2003 Kumpulan Kliping KKR

Wacana KKR_03

1

Wacana KKR_03 [lanjutan]
=============================================================================
Media Indonesia, Kamis, 2 Januari 2003

Harus Segera Lakukan Rekonsiliasi Nasional

kli

pin

gE

LS

AM

JAKARTA (Media): Mantan Presiden Abdurrahman Wahid memperingatkan agar bangsa ini segera melakukan

rekonsiliasi nasional untuk mencegah terjadinya revolusi sosial pada 2003 ini.
"Revolusi sosial akan terjadi karena adanya kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin yang akan
menimbulkan konflik horizontal, Kita lihat di bandar udara, banyak pesawat dan banyak penumpangnya. Namun,
yang miskin juga banyak," kata Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid kepada wartawan dalam jumpa pers
di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, kemarin.
Gus Dur mengharapkan revolusi sosial itu tidak terjadi dan harus dihindari. Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan
cara pemberian maaf kepada orang-orang yang sulit dibuktikan kesalahannya oleh hukum seperti para konglomerat
hitam, dan mantan Presiden Soeharto.
"Beberapa pihak, seperti mantan Presiden Soeharto, perkumpulan Tionghoa, dan para sesepuh warga keturunan
India juga mengharapkan revolusi sosial tidak terjadi," kata Gus Dur.
Tapi Gus Dur mengingatkan, pemberian maaf kepada konglomerat itu dengan catatan mereka memberikan 95%
kekayaannya untuk membantu usaha kecil-menengah (UKM). Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga mencabut
perkara perdata para konglomerat.
"Tetapi, perkara pidana bagi para konglomerat dilanjutkan atau tidaknya terserah kepada aparat hukum," tegas Gus
Dur.
Forum Rekonsiliasi Nasional itu akan dilakukan 20 Maret mendatang oleh Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia.
Rencana tersebut, tambah Gus Dur, sudah disetujui oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Gus Dur mengharapkan agat krisis multidimensi yang tengah dihadapi bangsa selama tujuh tahun ini dapat
diselesaikan dengan cara berusaha menuju negara yang demokratis. Negara harus menempatkan setiap warga
negaranya sama di muka hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Sementara itu, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) DPR Rodjil Ghufron, dalam menanggapi Refleksi Akhir
Tahun 2002 Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, menilai pemerintahan Megawati belum menunjukkan
keberhasilan yang signifikan dalam menjalankan agenda reformasi. Pemerintah belum maksimal dalam
melaksanakan penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN bagi aparat negara, pemulihan ekonomi nasional,
reposisi militer dalam kehidupan politik nasional, dan sebagainya.
"Yang dilakukan pemerintah selama ini hanyalah upaya untuk menjaga keberlangsungan pemerintah semata dengan
mengorbankan agenda reformasi tersebut," kata Rodjil.
Menurutnya, ajakan presiden untuk meningkatkan kesadaran kebangsaan yang lebih membumi jangan sampai
mengarah kepada penggunaan dan penyalahartian nasionalisme demi keberlangsungan kekuasaan semata dan upaya
menutupi kelemahan pemerintah. (MS/P-3)

Wacana KKR_03

2

Kompas, Sabtu, 04 Januari 2003

Pentingnya Komisi Nasional Sejarah
Oleh Asvi Warman Adam


LS

AM

BEGITU perjanjian damai Aceh ditandatangani awal Desember 2002, masalah yang menggayut adalah penyelesaian
masa lalu di daerah itu.
Begitu dalam trauma yang menghantui korban pelanggaran HAM. Bagaimana menyelesaikan persoalan lama ini ?
Maka, sebetulnya Presiden dan anggota kabinet membutuhkan masukan dari sejarawan. Itulah salah satu alasan
penting dan mendesaknya pembentukan Komisi Nasional (Komnas) Sejarah.
Bangsa Indonesia yang kini menjalani masa transisi amat membutuhkan "pelajaran" sejarah. Integrasi bangsa kini
terancam: mengapa sampai terjadi hal demikian? Penjelasan tentang berbagai persoalan mendasar seperti hakikat
bangsa dan proses yang telah kita jalani selama ini akan menerangi masyarakat dalam melangkah ke depan
mengatasi krisis multidimensi. Selain itu, muncul perkembangan yang amat memprihatinkan ketika kekerasan
terjadi tiap detik dan di mana saja. Sebetulnya sejak kapan kekerasan muncul di Nusantara?
Terutama sejak Indonesia merdeka, kita telah mengalami sekian lama gelombang kekerasan baik secara horizontal
(antarmasyarakat) maupun vertikal (oleh negara). Bagaimana menyembuhkan trauma yang telah diderita korban
kekerasan, terutama sejak peristiwa 1965 sampai kasus Aceh. Bagaimana memulihkan trauma yang dialami rakyat
Aceh selama puluhan tahun akibat kekerasan TNI dan GAM. Masyarakat jelas tidak bisa melupakan masa lalu yang
penuh kekejaman, yang menyakitkan. Dalam hal ini, selain Pengadilan HAM Ad Hoc, apakah perlu dibentuk
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menangani berbagai kasus sejak Indonesia merdeka?

Kebingungan

kli

pin

gE

Alasan lain pembentukan Komnas Sejarah adalah kebingungan masyarakat mengenai buku dan pelajaran sejarah.
Setelah Soeharto turun takhta Mei 1998, bermunculan tulisan di media massa dan buku tentang sejarah masa Orde
Baru yang berbeda dengan apa yang diajarkan selama ini di sekolah. Masyarakat, terutama guru dan siswa, bingung.
Untuk mengatasi hal ini, Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan pedoman bagi guru mengenai aspek
kontroversial dalam sejarah Indonesia. Namun, pedoman itu masih memiliki berbagai kekurangan. Direncanakan
terbit buku standar Sejarah Nasional Indonesia sebagai pengganti buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditulis
1970-an. Penerbitannya diperkirakan baru selesai 2004. Dengan demikian, sampai 2004 akan ada kevakuman dalam
pembenahan pengajaran sejarah di Indonesia.
Sementara itu, kurikulum baru (kurikulum berbasis kompetensi) telah dilansir Pusat Kurikulum Depdiknas dan akan
diberlakukan 2004. Tetapi, sejauh ini kurikulum baru itu tidak banyak beda dengan kurikulum sejarah yang lama.
Bukan hanya soal politik dan hukum yang mengandung aspek kesejarahan, bidang ekonomi pun tak luput dari
dimensi historis. Ketika Soekarno diturunkan dari kursi kepresidenan, ia meninggalkan utang 2,5 milyar dollar AS.

Namun, ketika Soeharto berhenti, utang yang diwariskan kepada bangsa ini 150 milyar dollar AS (utang pemerintah
dan swasta). Utang itu akan ditanggung kita dan anak-cucu kita. Sebetulnya, kalau kita menengok sejarah, Prof
Alexander Sacks di Paris tahun 1927 telah memperkenalkan konsep utang najis (odious debt). Utang yang dibuat
rezim otoriter tidak ditanggung rezim penggantinya. Kita sebetulnya dapat meminta penghapusan atau pemotongan
utang, seperti dilakukan dan diterima Pemerintah Filipina baru-baru ini. Bukankah Marcos dan Soeharto sedikit
banyak memiliki kemiripan. Jadi, sejarah bermanfaat untuk menyelesaikan aneka masalah yang dihadapi bangsa kita
kini.
Kelembagaan
Lembaga semacam ini ada juga di luar negeri, seperti di Filipina, namun dengan status dan cakupan tugas yang
berbeda. Oleh karena tidak ada lembaga asing yang dapat dijadikan rujukan, maka kita terpaksa melihat ke dalam
negeri, membandingkan dengan komisi nasional pada bidang lain. Dari tiga Komnas yang telah berdiri lebih dulu,
Komnas HAM dibentuk berdasar undang-undang. Sedangkan Komnas Perempuan yang diketuai Saparinah Sadli
didirikan berdasar keputusan presiden (keppres). Komnas Anak yang dipimpin Seto Mulyadi (Kak Seto) tidak
memiliki sifat keduanya. Baik Komnas HAM maupun Komnas Perempuan dibiayai berdasarkan anggaran yang
berasal dari Sekretariat Negara.

Wacana KKR_03

3


AM

Diusulkan agar Komnas Sejarah ada di bawah Presiden dan dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Komisi
memiliki ketua, sekjen, dan beberapa anggota, dibantu sekretariat tetap. Masa keanggotaan empat tahun dan dapat
diperpanjang hanya satu kali masa jabatan. Semua pengurus memperoleh gaji/honorarium bulanan yang jumlahnya
setara dengan honorarium lembaga sejenis seperti KPKPN atau Komisi Ombudsman.
Mengingat lembaga ini memiliki tugas tidak ringan, ketua dan sekjen tidak dirangkap oleh pejabat struktural pada
departemen/badan pemerintahan. Untuk memudahkan berurusan dengan lembaga pemerintah lainnya, sebaiknya
kedudukan Sekjen Komnas Sejarah disesuaikan dengan model Sekjen Komnas HAM. Sekjen Komnas Sejarah harus
seorang PNS (pegawai negeri sipil), kedudukannya disetarakan eselon satu.
Jumlah keanggotaan tidak usah terlalu besar, tidak lebih dari sepuluh orang, dibantu sekretariat tetap. Komisi yang
ramping, tetapi bekerja sepenuh waktu akan lebih baik daripada lembaga yang besar tetapi hanya bisa rapat selepas
jam kantor. Untuk pertama kali, para narasumber yang ditunjuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam
rangka pembentukan Komnas Sejarah dapat diusulkan menjadi anggota Komnas Sejarah ditambah beberapa tokoh
dari luar Jakarta.
Kemauan politik Presiden

kli

pin


gE

LS

Komnas Sejarah memberi masukan kepada Presiden mengenai berbagai persoalan sejarah dan persoalan masa lalu
bangsa. Lembaga ini juga akan berperan dalam menjelaskan aspek sejarah yang kontroversial di tengah masyarakat.
Di bidang pendidikan, in- stitusi ini akan memberi pertimbangan dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang
selanjutnya akan menjadi pegangan pembuatan buku teks sekolah. Komnas Sejarah juga memberi masukan dalam
penyusunan kurikulum nasional sejarah. Butir-butir yang diajarkan dalam pelajaran sejarah didiskusikan Komnas
Sejarah.
Selain itu, dalam rangka menyelesaikan persoalan sosial-politik masa lalu, Komnas Sejarah menyumbangkan
pemikiran dan berpartisipasi dalam pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pembentukan
Komnas Sejarah dan sejauh mana wewenang yang dimilikinya akan menjadi barometer kemauan politik Presiden
dalam menangani masalah sejarah dan persoalan masa lalu bangsa Indonesia.
Dr Asvi Warman Adam sejarawan LIPI

Wacana KKR_03

4


Suara Pembaruan, Jumat 10 Januari 2003

Pemerintah Didesak Susun RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

kli

pin

gE

LS

AM

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk segera menyusun
dan mengajukan ke DPR Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selain
itu pemerintah juga didesak untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik
serta Konvensi Internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, usai bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana

Negara, Jakarta, Kamis (9/1) menjelaskan, RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi sangat diperlukan sebagai dasar bagi
upaya-upaya rekonsiliasi Bangsa Indonesia.
Hal tersebut, lanjutnya, saat ini dirasa perlu setelah ditandatanganinya Perjanjian Penghentian Permusuhan oleh
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jenewa, Swiss, 9 Desember 2002. Sebab, salah satu
kesepakatan pasca-Perjanjian Jenewa, adalah penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh melalui jalan rekonsiliasi dan
adat.
"Dalam pertemuan tadi tidak secara khusus membahas soal Aceh. Tetapi kami sampaikan ke Presiden bahwa
rekonsiliasi ini suatu cara yang mestinya dikedepankan. Dan untuk mendukungnya perlu segera dibahas dan
diundangkan, yaitu UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," jelasnya.
Oleh karenanya, Komnas HAM menekankan supaya pemerintah mengambil prakarsa dalam penyusunan RUU-nya.
Selanjutnya, Garuda mengatakan, pihaknya juga mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi dua Konvensi
Internasional, masing-masing mengenai hak sipil dan politik, serta mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya.
Maksud dari ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tersebut, menurut Garuda, untuk melindungi dan memperkokoh
hak-hak masyarakat Indonesia di bidang ekonomi, sosial dan budaya. "Ini ada kaitannya dengan hak rakyat akibat
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan tarif telepon seperti yang terjadi sekarang,"
jelasnya.
Pada pertemuan dengan Presiden, Komnas HAM juga meminta komitmen pemerintah dalam hal penegakan hukum,
terutama mengakhiri praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Menanggapi hal itu, Presiden mengatakan tidak cukup
dilakukan oleh eksekutif di pusat. Tetapi Pemda, yudikatif dan legislatif juga harus konsisten melakukannya.
"Presiden mengakui yudikatif perlu didorong oleh eksekutif dan legislatif bersama-sama," ujar Garuda. (A-17)

Last modified: 10/1/2003

Wacana KKR_03

5

Suara Pembaruan, Senin 13 Januari 2003

Kekuatan Lama Ganjal RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
TNI dan Golkar Menghambat Lahirnya UU KKR

kli

pin

gE

LS

AM


JAKARTA - Presiden Megawati Soekarnoputri dinilai lamban dalam melaksanakan salah satu amanat MPR untuk
segera mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) ke DPR.
Kelambanan itu disinyalir karena masih adanya kekuatan politik lama, seperti TNI dan Golkar, yang memang tidak
menginginkan adanya UU KKR.
Demikian penilaian Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ifdhal Kasim, di Jakarta,
Senin (13/1). Ifdhal yang turut dalam penyusunan draf RUU KKR mengungkapkan, draf itu telah diselesaikan sejak
Pemerintahan Abdurrahman Wahid. "Saat ini draf RUU KKR masih tertahan di Sekretariat Negara," ungkapnya.
Secara terpisah, Wakil Direktur Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Robertus
Robert menilai, Pemerintahan Megawati tidak melihat masalah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
sebagai prioritas. "Pemerintah sekarang tampak sangat akomodatif terhadap TNI, sehingga mengabaikan masalah
penyelesaian pelanggaran HAM," tandasnya.
Robertus menambahkan, tidak adanya agenda yang tegas dari pemerintah soal HAM, dimanfaatkan oleh kekuatan
politik lama yang tidak ingin mempertanggungjawabkan masalah pelanggaran HAM di masa lalu. "Kalau ini
dibiarkan, saya khawatir di masa depan peristiwa-peristiwa serupa akan terulang lagi," ujarnya.
Menurutnya, rekonsiliasi tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. "Masyarakat
korbanlah yang sepenuhnya bisa menentukan warna bagaimana penyelesaian HAM yang semestinya," tandasnya.
Kendala
Ifdhal Kasim lebih lanjut mengungkapkan, saat Sidang Tahunan MPR 2002 lalu, MPR mempertanyakan kepada
Presiden mengenai kelanjutan dari penyusunan UU KKR. "Saat itu Presiden Megawati menjanjikan akan
mempercepat pembahasannya," katanya. Amanat pembentukan UU KKR sendiri dituangkan dalam Tap MPR No
5/2002.
Diingatkan, saat ini Pemerintah menghadapi sejumlah proses rekonsiliasi, sebagaimana yang akan dilaksanakan di
Aceh dan Papua. "Proses rekonsiliasi itu kalau tidak ada dasar hukumnya, akan kehilangan substansinya, seperti
menyangkut soal pertanggungjawaban di masa lalu," ujarnya.
Dia khawatir apabila proses rekonsiliasi dilaksanakan tanpa dasar hukum, akan mengarah pada upaya mengusung
kepentingan politik pemerintah, tanpa menyentuh kepentingan riil masyarakat. "Kalau itu yang terjadi, kemungkinan
proses rekonsiliasi dari pemerintah ditolak oleh masyarakat akan sangat besar. Jadi sebaiknya dasar hukum
rekonsiliasi itu cepat diselesaikan," tandasnya.
Menurut Ifdhal, lambannya Pemerintahan Megawati mengajukan RUU KKR ke DPR, antara lain adanya kendala
struktural yang berasal dari pemerintahannya sendiri. Dia menyebut dua kekuatan politik lama, seperti TNI dan
Golkar, yang menghambat lahirnya UU KKR.
"Sebab kekuatan politik lama itulah yang menjadi sasaran dari UU KKR itu nantinya. Pelanggaran-pelanggaran oleh
pemerintah di masa lalu banyak dilakukan oleh TNI dan Golkar, dan UU KKR akan menuntut pertanggungjawaban
atas semua itu," jelasnya.
Menghadapi realitas tersebut, lanjut Ifdhal, menyebabkan Megawati bersikap kompromi. "Harus diakui Mega butuh
TNI dan Golkar. Dia ingin membangun stabilitas rezim, sehingga ada hal-hal yang terpaksa dikorbankan," ujarnya.
Akan tetapi, sikap lamban Mega dalam menuntaskan RUU KKR, bisa kontraproduktif bagi pemerintahannya. Sebab
masalah RUU KKR sudah diamanatkan oleh MPR.
"Seharusnya RUU KKR ini menjadi kepentingan politik Megawati dan PDI-P. Kalau sampai tidak diselesaikan, ada
alasan konstitusional bagi MPR untuk memberikan rapor merah bagi Pemerintahan Mega. Ini tentu mengurangi kans
untuk maju pada Pemilihan Presiden 2004," katanya. (A-17)
Last modified: 13/1/2003

Wacana KKR_03

6

Media Indonesia, Rabu, 15 Januari 2003

Harus Ada MoU Pelanggaran HAM

kli

pin

gE

LS

AM

JAKARTA (Media): Tiga lembaga terkait, yaitu Komnas HAM, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), harus membuat kesepakatan bersama atau memorandum of understanding (MoU) untuk
menyamakan persepsi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sebelum UU No 26/1999 diundangkan.
"Ketiga institusi ini sangat berkaitan dengan usaha pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM terutama di masa
lampau, sebelum diundangkannya UU No 26/1999. Anggota DPR yang diharapkan turut serta dalam usaha
pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat adalah Komisi II. Alangkah baiknya jika Komisi II DPR terlebih
dahulu memprakarsai penandatanganan MoU tersebut agar ketiga institusi itu memunyai satu persepsi," kata Ketua
Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara kepada pers, seusai melakukan pertemuan dengan Kepala Satuan
Tugas (Kasatgas) Kejaksaan Agung BR Pangaribuan di kantor Komnas HAM, kemarin.
Dengan adanya MoU tersebut diharapkan antara institusi yang saling terkait tidak jalan sendiri dan tidak terpisah
satu dengan yang lainnya. Kalau tidak ada persamaan persepsi antarketiga institusi tersebut maka hasil penyelidikan
satu institusi tidak akan tuntas karena tidak ditindaklanjuti oleh institusi terkait lainnya.
Seperti yang telah diatur, Komnas HAM merupakan komisi negara yang berhak melakukan penyelidikan pada kasus
pelanggaran HAM, sementara Kejaksaan Agung adalah institusi yang berhak melakukan penyidikan. Kalau tidak
ada kerja sama dan persamaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, maka penyelidikan yang
dilakukan Komnas HAM sulit untuk ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.
"Pertemuan kami dengan BR Pangaribuan sendiri dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama yang baik antara
Komnas HAM dan Kejaksaan. Komnas HAM adalah institusi yang melakukan penyelidikan, sementara Kejaksaan
adalah institusi yang melakukan penyidikan, jadi seharusnya sudah harus memiliki persamaan persepsi," ujar Hakim
Garuda.
Sementara itu, Pangaribuan mengaku terdapat perbedaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung
terhadap beberapa pasal dalam UU No 26/1999. Demikian juga dengan DPR. Keputusan politis DPR yang
menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus Trisakti, Semanggi I dan II menjadi penghambat
pengungkapan ketiga kasus pelanggaran HAM tersebut.
"Hal itu bisa dijadikan rujukan bagi orang-orang yang kita duga terlibat, karena mereka pasti tidak mau dipanggil
untuk penyelidikan, begitu pula penyidikan akibat keputusan politis DPR tersebut," kata Pangaribuan.
Sementara mengenai perbedaan jumlah tersangka antara Komnas HAM dan Kejaksaan dalam kasus Tanjung Priok,
Pangaribuan mengungkapkan meskipun jumlah pelaku yang disebutkan Komnas HAM sebanyak 23 orang, tetapi
selama ini hanya 14 orang yang memunyai cukup bukti untuk dijadikan tersangka. (CR-21/P-3)

Wacana KKR_03

7

Koran Tempo, Jumat, 17 January 2003

RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tertahan di Presiden
JAKARTA -- Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) belum juga ditandatangani
Presiden Megawati. Padahal, menurut Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Abdul Gani Abdullah, draft itu sudah diserahkan ke Sekretariat Negara awal 2002.
"Saya menghubungi Setneg pekan lalu. Kata mereka tinggal menunggu tandatangan Presiden untuk selanjutnya
diserahkan ke DPR," kata Gani kepada Koran Tempo kemarin.

AM

Namun menurut Ifdhal Kasim, anggota tim perumus rancangan undang-undang itu, penghambat proses justru
Setneg. Ia lalu menunjuk langkah Setneg yang beberapa waktu lalu mempertanyakan beberapa hal dalam rancangan.
"Itu melampaui kewenangan mereka," kata Ifdhal.
Ifdhal mengatakan, Sekneg misalnya berkeberatan dalam pasal soal kompensasi dan restitusi terhadap keluarga
korban dan korban. Dalam rancangan itu memang diatur soal pemberian kompensasi atau ganti kerugian dari negara
kepada korban dan keluargan korban serta ganti kerugian kepada korban dan keluarga korban oleh pelaku atau pihak
ketiga.

LS

"Mereka mengatakan, negara tidak punya uang untuk membayar ganti rugi itu. Ini jelas bukan urusan Sekneg tapi
ini urusan kewenangan negara pada rakyatnya," ujar Ifdhal.

gE

Namun, menurut Gani, pasal kompensasi, rehabilitasi dan restitusi pada draft RUU KKR tidak mengalami
perubahan. Perubahan, katanya, hanya menyangkut pemberian kewenangan kepada Presiden untuk mengusulkan
sejumlah nama calon komisi ini untuk pertama kalinya.
"Jadi untuk pertama kali (pembentukan komisi) Presiden dapat mengusulkan calon anggota komisi. Kalau yang lain
tidak ada perubahan," papar Gani.
Gani beralasan, UU ini begitu operasional langsung harus ditindaklanjuti dengan pembentukan komisi. Jika proses
pengusulan nama datang dari masyarakat, kata dia, akan memakan waktu lebih lama.

pin

Gani membantah rancangan ini memberikan kewenangan mutlak kepada Presiden untuk mengusulkan calon-calon
yang disenanginya. Menurut dia, Presiden memiliki staf yang mengurusi masalah ini. "Lagipula ini kan untuk
pertama kalinya. Kalau untuk pemilihan anggota komisi selanjutnya, masyarakat boleh ikut mengusulkan," ujarnya
beralasan.

kli

Selanjutnya, di DPR akan diadakan seleksi untuk memilih dari sejumlah nama yang diusulkan Presiden. Soal usulan
presiden diterima atau ditolak DPR, Gani menolak berkomentar.
Pernyataan ini berbeda dengan draft akhir rancangan. Dalam dratt diatur bahwa Komisi Nasional HAM lah yang
pertama kali berwenang memilih dan menyeleksi seluruh anggota komisi. Komnas HAM membentuk panitia seleksi
untuk menerima usulan dari perorangan, kelompok orang, atau organisasi kemasyarakatan sesuai kriteria yang diatur
RUU ini.
Hasil pilihan dari panitia seleksi diserahkan kepada Komnas HAM untuk diseleksi kembali. Hasil seleksi Komnas
HAM kemudian diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Presiden sebagai Kepala Negara bertugas
menetapkan nama-nama yang disetujui.
Direktur LBH Jakarta Iriantor Subiakto meragukan niat baik dalam perubahan pengusulan calon itu kepada presiden.
"Ini tidak fair. Sebab, yang dipersoalkan adalah negara sebagai pelaku pelanggaran HAM."
Anehnya, kata Irianto, rancangan memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengusulkan calon anggota komisi
dan kemudian menetapkannya. "Dari hulu ke hilir dia yang pegang. Niatnya apa?" ujarnya.
Untuk menghindari tunggangan kepentingan politis, menurut Irianto, sudah seharusnya kewenangan pemilihan dan
seleksi calon anggota komisi diserahkan ke Komnas HAM. maria hasugian

Wacana KKR_03

8

Koran Tempo, Jumat 17 Januari 2003

Komisi Pemberi Rekomendasi Pengampunan
Berikutsejumlayh pasal yang mengatur tugas, fungsi, dan keanggotaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Pasal 4
Komisi mempunyai fungsi kelembagaan yang bersifat publik untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran atas
pelangggaran hak asasi manusia yang berat dan melakukan rekonsiliasi.

AM

Pasal 5
Komisi memiliki tugas:
1. Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban
2. Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM berat
3. Memberi rekomendasi kepada presiden dalam permohonan amnesti
4. Menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam pemberian kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi.
5. Menyampaikan laporan tahunan dan leporan akhir tentang pelaksanaan tugas dan wewenang berkaitan dengan
perkara yang ditanganinya kepada presiden dan DPR dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.

gE

Pasal 29

LS

Pasal 27
1. Dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru dan Orde Lama
telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, komisi wajib memberikan rekomndasi kepada presiden
untuk memberikan amnesti.
2. Penryataan perdamaian wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani kedua pihak
dan diketahui ketua komisi.

kli

pin

Keanggotaan komisi diperoleh berdasarkan seleksi dan pemilihan oleh Komnas HAM, dari suatu daftar nominasi
yang diajukan oleh perorangan, kelompok orang atau organisasi ke masyarakatan.

Wacana KKR_03

9

Koran Tempo, Rabu, 22 January 2003

DPR: Lembaga Impunity Baru?

Satya Arinanto Pengajar FHUI, Analis Hukum Dan Konstitusi
Akhir-akhir ini berkembang perdebatan mengenai kelanjutan proses pemeriksaan kasus pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) berat Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS). Sinyalemen ini muncul dari dua lembaga
sentral yang memiliki kaitan erat dengan proses pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat, yakni dari Komisi
Nasional HAM dan Kejaksaan Agung.
Menurut kedua lembaga tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga yang menghambat penyelesaian kasus
pelanggaran HAM berat yang disingkat TSS tersebut. Kejaksaan Agung dan Komnas HAM akan mengirim surat
kepada DPR agar DPR mengkaji ulang keputusannya soal penyelesaian kasus TSS (Kompas, 15 Januari 2003).

LS

AM

Entah kebetulan atau tidak, sinyalemen tentang potensi DPR untuk berfungsi sebagai lembaga yang membebaskan
atau mengampuni kesalahan (impunity) ini muncul setelah adanya pemberitaan media massa tentang pertemuan
antara mantan Menteri Pertahanan Keamanan/Pangab Wiranto dengan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pada
13 Februari 2003 lalu. Menurut Sekretaris Jenderal/Panitera MA Gunanto Suryono, dalam pertemuan itu bisa saja
dibicarakan persoalan penanganan perkara dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan mantan presiden
Soeharto yang kini sedang ditangani Komnas HAM. Hal ini berkaitan dengan fenomena bahwa Komnas HAM
sudah membentuk tim ad hoc untuk melakukan penyelidikan terhadap hal tersebut.

gE

Menurut Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara, tim ad hoc tersebut akan melakukan penyelidikan
terhadap berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi pada era Soeharto, misalnya, peristiwa G-30-S/PKI tahun
1965, kasus Komando Jihad. Hakim menyatakan bahwa tim itu akan menyelidiki sejauh mana duduk persoalan
kasus-kasus tersebut. Fokusnya antara lain akan dilihat apakah berbagai pelanggaran HAM berat itu terjadi karena
sebuah kebijakan atau bukan, serta siapa-siapa saja yang terlibat.

pin

Kembali ke masalah kasus TSS. Sebagaimana kita ketahui, DPR telah pernah membentuk panitia khusus untuk
menyelesaikan kasus-kasus tersebut, berdasarkan Surat Keputusan Ketua DPR Akbar Tandjung. Setelah beberapa
kali pertemuan, panitia khusus menyimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus TSS tersebut.
Kesimpulan inilah yang hingga saat ini dipergunakan oleh berbagai kalangan, terutama kalangan yang
berkepentingan dengan kasus tersebut, untuk menghindari terjadinya penghukuman terhadap kasus tersebut.

kli

Dalam konteks inilah telah lama muncul pemikiran bahwa DPR akan berperan sebagai lembaga yang berpotensi
melakukan pembebasan dari hukuman atau pengampunan (impunity) baru. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal
43 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk
melakukan proses seleksi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Menurut UU itu, jika
DPR setuju, presiden kemudian dapat menerbitkan keputusan presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc
guna mengadili kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Hingga saat ini baru ada dua kasus yang telah disetujui DPR dan diterbitkan keppresnya, yakni kasus pelanggaran
HAM berat yang terjadi di eks Timor Timur, khususnya yang terjadi di Dili, Liquica, dan Suai. Kedua, kasus
pelanggaran berat HAM yang terjadi di Tanjung Priok pada September 1984. Di luar kedua kasus tersebut,
sebenarnya pemerintah melalui Menteri Kehakiman dan HAM juga telah menyampaikan usulan pembentukan
pengadilan HAM untuk kasus Aceh, namun hingga saat ini hal tersebut belum mendapatkan respons dari DPR.
Dalam kasus TSS, memang muncul sinyalemen bahwa kesimpulan DPR tentang kasus TSS--bahwa tidak terjadi
pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut--dikeluarkan dalam konteks kepentingan dari fraksi-fraksi non-TNIPolri di DPR untuk menarik dukungan dari Fraksi TNI-Polri dalam rangka rencana penarikan mandat kepresidenan
Abdurrahman Wahid yang lalu. Rencana ini telah berlangsung dengan "sukses", sejalan dengan turunnya Wahid dari
kursi kepresidenannya. Namun, dampak dari kesimpulan tersebut masih terasa hingga saat ini, yakni munculnya
penilaian bahwa DPR berpotensi secara "legal" untuk menjadi lembaga impunity baru.
Dengan demikian, memang diperlukan peninjauan kembali, atau bahkan revisi, terhadap ketentuan UU Nomor 26

Wacana KKR_03 10

kli

pin

gE

LS

AM

Tahun 2000 yang berkaitan dengan hal tersebut. Memang, latar belakang pemasukan pasal-pasal yang berkaitan
dengan hal itu dapat dipahami, yakni agar tidak semua kasus pelanggaran berat HAM pada masa lalu dapat dengan
mudah dibuka. Namun, penempatan peran pada lembaga DPR untuk menyeleksi kasus-kasus mana yang bisa dibuka
pengadilannya dan kasus-kasus mana yang tidak bisa dibuka telah menimbulkan penilaian sebagaimana tercantum
dalam judul tulisan ini. Semoga sinyalemen ini tidak tepat.

Wacana KKR_03 11
Suara Pembaruan, Kamis 06 Februari 2003

Mencari Model Rekonsiliasi Nasional untuk Cegah Disintegrasi Bangsa
Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Judo Poerwowidagdo
KRISIS ekonomi dan moneter yang dimulai bulan Juli 1997 yang lalu, telah berkembang menjadi krisis politik,
hukum, kepercayaan, krisis moral dan sebagainya sehingga dapat dikatakan telah terjadi krisis total dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal pula bahwa krisis total itu disebabkan
terutama oleh adanya kebijakan-kebijakan (policies) pembangunan yang salah selama Orde Baru memegang
pemerintahan.

AM

Bukan saja kesalahan dalam kebijakan pembangunan nasional, tetapi juga kesalahan dalam kebijakan pemerintahan
dan dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijakan-kebijakan pembangunan
nasional dan pemerintahan itu telah menyimpang dari cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk membangun suatu
masyarakat modern yang adil dan makmur serta sejahtera material dan spiritual, yang lestari berdasarkan Pancasila.

LS

Krisis total ini mengharuskan adanya reformasi total pula. Yang saya maksudkan dengan reformasi total adalah
pembaruan menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama dari segi-segi yang
mendasar sebagai landasan kita hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh, suatu
bangsa yang maju dan modern di tengah-tengah berbagai bangsa di dunia ini.

Memprihatinkan

gE

Reformasi total ini menyangkut kehidupan sosial-ekonomi, politik, hukum, dan budaya, serta pertahanan dan
keamanan bangsa Indonesia. Dalam keadaan krisis total sekarang ini, di mana situasi politik dan ekonomi sangat
tidak stabil atau sangat rentan, ditambah dengan praktik hukum serta peradilan kita yang mengalami banyak
penyimpangan, telah terjadi berbagai kerusuhan-kerusuhan massal yang menyebabkan korban jiwa yang luar biasa
banyaknya.

pin

Kerusuhan massal yang banyak terjadi di berbagai wilayah negara kita itu sangat memprihatinkan, karena telah
mengakibatkan korban jiwa ribuan rakyat Indonesia dan mengakibatkan puluhan bahkan mungkin ratusan ribu
lainnya menjadi pengungsi di negara sendiri (internally displaces persons - IDPs). Dari kerusuhan atau keributan
yang kecil antar-pribadi dapat berkembang menjadi kerusuhan massal yang melibatkan ribuan penduduk, dan dapat
berkembang menjadi kerusuhan yang bersifat SARA.

kli

Rupa-rupanya ada kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat yang memanfaatkan situasi konflik di dalam
masyarakat sehingga berkembang atau sengaja dikembangkan menjadi konflik SARA yang meluas. Kerusuhankerusuhan sosial yang sangat memprihatinkan ini, termasuk yang direkayasa seakan-akan konflik yang bersifat
SARA itu jelas-jelas membahayakan keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia, dan akan mengakibatkan
disintegrasi bangsa.
Namun lebih dari itu, yang sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa, serta keutuhan bangsa dan negara
Republik Indonesia adalah kesalahan-kesalahan ataupun kekeliruan-kekeliruan yang mendasar yang telah dilakukan
oleh Pemerintah Pusat selama negara kita merdeka, dan terutama selama Pemerintahan Orde Baru. Kebijakan
Pemerintah Orde Baru yang mengutamakan laju pertumbuhan ekonomi, yang mensyaratkan adanya stabilitas
politik, dilakukan atau dilaksanakan dengan pendekatan keamanan (security approach).

Kebijakan yang seharusnya ditempuh dalam pembangunan nasional adalah pembangunan sebagai pengamalan
Pancasila, seperti yang telah digariskan dalam GBHN-GBHN sebagai TAP-TAP MPR (1973, 1978, 1983). Hal ini
seharusnya dilakukan melalui pendidikan politik, pendidikan demokrasi serta pendidikan karakter (character
building) dalam masyarakat.

Wacana KKR_03 12
Kenyataannya, pelaksanaan menyimpang dari hal-hal ini. Bukannya pendidikan politik dan demokrasi, tetapi yang
dilakukan adalah indoktrinasi P-4 yang sangat tidak konsekuen dalam praktiknya. Bukannya iklim demokrasi yang
dikembangkan, tetapi sebaliknya, yaitu iklim kekuasaan mutlak, mono loyalitas dan asas tunggal. Tidak ada
toleransi perbedaan pendapat. Bahkan pelaksanaan pembangunan dipenuhi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Dengan pembangunan yang sentralistis (memusat di Pulau Jawa), terjadi
ketimpangan-ketimpangan sosial dan ketidakadilan dalam pembangunan daerah.
Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial berbagai wilayah yang merasakan kesenjangan pembangunan itu sebagai
ketidakadilan. Seperti wilayah-wilayah Sumatera serta Sulawesi dan Maluku semasa Orde Lama, dan Aceh, Papua
Barat (Irian Jaya), serta Timor Timur semasa Orde Baru.
Sarana

AM

Apabila kita mengingat perjuangan kemerdekaan bangsa kita melawan penjajah, melawan kolonialisme dan
imperialisme Belanda dan melawan kekejaman-kekejaman militer Jepang yang fasistis, kita tidak akan berhasil
apabila kita tidak menggalang kesatuan dan persatuan gerakan dan perjuangan kemerdekaan. Tanpa persatuan dan
kesatuan bangsa dan gerakan serta perjuangan itu, tentu kita belum dapat merdeka sekarang ini.

LS

Kesatuan dan persatuan bangsa merupakan suatu syarat atau sarana untuk mencapai kemerdekaan bangsa kita.
Bagi perjuangan kemerdekaan, maka kesatuan dan persatuan perjuangan merupakan suatu conditio sine qua non
suatu kondisi yang harus ada. Kalau kita melihat sejarah bangsa kita mulai tahun 1908, tahun kebangkitan bangsa
dengan berdirinya Boedi Oetomo dan tahun 1928, Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda, kita
menyadari bahwa kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia sebagai alat perjuangan kemerdekaan kita itu telah
membawa hasil nyata.

gE

Tujuan persatuan dan kesatuan bangsa ini adalah untuk mencapai kemerdekaan, kebebasan bagi seluruh bangsa kita,
seluruh lapisan masyarakat kita dari Sabang sampai Merauke. Bahkan TNI pun tumbuh dari dan menyatu dengan
rakyat, didukung oleh rakyat karena melindungi dan memberi ketenteraman kepada rakyat dan berjuang bersamasama dengan rakyat. Dengan kesatuan dan persatuan bangsa, rakyat dan tentara nasional kita dapat mencapai
kemerdekaan dengan maksud membangun masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera material dan spiritual,
sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

pin

Kesatuan dan persatuan bangsa ini sebenarnya bukanlah merupakan tujuan akhir perjuangan kita, tetapi merupakan
suatu alat dan strategi perjuangan, merupakan sarana perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Namun dalam
perkembangan sejarah bangsa kita, telah terjadi sedikit pergeseran ideologi dalam hal ini. Kesatuan dan persatuan
bangsa, seakan-akan telah merupakan dan dijadikan tujuan akhir itu sendiri, yang coute que coute harus
dipertahankan, yang bagaimanapun juga harus dipertahankan, apapun risikonya (at all costs).

kli

Menurut pendapat saya, ideologi kesatuan dan persatuan bangsa sedemikian itu perlu direnungkan lebih dalam dan
matang. Tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan, mencapai kebahagiaan dan
kehidupan yang nyaman, aman dan sejahtera. Masyarakat yang kita idam-idamkan adalah suatu masyarakat yang
adil dan makmur serta sejahtera material dan spiritual. Inilah tujuan perjuangan kemerdekaan bangsa kita yang dapat
kita capai dengan persatuan dan kesatuan gerakan dan perjuangan kemerdekaan.
Demikian juga perjuangan kita membebaskan Irian Barat (Irian Jaya/Papua Barat) menjadi bagian yang integral dari
negara Republik Indonesia yang bebas merdeka dari penjajahan Belanda. Juga usaha dan perjuangan penyatuan
Provinsi Timor Timur ke dalam Republik Indonesia itu bertujuan untuk menjadikan rakyat di sana juga merdeka,
bebas dari kolonialisme Portugal, maupun bebas dari cengkeraman komunisme, dan menjadikan rakyat Timor Timur
juga hidup aman, sejahtera material dan spiritual, yang lestari berdasarkan Pancasila, bersama-sama dengan rakyat
Indonesia lainnya.

Namun apa yang dialami oleh penduduk atau rakyat di daerah Istimewa Aceh, di Irian Jaya dan di Timor Timur
sangat berbeda dengan harapan kemerdekaan mereka. Rakyat atau penduduk di provinsi-provinsi itu yang juga telah
ikut berjuang bersama-sama dengan rakyat Indonesia lainnya, berjuang bersama TNI untuk mencapai kemerdekaan

Wacana KKR_03 13
bersama Republik Indonesia, tidak mengalami kemajuan dan perkembangan daerah seperti di wilayah lain Republik
ini, terutama tidak sama dengan Pulau Jawa.
Hal ini karena kebijakan pembangunan nasional Pemerintah Pusat yang sangat sentralistis. Mereka merasakan
ketimpangan dan ketidakadilan pembagian hasil pendapatan daerah, sumber-sumber daya alam di wilayah mereka
dengan pemerintah pusat. Sementara itu korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan pejabat pemerintah pusat dan
daerah telah mentelantarkan rakyat di wilayah-wilayah itu serta menimbulkan rasa ketidakadilan, bahkan mungkin
juga kebencian terhadap pemerintah pusat.
Pemerintah Pusat

AM

Oleh karena itu kita melihat adanya konflik-konflik vertikal, dalam wujud gerakan separatisme dan bukan saja
konflik horizontal dalam masyarakat. Gerakan separatisme tentu tidak dapat dibiarkan oleh pemerintah pusat, dan
oleh karena itu wilayah atau provinsi itu diberlakukan sebagai DOM.
Apabila praktik-praktik ketidakadilan sosial semacam ini masih akan terus berlanjut, konflik vertikal semacam ini
dapat diantisipasi akan terus muncul atau tetap berlangsung bahkan akan dapat merebak atau meluas ke wilayahwilayah atau provinsi lain yang juga merasakan hal yang sama. Apabila hal ini terjadi, maka bahaya disintegrasi
bangsa dan negara menjadi semakin besar, karena gerakan-gerakan separatisme akan menuntut pemisahan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

kli

pin

gE

LS

Penulis adalah Direktur Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian, Jakarta
Last modified: 6/2/2003

Wacana KKR_03 14
Suara Pembaruan, Jumat 07 Februari 2003

Mengantisipasi Konflik dalam Masyarakat
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
Judo Poerwowidagdo

kli

pin

gE

LS

AM

Konflik masyarakat cenderung untuk terjadi atau meledak apabila terdapat kesenjangan dalam unsur atau sumbersumber konflik, yang dibiarkan terjadi tanpa ada penyelesaian. Unsur-unsur atau sumber-sumber konflik itu dapat di
kategorikan dalam 6 hal, yaitu sumber daya alam (ketidakadilan dalam pembagian SDA), informasi (distorsi
informasi, atau informasi yang salah/keliru, sengaja atau tidak), nilai-nilai (agama/budaya/adat/tradisi/moral/etis),
kepentingan (perbedaan kepentingan), hubungan (hubungan primordialis) dan struktur (yang diskriminatif, tidak
adil).
Kita juga dapat mengantisipasi bahwa suatu saat konflik itu akan meledak apabila terdapat unsur ataupun gejala
sebagai berikut. Terdapat kelompok-kelompok penduduk yang masing-masing terpisahkan satu dari yang lain,
berdasarkan identitas atau ciri kelompok itu, misalnya berdasarkan kelompok etnis, agama atau status sosial
(identitas primordialistis).
Juga terdapat perbedaan kelompok-kelompok antara penduduk asli (setempat) dan kelompok-kelompok pendatang,
yang berlainan etnis, agama atau status sosial ekonominya (hubungan primordialistis).
Selain itu, ada kesenjangan sosial antara kelompok-kelompok, baik dalam hal ekonomi, pendidikan maupun dalam
hal kekuasaan. Di samping itu, ada kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalisasi. Ada ketidakadilan
struktural, misalnya pembedaan status dan privileges bagi kelompok tertentu. Ada pergerakan sosial ke atas dalam
masyarakat dari masyarakat yang semula terpinggirkan (upward social mobility dari marginalized groups).
Jalan yang paling baik untuk dapat menghindarkan meletusnya konflik dalam masyarakat adalah mengurangi atau
menyingkirkan gejala-gejala yang tersebut di atas. Hal ini dapat dilakukan dengan social engineering, misalnya:
* Tidak memperkenankan pengelompokan domisili dari kelompok yang sama di daerah atau wilayah yang sama
secara eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili atau perkampungan sebaiknya mixed, atau campuran dan tidak
mengelompok berdasarkan suku (etnis), agama, atau status sosial ekonomi tertentu.
* Masyarakat pendatang dan masyarakat atau penduduk asli juga harus berbaur atau membaur atau dibaurkan.
* Segala macam bentuk ketidak-adilan struktural harus dihilangkan atau dibuat seminim mungkin. Baik
ketidakadilan sosial, ekonomi maupun politik.
* Kesenjangan sosial harus dibuat seminim mungkin, dan sedapat-dapatnya dihapuskan sama sekali.
* Perlu dikembangkan adanya identitas bersama (common identity) misalnya kebangsaan (nasionalisme-Indonesia).
Masyarakat Terpecah
Perlu dicari tokoh masyarakat yang dipercaya dan/ atau dihormati oleh pihak-pihak yang berkonflik, untuk berusaha
menghentikan konflik (conflict intervention), melalui lobi-lobi, negosiasi, diplomasi. Hal ini merupakan usaha peace
making.
Dalam usaha untuk mengembangkan adanya perdamaian yang lestari, atau adanya rekonsiliasi, maka metode yang
dipakai oleh pihak ketiga sebaiknya adalah mediasi dan bukan arbitrase. Dalam arbitrase, pihak ketiga (pendamai)
yang dipercaya oleh pihak-pihak yang bertentangan/berkonflik itu, setelah mendengarkan masing-masing pihak
mengemukakan masalahnya, maka si arbitrator "mengambil keputusan dan memberikan solusi atau
penyelesaiannya, yang "harus" ditaati oleh semua pihak yang berkonflik.
Penyelesaian konflik melalui jalan arbitrase mungkin dapat lebih cepat diusahakan, namun biasanya tidak lestari.
Apalagi kalau ada pihak yang merasa dirugikan, dikalahkan atau merasa bahwa kepentingannya belum diindahkan.
Sebaliknya, mediasi adalah suatu cara intervensi dalam konflik, di mana mediator (fasilitator) dalam konflik ini juga
harus mendapat kepercayaan dari pihak yang berkonflik. Tugas mediator adalah memfasilitasi adanya dialog antara
pihak yang berkonflik, sehingga semuanya dapat saling memahami posisi maupun kepentingan dan kebutuhan
masing-masing, dan dapat memperhatikan kepentingan bersama.
Jalan keluar atau penyelesaian konflik harus diusulkan oleh atau dari pihak-pihak yang berkonflik. Mediator sama
sekali tidak boleh mengusulkan atau memberi jalan keluar/penyelesaian, namun dapat mengajukan pertanyaanpertanyaan yang membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk dapat mengusulkan atau menemukan jalan
penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Mediator tidak boleh memihak, harus "impartial", tidak bias,
dsb.
Mediator harus juga memperhatikan kepentingan-kepentingan stakeholders, yaitu mereka yang tidak terlibat secara
langsung dalam konflik, tetapi juga mempunyai kepentingan-kepentingan dalam atau atas penyelesaian konflik itu.

Wacana KKR_03 15

kli

pin

gE

LS

AM

Kalau stakeholders belum diperhatikan kepentingannya atau kebutuhannya, maka konflik akan dapat terjadi lagi,
dan akan meluas serta menjadi lebih kompleks dan dapat berlangsung dengan berkepanjangan.
Mengembangkan kegiatan pendamaian itu tidak mudah. Ada beberapa tahapan atau perkembangan yang dapat kita
amati yaitu:
a) Peace making (conflict resolution) yaitu memfokuskan pada penyelesaian masalah-masalahnya (isunya: persoalan
tanah, adat, harga diri, dsb.) dengan pertama-tama menghentikan kekerasan, bentrok fisik, dll. Waktu yang
diperlukan biasanya cukup singkat, antara 1-4 minggu.
b) Peace keeping (conflict management) yaitu menjaga keberlangsungan perdamaian yang telah dicapai dan
memfokuskan penyelesaian selanjutnya
pada pengembangan/atau pemulihan hubungan (relationship) yang baik antara warga masyarakat yang berkonflik.
Untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang, sehingga dapat memakan waktu antara 1-5 tahun.
a) Peace building (conflict transformation). Dalam usaha peace building ini yang menjadi fokus untuk diselesaikan
atau diperhatikan adalah perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidak-adilan, kecemburuan,
kesenjangan, kemiskinan, dsb. Waktu yang diperlukanpun lebih panjang lagi, sekitar 5-15 tahun.
Dalam konteks Indonesia akhir-akhir ini, banyak konflik atau kekerasan masyarakat yang sebenarnya bersumber
pada masalah ketidakadilan sosial, budaya dan politik. Konflik-konflik ini sering berubah sifatnya atau berkembang
menjadi konflik atau kekerasan yang bersifat konflik SARA. Ada konflik sosial yang berkembang menjadi konflik
antarpemeluk agama yang berbeda. Sebenarnya tidak ada konflik agama atau konflik dengan kekerasan yang
didasarkan pada ajaran agama, namun secara politis, konflik sosial, budaya dan politik di manipulasikan menjadi
konflik antarumat beragama, atau bahkan konflik antara agama. Simbol-simbol agama sengaja dipakai untuk
mempertajam perbedaan yang menimbulkan pertentangan dan konflik.
Jadi konflik antarumat beragama itu di Indonesia akhir-akhir ini rupa-rupanya sengaja dibuat atau direkayasa oleh
kelompok tertentu atau kekuatan tertentu untuk menjadikan masyarakat tidak stabil. Ketidakstabilan masyarakat ini
dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis maupun ekonomis, oleh berbagai pihak. Hal ini sangat berbahaya,
karena konflik horizontal dapat dimanipulasi menjadi konflik vertikal, sehingga menimbulkan bahaya separatisme
dan disintegrasi nasional atau disintegrasi bangsa.
Sikap Terbuka
Untuk menghadapi masalah-masalah konflik dengan kekerasan yang melibatkan umat berbagai agama dalam suatu
masyarakat, diperlukan sikap terbuka dari semua pihak, dan kemampuan untuk memahami dan mencermati serta
menganalisa sumber-sumber konflik. Demikian juga diperlukan adanya saling pengertian dan pemahaman
kepentingan masing-masing pihak, agar dapat mengembangkan dan melihat kepentingan bersama yang lebih baik
sebagai prioritas, lebih daripada kepentingan masing-masing pihak yang mungkin bertentangan.
Dengan jalan demikian maka kita akan dapat mengembangkan usaha-usaha rekonsiliasi bagi masyarakat yang
mengalami konflik. Sebagaimana dikatakan oleh Archbishop Desmond Tutu dan mantan Presiden Nelson Mandela
dari Afrika Selatan, "without forgiveness there is no future for South Africa," artinya "tanpa adanya pengampunan,
maka tidak ada masa depan bagi Afrika Selatan." Oleh karena itu, Afrika Selatan mengembangkan model
rekonsiliasi nasional dengan menerapkan dan melaksanakan undang-undang tentang Rekonsiliasi Nasional melalui
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission - disingkat TRC).
Rekonsiliasi model Afrika Selatan ini perlu kita pelajari lebih baik dan mendalam, kita lihat apa kesamaankesamaan situasi antara Indonesia dengan Afrika Selatan yang dapat mendukung pelaksanaan rekonsiliasi nasional
di Indonesia. Demikian juga perbedaan-perbedaan yang ada di antara Republik Indonesia dengan Republik Afrika
Selatan yang mungkin menghambat atau yang menghalangi penerapan model ini di Indonesia. Saya yakin bahwa
kita pun di Indonesia perlu memakai prinsip "pengampunan" seperti dianjurkan oleh Nelson Mandela dan Desmond
Tutu di Afrika Selatan
Namun demikian langkah rekonsiliasi nasional itu harus juga menerapkan prinsip-prinsip pokok yang harus menjadi
pedoman dalam membangun masyarakat Indonesia yang baru. Prinsip pokok atau prinsip utama, yang dapat juga
kita sebut sebagai prima norma adalah "kemanusiaan yang adil dan beradab."
Kalau kita menjadikan prinsip ini sebagai prinsip utama dalam kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan
prinsip ini dipegang teguh dan diterapkan oleh semua lembaga negara maupun lembaga kemasyarakatan, oleh
pejabat-pejabat pemerintah baik sipil maupun TNI/ Polri dan juga dilaksanakan oleh partai-partai politik dan
organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, maka saya yakin tidak akan ada daerah (penduduknya) yang mau
memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia, tidak akan ada gerakan separatisme lagi. Apabila
kepentingan dan kebutuhan rakyat daerah itu telah diperhatikan oleh semua pihak secara adil dan beradab, maka
mereka pasti tidak akan merasa perlu untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Wacana KKR_03 16

kli

pin

gE

LS

AM

Mereka juga mengharapkan untuk diperlakukan dengan adil dan dihargai harkat dan martabat kemanusiaan mereka
sama dengan warga negara lain di Indonesia. Kalau demikian maka bahaya disintegrasi bangsa akan semakin hilang
dan akan lenyap dari bumi pertiwi.
Rekonsiliasi nasional model Afrika Selatan ini diterapkan Pemerintah Demokrasi Kulit Hitam (ANC) setelah tokohtokoh politik mereka mempelajari berbagai macam model rekonsiliasi di lain-lain negara. Mereka menolak model
Jerman setelah Perang Dunia II, yaitu dengan melaksanakan pengadilan kejahatan perang (Nurenberg), yang
menerapkan punitive justice atau "keadilan dengan penghukuman." Sebab baik Presiden Nelson Mandela maupun
Ketua TRC Archbishop Desmond Tutu percaya bahwa "without forgiveness there is no future for South Africa."
Dikhawatirkan akan terjadi balas membalas yang tiada habisnya.
Menolak
Mereka juga menolak rekonsiliasi nasional model Chili, yang menerapkan kebijakan blanket amnesty atau
"pengampunan total" tanpa proses pengadilan sama sekali, karena hal ini menyebabkan impunity dan menyalahi
prinsip keadilan. Perlu kita pahami bahwa masalah rekonsiliasi nasional di negara-negara itu khusus menyangkut
pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh penguasa (pejabat negara) terhadap warga masyarakatnya.
Persoalan di Indonesia tentu lebih kompleks. Banyak terjadi konflik-konflik nasional dalam sejarah kita. K