ECO ETHICS SPIRITUAL MEMBANGUN RELASI AN

Tajdid:
Khazanah dan Kajian Keislaman Progresif,
Vol. x. No. 2, 2011

ECO-ETHICS SPIRITUAL:
MEMBANGUN RELASI ANTARA MANUSIA DAN LINGKUNGAN
BERBASIS NORMATIVITAS ISLAM
Oleh: Mohd. Arifullah

Pendahuluan
“If nature is not prison and earth a shoddy way-station, we must find the
faith and force to affirm its metabolism as our own--or rather, our own as
past of it. To do so means nothing less than a shift in our whole frame of
reference and our attitude toward life itself, a wider perception of the
landscape as a creative, harmonious being where relationships of things
are as real as the things. Without losing our sense of a great human
destiny and without intellectual surrender, we must affirm tha the world is
a being, a part of our own body”. (Paul Shepard).1
Ungkapan Paul Shepard di atas menunjukkan bagaimana manusia harus bersikap
etis terhadap alam, yaitu bersikap seolah alam adalah bagian dari diri manusia sendiri,
karena itu manusia dan alam semestinya dapat menumbuhkan hubungan simbiosismutualis yang menguntungkan keduanya. Shepard menyadari bahwa sumberdaya alam

termasuk sumberdaya hutan, air, udara, dan mineral, merupakan modal utama dan
fundamental bagi kelangsungan hidup manusia, tanpa dukungan sumber daya alam
tersebut, manusia akan kesulitan mengemban amanah kehidupannya. Untuk itu,
manusia secara ideal dan moral berkewajiban melestarikan sumber daya alam dan
lingkungannya, sehingga berbagai sumberdaya alam dapat dipertahankan eksistensinya
dari generasi ke generasi. Dalam konteks ini kesadaran terhadap dampak negatif
berbagai bentuk eksploitasi sumber daya alam menjadi kemutlakan, bahwa eksploitasi
sumber daya alam secara massif akan mengakibatkan penyusutan sumber daya alam
yang akhirnya akan menimbulkan berbagai dampak lingkungan yang tidak terkira bagi
manusia.
Dihubungkan dengan pandangan Islam, manusia sebagai khalifat al-Lah fi alArdh, memiliki kewenangan untuk mendayagunakan atau mengoptimalisasikan

penggunaan sumber daya alam, namun tidak harus dilakukan semata dengan
mempertimbangkan aspek ekonomi. Manusia sebagai makhluk rasional dan religius,
1

Lihat Paul Shepard and Daniel McKinley, The Subversive Science: Essays toward and Ecology
of Man, (Boston: Houhton, Mifflin, 1969).

1


cerdas dan bernurani juga harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan,
kesesuaian lahan, nilai potensi, dan konsistensi demi tercapainya pembangunan
lingkungan yang berkelanjutan, singkatnya dapat mempertimbangkan dampak
lingkungan. Artinya eksploitasi sumber daya alam perlu diimbangi dengan kesadaran
terhadap kondisi lingkungan akibat eksploitasi tersebut.2 Melalui kesadaran seperti ini,
penulis menilai dibutuhkan suatu nilai etika tertentu dalam melihat relasi manusia
sebagai khalifah Allah dengan alam/ lingkungan hidup sebagai amanah kekhalifahan
manusia. Dalam konteks ini penulis tertarik untuk menelisik lebih jauh perspektif etika
Islam dalam melihat relasi antara manusia sebagai subjek dan lingkungan sebagai
objek. Tujuannya adalah memberikan basis konseptual-normatif bagi sebuah tindakan
mulia, yaitu pelestarian lingkungan hidup.
Realitas Krisis Lingkungan Kontemporer
Krisis lingkungan, dewasa ini telah menjadi momok yang menakutkan dan
menjadi kewaspadaan bersama dunia global. Kesadaran intelektual terhadap bahaya
krisis lingkungan telah ada sejak abad-abad pasca Revolusi Industri,3 sebagai akibat
keserakahan manusia yang merasa mandiri dan tidak memiliki “keterkaitan/
ketundukannya” terhadap alam. Kesadaran ini, secara transendental bahkan telah
disadari oleh para pembawa risalah kenabi, yang tersempurnakan pada visi profetis
Muhammad. Dewasa ini kesadaran yang lebih aktual tentang krisis lingkungan telah

pula menjadi perhatian dunia, seperti diungkap di antaranya oleh E. Goldsmith dan R.
Allen dalam A Blueprint for Survival, bahwa krisis lingkungan telah menjadi perhatian
dunia, terutama sejak Konfrensi Stockholm pada Juni 1972.4
Revolusi Industri yang awalnya diarahkan untuk memanusiakan manusia,
ternyata telah menjadi bumerang bagi manusia dan lingkungannya. Revolusi Industri
yang bermula di Inggris dan meluas ke negara-negara Eropa serta dunia secara global
ternyata memiliki dampak kemanusiaan dan ekologi yang tak terkirakan, perubahan
masyarakat agrikultural ke industrial yang berbasis metal telah mengubah dunia secara
2

Herwan Parwiyanto, Lingkungan dalam Kajian Etika & Moral , www.google.com.
Dikatakan oleh John Houghton pengarang Global Warming , bahwa manusia selama beberapa
abad telah mengeksploitasi bumi (exploiting the Earth) dan juga berbagai sumber daya alam yang
terdapat di dalamnya. Hal ini telah dimulai sejak meletusnya Revolusi Industri sekitas dua ratus tahun
yang lalu. John Houghton, Global Warming (Cambridge: Cambridge University Press, 2004, 198.
Karena itu kesadaran terhadap krisis lingkungan mulai tumbuh setelah masa-masa Revolusi Industri.
4
E. Goldsmith, R. Allen, et. al., “A Blueprint for Survival, dalam The Ecologist, vo. 2, no. 1
(Januari 1972).
3


2

drastis dan sangat cepat.5 Perubahan ini sebenarnya bernilai ganda, positif dan juga
negatif, positif karena ia membawa manusia pada kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi yang berdampak pada kemakmuran dan kesejahteraan manusia, namun
negatif, karena memiliki dampak ekologis yang berbahaya. E.F. Schumacher dalam
karyanya Small is Beautiful: Economics as if People Mattered mengungkapkan bahwa
dampak negatif Revolusi Industri diakibatkan oleh “Revolusi Konsumsi” yang menjadi
anak dari Revolusi Indutri.6 “Revolusi Konsumsi” tidak berbeda dengan “Revolusi
Keserakahan” yang menghalalkan segala bentuk dan cara eksploitasi alam demi
memenuhi keserakahan ekonomi manusia, tanpa mempedulikan menyusutnya sumber
daya alam.
Akibat langsung dari Revolusi Konsumsi ini adalah eksploitasi alam yang tidak
mengenal puas. Akibatnya, seperti dikatakan John Houghton persediaan mineral bumi
menjadi menipis, biji bisi, metal, minyak, dan gas telah dieksploitasi habis-habisan.7
Tidak hanya sumber daya mineral, manusia modern juga telah mengeksploitasi
sumber-sumber alam biologis, yang dewasa ini semakin menipis jumlahnya. Hutanhutan telah dibabat dalam skala yang luas, yang digunakan sebagai lahan pertanian
ataupun perumahan. Hutan-hutan tropis yang memiliki arti penting dalam menjaga
keseimbangan iklim juga telah dirambah, dijarah, dan dieksploitasi sedemikian rupa.

Kenyataan ini telah memusnahkan separuh dari spesies mahluk hidup (binatang/
tumbuhan) dunia.8
Selain itu, Industri pertambangan dan juga emisi berbagai jenis kendaraan di
kota-kota besar telah mengakibatkan pencemaran udara oleh carbon dioksida.
Beberapa fenomena ini saja telah mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan yang
sangat besar, berupa menipisnya lapisan ozon, yang menyebabkan efek rumah kaca,
sehingga bumi menjadi semakin panas. Akibatnya, seperti dikatakan oleh Jonathan
Bate, dalam karyanya The Song of the Earth, daratan es di Kutub Utara dan Selatan
Lihat Microsoft Encarta Encyclopedia , 2001, “Industrial Revolution”.
Lihat E.F. Schumacher, Small is Beautiful: Economics as if People Mattered, (New York:
Harper and Row, 1973).
7
Houghton, Global Warming, 198.
8
Lihat Lean G . Hinrichsen D. & Markham A. , Atlas of the Environment (London: Arrow Books,
1990). Tentang perubahan iklim ini dapat pula dirujuk dalam karya-karya berikut: Bud Ward, (Ed),
Reporting On Climate Change: Understanding The Science, (Washington DC, Environmental Law
Institute, 2003), Arie S. Issar dan Mattanyah Zohar, Climate Change, Enviroment and History of the
Near East, (Berlin, Springer, 2007), dan World Health Organization (WHO), Climate Change and
Human Health, Impact and Adaptation, (Geneva, Protection of the Human Environment, May 2008).

5

6

3

mulai mencair dan menaikkan permukaan air laut, huam asam yang berbahaya bagi
kehidupan makhluk hidup, menciutnya hutan, meluasnya padang pasir, timbulnya
berbagai penyakit baru, berbagai biodiversity terancam punah, dan juga perubahan
iklim ekstrem,9 yang dewasa ini mulai dirasakan.
Krisis lingkungan di atas, pada dasarnya terkait dengan pola hubungan manusia
dengan lingkungannya, atau bagaimana cara manusia memahami lingkungannya. Hal
itu diperparah oleh kenyataan pesatnya pertumbuhan penduduk dunia yang tidak
terkontrol yang tentu saja membutuhkan asupan sumber daya alam yang semakin besar
pula. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia inilah alam menjadi objek
eksploitasi yang seakan tidak mengenal puas.
Melihat kenyataan tersebut, banyak pakar mulai menyerukan sikap untuk
menjaga kelestarian lingkungan, dengan melakukan perubahan pandangan atau world
view terhadap lingkungan, seperti dilakukan oleh Sandra Postel dalam karyanya
Defusing the Toxics Threath.10 Demikian juga Al Gore yang mewanti-wanti soal


kepunahan umat manusia. Berdasarkan pembelajarannya dari sejarah masa lampau. Al
Gore melihat bahwa kepunahan umat manusia dapat diakibatkan oleh perubahan iklim
drastis yang dipicu oleh krisis lingkungan. Al Gore juga mengungkapkan banyaknya
peradaban besar dunia yang punah karena kehilangan kesuburan tanah, krisis air,
ataupun penggundulan hutan, sebagaimana yang menimpa peradaban Maya tahun 950
M.11 Namun demikian seruan yang dilakukan oleh para intelektual belum dapat
mengubah banyak krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini.
Karena itu dalam kenyataannya adalah tugas yang maha berat untuk mengatasi
krisis lingkungan tersebut. Umat beragama kiranya dapat memainkan salah satu peran
dalam upaya tersebut yaitu melalui internalisasi nilai-nilai normativitas agama dalam
upaya pelestarian lingkungan. Dalam hal ini David Tacey menilai perlunya suatu
gerakan revolusi spiritual yang diarahkan untuk mengkonservasi alam yang saat ini
telah berada pada tahap kritis. Tacey lebih jauh menawarkan konsep eco-spirituality,
yang menurutnya dapat mengubah paradigma alam dan lingkungan dan menumbuhkan

9

Jonathan Bate, The Song of the Earth (London: Macmillan Publisher, Ltd., 2000), 24.
Sandra POstel, Defusing the Toxics Threath (Wahington: Worldwatch Paper 79, 1987).

11
Lihat Al Gore, Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit (Boston: Houghton
Mifflin, 1992), 34-44.
10

4

peremajaan spiritualitas alam (Nature and Spiritual Renewal).12 Apa yang diinginkan
oleh Tacey ini tampaknya mulai dilakukan oleh beberapa cendikiawan Islam
Kontemporer.
Lingkungan dalam Khazanah Intelektual Islam
Lingkungan, kini sepertinya telah menjadi term yang terlupakan dalam khazanah
keilmuan Islam, namun bukan berarti term ini tidak dikenal dalam khazanah keilmuan
Islam. Sejak zaman klasik Islam term ini sebenarnya telah menjadi perhatian beberapa
filsosof Islam, seperti Ikhwan al-Shafa,13 atau bahkan menjadi bagian yang integral
dalam pemikiran sufistik Ibn Arabi.14 Dewasa ini, persoalan lingkungan mendapatkan
perhatian yang lebih fokus walaupun belum intens dalam pemikiran beberapa
intelektual Islam, seperti dalam pemikiran Syed Hossein Nasr, Isma’il raji al-Faruqi,
ataupun Ziauddin Sardar. Pemikiran para intelektual Islam kontemporer ini kiranya
menarik untuk diulas sebagai landasan wawasan dalam memahami krisis lingkungan

dalam perspektif Islam.
Syed Hossein Nasr yang terkenal dengan gagasannya tentang a sacred science
atau sains sakral, mengungkapkan bahwa berdasarkan pengetahuan profetis Islam,
Islam menganjurkan penganutnya untuk tidak menaklukkan alam, dalam arti
mengeksplorasi sumber daya alam secara brutal. Manusia dapat memanfaatkan sumber
daya alam sesuai dengan perintah Allah. Nasr juga mengkritisi modernisme, karena

12

Melalui eco-spirituality, Tacey berkeinginan menumbuhkan sebuah paradigma baru tentang
alam dan lingkungan hidup, yang diharapkan dapat menambah kepedulian dan kecintaan manusia
terhadap alam (falling in love with the world), yang nantinya diinginkan pula dapat memunculkan
kesadaran bahwa alam ini merupakan “titipan anak cucu kita, bukan warisan dari nenek moyang kita”.
Artinya sudah saatnya manusia modern dapat memahami alam dalam koridor kesadaran spiritual yang
mendalam. David Tacey, The Spirituality Revolution, The Emergence of Contemporary Spirituality,
(New York, Brunner-Routledge, 2004), 183-191.
13
Ikhwan al-Shafa memahami adanya dua datarn kosmos, yaitu manusia sebagai mikrokosmos
dan alam sebagai makrokosmos. Keduanya dalam pandangan Ikhwan al-Shafa merupakan entitas yang
tidak terpisahkan sehingga mesti terkait satu sama lain dan saling menjaga. Dalam konteks ini Ikhwan

al-Shafa telah menetapkan satu eco-ethics berdasarkan nilai-nilai spiritual Islam. Baca lebih jauh dalam
Ikhwan as-Shafa, Rasa>’il Ikhwa>n al-S}afa> (Beirut, Dar Sadir, 1957), vol. I-IV.
14
Ibn ‘Arabi memiliki konsep Insan Kamil sebagai manifestasi tajalli Tuhan yang paling
paripurna berlandaskan pada pemikirannya mengenai wahdat al-wuju>d. Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa
segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal “yang benar-benar ada” hanyalah Allah
semata. Menurutnya Allah itu mutlak dari segi esensinya, tetapi menampakkan diri pada alam semesta
yang serba terbatas, dan hanya Insan Kamil yang merupakan wadah penampakan (tajalli) diri-Nya yang
paling sempurna di antara seluruh makhluk-Nya. Walaupun demikian pandangan ini telah menempatkan
alam secara mulia sebagai manivestasi dari ketuhanan Ilahiyah. Baca lebih jauh karya Muhy al-Din Ibn
al-‘Arabi, futu>h}at al-Makkiyyah, (Beirut, Dar Sadir, 2004) dan Fus}us} al-H{ika>m, (Beirut, Dar Sadir,
2004).

5

ambisinya untuk menguasai alam hanya akan berakhir pada krisis lingkungan.15
Isma’il Raji al-Faruqi setuju dengan pandangan Nasr, baginya, umat Islam dewasa ini
dalam keadaan sakit sebagai diakibat dari pengaruh asing Barat. Umat Islam dan juga
manusia modern umumnya telah melupakan fungsinya sebagai khalifah16 Allah di
muka bumi, yang berkewajiban untuk menjaga amanah Allah dengan menjaga alam

dari tindakan eksploitasi yang berlebihan.17
Selain itu, masih terdapat beberapa pemikir Islam kontemporer yang memiliki
imbas pemikiran secara tidak langsung pada upaya pelestarian lingkungan. Pemikiran
Maurice Buceile dalam The Bible, the Coran, and Science (1978), misalnya,
sungguhpun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai karya yang sarat dengan muatan
emosional dan benada apologi seperti diungkapkan oleh Ziauddin Sardar, namun
berbagai fakta ilmiah yang diungkapkannnya, terutama terkait dengan konsepsi
lingkungan yang ia temukan dalam al-Qur’an telah memberikan kesadaran untuk
melestarikan lingkungan. Hakikat lingkungan dalam al-Qur’an, menurutnya adalah
amanah Allah.18 Hal ini pula yang dapat dilihat dalam karya Ahmad Baiquni ketika
mencoba menampilkan ulasan ilmiah dalam al-Qur’an.
Selain tokoh-tokoh Islam kontemporer di atas, kritik Ali Syari’ati terhadap
ideologi Barat Modern, terutama kapitalisme, Marxisme, dan eksistensialisme, juga
memiliki dampak tidak langsung (implication) pada upaya konservasi lingkungan.
Menurut Syari’ati, ketiga ideologi tersebut walaupun memiliki perbedaan, namun
memiliki kesatuan tujuan yakni memenuhi harsat dunia melalui kerakusan terhadap
sumber daya alam dengan memahami segalanya berpusat kepada manusia
(antroposentris). Inilah yang kemudian menjadikan manusia modern sebagai pemuja
materi, yang mengkristal dalam bentuk materialisme.19
Pemujaan terhadap materi ini bagi Ziauddin Sardar menjadi penyebab utama
krisis lingkungan dewasa ini. Namun faktor tersebut vtidak independen, karena juga
15

Lihat dalam Muzaffar Iqbal, Science and Islam (London: Greenwood Press, 2007).
Berkenaan dengan konsep khalifah ini, Musthafa Abu Sway mengungkapkan bahwa konsep
khalifah dalam Islam tidak akan berarti apa-apa jika manusia tidak mampu menjalankan tugas-tugasnya
dalam mengkonservasi lingkungan. Musthafa Abu Sway, Toward an Islamic Jurisprudence of the
Environment: Fiqh al-Bi’ah fi al-Islam, htttp://homepage.iol,ie /~afifi /Article /evironment. htm. Februari
2008.
17
Lihat Isma’il Raji al-Faruqi dan Lois Lamya, The Culturtal Atlas of Islam (New York: Mac
Millan, 1986).
18
Maurice Buceile, (Terj.) The Bible, the Coran, and Science (Jakarta: Bulan Bintang, 1987)
19
Lihat Ali Syari’ati, (Terj.) Afif Muhammad, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat
(Bandung: Pustaka Hidayuah, 1996), 63-65.
16

6

didorong oleh berbagai fakktor lainnya terutama adanya krisis moral dan spiritual yang
dialami oleh manusia modern. Karena itu, bagai Sardar krisis lingkungan selalu
meliputi krisis manusia baik fisik, psikis, dan nilai yang menopang pandangan hidup
mereka.20
Pandangan para intelektual Islam di atas hanya sebagian kecil dari suara
kepedulian kaum Muslim terhadap lingkungan, walaupun demikian pandanganpandangan tersebut dapat memperlihatkan kesadaran terhadap fenomena kemodernan
dewasa ini, bahwa manusia modern kini telah mengalami krisis lingkungan sebagai
akibat dari hilangnya nilai-nilai luhur transenden yang dapat mengerem gerak laju
keserakahan manusia terhadap sumber daya alam. Untuk itu, upaya yang efektif dalam
mengatasi krisis lingkungan dan juga menggiatkan kembali konservasi lingkungan
adalah dengan membangun

nilai-nilai etika lingkungan berbasiskan agama atau

tepatnya etika lingkungan berbasis normativitas Islam.
Keinginan untuk membangun basis etika ekologis melalui normativitas Islam
bukanlah sebuah pandangan yang apriori, karena dalam kenyataannya etika terkait erat
dengan perilaku dan juga sains, seperti diistilahkan oleh Jalaluddin Rakhmat, etika
merupakan “pengawal moral” sains. Bahkan dewasa ini dunia telah menyadari peran
etika dalam pengembangan sains, sehingga beberapa negara mendirikan lembagalembaga “pengawal moral” untuk sains. Seperti The Institute of Society di Hasting atau
Ethics and Life Sciences di New York.21 Artinya etika masih dipercaya sebagai

pengawal moral sains dan juga perilaku pengguna sains.
Relasi Manusia dan Lingkungan dalam Perspektif Etika Ekologi Islam
Islam adalah Di>n yang sha>mil (integral), ka>mil (Sempurna), dan mutaka>mil
(menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia adalah sistem hidup yang
diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana,22 sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah QS. al-Ma>’idah/5 ayat 3: “…Pada hari ini Aku
sempurnakan bagimu agamamu dan Aku cukupkan atasmu nikmatku, dan Aku ridhai

20
21

158.

Ziauddin Sardar, Islamic Futures (New York: Mensell Publishing Limited, 1985).
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan, 1998),

Nishi Chiba, “Pelestarian Lingkungan Hidup menurut Islam”, www .Indonesiamuslim blogger.
com. 17 Mei 2008.
22

7

Islam sebagai aturan hidupmu…" (QS. al-Ma>’idah/5: 3).23 Ayat ini mengindikasikan
Islam mencakup semua sisi yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, tidak
hanya mencakup dimensi shari’ah, tapi juga aturan bagi sesama manusia, bahkan
aturan atau etika terhadap alam dan lingkungan hidupnya.
Bagi penulis terdapat tiga ajaran prinsip Islam yang dapat menjadi landasan etis
pengembangan etika lingkungan (eco-ethics) berbasis normativitas Islam, yaitu
pandangan normativitas Islam terhadap lingkungan, universalitas sebagai landasan
ideal etis dan juga konsep manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi sebagai
landasan praktis.
Lingkungan dalam Normativitas Islam

Ajaran Islam, terutama al-Qur’an banyak memberikan penjelasan tentang
lingkungan, baik berupa gambaran, tujuan penciptaan, ataupun keutamaan-keutamaan
alam, seperti tergambar dalam QS. al-Baqarah/2, ayat 22; QS. al-Nazi’at/79, ayat 2733; QS. al-Anbiya>’/21, ayat 16-18, serta ayat-ayat lainnya yang tersebar dalam alQur’an. Selain itu, banyak pula ayat al-Qur’an yang menejelaskan tentang berbagai
unsur alam, seperti terlihat dalam QS. al-Baqarah/2, ayat 60, 164; QS. al-Nahl/16, ayat
79; QS. al-Anbiya’/21, ayat 30; QS. al-Nu>r/24, ayat 40, 43, ataupun 45; dan lain
sebagainya.
Sehubungan dengan krisis lingkungan, banyak pula ayat-ayat al-Qur’an yang
memberikan gambaran dan peringatan kepada manusia tentang kerusakan lingkungan
dan juga bahayanya bagi eksistensi manusia. Di antaranya QS. al-Baqarah/2, ayat 22,
sebagai berikut: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah
kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui”(QS. al-

Baqarah/ 2: 22). 24; Atau QS. Luqman/31 ayat 20: “Telah nampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar). Katakanlah: Adakanlah perjalanan di muka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari
23
24

Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 157.
Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 11-12.

8

mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Oleh Karena itu,
hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah
suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya): pada hari itu mereka terpisahpisah” (QS. al-Rum/ 30 ayat 41-43).25
Universalitas sebagai Landasan Ideal Etika Ekologi Islam

Islam adalah agama, aturan, dan sistem hidup yang universal. 26 Dari sejak
kelahirannya yang resmi Juni 610 M hingga sekarang ini, semua konsep Islam yang
dibangun sepanjang sekitar 23 tahun itu hidup dan bergerak dalam sejarah dengan
percaya diri menjelma sebagai salah satu alternatif yang dipakai manusia untuk
mengatur kehidupannya. Sistem nilai etisnya yang berprinsip pada universalitas tidak
saja dapat mengantarkan manusia pada kedamaian, kesejahteraan dan keadilan, namun
juga membawa kebaikan bagi alam sekitar.
Konsep teologis ajaran universalitas Islam, menurut Kuntowijoyo dapat dilacak
dari perkataan al-Isla>m itu sendiri, yang berarti "sikap pasrah kepada Tuhan" atau
"perdamaian". Melalui pengertian ini, semua agama yang benar pasti bersifat al-Isla>m
karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan dan perdamaian. Tafsir Islam seperti
ini, akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian (the unity of prophecy) dan
kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity). Kedua konsep ini merupakan implikasi
dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (the unity of God atau tawhid). Semua konsepsi
kestauan ini menjadikan Islam bersifat kosmopolit dan mampu menjadi rahmat bagi

Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 647.
Universal berasal dari bahasa Latin, universum, berarti “alam semesta/ dunia”. Dari kata itu
dibentuk kata sifat, yaitu universalis yang berarti “umum, mencakup semua, dan menyeluruh”. Dalam
bahasa Inggris, kata Latin universalis menjadi universal. Kata ini dapat berarti 'konsep umum' yang
dapat diterapkan pada kenyataan, misalnya konsep kemanusiaan yang dapat diterapkan pada setiap
orang apapun status sosial, warna kulit, ras, dan agamanya. Dari kata universalis atau universal inilah
istilah universalisme berasal. Menurut paham universal, kemanusiaan itu umum, sama di seluruh dunia.
Sejauh sebagai manusia, semua orang mempunyai tugas dan kewajiban sama di mana-mana. Karena itu,
sebagai manusia, orang di mana pun dituntut hidup berperilaku dan bertindak sebagai manusia.
Misalnya, memanfaatkan akal budinya dan hidup menurut akal sehat; mendengarkan suara hati;
melibatkan kehendak dalam mengambil keputusan; mengikutkan hati dan perasaan dalam menikamti
karya seni, dan sebagainya. Sebagai manusia, orang mungkin tidak dapat, bahkan menolak, memenuhi
tugas, tanggung jawabnya sebagai warga negara. Misalnya seseorang dapat saja meninggalkan hak
pilihnya, akan tetapi ia hakikatnya tidak bisa benar-benar bebas untuk meninggalkan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai manusia, misalnya hidup secara moral baik selayaknya sebagai manusia.
A.Mangunhardjana, Isme-isme dari A sampai Z (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 224. Melihat arti dasar
dari dari universal, universalitas harusnya dapat mengantarkan manusia pada kedekatan terhadap alam.
25

26

9

seluruh alam (rahmatan li al-‘a>lami>n).27 M. Quraish Shihab menyatakan bahwa alQur’an banyak menyuarakan persatuan seperti dijelaskan dalam QS. al-Anbiya’/ 21
ayat 92 dan juga QS. al-Mu’minun/ 23 ayat 52: “Sesungguhnya (agama tauhid) ini
adalah agama kamu semua; agama

yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka

sembahlah Aku”. (QS. al-Anbiya’/21: 92).28

Pertanyaannya kini, apakah ayat di atas menyatakan persatuan dalam konteks
umat Islam semata? Menjawab persoalan tersebut Shihab menjelaskan bahwa kata
ummat yang terulang sebanyak 51 kali dalam al-Qur’an memiliki banyak makna.

Mengutif Raghib al-Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus al-Qur’an al-

Mufrada>t fi Gha>rib al-Qur’a>n dapat diketahui bahwa kata ummat adalah “kelompok
yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik
pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri”. Menurut Shihab
makna ummat dalam al-Qur’an sangat lentur dan mudah menyesuaikan diri, tidak ada
batas minimal atau maksimal untuk satu persatuan umat.
Hal yang mencengangkan --menurut Shihab-- tercatat sebanyak sembilan kali
kata ummat digandengkan dengan kata wa>hi} dah, sebagai sifat ummat. Tidak sekalipun
al-Qur’an menggunakan istilah wah}dat al-ummah atau tauhid al-ummah (kesatuan/
penyatuan umat). Karena itu sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, Mantan
Dekan Fak Ushuluddin al-Azhar, bahwa al-Qur’an menekankan sifat umat yang satu
dan bukan penyatuan umat. Artinya al-Qur’an mengakui kebhinekaan dan keragamaan
dalam ketunggalan.29 Sebagaimana firman Allah dalam QS, al-Maidah/ 5 ayat 48:
“…Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlombalombalah berbuat kebajikan…” (QS. al-Ma’idah/ 5: 48).30

Selanjutnya ajaran prinsip universalitas Islam secara umum dapat dilihat dalam
ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara kepada umat manusia dengan ungkapan ya> ayyuha>

al-na>s (wahai sekalian manusia), atau ya> Bani> Af/ 7 ayat 158: "Dan tidak Kami utus
engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam". (QS. al-Anbiya’/21:

107).32; “Katakanlah ‘hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu
semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain
Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS. al-

A’ra>f/ 7: 158)33
Ayat-ayat Makkiyah tersebut dapat dijadikan dasar dalam membantah tuduhan
sebagian orientalis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak memproklamirkan
pengutusan dirinya untuk seluruh umat manusia pada awal kerisalahannya, akan tetapi
baru diproklamirkan setelah mendapat kemenangan atas bangsa Arab. 34 Ayat-ayat di
atas pada dasarnya memperlihatkan sifat universalitas Islam, ketika ia ditujukan bagi
manusia secara keseluruhan, tanpa melihat ras, agama, ataupun kebangsaan dan juga
kepada alam secara keseluruhan. Universalitas ini terlihat ketika al-Qur’an memahami
manusia sebagai anak-cucu Adam, bahwa manusia pada dasarnya berasal dari satu
sumber keturunan, yaitu Alam dan Hawa, sebagai mana terlihat dalam QS. al-A’ra>f/7

Dr. Yusuf Qardhawi, al-Khasha>ish al-‘Am, (Beirut cet. VIII, 1993), 3.
Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 508.
33
Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 247.
34
Lihat Qardhawi, al-Khashaish al-‘Af/ 7: 172).35

Dengan demikian universalitas Islam menampakkan diri dalam berbagai
manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran yang mencakup aspek
akidah, syari'ah dan akhlak yang menampakkan perhatiannya yang sangat besar
terhadap persoalan kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan umum syari'ah yaitu:
menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Selain
itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang
luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar syari'ah yaitu; keadilan, ukhuwwah,
kebebasan dan kehormatan.36 Walaupun demikian cakupan universalitas Islam
sebenarnya tidak hanya antar manusia, namun juga meluas hingga ke alam raya, hal ini
dapat dilihat dalam perikehidupan Nabi yang menaruh kehormatan terhadap seluruh isi
alam, baik manusia, binatang, dan juga tumbuh-tumbuhan yang ada di alam raya.
Karena itulah penulis menilai bahwa universalitas merupakan satu prinsip etika Islam
yang mencakup penghormatan terhadap alam secara keseluruhan. Dalam konteks
inilah Islam dinamakan sebagai Rahmat al-‘An.
Tugas Kekhalifahan sebagai Praxis Etika Lingkungan Islam

Islam mengakui bahwa manusia mesti memiliki etika terhadap alam dan
lingkungan hidup, karena kelestarian alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari
peran manusia, sebagai khalifah di muka bumi. Artinya tugas kekhalifahan manusia
pada dasarnya merupakan prinsip praxis bagi manusia dalam menjalin hubungannya
dengan sesama dan juga alam. Urgensitas tugas kekhalifahan manusia sendiri telah
digambarkan dalam QS. al-Baqarah/2 ayat 30, ketika Allah terlibat “perdebatan”
dengan para malaikat-Nya. Khalifah dalam hal ini berarti wakil Tuhan yang diberi
kedudukan untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu
masyarakat yang memiliki keterhubungan baik dengan Allah sehingga dapat
35
36

Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 250.
Yusuf Qardhawi, Madkhal li al-Dirasat al-Islamiyah (Beirut, Dar al-Maktabat,1993), 61.

12

menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, dan juga kesadaran terhadap
kelestarian lingkungan hidupnya.37 Dalam QS. al-Rahman/55 ayat 1-12, misalnya
Allah menggambarkan hubungan penciptaan alam semesta dan tugas manusia sebagai
khalifah: “(Tuhan) Yang Maha Pemurah; yang telah mengajarkan al-Qur’an; Dia
menciptakan manusia; Mengajarkan pantai berbicara; Matahari dan bulan beredar
menurut perhitungan; dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan keduanya tunduk
kepada-Nya; Dan Allah telah meninggalkan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan); Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu; Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah menguraingi neraca itu; Dan
Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya; di bumi itu ada buah-buahan dan
pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang; dan biji-bijian yang berkulit dan
bunga-bunga yang harum baunya ”. (QS. al-Baqarah/2 ayat 30).38

Ayat di atas ditafsirkan lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dalam dua
bukunya Man and Nature (1990) dan Religion and the Environmental Crisis (1993),
dalam sajian sebagai berikut:
Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and
centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being
taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this
power only because he is the vicegerent (khalifah) of God on earth and the
instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by
virtue of his theomorphic make up, not as a rebel against heaven .39•

Melalui penjelasan di atas jelaslah bahwa manusia sebagai khalifah Allah
mengemban tugas etis sebagai wakil (khalifah) Allah dalam memelihara bumi
(mengelola lingkungan hidup), karena “kekuasaan” manusia sebagai khalifah
merupakan anugrah dari Allah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan manusia
tentang apa yang tidak mereka ketahui (‘allam al-insa>n ma> lam ya’lam). Karena itu
hakikatnya tugas kekhalifahan manusia di muka bumi selalu terhubung dengan
keridhaan Allah.
Artinya, tugas kekhalifahan manusia di muka bumi tidak menjadikan manusia
sebagai penguasa yang dapat mendominasi alam atau jagat raya sekehendaknya.
Justeru tugas kekhalifahan telah membatasi ruang gerak manusia dalam memanfaatkan

37

Chiba, www.Indonesiamuslimblogger.com.
Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 885.
39
Lihat Yusmin Alim, “Lingkungan dan Kadar Iman Kita”, Hidayatullah.com, 27 Juni 2006

38

13

alam berdasarkan nilai-nilai etika tertentu, yaitu nilai-nilai yang telah digariskan oleh
sang Khalik pemilik sekalian alam. Sebagaimana diungkapkan oleh M. Quraish
Shihab, bahwa sebagai khalifah Allah di muka bumi manusia dikehendaki dapat
menjalin hubungan baik dengan alam dan juga sesamanya, bukan dalam pola
hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun
hubungan

kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah. Mengingat kemampuan

manusia dalam mengelola alam bukan sebagai akibat dari kekuatan yang mereka
miliki, namun bentuk dari anugrah Allah terhadap manusia.40 Hal ini tergambar dalam
QS. Ibrahim/14 ayat 32.41
Karena itu, lanjut Shihab, kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara
manusia dengan sesamanya dan juga alam, secara harmonis sesuai dengan petunjukpetunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Namun tentu dibutuhkan
kreativitas manusia dalam memahami wahyu yang diarahkan sesuai dengan
perkembangan dan situasi lingkungan yang ada. Bagi Shihab, inilah prinsip pokok
landasan interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yaitu menjaga keharmonisan
hubungan yang prinsipnya menjadi tujuan semua nilai etis ataupun agama.42
Hal ini pula yang sejak awal disadari oleh Musthafa Abu Sway, ketika
menegaskan bahwa tugas manusia sebagai khalifah tidak akan bermakna apa-apa bila
manusia tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya dalam mengelola lingkungan dan
mengkonservasi lingkungan. Lebih jauh Abu Sway menandaskan bahwa al-maqa>shid

al-syar’iyyah (tujuan shari’ah) yang menduduki peringkat paling tinggi adalah
merawat lingkungan. Argumennya, al-maqa>shid al-syar’iyyah yang terformulasikan
dalam lima ajaran prinsip Islam, yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hak
milik, hanya akan bermakna ketika lingkungan rusak atau kian buruk. Dengan kata
lain, eksistensi al-maqa>shid al-syar’iyyah tergantung pada berbagai kondisi lingkungan

M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 295.
41
Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit,
kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan
Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan
Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai”. (QS. Ibrahim/14 : 32)Tim YPPA, al-Qur’an dan
Terjemahnya, 385.
42
Shihab, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
295.
40

14

yang dihadapi oleh manusia.43
Sementara itu, bagi Cak-Nur fungsi manusia sebagai khalifah Allah itu
memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih
sendiri tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi, sekaligus
memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatanperbuatan itu di hadapan Tuhan. Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang adalah bahwa
umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini, sehingga memberikan
kesan seolah-olah mereka telah memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa.
Dengan kata lain, mereka telah kehilangan semangat ijtihad.44
Kenyataan ini yang ditakutkan dalam mengemban tugas kekhalifahan, yaitu
ketika kemampuan kreatif manusia hilang. Hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh
Shihab bisa muncul karena ketidaktahuan, ataupun karena pembelokan orientasi, yaitu
ketika manusia hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsanya
saja, sehingga secara destruktif mereka berupaya menundukkan alam, padahal yang
menundukkan alam hanyalah Allah. Bahwa manusia dalam hubungannya dengan alam
tidak bertindak sebagai penguasa, penunduk, dan semacamnya, tetapi berupaya
mencari keselarasan dengan alam, karena baik manusia dan alam pada dasarnya samasama telah tunduk kepada Allah.45
Dalam konteks etika ekologis yang lebih nyata, kekhalifahan yang berdimensi
etis ekologis, dapat dilihat dalam suri tauladan yang telah ditunjukkan oleh Nabi Allah
Muhammad, yang disebut-sebut membawa rahmat bagi seluruh alam. Nabi misalnya
memberikan nama terhadap benda-benda yang tidak bernyawa yang dimilikinya,
karena Nabi memahami dengan demikian akan mengesankan benda-benda tersebut
memiliki kepribadian, sehingga pihak lain yang berhubungan akan cenderung bersikap
baik dan bersahabat, sebagaimana seharusnya ia bersikap terhadap benda-benda yang
bernyawa. Artinya sejak dini Nabi telah mengajarkan kepada umatnya untuk dapat
menghargai benda-benda alam sekecil apapun itu, hal ini adalah bagian dari etika
43

Ada kesan dalam hal ini bahwa Abu Sway ingin menyatrakan bahwa menjaga lingkungan juga
harus dimasukkan dalam al-maqa>shid al-syar’iyyah karena justeru ia menjadi yang terpenting untuk
dijaga. Lihat Abu Sway. Toward an Islamic Jurisprudence of the Evironment.
44
Nurcholish Madjid, “Keharuan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali
pemahaman Keagamaan ”, dalam Charles Kurzman (Ed), Liberal Islam: A Source Book, (Terj.) Bahrul
Ulum et. all, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta:
Paramadina, 1998), 488
45
Shihab, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
296-297.

15

Islam terhadap alam, yang pada gilirannya akan mengantarkan manusia dapat
bertanggung-jawab terhadap kelestarian alam. Dalam hal ini Nabi telah menggariskan:
“Tiada kebaikan dalam pemborosan… dan gunakanlah air secukupnya, cukup
membasuh anggota wudhu tiga kali, walaupun engkau berwudhu di sungai yang

mengalir… sungguh orang yang boros adalah saudara setan”.46
Dalam kenyataannya Rasulullah dan para sahabat telah memberikan teladan
pengelolaan lingkungan hidup yang mengacu kepada tauhid dan keimanan. Seperti
yang dilaporkan Sir Thomas Arnold bahwa Islam mengutamakan kebersihan sebagai
standar lingkungan hidup. Standar inilah yang mempengaruhi pembangunan kota
Cordoba. Menjadikan kota ini memiliki tingkat peradaban tertinggi di Eropa pada
masa itu. Kota dengan 70 perpustakaan yang berisi ratusan ribu koleksi buku, 900
tempat pemandian umum, serta pusatnya segala macam profesi tercanggih pada masa
itu. Kebersihan dan keindahan kota tersebut menjadi standar pembangunan kota lain di
Eropa.
Contoh lain adalah inovasi rumah sakit dan manajemennya (Arnold, 1931). Pada
masa itu manajemen rumah sakit sudah sedemikian canggih sebagai pusat perawatan
dan juga pusat pendidikan calon-calon dokter. Rumah sakit tersebut sudah memiliki
ahli bedah, ahli mata, dokter umum, perawat, dan administrator. Tercatat 34 rumah
sakit yang tersebar dari Persia ke Maroko serta dari Siria Utara sampai ke Mesir.
Rumah sakit pertama yang berdiri di Kairo pada tahun 872 Masehi, bahkan beroperasi
selama 700 tahun kemudian. Inovasi bidang kesehatan ini bahkan berkembang sampai
pada penemuan ambulan atau menurut Arnold (1931) sebagai traveling hospital.47
Kemungkinan Pengembangan Etika Ekologi Islam
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa nilai-nilai etika ekologis sangatlah
kaya dalam khazanah normatiovitas Islam, sehingga nilai-nilai etis tersebut dapat terus
digali, misalnya dengan memperhatikan berbagai matra yang dapat dijadikan dalil
pengembangan etika ekologis Islam. Lewat penjabaran di atas misalnya dapat
dikembangkan dalil tentang etika ekologis sebagai berikut.
Dalil pertama, bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi (alam semesta) dan

Lihat Shihab, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, 297.
47
Lihat Chiba, www.Indonesiamuslimblogger.com.
46

16

hanya Dialah sumber pengetahuan. Selanjutnya dari dalil pertama, melahirkan dalil

kedua, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka
bumi. Dalam konteks ini perlu dijelaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi itu

bukan sesuatu yang otomatis didapat ketika manusia lahir ke bumi. Manusia harus
membuktikan dulu kapasitasnya sebelum dianggap layak untuk menjadi khafilah.
Karena itu dibutuhkan dalil ketiga sebagai pengikat dalil kedua, yaitu tauhid.48 Dengan
demikian maka akan tercipta suatu dalil etika ekologis yang bernuansa transendenspiritual. Tauhid tampaknya menjadi inti dari etika ekologis dalam Islam. Hope dan
Young misalnya melihat bahwa tauhid adalah salah satu kunci untuk memahami
masalah alam dan lingkungan hidup. Tauhid adalah pengakuan kepada ke-esa-an
Allah serta pengakuan bahwa Dia-lah pencipta alam semesta ini.
Dalil-dalil di atas dapat terus dikembangkan, dengan visi dan misi yang jelas,
misinya adalah menjaga kelestarian alam dan visinya mendekatkan diri pada Allah
berdasarkan ketajaman nalar, kelembagaan, keahlian, dan kegiatan konservasi
lingkungan. Adapun tolak ukur keberhasilannya adalah mutu atau kualitas lingkungan
hidup di Indonesia, akhirnya rambu-rambu untuk menilai keberhasilan pelaksanaan
misi tersebut adalah fenomena dari berbagai kerusakan lingkungan yang mengglobal
dewasa ini.
Pengembangan dalil-dalil yang bernilai etis di atas tentu saja tidak dapat
diharapkan berefek secara cepat terhadap berbagai kerusakan lingkungan di Indonesia.
Untuk itu seiring dengan pembangunan eco-ethics berbasis normativitas Islam tersebut
Indonesia perlu mengoptimalkan fungsi berbagai perangkat yang telah dimiliki untuk
mencapai misi pelestarian lingkungan, yaitu kelembagaan dalam bidang lingkungan
hidup (Menteri Negara Lingkungan Hidup, Pusat Studi Lingkungan Hidup, dan
lainnya) dan berbagai tenaga ahli (doktor dan peneliti yang mendalami ilmu
lingkungan), untuk bahu membahu dalam melestarikan lingkungan. Dalam hal ini
supermasi hukum juga tentu menjadi syarat utama untuk menciptakan kerangka kerja
di atas. Artinya, pengembangan etika ekologis di atas pada dasarnya merupakan
capaian jangka panjang, yang perlu diiringi dengan penegakan hukum lingkungan yang
baik.
***
48

Lihat Chiba, www.Indonesiamuslimblogger.com.

17

DAFTAR PUSTAKA

‘Arabi, Muhy al-Din Ibn al-, Fus}us} al-H{ika>m, Beirut, Dar Sadir, 2004.
------, futu>h}at al-Makkiyyah, Beirut, Dar Sadir, 2004.
Alim, Yusmin, “Lingkungan dan Kadar Iman Kita”, Hidayatullah.com, 27 Juni 2006
Bate, Jonathan, The Song of the Earth, London: Macmillan Publisher, Ltd., 2000.
Buceile, Maurice, (Terj.) The Bible, the Coran, and Science, Jakarta: Bulan Bintang,
1987.
Chiba, Nishi, “Pelestarian Lingkungan Hidup menurut Islam”, www.Indonesiamuslim
blogger. com. 17 Mei 2008.
Faruqi, Isma’il Raji al- dan Lois Lamya, The Culturtal Atlas of Islam, New York: Mac
Millan, 1986.
Goldsmith, E., R. Allen, et. al., “A Blueprint for Survival, dalam The Ecologist, vo. 2,
no. 1 Januari 1972.
Gore, Al, Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit, Boston: Houghton
Mifflin, 1992.
Hinrichren, Lean G. D. & Markham A. , Atlas of the Environment, London: Arrow
Books, 1990.
Houghton, John, Global Warming, Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
Iqbal, Muzaffar, Science and Islam, London: Greenwood Press, 2007.
Issar, Arie S. & Mattanyah Zohar, Climate Change, Enviroment and History of the
Near East, Berlin, Springer, 2007.
Kuntowijoyo, Universalitas Islam, Islam Sebagai Ilmu, http: // puvandexter. blog.
friendster.com/ 2008.
Charles Kurzman (Ed) (Terj.) Bahrul Ulum et. all, Wacana Islam Liberal: Pemikiran
Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 1998.
Mangunhardjana, A., Isme-isme dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Microsoft Encarta Encyclopedia , 2001, “Industrial Revolution”.
Parwiyanto, Herwan, Lingkungan dalam Kajian Etika & Moral, www.google.com.
Postel, Sandra, Defusing the Toxics Threath, Wahington: Worldwatch Paper 79, 1987.
Qardhawi, Yusuf, Madkhal li al-Dirasat al-Islamiyah, Beirut, Dar al-Maktabat,1993.
-----, al-Khashaish al-‘Âmiyah al-Islam, Beirut cet. VIII, 1993.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung:
Mizan, 1998.
Sardar, Ziauddin, Islamic Futures, New York: Mensell Publishing Limited, 1985.
Schumacher, EF., Small is Beautiful: Economics as if People Mattered, New York:
Harper and Row, 1973.
Shafa, Ikhwan al-, Rasa>’il Ikhwa>n al-S}afa,> Beirut, Dar Sadir, 1957, vol. I-IV.
Shepard, Paul & Daniel McKinley, The Subversive Science: Essays toward and
Ecology of Man, Boston: Houhton, Mifflin, 1969.
Shihab, M. Quraish, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.
-----, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung:
Mizan, 1996, cet. ke-1.
Sway, Musthafa Abu, Toward an Islamic Jurisprudence of the Environment: Fiqh alBi’ah fi al-Islam, htttp://homepage.iol,ie /~afifi /Article /evironment. htm.
Februari 2008.

18

Syari’ati, Ali, (Terj.) Afif Muhammad, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat,
Bandung: Pustaka Hidayuah, 1996.
Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1971.
Ward, Bud, (Ed), Reporting On Climate Change: Understanding The Science,
Washington DC, Environmental Law Institute, 2003.
World Health Organization (WHO), Climate Change and Human Health, Impact and
Adaptation, Geneva, Protection of the Human Environment, May 2008.