PELATIHAN SEKAR DALANG WAYANG GOLEK DI PAGURON MUNGGUL PAWENANG KOTA BANDUNG.

(1)

KOTA BANDUNG

TESIS

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar magister pendidikan

Program Studi Pendidikan Seni

Oleh :

Ojang Cahyadi

NIM. 1006937

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG


(2)

(3)

(4)

viii   

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji dan mendeskripsikan strategi pelatihan sekar dalang wayang golek khususnya yang dilakukan di paguron Munggul Pawenang Kota Bandung. Strategi pelatihan sekar dalang wayang golek di Jawa Barat tampaknya belum dilaksanakan secara sistematis, bahkan proses pelaksanaan belum terorganisir dengan baik, sehingga perlu diteliti untuk menghasilkan sebuah format pelatihan yang bisa diacu oleh sanggar dan paguron sebagai penyelenggara pelatihan atau para calon dalang.

Proses pelatihan sekar dalang perlu diangkat dan dideskripsikan sebagai acuan pelatihan untuk paguron atau peminat pedalangan dalam berolah seni pedalangan. Proses pelatihan sekar dalang wayang golek di Munggul Pawenang telah mendorong munculnya dalang-dalang muda sebagai generasi penerus pewaris budaya dalam dunia pedalangan di Jawa Barat.

Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh jawaban dari permasalahan-permasalahan yang diungkap dalam rumusan masalah, yaitu mendeskripsikan strategi pelatihan dan proses pelatihan sekar dalang di paguron Munggul Pawenang Kota Bandung. Dimulai dari perencanaan, proses pelatihan, materi pelatihan, dan evaluasi pelatihan. Kemudian dikaji dan dianalisis sehingga menjadi acuan konsep pelatihan sekar dalang di paguron yang belum memiliki konsep pelatihan sekar dalang wayang golek. Memperoleh gambaran faktual tentang proses pembelajaran dan pelatihan sekar dalang wayang golek yang diterapkan di paguron Munggul Pawenang Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan di Paguron Munggul Pawenang Kota Bandung. Data penelitan ini diperoleh melalui proses wawancara, observasi dan kajian dokumentasi. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori pelatihan, strategi pelatihan, dan sekar dalang. Hasil temuan dalam penelitian ini adalah strategi pelatihan yang dikembangkan di paguron Munggul Pawenang adalah strategi aktifitas yang lebih menekankan unsur skill dan keterampilan praktek. Strategi yang dimaksud diwujudkan melalui konsep nyatrik dengan sepuluh tahapan pelatihan. Strategi pelatihan di Munggul Pawenang menggunakan pola tradisional dan telah menghasilkan beberapa orang dalang wayang golek yang berkualitas dan diakui keberadaannya oleh masyarakat, namun demikian perlu adanya penataan kembali khususnya terkait dengan organisasi dan kelembagaan, kurikulum, pola pelatihan, proses pelatihan, serta evaluasi pelatihan. Secara umum dalam pandangan tradisional hasilnya bisa dikatakan berhasil, hal ini terbukti dengan munculnya generasi muda pedalangan lulusan dari Paguron Munggul Pawenang.


(5)

ix   

Training in paguron Munggul Pawenang Bandung (A Case Study Of Aspects Sekar Marionette Puppet puppeteer). The process of preservation puppeteer puppet show has its own distinct characteristics with other arts training system. Marionette puppeteer training system known as concept nyatrik (some are calling nyantrik), ie the teacher pass their knowledge through hands-on stage, so that the students will be absorbed, follow, observe and patterned what is happening on stage as learning materials.

The purpose of this study to describe the training strategy applied in paguron Munggul Pawenang Bandung, from planning, training process, training materials, students and coaches, as well as the objectives and evaluation of training, particularly in the matter sekar mastermind.

This study used qualitative methods conducted in paguron Munggul Pawenang Bandung. Data in this research is obtained through a process of interviews, observations and review documentation. The theory used in this study is the theory of conservation, learning theories and teaching / training, coaching strategy, and the theory sekar mastermind.

The results or findings in the study were a) the existence of Munggul Pawenang in Bandung as a print paguron young puppeteers who have superior quality in presenting sekar mastermind, b) art conservation puppet show performed by paguron Munggul Pawenang include training and development of materials puppeteer art show, festival, and performances to the community, c) training strategy in Munggul Pawenang using traditional patterns and have produced some quality puppeteer puppet show and recognized by the public, however, there needs to be specifically associated with the realignment of organizational and institutional , curriculum, training patterns, process training, and evaluation. In general, the traditional view of the results can be said to be successful, it is proved by the emergence of a young generation of graduates puppetry paguron Munggul Pawenang.

Keywords: Conservation puppet show, paguron training process, Sekar puppeteer puppet show.


(6)

x   

DAFTAR ISI

Hal

LEMBAR PENGESAHAN ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR FOTO ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Struktur Organisasi Tesis ... 11

BAB II LANDASAN TEORETIS DAN STUDI PUSTAKA ... 14

A. Landasan Teoretis ... 14

1. Pelatihan ... 14

a. Strategi Pelatihan ... 15

b. Strategi Pelatihan Aktifitas ... 16

c. Perencanaan Pelatihan ... 16

d. Tahapan/ Proses Pelatihan ... 17

e. Metode Pelatihan ... 17

f. Pengelolaan Pelatihan ... 18

2. Paguron ... 18

3. Dalang ... 19

4. Wayang ... 23

a. Pengertian dan Karakteristik Wayang Golek ... 24

b. Peranan dan Fungsi Wayang Golek di Masyarakat ... 25

c. Sejarah Wayang Golek ... 26

5. Teori Sekar Dalang Wayang Golek ... 27

a. Teknik Sekar Dalang ... 28

b. Titilaras dan Musikalitas ... 31

c. Bentuk Sekar Dalang ... 32

B. Studi Pustaka ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

A. Rancangan Penelitian ... 38

B. Subjek Penelitian ... 42

C. Lokasi Penelitian ... 42

D. Instrumen Penelitian ... 67


(7)

xi   

1. Strategi Pelatihan Sekar Dalang di Paguron Munggul

Pawenang ... 78

a. Perencanaan Pelatihan ... 79

b. Proses Pelatihan ... 81

c. Materi Pelatihan ... 97

d. Sekar Dalang ... 107

e. Metode Pelatihan ... 117

f. Sasaran dan Evaluasi Pelatihan ... 122

B. Pembahasan ... 126

1. Strategi Pelatihan ... 126

2. Proses Pelatihan ... 144

3. Analisis Materi Sekar Dalang ... 148

a. Murwa ... 148

b. Nyandra ... 153

c. Kakawen ... 159

d. Antawacana ... 175

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 183

A. Kesimpulan ... 183

B. Saran ... 185

DAFTAR PUSTAKA ... 188

GLOSARI ... 191

LAMPIRAN ... 225 CURICULUM VITAE PENELITI


(8)

xii   

DAFTAR FOTO

Foto 3.1 Foto Dede Amung Sutarya ... 46 Foto 3.2 Dalang Dede Amung Sutarya sebagai Ketua

Yayasan Pedalangan Jawa Barat Memberi sambutan

Pembukaan Binojakrama Padalangan ... 55 Foto 3.3 Paguron Munggul Pawenang Bandung ... 57 Foto 3.4 Salah satu Gamelan Selap Komplit milik Paguron

Munggul Pawenang ... 59 Foto 3.5 Beberapa kotak wayang golek milik Munggul Pawenang ... 59 Foto 3.6 Rumah kediaman dalang Dede Amung sekaligus

sebagai Paguron Munggul Pawenang ... 60 Foto 3.7 Pertunjukan Dalang Dede Amung ditengah masyarakat ... 62 Foto 3.8 Dalang Dede Amung sedang diskusi dengan Dalang Asep

Sunandar Sunarya terkait dengan Perkembangan

pedalangan di Jawa Barat ... 64 Foto 3.9 Spanduk dan Banner Geunjleung Wayang ... 67 Foto 3.10 Peneliti sedang melakukan wawancara dengan dalang

Dede Amung Sutarya di Paguron Munggul Pawenang

Kota Bandung ... 71 Foto 4.1 Dalang Dede Amung sedang mengarahkan Teknik

Cepen wayang pada tahap ngalalanyah... 85 Foto 4.2 Dalang Dede Amung sedang memberikan demontrasi

dalam latihan dengan iringan gamelan dan sinden pada

tahap ngapalkeun ... 86 foto 4.3 Dalang Dede Amung sedang mencontohkan

Teknik sekar dalang dan sabet wayang pada tahap ngaderes 87 Foto 4.4 Wawan Dede Amung (kiri) dan Dandan Dede

Amung (kanan) sedang memulai tahapan make

aplikasi pertunjukan ... 89 Foto 4.5 Dalang Wawan Dede Amung Sutarya sudah memasuki

tahapan mateakeun dalam pertunjukan ... 91 Foto 4.6 Proses ngabeurangan oleh Dalang Dadan ... 92 Foto 4.7 Penulis sedang wawancara dengan dalang


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Proses pendidikan dapat terjadi dimana saja, tidak terbatas di lingkungan sekolah dan kampus. Perkembangan manusia dari mulai kecil, remaja, sampai dengan dewasa, di dalam lingkungan sekolah, rumah dan di masyarakat, merupakan proses pendidikan yang menyeluruh dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dengan konsep pendidikan sepanjang hayat.

Berdasarkan pengorganisasian, struktur dan tempat terjadinya pendidikan, dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan pendidikan formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang membagi pendidikan dalam tiga jalur, yakni pendidikan formal, nonformal dan informal.

Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang mempunyai fungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Proses pendidikan dilakukan dilingkungan masyarakat berupa pelatihan baik di lembaga kursus atau lembaga pelatihan sejenis seperti sanggar seni. Lebih lanjut dijelaskan oleh Sudjana (2004), tujuan pendidikan nonformal ditinjau dari jangka waktu penyelesaian studi adalah jangka pendek dan spesifik untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang fungsional. Ijazah tidak


(10)

2   

begitu ditekankan asal hasil belajar dapat diterapkan langsung dalam kehidupan di lingkungan pekerjaan atau masyarakat.

Program dan isi materi pada pendidikan nonformal berpusat pada peserta didik, bersifat praktis dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sedangkan sistem penyampaian pembelajarannya dilakukan oleh tutor, pelatih dan fasilitator dengan materi dan kurikulum yang berinteraksi secara fungsional dengan dunia pekerjaan/kehidupan. Struktur program pendidikan dalam pendidikan non formal ini bersifat fleksibel dan luwes artinya dapat dikembangkan sesuai kebutuhan. Sedangkan proses pengendalian dan pengawasannya dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik dengan menekankan inisiatif serta partisipasi masyarakat.

Selain pendidikan nonformal, pendidikan berbasis masyarakat lainnya adalah Pendidikan informal, yaitu penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan dalam sebuah keluarga, dari orang tua kepada anaknya, seperti penanaman pendidikan budi pekerti, etika, moral, hal-hal yang bersifat kemasyarakatan dan kerukunan didalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Selain itu ada pula keluarga yang memberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan kepada anak-anaknya, dengan harapan mereka dapat meneruskan profesinya. Dengan demikian telah terjadi sebuah proses pendidikan informal yang secara terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya.

Dalam konteks penelitian ini, tinjauan dan pengamatan diangkat dan dianalisis dari persoalan yang terjadi dalam proses pendidikan nonformal dan


(11)

informal yang dilakukan di paguron seni wayang golek sunda dengan menggunakan metode pelatihan.

Di Jawa Barat terdapat beberapa paguron seni wayang golek yang sangat dikenal dan diminati sajian pertunjukannya di masyarakat. Selain itu paguron-paguron wayang ini juga memberi kesempatan dan menyediakan layanan pembelajaran seni wayang golek melalui metode pelatihan kepada masyarakat.

Pertama, adalah Sanggar Kampung Seni “Jelekong” di Giri Harja yang berlokasi di Jelekong Kabupaten Bandung merupakan sentra kerajinan wayang golek yang mengembangkan potensi masyarakat dalam pembuatan kerajinan wayang golek, dan dikembangkan menjadi sentra industri wayang golek di Kabupaten Bandung. Selain sentra kerajinan wayang golek, aktifitas utama yang menjadi andalan Padepokan Giri Harja adalah layanan pertunjukan pada masyarakat berupa pelatihan seni pedalangan yang mengembangkan pola pelatihan dalang wayang golek dibawah binaan dalang kondang Asep Sunandar Sunarya. Perkembangan selanjutnya padepokan Giri Harja menjadi icon pedalangan Bandung Kidul (Bandung Selatan) (wawancara, Cahya Hedi, Nopember 2012).

Kedua, Padepokan Seni Padalangan “Panca Komara” di Kabupaten Karawang, yang didirikan dan dibina oleh dalang kondang Tjetjep Supriadi. Padepokan Panca Komara berdiri pada tahun 1969 kemudian berubah statusnya menjadi yayasan. Dalam kurun waktu 44 tahun, padepokan ini sudah menghasilkan sejumlah murid (catrik) pada bidang karawitan, tari dan


(12)

4   

pedalangan. Padepokan Panca Komara memiliki gaya kaleran atau gaya yang berkembang di daerah Pantai Utara (wawancara, Cahya Hedi, Nopember 2012)

Ketiga, adalah kehadiran Paguron Munggul Pawenang di Kota Bandung yang berdiri pada tahun 1966 oleh dalang beraliran konservatif yaitu dalang Dede Amung Sutarya. Kiprah Munggul Pawenag dalam dunia pedalangan di Jawa Barat telah memberikan kontribusi dan gaya yang khas utamannya pada kekuatannya menyajikan pertunjukan yang selalu memegang teguh pada aturan pedalangan atau lebih dikenal dengan sebutan tetekon dan pakem. Selain itu keunggulan Munggul Pawenang terdapat dalam penyajian amardawa lagu yang telah menjadi ciri khas Munggul Pawenang, dan gaya tersebut telah banyak diikuti oleh dalang di Jawa Barat, sehingga pada akhirnya gaya tersebut dijadikan ciri khas pertunjukkan wayang golek Bandung Kaler (Bandung Utara) (wawancara, Cahya Hedi, Nopember 2012).

Kesenian wayang golek oleh beberapa kalangan digolongkan kepada seni pertunjukan teater tradisional. Menurut pemahaman orang Indonesia, selama ini teater diartikan sebagai ‘drama’. Hal ini dapat dilihat dari aspek pokok pertunjukan wayang golek yang merupakan dramatisasi dari sebuah cerita atau lakon. Selain unsur drama, dalam pertunjukan wayang golek terdapat pula unsur-unsur seni lainnya, di antaranya unsur-unsur seni sastra, unsur-unsur seni tari, unsur-unsur seni karawitan, dan unsur seni rupa. Oleh karena itu banyak kalangan yang menyatakan bahwa wayang golek merupakan salah satu pertunjukan yang lengkap, artinya pertunjukan dan penyajian wayang golek dibangun oleh beraneka ragam unsur kesenian.


(13)

Fenomena yang berkembang saat ini pertunjukkan wayang golek yang diminati oleh masyarakat luas adalah pertunjukkan wayang golek yang menekankan pada aspek garap, yaitu yang menonjolkan unsur sabet, inovasi bentuk wayang dan banyol atau lawakannya. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya nilai-nilai pertunjukkan wayang golek secara utuh dan runtut, karena untuk memenuhi keinginan pasar, dalang wayang golek seringkali lebih memunculkan aspek hiburannya. Unsur-unsur seni yang terdapat dalam pertunjukan wayang golek menjadi aspek penting yang harus dikuasai oleh seorang dalang yang sarat dengan simbol-simbol pemaknaan. Unsur seni rupa terdapat dalam bentuk boneka kayu yang biasa disebut wayang golek. Bentuk, raut wajah, dan warnanya tidak hanya sekedar untuk membedakan peran tokoh yang satu dengan lainnya tetapi juga memiliki makna yang menunjukkan karakteristik wayangnya dan harus dikuasai oleh seorang dalang. Karakteristik tersebut dapat dibedakan berdasarkan jenis suara wayang, intonasi, nada-nada dalam antawacana (teknik membawakan dialog); serta aspek sabet atau ngigelkeun (menggerakan) wayang, baik gerak ekspresif maupun gerak yang berbentuk tari.

Selain karakteristik di atas, aspek-aspek lain yang harus dikuasai oleh seorang dalang wayang golek adalah tetekon yang meliputi antawacana, renggep, engés, tutug, banyol, sabet, kawi radya, parama kawi, parama sastra, awicarita, amardibasa, dan amardawalagu. Khusus pada bagian antawacana, parama kawi, parama sastra, dan amardawa lagu diungkapkan melalui murwa, nyandra, kakawen dan antawacana yang lebih dikenal dengan istilah sekar dalang. Kendati


(14)

6   

setiap aspek yang terdapat dalam tetekon tadi harus dikuasai oleh setiap dalang, akan tetapi tidak semua dalang mampu menyajikannya dengan baik.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada saat ini dalang yang dipandang memiliki keahlian dalam bidang sekar dalang, adalah dalang Dede Amung Sutarya dari Perkumpulan Seni Wayang Golek Munggul Pawenang, Padasuka Kota Bandung. Menurut hasil wawancara dengan Suhendi Afriyanto seorang pengamat pedalangan dan pengurus yayasan pedalangan Jawa Barat, Paguron Munggul Pawenang memiliki keunggulan dalam aspek garap sekar dalang. Selain itu menurutnya, dalang kasepuhan Dede Amung Sutarya sebagai guru memiliki metoda pelatihan sekar dalang yang baik dan detail dalam memberikan materi sekar dalang, serta memberikan pengarahan mengenai cara ’mendalang’ yang benar dengan berpegang pada tetekon pedalangan. Dede juga selalu memproporsikan amardawa lagu, amardibasa dan antawacana dalam proses pelatihannya (wawancara, April 2012).

Aspek sekar dalang saat ini nampaknya kurang mendapat perhatian dari para penikmat sajian wayang golek, atau bahkan oleh beberapa dalang. Padahal unsur cerita dan unsur musikal yang diungkapkan melalui sekar dalang, mendominasi hampir 70% dalam sajian wayang golek (Suparli, wawancara di Bandung, tanggal 12 Juni 2012). Pada umumnya dalang menyajikan sekar dalang dengan sangat sederhana, baik dari segi teknik vocal, maupun jenis sekar dalangnya. Padahal kemampuan dalang dalam menyajikan sekar dalang bisa dijadikan sebagai salah satu indikator kualitas dan kompetensi seorang dalang pada saat mendalang. Menurut dalang Sano (wawancara 23 Juli 2012 di Subang),


(15)

ketika aspek sekar dalang semakin terlupakan atau bahkan dilupakan maka kompetensi dalang dipandang tidak memiliki kharisma dalam sajian pertunjukannya.

Di samping itu, alasan pemilihan objek penelitian ini adalah dikarenakan penelitian tentang proses pelestarian di lingkungan paguron dalang Dede Amung Sutarya, terutama yang berkaitan dengan penelaahan aspek sekar dalang, sampai saat ini belum ada yang meneliti.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, yang terkait dengan topik penelitian ini, di antaranya:

1. Persoalan proses pelatihan dalang wayang golek khususnya pada aspek sekar dalang belum ada yang meneliti.

2. Pelatihan sekar dalang wayang golek khususnya yang dilakukan di sanggar atau paguron wayang golek di Jawa Barat tampaknya belum sistematis, bahkan proses pelaksanaan pelatihannya pun belum terorganisir dengan baik. Sehingga perlu diteliti untuk menghasilkan sebuah format pelatihan yang bisa dijadikan acuan oleh sanggar dan paguron sebagai penyelenggara pelatihan atau para calon dalang.

3. Proses pelatihan perlu diangkat dan dideskripsikan sebagai acuan pelatihan untuk paguron atau peminat pedalangan dalam berolah seni pedalangan.


(16)

8   

4. Proses pelatihan sekar dalang wayang golek di Munggul Pawenang telah mendorong munculnya dalang-dalang muda sebagai generasi penerus pewaris budaya dalam dunia pedalangan di Jawa Barat.

5. Pelatihan sekar dalang wayang golek belum banyak disosialisasikan, sehingga umumnya masyarakat tidak mengetahui keberadaan pelatihan dalang di paguron Munggul Pawenang.

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, dirumuskan permasalahan utama yakni, ”Bagaimanakah pelatihan sekar dalang wayang golek di Paguron Munggul Pawenang.?” Kemudian dituangkan kedalam rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah strategi pelatihan sekar dalang di Paguron Munggul Pawenang Kota Bandung?

2. Bagaimanakah proses pelatihan sekar dalang wayang golek yang diterapkan di Paguron Munggul Pawenang Kota Bandung?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yang paling utama adalah untuk memperoleh jawaban dari permasalahan-permasalahan yang diungkap dalam rumusan masalah. Kemudian dikaji dan dianalisis sehingga mampu menjadi acuan konsep pelatihan sekar dalang di sanggar-sanggar atau paguron yang belum memiliki konsep pelatihan dalang wayang golek. Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, maka penelitian ini juga bertujuan untuk:


(17)

1. Mendeskripsikan strategi pelatihan sekar dalang yang terapkan di Paguron

Munggul Pawenang Kota Bandung, dari mulai perencanaan, proses pelatihan, materi, dan evaluasi pelatihan.

2. Memperoleh gambaran faktual tentang proses pelatihan sekar dalang

wayang golek yang diterapkan di paguron Munggul Pawenang.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik pada tataran akademik maupun kalangan praktisi, serta para pemegang kebijakan, karena penelitian ini bertujuan untuk menemukan strategi pelatihan sekar dalang yang dilakukan di Paguron Munggul Pawenang. Manfaat penelitian ini antara lain bagi:

1. Peneliti

Penelitian ini merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga, serta dalam rangka memberikan kontribusi yang bermanfaat terhadap khasanah pengetahuan kesenian dan kebudayaan khususnya di Jawa Barat. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah tentang aspek-aspek pendidikan dan pelatihan dalang wayang golek termasuk informasi lain yang berharga bagi pengembangan tugas sebagai pengajar, peneliti, dan pengabdi kepada masyarakat.


(18)

10   

2. Objek yang diteliti

Pelatihan dalang wayang golek di Paguron Munggul Pawenang sampai saat ini masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Atas dasar itu penelitian ini akan menjembatani informasi kepada masyarakat tentang aktifitas dan keberadaan juga produk yang dihasilkan dari kegiatan pelatihan dalang wayang golek di Paguron Munggul Pawenang, Padasuka Kota Bandung.

3. Guru dan Seniman

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi seluas-luasnya kepada seluruh kalangan professional yakni guru dan seniman yang memiliki perhatian dan ketertarikan pada dunia pedalangan khususnya wayang golek Sunda, lebih khusus lagi pada materi sekar dalang yang menjadi ciri khas Paguron Munggul Pawenang.

4. Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal memiliki tanggung jawab yang sama, yakni memberikan pelayanan pendidikan melalui proses yang berkesinambungan. Salah satunya adalah memberikan pembelajaran seni budaya yang lebih mengenalkan muatan lokal dalam hal ini seni tradisional. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi tentu diharapkan akan menjadi lembaga terdepan dalam mendukung dan melaksanakan upaya pelestarian budaya, khususnya seni wayang golek sebagai kesenian yang paripurna karena didalamnya ada seni sastra, seni rupa, drama, tari, musik atau


(19)

karawitan dan filsafat kehidupan, maka sangat pantas untuk dikenalkan dan diterapkan dalam dunia pendidikan secara lebih luas.

5. Instansi lain

Upaya pelestarian dan pengembangan seni tradisional telah dilakukan oleh Pemerintah melalui Kementerian terkait dan dinas-dinas pada satuan tugas Pemerintah Daerah yang mengemban tugas terhadap pelestarian dan pengembangan seni budaya tradisional, termasuk pelestarian dan pengembangan seni wayang golek Sunda. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan berarti bagi pemerintah dan instansi lain yang terkait dalam upaya pelestarian dan pengembangan serta pendidikan seni budaya lokal seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan Dinas Pendidikan sebagai referensi, karena hasil penelitian ini sudah dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

E. Struktur Organisasi Tesis

Sistematika penulisan hasil penelitian adalah sebagai berikut: BAB I. Pendahuluan

Dalam bab I ini akan diuraikan berbagai pokok bahasan diantaranya : A. latar belakang penelitian, B. identifikasi dan rumusan masalah, C. tujuan penelitian, D. manfaat penelitian dan E. struktur organisasi tesis.

BAB II. Landasan Teori dan Kajian Pustaka

Dalam bab II ini menyajikan tentang landasan teori dan studi pustaka yang memiliki peran sangat penting dalam sebuah penelitian. A. Landasan teoritis. 1. Pelatihan, a. strategi Pelatihan, b. Strategi Pelatihan aktifitas, c. Perencanaan


(20)

12   

pelatihan, d. Tahap/proses pelatihan, e. Metode pelatihan, f. Pengelolaan pelatihan, 2 paguron, 3. dalang, 4. wayang golek, 5. sekar dalang wayang golek, a. teknik sekar dalang, b. titilaras dan musikalitas, dan c. bentuk sekar dalang. B. Studi pustaka membuat perbandingan dengan beberapa hasil penelitian yang terkait dengan pedalangan sunda, agar tidak terjadi kesamaan dalam menentukan fokus yang diteliti. Studi pustaka juga mengacu pada Mustofa Kamil (2010) dalam bukunya berjudul : Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi, Bandung, Alfabeta. Buku ini menyajikan dan membahas konsep pelatihan secara rinci, ditunjang dengan pendekatan aplikatif secara teknis dalam proses pelatihan di lembaga-lembaga nonformal.

Saleh Marzuki (2010) dalam bukunya berjudul : Pendidikan Nonformal Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan dan Andragogi. Buku ini menyajikan dan membahas secara komprehensif mengenai pendidikan dan pengembangan masyarakat sebagai pemberdayaan masyarakat.

M.A. Salmun (1961) dalam bukunya berjudul Padalangan memuat tentang asal-usul, sastra, aturan dalang. Kakawen dan lakon. Clara Van Groenendael (1988) dalam bukunya berjudul: Dalang di balik Wayang, Jakarta, Pustaka Grafiti Utama, Atik Soepandi (1988) dalam bukunya berjudul: Tetekon Padalangan Sunda, Bandung, Balai Pustaka, Atik Soepandi (1984) dalam bukunya berjudul : Pergelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan,Bandung, Pustaka Buana,

Sri Mulyono (1989) dalam bukunya berjudul : Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya, Jakarta CV. Haji Masagung. Buku ini membahas


(21)

masalah-masalah; asal-usul wayang, sejarah wayang sejak jaman prasejarah, hindu-budha dan islam, jaman penjajahan serta jaman kemerdekaan.

BAB III. Metode Penelitian

Di dalam bab III ini akan diuraikan lebih rinci tentang metode penelitian, bahasan mengenai metode penelitian memuat beberapa komponen diantaranya: A. Rancangan Penelitian; B. Subjek Penelitian; C. Lokasi Penelitian, D. Instrumen Penelitian; E. Teknik Pengumpulan Data; dan F. Teknik Analisis Data. BAB IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab IV ini dikemukakan tentang persoalan-persoalan yang ditemukan dalam penelitian antara lain:

A. Hasil Penelitian : 1. Strategi pelatihan sekar dalang wayang golek di Paguron Munggul Pawenang. a.perencanaan pelatihan, b. proses pelatihan, c. materi pelatihan, d. sekar dalang, e. metoda pelatihan, f. sasaran dan evaluasi pelatihan B. Pembahasan : 1. Strategi Pelatihan, 2. Proses pelatihan 3. Analisis Materi Sekar Dalang pada aspek : a. Murwa, b. Nyandra, c. Kakawen, dan d. Antawacana.

BAB V. Kesimpulan dan Saran Pada bab V ini merupakan: A. Kesimpulan


(22)

38   

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya lebih mengarah kepada fenomena yang terjadi dalam kesenian tradisional, khususnya dalam perkembangan kesenian wayang golek purwa di Jawa Barat. Sedangkan tujuannya untuk mencari gambaran tentang proses pelatihan dalang wayang golek di Paguron Munggul Pawenang Kota Bandung.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam Moleong mendefnisikan tentang metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Maleong, 2007: 4).

Metode penelitian harus disiapkan untuk mencapai tujuan penelitian (Alwasilah, 2006:85). Maka untuk mecapai tujuan penelitian ini, menggunakan penelitian kualitatif. Dengan metode kualitatif ini peneliti menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. (Bogdan dan Taylor 1975: 5) Oleh karena itu dalam penelitian ini pendeskripsian pelatihan sekar dalangyakni dengan mengungkapkan strategi pelatihan yang diterapkan dan proses pelatihan dengan cara antara lain, pemilihan dan pengklasiflkasian sekar dalang dari setiap tahapan pelatihan, dalam hal ini menerapkan murwa, nyandra, kakawen dan antawacana. Selain itu menafsirkan


(23)

informasi atau data-data dari nara sumber. Selanjutnya penafsiran data dilakukan dengan meminjam cara interpretatif yakni melalui pengalaman dan pemahaman.

Dari definisi-definisi diatas, maka penelitian kualitatif deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan tentang latar pengamatan, manusia, tindakan dan pembicaraanberupa kata-kata tertulis atau lisan.

Disamping itu, penelitian ini bersifat multi disipliner karena menggunakan pisau bedah dari teori sosiologi, etnomusikologi, dan sejarah. Teori sosiologi digunakan untuk mengungkap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keberadaan kesenian wayang golek di masyarakat Jawa Barat. Teori etnomusikologi digunakan untuk mengungkap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konsepsi musikal yang terdapat dalam wayang golek. Sedangkan teori sejarah akan digunakan untuk mengungkap garis keturunan paguron Munggul Pawenang, berkaitan dengan keberadaannya yang memiliki ciri khas, terutama dalam aspek

sekar dalang.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini di antaranya:

1. Melakukan pendekatan dengan responden, dalam hal ini nara sumber utama Dalang Dede Amung Sutarya, Wawan Dede Amung. Asep Koswara Dede Amung, Dandan Dede Amung, Dalang Apep AS Hudaya (Pemenang Binojakrama Padalangan tahun 2012 di Kabupaten Bandung), Dalang Sano di Subang dan Dalang Jajang di Sumedang sebagai murid Dede Amung Sutarya. Dari sekian nara sumber diharapkan akan diperoleh data tentang keberadaan Paguron Munggul Pawenang, kiprah para dalang dalam upaya pelestarian dan


(24)

40   

aspek teknis yang menyangkut proses pelatihan, strategi pelatihan khususnya terhadap aspek sekar dalang wayang golek.

2. Menentukan sampel, dalam hal ini sampel peserta didik (catrik) yang menjadi murid di Paguron Munggul Pawenang. Peserta didik atau murid di paguron

adalah menjadi objek yang diamati, karena secara langsung atau tidak langsung proses pembelajaran dan pelatihan terjadi diantara murid dan guru dalang sebagai pelatih.

3. Mengumpulkan data, dilakukan dengan wawancara, observasi dan menyimpulkan setiap teknik pengumpulan data dengan dalang sebagai pelatih, dan peserta pelatihan (catrik), tentang proses pelatihan berikut tahapan-tahapan pelatihan sekar dalang wayang golek.

4. Menganalisa data, melaporkan setiap tahapan -tahapan yang dianalisis dari proses pelatihan secara rinci, yang terdiri dari strategi pelatihan dimulai dari perencanaa, proses pelatihan, tahapan-tahapan pelatihan, metode pelatihan, materi pelatihan, dan evaluasi pelatihan.

Langkah-langkah penelitian seperti itu, menurut Alwasilah dalam bukunya

Pokoknya Kualitatif, ditegaskan seperti berikut.

...Penelitian kualitatif berfokus pada fenomena tertentu yang tidak memiliki generazability dan comparability, tetapi memiliki internal validity dan contextual understanding. Apa yang akan dilakukan (action) peneliti untuk mencapai tujuan penelitian itu pada garis besarnya ada empat, yaitu : (1) membangun keakraban dengan responden, (2) penentuan sampel, (3) pengumpulan data, dan (4) analisis data (Alwasilah. 2009:143-144).


(25)

Denzim dan Lincoln (1994:1-3) memberikan rumusan bahwa penelitian kualitatif adalah kajian fenomena (budaya) emperik di lapangan.Penelitian kualitatif adalah wilayah kajian multimetode, yang memfokuskan pada interpretasi dan pendekatan naturalistik bagi suatu persoalan.Demikian pula yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1983: 30), bahwa:

…Penelitian yang bersifat deskriptif, memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Adakalanya penelitian demikian bertolak dari beberapa hipotesa tertentu, adakalanya tidak.Seringkali arah penelitian dibantu oleh adanya hasil penelitian sebelumnya.Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa sehingga akhirnya membantu pembentukan teori baru memperkuat teori lama.

Pertimbangan lain pemilihan pendekatan kualitatif ini di antaranya: (1) penelitian kualitatif mementingkan makna dan karakter dengan perspektif emik, logika induktif berdasarkan data, dan dapat melukiskan objek dalam setting yang alamiah; (2) desain penelitian bersifat luwes; (3) pengumpulan data dan analisis berlangsung simultan dan terus menerus; dan (4) menggunakan penelitian sebagai instrumen penelitian (Rohidi, 1992)

Ilmu sejarah akan digunakan untuk membedah dan mengungkap asal usul keluarga dalang Dede Amung Sutarya. Ilmu antropologi akan digunakan untuk mengkaji perspektif berbagai bidang yang dapat ditemukan, misalnya dalam bidang pendidikan dan pengakuan masyarakat terhadap eksistensi dan perkembangan Paguron Munggul Pawenang. Selanjutnya peran ilmu sosiologi digunakan untuk menemukan berbagai hal yang berkaitan dengan hubungan sosial

Paguron Munggul Pawenang dengan masyarakat sekitar atau masyarakat secara luas sebagai pendukung kesenian Wayang Golek Sunda.Sedangkan ilmu


(26)

42   

etnomusikologi, digunakan untuk membedah aspek-aspek musikal, mengingat fokus penelitian ini diarahkan kepada studi kasus aspek sekar dalang.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini memiliki perhatian terhadap pelestarian dalang wayang golek melalui upaya pelatihan di paguron Munggul Pawenang Kota Bandung (studi kasus pada aspek sekar dalang).Hal itu dilandasi atas kelebihan yang dimiliki paguron Munggul Pawenang dalam aspek Amardawalagu sebagai bagian dari Sekar Dalang, dengan kualitas yang sudah diakui oleh seluruh lapisan masyarakat padalangan di Jawa Barat.Selain itu hal yang sangat menarik yaitu hasil pelatihan paguron Munggul Pawenang telah banyak melahirkan dalang-dalang muda yang potensial dan berprestasi.

C. Lokasi Penelitian

Oleh karena penelitian ini merupakan Pelatihan Sekar Dalang Wayang Golek di Paguron Munggul Pawenang, maka lokasi penelitian ini selain di

Paguron Munggul Pawenang, yaitu Jl. Padasuka No. 54 Cicadas Kota Bandung, dilakukan pula di beberapa tempat yang merupakan tempat domisili para murid-muridnya, di antaranya di yang berada di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, di Kabupaten Sumedang, dan di Kabupaten Subang.Alasan memilih paguron Munggul Pawenang, yakni atas pertimbangan prestasi dan kualitas paguron Munggul Pawenang dengan dalang Dede Amung yang memiliki kualitas sekar dalang yang sudah diakui oleh seniman padalangan se Jawa Barat.


(27)

1. Peta Lokasi Paguron Munggul Pawenang Jl. Padasuka No. 54 Kota Bandung

Sumber : Google Maps

2. Keberadaan Munggul Pawenang di Kota Bandung

Munggul Pawenang merupakan salah satu paguron dari keluarga Amung Sutarya yang didirikan pada tahun 1966 oleh dalang Dede Amung Sutarya, adik sepupu dari dalang Amung Sutarya. Eksistensi Paguron Munggul Pawenang selain sebagai salah satu group kesenian wayang golek di kota Bandung, juga sebagai tempat berlatihnya (maguron) calon dalang-dalang muda. Dede Amung Sutarya adalah dalang yang cukup terkenal sebagai dalang wayang golek purwa di kota Bandung. Puncak prestasinya pada tahun 1980-an setelah mendapatkan penghargaan tertinggi dalam Binojakrama Padalangan di Jawa Barat sebagai juara pertama dan berhak mendapatkan Bokor Emas.


(28)

44   

Dede Amung Sutarya dengan paguronnya masih mempertahankan nilai-nilai luhur yang disebuttetekon dalam wayang golek purwa. Hal ini yang membedakannya dengan dalang Asep Sunandar Sunarya sebagai pelopor pembaharuan wayang golek dari keluarga Sunarya. Pembaharuan dengan mengatasnamakan inovasi dan kreativitas seringkali keluar bahkan dianggap telah mendobrak nilai-nilai yang terkandung dalam tetekon padalangan. Tetapi hal itu bukan berarti Dede Amung tidak melakukan kreativitas dan inovasi.

Menurut dalang Dede Amung, kamotekaran(bahasa lain dari kreativitas dan inovasi), memang diperlukan dalam upaya mengembangkan dan mempertahankan kesenian wayang golek purwa supaya tetap bisa diterima dimasyarakat.tetapi bukan untuk mengabaikan norma-norma atau aturan tetekon padalangan. Adapun kreatifitas yang diolah oleh dalang Dede Amung Sutarya dengan padepokannya diantaranya adalah aspek sekar dalang. Melalui kemampuan kreativitasnya, Dede Amung Sutarya berhasil mendudukan pertunjukan wayang golek purwa menjadi salah satu bentuk pertunjukan kesenian tradisional yang menarik, tanpa merusak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tetekon padalangan Sunda.

Paguron Munggul Pawenang pada dasarnya tempat untuk mencetak para dalang, yang keberadaannya bersifat temporer.Maksud temporer di sini adalah keberadaan muridnya yang terkadang tidak selalu ada secara periodik. Proses pembelajaran dan pelatihan akan terjadi apabila ada murid yang benar-benar ingin berguru kepada Dede Amung Sutarya. Sehingga visi atau misi Dede Amung dalam hal mewariskan keterampilannya melalui paguron Munggul Pawenang dapat dikatakan cukup sederhana, yaitu mencetak seorang dalang yang berpegang


(29)

teguh kepada tetekon padalangan. Oleh karena itu ia tidak memperdulikan jumlah murid yang ada, tetapi yang dipentingkan oleh Dede Amung adalah kualitas mendalang berdasarkan tetekon padalangan.

Dede Amung berpendapat bahwa dalang-dalang lain banyak yang telah lepas dari kendali tetekon padalangan Sunda. Sehingga ia memiliki sebuah obsesi bahwa sebelum murid-muridnya menemukan jati diri dan ciri khasnya masing-masing, Dede Amung mentransformasikan gaya dirinya kepada murid-muridnya, dengan tolok ukur harus sama percis dengan gaya dirinya. Hal itu dilakukan Dede Amung, bukan untuk membatasi kreativitas, tetapi untuk membingkai keteguhan terhadap tetekon padalangan pada muridnya. Apabila kekuatan dan keteguhan terhadap tetekon telah dimiliki oleh muridnya, maka Dede Amung pun memberi ruang berkreasi sebagai ciri khas yang mandiri untuk murid-muridnya.

Berdasarkan prinsip-prinsip itulah, murid-murid Dede Amung selain mulai dikenal oleh masyarakat, banyak pula yang telah meraih penghargaan dalam penyelenggaraan Bonojakrama Padalangan, seperti Dalang Jajang Amung Sutarya, dalang Dedi Amung Sutarya, dalang Sano Amung Sutarya, dalang Wawan Dede Amung Sutarya, dalang Asep Koswara Dede Amung Sutarya dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan bahwa proses pembelajaran di paguron

Munggul Pawenang memiliki prestasi yang patut diperhitungkan.

Berbicara keberadaan Paguron Munggul Pawenang di Kota Bandung tentunya tidak akan terlepas dari eksistensi dalang Dede Amung Sutarya, dari mulai berkarir sebagai seorang dalang wayang golek sampai saat ini sudah menjadi dalang kasepuhan dengan usia menginjak 72 tahun, tentu banyak


(30)

46   

peristiwa-peristiwa yang menarik yang bisa dijadikan cermin dan pelajaran untuk generasi muda yang berminat pada dunia pedalangan.

Begitu pula tentang ketenaran dalang Dede Amung Sutarya, walaupun beliau baru menjadi Juara Pertama Binojakrama Padalangan Jawa Barat pada tahun 1980, ia telah menjadi dalang sekitar tahun 1966. Kepiawaian dalang Dede Amung Sutarya terletak pada aspek amardawalagu, yaitu aspek kepiawaian dalang yang berkaitan dengan konsep musikal, meliputi murwa, nyandra, dan

kakawen; serta aspek paramasastra dan aspek amardibasa.Di samping itu, dalang Dede Amung Sutarya piawai menyajikan lagu-lagu yang biasa dibawakan oleh tokoh panakawan, sehingga menjadi salah satu ciri khasnya.

3. Profil Dede Amung Sutarya

Foto : 3.1

Foto Dede Amung Sutarya ( Dokumen Dede Amung Sutarya, 2007)


(31)

Dede Amung Sutarya menurut pengakuannya dilahirkan pada bulan Nopember 1950, walaupun pada ijazah tertulis tahun 1952. Perihal tanggal kelahirannya tidak diketahui, ibunya hanya mengatakan bahwa ia dilahirkan pada bulan Maulid di daerah Parakan Saat- Cisaranten Bandung (Wawancara, dengan Dede Amung, di Bandung 24 Juni 2012). Ia merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara, dari Ibunya bernama Permasih dan ayahnya bernama Wiharna seorang seniman kendang. Pendidikan yang ditempuh Dede Amung hanya sempat mencapai pendidikan Sekolah Teknik (ST) setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), khusus dalam bidang keterampilan teknik mesin. Kemandegan dalam menempuh pendidikannya dikarenakan oleh keinginannya untuk menjadidalang. Oleh sebab itu ia kemudian berguru kepada Dalang kasepuhan Amung Sutarya, yang masih memiliki hubungan keluarga, yaitu sebagai kakak sepupunya atau anak Uwa, sehingga orang menyebutnya sebagai ‘Anak Amung’. Dari gurunya ini Dede Amung mendapatkan berbagai pengetahuan tentang pedalangan seperti amardawa lagu, amardibasa dan

antawacana.

Ketika menginjak usia remaja, ia menikah dengan seorang gadis bernama Yati yang sering dipanggil Dedeh. Dari perkawinanya dikaruniai tiga orang anak bernama Wawan, Dewi dan Yeni. Karena sesuatu hal, perkawinannya tidak bisa dipertahankan, sehingga pada tahun 1971 Dede menceraikan Yati (Dedeh). Selama kurang lebih dua tahun Dede Amung menjalani kehidupan sebagai Duda. Pada tahun 1973 Dede kembali menemukan tambatan hatinya. Gadis yang mampu merebut hati Dede itu bernama Entin. Dari perkawinan ini Dede


(32)

48   

dikaruniai lima orang anak yakni Wiwit, Asep, Dian, Yoga dan Cinta. Perkawinan ini langgeng terbukti dengan kehidupan rumah tangganya yang awet hingga sekarang.

Tahun 1981 Entin harus rela menjadi istri tua, artinya harus rela dimadu, karena di tahun ini Dede Amung menikah lagi dengan seorang sinden dari Subang bernama Umay Mutiara. Dede Amung mengakui bahwa poligaminya ini tidak dilakukan sembunyi-sembunyi, bahkan dijelaskannya kedua istrinya sangat harmonis. Umay Mutiara sering mengunjungi rumah Entin, begitu pula sebaliknya. Mereka akur satu sama lain. Dari perkawinannya dengan Umay, dikaruniai dua orang anak bernama Ai dan Dandan. Sebagai kepala keluarga, Dede Amung dikenal sebagai ayah yang cukup keras dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Dari kesepuluh anaknya, tiga orang diantaranya telah mengikuti jejak profesi sang ayah sebagai dalang. Mereka adalah Wawan Dede Amung Sutarya (Awan) berusia 39 tahun, Asep Koswara Dede Amung Sutarya 36 tahun, dan Dandan Dede Amung Sutarya 31 tahun.

Sejalan dengan bergulirnya waktu, nama Dede Amung pun semakin berkibar di dunia pedalangan. Ia dikenal sebagai dalang yang sangat kental dengan warna tradisinya, bahkan menurut para pengamat, Dede Amung memiliki ciri mandiri, khususnya dalam hal sekar dalang dan iringan gamelan wayang. Lebih jauh ditegaskan oleh para pengamat, bahwa Dede Amung seorang dalang yang memiliki kemampuan dalam pengetahuan wayang yang sangat luas termasuk memahami nilai-nilai filosofisnya, serta ditunjang oleh kemampuan dan keterampilan dalam mengolah sekar dalangdan iringan gamelan wayang. Dengan


(33)

kalimat lain, selain memiliki keterampilan mendalang, Dede Amung memiliki pula pengetahuan yang luas tentang karawitan Wayang Golek.

Saat ini Dede Amung sudah termasuk kategori sebagai dalang kasepuhan

yang memiliki ciri tersendiri.Dede Amung dikenal sebagai dalang yang kukuh pengkuh dalam bersikap untuk mengekspresikan pendiriannya. Sebagai contoh untuk mengupas sebuah persoalan, ia selalu memberikan pendekatan filosofis pada ragam waditra gamelannya. Seperti yang diungkapkan oleh Dede Amung Sutarya dalam wawancara dengan peneliti (17 Juli 2012), ”Cempala paneteg rasa, kecrek panghudang rasa, kendang panungtun wirahma, rebab haliringna rasa”.

”Cempala” sebagai alat yang dipakai dalang, konotasinya hampir sama dengan palu yang digunakan hakim untuk menjatuhkan keputusan dalam suatu perkara pengadilan. Artinya dalang harus memiliki kekuasaan penuh dalam sebuah pertunjukan, dalang yang bertindak sebagai sutradara, pengatur lakon, pemegang skenario, pengatur adegan, dan sebagainya. ”Kecrek” memberi ugeran yang pasti pada suasana adegan berikutnya, tergantung kebutuhan dramatik yang ditentukan dalang. Artinya memberi perintah dan diikuti oleh seluruh wiyaga (pemain gamelan) dan pesinden. ”Kendang” panungtun wirahma, jalan kehidupan sudah ada yang mengatur walaupun temponya kadang berubah-ubah tapi tetap iramanya terkendali dan kita yang mengatur dinamikanya. ”Rebab” menurutnya merujuk pada pengertian reb-rep sidakep ngarah apal bab-bab anu kawasa, da nu ngadoa mah rasa. ( Bersujud berserah diri, supaya mengetahui dan menjalankan


(34)

50   

hal-hal yang diwajibkan oleh Allah SWT, karena yang berdoa adalah rasa, hati dan nurani). Ungkapan tersebut ditafsirkan sebagai tetekon padalangan.

Lebih jauh Dede Amung menegaskan bahwa baginya tetekon dan pakem

itu perlu direnungkan, karena tetekon itu lakuning hirup, sementara pakem adalah semacam rem (kalau dalam kendaraan), dan agama (dalam kehidupan). Ia berpendapat bahwa manusia yang sudah benar pasti beragama, sementara orang yang beragama belum tentu berbuat benar. Oleh karena itu ia memandang bahwa orang Islam, harus bener dulu baru sholat. Jangan sholat dulu sebelum

bener.Pesan moral seperti inilah diantaranya yang sering disampaikan Dede Amung pada masyarakat melalui media pertunjukan wayangnya.

Sebagai seorang dalang yang kental pada idiologi konservatif, Dede Amung sangat memegang teguh ritual yang disebut ”Tawajuh”. Menurutnya bahwa itu semacam ”guru ngistrenan murid”. Biasanya pada acara ritual ini, seorang calon dalang akan ditanya kesiapannya untuk menjadi dalang, apakah mereka sudah siap meninggalkan 7 M (maling, madon, mabok, madat, mangani, mateni dan maen). Hal ini penting untuk diketahui dan dijalan sebagaimana mestinya, karena seorang dalang harus mampu menjadikan dirinya sebagai guru bagi para penontonya. Seorang dalang harus memberikan suri tauladan dan memiliki kewibawaan. Dalang juga dituntut untuk tetap memegang aturan atau etika pergelaran dengan bercermin pada konsep ”panca curiga” atau panca S (Sindir, silib, siloka, simbul dan sasmita).

Sindir merupakan kritik, kecaman dan pujian yang diungkapkan dalam sebuah cerita yang disusun dan diungkapkan sedemikian rupa, sehingga halus


(35)

serta tidak secara langsung menyinggu perasaan yang dikritik atau dikecamnya.

Silib bagaikan suatu penerangan atau nasihat yang diselipkan dalam suatu tema adegan atau babak. Siloka wujud dari kalimat-kalimat yang harus digali kembali bila ingin mengetahui arti dan nilai-nilai sastra padalangan. Misalnya; Kebo mulih pakandangan, pucang labuh katuhu, yang memiliki makna bahwa kita hidup di dunia ini harus mampu menjawab, dari mana asal kita, apa fungsi kita hidup di dunia, dan kemanakah kita akan kembali. Persoalan ini harus diaplikasikan dalam kehidupan, agar dapat menemukan kebahagiaan dan kesempurnaan.

Simbul atau lambang adalah benda, gambar, lukisan atau kalimat yang dipergunakan sebagai ciri khas bagi yang mempergunakannya. Contoh karakter Rahwana sebagai simbul kemurkaan, keserakahan serta kedholiman. Rama simbul keadilan dan Darmakusumah (Samiaji) lambang kesucian dan segala simbul kebaikan. Sedangkan sasmita, dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, adalah misil,

silaka atau perlambang. Sumber lain mengatakan bahwa sasmita adalah isyarat-isyarat, tanda-tanda, atau tutur kata dalang untuk memerintahkan wiyaga dan atau juru kawih, untuk melaksanakan sesuatu. Sebagai contoh, menginginkan gending Gawil, dalang akan menuturkan ”Kadia kuda ditongankeun..”, kemudian wiyaga segera melaksanakan gending yang dimintanya.

Dede Amung Sutarya adalah salah seorang dalang yang dipandang memiliki kelebihan dalam bidang sekar dalang, di antaranya pada aspek:

a) Kawiradya, kemampuan dalang dalam menceritakan setiap tokoh, terutama tokoh Raja, melalui bahasa kawi. Kemampuan Dede dalam mengungkapkan


(36)

52   

jejer atau adegan berikutnya dengan menggunakan bahasa kawi sangat mumpuni, karena disitulah keunggulannya dibanding dalang-dalang dari paguron lain.

b) Paramakawi, yaitu kemampuan dalang dalam menguasai tata bahasa kawi. Dalam hal penguasaan tata bahasa dalam bahasa kawi, masih sangat dipertahankan oleh dalang Dede. Hal ini bertujuan untuk memberi gambaran bahwa kemampuan dalang harus menguasai unsur-unsur bahasa kawi dengan benar.

c) Paramasastra,yaitu kemampuan dalang dalam mengolah sastra yang

berkaitan dengan bahasa-bahasa yang digunakan dalam berbagai aspek. Dalam hal penguasaan sastra ini, tidak terbatas pada bahasa kawi, akan tetapi bahasa pokok dalam pengentar pertunjukan wayang golek yakni bahasa Sunda, dalang Dede lebih sering mengangkatnya dengan sastra Sunda melalui dialog dan sastra lagu.

d) Amardibasa, yaitu kemampuan dalang dalam menggunakan tata bahasa atas kepentingannya dalam berbagai tokoh. Dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah undak usuk basa. Konsep undak usuk inilah yang menjadi modal utama dalang Dede dalam menampilkan antawacana antara para tokoh wayang dalam jejer atau babak yang sedang berlangsung.

Visualisasi dari keempat aspek diatas, diungkapkan melalui bentuk

murwa, nyandra, kakawen, dan antawacana karena penguasaan terhadap aspek

amardawalagu, Dede memiliki kelebihan dibandingkan dalang-dalang lainnya yang saat ini masih berjaya. Indikasi-indikasinya, Dede masih memegang teguh


(37)

ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya, yang dikemas melalui lantunan-lantunan melodi lagu yang dibuatnya sendiri, di antaranya:

1) Pada umumnya apabila gending jejer ngawitan menggunakan gending

Kawitan, maka murwa pun menggunakan lagu kawitan. Sedangkan Dede Amung, ia selain menggunakan murwa lagu kawitan, sering pula menggunakan murwa lagu Sungsang, lagu Bendra, lagu Kastawa, bahkan lagu-lagu jenis lagu Lenyepan, seperti lagu Tablo. Hal itu tidak pernah dilakukan oleh dalang-dalang lainnya, baik dalang-dalang yang saat ini masih berjaya, maupun oleh dalang-dalang sebelumnya. Walaupun menggunakan lagu yang sama, Dede memiliki sentuhan-sentuhan kreatif dengan memberikan ornamen tertentu, dan senggol yang berbeda dengan dalang lainnya. Lihat lampiran notasi No. 1 dan No. 2.

2) Ketika menceritakan seorang tokoh wayang melalui nyandra, Dede tidak terlepas dari aspek kawiradya, paramakawi, dan paramasastra. Misalnya, ketika ia akan mengeluarkan tokoh Gatotkaca, maka ia akan mengawalinya

nyandra Gatotkaca, yang digarap dengan bentuk nyandra galantang, dan

nyandra haleuang. Lihat lampiran notasi No. 3.

3) Ketika Kakawen, penggunaan laras dan alur melodi Dede menggubahnya dengan gayanya tersendiri. Lihat lampiran No.4 dan No. 5

4) Dede dikenal pula dengan produktifitasnya dalam lagu-lagu yang sering dibawakan oleh tokoh panakawan, yang menjadi kekhasannya, baik yang merupakan ciptaannya maupun ciptaan orang lain.


(38)

54   

5) Lagu-lagu pengiring tokoh-tokoh tertentu, Dede sering membuat sensasi, misalnya tokoh Gatotkaca yang pada umumnya menggunakan lagu Macan Ucul atau lagu Barlen, sedangkan dalang Dede Amung menggunakan lagu Garuda Pancasila dalam versi Sunda.

6) Hal yang paling fenomenal, Dede Amung Sutarya merupakan salah seorang dalang yang pertama mempopulerkan Gamelan Selap (gamelan multi laras, yang kini diikuti oleh para dalang seperti Asep Sunandar, Ade Kosasih Sunarya, Tjetjep Supriadi, dan dalang-dalang muda yang saat ini sudah mulai dikenal di masyarakat).

Kelebihan-kelebihan itulah yang tidak banyak dimiliki oleh dalang-dalang lain, sehingga saat ini gaya Dede Amung banyak diikuti oleh dalang-dalang lainnya terutama dalang kalangan muda. Walaupun bukan muridnya secara langsung, dalam istilah lain murid jiplak atau hanya sekedar meniru dari pertunjukan langsung maupun lewat audio visual dan media rekam.

Sebagai Ketua Yayasan Pedalangan yang memiliki wewenang sebagai penyelenggara Binojakrama Pedalangan, Dede Amung masih sangat konsisten memberi motivasi dan terjun secara langsung dalam mengarahkan sampai pada tataran teknis penyelenggaraan.Kiprahnya sebagai ketua Yayasan Pedalangan memiliki arti yang sangat strategis dalam mengelola dan mensosialisasikan program-program yang terkait dengan pelestarian dan perkembangan pedalangan di Jawa Barat.

Selain sebagai Ketua Yayasan Pedalangan Jawa Barat, kiprahnya dalam usaha pelestarian pedalangan juga diwujudkan dengan aktifitasnya sebagai


(39)

Anggota Dewan Pakar pada kepengurusan SENAWANGI (Sekretariat Nasional Pedalangan Indonesia) periode tahun 2011-2016, bersamaan dengan Dalang Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono. Artinya Dalang Dede Amung akan berbicara wacana dan langkah-langkah nyata pada tingkat nasional.

Foto : 3.2

Dalang Dede Amung Sutarya sebagai Ketua Yayasan Pedalangan Jawa Barat Memberi sambutan Pembukaan Binojakrama Padalangan

Tahun 2012 di Pendopo Kabupaten Bandung (Dokumentasi: Ojang Cahyadi, April 2012)

4. Organisasi Paguron Munggul Pawenang

Seperti sudah disampaikan dari awal bahwaPaguron merupakan kependekan dari kata paguruan yang artinya adalah perguruan.Kata paguron

sering digunakan untuk menunjuk suatu lembaga non formal yang mengadakan kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan keterampilan suatu bidang, terutama terkait dengan bidang kesenian.Disebut paguron dikarenakan pengelola kegiatan yang dimaksud adalah individu seseorang yang bertindak sebagai pimpinan sekaligus gurunya (instrukturnya).


(40)

56   

Oleh karena itu, sebelum kata sanggar atau padepokan, tempat pelatihan kesenian tradisional menggunakan kata paguron, termasuk Paguron Munggul Pawenang yang menjadi objek penelitian ini. Dengan demikian, kata paguron

setara dengan sanggar atau padepokan, yang akhir-akhir ini banyak digunakan sebagai nama tempat pelatihan kesenian tradisional. Mengingat paguron sudah merupakan sebuah lembaga pendidikan nonformal, maka sebaiknya dikelola dengan menggunakan pengelolaan yang lebih teratur, terencana dan memiliki visi-misi organisasi sebagai tujuan organisasi yang akan menjadi acuan bersama dalam menempuh tujuan organisasi.

Dalang Dede Amung punya prinsip “embung ngagugulung bingung”

(artinya tidak mau direpotkan oleh hal-hal yang dipandang bisa dikerjakan orang lain). Dede Amung dengan Munggul Pawenangnya tidak pernah menerapkan pola manajemen organisasi modern. Karena para pendukungnya hampir semua dari pihak keluarga, maka manajemen yang diterapkan adalah konsep kekeluargaan.Terbukti dalam melaksanakan segala kegiatan, dengan didukung oleh pihak keluarga besar, hasilnya cukup harmonis tanpa ada masalah yang berarti.


(41)

Foto : 3.3

Paguron Munggul Pawenang Jl. Padasuka No.54 – Kota Bandung

(Dokumen : Ojang Cahyadi 2012)

5. Aset Paguron Munggul Pawenang

Kesenian wayang golek tergolong tontonan ekslusif. Karena dalam penyajiannya membutuhkan tempat atau halaman yang luas, panggung yang besar, sound sistemnya harus bagus, gamelannya harus lengkap dengan multi laras (gamelan selap), sehingga dari segi permodalan tentu dananya cukup besar. Faktor lain dalam penyajian wayang golek, harus ditunjang oleh kerja kolektif didalam

team yang kompak dan solid.

Seorang dalang selain harus memenuhi kompetensi teknis sebagai seorang dalang yang akan ditonton oleh masyarakat, juga harus ditunjang oleh modal yang cukup kuat, karena dalang menurut sebuah pendapat harus ‘ranggaek memeh tandukan’ artinya sebelum menjadi terkenal dan mendatangkan banyak panggilan, seorang dalang harus memiliki modal yang cukup besar karena harus punya


(42)

58   

gamelan sendiri, wayang sendiri, bahkan alat transportasi dan sound system juga sebaiknya milik sendiri.

Setelah mengamati dan melakukan pembicaraan mendalam terkait denga kekayaan atau asset Paguron Munggul Pawenang dalam bentuk fisik alat pendukung utama seperti gamelan, wayang golek dan pendukung dalam pertunjukan lainnya, nampaknya asset Munggul Pawenang terbilang cukup mewah sebagai sebuah Paguron Pedalangan. Asset perlengkapan yang dimiliki Munggul Pawenang adalah : Gamelan perunggu selap dengan bentuk dan ukuran khusus ada 5 set, dan wayang golek 4 kotak komplit

Kalau dihitung nominalnya tentu total kekayaan Paguron Munggul Pawenang sangat besar sekali, dan ini merupakan modal yang sangat luar biasa untuk meningkatkan dan mempertahankan eksistensi Paguron Munggul Pawenang sebagai grup wayang golek yang melayani kebutuhan hiburan masyarakat dan lembaga yang khusus mencetak calon-calon dalang yang berprestasi, kreatif dan inovatif dengan tetap memegang pada aturan tetekon dan

pakem padalangan.

Putra-putra dari Munggul Pawenang yang sudah menjadi dalang, mereka hanya punya tugas secara teknis mendalang.Karena kebutuhan lainnya sudah difasilitasi oleh orang tuanya. Wawan Dede Amung, Asep Koswara Dede Amung dan Dandan Dede Amung sudah memiliki gamelan masing-masing yang terhitung mewah dan mahal harganya.


(43)

Foto : 3.4

Salah satu Gamelan selap komplit milik Munggul Pawenang (Dokumentasi Ojang Cahyadi, 2012)

Foto : 3.5

Beberapa kotak wayang golek milik Munggul Pawenang (Dokumentasi Ojang Cahyadi, 2012)


(44)

60   

Foto: 3.6

Rumah kediaman dalang Dede Amung Sekaligus sebagai Paguron Munggul Pawenang

Jl. Padasuka No.54 Kota Bandung (Dokumen Ojang Cahyadi, 2012)

6. Eksistensi Paguron Munggul Pawenang

Eksistensi paguron Munggul Pawenang di tengah masyarakat sampai saat ini masih tetap mendapat pengakuan.Pengakuan masyarakat yang dimaksud terhadap kekhasan dan keunggulan Munggul Pawenang dalam hal penyajian sekar dalangnya.Sedangkan kegiatan-kegiatan yang masih aktif dilakukan meliputi beberapa kegiatan, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Pertunjukan di Masyarakat

Berbicara soal selera masyarakat terhadap pedalangan, tentu menjadi pembicaraan yang sangat menarik, karena akan terkait dengan periode dan


(45)

geografis serta struktur sosial dari masyarakat itu sendiri. Sehingga persoalannya akan melihat sejauh mana kondisi minat masyarakat sekarang terhadap hiburan wayang gelek pada sebuah perayaan atau pesta hajatan.

Kita sederhanakan yang dimaksud masyarakat adalah peminat pertunjukan wayang golek sebagai pemanggil atau pemilik hajatan bukan penonton.Peminat wayang golek berkaitan dengan ekonomi masyarakat. Sebagai contoh karena masyarakat kita masih tergolong masyarakat agraris, maka minat memanggil wayang sebagai hiburan hajatan pun ditentukan oleh berhasil atau tidaknya panen padi mereka atau hasil bumi yang lain. Itu berlaku pada masyarakat sekitar pantai utara.Selain itu kemampuan untuk memanggil wayang golek sangat sulit, karena wayang golek menjadi kesenian yang ekslusif, maksudnya memerlukan panggung besar dan halaman rumah luas, serta didukung oleh personal pendukung yang sangat banyak.Tapi tidak demikian ketika hasil panen sukses maka hal-hal tadi tidak menjadi pertimbangan utama, yang penting mereka nanggap wayang.Itu terjadi pada masyarakat petani dan pedesaan.Sedangkan di masyarakat perkotaan hal seperti itu sudah sangat langka.

Pada tahun 1966, Dalang Dede Amung mulai belajar naik panggung untuk mencoba keterampilannya mendalang sebagai dalang beurang (dalang disiang hari) di daerah kelahirannya Parakansaat Kota Bandung, sejak saat itu mulai dikenal oleh masyarakat di daerah Cikareumbi, kemudian dipanggil para kerabat dan kenalan-kenalan, karena Dede sudah memperlihatkan kualitas dan kompetensinya sebagai dalang yang sangat berbakat.

Pada tahun 1984-1985 setelah menjuarai Binojakrama Padalangan, popularitas Dede semakin melejit ditandai dengan jumlah panggilan dari


(46)

62   

masyarakat melebihi jumlah hari dalam sebulan, artinya di puncak ketenarannya sangat sulit untuk istirahat. Bahkan menurut Dede walaupun di bulan suci Ramadhan pada saat itu panggilan ngewayang masih tetap ada, sangat beda dengan sekarang.

Dalam wawancara dengan Dalang Apep AS Hudaya, setiap dalang memiliki segmen pasar yang berbeda, bahkan lebih dari itu ada kalanya masyarakat memiliki fanatisme khusus kepada salah seorang tokoh dalang. Sebagai contoh, segmen pasar dalang Dede Amung lebih banyak di daerah Kuningan, Subang, Bandung, Ciamis, Tasik dan Sumedang. Hal ini terjadi karena fanatisme atau merasa dekat dengan sosok sang dalang sebagai figure yang diidolakan.

Foto :3.7

Pertunjukan Dalang Dede Amung ditengah masyarakat (Dokumentasi: Dalang Dede Amung Sutarya, 2000)


(47)

Menyikapi perkembangan padalangan khususnya di Jawa Barat, Dede Amung kerap kali berdiskusi dengan dalang-dalang lain seperti dengan Asep Sunandar Sunarya sebagai Ketua PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) Komisariat Jawa Barat. Sementara Dede Amung sendiri sebagai Ketua Yayasan Pedalangan Jawa Barat sebagai penyelenggara Binojakrama Padalangan di Jawa Barat.

Pelaksanaan program kegiatan pedalangan khususnya di Jawa Barat, antara pengurus Yayasan Pedalangan Jawa Barat dengan pengurus PEPADI Jawa Barat yang dipimpin Asep Sunandar Sunarya, selalu bekerja bersinergi. Karena kedua organisasi pedalangan ini memiliki tugas yang sama yaitu memberikan pembinaan dalam peningkatan prestasi serta kompetensi kepada para dalang di Jawa Barat secara berkelanjutan dan terorganisir.

Baik dalang Dede maupun dalang Asep Sunandar telah berkomitmen untuk tetap memberikan segala kemampuan yang bersifat materil maupun non materil untuk tujuan kemajuan pedalangan di Jawa Barat.


(48)

64   

Foto : 3.8

Dalang Dede Amung sedang berdiskusi dengan Dalang Asep Sunandar Sunarya membahas

perkembangan pedalangan di Jawa Barat disaksikan oleh Cahya Hedi, M.Hum sebagai pendamping dalam memberikan materi diskusi

(Dokumentasi: Ojang Cahyadi, April 2012)

b. Binojakrama/ Festival Pedalangan

Secara historis Binojakrama Pedalangan awalnya lahir dari kegiatan pertemuan atau silaturahmi para dalang di wilayah Jawa Barat dan Banten.Pertemuan tersebut bertujuan untuk bertukar pikiran dan mengetahui perkembangan di wilayah masing-masing. Semakin lama muncul kejenuhan sehingga lahirlah ide, dari pada hanya berdiskusi ada baiknya kita siapkan tontonan yang bisa diapresiasi oleh seluruh peserta yang hadir. Dari gagasan tersebut berkembang manjadi sebuah lomba sebagai wujud kegiatan bergengsi dalam dunia padalangan yang disebut Binojakrama Padalang Jawa Barat dengan simbol Bokor Emas (Suhendi Afrianto, wawancara Nopember 2012).


(49)

Binojakrama pedalangan akhirnya menjadi sebuah ajang atau kegiatan lomba untuk mencari dalang terbaik se Jawa Barat.Dede Amung pada tahun 1980 telah mendapatkan penghargaan tertinggi dalam Binojakrama Padalangan di Jawa Barat sebagai juara pertama dan berhak mendapatkan Bokor Emas.Binojakrama dianggap sebuah parameter dan tolok ukur sebuah keberhasilan seorang dalang. Dengan demikian kegiatan ini menjadi kegiatan sangat sakral dan menjadi momentum yang sangat bersejarah bagi yang mendapatkan posisi juara pertama, karena Binojakrama merupakan jembatan menuju popularitas dimasyarakat dan legalitas sebagai dalang terbaik se Jawa Barat.

Fenomena tersebut saat ini sudah bergeser, karena seiring dengan perkembangan global yang sangat deras dan bersentuhan dengan kesenian tradisional, telah merubah nilai-nilai dan filosofi kegiatan Binojakrama.Menurut beberapa pendapat para dalang muda, Binojakrama saat ini hanya sebagai legalitas, bahwa penyajian pertunjukan yang baik yaitu yang mengacu pada dua belas tetekon pedalangan. Akan tetapi tidak menjadi jaminan setelah menjadi pemenang binojakrama secara otomatis akan laku dipasaran dengan banyak panggilan pertunjukan.

Berikutnya kegiatan Festival Internasional yang pernah diikuti oleh Dalang Dede adalah Festival Wayang International di Australia pada tahun 1994. Dalang Dede mewakili Indonesia mengemban misi Negara untuk berlaga dan bersaing dengan para peserta dari Jepang, Columbia, Viatnam, Korea, India, dan Australia sebagai tuan rumah. Hasil Festival Internasional menempatkan dalang Dede sebagai penampilan terbaik. Tentu ini merupakan pengalaman yang sangat


(50)

66   

berharga bagi seorang dalang yang memiliki reputasi nasional dan Internasional, karena dalam pandangan masyarakat bahkan di tengah-tengah seniman sunda, Dede Amung sudah dianggap seorang tokoh inspiratif yang memberi kontribusi terhadap pembangunan kesenian dan kebudayaan khususnya di Jawa Barat.

Festival Dalang Kondang yang diselenggarakan oleh Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 2010 yang mengusung tema “Geunjleung Wayang” merupakan pertemuan ketiga tokoh dalang Jawa Barat sangat fenomenal, karena merupakan peristiwa budaya yang langka dan sangat bersejarah bagi perkembangan pedalangan khususnya di Jawa Barat. Bagi dalang Dede Amung, kegiatan Geunjleung Wayang merupakan apresiasi dari masyarakat akademis terhadap eksistensi ketiga dalang yang sudah menorehkan prestasi bagi perkembangan padalangan di Jawa Barat. Bukti prestasi yang dimiliki ketiga dalang ini, telah memiliki gaya yang berbeda yang khas didukung oleh masyarakat pendukung yang fanatic, serta menjadi idola dan inspirasi bagi para muridnya masing-masing.


(51)

Foto : 3.9

Spanduk dan Banner Geunjleung Wayang Gambar Paling kiri Dalang Tjetjep Supriadi, Gambar tengah Dalang Dede Amung Sutarya, dan

Gambar kanan Dalang Asep Sunandar Sunarya (Dokumentasi : Website UNPAD 2010)

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa interview guideyang disusun secara sistematis, untuk mengungkapkan selengkap mungkin informasi pelatihan dalang di Paguron Munggul Pawenang. Untuk memudahkan dalam pengumpulan data maka peneliti menggunakan alat-alat bantu berupa: camera digital untuk merekam audio dan video serta pengambilan gamabar (foto), alat bantu lain dalam penelitian ini adalah; Handphone, dan alat tulis, yang digunakan peneliti dalam melakukan observasi dan wawancara.


(52)

68   

E. Teknik Pengumpulan Data

Proses mengumpulkan data di lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik pengamatan, observasi langsung dengan narasumber, dan studi literatur. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati langsung terhadap proses latihan dalang wayang golek di paguron Munggul Pawenang, dan melakukan wawancara dengan dalang-dalang mantan catrik di Munggul Pawenang. Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan keterangan baik dari Dede Amung Sutarya sendiri, maupun dari keluarga dan atau murid-muridnya, berkaitan dengan proses pembelajaran atau pelatihan yang dilakukan di paguron Munggul Pawenang. Sedangkan studi literatur dilakukan terhadapbeberapa sumber buku, hasil penelitian, dan makalah-makalah yang sudah diseminarkan. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengumpulan datamenurut Nasution dalam Tuti Tarwiyah (Tarwiyah,1999:52).dalah sebagai berikut :

1. Proses Getting In (Memasuki lokasi penelitian)

Proses memasuki lokasi penelitian ini diawali dengan datang ke lokasi penelitian dan memperkenalkan diri kepada pihak-pihak yang berada di lokasi penelitian, yakni dalang Dede Amung Sutarya dan keluarga besarnya.Penulis mengadakan pendekatan-pendekatan agar bisa diterima dengan baik dilingkungan tersebut. Sebagai pendekatan awal peneliti memberikan surat resmi bahwa peneliti akan mengadakan penelitian. Selanjutnya peneliti melakukan pendekatan komunikasi kepada sumber data dengan maksud dapatmemperoleh data yang lebih akurat.


(53)

2. Proses Getting Along (Memasuki kegiatan penelitian)

Dalam tahap ini penulis sudah masuk dalam kegiatan penelitian, penulis berusaha untuk melakukan hubungan lebih erat dengan subyek penelitian, berusaha mencari informasi yang lengkap, baik yang berkaitan langsung dengan kesejarahan, pola pelatihan dan teknis sekar dalang, mengorek keberadaan dan kesuksesan murid-murid paguron Munggul Pawenangdi masyarakat, mengungkap dan menjelaskan strategi pelatihan yang dilakukan di Munggul Pawenang, serta selalu mencari data-data penunjang untuk melengkapidata-data yang diperlukan.

3. Proses Logging Data (Pencatatan dan penyimpanan informasi)

Proses logging data adalah proses pencatatan (logging) dan penyimpanan informasi untuk menyediakan segala macam informasi yang dibutuhkan sebagai data primer serta mampu menggambarkan seluruh mekanisme bagaimana data diperoleh dan didisplay. Pada proses ini, penulis menggunakan empat teknik pengumpulan data, di antaranya:

a.Wawancara

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara karena data yang didapat diperoleh dari narasumber atau informan yang diberikan pertanyaan dan menberikan tanggapan atas pertanyaan tersebut. Tanggapan-tanggapan yang dilontarkan oleh narasumber atau informan tersebut menjadi data yang digunakan ssebagai pacuan dari penelitian ini. Sedangkan wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai


(54)

70   

(interviewer) yang memberikan jawaban atas pernyataan itu (Lexi, J. Maleong, 1990: 135).

Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara, yakni melalui pertanyaan-pertanyaan terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara yang sebelumnya sudahdibuat tornya(daftar pertanyaan) yang akan diajukan. Pertanyaan yang diberikan dapat berkembang lebih lanjut bilamana ada hal-hal yang dirasakan memerlukan informasi lebih lanjut dan mendalam. Alat yang digunakan dalam wawancara ini berupa alat-alat pencatatan lapangan dan digitalcamera untuk merekam audio dan video.Data yang dikumpulkan melalui wawancara ini mencakup:

1) Latar belakang dan sejarah berdirinya Paguron Munggul Pawenang.

2) Minat masyarakat, pada pelatihan dalang khususnya peminat dari luar keluarga.

3) Segenap kegiatan yang berhubungan dengan pembelajaran dan pelatihansekar dalang di Paguron Munggul Pawenang.

4) Strategi pelatihan sekar dalangyang diterapkan dalam proses pelatihan dalang di Paguron Munggul Pawenang.

5) Kendala/hambatan yang dihadapi para catrik dalam proses pelatihan. 6) Evaluasi sebagai tolok ukur keberhasilan para catrik untuk menjadi dalang.


(55)

Foto 3.10

Peneliti sedang melakukan wawancara dengan dalang Dede Amung Sutarya di Paguron Munggul Pawenang Kota Bandung

( DokumenOjang Cahyadi, 26 April 2012 )

b. Observasi

Penelitian ini juga memakai teknik observasi sebagai cara untuk mendapatkan data-data. Observasi dilakukan karena objek pada penelitian ini adalah manusia dan yang diamati adalah proses pelatihan dalang khususnya pada aspek sekar dalang. Peran peneliti didalam penelitian ini hanya sebagai observer

yang mengamati proses pelatihan dan perilaku murid (catrik) dalam menyerap teknik sekar dalang.

Teknik observasi yang dilakukan oleh peneliti yaitu participatory observation, artinya pengamatan yang peneliti lakukan secara berperan serta dengan berbagai pihak sebagai obyek penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat tanpa ada rekayasa, dengan


(56)

72   

mengamati kondisi fisik, fasilitas, kendala/kesulitan yang terdapat dalam kegiatan seni pertunjukan wayang golek Munggul Pawenang.

Dalam kerja lapangan, peneliti mendapatkan data dari sumber primer yakni guru dalang dan para catrik dengan cara melakukan observasi atau pengamatan secara langsung. Menurut Marianto (2006:55), segala sesuatu baru ada ketika diobservasi. Artinya, partisipasi aktif dari observer dalam proses observasinya mempengaruhi hasil atas apa yang diobservasi. Karena itu dalam pelaksanaannya peneliti bertindak sebagai participant observation. Hal ini dimaksudkan agar peneliti mengetahui secara langsung berbagai hal yang berkaitan dengan pelatihan sekar dalang di Paguron Munggul Pawenang, termasuk fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya.

Observasi partisipan dilakukan guna mendapatkan data-data yang diperlukan selengkap mungkin dari berbagai nara sumber, sehingga akan lebih mempermudah peneliti dalam mendeskripsikan, menganalisis, dan memaknai gejala-gejala atau fenomena yang terjadi di lapangan.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan pengamatan dalam studi ini di antaranya mempersiapkan instrumen penelitian dan peralatan yang diperlukan selama observasi, seperti alat perekam audio visual untuk merekam kegiatan pelatihan sekar dalang di paguron Munggul Pawenang Kota Bandung, baik secara personal kepada peneliti maupun secara umum dalam pertunjukan-pertunjukan. Kamera foto digunakan untuk mendokumentasikan semua kegiatan observasi tersebut.


(57)

Pengamatan dilakukan terhadap seniman dalang wayang golek Sunda

dalam kegiatan-kegiatan pelatihan rutin maupun pertunjukan resmi, yang pemilihan lokasinya disesuaikan dengan tempat objek yang akan diteliti yaitu di alamat Paguron Munggul Pawenang di Jalan Padasuka no. 54 Cicadas – Kota Bandung.

Menurut Moleong (2006:175), pengamatan secara langsung dapat mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, dan perhatian; memungkinkan peneliti untuk melihat fenomena dari segi pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan anutan para subjek pada keadaan waktu itu; dan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek yang diteliti.

Dengan kata lain, teknik ini memungkinkan peneliti menarik inferensi (kesimpulan) ihwal makna dan sudut pandang responden, kejadian, peristiwa, atau proses yang diamati (Alwasilah, 2006:154). Oleh sebab itu, data-data yang terkait dengan sekar dalang sebagai aspek keunggulan paguron Munggul Pawenang diperlukan melalui hasil pengalaman, pemahaman, dan penghayatan dari berbagai nara sumber, dapat diperoleh dengan cara melakukan pengamatan secara langsung.

Semua yang didengar dan dilihat (termasuk menggunakan alat perekam atau fotografi) oleh peneliti sebagai aktivitas observasi ketika para responden atau informan melakukan kegiatan ini, diceritakan kembali atau dicatat sehingga merupakan data atau informasi penelitian yang dapat mendukung, melengkapi


(58)

74   

atau menambah informasi yang berasal dari hasil wawancara (Hamidi, 2005.74). Hal tersebut dilakukan tatkala peneliti melakukan observasi terhadap pertunjukan-pertunjukan wayang golek yang disajikan oleh keluarga besar Munggul Pawenang.

Data-data dari sumber sekunder diperoleh dalam bentuk tulisan atau bacaan yang berupa buku sumber, tesis, laporan penelitian, artikel budaya, tulisan hasil seminar, dokumen pribadi, dan karya ilmiah lainnya yang bahasannya terkait dengan topik penelitian ini. Bacaan atau tulisan yang terkumpul dipilih yang memiliki kesesuaian atau cukup relevan dengan studi ini. Upaya ini dilakukan untuk menghindari terjadinya plagiat atau duplikasi ihwal studi yang dilakukan oleh peneliti. Menurut Black dan Champion (2001:359), penggunaan data sekunder dapat memberikan tiga manfaat. Pertama, dapat digunakan untuk menunjukan temuan ilmiah yang asli. Kedua, dapat berperan sebagai dokumen pembantu yakni melengkapi data asli yang dihimpun peneliti. Ketiga, dapat digunakan untuk menguji temuan sebelumnya. 

c. Dokumentasi

Teknik dokumentasi ini digunakan untuk menghimpun berbagai informasi dari bahan-bahan dokumentasi: buku-buku, website/internet, foto-foto, rekaman pertunjukan, video serta dokumentasi lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional atau penyelenggaraan kegiatan pelatihan dalang di Paguron Munggul Pawenang.


(59)

d. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari sebanyak-banyaknya keterangan yang berkaitan dengan objek penelitian dalam buku-buku. Teknik ini telah dilakukan oleh peneliti pada proses awal yaitu dengan mencari data mengenai segenap kegiatan yang berhubungan dengan pelatihan dalang di Paguron Munggul Pawenang ataupun pelatihan dalang secara umum di Jawa Barat.Setelah itu, peneliti membandingkan data dari buku dengan data fakta yang ada di lapangan. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah strategi pelatihan dalang di Paguron Munggul Pawenang sesuai dengan acuan teori kegiatan pembelajaran yang penulis angkat.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data yang kita ketahui, data yang diperoleh melalui hasil penelitian, tujuannya untuk mengetahui apakah data yang ada absah atau tidak. Proses analisis data dilakukan sejak mengamati atau melihat teori pelatihan yang ada, sampai pada pencarian data di lapangan. Setelah itu, data dibandingkan dengan data baru tentang seluruh kegiatan pelatihan dalang di Paguron Munggul Pawenang.Dalam penelitian kualitatif ini, analisis data dilakukan sejak awal dan sepanjang proses penelitian berlangsung. Dalam penelitian ini, menggunakan analisis data kualitatif menurut Milles dan Huberman (1992:15-20)dalam Moleong, dengan prosedur: (1) Reduksi data, (2) Penyajian data, (3) Analisis data.


(60)

76   

Adapun teknik analisis data tersebut diterapkan dalam penelitian ini, meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Peneliti mereduksi, merangkum, memilih hal-hal pokok, kemudian memfokuskan pada hal-hal yang penting, setelah itu mencari tema atau pola dari sejumlah laporan lapangan. Reduksi data dilakukan secara berkesinambungan selama proses penelitian berlangsung (lihat lampiran wawancara)

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dibaca kembali atau didengarkan kembali untuk disalin dalam catatan lapangan, setelah itu data hasil wawancara dideskripsikan, dibuat abstraksinya dalam dua bentuk yaitu: (1) Acuan teori kegiatan pelatihan yang ada di buku-buku dan (2) pelatihan dalang di

Paguron Munggul Pawenang. 2. Penyajian Data

Penyajian data atau display data dimaksudkan agar dapat memudahkan bagi peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Peneliti menyajikan data-data dalam bentuk uraian lengkap dan terperinci.

Setelah melakukan reduksi data, hasilnya disajikan dalam bentuk tertulis secara sistematis perbagian tentang pelatihan dalang yang dilakukan di Paguron

Munggul Pawenang, dari sisi materi pelatihan, proses, metode, sasaran dan evaluasi, sehingga mampu mencetak dalang-dalang berkualitas dan profesional


(1)

185

Pola pelatihannya lebih menekankan pada aspek keterampilan sesuai dengan sistem pendidikan informal dan nonformal yang dilaksanakan di lingkungan masyarakat.

Ada kelemahan yang sangat prinsip menyangkut strategi pelatihan yang berkaitan dengan produk yang dihasilkan pada proses pelatihan. Dalang Dede Amung selalu ingin mencetak murid-muridnya seolah-olah harus sama percis dengan dirinya. Tentu dengan alasan yang logis menurut pandangan pribadi Dede Amung. Padahal sebenarnya hasil dari sebuah proses pelatihan dalam bidang kesenian adalah sejauh mana siswa/murid atau catrik mampu mengembangkan diri dengan menghasilkan kreatifitas yang original, bukan menjadi Dede atau menjadi gambar Dede, tetapi harus menjadi dirinya sendiri.

B. Saran

Keberlangsungan hidup dan perkembangan kesenian tradisional akan sangat tergantung kepada kesenian itu sendiri, pendukungnya, serta tempat di mana kesenian itu tumbuh. Begitu pula halnya dengan kesenian wayang golek, eksistensinya terutama pada pemahaman dan penyajian sekar dalang perlu tetap dilestarikan dalam kegiatan nyata, konstruktif, dan berkesinambungan untuk tujuan pelestarian seni budaya.

Sebagai salah satu jenis kesenian tradisional, kesenian wayang golek, perlu mendapat perhatian serta upaya-upaya dari berbagai pihak baik seniman, masyarakat, maupun pemerintah daerah setempat. Upaya itu bukan hanya pada tataran dan kegiatan pelestarian saja, tetapi perlu suatu upaya meregenerasikan


(2)

pedukung dari kesenian itu supaya tidak punah. Selain itu penulis memberikan saran dan masukan atas catatan tentang paguron seni sebagai pusat pelatihan. Dalam perkembangannya, paguron seni ini masih butuh penanganan lebih serius dari para pengelolanya, agar berperan dalam menjadikan pusat pelatihan seni pedalangan yang diminati oleh masyarakat.

Sementara yang berkaitan dengan organisasi pelatihan masih perlu penataan yang lebih baik, karena saat ini pengelolaan pelatihan belum terorganisir dengan baik. Agar tercapai tujuan pelatihan secara ideal yang mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihannya, dibutuhkan penataan organisasi pelatihan yang baik.

Untuk mengarah pada tujuan itu peneliti memberikan beberapa saran yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi semua pihak, diantaranya :

1. Bagi Pemerintah

Kesenian tradisional wayang golek Sunda bukan hanya sekedar aset yang dimuseumkan dan dijadikan kebanggan masa lalu, tetapi yang lebih penting lagi adalah potensi kesenian yang ada dijadikan inspirasi penciptaan di masa kini. Karena dengan cara inilah kesenian akan tetap hidup dan dinamis sejalan dengan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya.

Untuk itu peneliti mengusulkan agar pemerintah daerah lebih banyak memprogramkan kegiatan-kegiatan pembenahan sarana kesenian, peningkatan sarana apresiasi masyarakat dengan mengadakan berbagai pertunjukan kesenian khususnya kesenian wayang golek baik berupa pertunjukan komersial, maupun binojakrama local ditingkat kota dan kabupaten, pelatihan


(3)

187

terstruktur dan berkelanjutan dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah dan masyarakat pencinta kesenian wayang golek sunda.

2 Bagi Keluarga Paguron Munggul Pawenang

Tulisan dalam tesis ini, sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyudutkan Paguron Munggul Pawenang serta keluarga besar Munggul Pawenang, tetapi alangkah bijaknya apabila dilihat sebagai kritik dan kajian membangun bagi perkembangan wayang golek terutama Grup Munggul Pawenang Kota Bandung. Munggul Pawenang harus tetap dipertahankan dengan peningkatan kualitas kekaryaannya dan kegiatan yang melibatkan masyarakat.

Oleh karena itu, langkah yang terbaik adalah ciptakanlah suasana kreativitas terus menerus, sampai kemudian terciptanya generasi kreatif berikutnya sebagai generasi penerus dari generasi yang ada sekarang.

3 Bagi Masyarakat

Dalam upaya pelestarian kesenian tradisional yang tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan dari masyarakat, tanpa dukungan dari masyarakat, maka segala macam program pemerintah rasanya mustahil tercapai, hanya akan menjadi tidak berarti dan hanya slogan saja. Untuk itu alangkah bijaknya masyarakat mulai memikirkan dan memberikan kontribusi yang nyata untuk kegiatan pelestarian kesenian tradisional khususnya seni wayang golek khususnya di Kota Bandung, dan umumnya untuk pembangunan kesenian di Jawa Barat.


(4)

188 

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A Chaedar. (2009). Pokoknya Kualitatif. Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. B.Miles Matthew dan Huberman Michael terjemahan Rohendi Tjetjep (1992).

Analisi Data Kualitatif, Jakarta, Universitas Indonesia Press.

Chapman, L.H. (1978). Approach to Art in Education. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich.

Christomy, Tommy dan Yuwono, Untung. (2010). Semiotika Budaya. Jakarta: Universitas Indonesia.

Groenendael Van Clara. (1989). Dalang Dibalik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Hamalik, Oemar. (2002). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.

Hedy, Cahya. (2008). Asep Sunandar Sunarya, Tokoh dan Kreator Pedalangan Sunda. Yogyakarta: Tesis Pasca Sarjana UGM.

Johnson B, Elaine. (2006). Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Penerbit MLC.

Kamil, Mustofa. (2010). Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta.

Koentjaraningrat. (2007). Sejarah Teori Antropologi Satu. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

---. (1985). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Mack, Dieter. (1996). Pendidikan Musik Antara Harapan dan Realitas. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Maleong, J. Lexi. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

---(1989) Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya.


(5)

189   

Marzuki, Saleh. (2010). Pendidikan Nonformal Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan dan Andragogi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyono, Sri. (1982). Wayang, asal-usul, Filsafat dan masa depannya. Jakarta.

Gunung Agung

Permas Achsan. (2003). Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan, Jakarta: Penerbit PPM

Risyaman, Yoyo. (1981).Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya Sunda. Bandung.

Rohidi, T.R. (1994). Pendekatan Sistem Sosial Budaya Dalam Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Rustopo, (1991).Gendhon H. Pemikiran dan Kritiknya, Surakarta: STSI Press Salmun, M.A. (1961). Padalangan. Jakarta: Balai Pustaka.

Sedyawati, Edi. (1981). Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan. ---. (1991). Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Bunga Rampai.

Jakarta: Gramedia

---. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Silberman, Mel. (2010). 101 Cara Pelatihan dan Pembelajaran Aktif. Jakarta: PT. Indeks

Sudjana, D. (2005). Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.

---. (2010) Pendidikan Nonformal Wawasan, Sejarah, Perkembangan, Filsafat dan Teori Pendukung Serta Asas. Bandung: Falah Production. ---. ( 2010) Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah.

Bandung: Falah Production.

Suparli, Lili. (2010). Gamelan Pelog Salendro Induk Teori Karawitan Sunda. Bandung: Sunan Ambu Press.

Supanggah, Rahayu. (1996). Kumpulan Makalah II, Cerita Sekitar Kolaborasi Seni, STSI Surakarta.

Suryana, Jajang. 2002. Wayang Golek Sunda, Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek, Bandung, PT.Kiblat Buku Utama.


(6)

Soepandi, Atik, (1975). Dasar-dasar Teori Karawitan, Jakarta: Lembaga Kesenian Betawi

---. (1976). Teori Dasar Karawitan, Bandung: Pelita Masa

---. (1984). Pagelaran Wayang Golek Purwa di Priangan. Bandung. Pustaka Buana.

---. (1985). Wayang Golek Gaya Priangan, Bandung: Bina Cipta. --- . (1988). Tetekon Padalangan Sunda, Jakarta: Balai Pustaka

Soepandi, Atik,dkk.(1987). Sejarah Perkembangan Seni Pewayangan di Jawa Barat. Proyek Penelitian & Pencatatan Kebudayaan Jawa Barat.

Suyono dan Hariyanto. (2011). Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

Uno, B Hamzah. (2007). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara

Upandi, Pandi. (2009). Metoda Pembelajaran Kiliningan Kawih dan Gending Pirigannya. Bandung: STSI Press.

Zarkasih, Ruswandi, Dkk. (1995). Lakon Wayang Golek Purwa Sanghyang Wiraga Jati ”Semar Mbabar Jatidiri”. Jakarta: Humas Pepadi Pusat.