PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN FISIKA DASAR BERBASIS PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN METAKOGNISI DAN PEMAHAMAN KONSEP MAHASISWA.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Meningkatkan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak
yang terlibat dalam pendidikan, termasuk dosen yang merupakan agen sentral
pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Dosen merupakan salah satu yang paling
berperan dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas yang dapat
bersaing di jaman pesatnya perkembangan teknologi. Dosen hendaknya
menggunakan berbagai pendekatan, strategi, metode dan model pembelajaran
dalam setiap pembelajaran yang dapat memudahkan mahasiswa memahami materi
yang diajarkan.
Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan dengan variasi pendekatan,
strategi, metode, dan model pembelajaran bertujuan untuk menghasilkan lulusan
yang kompeten dan cerdas sehingga dapat menerapkan ilmu yang didapat dalam
kehidupan sehari-hari dan teknologi. Hal ini hanya dapat tercapai apabila
mahasiswa

terlibat

langsung


dalam

proses

pembelajaran

dan

mampu

mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Variasi pendekatan, strategi,
metode, dan model pembelajaran juga memberi kemudahan kepada dosen dalam
menyajikan pengalaman belajar, sesuai dengan prinsip belajar sepanjang hidup
yang mengacu pada empat pilar pendidikan universal, yaitu belajar untuk
mengetahui (learning to know), belajar dengan melakukan (learning to do),

1

belajar untuk hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar

menjadi diri sendiri (learning to be). Untuk itu dosen perlu meningkatkan mutu
pembelajarannya, dimulai dengan rancangan pembelajaran yang baik dengan
memperhatikan tujuan, karakteristik materi yang diajarkan, dan sumber belajar
yang tersedia. Kenyataannya, masih banyak ditemui proses pembelajaran yang
kurang bermakna, tidak efisien dan kurang mempunyai daya tarik sehingga hasil
belajar yang dicapai tidak optimal. Hal ini juga terjadi di salah satu perguruan
tinggi di Sumatera Utara, khususnya dalam perkuliahan Fisika Dasar.
Fisika Dasar merupakan salah satu matakuliah wajib bagi mahasiswa calon
guru fisika di LPTK dan matakuliah yang diberikan di semester pertama karena
matakuliah tersebut merupakan syarat untuk matakuliah selanjutnya, seperti
Mekanika, Gelombang, Fisika Modern, Fisika Statistik, Fisika Kuantum, Fisika
Inti, Elektronika. Matakuliah ini juga mendasari pengembangan rekayasa, desain,
perencanaan, teknologi dan mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin
serta mengembangkan daya pikir manusia. Namun demikian, Fisika Dasar
merupakan salah satu matakuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa. Hal ini
dikarenakan Fisika Dasar membutuhkan matematika yang rumit (Nashon, dalam
Campbell, 2007); materi yang terlalu banyak, bergantung pada buku teks, abstrak
dan kompleks (Sheppard dan Robin, dalam Campbell, 2007); membutuhkan
kegiatan laboratorium (Heller dan Heller, 1999); dan sering terjadi miskonsepsi
(Anderson dan Nashon, 2006). Hal ini juga dialami oleh mahasiswa pada salah

satu universitas di Sumatera Utara.

2

Berdasarkan studi pendahuluan, hasil belajar mahasiswa ditinjau dari
kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep pada matakuliah Fisika Dasar
masih rendah. Rendahnya pemahaman konsep mahasiswa sejalan dengan temuan
penelitian sebelumnya (Saleh 2011; Gaigher, et al., 2007; dan Baser, 2006).
Rendahnya perolehan hasil belajar menunjukkan adanya indikasi terhadap
rendahnya kinerja belajar mahasiswa dan kurangnya kemampuan dosen dalam
mengelola pembelajaran yang bermakna.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, proses belajar mengajar di
kelas cenderung bersifat analitis dengan menitik-beratkan pada penurunan rumusrumus fisika melalui analisis matematis. Mahasiswa berusaha menghafal rumus
namun kurang memaknai untuk apa dan bagaimana rumus itu digunakan.
Metode ceramah dan tanya jawab merupakan metode yang biasa
digunakan oleh dosen dengan urutan menjelaskan, memberi contoh, bertanya,
latihan, dan memberikan tugas. Dosen kurang memvariasikan

metode


pembelajaran yang dilakukan berdasarkan karakteristik materi pelajaran yang
diajarkannya. Berdasarkan hasil wawancara terhadap mahasiswa, metode ceramah
yang digunakan dalam perkuliahan Fisika Dasar menyebabkan mahasiswa terpaku
mendengarkan dan situasi pembelajaran diarahkan pada learning to know.
Dosen lebih berorientasi menuntaskan materi perkuliahan yang terlalu
banyak berdasarkan buku teks (diktat). Dosen biasanya mengacu pada satu buku
tertentu (diktat) dalam penyampaian materi, dimana urutan materi yang disajikan
oleh dosen dalam pembelajaran sesuai dengan urutan materi yang terdapat dalam
diktat yang menjadi pegangan dosen dan mahasiswa. Dosen-dosen, selanjutnya

3

memberikan latihan soal-soal yang diambil dari buku tersebut. Soal-soal yang
dilatihkan umumnya berupa soal-soal yang lebih menekankan manipulasi secara
matematis bukan pemahaman dan kemampuan berpikir sehingga mahasiswa yang
kurang mampu dalam matematika akan merasa sulit untuk belajar fisika dan soalsoal yang dilatihkan sangat jauh dari dunia nyata mahasiswa sehingga
pembelajaran Fisika Dasar menjadi kurang bermakna bagi mahasiswa itu sendiri.
Hasil analisis terhadap silabus dan RPP yang digunakan dosen-dosen
pengajar Fisika Dasar menunjukkan bahwa sangat sedikit indikator kemampuan
metakognisi dan pemahaman konsep yang muncul dalam indikator hasil belajar.

Indikator kemampuan metakognisi ini dibuat secara tidak direncanakan dengan
sengaja, sedangkan indikator pemahaman konsep yang paling sering digunakan
adalah merepresentasikan soal-soal fisika ke dalam angka dan menjelaskan
konsep fisika tertentu. Temuan-temuan lainnya yang berkaitan dengan praktikum,
Fisika Dasar, pelaksanaan praktikum selama ini bersifat verifikasi. Mahasiswa
hanya dituntut untuk tertib mengikuti langkah-langkah yang ada

di lembar

kegiatan mahasiswa (LKM) dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran prinsip
atau teori melalui fakta-fakta tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk
merancang praktikum sendiri.
Fakta berdasarkan hasil studi pendahuluan menunjukkan masih perlu
diupayakan pembenahan perkuliahan Fisika Dasar. Hendaknya pembelajaran
dirancang dengan memperhatikan tujuan, karakteristik materi yang diajarkan,
kemampuan mahasiswa, dan sumber belajar yang tersedia. Mahasiswa seharusnya

4

diberi kesempatan untuk menggali pemahaman, mengembangkan kemampuan

berpikir dan keterampilan proses sains termasuk penyelidikan ilmiah.
Hal ini sesuai dengan National Science Teacher Association (NSTA) yang
menyatakan bahwa guru fisika harus memiliki pengetahuan yang luas dan kuat
untuk: (1) Memahami hakekat dan peran inkuiri ilmiah dalam fisika serta
menggunakan

keterampilan-keterampilan

dan

proses-proses

inkuiri;

(2)

Memahami fakta-fakta fundamental dan konsep-konsep utama dalam fisika; (3)
dapat membuat jalinan konseptual dalam disiplin fisika sendiri maupun antar
disiplin sains, dan (4) Mampu menggunakan pemahaman dan kemampuan ilmiah
bila berhadapan dengan isu-isu personal dan sosial (National Research Council,

2000).
Dosen LPTK merupakan salah satu komponen yang berperan dalam
meningkatkan mutu pendidikan calon guru. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan
di lapangan, bahwa apa yang dipelajari mahasiswa sangat dipengaruhi oleh cara
mereka diajar oleh dosennya (National Research Council, NRC, 1996). Lebih
lanjut NRC menyatakan bahwa dosen yang efektif akan menciptakan lingkungan
yang memungkinkan dosen dan mahasiswa bekerja bersama sebagai pebelajar
yang aktif. Mahasiswa belajar dengan pengalaman langsung dengan sumber
belajar, dosen belajar memahami bagaimana mahasiswa yang berbeda dalam
minat, kemampuan, dan pengalaman menjadi senang belajar sains dan belajar
bagaimana dosen memberikan dukungan dan bimbingan yang efektif pada
mahasiswanya.

5

Cara mengajar atau pengetahuan pedagogis dosen tidak bisa dipisahkan
dari konten materi yang diajarkan karena apa yang dipelajari mahasiswa sangat
dipengaruhi oleh cara mereka diajar oleh dosennya. Shulman (dalam Garritz,
2010) menyatakan bahwa pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogis harus
dipadukan


dalam

pembelajaran

untuk

menciptakan

pengetahuan

baru

(pedagogical content knowledge, PCK). Oleh karena itu, PCK sangat penting
dalam proses pembelajaran di kelas karena mahasiswa akan lebih mudah belajar
dan mencontoh apa yang dialaminya daripada membuat sendiri. Pengalaman
langsung yang diperoleh mahasiswa akan diterapkan dan dikembangkan di
lapangan ketika mereka sudah menjadi guru sehingga mereka menjadi lebih
kreatif dan inovatif dalam mengembangkan ilmunya.
Hal ini sesuai dengan Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang standar

kompetensi profesional, salah satunya guru harus kreatif dan inovatif dalam
penerapan dan pengembangan bidang ilmu fisika dan ilmu-ilmu terkait.
Kompetensi ini dielaborasi lebih lanjut dalam Permendiknas nomor 41 tahun 2007
tentang standar proses, bahwa dalam kegiatan elaborasi, dosen memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk dapat memahami, merancang,
memecahkan masalah, mengetahui bagaimana cara dan mengapa melakukan,
menganalisis, memonitor, mengevaluasi, dan mengembangkan pemahaman
konsepnya. Standar tersebut menunjukkan pentingnya kemampuan metakognisi
dikembangkan kepada peserta didik.
Metakognisi adalah pengetahuan, kesadaran, dan kendali atas proses
kognisi (Matlin, 2003; 2009; Baird, et al., dalam Thomas et al., 2008; Flavel,

6

dalam Malone, 2007a; Simon dan Brown, dalam Desoete et al., 2001; Anderson et
al., 2001;

Marzano et al., 1988). Simon dan Brown (dalam Desoete et al., 2001)

membagi kemampuan metakognisi menjadi dua komponen, yaitu: pengetahuan

metakognisi

dan

keterampilan

metakognisi.

Pengetahuan

metakognisi

didefinisikan sebagai pengetahuan dan pemahaman pada proses berpikir.
Keterampilan metakognisi didefinisikan sebagai pengendalian pada proses
berpikir. Tiga komponen pengetahuan metakognisi: pengetahuan deklarasi,
prosedural, dan kondisional. Empat komponen keterampilan metakognisi:
memprediksi, merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi.
Pengembangan kemampuan metakognisi dalam pembelajaran merupakan
suatu upaya yang sangat penting dilakukan. Hal ini sesuai dengan salah satu
tujuan dari pendidikan tinggi, yaitu mentransformasikan dan mengembangkan

kemampuan mahasiswa, termasuk untuk merancang apa yang akan dilakukan,
melaksanakan apa yang sudah direncanakan, memonitor dan mengevaluasi apa
yang sedang dan sudah dilakukan, sehingga mereka menjadi kritis, kreatif,
inovatif, mandiri, percaya diri, dan bertanggung jawab (Peraturan Pemerintah
nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan).
Pentingnya pengembangan kemampuan metakognisi dalam pembelajaran
telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Kipnis dan Hofstein, 2007; Facione et al.,
dalam Tan, 2004; Hollingworth dan McLoughlin, 2002; dan Flavell, dalam
Winert dan Kluwe, 1987). Menurut Kipnis dan Hofstein (2007), bahwa
metakognisi merupakan

suatu komponen penting dalam pembelajaran sains

karena proses-proses metakognisi memberikan pelajaran yang penuh arti,

7

pengembangan

metakognisi akan membuat siswa mampu mempelajari ilmu

pengetahuan yang diminati menjadi penting di masa mendatang, dan membentuk
siswa yang mandiri. Sementara itu, Facione et al., (dalam Tan, 2004) menyatakan
bahwa metakognisi perlu dikembangkan agar peserta didik

dapat menjadi

pemikir-pemikir kritis yang selalu berfikir dalam menerapkan suatu motivasi
internal untuk menjadi sadar, ingin tahu, teratur, penuh analisis, percaya diri,
toleransi, dan bertanggung-jawab. Hal senada juga dikatakan oleh Flavell (dalam
Weinert dan Kluwe, 1987), yang menyarankan bahwa perguruan tinggi yang baik
harus menjadi tempat ideal bagi pengembangan metakognisi, dengan alasan
bahwa begitu banyak pembelajaran kesadaran diri akan berlangsung dalam proses
pembelajaran. Di

perguruan tinggi, mahasiswa mempunyai

kesempatan

berulangkali untuk memonitor dan mengatur kognisi mereka, memiliki
pengetahuan metakognisi yang begitu banyak serta berkesempatan lebih untuk
memperoleh keterampilan metakognisi.
Flavell lebih lanjut menyatakan bahwa metakognisi peserta didik perlu
dikembangkan dengan alasan sebagai berikut: (1) pemikiran peserta didik dapat
salah serta cenderung keliru, dan dalam keadaan ini membutuhkan pemonitoran
dan pengaturan diri yang baik; (2) peserta didik

harus mampu berkomunikasi,

menjelaskan, dan memberikan alasan yang jelas tentang pemikirannya kepada
peserta didik lain dan juga pada dirinya sendiri, aktivitas ini tentu saja
membutuhkan metakognisi; (3) untuk bertahan dan berhasil dengan baik, peserta
didik perlu merencanakan masa depan dan secara kritis mengevalusi rencana-

8

rencana yang lain; dan (4) jika peserta didik

harus membuat keputusan yang

berat, maka akan membutuhkan keterampilan metakognisi.
Metakognisi dapat dibangun ketika mahasiswa melaksanakan pemecahan
masalah (problem solving). Selama proses problem solving, kesadaran kognisi
mahasiswa dapat ditumbuhkan karena memberikan arahan agar mahasiswa
bertanya pada dirinya apakah memahami apa yang sedang dipelajari atau
dipikirkan. Mahasiswa dipandu untuk dapat menyadari apa yang diketahui dan
apa yang tidak diketahui serta bagaimana
perencanaan

pendekatan

pemecahan

pemecahan masalahnya, membuat
masalah,

membuat

tahap-tahap

pemecahannya, memberi alasan mengapa melakukan pemecahan masalahnya
demikian, memonitor proses pemecahan masalah dan kemajuan ke arah tujuan
saat melaksanakan rencana, dan mengevaluasi apa yang sudah dilakukan. Hal ini
sesuai dengan Flavell (dalam Winert dan Kluwe, 1987) yang menyatakan bahwa
pembelajaran melalui upaya penyadaran dan pengendalian proses berpikir
mahasiswa

melalui

problem

solving

merupakan

pembelajaran

dengan

pengembangan metakognisi. Hal ini juga didukung oleh Hollingworth dan
McLoughlin (2002) yang menyatakan bahwa metakognisi dapat dikembangkan
dalam suatu lingkungan pembelajaran problem solving. Pembelajaran ini
menawarkan dan melatih strategi problem solving yang membuka peluang
mahasiswa untuk memonitor, mengoreksi dan menilai strategi problem solving
mereka sendiri.
Kemampuan metakognisi yang dimiliki memungkinkan mahasiswa dapat
mengembangkan pemahaman konsep karena dengan kemampuan metakognisi,

9

mahasiswa dapat mengkonstruksi pengetahuan, mengaplikasikan konsep-konsep
fisika, dan memperdalam konsep-konsep fisika sehingga melahirkan jawaban
ilmiah yang merepresentasikan pemahaman. Pada pembelajaran sains ditemukan
bahwa proses-proses metakognisi memberikan pelajaran yang penuh arti atau
belajar dengan mengembangkan pemahaman (Kipnis dan Hofstein, 2007).
Pengembangan pemahaman dapat terjadi karena fisika menyediakan masalahmasalah kompleks yang dapat menantang mahasiswa menerapkan dan
mengembangkan

sejumlah

memberikan contoh,

pemahaman,

seperti

dalam

menginterpretasi,

mengklasifikasi, membandingkan, menjelaskan, dan

membuat kesimpulan.
Mencermati pentingnya kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep,
problem solving layak dikembangkan, sehingga pada penelitian ini dikembangkan
model pembelajaran Fisika Dasar berbasis problem solving yang dapat
meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep mahasiswa.
Proses problem solving dalam konteks ini dilakukan melalui eksperimen dan
masalah yang disajikan merupakan

masalah

kontekstual yang ada dalam

kehidupan sehari-hari. Tahap-tahap eksperimen berbasis problem solving yang
digunakan adalah: membuat prediksi, menjawab pertanyaan metode, mendesain
peralatan, melakukan eksplorasi, melakukan pengukuran, melakukan analisis, dan
membuat kesimpulan (Heller dan Heller, 1999). Karena keterbatasan alat yang
digunakan dalam hal pengukuran, maka dalam kegiatan eksperimen

dibantu

dengan video (video based learning, VBL).

B. RUMUSAN MASALAH

10

Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini
adalah: “Bagaimana pengembangan model pembelajaran Fisika Dasar berbasis
problem solving (MPFD-BPS) yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi
dan pemahaman konsep fisika mahasiswa?”
Permasalahan di atas dapat dirinci secara lebih operasional menjadi
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.

Bagaimanakah karakteristik MPFD-BPS yang dikembangkan?

2.

Bagaimanakah efektivitas MPFD-BPS

yang dikembangkan dalam

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan metakognisi?
3.

Bagaimana profil peningkatan tiap komponen pengetahuan dan keterampilan
metakognisi melalui penerapan MPFD-BPS?

4.

Bagaimanakah

efektivitas

MPFD-BPS

yang

dikembangkan

dalam

meningkatkan pemahaman konsep fisika mahasiswa?
5.

Bagaimana profil peningkatan tiap aspek pemahaman konsep fisika melalui
penerapan MPFD-BPS?

6.

Bagaimanakah perubahan perilaku metakognisi mahasiswa melalui penerapan
MPFD-BPS?

7.

Bagaimanakah tanggapan dosen terhadap model pembelajaran berbasis
problem solving dan pengunaannya dalam perkuliahan Fisika Dasar?

8.

Bagaimanakah tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran berbasis
problem solving dan penggunaannya dalam perkuliahan Fisika Dasar?

9.

Apakah

kekuatan

dan

kelemahan

MPFD-BPS

yang

dikembangkan

berdasarkan implementasinya?

11

C. TUJUAN PENELITIAN
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan MPFD-BPS
yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep
mahasiswa. Berdasarkan tujuan umum tersebut, maka tujuan khusus penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.

Mengembangkan MPFD-BPS yang dapat meningkatkan kemampuan
metakognisi dan pemahaman konsep fisika mahasiswa.

2.

Mengetahui

efektivitas

peningkatan

kemampuan

metakognisi

dan

pemahaman konsep, serta perubahan perilaku metakognisi mahasiswa melalui
penerapan MPFD-BPS.
3.

Mendapat gambaran tanggapan dosen dan mahasiswa terhadap penerapan
MPFD-BPS.

4.

Mengetahui kekuatan dan kelemahan MPFD-BPS yang dikembangkan.

D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
perbaikan pendidikan mahasiswa di perguruan tinggi, khususnya dalam hal
peranan pembelajaran berbasis problem solving dalam meningkatkan kemampuan
metakognisi dan pemahaman konsep fisika mahasiswa yang nantinya akan
meningkatkan mutu guru fisika di lapangan. Model pembelajaran ini
dikembangkan berdasarkan landasan-landasan konseptual yang mendukung serta
kenyataan empiris di lapangan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan akan
memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.
1.

Manfaat Teoritis

12

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam bidang
pendidikan secara umum dan khususnya pada perkuliahan Fisika Dasar, terutama
dalam hal:
a.

Memperkaya khasanah pembelajaran inovatif yang ada.

b.

Memberikan kerangka pikir bagi yang mengembangkan model pembelajaran.

2.

Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam

meningkatkan kualitas dan hasil perkuliahan Fisika Dasar bagi mahasiswa.
Temuan-temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait,
antara lain:
a.

Dosen mata kuliah Fisika Dasar, yaitu memberikan masukan mengenai model
perkuliahan Fisika Dasar yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi
dan pemahaman konsep fisika.

b.

Program Studi yang menyelenggarakan perkuliahan Fisika Dasar, yaitu
memberi masukan tentang model pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep fisika.

c.

Sebagai pertimbangan bagi institusi pendidikan untuk merancang kurikulum,
pendekatan,

metode,

dan

strategi

pengelolaan

perkuliahan

dengan

mengadopsi atau mengadaptasi MPFD-BPS.
d.

Peneliti selanjutnya, sebagai bahan pembanding maupun rujukan bagi
penelitian yang akan dilakukan.

E. PENJELASAN ISTILAH

13

Penjelasan istilah dalam penelitian ini bertujuan untuk memudahkan dalam
memahami istilah-istilah, menghindari interpretasi lain selain yang dimaksudkan
dalam penelitian ini, menjelaskan ruang lingkup penelitian, dan sebagai pedoman
dalam penyusunan alat pengumpulan data. Beberapa istilah dalam penelitian ini
yang perlu dijelaskan adalah model pembelajaran berbasis problem solving,
kemampuan metakognisi, dan pemahaman konsep.
1.

Model pembelajaran berbasis problem solving dimaksudkan sebagai pola
atau desain konsep, langkah-langkah, dan lingkungan pembelajaran yang
disusun dengan serangkaian strategi pengajaran yang dipilih dan ditetapkan
dalam pembelajaran untuk menciptakan proses belajar mengajar agar
mahasiswa dengan mudah memperoleh konsep dan hubungan antar konsep
melalui proses problem solving untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
berupa kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep. Tahap-tahap
problem solving yang digunakan dalam penyelidikan adalah: prediksi
(prediction); pertanyaan metode (method questions); peralatan (equipment);
eksplorasi (exploration); pengukuran (measurement); analisis (analysis); dan
kesimpulan (conclusion) (Heller dan Heller, 1999).

2.

Kemampuan metakognisi dimaksudkan sebagai pengetahuan dan pemahaman
pada proses kognisi serta kendali individu pada proses berpikirnya sendiri
(Simon dan Brown, dalam Desoete et al., 2001). Kemampuan metakognisi
dalam penelitian ini mencakup aspek pengetahuan dan keterampilan
metakognisi. Tiga aspek pengetahuan metakognisi: deklarasi, prosedural, dan
kondisional. Empat aspek keterampilan metakognisi: prediksi, rencana,

14

monitor, dan evaluasi. Pengetahuan dan keterampilan metakognisi diukur
dengan tes pengetahuan dan keterampilan metakognisi berbasis konten fisika
dan mengacu pada indikator masing-masing
3.

aspek tersebut.

Pemahaman konsep dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengkonstruksi
makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, tulisan,
gambar, atau grafis yang disampaikan melalui pengajaran dan buku.
Mahasiswa memahami ketika mereka membangun hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan sebelumnya. Lebih spesifik lagi,
pengetahuan yang baru masuk dipadukan dengan skema-skema dan
kerangka-kerangka kognisi yang telah ada. Proses-proses kognisi dalam
kategori pemahaman meliputi: menginterpretasi (interpreting), mencontohkan
(exemplifying),

mengklasifikasikan

(classifying),

membandingkan

(comparing), menjelaskan (explaining), dan menyimpulkan (inferring)
(Anderson, et al., 2001). Pemahaman konsep diukur dengan tes pemahaman
konsep fisika dan mengacu pada indikator pada proses-proses kognisi
memahami.

15

16

BAB III
METODE PENELITIAN

A. PARADIGMA PENELITIAN
Penelitian ini dibangun dari beberapa asumsi. Asumsi pertama adalah
bahwa proses dan hasil pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal
dan internal. Asumsi ini untuk menjamin bahwa tindakan pembelajaran, dalam hal
ini berupa perkuliahan Fisika Dasar, berpengaruh terhadap hasil belajar
mahasiswa. Asumsi kedua adalah bahwa manusia merupakan partisipan aktif
dalam tindakan kognisinya sendiri. Dengan adanya asumsi ini, maka tindakantindakan mahasiswa seperti mempelajari konsep fisika melalui pemecahan
masalah menjadi dapat diterima sebagai tindakan kognisi, tidak sekedar tindakan
fisik tanpa makna. Asumsi ketiga adalah bahwa perilaku pembelajaran fisika yang
efektif dapat diidentifikasi dan hasilnya bersifat menetap pada diri mahasiswa
untuk jangka waktu tertentu. Asumsi ini untuk menjamin bahwa penelitian untuk
menemukan model pembelajaran yang efektif untuk tujuan-tujuan tertentu di
dalam perkuliahan Fisika Dasar memungkinkan. Asumsi keempat adalah
kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep sebagai hasil pembelajaran
bersifat menetap pada diri mahasiswa untuk jangka waktu tertentu, sehingga
memungkinkan untuk diukur. Asumsi ini digunakan sebagai penanda area
penelitian ini, yakni berada pada wilayah positivisme (kuantitatif). Berdasarkan
56

empat asumsi tersebut, maka disusunlah paradigma penelitian ini, seperti
ditunjukkan dalam Gambar 3.1.

57

Hakikat dan tujuan
pembelajaran
Fisika Dasar

Pengembangan
kemampuan metakognisi

Pengetahuan
metakognisi:
- deklarasi
- prosedural
- kondisional

Kebutuhan
mahasiswa

Pengembangan pemahaman
konsep fisika

Keterampilan
metakognisi:
- memprediksi
- merencanakan
- memonitor
- mengevaluasi

Problem solving, tahapannya :
- Memilih dan mendesain peralatan
- Membuat prediksi
- Menjawab pertanyaan metoda
- Melakukan eksplorasi
- Melakukan pengukuran
- Melakukan analisis
- Membuat kesimpulan

Pemahaman konsep
- menginterpretasi
- memberi contoh
- mengklasifikasikan
- membandingkan
- menjelaskan
- menyimpulkan

Masalah konstekstual

Berbasis eksperimen

Berbasis video dengan
bantuan software

Model Pembelajaran Fisika Dasar
untuk Meningkatkan Kemampuan
Metakognisi dan Pemahaman
Konsep Mahasiswa

Gambar 3.1 Paradigma Penelitian

58

Gambar 3.1 memperlihatkan ada dua aspek yang diyakini menentukan
tujuan dan corak perkuliahan Fisika Dasar bagi mahasiswa. Kedua aspek tersebut
adalah hakikat dan tujuan perkuliahan Fisika Dasar serta kebutuhan mahasiswa.
Berdasarkan kedua aspek tersebut, didapatkan bahwa tujuan perkuliahan Fisika
Dasar adalah agar mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan metakognisi
dan pemahaman konsep fisika. Paradigma penelitian ini menunjukkan bahwa
untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan pembelajaran berbasis problem solving,
dimana dalam memecahkan masalah, mahasiswa melakukan eksperimen dan
direkam dengan video dan analisis data dibantu dengan menggunakan software.
Paradigma ini menunjukkan bahwa MPFD-BPS digunakan untuk
meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep mahasiswa.
Berdasarkan

paradigma

tersebut,

diperlukan

metode

penelitian

untuk

mengembangkan MPFD-BPS bagi mahasiswa serta menguji efektivitas model
pembelajaran tersebut dalam meningkatkan tujuan tersebut.

B. PROSEDUR DAN TAHAP-TAHAP PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan R and D (research and
development). Penelitian ini berfokus pada pengembangan MPFD-BPS bagi
mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep
fisika.

Pemecahan masalah dilakukan melalui eksperimen dengan bantuan

rekaman video dan dianalisis dengan bantuan software tracker.
Produk yang dihasilkan dari model pembelajaran ini adalah: 1) Silabus dan
RPP dalam perkuliahan Fisika Dasar berbasis problem solving; 2) Lembar

59

Kegiatan Mahasiswa (LKM) untuk kegiatan pemecahan masalah; dan 3) Alat ukur
proses pembelajaran, kemampuan metakognisi, dan pemahaman konsep.
Penelitian ini menggunakan metode R and D melalui langkah-langkah 4D, yaitu: pendefinisian (define), pendesainan (design), pengembangan (develop),
dan diseminasi (disseminate) dengan penyesuaian seperlunya (Thiagarajan, et al.,
1974; Sugiyono, 2006; Sukmadinata, 2007). Penyesuaian tersebut meliputi
analisis sumber pada tahap pendefinisian, formulasi model pembelajaran dalam
tahap pendesainan, hingga sampai tahap pengembangan. Pemilihan model 4-D
sebagai metode R and D dalam penelitian ini didasarkan atas pertimbangan
efisiensi langkah bila dibandingkan dengan 10 langkah R & D model Borg and
Gall (1989), model 4-D dilengkapi dengan penjelasan yang relatif rinci pada
setiap langkahnya, serta model 4-D juga sudah lazim dipakai dalam berbagai
penelitian pengembangan. Desain penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar
3.2.

60

Analisis kebutuhan
Studi Literatur

Kompetensi
guru fisika

Analisis
kemampuan
metakognisi

Indikator
pengetahuan
metakognisi

Studi Lapangan

Analisis
pemahaman
konsep

Indikator
keterampilan
metakognisi

Analisis teori
dan temuan
penelitian

Indikator
pemahaman
konsep

Pembelajaran berbasis
problem solving

D

Kemampuan metakognisi
dan pemahaman konsep

e

Proses pembelajaran
cenderung analitis

f

Masalah nonkontekstual

i

Faktor pendukung
pembelajaran (sumber
belajar dan fasilitas)

n
e

Draft model
pembelajaran

D

Perangkat pembelajaran
- Pedoman pengelolaan pembelajaran
- Perancangan silabus dan RPP berbasis
problem solving
- Perancangan LKM berbasis eksperimen
dengan menggunakan video dan software
- Tes kemampuan metakognisi berbasis konten
fisika
- Tes pemahaman konsep fisika
- Pedoman observasi
- Angket
- Pedoman wawancara

e
s
i
g
n

Validasi ahli

D

Model hasil revisi
berdasarkan masukan ahli

e
v

Ujicoba terbatas

e

Model hasil revisi berdasarkan hasilhasil ujicoba terbatas

l

Ujicoba skala luas

o

Model pembelajaran Fisika Dasar berbasis problem solving
hasil revisi berdasarkan ujicoba skala luas

p

Gambar 3.2 Tahapan dalam Analisis Kebutuhan (Define) dan Hubungannya
dengan Penyusunan Draft Model Pembelajaran (Design) yang
Dilanjutkan dengan Validasi Ahli, Ujicoba Terbatas, dan Ujicoba
Skala luas (Develop)
61

Prosedur penelitian dan pengembangan MPFD-PBS adalah:
1. Tahap Pendefinisian (Define)
Tahap pendefinisian merupakan tahap awal penelitian dalam R and D,
yang dilakukan untuk menganalisis kebutuhan dengan mengumpulkan berbagai
informasi yang berkaitan dengan produk yang akan dikembangkan. Tujuan tahap
ini adalah menetapkan dan mendefinisikan kebutuhan pembelajaran (Thiagarajan
et al., 1974). Pengumpulan berbagai informasi ini dilakukan dengan studi
pendahuluan melalui studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur berkaitan
dengan studi dokumen dan materi lainnya yang mendukung pembuatan rancangan
produk. Studi literatur dilakukan untuk menganalisis kompetensi seorang guru
fisika serta peran perkuliahan Fisika Dasar, kemampuan metakognisi, pemahaman
konsep dan teori-teori serta temuan-temuan penelitian dasar untuk merancang
draft pengembangan MPFD-PBS.
Kegiatan yang dilakukan pada studi literatur ini adalah: (1) Analisis
terhadap kompetensi seorang guru fisika serta peran perkuliahan Fisika Dasar; (2)
Menganalisis kemampuan metakognisi untuk menghasilkan indikator kemampuan
metakognisi; (3) Menganalisis pemahaman konsep untuk menghasilkan indikator
pemahaman konsep; (4) Menganalisis teori-teori dan temuan-temuan penelitian
yang berkaitan dengan metakognisi dan pemahaman konsep.
Sementara itu, studi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data
berkenaan dengan: (1) Kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep
mahasiswa; (2) Metode yang digunakan dalam pembelajaran; (3) bentuk masalah
yang disajikan; dan (4) Faktor-faktor pendukung pembelajaran (meliputi
62

laboratorium, buku dan LKM Fisika Dasar, dan media pembelajaran) serta
pandangan dosen-dosen terhadap pembelajaran dan asesmen kemampuan
metakognisi dan pemahaman konsep. Hasil-hasil yang diperoleh dari studi
lapangan ini akan memberikan gambaran tentang daya dukung perguruan tinggi
dan dosen sehingga MPFD-PBS yang akan dikembangkan didukung oleh kondisi
yang ada dan layak diterapkan.
2. Tahap Pendesainan (Design)
Hasil-hasil yang diperoleh pada studi literatur dan studi lapangan
digunakan sebagai bahan untuk merancang produk awal (draft) berupa MPFDPBS dan perangkat pembelajaran untuk mendukung model itu, berupa (1)
Pedoman pengelolaan pembelajaran; (2) Perancangan silabus berbasis problem
solving; (3) Perancangan LKM; (4) Perangkat tes, berupa: tes kemampuan
metakognisi (pengetahuan dan keterampilan), tes

pemahaman konsep fisika,

angket perilaku metakognisi, dan pedoman observasi. Menyusun tes kemampuan
metakognisi dan pemahaman konsep pada topik Kinematika dan Dinamika
Partikel menggunakan acuan indikator kemampuan metakognisi dan pemahaman
konsep yang berhasil dirumuskan sebelumnya. Draft pengembangan MPFD-PBS
yang dirancang harus memperhatikan kelayakan implementasi di lapangan, seperti
tersedianya fasilitas pendukung (misalnya laboratorium, buku penuntun Fisika
Dasar, dan media pembelajaran berupa komputer, video, software dan lain-lain).
a. Pendesainan MPFD-BPS
Pendesainan MPFD-BPS merupakan kegiatan yang menjembatani tahap
pendefinisian dengan tahap selanjutnya.
63

b. Pembuatan LKM
Pembuatan LKM dilakukan setelah MPFD-PBS dirumuskan. Konsepkonsep pokok yang dikembangkan pada topik Kinematika Partikel mencakup
gerak lurus beraturan, gerak lurus berubah beraturan, gerak vertikal, gerak jatuh
bebas, dan gerak peluru. Konsep-konsep pokok yang dikembangkan pada topik
Dinamika Partikel mencakup: Hukum Newton, gaya normal, gaya berat, tegangan
tali, dan gaya gesekan. Langkah-langkah pembuatan LKM adalah dengan
merumuskan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan membuat tahaptahap pemecahannya. Panduan LKM ini berisi LKM dan beberapa arahan untuk
membimbing mahasiswa.
c. Penyusunan Tes
Tes yang disusun meliputi tes pengetahuan dan keterampilan metakognisi
serta pemahaman

konsep pada topik Kinematika dan Dinamika Partikel.

Penyusunan tes ini meliputi kegiatan pembuatan kisi-kisi dan penulisan butir-butir
tes.
d. Penyusunan Angket Perilaku Metakognisi
Penyusunan angket ini meliputi kegiatan pembuatan kisi-kisi dan
penulisan butir-butir pernyataan perilaku metakognisi. Angket ini terdiri dari
pernyataan-pernyataan yang merupakan penilaian diri mahasiswa selama proses
problem solving dan dibuat secara terstruktur dengan menggunakan skala Likert.
3. Tahap Pengembangan (Develop)
Tujuan utama tahap pengembangan adalah memperbaiki prototipe MPFDBPS. Pada tahap pengembangan, umpan balik untuk perbaikan didapatkan melalui
64

validasi ahli dan ujicoba terhadap mahasiswa. Untuk keperluan penilaian ahli
disiapkan rubrik untuk menilai dan memberi masukan terhadap RPP, butir-butir
tes, angket, dan LKM.
a. Validasi Ahli
Draft pengembangan MPFD-BPS yang sudah dirancang, selanjutnya
divalidasi oleh tiga orang ahli (dosen). Tiga dosen yang dipilih sebagai ahli
masing-masing memiliki keahlian dalam bidang konten fisika dan
pembelajaran.

Masukan-masukan

yang

diberikan

ahli

digunakan

bidang
untuk

menyempurnakan draft pengembangan MPFD-BPS.
b. Ujicoba Terbatas dan Revisi Produk
Subyek dalam ujicoba terbatas adalah mahasiswa calon guru fisika pada
salah satu perguruan tinggi di Sumatera Utara yang terdiri dari 47 orang. Metode
penelitian ini adalah pra-eksperimental dengan one group pretest-posttest design
(Sugiyono, 2008). Desain penelitian ini sebagai berikut :
O
Keterangan :

X

O

O = Tes awal - tes akhir yang diberikan pada kelas eksperimen.
X = Pembelajaran berbasis problem solving

Detail kegiatan yang dilakukan pada ujicoba terbatas ini diuraikan sebagai
berikut: (1) Peneliti mempersiapkan pelaksanaan ujicoba terbatas, dengan
menentukan perguruan tinggi tempat ujicoba terbatas dan menyiapkan fasilitas
pelaksanaan ujicoba; (2) Peneliti melaksanakan tes awal, tes yang digunakan pada
tes awal ini untuk mengukur kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep
mahasiswa; (3) Peneliti mengedarkan angket untuk mengetahui sejauh mana
65

perilaku metakognisi mahasiswa sebelum penerapan MPFD-BPS; (4) Peneliti
melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan pengembangan MPFD-BPS
dengan diamati oleh 2 orang observer. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui
keterlaksanaan MPFD-BPS melalui aktivitas dosen dan mahasiswa selama dalam
proses pembelajaran; (5) Peneliti mengedarkan angket untuk mengetahui
peningkatan perilaku metakognisi mahasiswa setelah penerapan MPFD-BPS.
Angket yang diedarkan sama dengan angket yang digunakan sebelumnya; (6)
Peneliti melaksanakan tes akhir. Tes yang digunakan pada tes akhir sama dengan
tes yang digunakan pada tes awal; (7) Peneliti mengedarkan angket untuk
mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran yang diikuti; dan (8)
Peneliti menyempurnakan MPFD-BPS berdasarkan hasil ujicoba terbatas.
c. Ujicoba Skala Luas dan Revisi Produk
MPFD-BPS yang telah disempurnakan berdasarkan hasil ujicoba terbatas,
diuji pada skala yang lebih luas atau implementasi. Populasi dalam penelitian
ujicoba skala luas adalah seluruh mahasiswa calon guru fisika semester I pada
salah satu LPTK di Sumatera Utara Tahun Ajaran 2010/2011. Sampel dalam
penelitian ini 50 orang yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu 25 mahasiswa
kelompok eksperimen dan 25 mahasiswa kelompok kontrol. Metode yang
digunakan dalam penelitian ujicoba skala luas adalah kuasi-eksperimen dengan
pretest-posttest control group design. Kedua kelompok diberikan tes awal dan tes
akhir dan hanya kelompok eksperimen yang diberi perlakuan. Desain penelitian
yang digunakan dalam ujicoba skala luas ditunjukkan pada Tabel 3.1.

66

Tabel 3.1 Desain Tes Awal dan Tes Akhir Kedua Kelompok
Kelompok
Tes awal
Perlakuan
Tes akhir
Eksperimen
O
X1
O
Kontrol
O
X2
O
Ket: X1 = Pembelajaran Fisika Dasar Berbasis Problem Solving
X2 = Pembelajaran Fisika Dasar secara konvensional
O = Tes kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep
Detail kegiatan yang dilakukan pada ujicoba skala luas ini diuraikan
sebagai berikut: (1) Peneliti mempersiapkan pelaksanaan dan fasilitas ujicoba
skala luas; (2) Peneliti melaksanakan tes awal, tes yang digunakan pada tes awal
ini untuk mengukur kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep mahasiswa
pada kedua kelompok; (3) Peneliti mengedarkan angket untuk mengetahui sejauh
mana perilaku metakognisi mahasiswa pada kedua kelompok sebelum penerapan
MPFD-BPS; (4) Peneliti melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan
pengembangan MPFD-BPS dengan diamati oleh 2 orang observer pada kelompok
eksperimen. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui keterlaksanaan MPFDBPS melalui aktivitas dosen dan mahasiswa selama dalam proses pembelajaran.
Pada kelompok kontrol diterapkan model pembelajaran konvensional, dimana
dalam proses pembelajaran menggunakan metode ceramah, tanya jawab,
pemberian tugas, dan melakukan praktikum di laboratorium; (5) Setelah
penerapan MPFD-BPS, peneliti mengedarkan angket pada kedua kelompok untuk
mengetahui perilaku metakognisi mahasiswa. Angket yang diedarkan sama
dengan angket yang digunakan sebelumnya; (6) Peneliti melaksanakan tes akhir
pada kedua kelompok. Tes yang digunakan pada tes akhir sama dengan tes
yang digunakan pada tes awal; dan (7) Peneliti mengedarkan angket pada
67

kelompok eksperimen untuk mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap
pembelajaran yang diikuti; (8) Peneliti melakukan analisis dan evaluasi terhadap
MPFD-BPS ditinjau dari ketercapaian tujuan, yaitu peningkatan kemampuan
metakognisi

dan

pemahaman

konsep

mahasiswa;

dan

(9)

Peneliti

menyempurnakan MPFD-BPS berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh pada
ujicoba skala luas (jika ada) sehingga dihasilkan MPFD-BPS yang telah teruji.
Produk akhir dari penelitian dan pengembangan ini berupa model
pembelajaran Fisika Dasar berbasis problem solving yang telah teruji yang
dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep fisika
mahasiswa.
4. Tahap Diseminasi (Diseminate)
Tahap diseminasi dalam penelitian ini tidak dilakukan, dan ini menjadi
keterbatasan dalam penelitian ini.

C. INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini didasarkan atas data yang
diperlukan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar
observasi, tes kemampuan metakognisi, tes pemahaman konsep, angket, dan
wawancara.
1. Lembar Observasi
Lembar observasi terhadap aktivitas perkuliahan meliputi lembar observasi
keterlaksanaan MPFD-BPS. Lembar pengamatan tersebut digunakan untuk
mengetahui keterlaksanaan perkuliahan dengan penerapan MPFD-BPS melalui
pengamatan aktivitas dosen dan mahasiswa selama proses pembelajaran.
68

2. Tes Kemampuan Metakognisi
Tes ini digunakan untuk menguji kemampuan metakognisi mahasiswa
melalui perkuliahan Fisika Dasar pada topik Kinematika dan Dinamika Partikel.
Kemampuan metakognisi diukur dengan menggunakan tes dalam bentuk uraian.
Tes ini dikembangkan berdasarkan indikator kemampuan metakognisi menurut
Simon dan Brown (dalam Desoete et al., 2001).
3. Tes Pemahaman Konsep
Tes ini dibuat untuk menguji pemahaman konsep fisika mahasiswa pada
topik Kinematika dan Dinamika Partikel. Tes pemahaman konsep diukur dengan
menggunakan tes dalam bentuk pilihan ganda. Tes ini dikembangkan berdasarkan
indikator pemahaman konsep menurut Anderson, et al., 2001.
4. Angket
Ada dua bentuk angket digunakan dalam penelitian ini, yaitu angket untuk
mengukur perilaku metakognisi mahasiswa dan angket untuk menjaring
tanggapan mahasiswa terhadap penerapan MPFD-BPS. Angket perilaku
metakognisi mahasiswa dibuat secara terstruktur, terdiri dari pernyataanpernyataan dengan menggunakan skala Likert. Angket untuk menjaring tanggapan
mahasiswa terhadap model pembelajaran yang diterapkan berupa: kualitas LKM
dan tanggapan mahasiswa terhadap penerapan MPFD-BPS.
5. Wawancara
Lembar wawancara digunakan untuk menjaring tanggapan mahasiswa
terhadap kesulitan dalam belajar Fisika Dasar dan untuk menjaring tanggapan
dosen terhadap pembelajaran Fisika Dasar selama ini dan MPFD-BPS.
69

D. PROSES PENGEMBANGAN INSTRUMEN
Proses pengembangan tes kemampuan metakognisi dan pemahaman
konsep meliputi pengujian validitas butir soal, reliabilitas, daya beda dan tingkat
kesukaran. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah tes tersebut layak
untuk digunakan.
1. Uji Validitas
Validitas tes digunakan untuk mengetahui ketepatan apa yang hendak
diukur dari tes yang telah dibuat. Uji validitas instrumen yang digunakan adalah
uji validitas isi dan uji validitas yang dihubungkan dengan kriteria. Untuk
mengetahui validitas isi suatu instrumen asesmen yang akan digunakan dalam
pembelajaran dilakukan validasi oleh dosen yang memiliki kompetensi sesuai
dengan bidang yang akan diases. Uji statistik korelasi point biserial digunakan
untuk mengetahui validitas yang dihubungkan dengan kriteria. Hal ini dilakukan
karena data skor soal (prediktor) merupakan data yang dikotomi, sedangkan data
skor total tes (kriterium) merupakan data yang kontinum atau non-dikotomi.
Korelasi point biserial digunakan untuk menemukan hubungan antara variabel
dikotomi dan variabel kontinum (Kaplan & Saccuzzo, 2005). Korelasi point
biserial dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:
rpbis = koefisien korelasi point biserial,
= rerata skor dari subyek yang menjawab benar untuk butir soal yang
akan dicari validitasnya,
= rerata skor total,
st = simpangan baku skor total,
70

p = proporsi mahasiswa yang menjawab benar pada butir soal yang dimaksud,
q = proporsi mahasiswa yang menjawab salah pada butir soal yang dimaksud.
Butir soal dikatakan valid jika skor setiap butir soal berkorelasi positif
dengan skor totalnya dan hasil hitung rpbis (point biserial correlation) lebih besar
dari rtabel atau rpbis > rt(1-α) pada taraf signifikansi, α=0,05. Pada taraf signifikansi
0,05, rt(1-α) = rt(1-0,05) = rt(0,95) dapat dilihat pada daftar Pearson Product Moment
Correlation Coefficient dengan derajat kebebasan df = N-2, N = jumlah peserta
tes (Guilford dan Fruchter, 1978).
2. Reliabilitas Tes
Reliabilitas tes berkaitan dengan sejauh mana tes yang diberikan ajeg dari
waktu ke waktu, artinya reliabilitas berkaitan dengan keajegan suatu tes. Suatu tes
dikatakan ajeg apabila dari waktu ke waktu menghasilkan skor yang sama atau
relatif sama. Tujuan reliabilitas tes untuk mengetahui konsistensi tes. Untuk
menghitung reliabilitas tes yang mempunyai skor dikotomi digunakan rumus KR20 yang dikembangkan oleh Kuder dan Richardson (Kaplan dan Saccuzzo, 2005)
sebagai berikut:

Keterangan:
r11 = koefisien reliabilitas naskah tes
n = banyaknya butir soal
pi = proporsi banyak mahasiswa yang menjawab benar butir soal ke-i
qi = proporsi banyak mahasiswa yang menjawab salah butir soal ke-i
st2 = varians skor total.
Kriteria untuk menginterpretasi derajat reliabilitas sebuah instrumen
ditunjukkan pada Tabel 3.2.
71

Tabel 3.2 Kriteria Reliabilitas Instrumen
Koefisien Reliabilitas
0,80 ≤ r
0,40 ≤ r < 0,80
r < 0,40

Penafsiran
derajat reliabilitas tinggi
derajat reliabilitas sedang
derajat reliabilitas rendah

3. Indeks Kesukaran
Uji indeks kesukaran dilakukan untuk mengetahui apakah butir soal
tergolong sukar, sedang atau mudah. Indeks kesukaran butir didefinisikan sebagai
persentase dari siswa yang menjawab benar. Indeks kesukaran (p) suatu butir tes
ditentukan dengan rumus (Mehrens dan Lehmann, 1984):

p=

R
× 100 %
T

Keterangan:
R = jumlah mahasiswa yang menjawab benar butir tes
T = jumlah seluruh mahasiswa peserta tes
Kriteria untuk menentukan indeks kesukaran butir ditunjukkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Kriteria Indeks Kesukaran Butir (Zainul, 1997)
Indeks Kesukaran Butir
0% - 25%
26% - 75%
76% - 100%

Kategori
Sukar
Sedang
Mudah

4. Daya Pembeda (Indeks Diskriminasi)
Indeks daya pembeda merupakan indeks yang digunakan dalam
membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan peserta tes
yang berkemampuan rendah. Dengan demikian validitas soal ini sama dengan
daya pembeda soal, yaitu daya dalam membedakan antara peserta tes yang
72

berkemampuan tinggi dengan yang berkemampuan rendah. Tujuan analisis ini
untuk mengetahui apakah soal tersebut memiliki daya pembeda yang baik atau
jelek. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks
diskriminasi (D). Menurut Crocker dan Algina (1986), indeks diskriminasi
merupakan selisih antara proporsi siswa kelompok atas (berkemampuan tinggi)
yang menjawab benar butir tes dengan proporsi mahasiswa kelompok bawah
(berkemampuan rendah) yang menjawab benar butir tes. Indeks diskriminasi butir
tes dihitung menggunakan rumus:

Keterangan:
D = indeks daya pembeda
pu = proporsi mahasiswa kelompok atas yang menjawab benar butir tes
pl = proporsi mahasiswa kelompok bawah yang menjawab benar butir tes
Kriteria untuk menentukan indeks diskriminasi butir ditunjukkan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Kriteria Indeks Diskriminasi Butir (Crocker dan Algina, 1986)
Indeks
Diskriminasi
D ≥ 0,40
0,30 ≤ D ≤ 0,39
0,20 ≤ D ≤ 0,29
D ≤ 0,19

Kriteria
Butir soal berfungsi dengan baik
Sedikit atau tidak perlu ada revisi
Butir soal sedikit membedakan (marginal) dan perlu revisi
Soal sebaiknya dibuang atau direvisi secara utuh

Pengolahan data untuk uji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan
daya pembeda dari tes yang telah diujicobakan pada penelitian ini menggunakan
program Anates versi 4.0.5 untuk tes uraian dan versi 4.0.9 untuk tes pilihan
ganda dengan taraf signifikansi 0,05.

73

E. TEKNIK DAN ALAT PENGUMPULAN DATA
Data yang dikumpulkan meliputi skor kemampuan metakognisi,
pemahaman konsep, data observasi, wawancara, dan angket.
1. Data Kemampuan Metakognisi
Data kemampuan metakognisi dikumpulkan melalui tes dalam bentuk
uraian, yang meliputi pengetahuan dan keterampilan metakognisi. Data
kemampuan metakognisi dikumpulkan dengan 11 item/butir (17 sub-butir) pada
topik Kinematika Partikel dan 10 item/butir (16 sub-butir) pada topik Dinamika
Partikel.
Penilaian kemampuan metakognisi digunakan pedoman penskoran yang
dimodifikasi dari Marzano, (2006) seperti ditunjukkan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Kriteria Penskoran Tes Uraian Kemampuan Metakognisi
No
Reaksi terhadap masalah
1 Tidak ada jawaban/menjawab tidak sesuai dengan
pertanyaan/tidak ada yang benar.
2 Jawaban hampir tidak mirip/sesuai dengan pertanyaan, persoalan
atau dengan masalah.
3 Jawaban ada beberapa yang mirip/sesuai dengan pertanyaan,
persoalan atau dengan masalah tapi hubungannya tidak jelas.
4 Jawaban mirip atau sesuai dengan pertanyaan, persoalan atau
dengan masalah tapi kurang lengkap.
5 Jawaban sesuai dengan pertanyaan, persoalan atau dengan
masalah secara lengkap.

Skor
0
1
2
3
4

2. Data Pemahaman Konsep
Data pemahaman konsep dijaring melalui tes tertulis bentuk pilihan ganda
dengan 5 pilihan jawaban. Data pemahaman konsep dikumpulkan dengan 49 butir
pada topik Kinematika Partikel dan 61 butir pada topik Dinamika Partikel.

74

3. Data Observasi
Untuk mengetahui kriteria keterlaksanaan MPFD-BPS pada setiap
pertemuan, maka data hasil observasi keterlaksanaan model pembelajaran diolah
menjadi dalam bentuk persentase. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk
mengolah data tersebut adalah sebagai berikut:
Menghitung jumlah jawaban “ya” dan “tidak” yang observer isi pada format
observasi

keterlaksanaan

pembelajaran.

Setiap

indikator

pada

fase

pembelajaran terlaksana/muncul diberikan skor satu dan jika tidak muncul
diberikan skor nol.
Menghitung persentase keterlaksanaan pembelajaran dengan menggunakan
rumus:

keterlaksanaan model (%) =

x 100%

Mengkonsultasikan hasil perhitungan ke dalam kategori keterlaksanaan
model

pembelajaran.

Kriteria

keterlaksanaan

model

pembelajaran

ditunjukkan pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Interpretasi Keterlaksanaan MPFD-BPS
KM (%)
Kriteria
KM = 0
Tak satu kegiatan pun terlaksana
0 < KM < 25
Sebagian kecil kegiatan terlaksana
25 ≤ KM < 50
Hampir setengah kegiatan terlaksana
KM = 50
Setengah kegiatan terlaksana
50 < KM < 75
Sebagian besar kegiatan terlaksana
75 ≤ KM < 100
Hampir seluruh kegiatan terlaksana
KM = 100
Seluruh kegiatan terlaksana
Keterangan: KM = persentase keterlaksanaan model

75

4. Data Angket
Ada dua bentuk angket digunakan dalam penelitian ini, yaitu angket untuk
mengukur perilaku metakognisi mahasiswa dan angket untuk menjaring
tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran. Angket untuk mengukur
perilaku metakognisi dibuat secara terstruktur berupa pernyataan-pernyataan
dengan menggunakan skala Likert. Kriteria penilaian perilaku metakognisi
ditunjukkan pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Kriteria Penilaian Perilaku Metakognisi Mahasiswa
% Perilaku
Kriteria
Metakognisi
0 - 39
Sangat kurang
40 - 54
Kurang
55 - 69
Cukup
70 - 84
Baik
85 - 100
Sangat baik
Angket

untuk

menjaring

tanggapan

mahasiswa

terhadap

model

pembelajaran yang diterapkan berupa: (1) Kualitas LKM dan (2) Tanggapan
mahasiswa terhadap MPFD-BPS. Angket yang dikembangkan untuk mengukur
perilaku metakognisi menggunakan skala Likert dengan empat kategori tanggapan
STS (sangat tidak pernah sama sekali), TS (pernah tetapi tidak sering), S (sering),
dan SS (sangat sering). Pilihan netral tidak diberikan untuk menghindari jawaban
aman, sehingga mengharuskan mahasiswa untuk menyatakan keberpihakannya
pada pernyataan yang diberikan.

F. ANALISIS DATA
Data yang diperoleh pada penelitian ini terdiri atas data kualitatif dan data
kuantitatif. Data kualitatif berupa: 1) karakteristik MPFD-BPS; 2) kekuatan dan
76

kelemahan dalam mengimplementasikan MPFD-BPS; dan 3) tanggapan dosen
dan mahasiswa terhadap MPFD-BPS. Data kuantitatif berupa skor tes kemampuan
metakognisi dan pemahaman konsep mahasiswa. Data kualitatif dianalisis secara
deskriptif interpretatif dan data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan
statistik inferensial. Ringkasan pertanyaan penelitian, data yang dihasilkan, dan
cara analisis data ditunjukkan pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8 Pertanyaan Penelitian, Data, dan Cara Anal