasi
data kebijakan obat atau European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction
(EMCDDA), mendefinisikan depenalisasi sebagai berikut.6
Depenalisation means the use of drugs remains a criminal offense, but a prison sentence
will not be imposed on the ownership or use even when other criminal sanctions (example,
mulct, police records, probation) is possible.
Artinya, depenalisasi berarti penggunaan obat tetap menjadi pelanggaran pidana, tetapi
hukuman penjara tidak lagi dikenakan atas kepemilikan atau penggunaan bahkan ketika sanksi
pidana lain (misalnya, denda, catatan polisi, masa percobaan) tetap dimungkinkan.
Kebijakan depenalisasi ini digunakan untuk memperbaiki peraturan perundang-undangan
yang pada awal mula sanksinya adalah sanksi pidana penjara kemudian dirubah menjadi sanksi
lain yang berupa tindakan atau treatment demi tercapainya tujuan yang lebih baik lagi. Kebijakan
depenalisasi ini tepat digunakan pada tindak pidana narkotika yaitu masalah pecandu dan
penyalahgunaan narkotika yang pada awalnya sanksi pidana dijatuhkan kepada pecandu dan
penyalahguna kemudian diganti menjadi sanksi lain yang berupa tindakan yaitu rehabilitasi.
Kebijakan depenalisai pada pecandu dan korban penyalahguna narkotika sangat penting untuk

5
Supardi. Pro dan Kontra Pidana Mati terhadap Tindak Pidana Narkoba. http/www.bnn.go.id/konten. diakses
pada 28 Oktober 2015.
6
Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Nasional Peduli Anti Narkoba dan Tawuran, Membangun Paradigma
Dekriminalisasi korban pengguna Narkotika, http://www.gepenta.com, diakses pada 28 oktober 2015. Glenn
Greenwald.

diberlakukan karena di Indonesia sendiri jumlah pecandu dan penyalahguna narkotika semakin
bertambah dari tahun ke tahun.7
2.2. Tinjauan Umum Tentang Narkotika
2.2.1 Pengertian Narkotika
Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau
narcosis, yang berarti menidurkandan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu
narke atau narkam yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa–apa. Narkotika berasal dari
perkataan narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.8
Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau narkotika adalah
obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulakan rasa mengantuk
atau merangsang.9 Sarjono, dalam patologi sosial, merumuskan definisi narkotika sebagai berikut
:narkotika adalah bahan–bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat
menurunkan kesadaran.10 Smith Kline dan French Clinical memberikan definisi narkotika
sebagai berikut :
Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their depressant effect
on the central system. Included in this definition are opium, opium derivatives (morphine,
codien, heroin) and synthetic opiates (meperidin, methadone).

7

Amanda Jesicha Nadia Putri, 2015, Kebijakan Depenalisasi tentang Penanganan Pecandu dan Korban
Penyalhgunaan Narkotika Oleh Hakim Melalui Lembaga Rehabilitasi, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/, diakses
pada 2 November 2015.
8

Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 78
Ibid
10
Ibid h. 79

9

Narkotika adalah zat–zat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan
dikarenakan zat-zat tersebut bekerja memengaruhi sususan pusat saraf. Dalam definisi
narkotika ini sudah termasuk jenis candu, seperti morpin, cocain dan heroin atau zat-zat
yang dibuat dari candu, seperti (merpidin dan methadone).11
Narkotika dalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bahan tanaman baik yang
sintesis maupun semi sintesisnya yang dapat menyebabkan penutunan atau penambahan
kesadaran, hilannya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Pada pemberitaan di media massa, seringkali terdengar bagaimana orang yang
menggunakan narkotika ditemukan sudah meregang nyawa dalam penggunaan dosisnya yang
berlebihan/over dosis. Terdengar pula baimana seorang anak tega menghabisi nya orang tuanya
hanya karena tidak diberi uang padahal sang orangtua mungkin tidak menyadari kalau si anak
adalah pecandu narkotika. Sungguh sebuah pengaruh luar biasa dari bahaya penggunaan
narkotika yang perlu ditanggulangi lebih komprehensif. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa
ternyata narkotika sudah dikenal manusia sejak abad prasejarah.kata narkotika pada dasarnya
berasal dari bahasa Yunani “Narkoun” yang berarti membuat lumpuh atau mati rasa. Kurang
lebih tahun 2000 SM di Samarinda ditemukan sari bunga Opion atau kemudian lebih dikenal
dengan sebutan opium (candu = papavor somniferitum). Bnga ini tumbuh subur di daerah tinggi

11

Anonim, 2004, Illicit Drugs Policy Using Evidence to get better outcomes,Sydney, Royal Australasian
Coleege Of Physicians, The Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrists and Grow Self Help/Mutual
Support Group, h. 12

diatas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah kedaerah
India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya. 12
Sampai saat sekarang ini secara aktual, penyebaran narkotika dan obat-obat terlarang
mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Bayangkan saja, hampir seluruh penduduk dunia
dapat dengan mudah mendapat narkotika dan obat-obat terlarang, misalnya dari Bandar/pengedar
terhitung banyaknya upaya pemberantasan narkoba yang sudah dilakukan oleh pemerintah,
namun masih susah untuk menghindarkan narkotika dan obat–obat terlarang dari kalangan
remaja maupun dewasa.13 Menjadi bayangan yang telah terewajantahkan dalam bentuk yang
mengerikan dimana anak-anak pada usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sudah
banyak yang menggunakan bahkan membantu mengedarkan atau memang mengedarkan/menjual
narkotika dan obat –obat terlarang.14
2.2.2 Jenis–Jenis Narkotika
Zat/obat yang dikatagorikan sebagai narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu sebagai sebagai berikut.15
a. Narkotika Golongan I (narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai
potensi sangat tinggi mengakibatkat ketergantungan), yang menurut lampiran UU. No 35
Tahun 2009 terdiri dari :
1. Tanaman Papavar Someniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah
dan jeraminya, kecuali bijinya;

12
AR.Sujono, Bony Daniel, 2013, Komentar & Pembahasan Undang –Undnag Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika,Jakarta, h. 3
13
Ibid
14
Ibid h. 4
15
Ibid h. 49

2. Opium mentah, yaitu getah yag membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman
Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk
pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya;
3. Opium masak terdiri dari :
I.

Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan
peragian dengan atau

tanpa penambahan bahan–bahan lain,

dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok
untuk pemadatan;
II.

Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan
apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain;

III.

Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Tanaman koka, tanaman yang dari semua genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya;
5. Daun koka, daun yang belum