Peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender

(1)

Oleh :

PUTRI CORIYANA SANDI

NIM: 104045201520

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Siyasah Syar’iyyah (S.Sy)

Oleh :

PUTRI CORIYANA SANDI 104045201520

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memeperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Putri Coriyana Sandi NIM : 104045201520

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(4)

Hukum Berkeadilan Gender, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari rabu tanggal 24 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Siyasah Syar’iyyah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah.

Jakarta, 13 September 2011 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP.195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag

NIP. 19721010997031008

Sekretaris : Afwan Faizin, MA

NIP. 197210262003121001 Pembimbing I : Dr. Jaenal Aripin, M.Ag

NIP. 197210161998031004 Pembimbing II : Mu’min Rouf, MA

NIP. 197004161997031004

Penguji I : Dr. Asmawi, M.Ag

NIP. 19721010997031008

Penguji II : Afwan Faizin, MA


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skirpsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya mendapatkan sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Syawal 1432 H 13 September 2011 M

Putri Coriyana Sandi


(6)

iv

Kesanggupan kita terhadap konsekuensi itulah yang seharusnya menjadi

pertimbangan tatkala hendak menjatuhkan pilihan”

Dengan segala kerendahaan hati

karya sederhana ini penulis persembahkan untuk :

Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan do’a serta berkorban

dalam mengasuh, membimbing dan mengenalkan arti hidup.

Akhmad Sujai tercinta yang senantiasa menemani penulis dalam suka


(7)

v

Allah SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya. Sehingga penulis diberikan kekuatan fisik untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Peran Politisi Perempuan PKS Dalam Memperjuangkan Hukum Berkeadilan Jender”.

Shalawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi Muhammad SAW. Beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhidan kebahagiaan, kearifan hidup manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman.

Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah konsentrasi Siyasah Syar’iyyah (HTNI) Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulusnya dari lubuk hati yang paling dalam penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan skripsi ini penulis mendapat bantuan dan motifasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Afwan Faizin, MA, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

vi

meluangkan waktunya dan tenaganya untuk membimbing serta memberikan saran dan kritik selama penulis mengerjakan skripsi ini.

6. Seluruh Staf Pengajar dan Karyawan Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Seluruh Staf dan Karyawan Dewan pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera Pimpinan Cabang Jakarta Pusat.

10. Keluarga tercinta, Ayahanda Subandi dan Ibunda Sinta Dewi serta kakanda Akhmad Sujai, S.T., yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan baik material maupun sprituil kepada penulis.

11. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2004 Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu kelancaran penulis dalam merencanaan, membuatan dan menulis Skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa pada penulisan Skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik secara materi maupun teknis penulisan. Maka untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan Skripsi ini.

Jakarta, 15 Syawal 1432 H 13 September 2011M


(9)

vii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN………. MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….. iii iv KATA PENGANTAR………. v

DAFTAR ISI………. vii

DAFTAR TABEL……… ix

DAFTAR LAMPIRAN……… x

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………... B. Identifikasi Masalah ……….. C. Perumusan Masalah ……….. D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ……… E. Metodologi Penelitian……… F. Sistematika Penulisan ………...

KIPRAH PEREMPUAN DALAM POLITIK HUKUM DI INDONESIA

A. Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia ……… 1. Zaman Kolonial Belanda ……….. 2. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang ……… 3. Republik Indonesia ……….. B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di

Indonesia ………... 1. Bentuk Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia …... 2. Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia C. Isu-Isu Sentral Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia ………

1 7 8 8 8 10 12 12 19 20 23 23 24 27


(10)

viii BAB III

BAB IV

BAB V

PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANG - UNDANGAN DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER

a.A. Definisi, Bentuk Dan Praktek Hukum Berkeadilan Gender ….... BB. Perempuan Dalam Legal Drafting UU Di DPR ………... C. Produk Perundang-undangan Berkeadilan Gender ………...

PANDANGAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER

A. Dinamika PKS Dalam Politik Indonesia ……….. B. Isu-Isu Gender Dalam Perempuan PKS ……… C. Pandangan Politisi PKS Dalam Hukum Berkeadilan Gender …...

PENUTUP

A.Kesimpulan ………...

B. Saran ………. 35 43 54

58 68 71

86 87

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

(12)

x Perkawinan

Lampiran 2 : Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik


(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Masalah gender sudah sering dibahas oleh pemerhati dalam berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu aspek hukum adat, pidana, pajak, perdata, tata negara, aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender, yang berarti jenis kelamin.1 Dalam Webster New World Of Dictonary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.2Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.3

Menurut Hilary. M. Lips dalam bukunya yang terkenal, Sexs And Gender An Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).4Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya tentang kaum feminis seperti menurut Linda. L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk dalam bidang kajian

1 John M. Echols Dan Hassan Shadily,Kamus Inggris Indonesia, Cet.XII, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,1998), h.265.

2 Celia Modgil, The Apparent Disparity Between Man And Women In Values And Behavior(New York: Webster Of Dictionary, 1984), h.561.

3 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, Vol. 1, (New York: Green Press), h.153.

4 Hilary M. Lips, Sexs And Gender An Introduction, (London: Masyfield Publishing Company, 1993), h.4.


(14)

gender (What a given society defines as masculine or feminism is a component of gender).5

Menurut H.T. Wilson dalam Seks dan Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.6 Sedangkan menurut Elaine Showalter mengartikan jender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi konstruksi sosial budaya. Elaine menekankannya sebagai konsep analisa (an analytic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.7

Meskipun kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah banyak digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan gender. Gender juga dapat diartikannya sebagai interprestasi mental dan budaya terhadap perbedaan kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.8

Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, Seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti jenis kelamin.9Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya.10 Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat di lihat dari sejarah, dimana telah mencatat bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyatan pahit dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah dan selalu menjadi yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang

5 Aidit. D.N,Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, (Jakarta: Ilmu Bintang Merah, 1957), h.216.

6 H.T.Wilson, Analisis Seks Dan Gender, Cet.1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), h.57. 7 Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Cet.I, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.403-404.

8 Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Diera Demokrasi, Cet.I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 66.

9 Echols Dan Shadily, Op.Cit., h.517. 10. Lindsey, Op.Cit., h.2.


(15)

tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia, Mulai dari hal yang sangat kecil yaitu diskrimnasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan lainya seperti hak politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum.

Dalam kaitan dengan pengertian gender ini Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial.11Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari dibentuk dan diubah oleh masyarakat sendiri. Oleh karena itu sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing.12

Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten atau kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program atau proyek dan kegiatan.

Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan

11 Astiti,Jender Dalam Hukum Adat,(Jakarta: Word Press, 2000), h.1.

12 Mansour Faqih, Analisa Gender Dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.8.


(16)

belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9 % (102.847.415) dari jumlah total (206.264.595) penduduk Indonesia sensus penduduk tahun 2000 merupakan sumber daya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumber daya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.

Faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriarki). Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender. Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik. Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen. Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di


(17)

eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender.

Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan selain pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan.

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang subordinatif yang artinya dimana bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.

Hubungan yang subordinatif tersebut dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia karena hubungan yang subordinatif tidak saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat dan lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminis berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang subordinatif tersebut.

Di Indonesia sebenarnya perjuangan kaum feminis untuk menuntut kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A. Kartini. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan R.A. Kartini tersebut mendapat pengakuan


(18)

yang tersirat pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.

Di samping itu, berbagai produk perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebagai realisasi tuntutan persamaan hak dan kedudukan perempuan dengan laki-laki, antara lain Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antara produk perundang-undangan tersebut yang paling tegas mengatur tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Meskipun begitu kedudukan subordinasi terhadap perempuan dalam kenyataannya masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan.

Hak politik perempuan di dunia public sebenarnya telah ada dan tertuang dalam konvensi PBB tentang penghapusan Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW - The Unconvention On The Elimination Of All Forms Of Dicrimination Against Women) yang disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Sebagai ratifikasi dari konvensi tersebut muncul Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 tentang kuata keterwakilan perempuan yang mencapai 30% di parlemen. Data berikut penjelaskan kompisisi anggota DPR RI berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 1.1 Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004.13 No Partai Perempuan Persen Laki-Laki Persen Jumlah

1 GOLKAR 18 14 110 86 128

2 PDIP 12 11 97 89 109

3 PPP 3 5,17 55 94,82 58

4 DEMOKRAT 6 10,52 49 89,47 55

5 PKB 7 13,46 45 86,53 52

13 Sulistyowati Irianto, Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004, (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2004).


(19)

6 PAN 7 13,46 46 86,53 57

7 PKS 3 6,66 42 93,33 45

8 PBR 2 15,38 12 84,61 14

9 PBB 0 0 11 100 11

10 PDS 3 25 9 75 13

11 PDK 0 0 4 100 4

12 PKPB 0 0 2 100 2

13 PELOPOR 1 33 2 66 3

14 PKPI 0 0 1 100 1

15 PNI 0 0 1 100 101

16 PPDI 62 11,27 487 88,73 550

Jumlah 62 11,27 487 88,73 550

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Pemilu yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada Pasal 65 Ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2003, maka setiap partai politik harus mengajukan calon anggota DPR baik DPRRI, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten atau kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %.14

Untuk mengetahui salah persepsi dan berbagai pengertian, penulis ingin mengetahui lebih jauh dan mengkaji penelitian penulis berdasarkan literatur-literatur yang ada. Akhirnya penulis memberikan judul dalam penelitian adalah ”Peran Politisi Perempuan PKS Dalam Memperjuangkan Hukum Berkeadilan Gender”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah diatas dapat di identifikasi beberapa masalah, yaitu peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan

14 Hajriyanto Y. Thohari, Partai Yang Berasakan Islam, (Jakarta: Media Seputar Indonesia, 2008), h.15.


(20)

gender, bentuk dan karakteristik gerakan politik perempuan di Indonesia dan isu-isu sentral gerakan politik di Indonesia.

C. Perumusan Masalah

Dari identifikasi masalah diatas tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender ?

2. Bagaimana kiprah perjuangan politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender ?

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan praktek hukum keadilan gender. b. Untuk mengetahui dengan jelas mengenai perempuan dalam legal drafting

undang-undang di DPR.

c. Untuk mengetahui produk perundang-undangan berkeadilan gender. 2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Sebagai sumbangan teoritas bagi masyarakat mengenai bentuk dan praktek

hukum berkeadilan gender dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam pengembangan khazanah keilmuan dibidang politik.

c. Memberikan pemahaman tersendiri khususnya bagi penulis dan umumnya bagi masyarakat luas mengenai peran politisi perempuan pks dalam hukum berkeadilan gender.

E. Metodelogi Penelitian


(21)

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelititian lapangan (field research) yang berdasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Jenis penelitian ini diambil sesuai dengan obyek penelitian yang dikaji melalui pendekatan kualitatif, yaitu jenis penelitian yang dilakukan secara sistematis terhadap suatu objek berdasarkan fakta-fakta yang ada untuk menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tulisan dari perilaku objek yang diteliti. Kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini, yaitu teknik observasi sebagai teknik utama penelitian, sedangkan sebagai pelengkap penelitian menggunakan teknik wawancara dan teknik dokumentasi.

a. Teknik observasi

Dimana dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat situasi lingkungan, sikap dan prilaku dari pengurus dan kader PKS, baik dilingkup nasional maupun jawa tengah, melalui kunjungan ke sekretariat DPP Pusat, sekretariat fraksi PKS Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah, serta jika memungkinkan ke lokasi kegiatan yang diselenggarakan PKS. b. Teknik dokumentasi

Dimana dalam penelitian ini peneliti memperoleh data dengan cara mencari dan mengumpulkan bahan-bahan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Data-data tersebut berupa catatan-catatan hasil pengamatan, dokumen-dokumen sekolah, buku-buku, jurnal, artikel, surat kabar, majalah, situs internet dan lain sebagainya.

c. Teknik Wawancara

Untuk melengkapi data penelitian berupa keterangan lisan masih dibutuhkan metode wawancara atau interview. Dalam penelitian ini data berupa keterangan yang diperoleh dari subyek penelitian yang berasal dari lingkungan internal organisasi PKS dan lingkungan eksternal. Untuk


(22)

lingkungan internal adalah pengurus PKS dengna mempertimbangkan kapasitas dan kedudukannya dalam organisasi PKS sehingga representative mewakili organisasinya. Sedangkan subyek penelitian dari lingkungan eksternal non PKS adalah pihak-pihak yang memiliki kapasitas dan kedudukan dalm sebuah lembaga yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang diteliti.

3. Metode Analisa Data

Dari data-data hasil penelitian yang diperoleh dilapangan seperti data hasil observasi, hasil wawancara dan hasil dokumentasi sepenuhnya akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa deskritif kualitatif, yaitu hasil analisa tidak disajikan dalam bentuk angka-angka dan bilangan statistik akan tetapi berupa pemaparan atau gambaran mengenai situasi yang di teliti dalam bentuk uraian- uraian naratif .

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penyusunan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, dengan urain sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II KIPRAH PEREMPUAN DALAM POLITIK HUKUM DI

INDONESIA

Pada bab ini membahas tentang sejarah gerakan poltik perempuan di Indonesia, bentuk dan karakteristik gerakan politik perempuan di Indonesia dan isu-isu sental gerakan politik perempuan di Indonesia.

BAB III PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANGAN UNDANGAN


(23)

Pada bab ini membahas tentang definisi, bentuk dan praktek hukum berkeadilan gender, perempuan dalam legal drafting Undang-Undang di DPR dan produk perundang-undangan berkeadilan gender.

BAB IV PANDANGAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM

BERKEADILAN GENDER

Pada bab ini membahas tentang dinamika PKS dalam politik Indonesia, isu-isu gender dalam perempuan PKS dan pandangan politisi PKS dalam hukum berkeadilan gender.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender.


(24)

12

A. Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

Gerakan politik perempuan Indonesia baru dimulai pada permulaan abad 20, yaitu permulaan bentuk gerakan secara modern. Karena bentuk gerakan tersebut ditandai oleh tumbuhnya organisasi wanita yang diikuti oleh proses perkembangan organisasi gerakan kebangsaan Indonesia pada waktu itu. Dengan begitu banyak organisasi wanita menjadi bagian dari kelompok wanita sebagai organisasi kebangsaan. Bahwa organisasi itu mempunyai pengurus tetap dan mempunyai anggota, mempunyai tujuan yang jelas, disertai rencana pekerjaan berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Sebelumnya kaum wanita berjuang orang perorangan dan belum terorganisasi dalam susunan suatu badan perkumpulan.15

Namun demikian, perjuangan kaum wanita melawan penjajah Belanda pada waktu itu telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi wanita-wanita generasi kemudian, yang berjuang untuk emansipasi kaumnya sekaligus memiliki peranan partisipasi dalam mengisi hasil perjuangan kemerdekaan Indonesia.

1. Zaman Kolonial Belanda

Pada zaman kolonial belanda pergerakan perempuan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu :

a. Periode Perintis (1880 - 1910)

Kedatangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (V.O.C) pada abad ke-18 adalah untuk berdagang dengan menggunakan moncong meriam di kepulauan Indonesia sejak semula membawa malapetaka untuk rakyat Indonesia. Melalui penindasan, eksploitasi, pengurasan sumber ekonomi adalah untuk memperkaya

15 Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Kolektif Coup, 1978).


(25)

Belanda hingga saat ini. Pemindahan kekuasaan dari Vereenigde Oost Indische Compagnie(V.O.C) kepada Bataafse Republiek sama sekali tidak merubah situasi saat itu, akan tetapi hanyalah meneruskannya saja dengan cara yang berbeda. Hak monopoli perdagangan dan hak monopoli pelayaran antar pulau diseluruh Nusantara yang mematikan daya hidup dan daya materiil rakyat Indonesia dilanjutkan oleh Pemerintah Pusat Negara Monarkhi di Belanda dengan staatsmonopoli. Penunjukan posisi Gubernur Jendral Van den Bosch di negara jajahan (Nederlands Indie) langsung memberlakukan kebijakan Cultuurstelsel pada tahun 1830 sampai tahun 1870, yaitu suatu sistem pengetrapan tanam paksa berbagai jenis tanaman seperti kopi, gula, tembakau dan tanaman lainnya di atas 1/5 (seper lima) tanah pedesaan untuk kepentingan pasaran dunia barat.16

Misi VOC, sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi. Pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, maka VOC menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda. Didaerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai colonial akhirnya membentuk badan-badan peradailan. Upaya ini tidak mulus berjalan dalam penerapannya mengalami hambatan. Atas dasar berbagai pertimbangan VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaiman sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari.17

Sejak saat itulah pemberontakan timbul di mana-mana, hingga hampir setiap tahun Batavia mengirimkan ekspedisi-ekspedisi militer keberbagai tempat di Nusantara untuk menumpas perlawanan rakyat. Pada masa itu belum diketemukan cara perjuangan Nasional. Periode Perintis meliputi masa sebelum tahun 1908, yaitu tahun dimulainya fase kebangkitan kesadaran nasional, dengan

16 Baroroh Baried, Citra Wanita Dalam Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Seminar Nasional Fakta Dan Citra), 23-25 agustus 1984.

17 Prof. Mohammad Daud Ali.S.H, Kedudukan Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Cet.1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1977), h.212.


(26)

berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Periode Perintis masih juga meliputi masa permulaan politik etis Belanda di Indonesia.

Para tokoh Perintis perjuangan wanita belum mempunyai perkumpulan atau organisasi wanita, dengan kata lain berjuang orang perorangan, akan tetapi dalam kenyataan bahwa mereka mengangkat senjata bahu membahu dengan kaum pria melawan penjajah Belanda, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan sumber inspirasi bagi generasi wanita berikutnya untuk berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan. Para tokoh perintis dalam masa sesudah diterapkannya politik etis Belanda di Indonesia, memberikan teladan dan dorongan kepada generasi kaumnya untuk meneruskan jejak langkah mereka, juga berjuang untuk emansipasi dan partisipasi untuk membangun kemandirian kaumnya, kemajuan bangsanya dan kemerdekaan tanah airnya karena ciri utamanya ialah menekankan kepada pendidikan atau lebih khususnya pendidikan model Barat, sebagai bekal untuk memajukan kaumnya dan bangsanya. Gerakan pendidikan kebanyakan diprakarsai oleh kalangan elite bangsawan, karena mereka lebih dahulu diberi kesempatan oleh pemerintah untuk bisa memasuki sekolah-sekolah khusus untuk warga Eropa. Pejuang-pejuang Perintis pada masa itu, diantaranya Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad Dahlan.

b. Periode Kebangkitan Kesadaran Nasional (1911 - 1928)

Masa kebangkitan kesadaran nasional ditandai dengan munculnya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, organisasi pertama diantara bangsa Indonesia yang dibentuk secara modern. Dengan bentuk modern diartikan bahwa organisasi mempunyai pengurus tetap, anggota, tujuan, rencana pekerjaan dan seterusnya berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Pengurus Budi Utomo terdiri dari para Priyayi dan dalam waktu singkat organisasi tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai 40 cabang dengan lebih kurang 10.000 anggota. Kemudian berdiri partai-partai politik yang tidak terbatas pada daerah berkebudayaan Jawa saja seperti Budi


(27)

Utomo akan tetapi yang beraliran Indisch Nasionalisme radikal, beraliran nasionalisme demokratis dengan dasar agama dan beraliran marxisme.

1. Gerakan Perempuan Dan Kebangkitan Nasionalisme

Pada periode Budi Utomo pejuang gerakan perempuan baru terbatas pada kedudukan sosial saja. Soal-soal politik perempuan belum dalam jangkauannya. Apalagi kemerdekaan tanah air masih terlalu jauh dari penglihatan dan pemikirannya. Kesibukan-kesibukan pada periode perintis dibidang pendidikan, pengajaran, kerumah tanggaan masih berlanjut.

Pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi perempuan berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya dan perhatian kaumnya. Sehingga pada periode kebangkitan dan Kesadaran Nasional ini mulai untuk meningkatkan kaum perjuangan perempuan. Ini dibuktikan dengan munculnya organisasi perempuan yang pertama di Jakarta pada tahun 1922 bernama Putri Mardika atas bantuan Budi Utomo. Perkumpulan Kartini Fonds yang bertujuan mendirikan sekolah-sekolah Kartini berdiri diberbagai tempat di Jawa, Keutamaan Istri didirikan di banyak tempat di Jawa Barat bahkan dikota Padang Panjang, Kerajinan Amai Setia di kota Gedang, Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya berdiri pada tahun 1917 di Manado. Kesemuanya itu baik organisasi perempuan dari organisasi partai umum maupun organisasi lokal kesukuan atau kedaerahan bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi perempuan dan perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumah tangga. Ada beberapa hal yang menjadi fokus pejuang gerakan perempuan pada masa itu yaitu gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan lamban. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, tidak adanya izin dari orang tua di kalangan atas atau diperlukan tenaganya untuk membantu orang tua di kalangan bawah. Di samping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan wanita.18

18 Umi Sardjono, Meningkatkan Peranan Wanita Dalam Perjuangan Untuk Hak-Hak Demokrasi, (Jakarta: Sidang DPP Pleno, 1955).


(28)

Dalam Sarekat Islam terikat divisi peperangan adalah bernama Wanudiyo Utomo dan kemudian Sarekat Perempuan Islam Indonesia. Dalam Kongres Sarekat Islam pada bulan April 1929 di Surabaya, Sarekat Perempuan Islam Indonesia bertentangan dengan Persatuan Puteri Indonesia mengenai poligami. Bagian Wanita Muhammadiyah adalah Aisiyah yang juga tidak ikut mencampuri masalah persoalan politik seperti ibu perkumpulannya yaitu Muhammadiyah. Mengenai masalah poligami menurut Aisiyah sependirian dengan bagian Wanita Sarekat Islam. Mereka juga menentang keras adat Barat seperti pakaian, tata rambut, cara hidup, kesenangan dan sebagainya karena dianggapnya bertentangan dengan adat Islam. Wanita Perti sebagai bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah di dirikan pada tahun 1928. Bagian Wanita Sarekat Ambon adalah Ina Tuni membantu aksi Sarekat Ambon dikalangan militer Ambon. Bagian Wanta ini berhaluan politik seperti Sarekat Ambon juga.

Perhimpunan perempuan lainnya ialah organisasi pemudi terpelajar, seperti Puteri Indonesia dan Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, Jong Java Meisjeskring, Organisasi Taman Siswa. Kemajuan gerakan Wanita sesudah tahun 1920, terlihat juga dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan Wanita kecil yang berdiri sendiri. Hampir di semua tempat yang agak penting ada pekumpulan wanita. Seperti pada masa sebelum 1920, perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk belajar masalah kepandaian putri yang khusus. Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang lebih pesat. Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin tampak terutama yang menjadi bagian dari Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan Persatuan Muslimin Indonesia.

Gerakan Perempuan Indonesia pada fase ini sudah lebih matang untuk menyetujui anjuran dan panggilan kebangsaan, faham Indonesia bersatu yang di hidup-hidupkan antara lain oleh Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional Indonesia. Maka berlangsunglah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Jogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini merupakan lembaran sejarah baru bagi gerakan wanita Indonesia, di mana organisasi wanita


(29)

menggalang kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan perempuan Indonesia pada masa ini ialah berasaskan kebangsaan dan menjadi bagian pergerakan kebangsaan Indonesia. Pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan di antaranya ialah kedudukan perempuan dalam perkawinan, poligami dan koedukasi. Masalah politik nasional melawan penjajahan tidak menjadi pokok bahasan dan Kongres berpendirian berhaluan kooperasi terhadap pemerintah Belanda (Nederlands Indie).19

Kongres menghasilkan keputusan dibentuknya badan permufakatan organisasi-organisasi wanita dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia dan bertujuan untuk memberi penerangan dan menjadi forum komunikasi antar organisasi perempuan. Kongres tersebut menghasilkan tiga buah mosi yang ditujukan kepada pemerintah Belanda (Nederlands Indie) yaitu menambah sekolah-sekolah untuk anak perempuan, memberikan keterangan nikah mengenai taklik janji dan syarat perceraian serta membuat peraturan untuk memberi sokongan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah.

2. Gerakan Perempuan Dan Media Massa

Gerakan Perempuan Indonesia sejak semula menyadari pentingnya media massa bagi perjuangannya. Alat media massa seperti surat kabar dan majalah berfungsi untuk menyebarkan gagasan kemajuan wanita dan juga sebagai sarana praktis pendidikan dan pengajaran. Tulisan dan karangan ditulis dalam bahasa Melayu, Belanda dan Jawa. Sebagian besar pengarang dan yang membantu penerbitan majalah Gerakan Wanita pada periode itu adalah guru-guru wanita yang berpendidikan Barat. Guru wanita ketika itu merupakan kaum elite di bidang kebudayaan.

Majalah pertama Putri Hindia terbit pada tahun 1909 di Bandung, dalam dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo. Hingga tahun

19 Aidit D. N, Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, (Jakarta: Bintang Merah, 1957), h.266.


(30)

1925 sudah di terbitkan sebelas macam media massa seperti koran dan majalah yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.

Surat kabar Sunting Melayu terbit pada 10 Juli 1912 di Padang. Surat kabar Sunting Melayu ini terbit tiga kali seminggu. Surat kabar ini merupakan pusat kegiatan pemudi, putri maupun wanita yang telah bersuami yang berisi masalah politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia dan cara menyatakan pikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Sampai tahun 1920 pemimpin redaksinya ialah Hohana Kudus.

Kemudian surat kabar Wanito Sworo terbit pada tahun 1913 di Pacitan sebuah kota kecil di pantai samudera indonesia di Madiun yang dipimpin oleh Siti Sundari dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian sebagian berbahasa Melayu. Media lain yang tersebut adalah majalah Putri Mardika terbit pada tahun 1914 di Jakarta Majalah bulanan ini berisikan artikel-artikel yang ditulis dalam bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan berhaluan maju seperti masalah permaduan, pendidikan campuran laki-laki dan wanita, kelonggaran bergerak bagi kaum wanita, kesempatan pendidikan dan pengajaran.

Penuntun Isteri edisi Sunda terbit tahun 1918 di Bandung. Isteri Utomo terbit di Semarang. Suara Perempuan dengan redaksi seorang guru wanita bernama Saada terbit di Padang. Perempuan Bergerak terbit pada tahun 1920 di Medan dengan pimpinan redaksi Satiaman Parada Harahap diperkuat oleh Rahana.

c. Periode Kesadaran Nasional (1928 - 1941)

Pada periode sebelumnya lingkup kegiatan hampir semua organisasi wanita masih terbatas pada masalah emansipasi dan usaha menjadikan wanita lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionilnya sebagai wanita. Namun pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan melebihi lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya. Padahal sebelumnya semua organisasi yang bergabung dalam Perikatan


(31)

Perkumpulan Perempuan Indonesia menolak mencampuri urusan politik dan agama.

Perkembangan terakhir ini sebenarnya telah dirintis jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1919 ketika Siti Soendari mendirikan organisasi Putri Budi Sejati di Surabaya Organisasi ini merupakan organisasi wanita yang cukup besar serta berdikari, dan mendasarkan perjuangannya pada cita-cita kebangsaan. Arah baru ini diikuti oleh Isteri Sedar yang didirikan di Bandung pada tahun 1930. Isteri Sedar berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dimana penghargaan dan kedudukan wanita dan laki-laki sama dan sejajar. Organisasi ini juga bersikap kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya merugikan kaum wanita. Isteri sedar bersikap anti dan selalu dengan pedas menyerang imperialisme dan kolonialisme.20

Pada kongresnya yang kedua tahun 1935, ketiga tahun 1938 dan keempat tahun 1941, Perikatan perkumpulan Perempuan Indonesia membicarakan sekitar kewajiban kebangsaan walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi Ibu Bangsa, masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan kota, serta beberapa masalah politik lainnya.

2. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942 - 1945)

Dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten tanpa syarat di Kalijati pada tanggal 9 Maret 1942 kepada Jendral lmamura, berakhirlah penjajahan Belanda atas lndonesia. Dengan demikian berpindah tangan nasib bangsa lndonesia kepada penjajah yang baru Jepang. Belanda tidak pernah percaya kepada ajakan tokoh-tokoh politik bangsa lndonesia untuk bersama-sama berjuang anti fasis, sebaliknya Belanda lebih percaya kepada Jepang. Padahal sudah tahu lebih dulu, bahwa Jepang sudah mengincar lndonesia untuk memperoleh kekayaannya, terutama minyak yang sangat dibutuhkannya untuk keperluan industrinya.

Kekejaman fasis Jepang selama pendudukannya di lndonesia bahkan makin membulatkan tekad seluruh bangsa untuk membebaskan diri dari setiap

20 Jaya Wardena, Feminism And Nationalism In Third Word In 19th And 20th Centuries, (Denmark: The Haque: 1982).


(32)

penjajahan asing dan memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Salah satu tindakannya yang pertama ialah Jepang melarang semua organisasi yang ada dan membubarkannya. Dengan bantuan orang-orang bekas pegawai dinas rahasia Belanda yang bernama Politiek Inlichtingen Dienst menangkapi elemen-elemen anti fasis di kalangan bangsa Indonesia tidak dikecualikan organisasi-organisasi wanita juga dibubarkan. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Dengan sendirinya organisasi-organisasi yang tidak mau masuk perangkap kerjasama dengan penguasa fasis, terpaksa bergerak dibawah tanah. Taktik Jepang merangkul Bangsa Indonesia dengan cara Bahasa Belanda dilarang dan bahasa Indonesia secara resmi digunakan sebagai bahasa komunikasi umum, sistem sekolah Belanda seperti ELS, HIS, HCS dan lainnya dibubarkan dan diganti dengan sekolah Rakyat 6 tahun.

Ketika pusat tenaga rakyat akhirnya dilebur dalam organisasi baru Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa, maka Fujinkai dijadikan bagian wanitanya dengan cabang didaerah-daerah. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan kewanitaan dan peningkatan ketrampilan domestik selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para wanita yang mempunnyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi dikalangan aktivis wanita yaitu mereka yang bekerjasama dengan pemerintah Balatentara Dai Nippon dan yang tidak bekerjasama serta memilih bergerak diam-diam dibawah tanah.

3. Replublik Indonesia (1945-1990)

Pada zaman Republik Indonesia ini pergerakan perempuan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu :

a. Periode 1945-1965

Revolusi Agustus 1945 mendobrak ikatan-ikatan adat dan tradisi yang sebelumnya menghambat gerak maju wanita. Penderitaan dan penghinaan selama penjajahan sudah cukup berat dan kini sewaktu revolusi, urusan-urusan yang tidak


(33)

pokok tidak dihiraukan lagi. Seluruh rakyat merasa terpanggil untuk ikut berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan. Organisasi-organisasi wanita pada umumnya diwaktu itu mengutamakan usaha-usaha perjuangan, baik di garis belakang dengan mengadakan dapur umum dan pos-pos Palang Merah maupun di garis depan dengan nama suatu badan perjuangan maupun tergabung dengan organisasi-organisasi lain. Timbul laskar-laskar perempuan di mana tugas-tugas mereka sangat luas, digaris depan, dimedan pertempuran, melakukan kegiatan intel, jadi kurir, menyediakan dan mengirimkan makanan kegaris depan, membawa kaum pengungsi dan memberi penerangan.

Dalam kesibukan revolusi fisik maupun dalam bidang sosial politik, pergerakan wanita berbenah diri untuk menggalang persatuan yang kuat. Kongres pertama diadakan di Klaten pada bulan Desember 1945, dengan maksud menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Persatuan Wanita Indonesia dan Wanita Negara Indonesia dilebur menjadi badan fusi dengan nama Persatuan Wanita Republik Indonesia.

Pada bulan Februari 1946 di Solo, lahirlah Badan Kongres Wanita Indonesia. Pada bulan juni 1946 diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia di Madiun, yang merupakan Kongres Wanita Indonesia ke 5. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik, Kongres memutuskan antara lain mulai mengadakan hubungan dengan luar negeri. Maka dari itu Kongres Wanita Indonesia menjadi anggota Women's International Democratic Federation. Di jiwai oleh tekad untuk ikut serta dalam pembangunan jaringan kerjasama Internasional, mendukung pergerakan wanita selanjutnya menyusun program kerja, yang tidak hanya meliputi bidang pembelaan negara, tetapi juga bidang sosial, politik, pendidikan dan lainnya sesuai dengan derap perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik pada waktu itu.

Sesudah tahun 1950 masalah-masalah politik semakin banyak minta perhatian. Bermacam persoalan yang berkaitan dengan masalah penyusunan kekuatan partai-partai politik. Perhatian masyarakat mulai di sita oleh persiapan penyelenggaraan pemilihan umum pertama yang akan diadakan pada tahun


(34)

1955. Makin banyak kegiatan kaum perempuan yang ditujukan kepada masalah-masalah politik, mengingat usaha masing-masing aliran politik untuk tampil sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Tapi tidak dilupakan juga, masalah rutin sebelumnya seperti memperjuangkan peraturan perkawinan yang tidak merugikan kaum perempuan. Organisasi-organisasi yang berafiliasi pada partai politik sibuk membantu partai induknya mempersiapkan diri menghadapi pemilu sampai tahun 1965 dapat dikatakan bahwa lingkup perhatian dan wawasan kaum perempuan cukup luas dan mendunia, di samping merupakan cerminan dari aliran politik ditingkat nasional.

b. Periode Diktator Militer 1965-1990

Sejak golongan militer mendominasi panggung kekuasaan pemerintahan Orde Baru, partisipasi politik masyarakat melalui organisasi politik dan organisasi sosial semakin terbatas dan dikendalikan. Karena itu, nampaknya tidaklah terlalu meleset jika dinyatakan bahwa arti sebenarnya dari istilah demokrasi Pancasila tersebut adalah semakin dominannya peran pemerintah dalam hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Atas nama tuntutan pembangunan ekonomi yang dinyatakan sebagai sarat utama membutuhkan stabilitas politik, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan bagi organisasi-organisasi massa termasuk organisasi perempuan. Dalam hal ini, kebijakan utama yang dikenakan pada organisasi perempuan adalah dilakukannya penyempitan jumlah, pemusatan organisasi, penyatuan koordinasi, dan uniti jenis program.

Ekspansi gerakan organisasi bentukan pemerintah diatas dan lembaga resmi yang mengkoordinasikannya, ditunjang oleh peraturan pemerintah sebagai kekuatan dominan. Keberadaan kekuatan dominan tersebut telah menyulitkan daya hidup dan ruang gerak organisasi-organisasi perempuan yang telah sejak lama hidup dimasyarakat. Dengan demikian, akhirnya pada masa Orde Baru ini muncul dua jenis organisasi perempuan, yaitu organisasi pemerintah dan non pemerintah. Perkembangan terakhir ini menandai terjadinya polarisasi secara tegas dalam gerakan perempuan serta berlangsungnya proses penyempitan ruang gerak berorganisasi bagi kaum perempuan.


(35)

c. Periode Reformasi

Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya termasuk dalam rumah tangga, maka kini diperlengkap dengan adanya basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.21

B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 1. Bentuk Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses keputusan khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakekat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional dan non konstitusional.22 Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik yang modern dan demokratis. Sebagai suatu partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilasi rakyat mewakili kepentingan

21 Hikmah Bafagih, Sejarah Gerakan Perempuan, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h.6. 22 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet.1, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008), h.403-404.


(36)

tertentu memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan secara legimasi dan damai.

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan.

2. Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

Komunis adalah salah satu ideologi yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini, dimana faham ini berasal dari Manifest Der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Frederich Engels pada 21 Febuari 1848 sebagai koreksi dari faham kapitalisme yang dianut dan berkembang di negara-negara Eropa yang pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai semua milik rakyat dan oleh karena itu seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata oleh kita untuk kita. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya muncul beberapa fraksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dengan komunisme revolusioner yang dimana pada masing-masing fraksi mempunyai teori dan cara perjuangan yang saling berbeda dalam pencapaian sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutkan sebagai masyarakat utopia.

Kelahiran komunisme di Indonesia tak jauh dengan hadirnya orang-orang buangan dari Belanda ke Indonesia dan mahasiswa-mahasiswa jebolan yang beraliran kiri. Mereka diantaranya Sneevliet, Bregsma, dan Tan Malaka yang terakhir masuk setelah Sarekat Islam di Semarang sudah terbentuk. Alasan kaum pribumi yang mengikuti aliran tersebut di karenakan tindakan-tindakannya yang melawan kaum kapitalis dan pemerintahan. Gerakan komunis di Indonesia diawali di Surabaya, yakni didalam diskusi intern para pekerja buruh kereta api Surabaya yang dikenal dengan nama Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal (VSTP). Pada awalnya Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal (VSTP) hanya berisikan anggota orang Eropa dan Indo Eropa.


(37)

Salah satu anggota yang menjadi besar adalah Semaun kemudian menjadi ketua Sarekat Islam Semarang. Komunisme Indonesia mulai aktif di Semarang atau sering disebut dengan Kota Merah setelah basis Partai Komunis Indonesia diera tersebut. Hadirnya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (I.S.D.V) dan masuknya para pribumi berhaluan kiri kedalam Sarekat Islam menjadikan komunis sebagian cabangnya karena tak otonomi yang menciptakan Pemerintah Kolonial atas organisasi lepas menjadi salah satu ancaman bagi pemerintah. Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) menjadi salah satu organisasi yang bertanggung jawab atas banyaknya pemogokan buruh di jawa.

Pada tanggal 23 Mei 1920, Indische Social Democratische Vereeniging (I.S.D.V) yang didirikan di Semarang sepuluh tahun sebelumnya berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di India. Kata perserikatan dalam bahasa Melayu merupakan terjemahan dari kata Belanda, yaitu Partij. Sedangkan nama Partai Komunis Indonesia itu sendiri menurut dokumen awal dari organisasi tersebut merupakan pendekatan dari bahasa Melayu Dalam kongres bulan Juni 1924 di Weltervreden sekarang Jakarta pusat. Perserikatan Komunis di India diubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Sejak tahun 1922 sudah terdapat sebuah organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereenigingyang kemudian diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia. Tapi organisasi tersebut berada di Nederland bukan di negeri jajahan.

Partai Komunis Indonesia juga merupakan salah satu organisasi politik Indonesia pertama yang menggunakan konsepsi Partai dalam nama resminya bahasa Melayu. Pergantian kata Perserikatan menjadi Partai merupakan bagian dari konflik terbuka sejak tahun 1922 di dalam tubuh Sarekat Islam. Sejak awal tahun 1910 dan di sepanjang tahun 1920, merupakan suatu gerakan sosial politik yang berpengaruh suatu gerakan yang pertama kali mengambil corak sosial politik di Indonesia, di mana organisasinya tidak lagi membatasi dalam lingkaran tertentu, baik secara sosiologis maupun geografis dan berkembang tidak hanya di Pulau Jawa melainkan juga di Sumatera dan kawasan lainnya. Untuk menegaskan perbedaan tersebut, para pemimpin Sarekat Islam kemudian mengusulkan agar gerakan Sarekat Islam dianggap sebagai sebuah partai dalam pengertian Belanda


(38)

Partij dan melarang anggotanya menjadi anggota partai yang lain pada saat yang bersamaan.

Pada dasarnya, pandangan muslim mengenai perempuan yang berpolitik ini tidaklah tunggal. Maksudnya, perempuan berpoltik tidak biasa dilihat dari satu sisis saja. Karena suara perempuan juga diperlukan dalam dalam urusan pemerintahan politik. Karena masalah yang dihadapi perempuan, perempuan itu sendirilah yang mengetahuinya. Setidaknya menurut penuturan Syafiq Hasyim ada tiga pendapat yang berkembang yang membicarakan perempuan didunia politik yaitu :

a. Pendapat konservatif yang menyatakan bahwa Islam adalah fiqih, yaitu tidak memperkenankan perempuan untuk terjun ke ruang politik. Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa tempat yang terbaik perempuan adalah rumahnya. b. Pendapat liberal progresif yang menyatakan bahwa Islam sejak awal telah

mempekenankan konsep keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Hal ini dikarenakan mereka berpendapat bahwa istri Rasullah SAW juga aktif dalam urusan pemerintah pada zaman itu.

c. Pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah politik tertentu yang bisa dimasuki perempuan dan ada bagian wilayah tertentu yang sama sekali tidak boleh dijamah oleh perempuan.Wilayah yang sama sekali tidak boleh dimasuki oleh perempuan yaitu menjadi kepala negara (Presiden). Sedangkan yang boleh yaitu, hanya sebatas aktif di politik.

Partisipasi peran perempuan dalam politik di Indonesia merupakan salah satu cerminan dari adanya keadilan di dalam demokrasi yang sekarang sedang berusaha diwujudkan di dalam masa transisi. Aspek partisipsi perempuan di dalam demokrasi bukanlah sesuatu yang dating tiba-tiba melainkan memerlukan kesadaran dan kepedulian dari seluruh masyarakat kita.

Namun sayangnya kondisi partisipasi perempuan di panggung politik masih sangat rendah, dimana sistem politik di Indonesia masih didominasi oleh kaum laki-laki sehingga dengan sendirinya bila diberlakukan kondisi alamiah, maka panggung politik tetap akan didominasi secara mayoritas oleh kaum laki-laki. Rendahnya partisipasi perempuan juga terjadi ditingkat lokal. Seiring dengan


(39)

beragam persoalan yang dialami perempuan yang hak–haknya sering dirampas dan belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat di mana masih tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan yang dilakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan perhatian serius secara politik.23

C. Isu-isu Sentral Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 1. Isu Sentral Menurut Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkenaan dengan mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan.24

Secara umum perkawinan dapat dikelompokkan kepada dua bentuk yang utama yaitu Poligami dan Monogami.

a. Poligami

Kata Poligami terdiri dari poli dan gami. Secara etimologi kata poli berarti banyak dan kata gami berarti isteri. Sedangkan secara terminologi poligami adalah seorang laki-laki yang telah bersetatus sebagai seorang suami memiliki isteri lebih dari satu atau beristeri lebih dari seorang tetapi di batasi sampai empat.25 Untuk memastikan amalan poligami secara lebih adil dan dapat menjamin kesejahteraan hidup umat, maka sebelum melakukan poligami seseorang haruslah memikirkan secara baik perkara yang berkaitan dengan syarat-syarat berpoligami yang harus wajib dipenuhi. Adapun syarat-syarat poligami adalah sebagai berikut :

23 Nelly Armayanti, Partisipasi Perempuan Dalam Gerakan Politik, (Medan: Universitas Sumatera Utara Press, 2007), h.58-59.

24 Prof.R.Subekti,S.H. Dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Bab Perkawinan), h.449.


(40)

1 Berkemampuan untuk menanggung nafkah isteri-isteri

Suami berkewajiban menanggung nafkah isteri zahir dan batin tidak kira sama ada dia mempunyai seorang isteri atau lebih. Nafkah zahir yang dimaksudkan seperti makan, minum, pakaian, kediaman dan perbutan. Sedangkan nafkah batin ialah suami berkeupayaan memberikan kemampuan dalam melakukan hubungan seks kepada isteri.

2 Mampu untuk berlaku adil kepada isteri-isteri

Menurut Abu al-Aynayn keadilan bermaksud penyamaratan terhadap semua isteri tanpa wujud pilih kasih di antara mereka. Keadilan ini di dalam perkara-perkara ikhtiari dan lahiriah yang melibatkan beberapa aspek yaitu seperti nafkah, pakaian, penempatan, giliran bermalam dan musafir.26

Dalam sub-judul “Poligami dan Keadilan” tertulis meskipun dalam Islam membolehkan poligami, namun syarat yang harus dipenuhi tidaklah main-main. Keadilan yang tidak semua orang sanggup melaksanakannya. Bahkan dengan tegas Allah SWT memastikan bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Dengan argumentasi di atas tersebut, maka tampaknya terdapat penegasan akan ketidakmungkinan pelaksanaan poligami meski Islam membolehkannya.

b. Monogami

Kata monogami berasal dari bahasa yunani yaitu monos yang berarti satu atau sendiri dan gamos yang berarti pernikahan. Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Sebenarnya Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, akan tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri. Implikasi atau konsekuensi monogami disini lebih dipusatkan pada hukum dan moral dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara sehingga poligami dan poliandri disamakan :

26 Ahamad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2004), h.11.


(41)

1. Mengesampingkan poligami simultan dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.

2. Mengesampingkan poligami suksesif artinya berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan 1056 monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain tetapi hal ini termasuk moral ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.27

2. Isu-Isu Gender Dalam Hukum Adat

Hukum adat sebagai hukum rakyat Indonesia dengan corak dan sifat beraneka ragam yang sebagian besar tidak tertulis dan dibuat serta ditaati oleh masyarakat terdiri dari hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris.

Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni :

a. Sistem kekerabatan patrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki, sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung dan Bali. b. Sistem kekerabatan matrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis

keturunan dari garis perempuan, sistem ini dianut di Sumatra Barat daerah terpencil.

c. Sistem kekerabatan parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki dan perempuan, sistem ini dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya.28

Walaupun terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki. Sistem kekerabatan dalam matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di

27 Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1981), h.8.

28 Sri Widoyatiwiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum LP3ES, (Jakarta: Studi Press,1989), h.58-59.


(42)

Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua, dimana pada sistem kekerabatan ini menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem perkawinan semendonya dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum waris juga sebagai ahli waris.

Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah diskriminasi terhadap wanita berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.

Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas, maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan dan lain-lainnya. Salah satu produk peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan adalah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang Perkawinan ini sudah berlaku kurang lebih 30 tahun dan banyak mengandung kelemahan karena bersifat diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan. Undang-Undang ini terdiri dari 67 pasal, dari 67 pasal ada beberapa pasal yang secara nyata bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Adapun pasal-pasal dimaksud antara lain :

a. Pasal 3 (2), Pasal 4, Pasal 5, tentang ketentuan poligami.

b. Pasal 7 (1) mengenai ketentuan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

c. Pasal 11 mengenai ketentuan waktu tunggu bagi wanita yaitu janda mati 120 hari dan janda cerai 90 hari.


(43)

d. Pasal 31 (3) mengenai ketenuan suami kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.

e. Pasal 34 (1,2) mengenai ketentuan yang memposisikan isteri sangat lemah dan subordinasi.

f. Pasal 41 (b.c) mengenai ketentuan istri atau wanita diposisikan lemah dan subordinasi.

g. Pasal 44 (1) mengenai ketentuan penyangkalan anak.29

3. Kuota Perempuan

Di makassar Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sulsel sedang mengkaji masih perlu atau tidaknya kuota perempuan tercantum dalam undang-undang. Fakta pada Pemilu 2009 lalu menunjukkan bahwa perempuan sudah mampu bersaing dengan laki-laki. Ketua KPPI Sulsel, Andi Mariattang Jumat 30 April mengatakan pihaknya akan serius mendiskusikan soal kuota perempuan itu. Sejak sebelum pemilu mengemuka wacana agar kuota 30 persen bukan hanya pada pencalegan. Tetapi juga pada keterwakilan di parlemen. Ini yang akan kami kaji. Apakah kuota 30 persen perempuan dalam Undang-Undang Pemilu dihapus saja atau malah diperkuat dengan menambahkan pasal-pasal tertentu yang menguatkan posisi perempuan jelas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulsel dari Partai Persatuan Khusus di Sulsel jumlah politikus perempuan yang berhasil menembus parlemen tergolong banyak. Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulsel jumlah legislator perempuan naik menjadi 12 orang. Pada beberapa kabupaten juga mengalami kenaikan seperti di Gowa dan Selayar. Namun tidak dinafikan bahwa banyak pendatang baru yang tiba-tiba muncul. Mereka belum banyak diketahui track recordnya oleh publik selama ini tambahnya.

Tantangan dan peluang politikus perempuan pada Pemilu 2014 ini juga akan dibahas dalam seminar akhir Mei ini. Seminar itu adalah rangkaian dari musyawarah wilayah KPPI Sulsel. Agenda utama musyawarah wilayah adalah memilih pengurus baru KPPI Sulsel periode tahun 2010 sampai tahun 2015. Di

29 Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984)


(44)

pemerintahan India kembali mengajukan undang-undang keterwakilan perempuan di parlemen nasional dan legislatif negara-negara bagian mereka. Berdasarkan undang-undang yang sebelumnya sempat gagal diterapkan pada tahun 1996 itu, keterwakilan perempuan di negeri Gangga tersebut semakin besar. Saat ini keterwakilan perempuan India di parlemen hanya 10 persen saja. Berdasarkan undang-undang ini, keterwakilan perempuan di parlemen India akan melonjak hingga 33 persen.

Jika undang-undang ini lolos dan disetujui keterwakilan perempuan akan masuk dalam pembahasan di majelis rendah terang pemimpin Partai Kongres P.S Ghatwar kepada AFP. Dimajelis rendah undang-undang dipastikan lolos karena banyaknya dukungan. Saat ini, jumlah wakil rakyat perempuan di India hanya 59 orang dari total 545 anggota perwakilan. Jika undang-undang ini lolos, jumlah wakil rakyat perempuan bisa melonjak menjadi 181 orang. Pemerintah kami berkomitmen dalam pemberdayaan perempuan. Kami tengah bergerak untuk mencapai 1/3 keterwakilan di parlemen dan legislatif berasal dari perempuan tegas Perdana Menteri India Manmohan Singh dalam pertemuan para aktivis perempuan India pekan lalu. Saat ini undang-undang tersebut mendapat dukungan kuat dari Partai Kongres dan kalangan oposisi.30

Pada pemilihan umum tahun 1999 yang lalu, dari 48 partai politik yang ikut dalam pemilihan terdapat beberapa partai politik yang mengusung isu-isu kesetaraan gender dalam kampanyenya. Proses pemilihan pada saat itu mengalami perubahan yang cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif termasuk perempuan harus disetujui oleh daerah dan para pengambil keputusan partai di daerah tersebut kecuali tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi. Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilu antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu.

Sejak pemerintahan B.J. Habibie pada tahun 1998 sampai dengan tahun 1999 inilah telah terjadi peningkatan semangat keterbukaan dalam sistem politik


(45)

jumlah organisasi non pemerintah telah meningkat dan pembatasan-pembatasan terhadap aktifitas partai-partai politik juga telah dihapuskan. Kondisi ini telah membawa pengaruh positif terhadap perempuan. Berbagai organisasi non pemerintah yang aktif di bidang hak-hak perempuan telah meningkatkan kegiatan mereka. Sementara itu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kaukus politik perempuan yang terdiri dari sebuah organisasi anggota-anggota parlemen dan Pusat Pemberdayaan Politik Perempuan yaitu sebuah jaringan organisasi-organisasi khusus perempuan. Organisasi-organisasi ini tampil untuk membangun sebuah jaringan antara perempuan di parlemen, di antara pimpinan partai politik di antara pimpinan organisasi-organisasi massa dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meningkatkan dan memperkuat upaya keras mereka dalam bidang politik.

Melihat beberapa fakta dan tuntutan yang muncul tersebut, maka isu kuota untuk kaum perempuan dapat diwujudkan, dimana implementasi tindakan affirmative dalam hal perwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil diundangkan secara formal dalam Undang-undang Pemilu No. 12 tahun 2003 Pasal 65 ayat (1), yang dikenal dengan sebutan kuota untuk perempuan, lengkapnya pasal tersebut berbunyi “setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Sehingga dari sinilah kuota 30% bagi perempuan itu mulai berlaku dalam pemilihan umum”.

Dengan dikeluarkan dan disahkannya Undang-undang No.12 pasal 65 ayat (1) tentang Pemilu mengenai kuota perempuan tersebut merupakan langkah awal perjuangan politik perempuan yang mendapat dukungan formal untuk berkiprah di politik. Kuota perempuan ini nantinya dapat menempatkan perempuan dalam posisi yang cukup kuat, karena jumlah kuota anggota perempuan di parlemen yang nantinya akan dapat mempengaruhi keputusan yang akan dihasilkan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 ada beberapa hal baru terkait mengenai implementasi kuota minimal 30% perempuan dalam pengajuan


(46)

bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu :

a. Adanya perintah bagi Komisi Pemilihan Umum untuk mengembalikan berkas pencalonan pada partai politik yang tidak mampu memenuhi kuota 30% perempuan di setiap daerah pemilihan.

b. Berlakunya mekanisme zipper dalam penomoran calon perempuan, yakni setiap tiga nama calon yang diajukan minimal terdapat satu calon perempuan. Dengan mekanisme ini diharapkan para calon perempuan lebih punya akses untuk terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kuota perempuan disatu sisi memang bisa menempatkan perempuan dalam posisi yang kuat, karena jumlah anggota perempuan di parlemen akan mempengaruhi keputusan yang dihasilkan. Kuota perempuan diterapkan dengan alasan sebagai berikut :

a. Kuota perempuan bukan diskriminasi, tetapi memberikan kompensasi atas hambatan-hambatan aktual yang mencegah perempuan dan keterlibatannya secara adil dalam posisi politik.

b. Perempuan mempunyai hak representasi yang setara. c. Pengalaman perempuan dalam bidang poltik.

d. Perempuan memilik kualitas seperti laki-laki tetapi kualikasi perempuan dinilai rendah dan diminimalkan dalam sistem politik yang di dominasi oleh laki-laki. e. Fakta bahwa partai poltik yang mengkontrol masalah pencalonan dan bukan

para pemilih yang menentukan siapa yang dipilih.31

31 Ani Widyani Soetjipto, Affirmative Action Untuk Perempuan Di Parlemen Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 2009), h.230.


(1)

BAB IX KEUANGAN

Pasal 17 (1) Keuangan partai politik bersumber dari:

a. iuran anggota;

b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan dari anggaran negara.

(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa.

(3) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat.

(4) Tata cara penyaluran bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 18

(1) Sumbangan dari anggota dan bukan anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun.

(2) Sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun.

(3) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diberikan oleh perusahaan dan/atau badan usaha harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X LARANGAN

Pasal 19

(1) Partai politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan:

a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;

b. nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan internasional;

c. nama dan gambar seseorang; atau

d. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik lain.

(2) Partai politik dilarang:

a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya;

b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau


(2)

c. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia.

(3) Partai politik dilarang:

a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

b. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;

c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan; atau

d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.

(4) Partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

(5) Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.

BAB XI

PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN Pasal 20

Partai politik bubar apabila:

a. membubarkan diri atas keputusan sendiri;

b. menggabungkan diri dengan partai politik lain; atau c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 21

(1) Partai politik dapat bergabung dengan partai politik lain dengan cara:

a. bergabung membentuk partai politik baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru; atau

b. bergabung dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah satu partai politik.

(2) Partai politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

(3) Partai politik yang menerima penggabungan dari partai politik lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Pasal 22

Pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dan huruf b dan penggabungan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diumumkan dalam Berita Negara oleh Departemen Kehakiman.


(3)

BAB XII PENGAWASAN

Pasal 23

Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan undang-undang ini meliputi tugas sebagai berikut:

a. melakukan penelitian secara administratif dan substantif terhadap akta pendirian dan syarat pendirian partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5;

b. melakukan pengecekan terhadap kepengurusan partai politik yang tercantum dalam akta pendirian partai politik dan kepengurusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b;

c. melakukan pengecekan terhadap nama, lambang, dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1);

d. menerima laporan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan pergantian atau penggantian kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4);

e. meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik dan hasil audit laporan keuangan dana kampanye pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h, huruf i, dan huruf j; dan

f. melakukan penelitian terhadap kemungkinan dilakukannya pelanggaran terhadap larangan-larangan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), (3), (4), dan (5).

Pasal 24

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan oleh:

a. Departemen Kehakiman di dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;

b. Komisi Pemilihan Umum di dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e; dan

c. Departemen Dalam Negeri melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf f.

(2) Tindak lanjut pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25

Pemerintah tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi dan hak partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8.


(4)

BAB XIII SANKSI

Pasal 26

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf i dan huruf j dikenai sanksi administratif berupa dihentikannya bantuan dari anggaran negara.

Pasal 27

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran partai politik oleh Departemen Kehakiman.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara partai politik paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum.

(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (5) Sebelum dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) pengurus pusat partai politik yang bersangkutan terlebih dahulu didengar keterangannya.

Pasal 28

(1) Setiap orang yang memberikan sumbangan kepada partai politik melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 diancam dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Pengurus partai politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mempengaruhi atau memaksa sehingga seseorang dan/atau perusahaan/badan usaha memberikan sumbangan kepada partai politik melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18, diancam dengan


(5)

pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4) Sumbangan yang diterima partai politik dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, disita untuk negara.

(5) Pengurus partai politik yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(6) Pengurus partai politik yang menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, dan huruf e, dan partainya dapat dibubarkan.

BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29

(1) Partai politik yang menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik telah disahkan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia diakui keberadaannya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini selambat-lambatnya 9 (sembilan) bulan sejak berlakunya undang-undang ini.

(2) Partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakui keberadaannya menurut undang-undang ini.

(3) Dengan berlakunya undang-undang ini, penyelesaian perkara partai politik yang sedang dalam proses peradilan menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini.

Pasal 30

Sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk, kewenangan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pembubaran partai politik dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP Pasal 31

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3809) dinyatakan tidak berlaku lagi.


(6)

Pasal 32

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

( MEGAWATI SOEKARNOPUTRI ) Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ( BAMBANG KESOWO )