Waspadai (juga) Pornografi di Media Penyiaran.

0

-___..

Pikiran Rakyat
o Senin
1
17

~
~

2
18

o Jan

0

Peb


0
4

5
20

0

0

Selasa
6

7
22

21

Mar


0

Apr

0

Rabu

0

8
23
Mei

0

0

Kamis
9


10
24

Jun

Jumat
11

25

0

Jul

26

0

.


12

Ags

0

Sabtu
13
27
28

OSep

OOkt

Minggu
14
15
29

30
ONov

Waspadai (juga) l!_omogr~fi
1di Media Penyiaran
-.c

Oleh DIAN WARDIANA SJUCH~O

PORNOGRAFI di
dunia maya sudah lama menjadi masalah
yang mengancam
anggota keluarga kita. Pesatnya perkembangan teknologi informasi serta makin
mudahnya akses terhadap internet, telah
membuka mata kita
untuk melakukan berbagai upaya meredam dampak negatif
dan kemajuan teknologi tersebut. Dengan
mudah bisa kita sebut
banyaknya situs yang
hanya menayangkan

gambar sertafilm seronok, bahkan tidak
ada sensor apa pun
yang diberlakukan
atasnya.

~

A

KAN tetapi, menganggap satu-satunya
ancaman pornografi
hanya dari dunia maya,
mungkin keliru. Pornografi
juga mengancam keluarga
melalui media massa yang sangat akrab pada hampir semua keluarga di Indonesia,
yaitu radio dan televisi.Media
komunikasi massa yang secara normatif seharusnya mendorong pencerdasan masyarakat tersebut, seringjuga tergoda untuk menjadikan seks
sebagai komoditas jualan.
Polanyaharnpir selalu sarna.
Stasiuntelevisiyangsedangkesulitan keuangan cenderung

menjual acara apapun kepada
pemirsa. Harapannya tentu
menanggukpemirsa dan pengiklan (serta uang) dalam jumlah yang banyak untuk menutupi biaya operasional televisi
yang sangat tinggi.
Polayang agakberbeda dilakukan oleh beberapa stasiun
radio.Semakinmalarn,mereka
cenderung memasang acara
yangmakinpanas untuk menarik minat pendengar. Dalarn
persepsimereka,pendengarradio malam adalah segmen pemirsa yang telah dewasa se-

Klioino

-

Humns

~

U,,"od


hingga terbiasa dengan ungkapan-ungkapan spontan berbau
pornografi.
Di masa lalu, ada suatu stasiun televisi di Jakarta yang sengaja menayangkan sinetron
komedi yang para pemainnya
berpakaian minim. Alur cerita
sinetron tersebut tidak terlalu
jauh dari seks, selingkuh, dan
sejenisnya. Ketika ditegur oleh
Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), stasiun televisi tersebut
selalu mencoba berkilah dengan mengganti-ganti mata
aca1"a, meskipun content-nya
tetap sarna.
Di Bandung, ada stasiun radio yang dengan tujuan pendidikan seks, menyajikan acara
seputar hubungan suami dan
istri. Acaranya yang dibuat ringan menyebabkan pola acara
sering terpeleset menjadi acara
yang penuh dengan guyonan
yang mengundang persepsijamak. Setelah ditegur KPI, acara
tersebut

berganti
menjadi
ajang wicara (talkshow) tentang masalah seks yang mengikuti kaidah-kaidah ilmiah.

Ukuran-ukuran
Seks, kekerasan, gosip, dan
fitnah adalah acara televisiserta radio yang selalu mendapat
perhatian luar biasa dari KPI
sebagai regulator penyiaran di
Indonesia. Sejak pertama KPI
menyusun Pedoman Perilaku
Penyiaran (P3) dan Standar
Program Siaran (SPS), keempat unsur tersebut selalu mendapat penekanan-penekanan
dalarnpasal-pasalyang intinya
mengatur apa yang boleh dan
tidak boleh disiarkan di media
penyiaran. Sanksi-sanksitelah
dipasang dengan kencang,dari
mulai teguran sarnpai penghentian siaran.Akantetapi, dalarn persainganmediayang begitu ketat seperti sekarang ini,
siapa bisa menjaminmedia penyiaran kita bebas dari seks,

~

2009

:.:.;

~.....

16

.Des

31

kekerasan, gosip, dan fitnah?
Sekarang orang sedang sibuk
berdebat mengenai ukuranukuran apa yang dipakai oleh
regulator dalam menetapkan
bahwa acara tersebut mengandung unsur-unsur pornografi.
Dengan mudah, pengelola televisi berkilah bahwa acaranya tidak mengandung muatan seks,

meski jelas-jelas didesain dengan tujuan memuaskan naluri paling primitif manusia. Dengan mudah, pula pengelola
radio berkilah bahwa acara
pendidikan seks adalah bagian
dari kemerdekaan berekspresi,
meski secara ilmiah mereka tidak mampu mempertanggung-

jawabkan isi acaranya.

.

Ketika orang sibuk berdebat
panjang lebar, diam-diam pornografi menyelinap ke ruangruang keluarga dalam bentuk
program acara televisi dan radio. Siapa bisa mengontrol kejadian seperti ini ditonton
anak-anak dan remaja kita? Tidak ada, bahkan KPI sekalipun
sebagai regulator yang tengah
diimpit aneka persoalan tentang eksistensi dirinya.

Pertahanan Diri
Seks atau pornografi adalah
limbah dari industri yang bernama dunia hiburan. Tidak di
media penyiaran, tidakjuga di
dunia maya, pornografi tetap
mengintipanggotakeluargakita dalam berbagai bentuk dan
kesempatan. Anak-anak dan
remaja kita yang sudah terbiasa menyantap sajian sejenis,
makin lama makin tumbuh
menjadi pribadi yang permisif.
Maka, dengan mudah kita saksikan anak remaja yang makin
jauh dari bimbinganmoral dan
etika serta berperilakujauh dari arahan agamawandan rohaniwan.
!

Orang boleh berdebat lagi

bahwa dampak media massa
I mungkin tidak sehebat apa
:::II~~

~

yang dibayangkan oleh para
ilmuwan. Bahwa media massa merupakan cerminan dari
masyarakat. Artinya, masyarakat yang menyukai pornografi mendorong acara televisi yang pornografi pula. Akan
tetapi, menyimak pendapat
Elizabeth Noelle-Newmann,
seorang sosiolog, media massa telah membentuk agenda
masyarakat. Artinya, bila pornografi telah menjadi candu
bagi masyarakat, media massa harus bertanggung jawab.
Di tengah kegalauan yang
teIjadi di dunia ilmiah, di tengah prahara yang melanda
regulator, ada baiknya kita
menyimak petuah seorangbijak. Nasihl;it Sang Bijak adalah "dampingi keluarga Anda
bila sedang menonton televisi
atau mendengarkan siaran radio atau mengakes dunia maya". Petuah lainnya, "meskipun Anda kaya raya, jangan
pernah membiarkan anak
dan remaja kita memiliki media penyiaran atau internet di
kamarnya masing-masing".
Petuah Sang Bijaktergolong
klasik,bahkan cenderung basi.
Akan tetapi, sebenarnya itu
adalah bentuk pertahanan
keluargaterhadap limbah yang
dihasilkan industri hiburan
yang lebih sibuk memikirkan
keuntungan finansial ketimbang pembentukanmoral etika
bangsa. Siapapun warga negara indonesia,pasti tidak menginginkan lahirnya generasi baru kita yang serbapermisif,serbaboleh,termasukurusan seks,
moral, dan etika. Oleh karena
itu, pilihan sempit kita hanya
mengikutipetuah dari SangBijak tersebut. ***
Penulis, komisioner Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah
Jawa Barat dan dosen Fakultas flmu Komunikasi Universi-

tas Padjadjaran.