Pidana Mati Sumbangan Pemikiran Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

PIDANA MATI : SUMBANGAN PEMIKIRAN DALAM RANGKA PEMBAHRUAN HUKUM
PIDANA INDONESIA1
Oleh : I B Surya Dharma Jaya2
1.Pendahuluan
Kejahatan merupakan perbuatan anti sosial karena menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Kejahatan menyebabkan rusaknya ketertiban dan ketentraman yang
menjadi harapan setiap orang. Oleh karenanya telah dilakukan berbagai upaya untuk
menanggulangnginya, termasuk dengan menggunakan sarana penal. Penggunaan
sarana penal adalah upaya penanggulangan kejahatan dengan pengenaan pidana pada
pelaku tindak pidana. Berbagai jenis sanksi pidana telah diupayakan dipergunakan dalam
penanggulangan tersebut, diantaranya adalah pidana mati sebagai pidana yang terberat
dan paling kontroversial.
Pidana mati dianggap sebagai pidana yang paling menakutkan dan dipandang memiliki
kemampuan untuk mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan, tapi ternyata
keberadaaannya tidak menyurutkan terjadinya perbuatan yang diancam tersebut.
Keadaan ini membuat masyarakat sangsi akan kemampuannya, sehingga beberapa
negara kemudian menghapuskan pidana mati tersebut dalam ketentuan hukum
pidananya, walaupun kemudian beberapa negara memasukkannnya kembali dengan
berbagai pertimbangan.3
Persoalan pidana mati juga muncul di Indonesia, pro dan kontra pidana mati semakin
menguat seiring dengan kebijakan hukum pidana yang menghendaki dilakukannya

pembaharuan hukum pidana.4 Pidana mati oleh sebagaian masyarakat dipandang tidak
efektif . Eksekusi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang dilakukan
baru-baru ini, tidak mengurangi terjadinya kejahatan narkorika.5 Demikian pula
meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap HAM, telah menimbulkan anggapan

1

Makalah disampaikan dalam Seminar tentang “Pidana Mati dalam Pembaharuan hukum Pidana
Indonesia”, 25 Januari 2016 di FH Udayana.
2
I B Surya Dharma Jaya adalah Dosen Fakultas Hukum universitas Udayana.
3
Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2013),hlm. 228.
Beberapa negara bagian di Amerika Serikat seperti, Alabama, Arizona, Arkansas, California,
Colorado pernah melakaukan penundaan pelaksanaan hukuman mati, namun setelah sekitar 2-3
tahun kemudian menghidupkannya kembali. Selanjutnya disebut Barda nawawi I
4
Pembahruan hukum pidana nasional adalh usaha untuk membentuk hukum pidana baru yang
sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini dan mampu mengantisipasi masa datang.
5

www.kabar6.com, “Lima Penyelundup ditangkap di Bndara Soetta”, 24 November 2014. Dirjen
Bea dan Cukai, Heru Pambudi, mengungkapkan dalam upaya penggagalan penyelundupan ini,
pihaknya juga berhasil menyita sebanyak 12 kilogram sabu, 1.292 butir ektasi, 9.000 butir Happy
Five, 12 butir Sanax dan narkotika jenis baru, yakni Synthetic Cannabinoid atau Ganja Sintetis
yang lebih dikenal dengan sebutan gorillas, sebanyak 19,6 kilogram.

bahwa hukuman mati semata-mata hanya mengurangi perasaan kemanusiaan umat
manusia. Masyarakat tidak menghendaki adanya pidana mati karena dianggap
melanggar hak yang paling mendasar yaitu, hak untuk hidup .
Namun demikian tidak seluruh masyarakat dapat menerima pendapat tersebut, mereka
merasa pidana mati masih memberikan jaminan atas rasa aman. Keinginan masyarakat
untuk menghapuskan pidana mati karena dipandang hanya mengumbar nafsu balas
dendam, dan sama sekali tidak memiliki tujuan. tidak seluruhnya benar. Sebagian
masyarakat memandang keberadaan pidana mati merupakan sarana untuk memberikan
perlindungan pada masyarakat.6

Filosofi pembalasan berbenturan dengan filosofi Rehabilitasi yang berkembang dewasa
ini. Pidana mati secara teoritis juga menjadi persoalan. Perkembangan hukum pidana
telah meninggalkan filosofi pembalasan yang dianggap sebagai dasar teori retributif
yang menjadi pembenaran pidana mati, selain tujuan pemusnahan (incapasitation).

Dewasa ini berkembang filosofi rehabilitasi yang berakar pada pemikiran humanis,
lebih bersifat individualis. Penganut paham rehabilitasi menghendaki dihapuskannya
berbagai bentuk pidana yang kejam, sebagian dari mereka juga disebut sebagai kaum
abolisionis. Penganut Teori rehabilitasi dengan tegas menolak keberadaan pidana mati
dan cenderung menghendaki dihapuskannya pidana mati.
Uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan pidana mati dalam hukum pidana
dewasa ini sangat fenomenal, sehingga perlu dikritisi. Berbagai pemikiran tentang
pidana mati terutama berkaitan dengan kebijakan hukum pidana Indonesia yang
menginginkan dibentuknya hukum pidana baru perlu dipertimbangkan, sehingga sistem
pemidanaan yang dibentuk nantinya sesuai dengan kondisi dan filosofi bangsa
Indonesia. Hal ini terutama sejak RKUHP menentukan pidana mati sebagai salah satu
pidana pokok yang bersifat khusus.
2.Sejarah dan Perkembangan pidana mati
Pidana mati sudah dikenal dalam perundang-undangan semenjak jaman Nabi Musa,
jaman Yunani, jaman Romawi , Jerman dan Kanonik. Demikian pula berbagai ajaran
keagamaanpun dipandang mengenal hukuman mati. Al Kitab , Al Qur’an mengenal
hukuman mati. Demikian pula dalam ajaran Hindu melalui buku Manawa Dharmasastra
mengenal pula hukuman mati.7

6


Sahetapy, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung : Alumni, 1979),
hlm.112.
7
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Alumni AHAEM –
PETEHAEM, 1989), hlm. 463-464.

Pidana mati merupakan pidana yang paling tua usianya dan paling kontroversial di
dunia. Pidana mati merupakan pidana yang paling kejam, karena dari sejarah
perkembangannya diketahui pelaksanaannya sangat mengerikan. Kejamnya pidana mati
dapat diketahui dari pelaksanaannya pada jaman Nero berkuasa, banyak orang-orang
Kristen yang dipidana mati dengan jalan dibakar ditiang gantungan.8
Selain itu dikenal pula berberbagai bentuk pelaksanaan lain, seperti ditusuk,
dimasukkan dalam air mendidih, dikubur hidup-hidup, ditarik dengan kereta, disalib,
dipukul sampai hancur, ditenggelamkan, dibakar hidup-hidup, dan sebagainya.9 Hal ini
menunjukkan bahwa pidana mati merupakan bagian dari hukum pidana klasik yang
lebih menekankan pada filosofi pembalasan.
Pembalasan sebenarnya bukan satu-satunya tujuan yang dikenal pada masa itu,
berbagai tujuan lain seperti pemusnahan, pencegahan, dan perbaikan terpidana telah
dikenal, namun dalam porsi yang sangat terbatas.10 Sampai kemudian perkembangan

pidana mati dengan cara yang kejam telah mulai dikurangi pada jaman Constitutio
Criminalis Carolina.
Penentang keras pidana mati adalah C. Becaria, dalam bukunya yang berjudul “Dei delitti
e delle Pene” menekankan perlunya dikurangi kekejaman pemidanaan. Alasan utama
penjatuhan pidana adalah untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk
mencegah seseorang melakukan kejahatan. Pencegahan tidak akan dihasilkan dari
pidana yang berat tetapi dari pidana yang patut (appropriate), tepat (prompt), dan pasti
(inevitable).11 Beccaria meragukan bahwa negara memiliki hak untuk menjatuhkan
pidana mati.12Tulisan Beccaria ini pengaruhnya semakin kuat setelah perang dunia II
yang dilanjutkan dengan kehadiran Universal Declaration of Human Rights. Dengan
munculnya instrumen yang sangat berpengaruh di dunia ini semakin memberikan
kekuatan pada kaum abolisionis dan menyebabkan banyak negara kemudian
menghapuskan pidana mati dalam hukum pidananya.13
Dewasa ini mulai pertengahan abad ke-20 terlihat perkembangan pemidanaan
mengarah pada dua tujuan yang berbeda. Di Eropa cenderung mengarah pada
penghapusan pidana mati dan meningkatkan peran pemidanaan yang dilakukan di luar
tembok penjara (non custodial sentence) Tujuan pemidanaan yang dikembangkan
adalah pencegahan, rehabilitasi dan tindakan (treatment). Namun beberapa negara
justru cenderung mengatur pemidanaan dengan lebih keras. Beberapa negara Islam
8


Ibid. hal. 461)
Sahetapy, Op.Cit., hlm. 72.
10
Lewis Lyons, The History of Punishment, (Guilford, London : The Lyons Press : 2003), hlm. 9.
11
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hlm.
29.
12
Ibid.
13
Sahetapy, Op.Cit., hlm. 76-77.
9

lebih keras menerapkan hukum Shariah daripada sebelumnya.14 Sementara itu di
Amerika Serikat banyak negara bagian mulai menghapuskan pidana mati, namun
demikian beberapa negara kembali menerapkannya.15
Amerika Serikat sebagai negara besar yang menjadi panutan dunia untuk HAM
mengalami pasang surut dalam upayanya menanggulangi kejahatan dengan sarana
pidana mati, walaupun negara-negara bagian di Amerika sudah menyetujui American

Convention on Human Rights pada tahun 1969 dan telah mulai memberlakukannya pada
tahu 1978.
Ketentuan mengenai hukuman mati dalam American Convention on Human Rights dapat
ditemukan pada Pasal 4 yang menentukan tentang diakuinya hak hidup yang dilindungi
oleh undang-undang, dan tiada seorangpun dapat dirampas kehidupannya dengan
sewenang-wenang. Dalam konvensi ini juga ditentukan bahwa pidana mati tidak dapat
dijatuhkan pada pelaku tindak pidana politik, dan pada mereka yang berusia di atas 70
tahun. Hal yang sangat penting adalah ada larangan bagi negara yang telah
menghapuskan pidana mati untuk menerimannya kembali dalam ketentuan hukumnya.
Perjalanan untuk menghapuskan pidana mati di Amerika Serikat dinamikannya dapat
dilihat dari preseden yang terjadi. Mahkmah Agung Amerika Serikat pada tahun 1972
dalam kasus Furman v Georgia mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa
pidana mati tidak bertentangan dengan konstitusi (the punishment of death pealty does
not violate the constitution) , atau tepatnya tidak bertentangan dengan amandemen ke8.16 Namun demikian tidak seluruh pengadilan dapat menerimanya, sebagain besar
pengadilan berpandangan bahwa pidana mati melanggar amandemen ke-8 tesebut. Hal
seperti ini juga dikatakan oleh hakim stewart yang mengatakan bahwa “The death
sentences are cruel and unusual in the same way that being struck by lighting is cruel
and unusual...the (Eight Amandement) cannot tolerate the infliction of sentence of
death under legal systems that permit this unique penalty to be so wantonly and
freakishly imposed”.17 Akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat melalui putusannya

atas kasus Gregg v. Georgia yang dilakukan dengan voting tujuh melawan dua pada
tahun 1976 menentukan bahwa

14

bahwa undang-undang Georgia menghapuskan

Lewis Lyons, Loc.Cit.
Lewis Lyons, Loc.Cit.
16
Ellen Alderman, Caroline Kennedy, In Our Defense (The Bill of Rights In Action), (New York :
Avons Books, 1992), hlm. 299-300. The Eight Amandemen “Excessive bail shall not be required,
nor excessive fines imposed, nor cruel and unusual punishments inflicted”.
17
Ibid.
15

kesewenang-wenangan dan unsur-unsur

ketidak pastian dari putusan yang berkaitan


dengan kasus Furman yang telah inkonstitusional.18
Namun demikian sampai sekarang di Amerika Serikat pidana mati masih tetap
menyisakan persoalan. Optional protocol American Convention on Human Rights ini
secara tegas melarang negara untuk menjatuhkan hukuman mati. Tetapi berdasarkan
protokol ini juga pidana mati masih dapat dijatuhkan terhadap beberapa bentuk
kejahatan dalam keadaan tertentu. Kejahatan yang dimaksud adalah kejahatankejahatan yang dianggap serius dalam lingkup militer yang dilakukan pada saat perang.
Optional protocol ini mulai terbuka untuk penandatanganan dan peratifikasian sejak
1990.
Sekarang sebagian negara bagian (19 negara bagian) telah menghapuskan pidana mati, 31
negara bagian masih tetap megenal pidana mati dalam hukum pidananya, walaupun hanya 7
negara yang tetap menerapkan hingga tahun 2014. Negara seperti New Mexico,
Connecticut, Maryland, dan Nebraska telah menghapuskan pidana mati pada 2009, 2012,
2013, dan 2015. Sementara itu beberapa negara yang masih mengatur pidana mati
menentukan cara-cara yang lebih manusiawi dalam hal eksekusinya. Sebagian besar negara
yang masih mengatur pidana mati menentukan eksekusi dilakukan dengan cara suntik mati
(lethal injection), selain Gas Chamber, kursi listrik (Electrocustion), tembak mati, 19
Sementara negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah menghapuskan pidana
mati. Negara-negara tersebut tunduk pada The Charter of Fundamental Rights of European
Union, dan The European Convention on Human Rights of The Counsil of Europe. Dalam Pasal

2 Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedom tahun 1950
menentukan penghapusan pidana mati sebagai bagian dari hak untuk hidup.20Dua organisasi
besar eropa tersebut dengan tegas menyatakan penghapusan pidana mati. Hal ini kemudian
didukang dengan protokol tambahan yang mendukung penghapusan pidana mati, yaitu
Protokol 6 yang dikeluarkan tahun 1983. Protokol ini masih membolehkan diberlakukannya
pidana mati di masa perang. Namun lahirnya Protokol 13 tahun 2002 Konvensi Hak Asasi
Manusia Eropa menentukan pidana mati tidak dapat diberlakukan dalam keadaan apapun.

Pelaksanaan dari konvensi ini beserta protokol-protokolnya berada di bawah
pengawasan European Court of Human Rights yang berkedudukan di Strasbourg.
Putusan-putusan Pengadilan HAM Eropa sangat mendukung penghapusan pidana mati.
Isu pidana mati selalu dikaitkan dengan larangan penyiksaan, demikian pula dalam
18

Ibid.
Cornell Law School, “Death Penalty Worldwide”, www.DeathPenaltyWorldwide.org/countrysearch-post-cfm.
20
Pasal 2 Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedom “Hak setiap
orang untuk hidup harus dilindungi dengan undang-undang. Tidak seorangpun boleh dirampas
kehidupannya, kecuali dalam pelaksanaan hukuman oleh pengadilan setelah ia diadili untuk

suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman yang demikian menurut undang-undang”.
19

kebijakan ekstradisinya, masyarakat eropa selalu menekankan negara terkait untuk tidak
menjatuhkan pidana mati sebagai prasyarat perjanjian.21
Perkembangan HAM di Eropa juga ditandai dengan masuknya negara-negara Eropa Timur
menjadi bagian dari Uni Eropa telah juga memperbanyak negara yang melarang pidana mati.
Rusia termasuk juga negara yang baru secara defacto menghapuskan pidana mati. Sampai
sekarang Eropa boleh dikatakan sebagai kawasan bebas pidana mati, minus Belarusia.22
Gerakan hapusnya pidana mati mendapat dukungan kuat di benua Australia, dan juga
dibenua lainnya seperti Afrika dan Asia. Berbeda dengan Australia yang mengikuti tren
negara-negara Eropa secara tegas menentang pidana mati. Sementara itu negara-negara di
Asia dan Afrika walaupun sudah menerima berbagai instrumen HAM, masih tetap
menganggap hukuman mati sebagai salah satu sarana penting dalam penanggulangan
kejahatan, terutama berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang serius.23
Dari perkembangan pdana mati yang diuraikan di atas maka nampak bahwa pidana mati
dihadapkan dengan hak untuk hidup. Hal ini menurut Barda Nawawi tidaklah tepat karena
sama dengan menghadapkan hak kebebasan pribadi yang tidak dapat dihadapkan secara
diametral dengan pidana penjara yang berupa perampasan kemerdekaaan.24Jadi penolakan
hukuman mati berdasarkan HAM seharusnya juga diikuti dengan penolakan terhadap
berbagai hukuman lain, terutama pidana penjara karena bertentangan juga dengan HAM.
Pendapat Barda Nawawi tersebut secara rasional dapat diterima, namun pertanyaan
masyarakat tentang eksistensi pidana mati bila dikaitkan dengan Pasal 3 Declaration of
Human Right , “Everyone has the right to life, liberty and security of person”, tetap
menarik untuk didiskusikan. Pasal 3 DUHAM dengan tegas menentukan bahwa hak hidup
merupakan hak mutlak, yaitu hak yang tidak dikesampingkan. Apakah hal ini berarti bahwa
pidana mati harus dihapuskan? Untuk menjawab hal ini perlu diperhatikan Ketentuan
International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) dalam Pasal 6 ayat (1) yang
menentukan, “Every human being has the right to life”. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2)
menentukan, “No one shall be arbitrarily deprivide of his life”. Kedua ketentuan ini tidak
dapat dipisahkan karena Pasal 6 ayat (2) merupakan kelanjutan dari Pasal 6 ayat (1),
sehingga makna dari kedua pasal ini adalah setiap orang memiliki hak untuk hidup dan hak
tersebut tidak dapat dirampas dengan sewenang-wenang. Pasal 6 ayat (2) selanjutnya juga
menentukan bahwa pidana mati tetap dimungkinkan untuk kasus-kasus yang rerius (the
most serious crime). Hal ini didukung pula dengan instrumen internasional lainnya, yaitu The
Safeguardes guaranteeing Protection of The Rights of Those Facing The Death Penalty
(Resolusi PBB 1984/50) yang menentukan bahwa di negara-negara yang belum menghapus
hukuman mati, hukuman mati hendaknya hanya diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang
serius, dengan pembatasan pada kejahatan yang berupa penggunaan senjata api atau
kejahatan yang menimbulkan kerusakan berat (intentional crime with lethal weapon or
21

Papang Hidayat,” Dinamika Kontemporer Praktik Hukuman Mati Global, Eropa, dan Indonesia”,
dalam Jurnal Kajian Wilayah Eropa Vol. IV No. 2 tahun 2008, hlm. 51-52.
22
Ibid.
23
Barda Nawawi I, Op.Cit., hlm.227.
24
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 291-292. Selanjutnya disebut Barda Nawawi II.

extremely consequences). Ketentuan ini juga memberikan batasan-batasan bahwa pidana
mati tidak dapat dijatuhkan pada seseorang yang pada saat kejadian belum berumur
delapan belas tahun, wanita hamil, dan orang yang mendereita penyakit jiwa. Hal penting
lainnya adalah sebuah penegasan berkaitan dengan asas nonretroaktif, proses peradilan
yang jujur dan adil (sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ICCPR), penghargaan terhap
hak-hak terpidana mati, hak atas pengampunan dan peringanan hukuman, pemaafan, dan
perubahan hukuman mati yang telah dijatuhkan, penundaan dalam proses banding, dan
eksekusi terhadap pidana mati sepantasnya dilakukan dengan cara dapat mengurangi
penderitaan yang timbul karenanya.
Berbagai instrumen HAM di atas tidak secara tegas melarang eksistensi pidana mati dalam
hukum pidana. Perlindungan terhadap hak hidup dapat diingkari berdasarkan perbuatan
yang dilakukan (kejahatan yang serius), namun pelanggran tersebut juga dibatasi hanya
boleh bilamana pelaku sudah berusia di atas tujuh belas tahun dan pelaku adalah bukan
orang yang menderita penyakit jiwa.

Akhirnya walaupun masih terjadi silang pendapat tentang keabsahan pidana mati dilihat
dari sisi instrumen HAM Internasional, terlihat jelas negara-negara di dunia semakin
meningalkan pidana mati, baik dalam hukum pidananya (de jure) ataupun berusaha
untuk tidak menerapkan walaupun masih menjadikannya bagian dari hukum pidana (de
facto). Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana lebih fokus pada pelaku dan
meletakkan filosofi rehabilitasi sebagai dasar pemidanaan. Pemidanaan yang bersifat
individual meletakkan kepentingan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah korban
kejahatan menjadi terpinggirkan.
3.Kontradiksi Pidana mati dalam Hukum Pidana modern
Kecendrungan masyarakat dunia untuk menghapuskan pidana mati mendapat
dukungan dari banyak sarjana, diantaranya dari seorang peletak dasar hukum pidana
modern Beccaria. Beccaria dengan sumbangan terbesarnya yaitu konsepsi “punishment
should fit the crime” menentang pidana mati. Dikatakannya, bahwa tidak seorangpun
mempunyai hak alami untuk menyerahkan hidupnya sendiri. Pidana mati tidak mampu
mencegah kejahatan, pidana mati cendrung menunjukkan brutalitas dan kekerasan,
pidana mati merupakan langkah yang menyia-nyakan sumber daya manusia yang
menjadi modal negara. Pidana mati menggoncangkan sentimen moral pada umumnya.
25

Dukungan datang dari Van Hamel. Van Hamel menegaskan, bahwa negara yang kuat
tidak akan mengandalkan ancaman pidana (pidana mati) untuk mempertahankan
norma-norma yang ada. Hanya negara yang lemah yang memanfaatkan pidana mati
dalam hukum pidananya.26
25

Muladi, Op.Cit., hlm.29.
Hendarman Supandji, “Eksistensi Hukuman Mati dalam Proses Penegakkan Hukum di
Indonesia’, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. 4, No. 2 tahun2008, hlm.7.

26

Selanjutnya, Moderman mengatakan pidana mati bukanlah pidana, karena tidak
memenuhi seluruh kriteria yang disyaratkan bagi pidana. Pidana mati tidak seimbang
dengan kesalahan yang dibuat oleh pelaku; dengan dijatuhi pidana mati maka
kemungkinan memperbaiki diri dari pelaku kejahatan sudah tertutup sama sekali;
kepastian bahwa putusan hakim telah tepat dan benar, dan adil sulit untuk dijamin
sebab bagaimanapun hakim tetap seorang manusia; dengan eksekusi mati yang
dilakukan maka kemungkinan untuk meninjau kembali suatu putusan yang keliru sudah
tidak mungkin; putusan dan pelaksanaan pidana mati memiliki pengaruh yang tidak baik
bagi masyarakat.27
Demikian pula seorang kriminolog terkenal Thorsten Sellin menyatakan bahwa pidana
mati tidak dapat dibenarkan. Pidana mati tidak adil, karena berpijak pada pembalasan.
Adanya rasa takut untuk melakukan suatu perbuatan dengan adanya ancaman pidana
mati tidak dapat dibuktikan. Apalagi diketahui masih banyak jenis pidana lain yang dapat
dimanfaatkan untuk menggantikan sasaran yang ingin dicapai melalui pidana mati. Hal
paling penting yang harus diperhatikan adalah nilai pribadi dan martabat manusia yang
harus dihargai. Di samping itu adanya kekhawatiran terjadinya kesalahan dalam
penerapan pidana mati sangat mungkin terjadi. 28
Dari Indonesia Sudarto mengatakan bahwa manusia tidak berhak mencabut nyawa
orang lain. Dikhawatirkan bahwa penjatuhan pidana mati tidak dilandasi oleh pebuktian
yang akurat, sehingga dapat menimpa seseorang yang sebenarnya tidak bersalah.
Hukuman mati tidak tepat dipergunakan untuk mencegah kejahatan, karena nafsu tidak
dapat dibendung dengan ancaman. 29
Banyak lagi pendapat yang ingin menghapuskan pidana mati dari hukum pidana, namun
banyak juga sarjana yang berpendapat bahwa pidana mati merupakan bagian dari sanksi
pidana yang menjadi simbol keadilan. Kant mengatakan bahwa pidana merupakan
cermin keadilan, tuntutan kesusilaan. Seseorang dipidana karena telah melakukan
kejahatan, setiap orang harus menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan
balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena bilaman hal itu
terjadi maka masyarakat akan dipandang sebagai ikut andil dalam kejahatan yang
merupkan pengingkaran terhadap keadilan umum.30
Sementara itu Lombroso dan Garofalo mengatakan bahwa pidana mati merupakan
sarana mutlak yang ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak
mungkin dapat diperbaiki lagi.31 Sudah pantas bilamana sesuatu sudah tidak berharga
27

Sahetapy, Op.Cit., hlm. 57
Sahetapy, Op.Cit., hlm.112-113.
2929
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, (Jakarta : Aksara Persada, 1985), hlm. 101.
30
Muladi, Op. Cit., hlm. 11.
31
Hendarman Supandji, “Eksistensi Pidana Mati dalam Proses Penegakkan Hukum Pidana di
Indonesia”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa Vol IV, No. 2 tahun 2008, hlm. 7.
28

untuk dimusnahkan, demikian pula dengan seseorang yang telah melakukan kejahatan
dan dipandang tidak mungkin direhabilitasi maka sudah sepantasnya untuk dilenyapkan
(incapasitation).
Sarjana Indonesia Oemar Seno Adjie memiliki pendapat bahwa selama negara Indonesia
masih memperkuat diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam
bahaya, selama tatatertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir
yang tidak mengenal prikemanusian, ia masih memerlukan pidana mati.32
Dari dua kelompok sarjana yang berbeda pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa penyebab pidana mati menjadi kontradiktif adalah berkaitan dengan manfaat
dari pidana mati, kepercayaan masyarakat pada penegak hukum, dan perasaan
kemanusian.
4.Pidana mati dilihat dari teori pemidanaan
Pidana merupakan penderitaan yang dibebankan dengan sengaja pada seseorang yang
melakukan kejahatan oleh pejabat yang berwenang.33 Menjatuhkan penderitaan pada
seseorang adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat,
meskipun itu dilakukan oleh negara sekalipun. Tetapi keberadaan negara sebagai
lembaga yang bertanggungjawab untuk mejaga ketertiban mengharuskannya
mengambil langkah-langkah yang tepat. Pidana merupakan satu pilihan yang sulit, the
last resort dalam menanggulangi kejahatan.Hal inilah yang menyebabkan hukum pidana
dikatakan seperti pedang bermata dua, karena selain melindungi masyarakat juga
mencederai mereka yang diduga melakukan kejahatan.
Penjatuhan derita pada seseorang agar tidak dianggap salah menurut Hyman Gross
“seharusnya memiliki pembenaran”. Pembenaran pemidanaan diletakkan pada perlunya
pemidanaan.34 Perlu atau tidaknya pemidanaan diletakkan pada mengapa seseorang
harus dijatuhi pidana. Jadi tujuan dari pemidanaan tersebut dianggap sebagai dasar
pembenar pemidanaan. Pada dasarnya menurut Packer ada dua tujuan pemidanaan
yang didasari pada dua pandangan berbeda, yaitu pandangan Pembalasan dan
pandangan utilitarian. Pandangan pembalasan melihat bahwa pemidanaan adalah
benar karena orang harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Seseorang harus
menerima derita sebagai imbalan atas kesalahannya. Pandangan ini melahirkan teori
Retribution. Sedangkan pandangan utilitarian menolak pemidanaan bila tidak ada
manfaatnya.

32

Ibid, hlm. 8.
Mardjono Rekso diputro, Bahan Bacaan Wajib Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana pada
Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Universitas Indonesia, Buku I (Jakarta : Pusat Dokumentasi
Hukum Universitas Indonesia, 1983).
34
Ibid.
33

Pandangan utilitarian memunculkan dua aliran yaitu, Aliran Klasik dan Aliran Behavioral.
Aliran Klasik memberikan pembenaran pemidanaan atas dasar tujuan yang dimiliki
membuat takut calon pelanggar hukum (pemidanaan sebagai sarana penangkal). Teori
yang dihasilkan oleh pandangan ini adalah teori deterrence. Ada dua teori Deterrence,
yaitu Utilitarian Prevention dan Special Deterrence atau Intimidation. Sementara itu
dari Aliran Behavioral muncul Teori Behavioral. Ada dua teori Behavioral, yaitu
Behavioral Prevention : Incapacitation dan Behavioral Prevention : Rehabilitation. Teori
Behavioral : Incapasitation menentukan cara terbaik untuk menanggulangi kejahatan
adalah dengan jalan membuat pelaku tidak akan berprilaku jahat lagi. Sementara itu
teori Rehabilitasi membenarkan penjatuhan pidana dengan tujuan memperbaiki tingkah
laku manusia pelaku tindak pidana. 35
Berbagi teori yang berkembang dalam pemidanaan menurut Packer tidak seharusnya
dipisah-pisahkan secara ketat, tetapi harus terpadu. Pemidanaan tidak hanya bertujuan
untuk pencegahan tetapi sekaligus untuk pembalasan. Jadi Packer menganjurkan
pemidaan tersebut harus memiliki tujuan yang terpadu.36
Tujuan pemidanaan bilamana dikaitkan dengan eksistensi pidana mati, maka sudah
dapat dipastikan bahwa tujuan pemidanaan dilandasi oleh teori Retributive. Mereka
yang mengikuti paham pembalasan tidak mementingkan adanya konsekuensi dari
pemidanaan. Oleh Antony Duff mereka dianggap sebagai kaum non konsekualis. Kaum
non konsekualis melihat pemidanaan sebagai respon yang tepat untuk kejahatan
(approriete respon), salah benarnya suatu tindakan berdasarkan pada faktor
intrensiknya, tanpa memperhitungkan konsekuensinya. Penganut paham nonkonsekualis menekankan pidana dijatuhkan oleh karena seseorang telah melakukan
kejahatan. Tekanan pada perbuatan yang telah dilakukan sebagai alasan pemidanaan
menyebabkan mereka dipandang berpikir ke belakang (backward looking).37
Pidana mati tidak semata-mata dikaitkan dengan mereka yang berpandangan bahwa
pemidanaan merupakan pembalasan atas suatu kejahatan, tetapi juga merupakan
suatu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan. Pemidanaan dikaitkan dengan
pencegahan kejahatan baik yang bersifat umum yang mengharapkan agar orang lain
tidak berani melakukan perbuatan tersebut karena konsekuensi dari perbuatan tersebut
sangat menderitakan. Demikian juga pencegahan dapat dilakukan dengan keras yaitu
dengan membuat pelaku kejahatan tidak lagi akan mampu melakukan perbuatan
tersebut (incapasitation). Hal ini menunjukkan bahwa pidana mati juga merupakan
bagian dari pola pikir ke depan (forward looking) yang meletakkan dasar pembenaran
pemidanaan pada konsekuensi positif yang dihasilkan. Mereka yang menganut cara
35

Ibdi.
Ibid.
37
Antony Duff, David Garland, A Reader on Punishment, (New York : Oxford University Press,
1995), hlm.16-17.
36

pandang ini dalam memberikan pembenaran pemidanaan dikatakan penganut paham
konsekualis.38
Penganut paham konsekualis juga dilebelkan pada
mereka yang meletakkan
pembenaran pemidanaan sebagai upaya untuk merehabilitasi pelaku kejahatan.
Rehabilatasi terhadap pelaku kejahatan didasarkan pada cara untuk mengatasi masalah
penyakit yang diderita seseorang; orang tersebut harus dirawat (treatment), maka
dengan pembinaan tersebut pelaku kejahatan akan menyadari kesalahannya dan tidak
akan melakukan kembali perbuatannya.39 Teori Rehabilitasi yang merupakan bagian dari
pandangan behavioral ini secara jelas menolak keberadaan pidana mati dalam hukum
pidana. Pidana mati akan menghilangkan kesempatan seseorang dibina agar menjadi
lebih baik dan tidak akan mengulangi kesalahan berikutnya.
5.Pidana Mati dalam Hukum Pidana Indonesia
Hukum pidana Indonesia sampai saat ini masih menggunakan perundang-undangan
peninggalan Belanda. KUHP merupakan terjemahan dari WvSNI (Wet Boek van
Straftrecht) yang resmi mulai berlaku di Indonesia pada 1 Januari tahun 1918. Ketentuan
ini masih tetap dipertahankan keberlakuannya berdasarkan UU No. 1 tahun 1946
dengan sebutan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau disingkat KUHP. Ketentuan
ini kemudian ditambahkan dengan UU No. 73 tahun 1958 sehingga KUHP dapat berlaku
di seluruh wilayah negara Indonesia.
KUHP sebagai salah instrumen hukum yang merupakan sarana penal dalam
penanggulangan kejahatan masih memberikan posisi penting pada jenis pidana mati.
Walaupun sebenarnya negara Belanda sebagai asal dari undang-undang ini telah
menghapuskan pidana mati mulai tahun 1870. Pidana mati tidak dihapuskan secara
menyeluruh; pidana mati masih tetap dipertahankan demi ketertiban umum, namun
dengan catatan hanya diterapkan sebagai sarana terakhir, dalam keadaan luar biasa,
dan dilaksanakan dengan kewenangan darurat.40 Belanda kemudian menghapuskan
pidana mati untuk seluruh kejahatan pada tahun 1982.41
Dipertahankannya pidana mati sampai sekarang di Indonesia, tidak terlepas dari
kepentingan pemerintah Belanda terhadap tanah jajahannya. Sahetapy berdasarkan
tulisan-tulisan sarjana Belanda tentang perlu tidaknya pidana mati dipertahankan di
Hindia Balanda, menyimpulkan adanya dua alasan pidana mati tersebut dipertahankan,
yaitu alasan rasial dan alasan ketertiban umum. Alasan rasial, adalah alasan yang pada
dasarnya melihat Bangsa Belanda lebih superior dibanding bangsa Pribumi. Bangsa
pribumi tidak dapat dipercaya dalam memberikan kesaksian, mudah dibeli, dan suka
38

Ibid.
Muladi, Op.Cit., 150.
40
Sahetapy, Op.Cit., hlm. 27.
41
Hendarman Supanji, Op.Cit. hlm. 5
39

berbohong. Sedangkan alasan ketertiban umum dilandasi pendapat bahwa wilayah
Hindia Beland sangat luas dan penduduknya terdiri dari berbagai ragam suku bangsa.
Tertib hukum di Hindia Belanda sangat mudah tergangu, sehingga keadaan sangat
mudah menjadi kritis dan berbahaya bila dibandingkan dengan di Belanda.42
Pidana mati dalam KUHP merupakan bagian dari pidana pokok. Pasal 10 KUHP
meletakkan Pidana mati sebagai pidana pidana yang terberat. Pidana mati dalam KUHP
dibatasi hanya untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu saja, yaitu :
1. Pasal 104 KUHP : tindak pidana makar
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP: mengajak neg ara asing untuk menyerang Indonesia
3. Pasal 124 ayat (3) KUHP: memberikan pertolongan pada musuh saat Indonesia
dalam keadaan perang
4. Pasal 140 ayat (4) : membunuh kepala negara sahabat
5. 340 KUHP : pembunuhan berencana
6. 365 ayat (4) pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya yang
mengakibatkan seseorangluka berat atau meninggal dunia
7. Pasal 124 bis KUHP : Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara,
pemberontakan dan sebagainya anatara pekerja-pekerja dalam perusahaan
negara
8. Pasal 127 dan 129 KUHP : dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan
keperluan angkatan perang
9. Pasal 368 ayat (2) KUHP : pemerasan dengan pemberatan
10. Pasal 444 : pembajakan yang mengakibatkan kematian
11. Pasal 479 k ayat (2) : pembajakan pesawat udara yang mengakibatkan mati
obyek dan hancurnya pesawat udara
12. Pasal 472 o ayat (2) merujuk pada Pasal 479 l, Pasal 479 m, Pasal 479 n yakni
perbuatan kekerasan terhadap orang/ pesawat atau menempatkan bom di
pesawat udara mengakbatkan matinya obyek atau rusaknya pesawat udara
dalam dinas.
Selain dalam KUHP dalam tindak pidana khusus juga dikenal pidana mati. Ada beberapa
tindak pidana khusus yang mengatur tentang pidana mati sebagai sanksi yang dapat
diancamkan, yaitu :
1.
2.
3.
4.

42

Undang-undang No. 12 tahun 1951 tentang Senjata Api, dalam Pasal 1 ayat 1
Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dalam Pasal 59 ayat (2)
Undang-undang tentang Pengadilan HAM dalam Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3)
Undang-undang No. 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 tahun 2001 dalam
Pasal 2 ayat (2)

Shatapy, Op.Cit., hlm. 37-38.

5. Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Pasal
6, 8, 9, 10, 14, 15, 16.
6. Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam Pasal 113 ayat (2),
Pasal 114 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2)

Selain adanya ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan keberadaan pidana
mati juga didukung oleh lembaga peradilan. Hal ini dapat dilihat dari putusan lembaga
peradilan yang menghukum terpidana dengan pidana mati. Beberapa diantara mereka
bahkan telah dieksekusi, sperti : terpidana pelaku G-30 S PKI tahun 1965, Kusni Kasdut
dan Oesin , Hengky Tupanwael pada tahun 1970an, Kasus Tibo, Dominggus dan Marinus
tahun 2000-2001, dan terpidana Bom Bali I, yaitu Amrozi, Ali Gufron, dan Imam
Samudra.43 Selanjutnya adalah kasus-kasus narkotika, yaitu Edith Yunita Sianturi dan
Rani Adriyani, disusul oleh Andrew Chan, Myuran Sukumuran, dan Scoth Anthony Rush
warga negara Australia yang terkait dengan kasus Bali Nine. Sekarang masih menunggu
beberapa terpidana mati terutama terkait dengan narkotika untuk dieksekusi.
Lembaga Peradilan lain yaitu Mahkamah Konstitusi juga mendukung keberadaan
hukuman mati dalam hukum Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari putusanya No. 3/PUU –
V/2007 yang menolak permohonan Scoth Anthony Rush yang menghendaki bahwa
penerapan Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3)
huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf, dan Pasal 3 Undang-undang
No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28 A dan Pasal 28 I
ayat (1) UUD 1945, karena telah merugikan hak pemohon atas hak hidup.
Diantara pertimbanganya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pidana mati
mendapat dukungan dari instrumen internasional Convention Against Illicit traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic substance 1988 dalam Pasal 3 ayat 6 Konvensi,
mengajak negara-nagara peserta untuk dapat memaksimalkan efektivitas penegakan
hukum dalam kaitan dengan tindak pidana narkotika dan psikotropika dengan
memperhatikan kebutuhan untuk mencegahkejahatan dimaksud. Hal ini juga didukung
oleh ketentuan Pasal 24, “a party may adopt more strict of severe measures than those
provided by this Convention if, in its opinion, such measures are desirable or necessary
for the prevention or suppression of illicit traffic”
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa
hukuman mati masih tetap hidup di Indonesia. Indonesia menganggap bahwa hukuman
mati tidak melanggar HAM atau tidak bertentangan dengan hak hidup. Hal ini sesuai
dengan ICCPR yang masih memberikan peluang keberadaan hukuman mati sepanjang
dibutuhkan untuk menanggulangi kejahatan yang serius. Terutama berkaitan dengan

43

Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Pradigma Pidana, (Bandung : Lubuk Agung, 2011), hlm. 103-104.

kejahatan narkotika yang dipersamakan dengan the most serious crime sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR.
6.Pidana mati dalam Ius Constituendum
KUHP yang telah berlaku lebih dari seratus tahun di Indonesia secara filosofis, sosiologis,
dan praktis sudah tidak dapat dipertahuankan lagi. KUHP merupakan peninggalan
pemerintah jaajahan Belanda sehiingga filosofi yang mendasari berbeda dengan filosofi
yang dianut oleh bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki kultur budaya sendiri
yang berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga KUHP yang mulai
berlaku pada jaman penjajahan telah tidak dapat dipertahankan karena tidak dapat
mengantisipasi berbagai perkembangan kejahatan dalam bad modern ini. KUHP adalah
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, sehingga dengan keterbtasan kemampuan
penegak hukum akan bahasa Belanda maka dapat dipastikan substansi yang sebenarnya
ada dalam KUHP tidak dapat ditangkap dengan baik. Adanya terjemahan KUHP yang
berbeda-beda satu dengan yang lain, sehingga ada berbagai penafsiran yang
berkembang dallam menangkap makna dari istilah-istilah hukum dalam bahasa
Belanda.44
Ketertinggalan hukum pidana ini telah memunculkan kebijakan untuk melakukan
pembaharuan. Pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi seharusnya
dilakukan dengan mengedepankan
pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai.
45
Pendekatan kebijakan dalam pemidanaan mengharuskan penentuan jenis pidana
(straaf soort), berat ringannya pidana (straaf maat), dan pelaksanaan pidana (straf
modus) dilakukan secara rasional dengan memperhatikan kebijakan sosial, tujuan dan
fungsi serta efektivitasnya. Selain itu juga memperhatikan pendekatan nilai, baik nilainalai yang hidup dalam masyarakat, nilai-nilai keagamaan, keadilan sosial, nialai-nilai
global terutama yang humanis.
Rancangan KUHP ternyata tetap mempertahankan pidana mati sebagai salah satu jenis
pidana dalam KUHP. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 66 Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana 2014 (RKUHP 2014), “Pidana mati merupakan pidana pokok yang
bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”. Dalam Pasal 87
ditentukan,”Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk
mengayomi masyarakat”.

44

Sudarto, Hukum dan Pembangunan.
Barda nawawi Arief, Bahan Kuliah S2 tentang Pembajharuan Hukum Pidana. Pendekatan
kebijakan menekankan bahwa pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan
rasional (scientific approach), pendekatan Kebijakan sosial (pembangunan nasional), pendekatan
ekonomi, memperhatikan Tujuandan dan fungsi, serta efktivitas. Sedangkan pendekatan nilai,
menekankan betapa pentingnya memperhatikan nilai-nilai nasional, nilai-nilai hukum yang hidup
(kearifan lokal), dan tentu saja memperhatikan nilai-nilai global (internasional).

45

Pidana mati tetap menjadi bagian dari pidana pokok, sehingga dapat dijatuhkan pada
mereka yang melakukan tindak pidana tertentu yang diancam dengan hukuman mati,
namun pidana mati dalam ketentuan ini bersifat khusus. Hal ini karena keberadaannya
diancamkan secara alternatif, artinya selalu didampingi pidana pokok yang lain (tidak
berdiri sendiri) dan baru diterapkan manakala pidana pokok yang lain dipandang tidak
mampu dipergunakan lagi untuk menanggulangi kejahatan.46
Kekhususan pidana mati juga dapat diketahui dari pelaksanaannya. Pelaksanaan pidana
mati berdasarkan Pasal 89 RKUHP 2014 :
(1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh)
tahun, jika:
1. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
2. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
3. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan
4. ada alasan yang meringankan.
(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi
pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan
keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan
hak asasi manusia.
(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki
maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Demikian pula dalam Pasal 90 RKUHP 2014 ditentukan, “Jika permohonan grasi
terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun
bukan karena terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi
pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”.

46

Dasar perimbangan dikeluarkannya pidana mati dari komposisi pidana pokok adalah karena
pidaa mati bukan merupakan sarana untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki
individu/masyarakat. Pidana mati merupakan sarana terakhir dan suatu perkecualian. Hal ini
diidentikkan dengan “amputasi dalam oprasi” dalam ilmu kedokteran yang pada hakekatnya
bukan merupakan sarana penyembuhan. Pidana mati merupakan pidana yang dijatuhkan
sebagai alternatif terakhir untuk mengayomi masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan juga
menunjukkan bahwa lebih banyak masyarakat yang menghendaki pidana mati dipertahankan
sebagai sarana terakhir melindungi masyarakat dari penjahat sadis yang sukar untuk diperbaiki
(56,63 % responden mendukung).

Dari ketentuan di atas terlihat adanya hal yang berbeda dengan KUHP terkait dengan
pelaksanaan pidana mati. Terpidana dapat diberikan masa percobaan selama 10
(sepuluh) tahun, bilamana reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan
terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang
meringankan. Bilamana persyaratan tersebut terpenuhi, maka pidana mati dapat
berubah menjadi pidana seumur hidup, atau pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Ketentuan ini tidak berlaku bilamana terpidana dalam masa percobaan tidak
menunjukkan sikap yang terpuji. Dalam hal ini Jaksa Agung akan memerintahkan
dilaksanakannya eksekusi.
Kekhususan lain dalam hal pelaksanaan pidana mati jaga dikenal dalam hal ditolaknya
grasi. Bilamana grasi ditolak oleh Presiden, namun dalam jangka waktu 10 tahun tidak
dilaksanakan eksekusi bukan karena melarikan diri, maka secara otomatis pidana mati
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut akan berubah menjadi pidana
seumur hidup
Kekhususan pidana mati dalam RKUHP 2014 ini tidak terlepas dari tujuan pemidanaan
yang diatur dalam Pasal 54 RKUHP 2014 :
(1) Pemidanaan bertujuan:
1.

mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna;
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia .
Tetap diancamkannya pidana mati dalam RKUHP 2014 diharapkan memiliki aspek
pencegahan demi melindungi masyarakat dari kejahatan yang serius. Berbagai bentuk
kejahatan yang dipandang oleh masyarakat sangat membahayakan kehidupan seperti
tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme,tindak pidana yang berhubungan
dengan HAM, dan beberapa tindak pidana di bidang perekonomian yang dipandang
sangat jahat.
Pidana mati dalam RKUHP 2014 tidak semata-mata demi tujuan pencegahan, tatapi juga
berupaya untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna. Hal ini nampak dari adanya masa percobaan
selama 10 (sepuluh) tahun sebelum pidana mati tersebut dilaksanakan. Dengan adanya
masa percobaan berati terpidana mati dapat kesempatan untuk dibina, sehingga sangat
mungkin untuk memperbaiki diri dan dapat diterima kembali oleh masyarakat,
walaupun dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Tujuan pemidanaan yang bersifat pencegahan dan rehabilitasi tersebut menandakan
bahwa pidana mati dalam RKUHP mendatang mengandung tujuan pemidanaan yang
integratif. Eksistensi pidana mati dalam RKUHP 2014 telah dikaji melalui pendekatan
kebijakan maupun pendekatan nilai. Hal ini terlihat dari hasil-hasil penelitian yang
dilakukan oleh para sarjana dan dilakukannya harmonisasi/ sinkronisasi/ konsistensi
pembangunan/pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosio
filosofik dan sosio kultural.
Pendekatan kebijakan menunjukkan bahwa pidana yang kejam tidak semata-mata
sebagai sarana pembalasan , tetapi juga untuk sarana pencegahan, baik agar seseorang
takut untuk melakukan kejahatan ataupun agar seseorang tidak mampu melakukan
kejahatan lagi. Namun demikian kajian ilmiah juga menunjukkan pendapat tersebut
tidak seluruhnya benar, karena
ternyata masih tetap munculnya residivisme
menandakan bahwa walaupun seseorang telah dipidana tetap saja dapat melakukan
kejahatan lagi. Demikian pula adanya pidana yang kejam tidak berarti tidak ada orang
yang melakukan kejahatan tersebut.
Selain itu perkembangan aliran modern dalam hukum pidana yang melihat secara
konkrit bahwa seseorang melakukan kejahatan karena pengaruh watak pribadinya,
faktor-faktor biologis, ataupun di luar dirinya, yaitu faktor sosial kemasyarakatan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka penanggulangan kejahatan adalah dengan jalan
memperbaiki kondisi penyebab tersebut. Hal ini yang mengarahkan bahwa seseorang
yang melakukankejahatan perlu mendapatkan treatment atau tindakan. Sehingga
pemidanaan tidak saja berdasarkan alasan berdasarkan berat/ringannya kejahatan yang
dilakukan, tetapi juga melihat pada pelakunya. Perhatian pada pelaku ini berkaitan
dengan mengapa kejahatan tersebut dilakukan, bagaimana dampak dari pemidanaan
yang akan dijatuhkan, dan juga adakah upaya lain/pidana lain yang lebih tepat untuk
melakukan perbaikan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
Sementara itu tetap dipertahankannya pidana mati yang disertai dengan pelaksanaan
yang bersifat khusus, bila dilihat dari pendekatan nilai menandakan diberikannya
terpidana kesempatan untuk direhabilitasi. Hal ini menunjukkan KUHP mendatang
menjunjung nilai keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan
individu secara bersamaan (mengangkat nilai-nailai tradisional masyarakat indonesia
yang bersifat monodualistik). Hal ini juga sesusi dengan perkembangan modern hukum
pidana yang tidak saja memperhatikan kejahatan tetapi juga memperhatikan pelaku
kejahatan dalam pemidanaan, dan korban tindak pidana (daad,dader straftrecht and
victim).
Diperhatikannya pelaku kejahatan dalam pidana mati juga menunjukkan bahwa hukum
pidana telah menerima nilai-nilai masyarakat internasional yang cenderung
mengahapuskan pidana mati. KUHP mendatang walaupun secara de jure tidak
mengahapuskan pidana mati tetapi secara defacto berusaha untuk menekan sehingga
eksekusi terhadap terpidana mati tidak dilakukan. Konsep pidana mati seperti ini
menekankan modifikasi pidana mati dari sisi pelaksanaan pidana (straft modus), yaitu

pada penundaan pelaksanaannya, bukan pada penjatuhannya. Jadi merupakan pidana
mati tertunda (supended death sentence). 47
7.Penutup
Pidana mati menjadi bagian dari sejarah pemidanaan yang tidak terpisahkan dari
berbagai bentuk pidana yang lain. Pidana mati telah menjadi pertanda bahwa hukum
pidana merupakan bagian dari instrumen hukum yang mempunyai ciri berbeda dari
hukum yang lainnya, sehingga berfungsi sebagai the last resort. Oleh karenanya
walaupun mendapat tantangan yang berat, adanya keinginan untuk menghapuskan
pidana mati dalam kehidupan hukum di dunia, tiidak seharusnya pidana mati tersebut
secara tergesa-gesa dihapuskan. Namun eksistensi pidana mati dalam KUHP mendatang
tidak seharusnya menutup kesempatan terpidana mati untuk mendapatkan pembinaan
dan pada akhirnyana pidana mati tersebut tidak akan dilaksanakan.
Senajutnya dalam upaya merealisasi pidana mati dalam KUHP maka sudah seharusnya
pidana mati hanya diancamkan terhadap perbuatan-perbuatan yang benar-benar tidak
dapat diterima masyarakat (menimbulkan kerugian yang luar biasa, kerugian yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menghancurkan kehidupan masyarakat
secara luas). Demikian pula harus memperhatikan pelakunya, pelaku adalah seseorang
yang sangat sulit untuk diperbaiki dan cenderung dapat mempengaruhi orang lain untuk
melakukan kejahatan-kejahatan berikutnya.

47

Barda Nawawi II, hlm. 230-232. Ketentuan Pidana mati RKUHP merupakan hasil studi banding
dengan KUHP Cina. KUHP Cina Pasal 48,50,51.

DAFTAR PUSTAKA

Pasal 88
(1) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu
tembak.
(2) Pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di
muka umum.
(3) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda
sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
(4) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana
ditolak Presiden.

Paragraf 2
Pedoman Pemidanaan
Pasal 55
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
1. kesalahan pembuat tindak pidana;

2. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
3. sikap batin pembuat tindak pidana;
1. tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
2. cara melakukan tindak pidana;
3. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
4. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
5. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
6. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
7. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
8. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada
waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan
Pasal 65
(1) Pidana pokok terdiri atas:
1. pidana penjara;
2. pidana tutupan;
3. pidana pengawasan;
4. pidana denda;