2004 Kumpulan Kliping KKR

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

1

Pansus RUU KKR-04
Kompas, Kamis 19 Februari 2004

Delapan Fraksi Siap Bahas RUU KKR
- F-PDU Menolak

Amanat Tap MPR

LS

AM

Jakarta, Kompas - Setelah lebih kurang dua bulan melakukan rapat dengar pendapat dengan 45 lembaga,
termasuk dengan sejumlah duta besar asing, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya sepakat
untuk membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR).
Dalam pengantar musyawarahnya, delapan fraksi menyatakan setuju serta siap membahas RUU KKR
bersama-sama dengan pemerintah. Sementara itu, Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (F-PDU) menolak.

Hal tersebut mengemuka dalam Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR DPR dengan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung DPR/MPR, Rabu (18/2).
Rapat dipimpin Ketua Pansus Sidarto Danusubroto didampingi Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dan
Mohamad Sofwan Chudhorie.
Dalam Raker kemarin, F-PDU sendiri tidak hadir. Penolakan F-PDU terhadap pembahasan RUU KKR
disampaikan oleh Sidarto selaku Ketua Pansus. "F-PDU pada tanggal 9 Februari 2004 mengirimkan surat
yang intinya menolak RUU KKR," ucap Sidarto dalam sidang tanpa menjelaskan dasar pertimbangannya.
Sementara itu, delapan fraksi lainnya, meski pandangannya cukup beragam, seluruhnya menyatakan siap
membahas RUU tersebut.

pin

gE

F-PDIP dalam pemandangan umumnya, misalnya, menegaskan kembali bahwa rekonsiliasi dan
rehabilitasi nasional merupakan amanat Ketetapan MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional dan satu paket dengan pemberlakuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Rekonsiliasi dan rehabilitasi nasional juga merupakan perintah konstitusi kepada segenap penyelenggara
negara yang sejalan dengan maksud dan tujuan Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 28A-28J tentang

Hak Asasi Manusia.
Optimis selesai

kli

Kendati ada satu fraksi yang tidak menyetujui pembahasan RUU KKR, menurut Sidarto dan Akil,
pembahasan tetap dilanjutkan. Alasannya, mayoritas fraksi telah menyatakan kesiapannya.
Rapat kerja dengan Menkeh dan HAM untuk pembahasan awal, dijadwalkan diadakan 1 Maret 2004.
Sedangkan, Rapat Panitia Kerja mulai diselenggarakan pada masa sidang IV DPR, yaitu setelah Pemilu
2004.
Meski RUU KKR ini sangat kompleks, sementara waktu yang tersedia singkat, Sidarto tetap optimis
pembahasan RUU KKR bisa diselesaikan DPR Periode 1999-2004. "Dengan kerja keras, insya Allah,
RUU KKR bisa selesai oleh DPR periode ini," ucap Sidarto.
Dia khawatir apabila pembahasan RUU KKR diwariskan kepada DPR periode mendatang, pembahasan
akan menjadi lebih berlarut-larut karena harus mulai dari awal lagi. "RUU KKR ini tanggung jawab DPR
periode ini," tegasnya.
Sementara itu, animo dari anggota Pansus sendiri terhadap pembahasan RUU KKR sangat rendah. Hal
tersebut terlihat dari rendahnya tingkat kehadiran anggota dalam rapat-rapat.
Dalam rapat kemarin pun, dari total 50 anggota Pansus, hanya 13 orang yang hadir secara fisik. Sebanyak
13 orang lainnya, titip absen, sedangkan sisanya tidak tahu entah ke mana. (sut)


KLP: Pansus KKR 2004-hal.
Kompas, Senin, 08 Maret 2004

Saatnya Mewujudkan Rekonsiliasi Nasional
Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan hak konstitusional anggota Partai
Komunis Indonesia menjadi calon anggota legislatif maupun terbentuknya Forum Silaturahmi Anak
Bangsa yang mempersatukan keluarga Tentara Nasional Indonesia, PKI, Darul Islam, dan Komunitas
Tionghoa adalah sebuah momentum penting bagi bangsa untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional.

AM

Semangat tersebut juga akan mendorong fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera
menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU
KKR). "Terus terang saya angkat topi pada upaya ini. Generasi muda kita itu lebih sadar pentingnya
rekonsiliasi. Saya juga menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi," ucap Ketua Panitia Khusus
RUU KKR Sidarto Danusubroto, Sabtu (6/3).
Sidarto yang mantan ajudan Presiden Soekarno itu juga berpendapat, Forum Silaturahmi Anak Bangsa
(FSAB) dan putusan MK melengkapi usaha rekonsiliasi nasional. Pasalnya, apabila RUU KKR adalah
produk hukum, FSAB merupakan spirit yang berkembang di masyarakat.


gE

Masa sidang IV

LS

Sementara Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar mengatakan, proses rekonsiliasi tidak bisa
dibentuk secara formal melalui undang-undang semata. Tetapi yang terpenting adalah diupayakan semua
elemen masyarakat melakukan pertemuan informal maupun formal. FSAB tanda penting terwujudnya
rekonsiliasi.

Pembahasan RUU KKR di DPR itu sendiri ditargetkan selesai dalam masa sidang IV DPR. Pasalnya,
apabila pembahasannya dilimpahkan kepada DPR mendatang, dikhawatirkan pembahasan akan menjadi
lebih berlarut-larut lagi.

pin

Sementara itu, mengenai arah dari RUU KKR, menurut Sidarto dan Akil, masih terdapat perbedaan
pandangan. Ada yang berpendapat, tetap perlu adanya pengungkapan kebenaran, ada juga yang

berpendapat cukup pada penekanan adanya rehabilitasi dan rekonsiliasi. "Tapi mayoritas cenderung pada
rehabilitasi dan rekonsiliasi," ucap Sidarto.

kli

Menurut Akil, berkembang juga usulan agar judul RUU KKR diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi
dan Persatuan. Kata kebenaran dihilangkan dikarenakan dirasakan sangat berat untuk mengungkapkan
kebenaran yang sesungguhnya terjadi di masa lalu.
Hentikan pewarisan konflik
Di Cianjur, Rabu pekan lalu, berlangsung Kongres Nasional II Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban
Rezim Orde Baru (LPRKROB). Dalam pidatonya, Ketua LPRKROB Sumaun Utomo mengatakan,
putusan MK mencabut larangan eks anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi terlarang lainnya
untuk menjadi caleg merupakan langkah awal upaya rehabilitasi para korban rezim Orde Baru tersebut.
(sut/evy)

2

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

3


Kompas, Rabu 19 May 2004

Percepat Proses, Pansus KKR langsung Bentuk Panja
(salinan}

Jakarat Kompas – Panitia khusus [Pansus ] Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] mengambil
langkah memotong proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi [RUU-KKR] dengan langsung membentuk panitia kerja [Panja]. Langkah-langkah
tersebut ditemmpuh karena adanya kekhawatiran pembahasan RUU KKR tidak selesai pada
September 2004.

AM

Kesepekatan tersebut dihasilkan dalam Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU KKR DPR dan Hak
Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung MPR/DPR, Selasa, 18 Mei 2004. Rapat
dipimpin oleh Ketua Pansus Sidharta Danusutbroto dari Fraksi Partai Demokrasi IndonesiaPerjuangan [F-PDI-P].
Dalam rapat itu Yusril menyetujui usulan Pansus tersebut. “Pada prinsipnya setuju langsung
bentuk Panja dan yang belum disepakati di Raker langsung dibahas di Panja ujarnya.


LS

Sebelumnya, pembahasan persidangan pasal-pasal dilakukan beberapa putaran pada tingkat rapat
pleno Pansus yang bersifat terbuka. Dengan adanya keputusan itu, nantinya pembahasan
langsung dibawa ke tingkat forum lebih kecil yaitu Panja yang tertutup.

gE

Sidharta sendiri yang ditemui seusai rapat menolak anggapan bahwa keputusan Pansus yang
memotong proses pembahasan didasari tujuan agar membuat pembahasan menjadi tertutup.
Langkah tersebut diambil semata-mata karena ketidaktersediaan waktu.

pin

“Undang-undang ini diharapkan bisa diselesaikan selama masa tugas DPR ini. Mitra kerja juga
penuh dengan rapat undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang Yaysan, Komisi Yudisial
dan sebagainya,” jelas Sidharto.
Wakil Ketua Pansus Sofwan Chudorie dari fraksi Kebangkitan Bangsa menegaskan bahwa rapat
Pansus harus dihadiri oleh menteri. Sedangkan rapat panja bisa dihadiri oleh pejabat sepesialis di
bawah menteri sehingga menjadi lebih leluasa mengatur waktu.


kli

“Dalam keadaan terentu, rapat Panja juga bisa dibuka. Kalau dibuka banyak-banyak kan tidak
enak,” kelakar Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar.
Jumlah DIM

Menurut Sidharta, rapat Panja mulai akan diadakan pda 1 Juni 2004 dalam sembilan kali
pertemuan.
Berdasarkan persandingan daftar inventarisasi masalah (DIM), pasal yang akan dibahas
berjumlah 44 pasal dan terdiri atas 190 butir. Materi yang sudah disepakati dalam rapat Pansus
baru berjumlah 19 butir.
Direktur Jenderal Perundang-Undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Abdul
Gani Abdullah optimistis pembahasan bisa selesai Juli 2004 dengan asumsi setiap hari diadakan
tiga kali pertemuan Panja dan setiap pertemuan berhasil menyelesaikan pembahasan satu atau
dua pasal (SUT).

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

4


Kompas, Rabu 19 May 2004

Percepat Proses, Pansus KKR Langsung Bentuk Panja
Jakarta, Kompas - Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil langkah
memotong proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU
KKR) dengan langsung membentuk Panitia Kerja (Panja). Langkah tersebut ditempuh karena adanya
kekhawatiran pembahasan RUU KKR tidak selesai pada September 2004.

AM

Kesepakatan tersebut dihasilkan dalam Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU KKR DPR dengan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung MPR/DPR, Selasa (18/5). Rapat
dipimpin oleh Ketua Pansus Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Dalam rapat itu, Yusril menyetujui usulan Pansus tersebut. "Pada prinsipnya setuju langsung bentuk Panja
dan yang belum disepakati di Raker langsung dibahas di Panja," ujarnya.

LS

Sebelumnya, pembahasan persandingan pasal-pasal dilakukan beberapa putaran pada tingkat rapat pleno

Pansus yang bersifat terbuka. Dengan adanya keputusan itu, nantinya pembahasan langsung dibawa ke
tingkat forum lebih kecil, yaitu Panja yang tertutup.
Sidharto sendiri yang ditemui seusai rapat menolak anggapan bahwa keputusan Pansus yang memotong
proses pembahasan didasari tujuan agar membuat pembahasan menjadi tertutup. Langkah tersebut diambil
semata-mata karena ketidaktersediaan waktu.

gE

"Undang-undang ini diharapkan bisa diselesaikan selama masa tugas DPR ini. Mitra kerja juga penuh
dengan rapat undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang Yayasan, Komisi Yudisial dan sebagainya,"
jelas Sidharto.

pin

Wakil Ketua Pansus Sofwan Chudhorie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menegaskan bahwa rapat Pansus
harus dihadiri oleh menteri. Sedangkan rapat panja bisa dihadiri oleh pejabat spesialis di bawah menteri
sehingga menjadi lebih leluasa mengatur waktu.
"Dalam keadaan tertentu, rapat Panja juga bisa dibuka. Kalau dibuka banyak-banyak kan tidak enak,"
kelakar Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar.


kli

Jumlah DIM

Menurut Sidharto, rapat Panja mulai akan diadakan pada 1 Juni 2004 dalam sembilan kali pertemuan.

Berdasarkan persandingan daftar inventarisasi masalah (DIM), pasal yang akan dibahas berjumlah 44
pasal dan terdiri atas 190 butir. Materi yang sudah disepakati dalam rapat Pansus baru berjumlah 19 butir.
Direktur Jenderal Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Abdul Gani
Abdullah optimistis pembahasan bisa selesai Juli 2004 dengan asumsi setiap hari diadakan tiga kali
pertemuan Panja dan setiap pertemuan berhasil menyelesaikan pembahasan satu atau dua pasal. (sut)

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

5

Kompas, Rabu, 26 Mei 2004

RUU KKR di Tengah Tarikan Kepentingan
SETAHUN sudah, Sumaun Utomo, salah satu korban kemanusiaan 1965, dengan mengiba-iba datang ke
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pria yang sudah berumur itu memohon agar
pemerintah segera mengeluarkan keputusan presiden (keppres) untuk merehabilitasi korban Tragedi
Kemanusiaan Tahun 1965.

AM

DIA pesimis, proses rehabilitasi melalui jalur Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) bisa segera
terlaksana. Dia tidak yakin, Rancangan Undang-Undang KKR akan selesai satu atau dua tahun. "Inilah
kesempatan Presiden dengan hak prerogatifnya untuk mengeluarkan Keppres Rehabilitasi. Mumpung
kami sebagai korban hidup dan penanggungjawabnya Soeharto juga masih hidup," ujar Sumaun lirih.
Beratnya penderitaan yang dialami korban kemanusiaan 1965 sulit dilukiskan. Mereka banyak yang
dihukum tanpa proses pengadilan. Hartanya dirampas. Keturunannya mendapatkan perlakuan
diskriminatif.

Penantian panjang

LS

Kini, setelah rezim Soeharto berganti dan presiden berganti hampir empat kali, mulai dari BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid, serta Megawati Soekarnoputri, dan sebentar lagi Pemilu Presiden, mereka belum
juga mendapatkan rehabilitasi.

gE

Apakah kegelisahan Sumaun ini benar-benar akan menjadi penantian tanpa harapan? Yang jelas, hari ini,
Rabu (26 Mei 2004), setahun sudah usia RUU KKR. Pada 26 Mei 2003, Presiden Megawati
Soekarnoputri menyerahkan draf RUU KKR ke DPR untuk dibahas.

pin

RUU KKR tersebut tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi lebih menitikberatkan
pengungkapan kebenaran, pemberian kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan memberi
amnesti pada pelaku untuk membuka jalan rekonsiliasi.
Pokok pikiran yang melandasi RUU KKR ini adalah bermaksud menelusuri kebenaran serta menegakkan
keadilan terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang (UU)
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

kli

RUU KKR juga merupakan amanat Ketetapan MPR V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional, dan perintah UU No 26/2000. Pasal 27 UU No 26/ 2000 mengamanatkan
"Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup
kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi".

Sampai saat ini, RUU KKR itu masih juga samar-samar. Pembahasan rancangan ini di Senayan baru
memasuki tahap pembahasan pasal-pasal. Rapat Panitia Kerja untuk membahas pasal secara terperinci
baru akan dimulai 1 Juni 2004. Sementara itu, masa kerja DPR tinggal tersisa sekitar empat bulan dan itu
pun belum dipotong masa reses dan kesibukan kampanye menghadapi Pemilu Presiden. Materi RUU
KKR tidak terlalu banyak dibandingkan dengan RUU lainnya. RUU ini hanya terdiri dari 10 bab dan 44
pasal.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR Sidharto Danusubroto dan Wakil Ketua Pansus RUU KKR
Sofwan Chudhorie sendiri optimis RUU KKR dapat diselesaikan sebelum masa kerja DPR 1999-2004
berakhir. Kendati demikian, kalau mencermati persandingan pandangan fraksi terhadap pasal yang
diajukan pemerintah, pembahasan kemungkinan besar akan berjalan alot.

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 6
BERBEDA dengan pembahasan RUU lainnya, perdebatan RUU KKR sudah dimulai dari perdebatan
judul. Pemerintah dan sembilan fraksi di DPR memiliki pandangan yang berbeda. TNI/Polri, misalnya,
sikapnya jelas. Mereka menghendaki agar RUU ini menonjolkan semangat rekonsiliasi tanpa
pengungkapan kebenaran. F-TNI/Polri menghendaki judul RUU ini diubah menjadi RUU tentang Komisi
Rekonsiliasi, bukan RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seperti diusulkan pemerintah.
Fraksi Reformasi sebaliknya. Mereka mengusulkan judul RUU KKR mempertegas aspek
pertanggungjawaban para pelaku. Mereka mengusulkan judul "RUU tentang Komisi Pertanggungjawaban
dan Rekonsiliasi".

AM

Ada juga fraksi yang menekankan aspek legalitas formal. Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), misalnya,
mengusulkan agar judulnya disesuaikan dengan Ketetapan MPR V/MPR/2000 yang memerintahkan
pembentukan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional".
Dikarenakan pendapat tersebut tidak mencapai titik temu, akhirnya sementara disepakati untuk tetap
memberi judul RUU ini seperti usulan pemerintah tetapi nantinya disesuaikan dengan perkembangan
pembahasan yang terjadi.

LS

Padahal, judul mencerminkan isi. Kalau judul saja belum pasti, bagaimana dengan isinya nanti?
Pandangan fraksi-fraksi pun masih berbeda-beda tentang definisi korban, pelaku, maupun ganti rugi,
seperti kompensasi, amnesti, restitusi, rehabilitasi.

gE

Dalam RUU yang diajukan pemerintah, korban didefinisikan sebagai orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau
mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.
F-PDIP mengusulkan untuk mempersempit korban, yaitu khusus pada yang mengalami akibat langsung
dari pelanggaran HAM berat.

pin

Sementara itu, F-PBB malah meluaskan definisi korban. F-PBB mendefinisikan ahli waris sebagai janda
atau duda, dan anak dari korban. Sedangkan untuk yang tidak mempunyai istri, suami, dan anak adalah
orang tua atau kakek dan nenek. Bagi yang tidak mempunyai seluruhnya adalah cucu.

kli

F-PBB juga mengusulkan agar pelaku didefinisikan. Pelaku didefinisikan sebagai orang perseorangan,
kelompok satuan atau institusi yang melakukan pelanggaran HAM yang berat baik langsung maupun tidak
langsung atau orang yang membantu, memberi izin, mentolerir, dan membiarkan terjadinya pelanggaran
HAM yang berat tersebut.
Perbedaan pandangan juga masih terjadi pada rumusan pasal soal ganti rugi. Pendefinisian kompensasi,
misalnya, pemerintah mendefinisikannya sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada
korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk
perawatan kesehatan fisik dan mental.
F-PDIP menginginkan agar kompensasi tersebut disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Sementara F-TNI/Polri mengusulkan agar ditegaskan bahwa kompensasi tersebut tidak dinilai secara
material. Tujuannya agar pemberian kompensasi ini tidak menjadi preseden dan menimbulkan
permasalahan baru. Sebaliknya, F-PBB justru menekankan kesetaraan nilai kompensasi yang diberikan
dengan penderitaan korban.

KLP: Pansus KKR 2004-hal.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau
keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

7

Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan,
atau hak- hak lain. Fraksi Reformasi menghendaki pemulihan tersebut menyangkut pemulihan fisik dan
mental.

AM

Terakhir soal amnesti. Pemerintah mengusulkan pengampunan diberikan oleh Presiden selaku Kepala
Negara kepada pelaku pelanggaran HAM berat. F-PDIP dan Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia
(FKKI) menghendaki agar amnesti itu diberikan Presiden atas saran/usul dari Komisi. Demikian juga soal
tugas, fungsi, kedudukan, keanggotaan, dan proses perekrutan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tajam. Tarik- menarik kepentingan memang terasa.
Materi Daftar Inventarisasi Masalah yang akan dibahas Panitia Khusus RUU KKR berjumlah 190 butir.
Mencermati perbedaan pandangan yang terjadi antarfraksi, masih akan membutuhkan waktu panjang.

LS

PANSUS sendiri kelihatannya belum menaruh perhatian besar pada RUU KKR ini. Terlihat, dari 50
anggota pansus, hanya beberapa orang saja yang aktif mengikuti rapat. Rapat kerja dengan Menteri
Kehakiman dan HAM pekan lalu hanya dihadiri 28 orang dari total 50 anggota. Dari sejumlah itu, yang
hadir secara fisik 12 orang, sedangkan 16 orang selebihnya menyatakan izin.

gE

Padahal, seperti diketahui bahwa Sumaun tidak sendirian. Pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh
rezim Soeharto sejak tahun 1965-1998 melibatkan jutaan warga. Pelanggaran HAM itu antara lain
Peristiwa G30S yang sekarang masih gelap (1965-1975); Penembakan Misterius (tahun 1975-1985);
Peristiwa Tanjung Priok, Talang Sari, Haur Koneng, DOM Aceh, Timtim, dan Papua (1985-1995); Kasus
27 Juli 1996, dan Kerusuhan Mei (1995-1998).

kli

pin

Padahal, seperti dikutip Bambang A Sipayung dari Jenifeer Llewelyn dalam artikelnya di Kompas,
rekonsiliasi harus memberi prioritas pada penderitaan korban. Tanpa memperhatikan korban, rekonsiliasi
bagai menggantang asap. (sutta dharmasaputra)

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

8

Koran Tempo, Sabtu, 29 Mei 2004

Pansus DPR: Rekonsiliasi Harus Dibarengi Rehabilitasi
JAKARTA --- Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
sepakat bahwa rekonsiliasi harus dibarengi dengan rehabilitasi. Sebab, saat ini masih banyak korban yang
terbebani dengan masalah politik. Demikian diungkapkan Ketua Pansus KKR, Sidahrto Danusubroto, di
gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin. Bersama Wakil Ketua Pansus KKR, Sofwan Chudorie, ia
menceritakan pengalamannya berkunjung ke Afrika Selatan pada 23-27 Mei.

AM

Kunjungan wakil rakyat itu dimaksudkan untuk mempelajari model rekonsiliasi yang dilakukan negara
yang pernah dilanda konflik politik apartheid (perbedaan warna kulit) pada 1652-1994 dan selesai saat
Nelson Mandela memimpin negeri itu. Mereka bertemu dengan Ketua Human Rights Foundation Yasmin
Sooka, Ketua Komnas HAM Afsel Jody Kollapen, dan beberapa anggota parlemen setempat. Dalam
pertemuan itu diungkapkan bagaimana negara Afsel mencapai rekonsiliasi itu. "Setelah menjadi presiden,
Mandela yang pernah ditahan dan dipenjarakan oleh penguasa kulit putih justru mengajak orang yang
pernah menyiksa itu duduk satu meja," kata Sidharto.

LS

Sidharto menjelaskan, ketika komisi rekonsiliasi Afsel terbentuk, sekitar 80 petinggi militer dan polisi
datang memenuhi panggilan dan menceritakan kebenaran yang sesungguhnya. Para petinggi militer itu
mau datang karena Mandela sebagai presiden sudah memberikan contoh sehingga tidak ada alasan untuk
tidak mencontohnya. "Meski secara hukum masalah di sana sudah selesai, dari segi kultur masih harus
diselesaikan secara bertahap. Sekarang di sekolah diajarkan masalah HAM, arti diskriminasi, dan lainlain," ujarnya.

pin

gE

Mengenai kompensasi, menurut Sidharto, Afrika Selatan tidak menerapkan dengan cara ganti rugi berupa
uang tapi melalui program berupa pembangunan perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu,
Sofwan Chudorie menambahkan, setelah melihat dan belajar dari Afsel maka nantinya kemungkinan
komisi yang bisa dibentuk di Indonesia harus menghilangkan diskriminasi. Artinya, semua masalah yang
merugikan hak-hak warga negaranya harus dipulihkan martabatnya. "Masa lalu itu tetap diungkap
kemudian diakui bareng-bareng baru dilakukan rehabilitasi kepada kelompok-kelompok itu. Jadi tidak
melalui prosedur formal karena di sini tak ada kebenarannya. Sebab kalau ada kebenarannya kita terikat
dengan prosedur formal," ujar dia.

kli

Sofwan mencontohkan, pada waktu terjadi keributan 1965 Soekarno membentuk fact finding vision.
Pembentukan itu, kata dia, hanya untuk mengetahui kenyataan di lapangan seperti apa. "Sehingga ada
terapi yang bersifat politis yang bisa meredam gejolak akibat kejadian itu. Saya bayangkan itu seperti ini,"
ujarnya. (fajar wh)

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

9

Kompas, Sabtu 29 Mei 2004

Kebenaran Masa Lalu dan Rekonsiliasi
Oleh Bambang A Sipayung
DALAM pembahasan UU Rekonsiliasi di DPR, muncul diskusi yang patut direnungkan. Fraksi TNI/Polri
menghendaki penghilangan kata kebenaran dan lebih menekankan aspek masa depan daripada masa lalu.

AM

Djasri Marin, anggota pansus dari Fraksi TNI/Polri mengatakan, "Bila semuanya diungkap jauh dari rujuk
karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu menuju masa depan." Elsam menolak usulan ini
dengan alasan, catatan masa lalu berguna bagi pembelajaran demi menghindari pelanggaran HAM di masa
depan dan efek penjeraan (Kompas, 24/5). Mengungkap masa lalu diharapkan menjadi proses belajar
menyadari kesalahan dan jera untuk melakukannya lagi.

LS

SAYA tertarik memberi catatan dalam diskusi sekitar kebenaran dan masa lalu. Pusat diskusi kebenaran
dalam rekonsiliasi ialah apa yang telah terjadi. Ada tarik-menarik antara persepsi kelompok hak asasi
manusia dan korban dengan konsepsi para protagonis konflik masa lalu. Bagi kelompok pertama,
pengungkapan kebenaran menjadi prasyarat rekonsiliasi. Sebaliknya bagi kelompok terakhir terlalu
banyak berkutat dengan masa lalu hanya meningkatkan ketegangan dan mempertajam perpecahan di
masyarakat. Dalam konteks seperti inilah kiranya tarik-menarik antara usul penghilangan kata kebenaran
dari Fraksi TNI/Polri dan penolakan oleh Elsam bisa diletakkan.

gE

Apakah kebenaran dan masa lalu? Dalam konteks Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di negara-negara
Amerika Selatan dan Afrika, kebenaran ingin dipahami sebagai suatu "rekaman masa lalu yang otoritatif".
Otoritas itu bisa diupayakan dengan mentransformasi kebenaran menjadi suatu "pengetahuan obyektif".
Dalam konteks ini, catatan sejarah mengenai pelanggaran hak asasi manusia direkam dan diajukan sebagai
bukti tentang apa yang telah terjadi. Salah satu kritik terhadap pendekatan ini ialah hilangnya
subyektivitas dan konteks individu demi kepentingan obyektif. Hak asasi individu sering dijauhkan dari
konteksnya, ditelanjangi makna subyektifnya bagi upaya mendapatkan fakta legal obyektif.

pin

Kritik ini melahirkan gagasan kebenaran sebagai suatu pengakuan. Standar obyektivitas dan legal tidak
menjadi paling utama meski perlu. Jennifer J Llwellyn menyebutnya sebagai kebenaran intersubyektivitas
yang diperoleh lewat konfrontasi antara pihak-pihak terkait, yaitu antara korban, pelaku kejahatan, dan
komunitas. Masing-masing pihak menceritakan "kebenaran" suatu peristiwa menurut versinya.

kli

Menurut Howard Zehr, subyektivitas kebenaran seperti ini bagi korban merupakan kesempatan agar
penderitaan, rasa sakit, atau mimpi buruk mereka bisa disentuh dan didengarkan, sekaligus memperoleh
kembali kontrol atas hidupnya dan mempertahankan haknya. Kendali itu menjadi nyata saat korban
menyampaikan maaf dan pengampunan kepada pelaku kekerasan.
MESKI memberi prioritas kepada korban, kebenaran yang melibatkan pengakuan ikut menyentuh pelaku
tindak kekerasan. Bagi pelaku tindak kekerasan, pengakuan akan kesalahan atau kekeliruan yang telah
terjadi menjadi sumbangan penting dalam proses rekonsiliasi. Sama seperti para korban, rekonsiliasi
merupakan undangan kepada pelaku langsung tindak kekerasan untuk mengisahkan apa yang telah
dilakukan, menemukan, dan mengakui kekeliruan yang telah terjadi. Pengakuan atas apa yang terjadi,
kekeliruan dan kesalahannya, serta permohonan maaf menjadi bagian di mana pelaku tindak kekerasan
ikut ambil bagian dalam rekonsiliasi dan membangun hidup bersama.
Menampilkan kisah seorang pemerkosa atau pelaku pembunuhan peristiwa Mei 1998 dalam forum publik
bisa menjadi suatu cara untuk menyingkap apa yang terjadi. Memang ada kecenderungan untuk menilai
orang-orang seperti ini sebagai monster keji tak berperasaan.

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 10
Namun, berdasarkan analisis psikologis terhadap tentara, agas (child soldiers), dan pelaku tindak
kekerasan lainnya terlihat adanya penderitaan psikis berupa mimpi-mimpi buruk, gejala pengucilan diri,
ketakutan, dan depresi akibat pembunuhan, pemerkosaan, atau kekerasan lain yang mereka lakukan.
Rekonsiliasi perlu menyentuh pengalaman seperti ini.
Di luar dua aktor langsung ini, ada komunitas yang menjadi lingkup besar kehadiran korban dan pelaku
kekerasan. Ketidaktahuan yang melahirkan asumsi negatif terhadap korban maupun pelaku tindak
kekerasan sering menjadi sikap kelompok ini. Mereka seakan berdiri sebagai penonton yang cenderung
menilai segala sesuatu berdasar kriteria bad guy dan good guy. Menampilkan kisah korban dan pelaku
tindak kekerasan adalah upaya menginformasikan yang terjadi secara berimbang. Di sana kisah itu
menantang komunitas penonton untuk terlibat reintegrasi korban dan pelaku kejahatan.

AM

Kebenaran dalam proses rekonsiliasi dengan demikian menjadi perjumpaan naratif. Masing-masing pihak
diberi ruang kebebasan subyektif untuk berkisah. Perjumpaan naratif seperti ini, selain bernilai sebagai
proses penyembuhan sosial, menurut Marcia Byrom Hartwell, juga bernilai sebagai forum publik untuk
mengakui penderitaan yang mendalam dan hampir tak terungkapkan akibat rasa kehilangan. Dalam arti
ini, perjumpaan naratif menjadi panggung bersama (common platform) bagi martabat dan rasa hormat
terhadap pengalaman semua orang.

gE

LS

Sebagai suatu perjumpaan naratif yang melibatkan pengakuan pihak yang terlibat peristiwa kekerasan,
masa lalu tentu menjadi bagian integral yang perlu dihormati. Menutupnya atau melupakannya, terutama
yang terkait tindak kekerasan, demi alasan suci dan baik seperti masa depan bisa menjadi bom waktu
tindak kekerasan berikutnya. Pendapat ini diyakini para penganut teori duka (grievance theory) dalam
menjelaskan sebab-sebab kekerasan. Menurut teori ini, tindak kekerasan terjadi akibat represi masa lalu
kekerasan. Duka berubah menjadi kepahitan, dendam, dan pembalasan dendam.

pin

MENEMPATKAN problem kebenaran, masa lalu, dan masa depan dalam rekonsiliasi di Indonesia,
terutama menantang dan menggugat sikap ksatria para serdadu, entah sebagai institusi dan terutama
pribadi untuk berkisah dan mengakui apa yang terjadi. Meneruskan lagu lama bahwa tentara sebagai
penyelamat RI kiranya butuh elaborasi masa lalu dan kisah pengakuan mengapa dan bagaimana korban
bisa jatuh.

kli

Ini bukan soal mengorek luka lama atau menyalahkan, tetapi keberanian dan sikap ksatria untuk menatap
realitas. Tentu akan menarik bila para calon presiden, terutama yang mantan militer, berani berkisah apa
yang terjadi pada peristiwa Mei 1998, mengakui apa yang keliru dan bila perlu memohon maaf daripada
ramai saling tuding, menampilkan kepahlawanannya dan melancarkan negative campaign kepada
pesaingnya.
Bambang A Sipayung Mahasiswa S-2 Teologi Sanata Dharma Yogyakarta

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 11
Kompas, Senin, 31 Mei 2004

Masih Perlu Belajar Cara Berdamai dari Afrika
Afrika Selatan baru merdeka sepuluh tahun. Indonesia sudah merdeka jauh lebih lama, yaitu lebih dari
lima puluh tahun. Namun, Indonesia sepertinya masih harus belajar banyak dari negara itu untuk berdamai
dengan masa lalu.< p>

AM

Demikian kesan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (RUU KKR) Sidharto Danusubroto dari studi banding ke Afrika Selatan selama empat hari,
mulai 23-26 Mei 2004. Mantan ajudan Presiden Soekarno yang juga pernah mengalami karantina politik
selama empat tahun di masa rezim Soeharto itu sungguh terkesan dengan kebesaran jiwa Nelson Mandela.
"Dia ditahan 27 tahun, dia diperlakukan kasar oleh penjaganya. Akan tetapi, salah satu kebesaran jiwa
beliau, penjaga kulit putih yang pernah memperlakukan dia dengan kasar itu, waktu dia terpilih sebagai
presiden, duduk dalam satu meja," jelas anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
itu saat ditemui di Gedung MPR/DPR, Jumat (28/5).

LS

Kebesaran jiwa Nelson Mandela itulah yang mendorong petinggi militer maupun polisi, sekitar 70 orang,
bersedia memberikan pengungkapan kebenaran.

gE

Wakil Ketua Pansus Sofwan Chudhorie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menangkap kesan sama. Sofwan
yang di era Orde Baru pernah sempat keluar masuk tahanan dan dicekal sekitar sepuluh tahun karena
dianggap "menghina" Soeharto itu juga mengakui bahwa tidak mudah menumbuhkan semangat
rekonsiliasi di Indonesia. "Kalau bangsa Afrika Selatan itu senang berdamai, kita ini kelihatannya
senangnya bermusuhan," ucapnya berkelakar.

pin

Dalam kunjungannya tersebut, pimpinan Pansus RUU KKR sempat mengunjungi Musium Apartheid di
kawasan Gold Reef City, Johannesburg; berdialog dengan Ketua Human Rights Foundation Afrika
Selatan Yasmin Sooka yang juga mantan anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC); Ketua
Komnas HAM Afsel Jody Kollapen; serta anggota Parlemen Afrika Selatan.
RUU KKR itu sendiri sudah dimasukkan oleh pemerintah ke DPR lebih kurang satu tahun lalu. Beberapa
waktu lalu, Pansus sudah mengundang banyak lembaga untuk mendapatkan masukan. Direncanakan,
mulai 1 Juni 2004 ini akan diadakan pembahasan intensif di tingkat panitia kerja. Akan tetapi, sayangnya,
pembahasan RUU ini berlangsung tertutup.

kli

Berdasarkan persandingan daftar inventarisasi masalah (DIM), setiap fraksi masih memiliki pandangan
yang berbeda-beda. Ada yang menghendaki rekonsiliasi dilakukan tanpa pengungkapan kebenaran, ada
yang berpendapat pengungkapan kebenaran sebagai keharusan. Fraksi-fraksi juga masih berbeda pendapat
dalam banyak hal, mulai dari judul RUU, definisi korban, pelaku, amnesti, rehabilitasi, restitusi, maupun
proses seleksi anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Kendati masih banyak perbedaan pandangan, menurut Sidharto dan Sofwan, sudah ada kesepakatan target
minimum bahwa rekonsiliasi harus disertai rehabilitasi. Semangat rekonsiliasi ini adalah menghapuskan
diskriminasi dalam politik.
Menurut Sofwan, kalaupun ada pengungkapan kebenaran, tidak akan kasus per kasus. Pengungkapan
kebenaran secara formal, menurutnya, sulit dilaksanakan karena dikhawatirkan bisa menimbulkan
persoalan baru.

kli

pin

gE

LS

AM

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 12
Permasalahan yang terjadi di Indonesia juga lebih kompleks ketimbang yang dihadapi Afrika Selatan
karena memiliki kompleksitas kadar tinggi. "Saya kenal bangsa Indonesia. Bangsa kita ini banyak
didominasi oleh rasanya ketimbang rasio," ujarnya. (sut)

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 13
Sinar Harapan, Senin, 31 Mei 2004

RUU KKR Digarap Amatir

AM

JAKARTA – Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (RUU KKR) sudah memasuki usia satu tahun pada tanggal 26 Mei 2004. Namun
pembahasan mengenai RUU KKR ini mengalami perdebatan yang panas, baik di dalam maupun di luar
gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Di luar gedung, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan korban pelanggaran HAM meneriakkan
pentingnya kebenaran dengan cara meluruskan sejarah untuk menuju rekonsiliasi. Sementara di dalam
gedung, tarik menarik kepentingan politik antar fraksi sangat kentara dalam setiap pembahasan sejak dari
judul hingga isi.

gE

LS

Tak pelak, penanganan RUU KKR yang merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM dan Ketetapan MPR V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional ini, dinilai beberapa kalangan telah digarap secara amatir.
Dengan alasan ketersediaan waktu, Rapat Kerja (Raker) Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR dengan
Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia (Menkeham) Yusril Ihza Mahendra, Selasa (18/5)
mengambil langkah memotong proses pembahasan RUU KKR dengan langsung membentuk Panitia Kerja
(Panja). Rapat ini akan dimulai pada esok (1/6) dan direncanakan akan dilakukan dalam sembilan kali
pertemuan. Pasal yang akan dibahas berjumlah 44 pasal dan terdiri atas 190 butir. Materi yang sudah
disepakati dalam rapat Pansus baru berjumlah 19 butir.
Draf RUU KKR yang diserahkan Presiden Megawati pada 26 Mei 2003 ke DPR tidak mengatur tentang
proses penuntutan hukum, tetapi lebih menitikberatkan pada pengungkapan kebenaran, pemberian
kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan memberi amnesti pada pelaku untuk membuka
jalan rekonsiliasi.
Namun demikian, hingga kini pembahasan RUU KKR masih belum jelas. Rapat Panitia Kerja untuk
membahas pasal secara terperinci baru akan dimulai 1 Juni 2004. Sedangkan, masa kerja DPR tinggal
tersisa sekitar empat bulan. Materi RUU KKR hanya terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.

kli

pin

Debat Judul
Sebelumnya, perdebatan alot sudah dimulai dari penentuan judul. Pemerintah dan sembilan fraksi di DPR
memiliki pandangan yang berbeda. Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) misalnya, mengusulkan agar
judulnya disesuaikan dengan Ketetapan MPR V/MPR/2000 yang memerintahkan pembentukan "Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional".
Fraksi TNI/Polri secara tegas menghendaki perubahan Judul. Fraksi ini mengusulkan agar RUU ini
menonjolkan semangat rekonsiliasi dan meminggirkan pengungkapkan kebenaran.
Di sisi lain, Fraksi Reformasi mengusulkan judul RUU KKR dipertegas lebih pada aspek
pertanggungjawaban para pelaku. Mereka mengusulkan RUU KKR diberi judul “RUU tentang Komisi
Pertanggungjawaban dan Rekonsiliasi".
Karena tidak mendapatkan titik temu, akhirnya judul RUU ini untuk sementara tetap disepakati seperti
usulan pemerintah. Perdebatan lebih sengit terjadi dalam pembahasan tentang isi. Pandangan fraksi-fraksi
berbeda-beda tentang definisi korban, pelaku, maupun ganti rugi.
Dalam draf yang diajukan pemerintah, korban didefinisikan sebagai orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau
mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.
Menanggapi hal itu, F-PBB malah meluaskan definisi korban. F-PBB mendefinisikan ahli waris sebagai
janda atau duda, dan anak dari korban. Untuk yang tidak mempunyai istri, suami, dan anak ahli warisnya
adalah orang tua atau kakek dan nenek, bagi yang tidak mempunyai seluruhnya adalah cucu.
Fraksi ini juga mengusulkan pendefinisian pelaku sebagai orang perseorangan, kelompok satuan atau
institusi yang melakukan pelanggaran HAM yang berat baik langsung maupun tidak langsung atau orang
yang membantu, memberi izin, menolerir, dan membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat

kli

pin

gE

LS

AM

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 14
tersebut.
Berbeda dengan FPBB, F-PDIP justru mengusulkan mempersempit pendefinisian korban yang khusus
mengalami akibat langsung dari pelanggaran HAM berat. Berkaitan dengan rehabilitasi yang menyangkut
kehormatan, jabatan, nama baik Fraksi Reformasi menghendaki pemulihan tersebut menyangkut
pemulihan fisik dan mental. Soal amnesti, pemerintah mengusulkan pengampunan diberikan oleh Presiden
selaku Kepala Negara kepada pelaku pelanggaran HAM berat.
Pansus sendiri dalam menangani RUU ini dinilai amatir. Menurut data Lembaga Studi & Advokasi
Masyarakat (Elsam), dari 50 anggota pansus, hanya beberapa orang saja yang hadir dalam beberapa kali
sidang. Jika RUU KKR ini digarap secara amatir maka dikhawatirkan bangsa ini tidak akan pernah belajar
atas kesalahan yang terjadi di masa lalu.
Padahal seperti yang dikatakan Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, sebuah bangsa
tanpa ingatan sosial adalah sebuah bangsa tanpa masa depan.
Melanggengkan ingatan sosial adalah upaya untuk mencegah repetisi kekerasan. Menghidupkan ingatan
sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan masa
lampau yang tragis dan melukai ingatan sosial. ***

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 15
Kompas, Selasa, 20 Juli 2004

Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Titik Beratkan
Rekonsiliasi
Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU
KKR) ternyata sudah semakin mengerucut pada penekanan aspek rekonsiliasi, bukan pengungkapan
kebenaran.
Ada kecenderungan kuat, judul RUU yang semula bernama RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi atau RUU Komisi Persatuan Nasional untuk Rekonsiliasi.

AM

"Judulnya kemungkinan diubah. Titik beratnya pada persatuan nasional, rekonsiliasi nasional. Ini wacana
yang berkembang," papar Ketua Pansus RUU KKR Sidharto Danusubroto, Minggu (18/7).

LS

Menurut politisi senior dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, tidak ada RUU yang
sempurna. Setiap pembahasan RUU tidak lepas dari kompromi politik. "Bahwa nanti ada penyempurnaan
kembali oleh DPR hasil pemilu, itu lain soal. Yang utama, para korban pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu tidak lagi mengalami diskriminasi politik. Masa masalah itu tidak selesai-selesai," ucapnya.
Ditanya apakah langkah itu juga diambil terkait kemungkinan terjadinya pergantian pemerintahan seusai
pemilu, Sidharto enggan berkomentar. "Wah, soal itu saya tidak mau komentar ya. Saya tidak mau
berandai-andai. Kita positive thinking sajalah," ucap mantan ajudan Bung Karno itu.

gE

Pada rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sekitar April 2004, unsur Tentara
Nasional Indonesia (TNI) di DPR menghendaki agar judul RUU KKR diubah menjadi RUU Komisi
Rekonsiliasi. Kata kebenaran dihilangkan dengan alasan agar tercipta suasana yang rujuk di antara anak
bangsa. Fokus dari RUU KKR diharapkan juga menekankan aspek masa depan, bukan masa lalu.

pin

"Kalau semuanya diungkap, jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu dan
menuju masa depan," kata anggota Pansus dari Fraksi TNI, Mayjen TNI Djasri Marin, saat itu.

Tarik usulan

kli

Pembahasan RUU KKR itu sepertinya dipercepat mengingat masa tugas DPR akan segera berakhir 30
September 2004. Tidak seperti biasanya, seluruh fraksi sepakat menarik puluhan usulan penyempurnaan
pasal-pasal, mulai dari butir Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke-93 hingga DIM terakhir, yaitu nomor
190. Mereka sepakat sepenuhnya menerima usulan pemerintah karena beranggapan hanya bersifat
perubahan redaksional.
Pembahasan yang masih belum tuntas, jelas Sidharto, tinggal tersisa tiga persoalan. Pertama, menyangkut
jumlah anggota komisi. Berkembang usulan, jumlah anggota komisi ditambah menjadi 27 orang. Dalam
RUU KKR usulan pemerintah dicantumkan 15 orang.
Hal lain yang belum mencapai kata sepakat adalah juga tentang masa kerja komisi. Dalam RUU diusulkan
tiga tahun dan dapat diperpanjang selama dua tahun. (sut

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 16
Kompas, Selasa 03 Agustus 2004

Batas Waktu Pengungkapan Masa Lalu Masih Jadi Perdebatan
Jakarta, Kompas - Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat masih menyisakan perdebatan
mengenai batas waktu pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu, keanggotaan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) serta masa kerja KKR. Namun demikian, perdebatan substansial tersebut diyakini
bisa diselesaikan oleh DPR periode 1999-2004.

AM

Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar kepada Kompas di Jakarta, Senin
(2/8). Politisi dari Partai Golkar ini mengatakan, Panja kembali akan melakukan rapat pembahasan pada
masa reses, yakni 9-12 Agustus 2004.
Sementara Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim mendesak
DPR agar menyelesaikan pembahasan RUU KKR dalam periode sekarang ini. "RUU KKR sudah dibahas
cukup lama sehingga kalau ditunda pada DPR hasil Pemilu 2004, akan dihadapkan pada realitas politik
yang berbeda," kata Ifdhal selain RUU KKR adalah perintah Ketetapan MPR No V/MPR/2000.

LS

Akil merasa yakin DPR mampu menyelesaikan pembahasan RUU KKR. "Ini perintah Tap MPR dan juga
UU No 26/2000 mensyaratkan pembentukan RUU KKR, selain RUU KKR ini telah lama berada di DPR,"
kata Akil.

Soal waktu

gE

Mengenai judul RUU, Akil mengatakan judul memang belum disepakati, tapi ia yakin judulnya tetap
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

pin

Dalam draf pemerintah, pemerintah tidak memberikan batasan sampai tahun berapa KKR berwenang
untuk mengungkapkan kebenaran atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM pada masa lalu. Dalam
perdebatan di Panja DPR, kata Akil, berkembang pemikiran perlu adanya pembatasan hingga tahun
tertentu. "Ada yang mengusulkan sejak tahun 1945 tapi ada juga yang mengusulkan sejak tahun 1965 atau
1967. Itu belum diputuskan," kata Akil.

kli

Menurut Ifdhal, RUU KKR perlu memberikan batas waktu yang jelas, sampai tahun berapa KKR bisa
melakukan penyelidikan. "Kalau saya mengusulkan sejak 1965 hingga 2000, karena pada masa itulah
masih terjadi perdebatan di masyarakat," katanya.
Sedang mengenai masa kerja Komisi, Akil mengatakan, dalam draf awal yang diusulkan pemerintah, masa
kerja KKR adalah tiga tahun dan bisa diperpanjang lagi selama dua tahun. Namun, arus besar di Panja
DPR menghendaki masa kerja KKR adalah lima tahun dan bisa diperpanjang dua tahun.
Soal kewenangan

Akil menjelaskan, KKR yang sedang dibahas DPR ini akan mempunyai tiga subkomisi yakni Sub-Komisi
Penyelidikan dan Klarifikasi, Sub-Komisi Rekomendasi Amnesti, dan Sub-Komisi Rehabilitasi, Restitusi,
dan Kompensasi.
Dalam praktiknya, kata Akil, jika ada laporan atau dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam
sebuah kurun waktu maka akan ditangani Sub-Komisi Penyelidikan dan Klarifikasi terlebih dahulu untuk
melakukan identifikasi, apakah kasus yang dilaporkan itu merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak.

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 17
Sub-Komisi Penyelidikan akan melakukan investigasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat tersebut,
termasuk mencari siapa pelaku dan siapa yang telah menjadi korban dari kasus tersebut. Dalam SubKomisi Penyelidikan maka anggota subkomisi akan memastikan secara persis siapa yang telah menjadi
korban dan siapa yang menjadi pelaku, termasuk kemungkinan untuk melakukan rekonsiliasi.
Menurut Akil, rekonsiliasi bisa dilakukan jika pelaku mengakui perbuatannya dan korban mau
memberikan maaf. "Jika korban dan pelaku setuju rekonsiliasi maka rekonsiliasi. Sebaliknya, jika sepakat
maka kasusnya akan diserahkan ke pengadilan," katanya.

kli

pin

gE

LS

AM

Ditegaskan, KKR tidak mempunyai kewenangan memberikan amnesti. Amnesti tetap merupakan hak
prerogatif presiden selaku kepala negara. "Komisi hanya bertugas memberikan rekomendasi amnesti
kepada presiden," katanya. (bdm)

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 18
Nasional
Pemerintah Minta DPR Menunda Pembahasan RUU KKR
Selasa, 10 Agustus 2004 | 13:22 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah

melalui Departemen Kehakiman dan HAM dianggap tidak serius
dalam menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-undang Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran
(KKR). Hal itu terungkap lewat surat yang dikirim Direktur Jenderal Peraturan Perundanga-undangan,
Abdul Gani Abdullah tertanggal 5 Agustus 2004 lalu.

AM

Dalam surat yang berkop Departemen Kehakiman dan HAM RI, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundanga-undangan bernomor O.UM.01.10-258 itu, diungkapkan rencana rapat konsinyering yang
dijadwalkan tanggal 9 hingga 11 Agustus 2004 dibatalkan.
Abdul Gani dalam suratnya menyatakan pembatalan rapat itu karena, setelah dilakukan pengecekan
anggaran yang ada di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, tidak ada lagi dana untuk rapat
itu. Baik dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum maupun Dirjen Perlindungan HAM. Oleh
sebab itu, ia meminta agar rapat bisa dilaksanakan di gedung DPR/MPR saja.

LS

Rapat konsinyering biasanya dilaksanakan di luar gedung DPR. Rapat konsinyering itu biasanya digelar
kala masa reses. Rapat biasanya diselenggarakan di hotel.

gE

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) KKR, Akil Mochtar, menyatakan
kekecewaannya. Sebab, menurut dia, anggaran untuk setiap pembahasan RUU itu sudah dialokasikan
anggaran lewat APBN. Padahal DPR sudah bertekad agar RUU KKR ini selesai sebelum keanggotaan
DPR periode 2004 ini habis. "Alokasi tidak adanya dana itu sangat mengada-ada. Ini UU yang sangat
penting bagi bangsa," kata Akil.

pin

Menurut dia, kemauan pemerintah untuk membahasa RUU itu pada persidangan mendatang itu jelas tidak
akan selesai. Sebab, kata dia, DPR baru akan bersidang lagi pada 16 Agustus hingga 30 September.
Artinya, hanya tersisa waktu 1,5 bulan. "Dengan sisa waktu 1,5 bulan itu ya jelas tidak akan cukup," ujar
politikus Partai Golkar ini.

kli

Fajar WH - Tempo News Room

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 19
Kompas, Selasa 10 Agustus 2004

Beralasan Tak Ada Dana, Pemerintah Batalkan "Konsinyering" RUU
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang- Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau
RUU KKR bakal tertunda. Depkeh dan HAM membatalkan rencana konsinyering kedua RUU KKR yang
semula direncanakan akan berlangsung tiga hari, mulai Senin (9/8) kemarin, dengan alasan tidak ada dana
lagi.

AM

Istilah konsinyering biasa digunakan oleh DPR dan pemerintah untuk rapat-rapat pembahasan RUU yang
diadakan di luar Gedung DPR/MPR dan dilakukan secara intensif.
Pembatalan tersebut tertuang dalam Surat Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Depkeh dan
HAM) tertanggal 5 Agustus 2004 kepada Pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU KKR DPR. Surat
ditandatangani Dirjen Peraturan Perundang-undangan Abdul Gani Abdullah. "...setelah kami lakukan
pengecekan anggaran yang ada pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, ternyata tidak
ada lagi dana untuk itu," demikian tertulis dalam surat tersebut.

LS

Ketua Panja RUU KKR Akil Mochtar menyesalkan sikap Depkeh dan HAM tersebut. "Kelihatannya
Menkeh dan HAM tidak serius menyelesaikan RUU ini," katanya.

gE

Akil menilai sikap pemerintah tersebut terkesan mengesampingkan pembahasan RUU KKR. RUU ini
bukan prioritas, tetapi dibahas apabila ada sisa anggaran. "RUU KKR itu ibarat asobah. Dalam hukum
Islam, asobah itu ahli waris setelah ahli waris utama dan pengganti. Dia dapat warisan kalau ada sisa,"
jelasnya.

pin

Padahal, RUU KKR merupakan RUU yang penting untuk kemajuan bangsa ke depan. Tanpa UU ini
bangsa Indonesia akan terus terjebak pada suasana saling caci maki tanpa akhir. Pakar Hukum Tata
Negara dari Universitas Indonesia, Satya Arinanto, berpendapat, RUU KKR merupakan RUU yang
termasuk urgen diselesaikan oleh DPR dan Pemerintah sebelum terbentuknya pemerintahan baru pada
tanggal 20 Oktober 2004.

kli

"Di berbagai negara, lembaga semacam KKR ini telah menjadi semacam solusi penting untuk
menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM masa lalu, terutama dalam era transisi menuju
demokrasi," jelasnya.
Satya mencontohkan Bangladesh sebagai salah satu negara yang membentuk lembaga semacam KKR.
Sejak tahun 1971, dengan pembentukan Komisi mengenai Kejahatan-kejahatan Perang, komisi semacam
ini banyak berperan. (sut)

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 20
Media Indonesia, Selasa, 10 Agustus 2004

Pembahasan RUU KKR Dihentikan
JAKARTA (Media): Departemen Kehakiman (Depkeh) dan HAM menghentikan konsenyering ke-2 atau
pembahasan RUU di luar masa kerja DPR atau selama masa reses Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Demikian pernyataan Wakil Ketua Pansus RUU KKR M Akil Mochtar kepada pers di Jakarta, kemarin.
Akil juga menyesalkan keputusan Depkeh dan HAM tersebut.

AM

Berdasarkan surat Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Depkeh dan HAM Abdul Gani Abdullah No
I.UM.01.10-228, tertanggal 5 Agustus 2004, kepada pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU KKR, alasan
penghentian konsenyering ke-2 ini karena Ditjen Peraturan Perundang-Undangan sudah kehabisan
anggaran.

LS

"Setelah kami lakukan pengecekan anggaran yang ada di Ditjen Perundang-undangan, ternyata tidak ada
lagi anggaran untuk itu. Demikian juga setelah dilakukan koordinasi dengan Ditjen Admin