Politisi Sunda "Pakia-kia".

[(OMPAS
-o
3
19

.~

4

20

OMar

0 '?abu
-

Selasa
5

21


6

OApr

(2)
22

OMei

o Kamis
8
23

9
24

OJun

-


Jumat
10
11
25
26
f)

0 Jul

0 Ags

.

Sabtu
C Minggu
12
13
14
15
27

28
29
30

o Sep

0

Okt

ONov

ODes

KIN'

Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah'Satu karakter manusia
Sunda adalah sangat individualistis.
disebut sebagai bibit buit(asal


Karakter seperti ini sering

usul) dari keterpurukan politisi Sun-

da saat ini. Jangankan di tingkat nasional, di levellokal

sekalipun,

kiprahnya nyaris tidak ferdengar. Jati ka silih ku juntiyang
pada makna Ki Sunda yang terdominasi

merujuk

oleh kultur lain salah satu

faktornya adalah karakter seperti ini.
OLEH ASEP SALAHUDIN

unia politik yang menghajatkan sikap solider sebagaiekspresi dari kecermatan sosial
sudah tentu sangat tidak kondusif ketika digeluti dengan

cara-cara soliter. Sebab,politik berkaitan
dengan mobilisasi massa yang dalarn hal
ini mengandaikan hadirnya manusia
yang memiliki fleksibilitaSdan keterampilan sosial memadai. Dunia politik bukan dunia eskatis individualistis. Di sinilah sejatinya, sekalilagi,munculnya ketegangan antara watak yang melekat pada
manusia Sunda di satu sisi dan tuntutan
watak politik sesungguhnyadi sisi lain.
Hanya mereka yang dapat menyelesaikan ketegangan ini yang dapat tarnpil sebagai politisi Sunda andal yang diperhitungkan seperti Otto Iskandardinata dan
Ali Sadikin. Meski demikian, keberhasilan ini sering kali tidak ditopang oleh gerakan kebudayaan dengan basis kultural
sebagai pendukungnya. Dalarn kenyataannya' acap kali melejitnya Ki Sunda sebagai politisi adalah hasil dari gerilya kegigihannyayang bersifat individual sebagaimana dengan nada retoris diungkapkan Ali Sadikin, "Sayabukan orang Sunda.Sayaurang Sumedang!"

D

Pragmatisme politik
Dengan ungkapan lain, sifat individualistis inilah yang menjadi akar Ki Sunda
ketika aub di wilayahpolitik mereka menerapkan politikpakia-kia, semacam politik yang berangkat dari paradigma pemisahan yang ketat aku dan engkau walaupun sarna-sarnaberangkat dari killtur

sarna.Politik yang dikembangkan bukan
politik kekitaan, tetapi politik yang menarik garis demarkasi
Pakia-kia inilah yang
antarn kepentingan

telah menjebak manusia
diri dan perhatian
serta komitmen keSunda, khususnya para
sundaan. Dari sikap
politisi, sampai saat
politik seperti ini,
menjadi tidak aneh
ini ngahiyang.
seandainya di Tatar
Sunda sulit ditemukan politisi dengan
fanatisme ideologis
yang kental kecuali hanya fanatik kepada
ideologipragmatisme.
Menjadi sangat dapat dimaklumi seandainya solidaritas kesundaan di kalangan politisi Tatar Sunda rapuh atau
mungkin sudah punah. Solidaritas yang
hilang ini akhirnya menjadi penanda untuk menjawab persoalan seputar absennya orang Sundayangmenjadi pemimpin
partai-partai besar,termasukjuga absennya manusia Sunda dalam percaturan
kandidat calon presiden dan wakil presiden 2009.
Pakai-kia juga menyebabkan politisi
Sunda merasa tidak bangga ketika karier

politik atau ekonomi kawan daerahnya
lebih maju, bahkan kalau bisa direngkas
di tengahjalan, seolah mendukung padahal dukungan itu hanya sokongjongklok.
Tragis. Celah kelemahan ini yang akan
dengan mudah dimanfaatkan budaya luar untuk mendominasi budaya Ki Sunda.
Di titik ini dengan sempurnajati ka sHih
:.-

K lip i n 9 Hum QsUn

"

p Qd 2009-------------

16
31

kujunti menampilkan diri.
Dengan kata lain, fenomenajati ka silih ku junti sejatinya teIjadi karena lemahnya militansi dan kebanggaan terhadap tradisi sendiri. Politik pakia-kia
dan sokongjongklok menjadi pintu yang

sangat mudah untukdimasuki"orangluar". Bukankah dalam buku-buku sejarah
dicatat bahwa kehancuran sebuah kerajaan selalu dimulai dengan rapuhnya
lingkungan di sekitar kerajaan sehingga
tatkala ada faktor eksternal penyerbuan
dari luar, kerajaan itu
dengan tanpa perlawanan berarti tertaklukkan.
Dengan
gampang
Mataram (sejak awal
abad ke-16), Belanda
(sejak abad ke-18),dan
Jepang
(1942-1945),
dan akhirnya oleh dua
sistem orde yang tirani
melumpuhkan Ki Sunda dengan tuntas nyaris
tak ubahnya kerbau dicocok hidungnya atau
kumaha anu dibendo.
Akar genealogis
Kalau kita telusuri, sebagaimana pernah ditulis Ajip Rosidi, sifat individualis

ini bermula dari konstruksi budaya
orang Sunda yang agraris, lebih khusus
lagi,petani ladang atau huma yang selalu
berpindah tempat bila lahan yang digarapnya sudah tidak subur lagi. Orang
Sunda barn berkenalan dengan budaya
sawah pada abad ke-19 ketika penjajah
Belanda hendak meningkatkan produktivitas pertanian dan hendak mengikat
orang Sunda agarmenetap.
Berladang dengan selalu berpindah
tempat bukan sajamerusak hutan, melainkan terutama menyusahkan pemerintah yang hendak memanfaatkan tenaganya dan hendak memungut pajak dan
lain sebagainya. Di sinilah, kata Ajip lebili lanjut, budaya ladang menyebabkan
orang Sunda lebih individualistisdaripada orang Jawa yangberbudaya sawah.
Orang yang berladang lebih banyak

.

hidup di ladang daripada di kampung.
Ladang yang tempatnya beIjauhan menyebabkan komunikasi antarmereka
kurang. Meskipun sudah hidup menetap, bahkan tinggal di kota, sifat individualistis itu tetap menonjol.
Walaupun orang Sunda memiliki kearifan yang mencerminkan kohesivitas

sosial,seperti silih asih,silih asah,dan silih asuh, pamali tarungjeung dulur,pamali bengkah jeung dulur, tampaknya
kearifan ini tidak pernah mengendap dalam layar bawah sadar manusia Sunda.
Sebab,sejak awal, alam bawah sadarnya
telah didominasi kehendak pakia-kia
paing-aing yang merupakan moralitas
susulan dari sifat individualisitu.
Akhirnya, berlakulah prinsip asaaing
uyah kidul dan aguJ ku payung butut.
Orang Sunda selalubanggadengan falsafah Sunda walaupun falsafah itu tidak
pernah menjadi bagian integral dari kepribadian. Falsafah keagungan Sunda
tersimpan rapat dalam pengakuan sepihak yang serba retoris dan jauh panggang dari api atau jauh tanah ka langit
dengan yang seharnsnya. Dengan bangga orang Sunda selalu mengklaim "seuweu-siwi Siliwangi' tanpa ada upaya mewarisi nilai-nilai luhurnya.
Dikhawatirkan, pakia-kia inilah yang
telah menjebak manusia Sunda, khususnya para politisi, sampai saat ini
ngahiyang. Bukan ngahiyang dalam kedalaman eskapisme spiritual, melainkan
bersembunyi dibalikpesonakemegahan
pragmatisme kebendaan.
Kiprah dan pemikirannya nyaris tak
terdengar kecuali lamat terdengar sayup-sayup igauan uga yang entah kapan
tiba bahwa "Pada setiap masa selalu akan

hadir Prabu Siliwangi yang memiliki
kualifikasiunggulsebagaipemandu arab
peIjaianan bangsa memasuki misteri
masa depan" seperti tertulis dalam Upaya AwalMengeja danMenyingkap Makna Rumpaka (2004).
ASEP SALAHUDIN
Dosen diIAILM
Pesantren SUlyalayaTasikmalaya;
MahasiswaDoktoral Unpad
Bandung