Analisis Regulasi Kampanye Pemilu 2014 Di Media Penyiaran

(1)

Skripsi

Diajukan kepada fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

WULAN MAULIDIA 109051000226

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah penulis skripsi yang berjudul “Analisis Regulasi Kampanye Pemilu di Media Penyiaran”, dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau

hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian lembar pernyataan ini dibuat, sehingga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Terima Kasih.

Wasalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 24 September 2014


(5)

Wulan Maulidia

Analisis Regulasi Kampanye Pemilu 2014 di Media Penyiaran

Secara historis, regulasi penyiaran bermula dari kenyataan bahwa penyiaran menggunakan sumber daya publik, yakni frekuensi. Hal menarik dari penggunaan frekuensi saat ini, lebih banyak digunakan untuk berbagai kepentingan segelintir elite dan hanya dikuasai oleh beberapa pengusaha yang juga berambisi menjadi penguasa. Para elite tak segan menggunakan media penyiaran yang mereka miliki untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Seperti diketahui media penyiaran merupakan salah satu bentuk media massa yang efisien dalam mencapai audiennya dalam jumlah yang sangat banyak.

Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan penilitian ini adalah bagaimana regulasi kampanye pemilu 2014 di media penyiaran dan bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi di media penyiaran menjelang kampanye pemilu di RCTI, tvOne, dan Metro TV.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teori yang digunakan adalah Teori Strukturasi milik Anthony Giddens untuk melihat dialektika dan saling pengaruh-mempengaruhi antara agen dan struktur. Selanjutnya penulis juga menggunakan Teori Hegemoni Media milik Antonio Gramsci untuk memberikaan pembacaan terhadap fakta-fakta yang ditemukan dalam penelitian. Untuk menganalisis regulasi kampanye pemilu di media penyiaran penulis menggunakan analisis isi dan dibantu dengan konseptualisai regulasi penyiaran dari Mike Feintuck dan Tobey Mendel.

Berdasarkan hasil analisis dan temuan, regulasi kampanye pemilu 2014 di media penyiaran mewakili justifikasi regulasi penyiaran. Terlihat dari tiap-tiap ayat pada regulasi mewakili kelima point utama dari justifikasi regulasi penyiaran, effective communication, diversity both political, economic justification, public service, dan election coverage. Relasi struktur dan agen juga turut menentukan fenomena terjadinya pelanggaran di media penyiaran terkait kampanye pemilu 2014 yang disebut Giddens sebagai strukturasi.

Bentuk-bentuk pelanggaran di media penyiaran menjelang kampanye pemilu dapat dikatakan sebagai kemajuan dalam seni berkampanye. Talkshow, realityshow, kuis, sinetron, pemberitaan dan iklan partai politik merupakan tayangan-tayangan yang diakali oleh partai politik dan media sebagai mediumnya untuk tetap memuat kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran atau kelompoknya. Diketahui pula bahwa regulasi merupakan produk yang diproduksi oleh kelompok-kelompok berkepentingan. Tidak heran muncul banyaknya tayangan yang sarat akan kepentingan, namun tidak bisa dikatakan sebagai pelanggaran kampanye. Regulasi dibuat untuk melanggengkan kekuasaan, di mana gagasan golongan yang berkuasa di masyarakat menjadi gagasan yang berkuasa di seluruh masyarakat.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi ALLAH SWT. yang maha kuasa atas segalanya, yang dengan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tanggung jawab atas tugas akhir pada jenjang pendidikan strata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayarullah Jakarta yang berjudul: Analisis Regulasi Kampanye Pemilu 2014 di Media Penyiaran.

Bukan suatu hal yang mudah bagi penulis menyusun kata demi kata untuk menjadikn lembar demi lembar sebagai karya ilmiah yang mampu dipertanggung jawabkan di tengah kesempitan pengetahuan penulis akan ilmu pengetahuan. Skripsi ini penulis persembahkan bagi akademikus sebagai warna baru bagi kajian akademis Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

Selain itu skripsi ini juga penulis persembahkan, bagi orang tua yang menjadi surga bagi anak-anaknya, yaitu; papah Ma’mun Munir yang telah memberikan contoh terbaik untuk tetap belajar meski usia papah sudah tidak muda lagi, mamah Endang Wardaningsih, mungkin hanya kita mah yang mempunyai hubungan yang unik antara ibu dan anak. Kakak tercinta Suci Awalia dan Kelik Susanto, Dina Karima dan Gilang Ramadan, adik tersayang Bilal Ramadhan, dan terakhir untuk monster-monster kecil dari lembaga penguji kesabaran, keponakanku Bumi Khalifa Al-Islami, Gaza Ahya Rabbani, dan Raisa Madina Ramadan. Selanjutnya penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis selama perkuliahan sampai pada selesainya pengerjaan karya ilmiah ini kepada:


(7)

iii

1. Dr. Arief Subhan M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, Dr. Suparto M.Ed., selaku Wakil Dekan (Wadek) I, Drs. Jumroni, M.Si., selaku Wakil Dekan (Wadek) II, dan Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Wakil Dekan (Wadek) III.

2. Rachmat Baihaky, M.A., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah.

3. Drs. Fita Faturokmah, selaku Sekretaris dan Fatoni selaku Wakil Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah.

4. Bintan Humeira M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus orang tua di bidang akademik yang bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan ruang untuk belajar, diskusi, dan menempa penulis untuk menjadi lebih baik.

5. Dr. Gun Gun Heryato M. Si., sebagai orang tua di bidang akademik yang bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberi berbagai masukan dalam penulisan skripsi, juga memperkaya pengetahuan penulis, mendorong serta memberikan ruang kepada penulis untuk belajar lebih banyak.

6. Seluruh Ibu dan Bapak dosen, yang telah memberikan dedikasinya serta ilmu dan pengalaman yang bermanfaat. Seluruh jajaran staff Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) yang telah


(8)

iv

memberikan layanan keamanan dan kebersihan. Serta layanan Perpustakaan FIDKOM dan juga Perpustakaan Utama yang juga mempunyai andil besar selama masa perkuliahan.

7. Ignatius Haryanto, selaku pengamat media, Agatha Lily, selaku Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Juri Ardiantoro Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Indra Maulana, selaku Producer Prime Time dan News Anchor Metro Tv, Ariyo Ardi, selaku News Anchor Seputar Indonesia, dan Herri, selaku Producer Apa Kabar Indonesia Malam tvOne, yang telah bersedia menjadi narasumber dan meluangkan waktu bagi penulis untuk memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan.

8. Fitri Hadiyani S.Kom.I dan Dewi Karlina S.Kom.I, kalian lebih dari sekedar kata “sahabat”, semoga apa yang kita bangun bersama di bangku perkuliahan akan terus dan tetap terjaga sampai akhir.

9. Dwi Agus Prasetiyo S. Kom.I sebagai teman hidup, as long as you promise me one thing, help me get to Jannah.. terima kasih untuk segalanya.

10.Segenap teman-teman angkatan 2009, khususnya teman-teman KPI G 2009, Semyanka, Shofwatunnida, Wini, Awalina, Agnitia, Ovi, Ade, Mumpuni, Mega, Ayisah, Isti, Nisa, Iskandar, Arief, Hakim, Surya, Andri, Sholeh, Rizki, Ipul, Edi, Sani, Novriadi, Rizal, dan Herri. 11. Keluarga besar di desa Pasarean, teman-teman KKS KETUPAT dan

teman-teman ARC (Ar-Rahman Community), tidak akan pernah terlupakan perjalanan bersama kalian.


(9)

v

12.Teman-teman Forum Studi Media Karpet Merah dan The Political Literacy Institute yang begitu luar biasa berjasa memberikan ruang untuk berpikir, bergerak, dan bermanfaat bagi penulis, terima kasih untuk setiap tetes pengetahuan yang diberikan.

13.Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu berbagai hal dalam proses penyelesaian studi penulis di Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah.

Jakarta, 25 September 2014


(10)

v DAFTAR ISI

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 1. Identifikasi Masalah ………..

2. Pembatasan Masalah ………

3. Perumusan Masalah ………...

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 1. Tujuan Penelitian ………...

2. Manfaat Penelitian ………

D. Pedoman Penulisan ... E. Tinjauan Pustaka ... F. Sistematika Penulisan ...

LANDASAN TEORI

A. Teori Struktrurasi ... 1. Entry Concept of Structuration ………. 2. Agensi dan Kekuasaan ……….. B. Teori Hegemoni Media ... C. Konseptualisasi Kampanye ...

1. Jenis Kampanye ………

a. Product oriented campaign ………. b. Candidate oriented campaign ………. c. Ideological campaign ………

2. Tujuan Kampanye ……….

1 7 7 7 7 7 7 8 8 9 12 14 18 22 28 32 34 34 35 35 36 ABSTRAK ...

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ...

i ii v vii viii


(11)

vi BAB III

BAB IV

BAB V

1. Keyword Justifikasi Regulasi Media Penyiaran ... 2. Model Regulasi Penyiaran ... 3. Tujuan Regulasi Media Penyiaran ... 4. Fungsi Regulasi Media Penyiaran ………..

METODOLOGI PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian ... B. Pendekatan Penelitian ... C. Subjek dan Objek Penelitian ...

1. Subjek Penelitian ………...

2. Objek Penelitian ………

D. Teknik Pengumpulan Data ... E. Prosedur Pengumpulan Data ... F. Teknik Analisis Data ...

1. Analisis Isi Kualitatif

GAMBARAN UMUM DAN TEMUAN ANALISIS

A. Gambaran Umum ...

1. Metro TV ………

2. RCTI ………..

3. tvOne ………..

B. Temuan dan Analisis Data ... 1. Regulasi Kampanye Pemilu 2014 di Media

Penyiaran ……… 2. Bentuk-bentuk Pelanggaran ………... C. Interpretasi Hasil Penelitian ...

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... B. Saran ...

52 53 58 63 66 69 70 70 71 71 72 74 76 78 78 82 87 90 90 146 169 179 181


(12)

vii

1. Saran Akademis ……….

2. Saran Praktis ………..

181 181

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

ix DAFTAR TABEL 1. 2 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Tabel 1.1 Tabel 2.1 Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15 Tabel 4.16

Tinjauan Pustaka ... Konseptualisasi Struktur, Sistem, dan Strukturasi ... Paradigma Ilmu Sosial ... Pasal 91 UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu ... Pasal 92 UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu ... Pasal 93 UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemberitaan Kampanye ... Pasal 94 UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Penyiaran

Kampanye ... Pasal 95 UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Iklan

Kampanye ... Pasal 96 UU No. 8 Tahun 2012 ... Pasal 97 UU No. 8 Tahun 2012 ... Pasal 98 UU No. 8 Tahun 2012 ... Pasal 100 UU No. 8 Tahun 2012 ... Pasal 101 UU No. 8 Tahun 2012 ... Pasal 18 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pasal 25 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pasal 36 Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15

Tahun 2013 ... Pasal 37 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pasal 38 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pasal 39 Penyiaran Kampanye Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ...

11 20 67 90 94 96 97 100 102 103 106 110 110 112 114 116 120 122 124


(14)

x 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Tabel 4.17 Tabel 4.18 Tabel 4.19 Tabel 4.20 Tabel 4.21 Tabel 4.22 Tabel 4.23 Tabel 4.24 Tabel 4.25 Tabel 4.26 Tabel 4.27

Pasal 40 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pasal 41 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pasal 42 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pasal 43 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pasal 45 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pasal 46 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2013 ... Pedoman Perilaku Penyiaran – Pasal 50 Siaran Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah ... Standar Program Siaran – Pasal 71 Siaran Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah ... Bentuk-bentuk Pelanggaran – tvOne ... Bentuk-bentuk Pelanggaran – RCTI ... Bentuk-bentuk Pelanggaran – METRO TV ...

127 129 131 133 137 139 141 144 146 152 163


(15)

xi DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 3.1 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16

Dimensi-dimensi Dualitas Struktur ... Tipologi Institusi-institusi ... Keywords dari Justifikasi Regulasi Penyiaran ... Regulasi Media Penyiaran Indonesia, Hubungan antara Pemerintah, Lembaga Penyiaran, dan Publik ... Lingkaran Prosedur Pengumpulan Data ... Logo PT. Media Televisi Indonesia (METRO TV) ... Logo RCTI ... Logo tvOne ... Iklan “ARB-Golkar Versi 49 Tahun Golkar” ... Apa Kabar Indonesia Pagi “Lomba Design Avatar oleh Atap Rumah Bangsa” ... Apa Kabar Indonesia Pagi “Lomba Design Avatar oleh Atap Rumah Bangsa” ... Kuis Kebangsaan ... Seputar Indonesia, RCTI Peduli Sinabung ... Tukang Bubur Naik Haji ... Mewujudkan Mimpi Indonesia ... Pidato Surya Paloh, Kuliah Umum Partai Nasdem di Headline News Metro TV ... Pidato Surya Paloh, Rakor Pemenang Pemilu di Headline News Metro TV ... Iklan Kampanye Partai Nasdem ... Total Iklan dan Pemberitaan Partai Politik di Metro Pasca Teguran ……… Dialektika Strukturasi ……… Konsep Utama Strukturasi ……….

25 27 53 56 72 78 82 87 146 149 151 153 156 158 161 163 165 167 168 174 176


(16)

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Media massa memiliki peran yang sangat penting dalam aspek kehidupan sosial masyarakat yang kian modern. Hal ini terlihat pada penggunaan media massa untuk melakukan perubahaan sosial di negara-negara berkembang, ataupun juga penggunaannya untuk kampanye politik, advertensi, dan propaganda.1 Salah satu media massa yang memiliki dampak signifikan bagi khalayak ialah media penyiaran. Tak dapat dipungkiri bahwa hampir pada setiap aspek kehidupan manusia baik kehidupan pribadi maupun sosialnya selalu berhubungan dengan komunikasi massa. Dari sekian banyak media massa yang salurannya dianggap cukup efektif dalam memenuhi kebutuhan tersebut antara lain adalah televisi dan radio yang termasuk kategori media penyiaran.

Media penyiaran sebagai salah satu bentuk media massa memiliki ciri dan sifat yang berbeda dengan media massa lainnya. Penggunaan frekuensi menjadi salah satu yang membedakan, gelombang elektronik yang kuat di mana pesan-pesan komunikasi radio diudakarakan inilah yang disebut sebagai frekuensi. Namun sampai pada saat ini frekuensi masih sering diperdebatkan untuk penggunaannya. Sesuai pertimbangan UU Republik Indonesia Nomor 32 tentang Penyiaran, bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

1

Henry Subiakto dan Rachmad Ida, Komunikasi, Politik, Media dan Demokrasi ( Jakarta: Kencana, 2012), h. 94.


(18)

2

Hal yang menarik dalam penggunaan frekuensi khususnya media penyiaran televisi pada saat ini lebih banyak digunakan untuk berbagai kepentingan segelintir elite dan hanya dikuasai oleh beberapa nama pengusaha yang juga penguasa. Salah satunya ialah Hary Tanoesoedibjo yang memiliki 20 TV, 22 Radio, 7 Media Cetak dan 2 Media Online2 dan kini Hary Tanoesoedibjo telah memutuskan tidak hanya menjadi pengusaha saja tetapi juga menjadi politisi dengan tujuan untuk mewujudkan mimpi Indonesia.

Sebelum Hary Tanoesoedibjo sudah ada Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh yang terlebih dahulu terjun ke dunia politik. Bakrie & Brothers yang dimiliki keluarga Abu Rizal Bakrie mengantarkan Ical (panggilan Abu Rizal Bakrie) sebagai pengusaha yang cukup berpengaruh di Indonesia, bermula dari bisnis sumber daya alam, network provider dan propert kini Bakrie & Brothers memiliki perusahaan yang juga bregerak di bidang pers yaitu Visi Media Asia. Begitu pula Surya Paloh, yang dahulunya pedagang teh, ikan asin, dan karung goni, kini telah menjadi pengusaha besar, salah satunya bisnis yang dimilikinya adalah Media Group, perusahaan yang juga berkiprah di bidang pers.

Dari kesuksesan yang telah dicapai oleh para pengusaha, sebenarnya apa yang melatar belakangi pengusaha-pengusaha tersebut terjun ke dalam politik praktis? Apakah benar seperti yang dikemukakan oleh Hary Tanoesoedibjo untuk mewujudkan mimpi Indonesia? atau seperti yang dikemukakan oleh Abu Rizal Bakrie sebagai pengabdian diri pada bangsa atau Surya Paloh yang sering kali mengatakan “Restorasi Indonesia” pada pidato-pidatonya.

2

Yanuar Nugroho, dkk., Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia


(19)

Sepertinya begitu klise alasan-alasan ketiga pentolan media tersebut, tentu ada yang mereka kejar, ada yang mereka cari, bahkan bisa jadi ada yang ingin mereka lindungi. Pemenuhan aktualisasi diri pun juga bisa menjadi alasan, tidak merasa puas dan terus menerus ingin berada dipuncak tertinggi pun bisa menjadi alasan. Seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow mengenai hirarki kebutuhan.

Namun peneliti tidak akan fokus pada aktualisasi diri para pengusaha yang ingin mencapai puncak tertinggi, menjadi Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia. Penelitian ini lebih fokus pada regulasi media massa, yaitu regulasi media penyiaran sebagai politic driven, karena tidak dapat dinafikan momentum politik tanpa media penyiaran. Hal ini dikarenakan media penyiaran merupakan salah satu bentuk media massa yang efisien dalam mencapai audiennya dalam jumlah yang sangat banyak. Maka dari itu penyiaran memegang peranan yang sangat penting pada proses politik. Seperti data yang di peroleh Tempo dari Komisi Penyiaran Indonesia iklan Abu Rizal Bakrie tayang 143 kali di TVOne pada periode 1-30 April 2013. Adapun pemberitaan Abu Rizal Barkrie di televisi yang sama pada periode 4-30 April 2013 sebanyak sembilan kali.3 Data terbaru yang peneliti dapatkan dari Komisi Penyiaran Indonesia pada bulan Oktober 2013, terdapat iklan Abu Rizal Bakrie sebanyak 430 spot, termasuk iklan ARB dengan atribut Partai Golkar. Pada tanggal 1–12 November terdapat 128 iklan Abu Rizal Bakrie di TVOne.

Tidak lebih banyak dari TV One yang dimiliki Abu rizal Bakrie, Surya Paloh sebagai pemilik Media Group juga menggunakan medianya sebagai alat

3

Erwan Hermawan, “Ical Kerap Tayang, TV One Klaim tidak ada Intervensi,” berita diakses pada 10 September 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/03/078493127/ Ical-Kerap-Tayang-TV-One-Klaim-Tak-Ada-Intervensi.


(20)

4

kampanye, dikutip dari Tempo.Co yang mendapat data dari Komisi Penyiaran Indonesia bahwa iklan Partai Nasional Demokrat dan Surya Paloh tampil 31 kali di Metro TV pada Periode 6-30 April 2013. Pemberitaan tentang NasDem pada bulan yang sama ditampilkan 20 kali.4

Selanjutnya data KPI menunjukan, sepanjang Oktober hingga November 2012, RCTI menayangkan 127 iklan Partai NasDem. Iklan ini ditayangkan ketika pemilik MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, masih berkongsi dengan Surya Paloh, pendiri Partai NasDem. Setelah berpisah dengan Surya Paloh Februari lalu, Hary Tanoe lantas berlabuh di Hanura. Perubahan afiliasi ini langsung tercemin dari kebijakan redaksi di semua stasiun TV milik Hary Tanoe. KPI menemukan, pada 2–15 April 2013, ada 11 pemberitaan mngenai Hanura yang ditayangkan RCTI, MNC TV, dan Global TV.5 Berdasarkan data pantauan Komisi Penyiaran Indonesia yang peneliti dapatkan pada September 2013, dari 43 Segmen pemberitaan politik, 21 diantaranya adalah pemberitaan tentang Partai Hanura, sedangkan 22 adalah pemberitaan yang terdiri dari berbagai partai politik.

Dalam UU Republik Indonesia No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 36 sudah dijelaskan bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS) pasal 11 berbunyi, lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran. Namun hal-hal yang telah diatur dengan mudah dilanggar dengan terlalu

4Erwan Hermawan, “Ditanya Independensi Metro TV, Ini Jawaban Pemred” berita diakses

pada 12 September 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/03/078493143/Ditanya-Independensi-Metro-TV-Ini-Jawaban-Pemred.

5Dewi Rina, “Ratusan Iklan Politik Terselubung di Layar TV” b

erita diakses pada 30 September 2013 dari http://www.tempo.co/read/fokus/2013/05/11/2759/Ratusan-Iklan-Politik-Terselubung-di-Layar-TV.


(21)

dominannya partai politik dan media massa dibandingkan regulasi yang ada. Independensi dan netralitas yang seharusnya dijaga untuk kepentingan publik telah terdistorsi dikarenakan penyembahan luar biasa kepada pemilik modal dan kepentingan tertentu.

Dengan demikian telah terbukti sepanjang sejarah bahwa manusia atau golongan yang mempunyai kekuasaan tak terbatas akan menyalahgunakan atau menyelewengkan sehingga berakibat diinjak-injaknya hak asasi manusia. Maka dari itu tepatlah diktum yang dikemukakan oleh Lord Acton: “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan absolut sudah pasti menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely).6

Selain itu David Marsh dan Gerry Stoker menyatakan bahwa persoalan struktur-agensi harus dipandang sebagai sesuatu yang penting,7 argumen dasarnya seperti yang dijelaskan oleh Masduki dalam bukuya berjudul Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal yang mendeskripsikan pengaruh structure-agency. Struktur (meliputi sistem, regulasi, aturan main, kelas sosial) dan agensi (meliputi para aktor sosial dan tindakannya, baik secara individu maupun kolektif)8 bukanlah entitas yang terpisah, keduanya saling tergantung dan berkaitan secara internal. Proses ini oleh Anthony Giddens disebut dengan „strukturasi’. Sejatinya proses strukturasi sedang berlangsung dalam dunia penyiaran dan semakin kuat menjelang pemilu 2014, tarik menarik dan interplay antara struktur tentunya dengan agensi akan sangat kentara.

6

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 174.

7

David Marsch dan Gery Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 325.

8


(22)

6

Selanjutnya teori strukturasi memberikan jalan terbaik untuk terbentuknya hegemoni, seperti yang dinyatakan oleh Antonio Gramsci adalah bahwa “struktur pemikiran rutin, taken-for-granted, memberikan kontribusi terhadap struktur kekuasaan.9 Hegemoni merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Media penyiaran selalu dirasakan sebagai hal yang power full dan terdapat ideologi yang dominan di dalamnya. Tentu hal ini yang menyebabkan media penyiaran yang terkait secara langsung dengan pusaran politik para pemilik media mempunyai daya hegemonik yang cukup tinggi.

Aspek krusial dari ide tentang hegemoni ini bukan karena ia beroperasi dengan memaksa orang melawan keinginan mereka atau penilaian lebih baik untuk menyerahkan kuasa kepada pihak yang sudah ada dan lebih kuat, akan tetapi bahwa ia bekerja dengan memenangkan kesepakatan (consent) untuk membuat dunia menjadi bisa dimengerti sehingga pada kenyataannya masuk akal.10

Dari permasalahan yang telah di paparkan, akhirnya peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana regulasi kampanye pemilu 2014 di media penyiaran dan mengidentifikasi bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh para pengusaha media penyiaran yang terjun dalam politik praktis sekarang ini. Sehingga peneliti menjadikan permasalah yang telah di paparkan sebagai penelitian ilmiah yang berjudul: “Analisis Regulasi Kampanye Pemilu 2014 Di Media Penyiaran”.

9

Warner J. Severin dan James W. Tankard, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapaan di Dalam Media Massa ( Jakarta: Kencana, 2011), h. 337.

10

John Hartley, Communication, Cultural, & Media Studies ( Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 103.


(23)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti mengidentifikasi masalah penelitian tentang: regulasi kampanye pemilu di media penyiaran, bentuk-bentuk pelanggaran, dan media penyiaran sebagai politic driven.

2. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti membatasi masalah yang bertujuan untuk menghindari terjadinya perluasaan materi yang akan dibahas. Penelitian ini dibatasi hanya pada:

a. Regulasi kampanye pemilu 2014 yang dikhususkan pada media penyiaran. b. Identifikasi pada bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi menjelang

kampanye pemilu 2014 di RCTI, TV One, dan Metro TV.

3. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Bagaimana regulasi kampanye pemilu 2014 di media penyiaran?

b. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi di media penyiaran menjelang kampanye pemilu 2014 di RCTI, TV One, dan Metro TV?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.Tujuan Penelitian

Sebuah penelitian tentu saja mengacu pada tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan penelitian ini adalah:


(24)

8

b. Untuk mengetahui berbagai macam bentuk pelanggaran yang terjadi di media penyiaran menjelang kampanye pemilu 2014.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat akademis

Penelitian ini sebagai sumbangsih ide terhadap konsep media massa dan politik, terutama tentang studi media penyiaran yang berafiliasi dengan partai politik terkait dengan regulasi, faktor dominan, dan independensinya sekaligus sebagai refrensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang relevan bagi akademisi keilmuan kajian media massa dan politik. Menjadi sebuah analisis kasus melalui pendekataan teori strukturasi yang digagas oleh Anthony Giddens, teori hegemoni media dari Antonio Gramsi dan konsep regulasi dari Mike Feintuck.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi civitas academic bidang komunikasi, instansi publik, dan masyarakat untuk dapat mengetahui regulasi kampanye pemilu di media penyiatan, berbagai macam bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi dan penyebab terjadinya pelanggaran yang terus berulang ketika regulasi telah ditetapkan sebagai payung hukum media penyiaran di Indonesia.

D.Pedoman Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Dan Disertasi) Karya Hamid Nasuhi dkk. yang Diterbitkan oleh Ceqda (Center for Quality Development And Assurance).


(25)

E.Tinjauan Pustaka

Untuk memastikan tidak adanya kesamaan dengan penelitian terdahulu, peneliti mengadakan tinjauan pustaka di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Universitas Indonesia.

Berdasarkan hasil penelusuran, terdapat penelitian serumpun yang berkaitan dengan perundangan penyiaran maupun tentang dunia penyiaran, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Mufid11, hasil penelitian yang di dapat dalam penelitian ini adanya interaksi kekuasaan yang intens seputar penyusunan UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran dan terdapat kekuatan saling mempengaruhi (interplay) dalam penyusunan regulasi penyiaran. Maka dengan membandingkan dengan tesis yang dimilik oleh Muhammad Mufid persamaan penelitian terletak pada objek penelitian sedangkan perbedaannya terletak pada subjek dan fokus penelitian. Dapat disimpulkan bahwa penelitian yang sedang peneliti kaji sebagai tugas akhir perkuliahan belum ada yang meneliti sebelumnya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Saginta Ning Tyas12 yang mengurai peran regulasi media penyiaran terkait konglomerasi di MNC Group, berikut dengan dampak konglomerasi ditubuh institusi media tersebut terhadap komodifikasi, spesialisasi, dan strukturasi. Persamaan terletak pada mengkaji regulasi media penyiaran namun terdapat perbedaan dalam focus penelitian.

11

Muhammad Mufid, mahasiwa program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Interaksi Kekuasaan Seputar Penyusunan Regulasi Penyiaran: Studi Ekonomi Politik UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, 2003.

12

Sagita Ning Tyas, Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Konglomerasi Indusri Media Penyiaran Di Indonesia Analisis Ekonomi Politik Pada Group Media Nusantara Citra, 2010.


(26)

10

Dengan membandingkan dengan skripsi milik Sagita Ning Tyas dan tesis milik Muhammad Mufid bahwa skripsi dengan judul “Regulasi Kampanye 2014 Di Media Penyiaran” belum ada yang mengkaji sebagai karya ilmiah.


(27)

(28)

12

F. Sitematika Penulisan

Agar penelitian ini lebih sistematis sehingga adanya gambaran yang terarah, logis, dan saling berhubungan antara satu bab dengan bab berikutnya, maka penelitian ini disusun ke dalam lima bagian.

BAB I Merupakan bab Pendahuluan yang mencakup: Latar Belakang

Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Pedoman Penelitian, Tinjauan Pustaka, Sistematika Penulisan.

BAB II Bab ini berisikan teori-teori yang relevan yang digunakan untuk

menganalisis dan merancang sistem yang diperoleh dari berbagai sumber buku maupun jurnal-jurnal yang terkait dengan penelitian. Daintaranya terdapat teori strukturasi, teori hegemoni, konseptualisasi kampanye dan konseptualisasi regulasi penyiaran.

BAB III Bab ini akan akan membahas paradigma penelitian, pendekatan

penelitian, subjek penelitian, objek penelitian, teknik pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB IV Bab ini mengenai gambaran umum yang meliputi: media penyiaran

yang dimiliki oleh para pengusaha yang terjun ke dunia politik, yakni RCTI, TV One, dan Metro TV. Kemudian dua lembaga yang mempunyai kewenangan, Komisi Penyiaran Indonesia dan Komisi Pemilihan Umum (Sejarah, Profil, Visi, Misi, Fungsi, Kewenangan, Tugas dan Kewajiban). Selanjutnya pada bab ini ditampilkan hasil temuan penelitian berupa analisis isi terhadap peartuaran terkait kampanye di media penyiaran, PKPU No 15


(29)

tahun 2013, UU No. 32 tahun 2002, UU No 8 tahun 2012 dan P3SPS dengan konsep regulasi penyiaran dari Mike Feintuck. Berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran sebagai objek dan subjek penelitian, dan juga penguatan analisa dengan menggunakan teori strukturasi dan teori hegemoni.

BAB V Bab lima adalah penutup yang berisikan kesimpulan dari penelitian

ini. Dalam bab ini juga ditampilkan saran-saran terhadap permasalahan yang muncul, dalam rangka memenuhi tujuan dan manfaat dari penelitian ini.


(30)

14 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori Strukturasi

Anthony Giddens adalah anggota kehormatan pada King’s Colege dan Profesor Sosiologi pada Universitas Cambridge.1 Pcernah menjabat sebagai rektor dari London School of Economic and Political Science. Selama menjabat sebagai rektor, Giddens rutin memberikan kuliah publik setiap hari Rabu jam satu siang dan dihadiri oleh berbagai kalangan seperti; akademisi, pembisnis, pemerintahan, media, lembaga swadaya masyarakat, diplomatik, dan sebagainya. Apa yang disampaikannya pun dengan tema yang beragam, globlisasi, kapitalisme, negara, keluarga, asuransi, sampai masalah identitas diri. Tanpa naskah, tanpa formalitas. Ia memberi kuliah publik tentang cara-cara baru memahami berbagai masalah “dunia yang lepas kendali” (runaway world).2 Pencapaian Giddens pun bisa dibilang sangat luar biasa, pada tahun 1999 beliau termasuk orang paling

1

Peter Beilharz, Teori – Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosofi Terkemuka

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2005), h. 191.

2

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 2.

Runaway World, menjadi judul dari lima kuliah publik (the 1999 Reith Lecture) yang diberikan oleh Anthony Giddens dari London, Delhi, Hongkong dan Washington lewat Radio BBC 4 dan disiarkan ke seluruh dunia, 7 April-5 Mei 1999. Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives diterbitkan tak lama setelah disiarkan ke seluruh dunia. Dunia yang lepas kendali, bahwa perkembangan dunia saat ini tak seperti yang diperkirakan sebelumnya oleh optimisme Barat Abad Pencerahan, bukannya menjadi stabil, tertib, dan dapat dipikirkan, dunia justru di luar kendali kita dikarenakan kemajuan ilmu dan teknologi.

Paparan sebelumnya bahwa globalisasi menjadi kata kunci. Globalisasi adalah anak kemajuan ilmu dan teknologi. Pada gilirannya, globalisasi memunculkan berbagai resiko dan ketidakpastian baru yang melampaui kemampuan antisipasi kita. Perubahan dahsyat ini merombak tradisi bahkan yang berhubungan dengan agama yang menjadi pijakan banyak orang selama ini. Tidak berhenti di situ saja, proses tersebut mentrasformasikan nilai-nilai dalam keluarga, termasuk soal seksualitas dan perkawinan.

Anthony Giddens berpendapat bahwa kita dapat melewati dan mencapai sesuatu yang lebih baik. Harapannya ada pada demokraso. Kekuatan demokrasi yang dimotori sikap toleransi cosmopolitan, telah bertarung melawan fundamentalis. Kalau demokrasi menang, jalan akan terbuka bagi kita untuj menjinakan dunia yang lepas kendali.


(31)

berpengaruh di Inggris dalam dunia pendidikan, setelah Perdana Menteri dan Menteri Pendidikan. Telah menulis sebanyak 32 buku dan diterjemahkan ke 26 bahasa.

Seperti pemikir lain, Anthony Giddens juga memulai dari telaah kritis terhadap beberapa mazhab pemikiran ilmu sosial yang ada.3 Giddens mengungkapkan sejak masa klasik hingga tahun 1960-an teori sosial yang ada kurang memadai bagi studi tentang kehidupan sosial. Argumentasi Giddens bahwa pemikir terdahulu terlampau berpijak pada filsafat positivis. Pendekataan ini lebih mengutamakan masyarakat ketimbang pelaku sehingga terperosok ke dalam objektivisme sesat.

Meskipun filsafat positivis sangat menonjol pada saat itu banyak juga para ilmuan yang menghindari asumsi-asumsi positivis, yang kemudian beralih pada tradisi-tradisi hermeneutika, filsafat bahasa sehari-hari dan fenomenologi. Namun bagi Giddens pemikiran interpretatif lebih mengutamakan pelaku daripada masyarakat sehingga pada akhirnya terjabak dalam subjektivisme. Dari ketimpangan tersebut Giddens menyimpulkan bahwa dibutuhkan rekonstruksi terhadap teori sosial.

Dalam telaah kritis itu, Giddens secara khusus menaruh perhatian pada masalah dualisme yang menggejala dalam teori-teori sosial. Yang dimaksud dengan dualisme bila dilihat dari sudut pandang filosofis adalah dua elemen yang bersifat fundamental yang ada secara nyata berdasarkan atas pembagian yang jelas, seperti; baik dan buruk. Para ahli meyakini bahwa dualisme yang ada pada ilmu sosial sama dengan dualisme secara filosofis, dimana mereka

3

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 5.


(32)

16

mendeskripikan perbedaan sebagai dua bagaian yang terpisah dan berlawanan.4 Senada dengan pandangan filosofis, dualisme menurut kamus ilmiah populer adalah pandangan atau teori yang mengatakan bahwa realitas itu terdiri dari atas dua substansi yang berlainan, yang satu tidak dapat dimasukan dalam yang lain. Jiwa dan materi, nyawa dan badan, semua itu sering dilukiskan sebagai realitas yang bertentangan.

Dualisme itu berupa tegangan antara subyektivisme dan obyektivisme, voluntarisme dan determinisme. Subyektivisme dan voluntarisme merupakan tendensi cara pandang yang memprioritaskan tindakan atau pengalaman individu diatas gejala keseluruhan. Adapun obyektivisme dan determinisme merupakan kecenderungan cara pandang yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan dan pengalaman individu.5

Menurutnya ilmu-ilmu sosial telah dijajah oleh dualisme dengan memetakan pelaku versus struktur. Hal tersebut yang membuat Giddens pun memproklamirkan bahwa pelaku dan struktur merupakan dualitas, keduanya mempunyai relasi yang saling berpengaruh.

Giddens termasuk sosiolog yang memerangi dualisme. Ia menciptakan suatu kerangka pemikiran teoritis yang bertujuan untuk menjembatani pertentangan yang selama ini berlaku dalam dualisme dan banyak memperoleh komentar beragam dari para ahli ilmu sosial.

Ia menyusun gagasan untuk merekonstruksi teori sosial dengan jalan melakukan kritik terhadap tiga mazhab pemikiran sosial terpenting: sosiologi

4

Derek Layder, Understanding Social Theory, 2 th ed. (London, Sage Publication Ltd, 2004). h. 1.

5

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 6.


(33)

interpretatif, fungsionalisme dan strukturalisme. Ia bermaksud mempertahankan pemahaman yang diajukan oleh tiga tradisi tersebut sekaligus menemukan cara mengatasi berbagai ketidaksesuaian antara ketiganya. Rencana tersebut mancakup rekonseptualisasi atas konsep-konsep tindakan, struktur dan sistem dengan tujuan mengintegrasikannya menjadi pendekatan teori baru. Giddens menamakan pendekatan baru ini “teori strukturasi” (theory of structuration).6

Teori Strukturasi didasarkan pada premis bahwa dualisme ini harus dikonseptualisaikan ulang sebagai sebuah dualitas struktur.

Instead of dualism we should think in terms of a „duality of structure‟. In this formulation, structure and action are intrinsically related to each other (two sides of the same coin) through social practices.7

Bahwa antara agen dan struktur bukanlah sesuatu yang terpisah, atau Giddens menyebutnya sebuah dualisme, melainkan mewakili sebuah dualitas. Menurut gagasan tentang dualitas struktur, kelengkapan-kelengkapan struktural dari sistem-sistem sosial adalah sarana sekaligus hasil dari praktik-praktik yang terorganisir secara rutin.8

David Marsh dan Gerry Stoker dalam bukunya yang berjudul Teori dan Metode dalam Ilmu Politik menuliskan bahwa terlalu ambisius atau bahkan konyol jika mengadakan perdebatan yang terkenal menghasilkan kebingungan, bahkan kegilaan mengenai struktur dan agen.9 Teori strukturasi yang dicetuskan oleh Giddens menurut beberapa ahli memang sulit untuk dipahami dan mengundang banyak kritik. Namun ketika kita berusaha untuk lebih dalam lagi

6

Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosofi Terkemuka. Penerjemah Maufur dan Daryatno(Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2005), h. 193.

7

Derek R Layder. Understanding Social Theory, 2th ed.(London: Sage Publication, 2006), h. 187.

8

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 40.

9

David Marsch dan Gery Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 328.


(34)

18

mengenal, memahami, dan mengelaborasi secara lebih luas, teori strukturasi menjadi suatu hal yang cukup menarik untuk menjadi pisau analisis yang tajam mengenai relasi antara agen dan struktur tentunya dalam konteks penelitian ini. Proses tarik ulur dalam implementasi regulasi yang telah ditetapkan dan perdebatan panjang pihak-pihak yang berkepentingan mengundang banyak reaksi, apa dibalik fenomena pelanggaran yang kerap kali terjadi sebelum masa kampanye dimulai. Proses tarik menarik dan baku sodok antara struktur (meliputi sistem regulasi, aturan main, kelas sosial) dan agensi (meliputi para aktor pelaku sosial dan tindakannya baik individu maupun kolektif), mungkin proses inilah yang sedang terjadi di Indonesia dalam pelaksanaan kebijakajan kampanye di media penyiaran. Ada proses tarik menarik yang cukup kuat antara kepentingan public, pemilik modal, dan pemerintah.

1. Entry Concept of Structuration

Struktur, sistem, dan dualitas struktur menjadi tiga konsep utama dari inti teori strukturasi.10 Kunci pendekatan Giddens bahwa ia melihat agen dan struktur sebagai dualitas, agen terlibat dalam struktur dan struktur melibatkan agen. Giddens menolak untuk melihat struktur semata sebagai pemaksa terhadap agen, tetapi melihat struktur sebagai pemaksa maupun penyedia peluang.11 Kritik Giddens terhadap fungsionalisme dikarenakan lebih banyak tertuju pada gagasan tentang fungsi ketimbang struktur. Pandangan fungsionalis mendefinisikan struktur sebagai „sesuatu yang ada diluar’ tindakan manusia, sebagai sumber pengekang insiatif bebas subjek yang mandiri. Di sisi lain, konseptualisasi

10

Giddens, Teori Strukturasi, h. 25.

11

Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6, Cet ke-4. Penerjemah Alimandan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 101.


(35)

strukturalis dan post-strukturalis tentang gagasan struktur menurut Giddens lebih menarik lagi, struktur secara khas dipahami bukan sebagai penciptaan pola terhadap kehadiran-kehadiran, melainkan sebagai persinggungan antara kehadiran dan ketidakhadiran.12

Berbeda dengan pengertian Durkheimian tentang struktur yang bersifat mengekang (constraining), struktur dalam gagasan Giddena juga bersifat memberdayakan (enabling): memungkinkan terjadinya praktik sosial. Itulah mengapa Giddens melihat struktur sebagai sarana (medium dan resource). Meskipun bersifat obyektif, obyektivitas struktur sosial berbeda dengan watak obyektif struktur dalam mazhab fungsionalisme maupun strukturalisme yang sebelumnya telah dipaparkan, di mana struktur menentang dan mengekang pelaku. Bagi Giddens, obyektivitas struktur tidak bersifat eksternal melainkan melekat pada tindakan dan praktik sosial yang kita lakukan. Struktur bukanlah benda melainkan “skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial.”13 Definisi mengenai struktur yang dilontarkan oleh David Marsh dan Gerry Stoker lebih mudah untuk dipahami, struktur menurut mereka merujuk pada konteks, pada kondisi materi yang menentukan jangkauan aksi yang tersedia bagi aktor.

Bagi Giddens struktur tidak hanya mengacu pada aturan-aturan yang dilibatkan dalam produksi dan reproduksi sistem-sistem sosial, namun juga pada sumber daya-sumber daya. Giddens memformulasikan konsep struktur, sistem dan strukturasi, sebagai berikut:

12

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 26.

13

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 23.


(36)

20

Tabel 2.114

Konseptualisasi Struktur, Sistem, dan Strukturasi

Struktur Sistem Strukturasi

Aturan dan sumber daya, atau seperangkat relasi transformasi, terorganisisr

sebagai kelengkapan-kelengkapan dari sistem

sosial.

Relasi-relasi yang direproduksi di antara

para aktor atau kolektivitas, terorganisir

sebagai praktik-praktik reguler.

Kondisi-kondisi yang mengatur keterulangan atau transformasi struktur-struktur,

dan karenanya reproduksi sistem-sistem sosial itu

sendiri.

Struktur, sebagai perangkat aturan dan sumber daya yang terorganisasikan secara rutin, berada di luar ruangan dan waktu, tersimpan dalam koordinasi dan instansinya dalam bentuk jejak-jejak ingatan, dan ditandai dengan „ketidakhadiran si subjek. Sebaliknya, sistem sistem sosial yang secara rutin melibatkan struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas tertentu para agen manusia, dan di reproduksi sepanjang ruang dan waktu.15 Pokok ini juga yang membuat Giddens menamakan teorinya sebagai „strukturasi’, sebagaimana setiap akhiran „is(asi)’ menunjukan pada kelangsungan proses. Artinya, waktu dan ruang merupakan unsur yang tidak bisa tidak (sine qua non) bagi terjadinya peristiwa atau gejala sosial.16

Menurut Bernstein, tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah untuk menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh-memengaruhi antara agen dan struktur. Dengan demikian, agen struktur tak dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu sama lain, agen dan struktur seperti diibaratkan oleh Derek R Layder sebagai dua sisi dari satu mata uang logam. giddens mengasumsikan agen

14

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 40.

15

Giddens, Teori Strukturasi, h. 40.

16

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 20.


(37)

dan struktur adalah dwi rangkap. Seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik atau aktivitas manusia.17 Menjadi sangat penting bagi gagasan tentang strukturasi adalah teorema dualitas struktur, yang secara logika terkandung dalam dalam argumen-argumen diatas.

Komposisi antara agen dan struktur bukanlah sebuah fenomena yang terpisah seperti paham dualisme, malainkan komposisi tersebut mewalikili sebuah dualitas. Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana “struktur sosial merupakan hasil (outcome) dan sekaligus (medium) sarana praktik sosial. Giddens mengajak kita untuk berpikir bahwa:

Instead of a dualism, Giddens suggests that we should think in terms of a duality, a „duality of structure‟. That is, rather than two separate and opposed phenomena, we should think of one, in this case structure, which has a dual nature.18

Dengan cara ini Giddens berpendapat bahwa struktur tidak berada diluar individu-individu, sebagai jejak-jejak ingtan, dan ketika terwujudkan dalam praktik-praktik sosial, struktur dalam pengertian tertentu berada di dalam, bukannya diluar aktivitas-aktivitas mereka dalam pengertian Durkhemian. Struktur tidak boleh disamakan dengan kekangan meskipun demikian ia bersifat mengekang dan membolehkan.19

17

Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6, Cet ke-4. Penerjemah Alimandan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 508.

18

Derek R Layder. Understanding Social Theory, 2th ed.(London: Sage Publication, 2006), h. 187.

19

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 41.


(38)

22

2. Agensi dan Kekuasaan

Berbagai definisi mengenai agensi banyak kita dapati, salah satunya definisi yang dikemukan oleh David Marsh dan Gerry Stoker yang mendefinisikan agensi adalah kemampuan individu atau kelompok (baik disengaja maupun tidak) untuk memengaruhi lingkungannya.20 Selain itu Masduki dalam bukunya yang berjudul Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal menuliskan bahwa agen meliputi para aktor pelaku sosial dan tindakannya, baik secara individu maupun kolektiv.21 Senada dengan David Marsh dan Gery Stoker, juga Masduki, George Ritzer dalam bukunya yang berjudul Sociological Theory mengatakan bahwa although agency generally refers to micro-level, individual human actors, it also can refer to (macro) collectivities that act22. Sering kali ada anggapan bahwa agensi manusia hanya bisa ditetapkan berdasakarkan maksud-maksud. Artinya, agar sebuah perilaku bisa dianggap sebagai tindakan, siapapun melakukannya harus bermaksud melakukan tindakan itu, jika tidak maka perilaku itu hanyalah sekedar respon reaktif semata. Dalam bukunya New Rules of Sociological Method Anthony Giddens menetapkan agensi sebagai berikut:

agency as the stream of actual or contemplated causal interventions of corporeal beings in theongoing process of events-in-the-world.23

Bagi Giddens agensi tidak mengacu pada maksud-maksud yang dimiliki orang ketika melakukan sesuatu melainkan terutama pada kemampuannya dalam melakukan sesuatu itu (yang karena itu juga kenapa agensi mengandung kuasa: bandingkan dengan definisi agen menurut the Oxford English Dictionary yang

20

David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik (Bandung: Nusa Media, 2011 ), h. 325

21

Masduki, Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal (Yogyakarta: LKis, 2007), h. 55

22

George Ritzer, Sociological Theory, 8 th ed. (New York: McGrawHill, 2011), h. 521

23

Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method, 2th ed. (California: Standford University Press, 1993), h. 81.


(39)

diartikan sebagai „orang yang menggunakan kuasa atau menghasilkan dampak. Agensi berkaitan dengan kejadian-kejadian yang melibatkan individu sebagai pelaku, apa pun yang telah terjadi tidak akan terjadi tanpa peran individu dan tindakan merupakam sebuah proses berkesinambungan.24

Diilhami oleh filsafat waktu Martin Heidegger, Giddens menyatakan bahwa waktu dan ruang bukanlah arena atau panggung tindakan, melainkan unsur konstitusif tindakan dan pengorganisasian masyarakat.25 Artinya tanpa ada waktu dan ruang maka tidak ada yang dinamakan dengan tindakan.

Sesuai dengan penekananya pada keagenan, Giddens memberikan kekuasaan besar terhadap agen. Dengan kata lain, menurutnya agen mempunyai kemampuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial, dan bahkan iya lebih yakin lagi bahwa agen tak berarti apa-apa tanpa kekuasaan.26 Berkaitan dengan hubungan antara agen dan kekuasaan, Anthony Giddens mengajukan pertanyaan penting dalam bukunya berjudul Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat: apakah watak hubungan logis antara tindakan dan kekuasaan? Berikut penjelasaan Giddens terhadap keduanya:

“.... meskipun penjelasan tentang isu ini sangatlah kompleks, relasi mendasar yang ada bisa dengan mudah di tunjukan. Mampu „bertindak lain‟ berarti mampu mengintervensi dunia, atau menjaga diri dari intervensi semacam itu, dengan dampak memengaruhi suatu proses keadaan khusus dari urusan-urusan. Hubungan ini mengandaikan bahwa menjadi seorang agen harus mampu menggunakan (secara terus-menerus di dalam kehidupan sehari-hari) sederet kekuasaan kausal, termasuk memengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan orang lain. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk „memengaruhi‟ keadaan urusan atau rangkaian peristiwa yang telah ada sebelumnya. Seorang agen tidak lagi

24

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 14.

25

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 20.

26

Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6, Cet ke-4. Penerjemah Alimandan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 510.


(40)

24

mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan untuk „memengaruhi‟, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Banyak kasus menarik bagi analisis sosial berpusat di sekitar batasan-batasan dari apa yang dipandang sebagai tindakan – saat ketika kekuasaan seseorang dibatasi oleh sederet keadaan tertentu. Akan tetapi, yang pertama penting untuk diketahui adalah bahwa keadaan-keadaan dari pembatas sosial yang membuat para individu „tidak memiliki pilihan‟ tidak boleh disamakan dengan terputusnya tindakan seperti itu. „Tidak memiliki pilihan‟ bukan berarti bahwa tindakan telah tergantikan oleh reaksi (seperti kedipan seseorang ketika ada gerakan cepat di dekat matanya). Mungkin kondisi ini tampak begitu jelas sehingga tidak perlu lagi dikatakan lagi. Tetapi, sejumlah mazhab sosial terkemuka, terutama yang bersinggungan dengan objektivisme dan „sosiologi kultural‟ belum mengakui pembedaan itu. Mazhab-mazhab sosial ini menganggap bahwa pembatasan-pembatasan sosial bekerja mirip seperti kekuatan-kekuatan alam, seolah-olah „tidak memiliki pilihan‟ sama seperti ketika tidak kuasa menahan dorongan dari tekanan-tekanan mekanis.27

Dengan kata lain gagasan tentang tindakan adalah logis terkait dengan kekuasaan, dimana tindakan merupakan sebuah keyword bagi agensi. Terlebih dulu kita harus membedakan antara kekuasaan (power) dengan dominasi (domination). Dominasi mengacu pada skemata asimetri hubungan pada tataran struktur, sedangkan kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (praktik sosial atau interaksi).28 Dalam teori strukturasi, kekuasaan bukanlah gejala yang terkait dengan struktur ataupun sistem, melainkan kapasitas yang melekat pada pelaku. Oleh karena itu, kekuasaan mengacu pada kapasitas transformatif.29 Sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung di antara pelaku.

27

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 24.

28

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 33.

29

Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method , 2 th ed. (California: Standford University Press, 1993), h. 116.


(41)

Dominasi masuk dalam dimensi struktural dalam sistem sosial, selain dominasi ada signifikan dan legitimasi. Ketiganya saling terkait satu sama lain, struktur signifikan pada gilirannya mengacu pada struktur dominasi dan legitimasi. Struktur signifikan selalu harus dipahami dalam kaitannya dengan dominasi dan legitimasi. Sekali lagi pemahaman ini harus diarahkan pada pengaruh kuat kekuasaan dalam kehidupan sosial.

Bagaimana kaitan ketiga tiga prinsip struktural (struktur/skemata) itu dengan praktik sosial? Skema di bawah ini menyajikan pola hubungan antara keduanya:30

Gambar 2.1

Dimensi-dimensi Dualitas Struktur

Sumber: B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2002)

Giddens menyebut „modalitas/sarana-antara’ sebagai mediasi antara struktur dan interaksi dalam proses praktik sosial, konsep pada baris pertama mengacu pada sifat interaksi, sedangkan baris ketiga sebagai prinsip dimensi struktur. Dari skema diatas, dualitas antara aktor dan struktur dapat digambarkan keberlangsungannya sebagai berikut: dengan mengambil pengertian struktur

30

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 25.

legitimasi

signifikasi dominasi

skema

interpretasi fasilitas norma

sanksi kekuasaan

komunikasi INTERAKSI

(modality)


(42)

26

sebagai parktik soaial, komunikasi mempunyai makna dalam interkasi yang melibatkan bingkai interpretasi dengan cara yang masuk akal, tindakan praktik sosial “berkomunikasi” baik itu berbicara, berdiskusi, ataupun melalui tulisan mengandaikan struktur penandaan tertentu, misalnya seperti di contohkan oleh Herry Priyono dalam bukunya yang berjudul Anthony Giddens Suatu Pengantar “suatu tata bahasa yang terpahami oleh orang-orang dalam masyarakat yang menjadi tujuan tindakan berbicara atau menulis”. Sedangkan Penggunaan kekuasaan dalam interaksi melibatkan fasilitas dimana agen mampu atau berhasil dalam mempengaruhi perilaku orang lain juga mengandaikan skemata dominasi, misalnya seperti bos dan karyawan, mandor dan buruh, majikan dan pembantu, pemerintah-rakyat. Begitu juga dengan sifat interkasi yang terakhir, yakni sanksi yang melibatkan penerapan norma-norma dan struktur legitimasi. Contohnya tindakan nyata penegak hukum dalam memberikan hukuman kepada siapapun yang telah melanggar peraturan yang ada dan pemberian sanksi pada pihak yang melanggar melibatkan struktur legitimasi.

Struktur dominasi yang terjadi dalam interkasi kekuasaan (power) dengan modalitas sumber daya alokatif dan otoritatif melihat kekuasaan tidak harus selalu dihubungkan dengan konflik kepentingan yang bersifat opresif, tetapi merupakan kapasitas untuk memperoleh hasil (the capacity to achieve outcome), terlepas dari kaitannya dengan persoalaan kepentingan terebut. Kekuasaan ini dibangkitkan di dalam melalui reproduksi struktur dominasi dengan sumber daya alokatif dan otoritatif tersebut.31 Selain itu Giddens menawarkan sebuah tipologi dari institusi-institusi yang berhubungan dengan bobot dan kombinasi dari aturan-aturan dan

31


(43)

sumber-sumber daya yang diimplikasikan dalam interaksi. Jika signifikasi (aturan interpretative) primer, diikuti dengan patuh, oleh dominasi (sumber daya alokatif dan otoritatif) dan kemudian legitimasi (aturan normative), hadir sebuah “tatanan simbolik”. Jika dominasi otoritas, signifikasi dan legitimasi dikombinasikan dengan sukses, terjadi institusionlisasi politik. Jika dominasi alokatif, signifikasi, dan legitmasi tersusun akan muncul institusionalisasi ekonomi. Dan jika legitimasi, dominasi, dan signifikasi ditata berurutan akan terjadi institusionalisasi hukum.32 Gambar berikut menunjukan proses institusionalisasi tersebut:

Gambar 2.2

Tipologi Institusi-institusi

Diproduksi dan

Sumber: Jonathan Turner, 1991, dalam Sunarto, 2009: 25

32

Sunarto, Televisi, Kekerasan, dan Perempuan (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009), h. 24

Jenis Institusi

Tatanan Simbolik atau mode-mode wacana, dan pola-pola komunikasi

Institusi politik

Institusi Legal Institusi Ekonomi

Tataran Urutan atau Penekanan Pada Aturan & Sumber Daya

Penggunaan aturan interpretif (signifikasi) bersama dengan aturan normative (legitimasi) dan sumber daya alokatif dan otoritatif (dominasi)

Penggunaan sumber daya otoritatif (dominasi) bersama dengan aturan interpretative (signifikasi) dan aturan normative (legitimasi).

Penggunaan sumber daya alokatif (dominasi) bersama dengan aturan interpretative (signifikasi) dan aturan normative (legitimasi).

Penggunaan aturan normative (legitimasi) bersama dengan sumber daya otoritatif dan alokatif (dominasi) dan aturan interpretative (signifikasi).

Diproduksi & direproduksi oleh: Diproduksi & direproduksi oleh: Diproduksi & direproduksi oleh: Diproduksi & direproduksi oleh:


(44)

28

Teori strukturasi menurut Sunarto berhasil mengatasi distingsi dualism agen-struktur menjadi dualitas struktur. Teori strukturasi menunjukan relasi simetris agen-struktur. Dalam pandangan teori strukturasi, agen-struktur tidak bias saling meniadakan satu sama lain, karena mereka terperangkap dalam relasi komplementatif. Eksistensi agen-struktur melebur dalam praktik sosial melalui proses produksi dan reproduksi system sosial. Agen menjadi bagian dari struktur, tetapi struktur juga menjadi bagian dari agen.

Proses strukturasi merupakan jalan penting bagi terbentuknya hegemoni, yaitu cara berpikir yang dinaturalisasikan, masuk akal, dan diterima sebagai sesuatu yang terberi (given) mengenai dunia yang termasuk didalamnya segala sesuatau, mulai dari kosmologi melalui etika hingga praktik sosial yang diletakan dan dipertarungkan dalam kehidupan sehari-hari.33

B.Teori Hegemoni Media

Kekuasaan selalu bermuka dua, “mempesona dan mengerikan”. Hegemoni bisa menjadi salah satu dari banyaknya cara untuk menggapai kekuasaan. Wujudnya yang tidak kasatmata namun memiliki dampak luar biasa hebat yang mampu mempengaruhi ideologi dan nilai-nilai kehidupan.

Hegemoni merupakan buah pemikiran Antonio Gramsci seorang penulis Italia, politisi, ahli teori politik, filsuf, sosiolog, dan ahli bahasa. Dia adalah anggota pendiri dan pemimpin mantan Partai Komunis Italia yang juga pernah dipenjarakan oleh rezim Fasis Benito Mussolini.

33


(45)

Hegemoni berasal dari bahasa Yunani, hegemõn yang berarti pemimpin (leader, commander, guide, ruler), hegemoni secara umum telah digunakan oleh marxis dan pemikir non-marxis, yang mengacu kepada dominasi politik dan kepemimpinan. 34 Hegemoni secara umum dapat didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari satu kelompok sosial atas yang lain.35

Gagasan Gramsci mengenai hegemoni didasarkan pada gagasan Marx mengenai kesadaran palsu (false consciounsness), yaitu keadaan dimana individu menjadi tidak menyadari adanya dominasi dalam kehidupan mereka. Gramsci menyatakan bahwa sistem sosial yang mereka dukung justru telah mengeksploitasi diri mereka sendiri, mulai dari budaya popular hingga agama. Menurut Gramsci kelompok dominan dalam masyarakat berhasil mengarahkan orang kepada perasaan puas terhadap keadaan.36

Menurut Chantal Mouffe (1979) Konsep hegemoni pertama kali muncul dalam tulisan Gramsci tahun 1926 dengan judul Notes on the Southern Question:37

The Turin communists posed concretely the question of the "hegemony of the proletariat": i.e. of the social basis of the proletarian dictatorship and of the workers' State. The proletariat can become the leading [dirigente] and the dominant class to the extent that it succeeds in creating a system of class alliances which allows it to mobilize the majority of the working population against capitalism and the bourgeois State. In Italy, in the real class relations which exist there, this means to the extent that it succeeds in gaining the consent of the broad peasant masses.

34

Michael Payne and Jessica Rae Barbera, A Dictionary Of Cultural And Critical Theory, 2

th

ed. (United Kingdom: Blackwell Publishing, 2010), h. 326.

35

Richard West and Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory: Analisis and Application, 4th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), h. 367.

36

Morisan, Teori Komunikasi Massa: Media, Budaya, dan Masyarakat (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 166.

37

1926, Gramsci, Some aspects of the southern question, Artikel diakses pada 5 Februari 2014 dari http://www.uky.edu/~tmute2/geography_methods/readingPDFs/gramsci-southern-question1926.pdf


(46)

30

Hegemoni oleh Gramsci tidak hanya diterapkan sebagai strategi kaum proletar namun juga dapat diterapkan dalam praktek kelas yang berkuasa lainnya. Bagi Gramsci, ideologi tidak hanya tumbuh dan bekerja dalam kelas buruh yang didominasi oleh kelas pemilik modal, sebagaimana pemikiran Marx, tapi juga dapat berlangsung di setiap aspek kehidupan, mulai keluarga, lembaga agama, budaya politik, media massa dan lain-lain melalui mekanisme “hegemoni”.38

Seperti yang telah disebutkan media juga merupakan forum untuk memperebutkan hegemoni dalam sebuah masyarakat, sebab media dalam konsep Gramsci (1971): 39

A terrain of contesting group and forces in which the ruling class is trying to smooth out class contradiction and incorporates potentially oppositional group and forces.

Gagasan mengenai hegemoni media (media hegemony) seperti yang dinyatakan oleh Antonio Gramsci bahwa “struktur pemikiran rutin, taken-for-granted, memberikan kontribusi terhadap struktur kekuasaan”. Konsep ini menyatakan bahwa gagasan golongan yang berkuasa di masyarakat menjadi gagasan yang berkuasa di seluruh masyarakat lainnya. Hegemoni media menyatakan bahwa berita dan isi media lain di Amerika Serikat disesuaikan dengan kebetuhan ideologi kapitalis, atau korporat. 40

Gagasan hegemoni media termasuk dalam konsep abstrak dan sulit diuji menggunakan riset. Meskipun menunjukan pengaruh yang kuat, gagasan ini agak samar dalam implikasi yang sebenarnya. Namun demikian, usaha untuk

38

Dony Gahral Adian, Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer (Depok: Koekoesan, 2011) h. 41.

39

Dedy N. Hidayat, dkk., Konstruksi Sosial Industri Penyiaran (Jakarta: Departemen Komunikasi FISIP UI, 2003), h. 20.

40

Werner J. Severin dan James W. Tankard Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa (Jakarta: Kencana, 2008), h. 337.


(47)

mengevaluasi gagasan hegemoni media bisa dilihat dalam proses peliputan berita.41

Teori ini memang kurang memusatkan perhatian pada faktor ekonomi dan struktur ideologi yang mengunggulkan kelas tertentu, tetapi menekankan pada ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, bentuk implementasi, dan tata cara yang dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya (terutama working class), sehingga upaya itu berhasil memengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka.42

Titik awal gagasan hegemoni adalah bahwa sebuah kelompok menyelenggarakan kekusaan terhadap kelompok subordinat melalui persuasi.43 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Little John dan Foss bahwa hegemoni merupakan dominasi ideologi palsu atau cara berpikir terhadap kondisi sebenarnya. Ideologi tidak disebabkan oleh sistem ekonomi saja, tetapi ditanamkan secara mendalam pada semua kegiatan masyarakat. Jadi, ideologi tidak dipaksakan oleh suatu kelompok kepada yang lain, tetapi bersifat persuasive dan tidak sadar, ideologi yang dominan menghidupkan minat golongan lain, dan media jelas memainkan peran yang besar dalam proses ini.

Senada dengan Little John dan Foss, Stuart Hall mengungkapkan bahwa hegemoni bukanlah alur sadar, tidak memaksa secara terang-terangan, dan efeknya tidak total. Media penyiaran maupun cetak menyajikan berbagai ide, tapi kemudian mereka cenderung untuk menopang status quo dengan

41

Severin dan Tankard, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, h.337.

42Gana Buana, “Media dan Politik: Analisis Terhadap Eksistensi Harian Republika Dalam

Pemberitaan Partai Politik Islam Jelang Pemilu 2014,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013), h. 34-33.

43

Dony Gahral Adian, Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer (Depok: Koekoesan, 2011). 42.


(48)

32

mengistimewakan penafsiran sudah menerima realitas. Hasilnya bahwa peran media massa adalah produksi persetujuan dari pada relefansi consensus yang sudah ada.44

Hall believes that the consent-making function of the mass media is to convince readers and viewers that they share the same interests as those who hold the reins of power. Because the media‟s hegemonic influence has been relatively successful, it‟s played an important role in maintaining worker unrest at the level of moaning and groaning rather than escalating into revolutionary fervor.

Dalam budaya yang bersifat hegemonik, akan terdapat kelompok-kelompok yang diuntungkan dan ada kelompok-kelompok lainnya yang dirugikan.45 Gramsci mencatat bahwa sebuah kelompok menjadi hegemonik bilamana kelompok tersebut mengartikulasikan kepentingan sektoralnya sebagai kepentingan umum, lalu merealisasikannya dalam kepemimpinan moral dan politik.46 Hegemoni pada dasarnya adalah dominasi persetujuan dan sama sekali tidak dibenarkan dengan jalan kekerasan.

C.Konseptualisasi Kampanye

Rogers dan Storey mendefinisikan kampanye sebagai: “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.”47

Merujuk pada definisi yang telah dikemukakan maka kampanye komunikasi mengandung beberapa point penting, yakni (1) terencana (2)

44

EM Griffin, A First Look At Communication Theory, 8th ed. (New York: McGraw-Hill, 2012), h. 346.

45

Morisan, Teori Komunikasi Massa: Media, Budaya, dan Masyarakat (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 167.

46

Dony Gahral Adian, Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer (Depok: Koekoesan, 2011) h. 42.

47

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina, Komunikasi Politik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 33.


(49)

mengahasilkan efek atau dampak tertentu (3) dengan jumlah khalayak yang besar, dan (4) bekerja dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Beberapa ahli komunikasi mengakui bahwa definisi yang diberikan oleh Rogers dan Storey adalah yang paling populer dan dapat diterima dikalangan ilmuwan komunikasi. Hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, definisi tersebut secara tegas menyatakan bahwa kampanye merupayakan wujud tindakan komunikasi. Dan alasan kedua, definisi tersebut dapat mencakup keseluruhan proses dan fenomena politik kampanye yang terjadi dilapangan. Definisi Rogers dan Storey juga umumya dirujuk oleh berbagai ahli disiplin ilmu politik dan kesehatan masyarakat.48

Definisi yang sejalan dengan Roger dan Storey pun dikemukankan oleh Pfau dan Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993) seperti dikutip oleh Antar Venus, kampanye adalah:49

A Campaign is conscious, sustained and incremental process designed to be implemented over a specified periode of time for the purpose of influenceing a specified audience”. (Kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan).

Definisi lain dari Kotler dan Roberto (1989) memiliki rumusan tentang kampanye sebagai berikut:

Campaign is an organized effort conducted by one group (the change agent) which intends to persuade others (the target adopter), to accept, modify, or abandon certain ideas, attitudes, practices, and behaviour.”50 (Kampanye ialah sebuah upaya yang diorganisasi oleh suatu kelompok (agen perubahan) yang ditunjukan untuk memersuasi target

48

Antar Venus, Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam mengefektifkan Kampanye Komunikasi (Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2009), h. 8.

49

Antar Venus, Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam mengefektifkan Kampanye Komunikasi (Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2009), h. 8.

50

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 229.


(50)

34

sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau membuang ide, sikap dan perilaku tertentu).

Kebutuhan untuk melakukan kampanye dalam berbagai pemilihan, baik pemilihan Presiden, pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, pemilihan umum dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah sangat dibutuhkan. Dikarenakan orientasi dari kampanye itu sendiri bukan hanya pada brand awareness, tapi sampai pada mengubah voting behavior. Maka dari itu kampanye di Indonesia menjadi hal yang sangat krusial dalam proses demokrasi. Tentunya kampanye pun memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh para pelaksana kampanye, hal ini untuk menghindari berbagai macam permasalahan yang akan timbul dari kegiatan kampanye itu sendiri.

1. Jenis Kampanye

Membahas jenis-jenis kampanye mengartikan adanya sebuah perbedaan landasan dan tujuan berbeda yang ingin dicapai pada tiap-tiap jenis kampanye yang ingin dilakukan, Charles U Larson dalam bukunya Persuasion: Preception and Responsibility, menyebutkan ada 3 tipe jenis kampanye:51

a. Product oriented campaign

Product oriented campaign atau sering juga disebut dengan corporate campaings ini terjadi pada lingkungan bisnis dengan tujuan memasarkan produk dan mendapatkan keuntungan financial.

51

Charles U Larson, Persuasion: Preception and Responsibility (Canada: Wadsworth, 2010), h. 282.


(51)

b. Candidate oriented campaign

Candidate oriented campaign atau political campaign fokus kepada kandidat yang pada umum termotivasi oleh kekuasaan politik dengan tujuan utamanya adalah memenangkan pasar pemilih.

c. Ideological campaign

Idea atau ideological campaign merupakan jenis kampanye yang berorinetasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dengan maksud untuk merubah suatu keyakinan.

Menurut Pfau & Parot (1993) “campaign are Inherently Persuasive communication activities”52 seperti yang dikutip oleh Gun Gun Heryanto dan Ade Rina, ada empat aspek dalam kampanye persuaif yang tidak dimiliki tindakan persuasif perorangan:53

a. Kampanye secara sistematis berupaya menciptakan “tempat” tertentu dalam pikiran khalayak tentang produk, kandidat atau gagasan yang disodorkan. b. Kampanye berlangsung dalam berbagai tahapan mulai dari menarik

perhatian khalayak, menyiapkan khalayak untuk bertindak hingga akhirnya mengajak mereka melakukan tindakan nyata.

c. Kampanye juga mendramatisisr gagasan-gasan yang disampaikan pada khalayak dan mengundang mereka untuk terlibat baik secara simbolis maupun praktis, guna mencapai tujuan kampanye.

52

Komunikasi persuasif adalah komunikasi yang bertujuan untuk mengubah atau memengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang sehingga bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. Pada komunikasi persuasif penyampaian pesan dilakukan dengan cara membujuk, merayu, meyakinkan, dan sebagainya sehingga terjadi kesadaran untuk berubah pada diri komunikan yang terjadi secara suka rela tanpa adanya paksaan.

53

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina, Komunikasi Politik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 35.


(52)

36

d. Kampanye juga secara nyata menggunakan kekuatan media massa dalam upaya menggugah kesadaran hingga mengubah perilaku khalayak.

2. Tujuan Kampanye

Adapun tujuan dari kampanye yaitu:54

a. Kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tataran pengetahuan kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan khalayat terhadap isu tertentu.

b. Pada tahap berikutnya diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian atau keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye. c. Sementara pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditunjukan untuk

mengubah perilaku khalayak secara konkrit dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye.

3. Karakteristik Kampanye

Kampanye pada hakikatnya adalah tindakan komunikasi yang bersifat goal oriented. Pada kegiatan kampanye selalu ada tujuan yang hendak dicapai. Pencapai tujuan tersebut tetap saja tidak dapat dilakukan melalui tindakan yang sekenanya, melainkan harus disadari pengorganisasian tindakan secara sistematis dan strategis. Dalam kaitan ini Johnson-Cartee dan Copeland (1997:71)

54

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina, Komunikasi Politik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 36.


(53)

menyebut kampanye sebagai an organized behaviour, harus direncanakan dan diterapkan secara sistematis dan berhati-hati.55

Di Indonesia kampanye pun mengalami berbagai momentumnya, mulai dari pangggung yang dibuat oleh kandidat untuk berkampanye dan dihadiri ratusan masa bahkan ribuan untuk melihat kandidatnya berorasi, meski sebenarnya masyarakat lebih tertarik pada penyanyi yang dibayar oleh para kandidat untuk menghibur masyarakat ketimbang mendengar orasi sang kandidat. Tak sampai di situ, kampanye pun mampu menggerakan masa turun kejalan, bersorak sorak mendukung sang kandidat dengan menggunakan sepeda motor tanpa memperdulikan aturan yang berlaku. Kadang keributanpun tak dapat dihindari dalam pesta rakyat tersebut, baku hantam antara pendukung kerap terjadi. Setelah runtuhnya rezim Soeharto yang membawa udara kebebasan disetiap aspek negeri ini, kampanye pun mempunyai wadah baru, yakni dengan menggunakan frekuensi milik public, media penyiaran. Pada akhirnya kampanye pun menjadi sangat sulit untuk dijadikan sebagai salah satu alat pendidikan politik bagi rakyat Indonesia.

Dapat diketahui beberapa karakteristik dari uraian diatas yang dapat penulis rangkum dari buku Antar Venus yang berjudul Manajemen Kampanye:56

a. Kampanye mangharuskan adanya sumber yang jelas b. Kampanye mempunyai batas waktu yang telah ditentukan.

c. Pesan-pesan kampanye terbuka untuk diperdebatkan bahkan dikritisi, karna hal ini menyangkut kepentingan publik.

55

Antar Venus, Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam mengefektifkan Kampanye Komunikasi (Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2009), h. 25-26.

56

Antar Venus, Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam mengefektifkan Kampanye Komunikasi (Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2009), h. 5-6.


(54)

38

d. Pesan yang disampaikan tidak bersifat memaksa, melainkan dilandasi oleh prinsip persuasi yakni mengajak dan mendorong publik untuk menerima atau melakukan sesuatu yang dianjurkan atas dasar kesukarelaan.

e. Tindakan yang dilakukan saat kampanye diatur dalam kode etik

f. Kepentingan yang ada pada kampanye bukanlah kepentingan sepihak, melainkan kepentingan dua belah pihak. Maksudnya adalah mereka yang terjun dalam politik harus mengetahui betul bahwa mereka mengemban tugas yang telah diamanatkan publik untuk melayani serta merealisaikan apa yang baik untuk publik.

D. Konseptualisasi Regulasi Media Penyiaran

Broadcasting dalam bahasa Inggris diartikan pengiriman program oleh media radio dan televisi (the sending out programmes by radio or television). Broadcasting berasal dari kata kerja to broadcast yang diartikan sebagai alat berbicara atau menampakan diri di radio atau televisi (to speak appear on radio or television). Dalam kamus lain, broadcasting diartikan sebagai siaran radio dan televisi atau media penyiaran. Dengan demikian menyebut media penyiaran maka yang dimaksud adalah televisi dan radio, yaitu dua media komunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi untuk menyampaikan dalam program dan bentuk gabungan suara atau suara saja.57

Istilah penyiaran secara makro mengacu pada media elektronik baik radio ataupun televisi. Dalam makna denotatifnya, istilah penyiaran dirumuskan

57


(1)

6. Kalau data yang saya dapat dari KPI kan pemberitaan di tvOne lebih berat ke salah satu partai, itu gimana ya mas?

Jawab: eee mungkin dari sisi iklan ya? Iya iklan? Kalau iklan kan balik lagi ke mekanisme pasar. Dia mampu bayar banyak ya dia yang bisa disini begitu. Seandainya yang bendera merah pun mau masang disini lebih banyak ya terserah, monggo gitu.. nah itu kan nanti juga diedit gitu, memang mungkin kalo publik kan melihatnya lebih banyak bendera anu misalnya.. yak karena dia mau bayar, distu. Oh tetap bayar? Tetap bayar, tetap bayar, itu ada anunya, itu ada itungannya dan itu ada auditnya, gitu..

7. Bagaimana seharusnya informasi terkait pemilu disiarkan ditelevisi?

Jawab: hmmm ya sesuai kaidah jurnalistik lagi, balik lagi.. nilai beritanya, terus kelengkapan beritanya, tentu juga kalau tiap tv kan peristiwanya sama biasanya, satu ada kampanye di senayan, kan biasanya tiap tv beda-beda tiap angle, kemasan gitu..

8. Bagaimana anda memahami UU No 32 tahun 2002 yang mewajibkan lembaga penyiaran menjaga netralitas dan tidak boleh mengutamakan golongan kepentingan tertentu?

Jawab: Iya bagus, ,memang gitu.. memang begitu tujuannya. Ya itu semua rakyat yang bisa nilai, penonton kita, bahwa kita berdiri disemua kaki, berdiri disemua pihak.. engga berat sebelah gitu lho. Beda lagi kalo presepsi orang ya, oh karena dia tv-nya anu, itu beda lagi itu karena dia udah punya pengetahuan tapi beda lagi kalo untuk masyarakat perdesaan yang fikirannya tidak terlalu ke politik ga ngait-ngaitin, dia sih liat-liat aja. Buat kita yang tahu ooh tv-nya anu nih lebih ini lebih berat ke dia.

9. Bagaimana anda memandang UU No 32 Tahun 2002, UU No 8 Tahun 2012, PKPU, dan P3SPS khususnya mengenai regulasi kampanye pemilu di media penyiaran?

Jawab: kan kalo kita praktisi ya, kalo praktisi biasanya kita ngikutlah sama apa yang dibikin sama undang-undang dan kita juga bukan pembuat undang-undang. Kita percaya bahwa yang bikin undang-undang itu maksud dan tujuannya baik. Kita siap ngikutin apapun bentuknya karena kalo undang-undang kan kesepakatan bersama, orang-orang


(2)

yang bisa lebih pinter dari kita, kita percaya itu dan kita ikutin itu dan pasti mereka baik tujuannya untuk ngatur kita.

10. Apakah aturan mengenai regulasi kampanye di media penyiaran dalam berbagai versi (UU No 32 Tahun 2002, UU No 8 Tahun 2012, PKPU, dan P3SPS) sudah jelas dan ideal?

Jawab: sudah, sudah karena gue belom banyak baca tentang itu ya tapi sejauh ini kita lancar-lancar aja tuh.

11. Berdasarkan data yang didapat dari KPI tvOne kerap mendapat teguran tertulis mengenai pelanggaran kampanye, mengapa demikian?

Jawab: hmmm itu ada bagian legal ya.. tapi sejauh ini teguran itu bisa dijawab sama tvOne dan kalo teguran kita anggap teguran seorang ayah terhadap anak gitu. Belom ada teguran yang sampai memberhentikan program siaran, belom sampe. Dan kita percaya bahwa tv lain juga gitu dan itu bentuknya teguran tertulis, peringatan. Lewat sedikit dari batasnya lalu balik lagi.

12. Bagaimana harapan kedepan bagi sistem penyiaran di Indonesia? Jawab: ya lebih baiklah, standart..

13. Ada intervensi sejauh ini?


(3)

LAMPIRAN

Proses wawancara bersama salah satu Eksekutif Produser tv One, Herri.


(4)

Proses wawancara bersama salah satu produser sekaligus news anchor Metro TV, Indra Maulana.


(5)

(6)

Proses wawancara bersama salah satu pengamat media, Ignatius Heryanto.