2006 Kumpulan Kliping KKR

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/26/Politikhukum/2397612.htm
Kompas, Kamis 26 January 2006

Rekonsiliasi Harus Tetap Diupayakan
Jakarta, Kompas - Bangsa ini tidak akan bisa lebih maju lagi jika masih saja dihambat oleh beban
sejarahnya. Apalagi, semua komponen bangsa ini pernah mengalami luka, baik Islam, TNI, maupun
kalangan nasionalis. Untuk itulah, upaya rekonsiliasi harus tetap diupayakan meskipun bukan merupakan
pekerjaan yang mudah untuk dilakukan.

AM

Hal ini disampaikan sejarawan Anhar Gonggong, mantan Wakil Ketua Komnas HAM Solahuddin Wahid,
mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Kiki Syahnakri, serta Sulastomo dalam diskusi peluncuran
buku Dibalik Tragedi 1965 karya Sulastomo di Jakarta, Rabu (25/1). ”Peristiwa 1965 memang tak mudah
untuk dikatakan hitam atau putih karena banyak yang abu-abu,” ujar Sulastomo.

LS

Namun, yang terpenting sekarang ini, menurut Sulastomo, apakah bangsa ini hanya akan memelihara luka
dan membiarkannya menjadi borok atau akan berusaha untuk menyembuhkan luka itu. ”Bagaimana
bangsa ini melihat masa depan jika luka itu tidak disembuhkan,” ujarnya.


kli

pin

gE

Solahuddin mengatakan, beban sejarah yang dialami bangsa ini bukan hanya menyakiti korban dan
keluarganya, namun keluarga pelaku juga merasa tersiksa. Memang tak mudah melakukan rekonsiliasi,
namun sekecil apa pun langkah yang diambil tetap sangat berarti bagi rekonsiliasi. ”Sayangnya, 42 calon
anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah di tangan Presiden sejak Agustus tahun lalu
belum dipilih Presiden untuk diserahkan kepada DPR,” ujar Solahuddin. (mam)

Kompas, Kamis, 12 October 2006
Komisi Kebenaran

DPR Harus Berani Lakukan Terobosan Politik

AM


Jakarta, Kompas - Kelambanan pemerintah yang tidak kunjung tuntas membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR, walau sebanyak 42 nama telah dinyatakan lolos proses
seleksi, terus menuai kecaman terutama dari kalangan lembaga swadaya masyarakat.
Dalam jumpa pers, Rabu (11/10), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendesak
DPR berani melakukan terobosan dalam bentuk tekanan politis terhadap pemerintah, yang
dinilai telah mengabaikan amanat sejumlah produk hukum dan perundang-undangan terkait
pembentukan KKR tadi.

LS

Menurut Amiruddin Al Raham dari Elsam, produk hukum dan UU yang telah diabaikan itu, antara
lain Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional, yang mewajibkan pembentukan KKR; UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR; dan
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

gE

Selain itu, juga aturan UU terkait pembentukan KKR di tingkat daerah, seperti tercantum dalam
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, yang mengamanatkan pembentukan KKR di tingkat pusat.

"Pembentukan KKR adalah platform nasional sehingga DPR harus bisa berinisiatif, entah
dengan menggunakan yang namanya hak angket atau hak lain yang dimiliki untuk segera
menyelesaikan persoalan itu," ujar Amiruddin.

kli

pin

Selain itu, Amiruddin juga menyayangkan sikap DPR yang selama ini dinilai mengabaikan dan
mendiamkan saja pemerintah yang terus menunda-nunda dengan alasan dicari-cari. DPR bisa
saja berinisiatif melakukan langkah konkret tertentu. (dwa)

Wacana KKR 2006= 1
Kompas, Jumat, 06 Januari 2006

Sebuah Masa Padat Agenda
Budiman Tanuredjo
Periode 1 Januari-31 Maret 2006 adalah sebuah era singkat dengan agenda yang padat. Periode itu berusia
90 hari kalender dengan 74 hari efektif, setelah dikurangi hari Minggu dan libur. Belum lagi jika dikurangi
hari reses DPR, yang baru aktif 12 Januari 2006.

Tahun 2005 ditutup dengan sebuah pesan yang tegas dan jelas: terorisme masih merupakan ancaman;
bencana alam akan masih mengintai; dan kejahatan konvensional yang tak boleh diremehkan. Rentetan
perampokan bank bisa saja disebabkan beratnya kehidupan, tetapi harus juga dibaca tentang kemungkinan
ada kaitannya dengan pendanaan terorisme.

AM

Tujuh belas jam sebelum tahun 2005 berganti, tepatnya 31 Desember 2005 pukul 07.00, bom meledak di
Pasar Maesa, Palu, Sulawesi Tengah. Dilaporkan tujuh orang tewas dan lebih dari 50 orang terluka.
Terlepas dari perdebatan klasik—apakah aparat keamanan kecolongan atau tidak yang selalu menyertai
diskursus pascapeledakan bom—Badan Intelijen Negara pernah melansir rencana aksi teroris menjelang
Natal dan Tahun Baru 2006. Namun, modusnya berubah: dari aksi bom menjadi penculikan pejabat tinggi
negara. Pengamanan Presiden dan Wakil Presiden diperketat. Perayaan Natal 2005 berlangsung aman.

LS

Mencuri perhatian

gE


Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, mencuri perhatian. Ledakan bom terjadi di tengah konsentrasi aparat
keamanan mengamankan pejabat tinggi negara. Sulawesi Tengah boleh jadi merupakan provinsi
”terpanas” di Tanah Air. Aksi terorisme terus terjadi, namun hukum tak mau mengatasi masalah di daerah
tersebut.
Salah seorang ”senator” dari Sulawesi Tengah tampil di televisi dan meminta perhatian Jakarta.
Ketidakstabilan politik di provinsi itu tentunya akan memengaruhi citra Indonesia di panggung dunia.

pin

Periode Januari-31 Maret 2006, Jakarta dituntut menyelesaikan permasalahan krusial di Aceh, pasca-nota
kesepahaman Helsinki 15 Agustus 2005 dan masalah Papua pascapertemuan tokoh Papua dan Irian Jaya
Barat dengan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla.
Sesuai dengan nota kesepahaman Helsinki, RUU Pemerintahan Aceh sudah selesai pada 31 Maret 2006
untuk dijadikan dasar pemilihan kepala pemerintahan Aceh pada 26 April 2006. Pemilihan kepala daerah
(pilkada) rasanya berat digelar sesuai jadwal itu.

kli

Masyarakat Aceh tidaklah satu. Kabupaten di bagian selatan Aceh membawa isu pemekaran. Isu ini
memang tidak cukup banyak mendapat dukungan dari Banda Aceh dan Jakarta. Beberapa pasal lain,

seperti keinginan menempatkan lembaga di Aceh, dapat menjadi anggota dari badan Perserikatan BangsaBangsa atau badan dunia lainnya—yang diusulkan dalam draf RUU Pemerintahan Aceh versi DPRD—
merupakan usulan yang memancing kelompok ultranasionalis di Jakarta.

Hal lain yang juga akan memicu perdebatan adalah keinginan dari nota kesepahaman Helsinki untuk
”menidurkan” DPRD Provinsi Aceh hingga tahun 2009. Padahal, DPRD Aceh merupakan hasil Pemilu
2004.
Selain Aceh, Papua juga menuntut perhatian. Janji Wapres Jusuf Kalla menerbitkan perpu untuk
menyelesaikan problem di Papua sedikit terhambat dengan meninggalnya Gubernur Papua JP Salossa.

1

Wacana KKR 2006= 2
Sementara KPU Papua telah mengagendakan pemilihan Gubernur Papua pada 16 Februari. Ini bisa
memicu persoalan jika eksistensi Irian Jaya Barat belum selesai.
Hubungan eksekutif-legislatif akan intens pada periode tiga bulan pertama di tahun 2006. Selain problem
RUU Pemerintahan Aceh dan perpu untuk memayungi Papua, Presiden Yudhoyono juga akan mengajukan
calon Panglima TNI kepada DPR. Sesuai dengan undang-undang, ada empat calon Panglima TNI yang
memenuhi syarat, yakni mantan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu (yang pernah diusulkan Presiden
Megawati Soekarnoputri ke DPR, namun kemudian ditarik Presiden Yudhoyono), KSAD Jenderal Djoko
Santoso, KSAU Marsekal Djoko Suyanto, dan KSAL Laksamana Slamet Subiyanto.

Penggantian Panglima TNI mengandung beban psikologis politis menyusul keputusan Presiden
Yudhoyono menarik surat Presiden Megawati yang mengusulkan Jenderal Ryamizard sebagai Panglima
TNI menggantikan Jenderal Endriartono. Isu penggantian Panglima TNI memang bisa memicu
”ketegangan” antara DPR dan Presiden.

AM

Militer Indonesia berada dalam kontrol obyektif sipil dalam terminologi Samuel Huntington. Militer patuh
dan tunduk pada otoritas sipil, seperti telah ditunjukkan militer di bawah Panglima TNI Jenderal
Endriartono yang patuh dan mendukung nota kesepahaman RI-GAM. Kenyamanan militer juga bisa
dipahami ketika Presiden Yudhoyono tidak banyak mengangkat isu pelanggaran hak asasi manusia
(HAM). Kesepakatan Presiden Yudhoyono dengan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao dengan
membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan akan memasuki babak penting pada Januari-Juni 2006.

gE

LS

Hubungan dengan parlemen akan berlangsung intens saat Presiden mengajukan 21 calon anggota Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tarik-menarik kepentingan akan terjadi. Memang bisa saja Presiden

tidak mengajukan 21 calon anggota KKR pada masa tersebut, namun Presiden akan dihadapkan pada
tekanan pendapat umum yang amat kuat karena KKR seharusnya sudah terbentuk 6 Oktober 2005. Adapun
MOU Helsinki memerintahkan KKR Indonesia membentuk KKR Aceh.
DPR dan pemerintah tentunya juga harus bekerja sama untuk mengisi anggota KPU yang habis masa
jabatannya pada akhir Maret 2006.

pin

Satu faktor krusial yang dihadapi pemerintah pada periode ini adalah dengan beban inflasi 2005 yang
dihadapi masyarakat dan pengangguran yang jumlahnya meningkat. Pada sisi lain, pemerintah
menyalurkan bantuan langsung tunai dan menaikkan gaji PNS pada akhir Januari 2006. Tapi masalahnya,
apakah kenaikan gaji PNS sebesar 15 persen itu akan sebanding dengan melemahnya daya beli
masyarakat. Bank Indonesia memperkirakan inflasi Januari bisa mencapai 1 hingga 1,1 persen. Pada kurun
waktu itu, pemerintah diharuskan membayar pokok dan bunga utang luar negeri.

kli

Politik tetap akan stabil pada periode ini meskipun tetap membutuhkan cara berkomunikasi dengan penuh
empati. Cara komunikasi dengan memahami sepenuhnya beban berat yang diderita rakyat. Namun,
stabilitas politik bisa saja berubah dengan cepat jika pemerintah mengambil kebijakan blunder, seperti

menaikkan harga BBM, listrik, dan kebijakan yang makin mencekik rakyat.

Partai politik yang pragmatis akan membuat eksekutif lebih leluasa dalam mengambil kebijakan. Elemen
kritis mahasiswa kehilangan militansinya dan gagal mengonsolidasikan diri saat pemerintah menaikkan
harga BBM hingga dua kali pada periode 2005. Militer merasa tak banyak terganggu ketika isu
pelanggaran HAM tak banyak diutak-atik dan masyarakat dicekam ancaman terorisme.

Tahun 2006 adalah sewindu reformasi. Momentum ini bisa dikapitalisasi mengonsolidasikan gerakan sipil.
Isu pengungkapan pembunuhan Munir dan pendirian rumah ibadah akan menjadi agenda publik yang patut
mendapat perhatian.

2

Wacana KKR 2006= 3
Suara Pembaruan, 11 Februari 2006

Wapres Tak Tahu Perkembangan Pembentukan KKR
JAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla mengaku tidak
mengetahui perkembangan pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR).
Rencana pembentukan KKR akan dicek ke Sekretariat Negara sebab sejumlah nama

sudah dimasukkan ke DPR, tetapi hingga kini proses selanjutnya tidak jelas.
"Soal KKR memang saya tidak tahu sudah sampai di mana. Nanti saya akan cek lagi
sudah sampai di mana. Saya yakin Presiden pasti menanggapi secara baik setiap hal
tersebut," kata Wapres kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (10/2).

AM

Dikatakan, pembentukan KKR di Indonesia tidak bisa meniru begitu saja pembentukan
KKR di Afrika Selatan (Afsel). Ada perbedaan substansial antara situasi di Afsel dan
Indonesia.
Di sini, tidak tahu lagi mau rekonsiliasi dengan siapa. Sedangkan di Afsel, empat tahun
setelah praktek politik apartheid, sudah jelas pihak-pihak yang mau berekonsiliasi.

gE

LS

"Di Afrika Selatan yang memang pada saat pembentukan KKR empat tahun setelah
mereka itu selesai apartheid itu memang ada suatu kelompok yang katakanlah dari sudut
warna saja ada hitam putih yang harus disatukan. Saya tidak merasa di Indonesia ini ada

sesuatu yang betul-betul mempunyai sesuatu yang berlawanan mati-matian secara itu,"
jelasnya.

pin

Dicontohkan, kalau mau rekonsiliasi dengan para korban gerakan tiga puluh September
(Gestapu), itu sudah 40 tahun silam.Sedangkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
rekonsiliasi dilakukan melalui dan berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU)
antara GAM dan RI yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Helsinki. "Masa Gestapu,
kan sudah 40 tahun, tidak tahu apakah masih ada yang bisa direkonsiliasikan. Kita tidak
tahu lagi, siapa yang musti ketemu," imbuhnya. (A-21)

kli

Last modified: 11/2/06

3

Wacana KKR 2006= 4
Kompas, Kamis 16 Februari 2006

Menanti Respons Istana soal KKR
Budiman Tanuredjo
Tanggal 28 Maret 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan keputusan pembentukan
panitia seleksi calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sebanyak 1.193 orang melamar.
Tanggal 3 Agustus 2005, panitia seleksi mengumumkan 42 nama calon anggota KKR dan disampaikan
kepada Presiden.

AM

Hingga saat ini belum jelas bagaimana respons Presiden Yudhoyono atas ke-42 nama calon anggota
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah diseleksi dan diusulkan panitia seleksi. Berkas itu
paling tidak sudah enam bulan berada di Kantor Kepresidenan. Belum ada penjelasan resmi dari Kantor
Kepresidenan soal ke-42 nama calon anggota KKR tersebut. Padahal, pembentukan KKR itu sudah sangat
terlambat. UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengharuskan KKR terbentuk 5
April 2005.
Menanggapi desakan dari berbagai kalangan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dirinya tidak
mengetahui sampai di mana proses pembentukan KKR yang 42 calon anggotanya telah diserahkan kepada
Presiden Yudhoyono. Saya akan cek perkembangannya. Saya yakin Presiden pasti menanggapi dengan
baik, kata Kalla (Kompas, 11/2/2006).

LS

Kalla justru mempertanyakan rekonsiliasi yang mau dicapai dengan pembentukan KKR. Jangan Indonesia
ini dipersamakan, katakanlah dengan Afrika Selatan yang pembentukan KKR-nya empat tahun setelah
selesai masa politik apartheid, ujar Kalla yang kemudian mengelaborasi, kondisi serta latar belakang
Indonesia dan Afrika Selatan berbeda. Di Afrika Selatan ada kelompok yang selain warna kulitnya
berbeda, hitam dan putih, pandangannya juga berbeda.

gE

Saya tidak merasa Indonesia ada sesuatu yang betul-betul berlawanan mati-matian seperti di Afrika
Selatan. Kalau masalah Gestapu kan sudah 40 tahun lalu. Apakah ada yang direkonsiliasikan setelah kita
tidak tahu lagi siapa yang mesti bertemu kata Kalla.

pin

Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I), balik
mempertanyakan pernyataan Kalla. Undang-undang itu adalah cermin kehendak rakyat. Membandingkan
dengan situasi Afrika Selatan tentunya tidak relevan, kata anggota DPR yang fraksinya dalam barisan
pendukung pemerintah ini.

kli

Ia tak memahami mengapa Presiden Yudhoyono begitu lamban dalam merespons usulan dari panitia
seleksi yang dibentuknya untuk menyeleksi calon anggota KKR. Saya justru khawatir muncul persepsi
Presiden melanggar undang-undang dan kalau itu terjadi argumentasi untuk membela posisi Presiden sulit,
katanya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim berpendapat,
pemerintahan Yudhoyono-Jusuf Kalla memang tidak menjadikan KKR sebagai prioritas pemerintahannya.
Apa yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla hanya mengembalikan perdebatan soal KKR ke titik awal pada
pemerintahan Gus Dur. Kalla sama sekali tidak aware dengan masalah itu, katanya.

Bagi Ifdhal, Istana memang perlu menyatakan sikap politiknya. Kalau memang KKR sudah dianggap tidak
relevan, Presiden Yudhoyono bisa minta MPR untuk meninjau Tap MPR-nya dan meminta DPR merevisi
serta membatalkan pembentukan KKR, katanya. Proses seleksi anggota KKR didasarkan pada Tap MPR
dan undang-undang.

4

Wacana KKR 2006= 5
Presiden tersandera
Ia menduga Presiden tersandera oleh berbagai kelompok kepentingan yang sangat berkepentingan dengan
kelahiran KKR. Akibatnya, sikap politiknya tak jelas dan risikonya Presiden bisa dituduh melanggar
undang-undang, kata calon anggota KKR yang telah lolos seleksi ini.
Adalah suatu kenyataan bahwa isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada era Orde Baru
masih menjadi problem bagi bangsa ini, kendati sejumlah elite politik berupaya memengaruhi masyarakat
untuk melupakan saja masa lalu guna menatap masa depan.
Kehadiran keluarga korban kasus Talangsari (Lampung) yang terjadi 16 tahun lalu, bersafari ke DPR,
Komnas HAM, dan lembaga agama menunjukkan bahwa permasalahan itu belum selesai. Sederetan kasus
pelanggaran HAM lain juga terjadi, tapi tanpa sebuah penyelesaian. Padahal, di sana ada problem
kebenaran! Ada problem keadilan! Ada problem kemanusiaan!

AM

Fenomena Komisi Kebenaran bukanlah hanya fenomena Afrika Selatan, meskipun apa yang terjadi di
Afsel banyak menjadi rujukan, termasuk sejumlah pemimpin Indonesia berkunjung ke Afrika Selatan
untuk mempelajari bagaimana Afsel menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalunya.

LS

Fenomena Komisi Kebenaran adalah kecenderungan global dari sebuah negara yang bertransisi dari
otoriterianisme ke demokrasi. Pesan yang disampaikan Lawrence Whitehead dalam Consolidation of
Fragile Democracy sangat jelas: kalau kejahatan besar tak diselidiki dan pelakunya tidak dihukum, tidak
akan ada pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata. Tidak akan ada penanaman norma
demokrasi dalam masyarakat pada umumnya dan karenanya tak akan terjadi konsolidasi demokrasi.

gE

Untuk itu, selain mekanisme pengadilan yang ditempuh, Komisi Kebenaran menjadi sebuah pilihan.
Argentina menyelesaikan problem masa lalunya dengan pembentukan Komisi Nasional untuk Orang
Hilang yang dipimpin novelis Ernesto Sabato. Komisi ini dibentuk Presiden Raul Alfonsin. Hasil kerjanya
dibukukan dalam buku berjudul Nunca Mas.
Cile juga membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi. El Salvador, Uganda, Bolivia,
dan Rwanda juga memilih jalur pengungkapan kebenaran untuk menyelesaikan masa lalu.

pin

Rekonsiliasi memang sebuah tujuan akhir. Namun, selain untuk menciptakan rekonsiliasi kepentingan
korban haruslah menjadi perhatian. Chierif Bassioni dalam International Crimes: Jus Corgen and Obligatio
Erga Omnes menyebutkan adanya hak korban untuk mengetahui (right to know the truth), hak mendapat
keadilan (right to justice), dan hak memperoleh reparasi (right to reparation). Sebaiknya, menurut
Bassioni, menjadi kewajiban negara untuk mengingat (duty to remember), kewajiban untuk menghukum
(duty to prosecute), dan kewajiban mereparasi (duty to reparation).

kli

Kalla mempertanyakan bangsa Indonesia rekonsiliasi dengan siapa. Rekonsiliasi memang sebuah kondisi
yang susah diukur. Apakah memang sudah terjadi rekonsiliasi antara pelanggar HAM dan para korban?
Apakah sudah ada rekonsiliasi antara korban Tanjung Priok dan aparat militer?

Priscilla B Hayner dalam buku Setelah Otorianisme Berlalu (2001) menyebutkan ada tiga pertanyaan yang
harus dijawab untuk mengukur tingkat rekonsiliasi. Pertama, bagaimana penanganan masa lalu di ruang
publik? Apakah masih ada perasaan sakit terhadap masa lalu? Pertanyaan seperti itu harus dijawab korban.
Namun, dengan melihat gelombang unjuk rasa menuntut keadilan, rasa pedih dan sedih masih
menghinggapi sanubari mereka.
Kedua, bagaimana hubungan antara penentang sebelumnya. Sejauh mana misalnya resistensi dari para
korban Trisakti dan Semanggi serta orang yang patut diduga bertanggung jawab. Akankah mereka sudah
bisa seiring sejalan atau bahkan memberikan dukungan secara tulus?

5

Wacana KKR 2006= 6
Ketiga, apakah hanya ada satu versi kebenaran masa lalu? Menurut Hayner, rekonsiliasi bukan hanya
membangun kembali hubungan persahabatan, tetapi juga menyelaraskan fakta-fakta atau cerita-cerita yang
bertentangan satu sama lain. Rekonsiliasi juga membuat pernyataan atau fakta itu menjadi harmonis atau
saling cocok bila mereka bertentangan satu sama lain.
Pertanyaan kemudian adalah sudah adakah satu konstruksi cerita terhadap berbagai pelanggaran HAM
masa lalu? Jawabnya: belum ada! Peristiwa 1965 telah melahirkan sejumlah teori, melahirkan sejumlah
buku. Kasus Tanjung Priok melahirkan beragam cerita, kasus 27 Juli menimbulkan fakta yang saling
berbantahan, kasus kerusuhan Mei masih menjadi perdebatan antara DPR, Kejaksaan Agung, dan Komisi
Nasional. Kalau itu yang terjadi, apakah memang rekonsiliasi sudah dicapai?

kli

pin

gE

LS

AM

Tak perlu bingung mencari jawab mau rekonsiliasi dengan siapa. Rekonsiliasi antarsesama anak bangsa,
sekaligus melaksanakan kehendak rakyat untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
sebagaimana diperintahkan UU No 27 Tahun 2004. UU No 27/2004 diundangkan 6 Oktober 2004 dan
menurut Pasal 45 Ayat (3) disebutkan, pembentukan komisi dilaksanakan dalam jangka waktu paling
lambat enam bulan sejak diundangkan. Itu berarti 6 April 2005 KKR sudah harus terbentuk. Hari ini,
Kamis 16 Februari 2006, KKR masih belum berwujud. Pembentukan KKR sudah sangat terlambat!

6

Wacana KKR 2006= 7
Kompas, Jumat 24 Feb. 06

KKR Perlu Dukungan
Presiden: Perlu Persiapan Satu Bulan ke Depan
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih memerlukan waktu yang cukup untuk
menyusun aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
Rekonsiliasi. Selain itu, Presiden juga butuh dukungan politik dari pimpinan lembaga tinggi negara,
khususnya untuk mengatur tata cara dan mekanisme kerja KKR.
”Meski pembentukan KKR sudah terlambat berbulan-bulan, sebagaimana ditetapkan UU, yaitu paling
lambat 5 April 2005, hingga kini Presiden Yudhoyono belum bisa menetapkan 21 nama untuk diajukan ke
DPR dari 42 calon hasil seleksi Panitia Seleksi KKR,” ujar Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza
Mahendra seusai mendampingi Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota KKR, Kamis (23/2) di Kantor
Presiden, Kompleks Istana, Jakarta.

AM

Ketua Panitia Seleksi Anggota KKR, yang juga Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Zulkarnain Yunus, didampingi Sekretaris Dirjen Peraturan
Perundang-undangan Wicipto Setiadi serta sejumlah anggota lain, seperti Dirjen Perlindungan HAM
Departemen Hukum dan HAM Hafid Abbas dan perwakilan dari masyarakat, yaitu Prof DR CFG
Sunaryati Hartono dan Sulistjowati Sugondo, ikut hadir.

LS

”Presiden menimbang-nimbang dan mencari waktu tepat untuk membentuk KKR. Tugas dan tanggung
jawab lembaga ini sangat besar implikasinya bagi bangsa di masa datang. Sebab, penyelesaian masa lalu
itu harus dilakukan secara damai, adil, dan bermartabat. Nah, itu yang dikhawatirkan jika kita tidak bekerja
hati-hati, sasaran KKR tidak terwujud,” ujar Yusril.

gE

Sambil menunggu penyusunan aturan pelaksanaan UU No 27 Tahun 2004 itu, ujar Yusril, Presiden
Yudhoyono juga akan meminta Panitia Seleksi melakukan pendalaman kembali atas 42 nama yang
diajukan, selain juga akan melakukan konsultasi dengan pimpinan lembaga tinggi negara, seperti MPR,
DPR, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

pin

”Dalam sebulan ini akan dilakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah
(PP), Keputusan Presiden (Keppres) tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja, serta peraturan presiden
(perpres) mengenai struktur dan organisasi KKR. Panitia Seleksi juga masih akan bertemu kembali dengan
Presiden Yudhoyono sekali lagi untuk memberikan pertimbangan dan argumentasi untuk dipilih satu per
satu, selain berkonsultasi,” lanjut Yusril.
Tetap harus dilaksanakan

kli

Ditanya pers soal pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu bahwa KKR di Indonesia
yang tidak bisa disamakan dengan KKR di Afrika Selatan sehingga menimbulkan spekulasi seolah-olah
KKR tidak perlu ada, Yusril berpendapat lain.
”Karena sudah menjadi amanat UU, maka mau tidak mau KKR harus dibentuk dan dilaksanakan. Hanya
memang waktunya dicari yang tepat, agar persiapan, serta sekaligus pemahaman di masyarakat dan
lembaga tinggi lain cukup matang setelah KKR terbentuk,” ungkap Yusril.
Yusril menambahkan, ”Persoalan itu sebetulnya sudah disinggung ketika pembahasan RUU di DPR dulu.
Jadi, tak perlu diperdebatkan. Hanya, bagaimana masalah itu diangkat lagi dan dicarikan penyelesaian
secara damai sehingga terjadi rekonsiliasi bagi semua pihak.” (har/inu)

7

Wacana KKR 2006= 8

Jakarta Post, February 24, 2006

Human rights a nonissue to elite
Tony Hotland, Jakarta
Doing the necessary work to address human rights issues has never held much appeal for any
administration in Indonesia.
During the many decades that Sukarno and his successor Soeharto were in power, rights abuses of all types
occurred.
Subsequent presidents -- B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid and Megawati Soekarnoputri -- had little time
for such issues.

AM

Indeed, human rights were never discussed when Susilo Bambang Yudhoyono and Megawati were
campaigning for the presidency in 2004.

On the legislative side, it does not take a genius to determine the House of Representatives has never lived
up to its billing as the representatives of the people, especially regarding rights issues.

LS

While the future protection of human rights in the country remains an uncertainty, settling past atrocities
seems to be even less likely.

gE

Already frustrated by a lack of action over the 1998 Trisakti and Semanggi student shootings, families of
the victims were dealt another blow last Thursday when the House decided to do nothing about a
recommendation issued by lawmakers from the previous term.
Legally flawed, the recommendation says there were no elements of gross human rights violations in the
shootings, although an investigation by the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) found
otherwise. The commission implicated the military in the shootings.

pin

Unlike the commission, the House does not have the authority to make such a determination, and now this
recommendation poses a hurdle to the Attorney General's Office as it tries to follow up on the case.
House Commission III overseeing human rights issues promised last June to have the recommendation
revoked, providing a glimmer of hope for the families of the victims.

kli

But months passed with no news until Thursday's decision, which was reached in a leadership forum.
House Deputy Speaker Zaenal Maarif quoted fellow Deputy Speaker Soetardjo Soerjogoeritno, who is said
to be the person most familiar with the issue, as saying that revoking the recommendation would be
unethical.

Speaker Agung Laksono says there is no precedent for revoking earlier House recommendations.
It can be dangerous to make assumptions, but let's try these:

Fact No. 1: Soetardjo is a top figure in the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), which has
close ties with the military, at least when it was the ruling party under Megawati's administration.

8

Wacana KKR 2006= 9
Fact No. 2: Agung is the vice chairman of the Golkar Party, an inseparable ally of the military during
Soeharto's reign.
"Funny, even the Constitution and laws can be revised and revoked," said National Awakening Party
legislator Nursjahbani Katjasungkana, who dealt with human rights cases before moving into politics.
"The idea that a decision by a commission can be overruled by four people is ridiculous. The leadership
forum is only a substitute for a House consultative meeting, which deals only with scheduling issues."
Another avenue for probing past human rights cases, the Truth and Reconciliation Commission (KKR), is
still a long way from being formed, almost a year since the April 2005 "deadline" for its creation passed.

AM

The KKR eventually will investigate alleged human rights abuses that occurred between 1945 and 2000,
with its main tasks being to seek the truth behind alleged abuses, facilitate a reconciliation between
perpetrators and victims, and provide compensation and amnesty for both parties.
Stuck with the President is a list of 42 names to be screened for possible inclusion on the commission, as
he is too busy to arrange a meeting with the screening team.

LS

Yet, the President has time to travel the world. He even plans to visit Myanmar to preach democracy in
another country accused of gross human rights abuses, as well as to South Korea to help reconcile the two
Koreas.
He can spare time to play golf with colleagues and even has time to meet with a group of librarians to
discuss a private library at his residence.

gE

It is again shaky to make assumptions, but who's to blame?

Fact No. 1: The President, infamous for his indecisiveness, is a retired military general.
Fact No. 2: Vice President and Golkar leader Jusuf Kalla has openly expressed his objection to the KKR,
calling it unnecessary.

pin

Still waiting for justice are hundreds of families and victims of the 1984 Tanjung Priok massacre, the 1989
Lampung incident, the 1997 forced disappearances of government critics, the May 1998 riots and others.
This makes one wonder if the President's show of interest in the Commission of Truth and Friendship
jointly formed with Timor Leste was only a result of international pressure.

kli

Yet the House remains more interested in toying with political issues rather than questioning the
President's commitment to the national truth commission that has eluded the country.

Usman Hamid of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence said no one had the
courage to hold people accountable for past abuses.
Ifdhal Kasim of the Institute for Policy Research and Advocacy agreed.
"Reform isn't only about clean governance. It's also about respecting the right to speak up, as well as
coming clean about the past," said Ifdhal.

9

Wacana KKR 2006= 10
With all the human rights cases so far heard in court having ended with the acquittal of the accused
perpetrators, the Truth and Reconciliation Commission looks to be the last chance for victims and families
of atrocities to seek justice.

kli

pin

gE

LS

AM

The writer is a journalist at The Jakarta Post.

10

Wacana KKR 2006= 11
Jakarta Post, February 24, 2006

SBY still seeking political support for truth body
Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta
The government continues to drag its feet on setting up the Truth and Reconciliation Commission (KKR),
despite a law ordering its immediate establishment.
When questioned about the body, State Secretary Yusril Ihza Mahendra said Thursday President Susilo
Bambang Yudhoyono wondered whether there was sufficient "public support" to establish the commission,
which was supposed to have been up and running by April last year.

AM

Under the law, the commission will be tasked with probing past human rights abuses that took place from
1945-2000. Many high level government officials and security chiefs from the New Order era are
implicated in these abuses.
The KKR will also seek to draw up a truth-telling mechanism to deal with the perpetrators and compensate
the victims of past human rights cases.

LS

Yudhoyono met the KKR selection team on Thursday, more than six months after it screened and
submitted 42 candidates to the President. Yudhoyono is supposed to pick 21 names for the commission, a
list which will then be sent to the House of Representatives for approval.

gE

However, Yusril said the President still planned to meet the selection team and senior officials one more
time to canvas their political support for the commission. The government was also preparing auxiliary
regulations to implement the much-debated law, he said.
"The President will try to meet and consult with heads of state institutions, such as the House of
Representatives, the Supreme Court and the Constitutional Court on the working mechanism. (He) needs
(more) political backing," Yusril said.
He reiterated the President's commitment to establishing the commission.

pin

"We are aware that the process is overdue ... (but) we are considering the social and political situation.
Please understand this," he said.
Human rights observers have criticized the government for delaying the establishment of the commission.
They particularly took issue with Kalla's comments on the affair last week.

kli

Comparing the situation at home to that in South Africa, Kalla said there was no need for Indonesia to
have such a commission because there were no longer any alleged human rights abuses that needed to be
resolved.
Kalla also heads the Golkar Party, the home to many former Soeharto loyalists.

Also on Thursday, Yusril announced the President had selected three police experts and three public
figures to join a commission tasked with supervising the police.
Yusril declined to name the six, pending the issuance of their appointment letters.

11

Wacana KKR 2006= 12

kli

pin

gE

LS

AM

Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs Widodo Adisutjipto, Justice and Human
Rights Minister Hamid Awaluddin and Home Minister M. Ma'ruf will also sit on the Police Commission.

12

Wacana KKR 2006= 13

Kompas, Rabu, 15 Maret 2006

Pengadilan HAM Ad Hoc Gagal
Rekonsiliasi Jadi Alternatif
Jakarta, Kompas - Mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Albert Hasibuan, mengatakan,
Pengadilan HAM Ad hoc telah gagal menjalankan tugasnya memberi keadilan kepada korban kasus
pelanggaran HAM masa lalu. Dalam konteks itu, ia mengajak seluruh aktivis HAM mencari alternatif
untuk memberikan keadilan.
”Lupakan tuntutan untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc,” kata Albert yang juga mantan Ketua
Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor Timur menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) terakhir
yang hanya menghukum Eurico Guteres dengan hukuman 10 tahun penjara. Pada kesempatan lain, MA
membebaskan seluruh pejabat sipil, Polri, dan militer.

AM

Dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, Selasa (14/3), Albert mengingatkan dengan melihat pada
dua Pengadilan HAM Ad Hoc yang pernah dibentuk, yaitu Pengadilan HAM Tanjung Priok dan
Pengadilan HAM Timtim yang tak satu pun menghukum orang yang bertanggung jawab, kecuali Eurico
Gutteres keinginan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc Trisakti dan Semanggi serta Pengadilan HAM
Ad Hoc Talangsari sebaiknya dipikir ulang. ”Perlu dicari alternatif lain, termasuk meminta keadilan dunia
internasional,” ujarnya.

gE

Politik impunitas

LS

Menurut catatan Kompas, Indonesia menempuh banyak cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM. Kasus 27 Juli 1996 diselesaikan oleh Pengadilan Koneksitas yang membuktikan terdakwa Jonathan
Marpaung bersalah dan terbukti melempar batu ke Kantor DPP PDI. Ada mekanisme pengadilan HAM
untuk kasus pelanggaran HAM Aberupa yang berujung pada bebasnya terdakwa. Yang terakhir adalah
Pengadilan HAM Priok dan Timtim.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim juga mengatakan,
pengadilan HAM terbukti justru mengukuhkan politik impunitas untuk melindungi pejabat Polri dan
militer, namun gagal memberi perlindungan pada korban dan masyarakat.

pin

Mantan anggota Komnas HAM dan juga mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga yang kini Ketua
Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia tak sependapat dengan Albert. ”Pengadilan HAM Ad hoc
tidak gagal. Saya kenal mereka,” ujarnya mengomentari kolega para hakim.

kli

Bagi Benjamin, problem rasa keadilan adalah sangat subyektif. Adil bagi terdakwa, tidak adil bagi korban.
Adil bagi jaksa, tidak adil bagi pembela. ”Jadi, apa ukurannya,” kata dia yang sudah menduga putusan
Pengadilan HAM Ad Hoc akan seperti itu.
Benjamin juga membela tudingan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia tak memenuhi standar
internasional. ”Standar internasional yang mana, tunjukkan,” ujarnya.
Ia juga coba mendekonstruksi pikiran bahwa setiap terdakwa yang dibawa ke pengadilan harus dihukum.
”Kalau memang itu ya buat panitia penghukuman. Kalau pengadilan ya sifatnya begitu, kalau salah
dihukum, kalau benar ya dibebaskan,” katanya.
Bagi Benjamin, kecenderungan global adalah rekonsiliasi. Untuk itu ia mendorong agar Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi yang calon anggotanya sudah diseleksi panitia seleksi segera dipilih Presiden
Yudhoyono. Albert ragu dengan KKR. ”Itu hanya bersifat politis dan simbolis,” katanya. Adapun Ifdhal

13

Wacana KKR 2006= 14
mengingatkan, KKR bukanlah alternatif dari pengadilan karena KKR juga membutuhkan pengadilan.
(bdm)

Vonis

Mayjen (Purn) Rudolf Adolf Butar-Butar
Mayjen (Purn) Pranowo
Mayjen Sriyanto
Kapten Sutrisno Mascung
Asrori
Siswoyo
Abdul Halim
Zulfata
Sumitro
Sofyan Hadi
Prayogi
Winarko
Idrus
Muhson

Bebas (08-Jun 2005)
Bebas (10-Agustus-2004)
Bebas (12-Agustus-2004)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)
Bebas (31-Maret 2005)

AM

Penyelesaian Kasus-kasus HAM
Terdakwa
Kasus Tanjuing Priok

Brigjen Johni Wainal usman
AKBP Daud Sihombing

Kasus 27 Juli

gE

Kolonel CZI (Purn) Budi Purnama
Letnan Satu (Inf) Suharto
Mohammad Tanjung
Jonathan Marpaung Panahatan
Rahimmi Ilyas alias Buyung Nagari
Djoni Moniaga alias Jojon

Bebas (08-September-2005)
Bebas (08-September-2005)

LS

Kasus Abepura

Bebas (06-Januari 2004)
Bebas (06-Januari 2004)
Bebas (06-Januari 2004)
2 bulan 10 hari (06-Januari-2004
Bebas (06-Januari 2004)
(meninggal dunia 25-Apr-2003

Kasus Timor Timur

kli

pin

Abillio Jose Osorio Soares
Adam Damiri
GM Timbul Silaen
Herman Sedyono
Leoneto Martins
M. Noer Muis
Tono Suratman
Letkol Asep Kuswani
Liliek Koeshadianto
Soedjarwo
Endar Priyanto
Asep Kuswani
Achmad Syamsuddin
Sugito
Yayat Sudrajat
Gatot Subiyaktoro
Hulman Goeltom
AKB Adios Salova
Eurico Guterres
Sumber Litbang Kompas

Bebas (04-Nopember-2004)
Bebas (29-Juli-2004)
Bebas (12 -???- 2003)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (19-Mei-2004)
Bebas (19-Juli-2004)
Bebas (22-Mei-2003)
Bebas (19-Mei-2004)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (29-Juli-2004)
Bebas (29-Nopember-2002)
Bebas (29-Nopember-2002)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (30-Desember-2002)
Bebas (03-Maret-2004)
Bebas (29-Juli-2004)
Bebas (19-Mei-2004)
10 tahun (13-Maret-2006)

14

Wacana KKR 2006= 15

Kompas, Senin 20 Maret 2006

Rekonsiliasi, Tugas Mendesak Gubernur Baru
Barnabas Suebu dipastikan menjadi Gubernur Papua periode 2006-2011. Di tangan Suebu masyarakat
Papua menggantungkan harapan penuh, termasuk penyelesaian masalah Provinsi Irian Jaya Barat. Harus
ada komitmen pejabat dan elite politik Irian Jaya Barat dan Papua untuk mengakhiri perseteruan itu jika
tidak ingin menghabiskan waktu, dana, dan tenaga dalam jumlah besar.
Bambang Sugiono, dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura, di Jayapura,
mengemukakan, Suebu adalah seorang pemimpin besar Papua. Cerdas, berpengalaman, pernah lima tahun
menjadi Gubernur Irian Jaya, pernah menjadi anggota DPRD Irian Jaya, Ketua KNPI Papua, duta besar
luar biasa, dan memiliki pergaulan yang luas baik di tingkat nasional maupun internasional.

AM

Sederetan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki Suebu itu diharapkan mampu mengatasi dan
menyelesaikan sejumlah persoalan di Papua, terutama kemelut politik antara Papua dan Irian Jaya Barat
(Irjabar). Meski dalam pidato politik menjelang pilkada, Suebu menolak pilkada Gubernur Irjabar, realitas
politik telah mengantarkan seorang gubernur definitif di Irjabar dengan dukungan sekitar 61 persen dari
600.000 masyarakat Irjabar.

LS

”Tugas paling mendesak dari Pak Bas (Barnabas Suebu) dan Pak Bram (Abraham Atururi— Gubernur
Irjabar terpilih) dalam satu-dua bulan pertama adalah menyelesaikan masalah Irjabar. Tidak boleh ada
agenda lain yang harus diselesaikan lebih awal kalau dua gubernur itu betul-betul ingin mencintai
masyarakat dan ingin membangun suasana harmonis di Papua,” papar Sugiono.

Bahas otsus

gE

Pemerintah pusat yang mendukung pelaksanaan pilkada di Irjabar diharapkan dapat memfasilitasi upaya
penyelesaian masalah Irjabar. Pemerintah pusat tak boleh membiarkan persoalan Irjabar terus bergulir.
Elite politik kedua daerah itu, seperti Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), dan DPRP harus memiliki niat baik untuk mengakhiri perseteruan di Papua.

pin

Masih menurut Sugiono, para tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda dari kedua
provinsi dapat dipertemukan bersama-sama, mencari jalan terbaik mengakhiri perseteruan politik antara
kedua daerah yang berlangsung sejak 2003 hingga hari ini. Penyelesaian masalah Irjabar sangat mendesak
dan kunci membangun Papua yang aman, damai, dan sejahtera pada lima tahun yang akan datang.

kli

Pertemuan itu untuk membahas bagaimana implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus pascapilkada
di kedua daerah, terutama Irjabar. Pembahasan itu harus transparan, transformatif, dan akuntabel.
”Bagaimanapun Papua harus menerima kenyataan bahwa Irjabar sudah definitif sebagai sebuah provinsi
meskipun belum memiliki dasar hukum keberadaan secara jelas,” ujar Sugiono.
Visi dan misi yang disampaikan Barnabas Suebu di hadapan anggota DPRP dan selama kampanye politik
di Papua cukup jelas, yakni mendukung keutuhan NKRI. ”Untuk apa merdeka dalam artian pemisahan
wilayah secara geografis? Kalau merdeka dalam arti pembebasan dari kemiskinan, keterbelakangan,
keterisolasian, dan kebodohan, kita perjuangkan bersama dalam kerangka NKRI,” ujar Suebu.
Opsi yang ditawarkan MRP ketika mengajukan hasil konsultasi publik di Irjabar kepada pemerintah pusat
dapat dikaji kembali untuk menyelesaikan masalah Irjabar. Apabila pemerintah pusat tetap
menyelenggarakan pilkada di daerah itu, harus tetap mempertahankan satu kesatuan sosial, ekonomi, dan
budaya orang asli Papua. Tidak boleh ada penambahan pasukan TNI/Polri, pembangunan kodam dan polda
baru, dan tidak boleh menerima kaum migran dari luar Papua.

15

Wacana KKR 2006= 16
Namun, opsi itu sampai pelaksanaan pilkada di Irjabar tidak mendapat tanggapan dari pemerintah pusat.
Pusat sama sekali tidak memberi perhatian kepada hasil konsultasi publik yang dilakukan MRP, tetapi
secara diam-diam mendorong pelaksanaan pilkada di Irjabar.
Ketua MRP Agus Alue Alua menegaskan, jika pemerintah pusat tidak memerhatikan usulan dari MRP,
MRP dan DPRP akan mengembalikan UU Otsus ke Jakarta. Tindakan itu sebagai realisasi dari penolakan
dan pengembalian Otsus oleh masyarakat, Agustus 2005.
Ketika hampir 10.000 warga Papua di Jayapura melakukan aksi demo mengembalikan UU Otsus ke DPRP
Papua, saat itu MRP belum terbentuk. MRP sebagai lembaga kultural bertugas mempertahankan dan
memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua.

AM

Terkait pelaksanaan pilkada di Irjabar, MRP belum mengambil sikap. Konsentrasi MRP saat ini ke
masalah PT Freeport Indonesia (PT FI). Aspirasi masyarakat yang beragam terkait keberadaan PT FI
mendesak MRP segera mengambil sikap yang jelas terhadap perusahaan milik investor Amerika Serikat
itu.
Namun, yang jelas MRP bersama DPRP akan mengembalikan UU Otsus sebagaimana disampaikan
pimpinan MRP beberapa waktu lalu. Tindakan itu sebagai jalan terakhir mengakhiri segala konflik di
Papua terkait dengan pelaksanaan UU Otsus. Papua kembali seperti masa sebelum Otsus.

LS

Sugiono menyatakan, semua pihak perlu melakukan kajian bersama tentang untung-ruginya
mengembalikan UU tersebut bagi masyarakat Papua.
Peran dua gubernur

gE

Oleh karena itu, peran kedua gubernur baru sangat penting. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,
gubernur harus mampu merangkum seluruh lembaga dan mitra kerja di daerah. termasuk MRP, DPRP,
bupati/wali kota, dan DPRD.

pin

”Kedua gubernur itu telah memberi janji-janji politik kepada masyarakat di dua wilayah Papua dan Irjabar.
Kesejahteraan menjadi topik utama janji mereka. Kesejahteraan itu terbangun kalau ada kesungguhan dari
para pejabat dan elite politik untuk menyelesaikan masalah-masalah politik antara kedua daerah,” papar
Sugiono.
Persoalan Irjabar mudah diatasi kalau semua komponen masyarakat sama-sama menyingkirkan
kepentingan pribadi dan kelompok demi kesejahteraan masyarakat secara murni dan konsekuen. Irjabar
harus masuk dalam sistem Otsus sehingga mudah ditata.

kli

Bisa jadi Provinsi Papua tetap berdiri sebagai sebuah provinsi besar. Di bawah provinsi besar itu ada
provinsi bagian yang disebut Provinsi Papua bagian Barat, Papua bagian Selatan, Papua bagian Tengah,
Papua bagian Timur, dan Provinsi Teluk Cenderawasih. Irian Jaya Barat akan berubah nama menjadi
Provinsi Papua Bagian Barat. Tidak pantas disebut Papua Barat karena memiliki konotasi kurang pas
dalam paham NKRI.(Kornelis Kewa Ama)

16

Wacana KKR 2006= 17

Jakarta post, March 20, 2006
Rights victims want truth law reviewed
JAKARTA: Victims of human rights abuses have called for a review of the 2004 Law on the Truth and
Reconciliation Commission (KKR), which they say gives impunity to state officials implicated in a series
of state crimes.
"Through the establishment of a KKR, we are worried that the government has just looked for justification
over the past violence, while on the other hand, victims have to accept reconciliation with the state," said
Mugiyanto, a human rights activist who provides legal advocacy for human rights victims grouped in the
Association of Relatives of Missing Persons (Ikohi).
Ikohi said this was discussed during a three-day national congress that ended March 10 in Makassar, South
Sulawesi.

AM

The law was enacted two years ago, but the KKR was not yet been established as President Susilo
Bambang Yudhoyono continues to delay the selection of 21 of 42 candidates proposed by the governmentsanctioned selection committee. Their selection must be approved by the House of Representatives.

kli

pin

gE

LS

Politicians have said the commission was expected to delve into past human rights cases purportedly
involving state officials during the Soeharto administration. --JP

17

Wacana KKR 2006= 18

LSM Minta Aturan Kerja Dibuat oleh KKR yang akan Terbentuk
Aturan Pelaksana UU KKR,
Hukum online, [27/3/06]
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14621&cl=Berita

Tim Advokasi akan mendaftarkan permohonan uji materiil UU KKR ke Mahkamah Konstitusi.
Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan (Tim Advokasi), Senin (27/3) meminta agar pemerintah
memberikan kesempatan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan terbentuk untuk membuat
sendiri tata cara dan mekanisme kerja mereka.

AM

Permintaan Tim Advokasi yang terdiri dari LBH Jakarta, Kontras, Elsam, Solidaritas Nusa Bangsa,
Imparsial dan Lembaga Pengabdian Hukum Yekti Angudi Piadekin Hukum Indonesia itu didasari atas
pernyataan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara tentang rencana pemerintah yang akan
melakukan persiapan penyusunan aturan pelaksana UU 27/2004 tentang KKR. Aturan pelaksana itu
meliputi; Keputusan Presiden tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja serta Peraturan Presiden mengenai
Struktur dan Organisasi KKR.
Langkah pemerintah ini menurut Taufik Basari, Koordinator Tim Advokasi, sebagai suatu intervensi
pemerintah yang melanggar prinsip-prinsip kemandirian KKR. Berdasarkan pasal 10 UU KKR,
penyusunan kode etik Komisi serta tata tertib dan mekanisme kerja Komisi merupakan kewenangan sidang
Komisi. Pemerintah hanya berwenang mendukung kerja Komisi melalui Sekretariat Komisi.

LS

Selain itu, Tim Advokasi menganggap langkah pemerintah ini berpotensi membatasi kerja-kerja KKR
yang sebenarnya sudah terperangkap oleh pembatasan dalam UU KKR. Misalnya dalam pasal 29 UU
KKR, mengatur tentang mekanisme yang menggunakan pendekatan interpersonal, dimana penyelesaian
suatu perkara dilakukan satu persatu dengan mempertemukan korban dan pelaku.

gE

Mekanisme ini mempunyai tiga kemungkinan; Pertama, apabila pelaku dan korban saling memaafkan
maka mereka diwajibkan membuat suatu perjanjian perdamaian. Selanjutnya, apabila rekomendasi amnesti
untuk pelaku dipenuhi Presiden, barulah korban memperoleh kompensasi dan rehabilitasi.

pin

Kedua, apabila korban tidak bersedia memaafkan, maka komisi akan memberikan rekomendasi secara
mandiri dan obyektif. Ketiga, apabila pelaku tidak mengakui kesalahannya, maka ia akan dibawa ke
Pengadilan HAM Ad Hoc, pengadilan yang menurut mereka pembentukannya tidak mudah.
Pembatasan berikutnya adalah soal sempitnya waktu Komisi untuk menyelesaikan suatu kasus. Pasal 24
UU KKR memberikan batas waktu yang menurut Tim Advokasi tidak masuk akal, yakni 90 hari terhitung
korban datang ke Komisi.

kli

Menurut Tim Advokasi, kalaupun Pemerintah tetap bermaksud membuat aturan pendukung Komisi, maka
aturan tersebut harus dibuat dengan tujuan mendukung kerja-kerja Komisi. Tim Advokasi menambahkan,
aturan pendukung ini harus memberikan jaminan bahwa Komisi dapat mengakses segala data dari berbagai
instansi. Perlu diketahui, sampai saat ini Presiden belum memilih anggota KKR dari 42 nama yang keluar
dari panitia seleksi anggota KKR.
Selain itu, tim juga melihat UU KKR yang ada saat ini memiliki banyak kelemahan dan cacat. Baik dari
keadilan, logika hukum dan prinsip-prinsip HAM. Untuk itu, tim advokasi berencana mengajukan
permohonan uji materiil UU KKR ke Mahkamah Konstitusi. Menurut jadwal. Permohonan uji materiil itu
akan didaftarkan besok, Selasa (28/3).

18

Wacana KKR 2006= 19
Suara Pembaruan, Selasa, 28 Maret 2006

UU KKR Kandung Kelemahan Fundamental
JAKARTA - DPR dan pemerintah diminta untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), karena UU tersebut mengandung kelemahan
fundamental dan meniadakan hak-hak korban. Kecacatan UU tersebut amat berbahaya bagi kelangsungan
sejarah bangsa Indonesia karena KKR bertugas mengungkapkan kebenaran dan hasilnya akan menjadi
official history.
Apabila bukan kebenaran yang terungkap melainkan semata-mata pengampunan belaka yang dihasilkan
oleh KKR, maka rekonsiliasi tidak akan pernah tercapai dan bangsa Indonesia selamanya akan diliputi
oleh manipulasi-manipulasi sejarah dan fakta.

AM

Demikian dikatakan sejumlah aktivis dari beberapa LSM yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebenaran
dan Keadilan di Jakarta, Senin (27/3). Para aktivis itu antara lain, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, Kepala Operasional Kontras Indria Fernida,
aktivis LBH Jakarta yang juga sebagai Koordinator Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan Taufik Basari
dan aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman.

LS

Mereka menyerukan seperti itu sebagai respons atas pernyataan pemerintah melalui Menteri Sekretaris
Negara, Yusril Ihza Mahendra