AJARAN AGAMA BARU NAMANYA KORUPSI jaya a
AJARAN AGAMA BARU, NAMANYA KORUPSI
Jaya Arjuna
Pendahuluan
Sejak di bangku sekolah dasar, kita sudah diajarkan bahwa agama adalah
aturan untuk tidak membuat hidup bercerai berai. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia, dan manusia serta lingkungannya. Agama itu merupakan
kebutuhan bagi manusia. Bagaimanapun kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya,
pada ketika tertentu manusia mengakui bahkan membutuhkan sesuatu yang jauh
lebih berkuasa dari dirinya. Fir’aun yang merasa dan meminta pengakuan rakyatnya
bahwa dirinya adalah Tuhan, pada akhir hayat terpaksa harus mengakui bahwa ada
sesuatu yang sebenarnya lebih berkuasa atas dirinya.
Sebagai pengatur agar tidak bercerai berai, manusia secara sadar menerima
syarat bahwa dalam hidupnya perlu ada aturan. Manusia menerima dengan rela
aturan yang disebutnya sebagai agama. Alam bawah sadarnya kadangkala masih
memiliki keraguan apakah yang diyakini sebagai pengatur hidupnya itu memang
memiliki nilai kebenaran. Kekurang-yakinan itulah yang membuat manusia
mengalami pasang surut dalam menjalankan perintah yang dituntut agamanya.
Kadangkala bahkan muncul sebagai perlawanan dengan mencari kebenaran dengan
ajaran yang lain. Keyakinan itulah yang membuat klasifikasi ada penganut taat dan
ada yang kadang kadang taat atau bahkan khianat.
Tingkat ketaatan seorang penganut agama sangat ditentukan oleh jalur dia
menerima ajaran agama. Ada yang menerima ajaran agama secara warisan dan patuh
dengan warisan yang diterimanya. Tidak ada upaya untuk meningkatkan kualitas
keimanan, pemahaman apalagi klarifikasi
terhadap kebenaran agama yang
diwarisinya. Mereka beragama secara tradisional. Kalau dia menerima ajaran agama
yang sesuai dengan ajaran aslinya, maka jadilah dia penganut yang baik dan
membuat kebaikan bagi orang lain. Ada yang beragama karena terpaksa atau karena
tuntutan lingkungannnya. Penganut ini hanya akan patuh pada sesuatu yang
dirasanya akan memberi keuntungan pada dirinya. Agama baginya hanyalah pakaian
yang membuat dirinya lebih indah atau cantik untuk dipandang dalam pergaulan. Di
kalangan yang taat dia akan jadi orang alim, di kalangan pendosa dia juga akan baur
secara total. Tidak ada ketaatan terhadap ajaran. Bagi penganut ini, agama bersifat
transaksional.
Ada yang menerima agama berdasarkan hasil pencariannya menggali
kebenaran. Agama baginya adalah untuk kebutuhan jiwa dan ketentraman
perasaannya. Dia menerima ajaran agama dengan mengemukakan rasionya.
Pencariannya menggali kebenaran dapat membuat keyakinannya lebih kuat dan
semakin kuat, atau bahkan bisa juga menjadi kutu loncat. Dia akan pindah dari satu
ajaran ke ajaran lain sampai dia benar benar merasa nyaman akan kebenaran agama
1
yang dianutnya. Ada yang menerima agama menggunakan saringan hati dan akal.
Sekali akalnya menerima dan hatinya merasa bahwa itulah pilihan terbaik baginya,
maka dia akan jadi pengikut yang taat. Selain masalah akal dan perasaan,
keberagamaan seseorang juga akan ditentukan dengan kebutuhannya bersosialisasi
terhadap sesama penganut. Dia akan memperkokoh hubungannya dengan Tuhan
melalui keharmonisan hubungan dengan sesama manusia. Rasa toleransi dan rasa
kebersamaan dapat menjadikanya sebagai elemen kuat dalam sebuah gerakan
keberagamaan.
Dia dapat bertindak sebagai pemimpin, atau bahkan sebagai
pengikut yang memberi energi atau bahkan menularkan energi yang kuat bagi
pengikut lainnya.
Agama dan beragama di Indonesia
Sebagai negara kepulauan dan banyak terpapar dengan budaya luar, wajar bila
masyarakat Nusantara menampung dan mengenal banyak ajaran agama. Agama di
Nusantara dimulai dengan kepercayaan yang merupakan hasil pencarian manusia
melengkapi perasaan dan pemikiran dengan sesuatu yang di luar dirinya. Ada ajaran
kepercayaan yang diramu berdasarkan kebutuhan bersama dengan alam di
sekitarnya. Ajaran ini ditentukan oleh kualitas dan kapasitas pemukanya dan ketaatan
penganutnya. Dari luar wilayah Nusantara, diperkenalkan agama yang datang dalam
rentang waktu panjang dan menyebar sesuai dengan tema kedatangan pembawanya.
Umumnya datang melalui misi perdagangan. Agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen
Protestan dan Katolik mulai menebar penganut. Ada ajaran agama yang diterima dan
dianut serta dijalankan masyarakat secara utuh dan sesuai sumber, dan ada pula yang
diserap, berkembang dan bahkan dikembangkan melalui proses percampuran atau
perpaduan. Sikap toleransi masyarakat Nusantara yang tinggi, menyebabkan ada
ajaran agama yang dijalankan secara murni dan ada yang terpaksa disesuaikan atau
menyesuaikan dengan kepercayaayn yang sudah berkembang. Setelah bernama
Indonesia, pemerintah mengakui enam agama resmi (tahun 2000 Konghucu diakui
sebagai agama resmi keenam di Indonesia), walau tak mengingkari bahwa ajaran
keyakinan seperti aliran kepercayaan kepada Tuhan yang Esa masih ada
pengikutnya. Entah kepercayaan atau agama Parmalim di Sumatera dan Kejawen di
Jawa juga memiliki penganut yang taat menjalankan ritual ajaran yang dianutnya.
Dalam sistem kemasyarakatan kita, kualitas beragama banyak ditentukan oleh
kebijakan dan perilaku pimpinan. Pemimpin agama yang baik akan diikuti petuah
dan fatwa oleh pengikutnya tanpa reserve. Untuk jadi pemimpin agama tampaknya
juga tidak begitu sulit. Bila memahami dan mampu menyampaikan ajaran agama
dengan baik dan berperilaku baik serta dapat jadi tuntunan atau memberi nasehat
bagi pengikut, diangkatlah dia sebagai pemimpin. Tentu saja kepiawaian berbicara
akan menentukan tingkat penerimaan status pemimpin oleh pengikutnya. Bisa saja
seorang datang pada satu kelompok, dan ada yang menyampaikan bahwa dia adalah
orang alim serta memiliki ilmu, maka mungkin dia juga akan diakui sebagai
pemimpin agama. Di tengah masyarakat yang menerima agama sebagai warisan
serta beragama tidak berdasarkan ilmu, maka semua bisa jadi pemimpin. Posisi
pemimpin agama bisa diraih dengan ilmu yang cukup, kharisma dan perilaku baik
namun bisa juga karena promosi yang gencar melalui berbagai media. Sejarah
2
kepemimpinan seorang guru agama itu sangat ditentukan oleh motivasi dan rekam
jejak geraknya sebagai sebagai pemimpin.
Keberagamaan seseorang di Indonesia itu merupakan phenomena yang
menarik untuk dicermati. Seorang pemimpin agama atau guru agama itu mendapat
tempat yang sangat tinggi di hati umatnya. Sekali pengikutnya yakin, maka apapun
petuahnya akan diikuti. Kepengikutan tanpa reserve itulah yang juga membuat ajaran
sesat berkembang dengan pesat di Indonesia. Pengikutnya akan bertambah dengan
cepat bila si pemimpin “agama” memiliki ilmu yang di luar kemampuan orang biasa.
Ilmu bela diri, kebal, atau menyembuhkan dan bahkan juga ilmu membuat orang
sakit, baik yang bisa dibuktikan langsung maupun hanya sekedar cerita beredar di
kalangan pengikutnya akan menentukan posisi pemimpin atau guru di kalangan
pengikutnya. Suatu hal yang sulit diterima akal sehat adalah kefanatikan pengikut
terhadap ajaran yang diyakininya sebagai agama anutan. Kasus Syi’ah sebagai
ajaran dan kefanatikan pemimpin dan pengikutnya merupakan kasus yang sangat
menarik untuk dikaji, karena ada reaksi sangat keras dari masyarakat di sekitarnya.
Jadilah kasus ini muncul dalam berbagai judul. Ada judul mayoritas dan minoratias,
ada judul aliran sesat dan juga ada judul tentang diksriminasi dan pelanggaran HAM.
Bahkan demokrasi juga akhirnya terbawa rendong dalam konflik ini.
Syi’ah yang diakui pengikutnya sebagai aliran dalam beragama dinyatakan
menyalahi dengan ajaran agama Islam yang diakui resmi Negara. Pemimpinnya dan
pengikutnya dicap secagai pemimpin ajaran agama sesat. Agama yang diajarkannya
dianggap melanggar hukum dan harus bertobat. Syi’ah dinyatakan bukan Islam dan
tidak dibenarkan menyebut dirinya sebagai penganut agama Islam. Banyak
perbedaan kepercayaan dan ritual yang dijalankan ternyata tidak sesuai dengan
hukum Islam. Walaupun punya pengikut yang cukup dan fanatik, ternyata Syi’ah
merasa lebih nyaman berlindung dalam kelompok agama Islam, sehingga tidak mau
keluar dan membuat agama nama lain atas kepercayaan yang dianutnya. Perang
pengkafiran terus berlangsung karena ada pengikut fanatik agama Islam yang merasa
menumpas ajaran sesat atas nama agama Islam adalah ibadah dengan imbalan
syahid.
Ahmadiyah juga menyatakan diri masuk dalam kelompok penganut agama
Islam, walau menurut ulama Islam yang tergabung dalam lembaga resmi dan diakui
negara adalah sebagai ajaran sesat. Ahmadiyah dinyatakan sebagai aliran sesat dan
dilarang melakukan gerakan apalagi penyebaran ajarannya di Indonesia. Terdapat
banyak perbedaan baik dalam keyakinan maupun ibadah yang berbeda dengan ritual
agama Islam dari golongan ahli sunnah wal jamaah. Mungkin Ahmadiyah merasa
lebih percaya diri bergabung dalam Islam walau dianggap sebagai sempalan.
Pengikut Ahmadiyah dinyatakan sebagai penganut ajaran sesat. Kegiatan ibadahnya
diganggu, rumah ibadahnya dihancurkan atau dibakar, pengikutnya dikejar, dicaci
maki dan dimusuhi masyarakat. Seluruh kegiatan mereka diharamkan ulama dan
dilarang pemerintah. Indonesia sebenarnya menganut kebebasan beragama, mungkin
sebaiknya Syi’ah dan Ahmadiyah masing-masing membentuk saja agama dengan
nama sendiri dan terbebas sepenuhnya dari nama Islam.
3
Korupsi sebagai Agama Baru
Phenomena amat menarik adalah ajaran baru yang jelas merugikan masyarakat
dan menyalahi peraturan perundang-undangan. Ajaran ini punya kepercayaan yang
secara tidak tertulis diamalkan penganut ajarranya serta diakui kemempanannya oleh
pengikut agama lain. Ajaram ini punya pengikut yang taat, punya kitab ajaran, punya
ritual yang dijalankan pengikutnya dan punya hari besar ritual. Ajaran ini punya
jaringan yang sangat kuat dan tak terkalahkan bahkan oleh hukum positif di negeri
ini. Pengikut ajaran ini punya komitmen dan nilai juang kelompok yang sangat kuat.
Hasil ibadahnya mempengaruhi seluruh sektor kehidupan bangsa. Walaupun seluruh
bangsa sudah sepakat ajaran ini telah menghancurkan seluruh sendi kehidupan
masyarakat, pemimpin dan pengikutnya masih tetap dihormati. Ajaran ini sudah
lama dibangun dan merebak di seantero republik. Itulah Korupsi.
Pengikut agama korupsi percaya dan yakin bahwa uang dan kekuasaan adalah
yang maha kuasa. Ajaran korupsi dianut pada seluruh wilayah beredarnya uang dan
kekuasaan. Ada pemimpin korupsi baik ditinjau dari volume yang dikorupsinya
maupun dari perannya dalam proses ibadah korupsi Ada pemimpin sebagai
pelaksana langsung, ada pengatur dan ada yang hanya menerima imbalan terima
bersih. Ritual ajaran korupsi tampaknya memahami benar berbagai peraturan
perundang-undangan, sehingga perilaku pengikutnya sebagian besar terlindungi.
Jaringan perilaku korupsi yang jelas melawan Undang Undang membuat korupsi di
satu sektor akan dilindungi oleh pelaku sektor lain dengan peran yang berbeda tetapi
tetap ada transaksi korupsi untuk peran perlindungan yanag diberinya. Penganut taat
ibadah korupsi di satu sektor pembangunan bekerjasama dengan penganut taat
korupsi dari sektor penegakkan hukum. Contohnya adalah adanya kesepakatan
melakukan pemeriksaan hanya melalui pembuktian administrasi, tidak perlu
pengujian fisik. Bila ada temuan kesalahan administrasi, ibadah lain bisa
membebaskan pelaku. Tentu saja tergantung bahagian dari kitab dan pasal mana
yang akan digunakan. Bisa memberatkan atau bisa meringankan dan bahkan
membebaskan.
Ajaran korupsi jelas punya pengikut yang taat dan fanatik. Mulai dari level atas
hingga level bawah, dan bahkan sulit untuk mencari elemen bangsa yang terbebas
dari ajarannya. Ada pameo di masyarakat, kalau tidak ikut akan terlindas. Semua
urusan memerlukan uang tunai. Zaman sekarang yang haram saja sukar dicari,
apalagi yang halal. Kalau hidup di zaman sekarang menganut prinsip idealis, ilmiah
dan istiqamah, maka kau dicap sebagai kelompok idiot. Berlangsunglah ajaran
korupsi dengan aman dan lancar, namun tetap di level terhormat. Kalau ada yang
tertangkap, bisa saja hanya karena sial. Bukan karena memang bersalah. Kalaupun
bersalah, masih banyak yang sebenarnya lebih bersalah lagi dan tak akan mungkin
tertangkap. Korupsi adalah perbuatan yang resikonya sangat kecil, tetapi untungnya
sangat besar dan bisa dinikmati bersama selamanya. Ajaran korupsi jelas
menguntungkan untuk diamalkan tanpa ada perlawanan berarti dari masyarakat dan
bahkan dari penegak hukum
4
Masyarakat Indonesia hanya bisa ribut dan ribut dalam taraf permainan kata.
Tidak ada gerakan yang mengejar pemimpin dan pengikut serta membasmi ajaran
korupsi seperti mengumbar ajaran agama sesat. Beberapa pejuang yang dilepas ke
medan perang dengan harapan besar bisa membasmi korupsi, bahkan tersungkur
bertekuk lutut jadi penganut setia. Penegak hukum dengan kekuasaan tertinggi di
negara ini justru jadi penganut taat dalam level yang cukup tinggi. Lembaga tertinggi
resmi bahkan mati kuyu untuk memberantasnya, sampai akhirnya ketahuan bahwa
kelompok mereka juga telah menjadi pengikut setia dalam keimanan maupun ibadah.
Lembaga maupun kelompok penentang lain ada yang cari selamat sembari
menikmati dengan pemahaman lebih baik diam dan tidak ada tindakan. Harapan
demi harapan, pejuang demi pejuang, medan pertempuran demi medan pertempuran
dibangun, semuanya seakan tidak memberi hasil. Kalah. Pelaku korupsi tetap
dihormati. Berduyun-duyun pengikut, simpatisan bahkan orang yang ditugaskan
membasminyapun secara langsung atau tidak langsung, terbuka atau sembunyisembunyi seakan membantu dan mendukung penyelamatan pelaku korupsi dan
keberlanjutan perilaku korupsi.
Membasmi korupsi yang sudah jadi “agama” bukan mudah. Pengikutnya sudah
menemukan kedamaian dan ketentraman serta kenikmatan dalam melaksanakan
ajaran dan ibadahnya secara perorangan maupun berjaringan. Ritual korupsi
berlangung setiap saat. Korupsi bisa terjadi dari pagi hingga pagi harinya lagi. Tidak
ada waktu dan batas perilaku tertentu. Mulai dari pengurusan KTP hingga surat
keterangan miskin. Mulai dari proyek kecil hingga komisi proyek besar. Ibadah
korupsi tidak membutuhkan rumah ibadah. Dimanapun bisa berlangsung. Ruang
kantor, lapangan golf, hotel mewah, dalam negeri maupun luar negeri, adalah rumah
ibadah sebagai tempat ajaran korupsi bisa diamalkan.
Bila korupsi adalah setan yang bisa terlihat, maka perseliweran uang korupsi
akan membuat kita takjub. Dia bisa berasal dan pergi darimana saja, kemana saja
serta dari siapa saja eoada siapa saja. Pelakunya bisa siapa saja, mulai dari yang
dianggap paling baik dan tidak akan mungkin berbuat, hingga yang kita tahu
memang dialah otak pelakunya. Sama seperti setan, terlihat saja sulit, apalagi
tertangkap. Kadangkala memang ada ritual penangkap setan seperti yang
ditampilkan di televisi, yang bergentayangan dengan penuh aksi adalah
penangkapnya. Kalau mereka nyatakan setannya sudah dimasukkan dalam botol,
siapa yang pernah melihat dan sanggup membuktikan bagaimana bentuk setan dalam
botol tersebut. Kalaupun memang ada yang tertangkap hanya korban dan itupun
hanya sebagian kecil.
Perayaan hari besar korupsi lebih unik lagi. Seluruh hari besar agama resmi
jadi hari besar pelaku korupsi. Tiada hentinya. Pengikutnya punya komitmen dan
nilai ibadah kelompok atau jamaah yang sangat kuat. Sesama koruptor tidak boleh
saling gigit. Korupsi tidak mungkin dilaksanakan sendiri. Bila ada yang bersolo
karir, riwayatnya pasti segera tamat. Jamaah koruptor tentu saja jadi kuat. Belum lagi
dukungan berbagai pihak baik sebagai penyelamat, pendukung, pembersih, pemandu
sorak yang masing-masing dalam perannya punya motif tersendiri. Ada yang
bertugas mengamankan supaya perkara tidak berproses. Ada yang memendam kasus
5
penindakan hingga macet tidak lanjut ke penyidikan, ada yang bertugas meringankan
hukuman. Ada yang bertugas membuat berkas tak terlihat untuk disidik dan bahkan
bisa kasusnya raib. Ada yang menyelamatkan karena hubungan pertemanan,
keluarga, bisnis, jabatan dan berbagai motivasi lainnya yang hanya jamaah koruptor
yang paling tahu menggunakan berbagai alasan tersebut untuk memuluskan
pekerjaan atau menyelamatkan diri dan kasusnya.
Pemberantasan korupsi bisa juga membuat masyarakat dan negeri ini jadi
menderita. Kerusakan fasilitas umum, baik karena tidak dibangun maupun
direhabilitasi atau diperbaiki bisa terjadi karena terkait korupsi. Tidak ada yang
berani pegang proyek pembangunan karena takut dituduh menyalah gunakan
anggaran. Dapat ayam bisa hilang lembu, bahkan kandangnyapun bisa terjual. Tidak
dapat apapun juga bisa hilang. Kalau pemberantasan korupsi ibarat membersihkan
negara ini dari perilaku tak bermoral dan melawan hukum, ada istilah dalam
masyarakat tentang bersih membersihkan yang identik dengan mencuci, sebelum
dijemur peras dulu sampai kering.
Ketakutan terhadap kata korupsi atau dicap pelaku korupsi oleh penegak
hukum sudah sama dengan takutnya orang dituduh PKI pada zaman dulu. Bisa
hanyut tak berarus, bisa tenggelam tak berdasar dan bisa melambung tak bertali.
Siapa saja bisa jadi pihak penguasa dengan kekuasaan tak terbatas dalam melakukan
penyidikan kasus korupsi. Bila ada yang dianggap kasus, maka waktu
penyelesaiannya pun bisa tak terbatas. Hukum seharusnya mengatur siapa yang
berkewenangan dan apa kewenangan serta apa batasannya seakan stroke. Perilaku
lemas tak berdaya dengan ucapan yang dikeluarkan tak jelas dan bahkan tak
bermakna. Hanya gumaman yang diterjemahkan media massa dengan berbagai
maksud dan akhirnya menjadi pengalihan perhatian. Sekarang siapa saja bisa
mengatasnamakan pemburu koruptor. KPK gadungan, jaksa gadungan, putusan
palsu, polisi gadungan, pengacara tak beretika silih berganti jadi aktor utama dan
bahan pemberitaan media massa.
Harus diakui, jamaah ajaran korupsi memang tangguh dan menggurita. Mereka
punya kekuasaan yang kadangkala sulit dipercaya akal sehat. Mereka seakan bisa
menahan air hujan jatuh dari langit, dan kalau perlu matahari akan diterbitkan dari
Barat. Semua bisa terjadi. Tentu saja ada ritual khusus dalam nuansa korupsi.
Pelapor korupsi bahkan langsung dibalas koruptornya dan dijadikan pesakitan pada
tuntutan balik. Koruptor tak tersentuh, yang melapor babak belur. Masyarakat yang
terpanggil untuk melaporkan sesuai ajakan, jadi ketakutan karena merasa tak
terlindungi. Para relawan juga harus berfikir ulang untuk melawan jamaah koruptor,
karena belum ada yang berkomitmen secara hukum melindunginya. Apalagi kalau
suatu saat lembaga yang mendorongnya untuk melawan para koruptor memilih
berkhianat. Sembari buang badan dan tidak bertanggung jawab dengan berbagai
alasan apapun, baik masuk akal maupun memang tidak mau menggunakan akal
merekapun akhirnya jadi penikmat hasil korupsi yang diterima entah dengan
berbagai cara apapun.
Penutup
6
Pemberantasan korupsi yang didasari pada pasal demi pasal perundangundangan akan jadi bahan menarik dalam dagelan, karena bisa saja maknanya
tergantung siapa yang mengucapkan. Plesetan dalam dagelan pertunjukkan wayang
pun ada pakemnya. Plesetan dalam penegakkan hukum pemberantasan korupsi tak
ada pakemnya. Semua bisa terpeleset. Begitupun siapa peduli. Anjing
menggonggong kafilah berlalu. Siapa lebih terhormat, jadi kafilah atau jadi anjing.
Berbicara soal pemberantas korupsi memang harus hati-hati. Kita berhadapan
dengan kelompok yang sangat solid, punya kekuasaan dan jelas punya uang
melimpah. Kita tidak akan tahu siapa kawan dan siapa lawan. Pengkhianatan dan
ketidak-jujuran jadi biasa. Kita bisa temukan setan berwajah malaikat. Jadi
pemimpin perjuangan, padahal sejatinya penganut setia dan penyelamat ajaran
korupsi. Duh bangsaku. Duh masyarakatku. Masih adakah ketidakpuraan-puraan dan
niat baik dalam melawan ajaran sesat yang sudah merasuk seluruh denyut nadi
kehidupan bangsa ini. Bagaimanapun korupsi harus dibasmi. Termasuk pengikut,
penyelamat, pendukung dan penikmatnya. Walau bagai timun nak melawan durian.
7
Jaya Arjuna
Pendahuluan
Sejak di bangku sekolah dasar, kita sudah diajarkan bahwa agama adalah
aturan untuk tidak membuat hidup bercerai berai. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia, dan manusia serta lingkungannya. Agama itu merupakan
kebutuhan bagi manusia. Bagaimanapun kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya,
pada ketika tertentu manusia mengakui bahkan membutuhkan sesuatu yang jauh
lebih berkuasa dari dirinya. Fir’aun yang merasa dan meminta pengakuan rakyatnya
bahwa dirinya adalah Tuhan, pada akhir hayat terpaksa harus mengakui bahwa ada
sesuatu yang sebenarnya lebih berkuasa atas dirinya.
Sebagai pengatur agar tidak bercerai berai, manusia secara sadar menerima
syarat bahwa dalam hidupnya perlu ada aturan. Manusia menerima dengan rela
aturan yang disebutnya sebagai agama. Alam bawah sadarnya kadangkala masih
memiliki keraguan apakah yang diyakini sebagai pengatur hidupnya itu memang
memiliki nilai kebenaran. Kekurang-yakinan itulah yang membuat manusia
mengalami pasang surut dalam menjalankan perintah yang dituntut agamanya.
Kadangkala bahkan muncul sebagai perlawanan dengan mencari kebenaran dengan
ajaran yang lain. Keyakinan itulah yang membuat klasifikasi ada penganut taat dan
ada yang kadang kadang taat atau bahkan khianat.
Tingkat ketaatan seorang penganut agama sangat ditentukan oleh jalur dia
menerima ajaran agama. Ada yang menerima ajaran agama secara warisan dan patuh
dengan warisan yang diterimanya. Tidak ada upaya untuk meningkatkan kualitas
keimanan, pemahaman apalagi klarifikasi
terhadap kebenaran agama yang
diwarisinya. Mereka beragama secara tradisional. Kalau dia menerima ajaran agama
yang sesuai dengan ajaran aslinya, maka jadilah dia penganut yang baik dan
membuat kebaikan bagi orang lain. Ada yang beragama karena terpaksa atau karena
tuntutan lingkungannnya. Penganut ini hanya akan patuh pada sesuatu yang
dirasanya akan memberi keuntungan pada dirinya. Agama baginya hanyalah pakaian
yang membuat dirinya lebih indah atau cantik untuk dipandang dalam pergaulan. Di
kalangan yang taat dia akan jadi orang alim, di kalangan pendosa dia juga akan baur
secara total. Tidak ada ketaatan terhadap ajaran. Bagi penganut ini, agama bersifat
transaksional.
Ada yang menerima agama berdasarkan hasil pencariannya menggali
kebenaran. Agama baginya adalah untuk kebutuhan jiwa dan ketentraman
perasaannya. Dia menerima ajaran agama dengan mengemukakan rasionya.
Pencariannya menggali kebenaran dapat membuat keyakinannya lebih kuat dan
semakin kuat, atau bahkan bisa juga menjadi kutu loncat. Dia akan pindah dari satu
ajaran ke ajaran lain sampai dia benar benar merasa nyaman akan kebenaran agama
1
yang dianutnya. Ada yang menerima agama menggunakan saringan hati dan akal.
Sekali akalnya menerima dan hatinya merasa bahwa itulah pilihan terbaik baginya,
maka dia akan jadi pengikut yang taat. Selain masalah akal dan perasaan,
keberagamaan seseorang juga akan ditentukan dengan kebutuhannya bersosialisasi
terhadap sesama penganut. Dia akan memperkokoh hubungannya dengan Tuhan
melalui keharmonisan hubungan dengan sesama manusia. Rasa toleransi dan rasa
kebersamaan dapat menjadikanya sebagai elemen kuat dalam sebuah gerakan
keberagamaan.
Dia dapat bertindak sebagai pemimpin, atau bahkan sebagai
pengikut yang memberi energi atau bahkan menularkan energi yang kuat bagi
pengikut lainnya.
Agama dan beragama di Indonesia
Sebagai negara kepulauan dan banyak terpapar dengan budaya luar, wajar bila
masyarakat Nusantara menampung dan mengenal banyak ajaran agama. Agama di
Nusantara dimulai dengan kepercayaan yang merupakan hasil pencarian manusia
melengkapi perasaan dan pemikiran dengan sesuatu yang di luar dirinya. Ada ajaran
kepercayaan yang diramu berdasarkan kebutuhan bersama dengan alam di
sekitarnya. Ajaran ini ditentukan oleh kualitas dan kapasitas pemukanya dan ketaatan
penganutnya. Dari luar wilayah Nusantara, diperkenalkan agama yang datang dalam
rentang waktu panjang dan menyebar sesuai dengan tema kedatangan pembawanya.
Umumnya datang melalui misi perdagangan. Agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen
Protestan dan Katolik mulai menebar penganut. Ada ajaran agama yang diterima dan
dianut serta dijalankan masyarakat secara utuh dan sesuai sumber, dan ada pula yang
diserap, berkembang dan bahkan dikembangkan melalui proses percampuran atau
perpaduan. Sikap toleransi masyarakat Nusantara yang tinggi, menyebabkan ada
ajaran agama yang dijalankan secara murni dan ada yang terpaksa disesuaikan atau
menyesuaikan dengan kepercayaayn yang sudah berkembang. Setelah bernama
Indonesia, pemerintah mengakui enam agama resmi (tahun 2000 Konghucu diakui
sebagai agama resmi keenam di Indonesia), walau tak mengingkari bahwa ajaran
keyakinan seperti aliran kepercayaan kepada Tuhan yang Esa masih ada
pengikutnya. Entah kepercayaan atau agama Parmalim di Sumatera dan Kejawen di
Jawa juga memiliki penganut yang taat menjalankan ritual ajaran yang dianutnya.
Dalam sistem kemasyarakatan kita, kualitas beragama banyak ditentukan oleh
kebijakan dan perilaku pimpinan. Pemimpin agama yang baik akan diikuti petuah
dan fatwa oleh pengikutnya tanpa reserve. Untuk jadi pemimpin agama tampaknya
juga tidak begitu sulit. Bila memahami dan mampu menyampaikan ajaran agama
dengan baik dan berperilaku baik serta dapat jadi tuntunan atau memberi nasehat
bagi pengikut, diangkatlah dia sebagai pemimpin. Tentu saja kepiawaian berbicara
akan menentukan tingkat penerimaan status pemimpin oleh pengikutnya. Bisa saja
seorang datang pada satu kelompok, dan ada yang menyampaikan bahwa dia adalah
orang alim serta memiliki ilmu, maka mungkin dia juga akan diakui sebagai
pemimpin agama. Di tengah masyarakat yang menerima agama sebagai warisan
serta beragama tidak berdasarkan ilmu, maka semua bisa jadi pemimpin. Posisi
pemimpin agama bisa diraih dengan ilmu yang cukup, kharisma dan perilaku baik
namun bisa juga karena promosi yang gencar melalui berbagai media. Sejarah
2
kepemimpinan seorang guru agama itu sangat ditentukan oleh motivasi dan rekam
jejak geraknya sebagai sebagai pemimpin.
Keberagamaan seseorang di Indonesia itu merupakan phenomena yang
menarik untuk dicermati. Seorang pemimpin agama atau guru agama itu mendapat
tempat yang sangat tinggi di hati umatnya. Sekali pengikutnya yakin, maka apapun
petuahnya akan diikuti. Kepengikutan tanpa reserve itulah yang juga membuat ajaran
sesat berkembang dengan pesat di Indonesia. Pengikutnya akan bertambah dengan
cepat bila si pemimpin “agama” memiliki ilmu yang di luar kemampuan orang biasa.
Ilmu bela diri, kebal, atau menyembuhkan dan bahkan juga ilmu membuat orang
sakit, baik yang bisa dibuktikan langsung maupun hanya sekedar cerita beredar di
kalangan pengikutnya akan menentukan posisi pemimpin atau guru di kalangan
pengikutnya. Suatu hal yang sulit diterima akal sehat adalah kefanatikan pengikut
terhadap ajaran yang diyakininya sebagai agama anutan. Kasus Syi’ah sebagai
ajaran dan kefanatikan pemimpin dan pengikutnya merupakan kasus yang sangat
menarik untuk dikaji, karena ada reaksi sangat keras dari masyarakat di sekitarnya.
Jadilah kasus ini muncul dalam berbagai judul. Ada judul mayoritas dan minoratias,
ada judul aliran sesat dan juga ada judul tentang diksriminasi dan pelanggaran HAM.
Bahkan demokrasi juga akhirnya terbawa rendong dalam konflik ini.
Syi’ah yang diakui pengikutnya sebagai aliran dalam beragama dinyatakan
menyalahi dengan ajaran agama Islam yang diakui resmi Negara. Pemimpinnya dan
pengikutnya dicap secagai pemimpin ajaran agama sesat. Agama yang diajarkannya
dianggap melanggar hukum dan harus bertobat. Syi’ah dinyatakan bukan Islam dan
tidak dibenarkan menyebut dirinya sebagai penganut agama Islam. Banyak
perbedaan kepercayaan dan ritual yang dijalankan ternyata tidak sesuai dengan
hukum Islam. Walaupun punya pengikut yang cukup dan fanatik, ternyata Syi’ah
merasa lebih nyaman berlindung dalam kelompok agama Islam, sehingga tidak mau
keluar dan membuat agama nama lain atas kepercayaan yang dianutnya. Perang
pengkafiran terus berlangsung karena ada pengikut fanatik agama Islam yang merasa
menumpas ajaran sesat atas nama agama Islam adalah ibadah dengan imbalan
syahid.
Ahmadiyah juga menyatakan diri masuk dalam kelompok penganut agama
Islam, walau menurut ulama Islam yang tergabung dalam lembaga resmi dan diakui
negara adalah sebagai ajaran sesat. Ahmadiyah dinyatakan sebagai aliran sesat dan
dilarang melakukan gerakan apalagi penyebaran ajarannya di Indonesia. Terdapat
banyak perbedaan baik dalam keyakinan maupun ibadah yang berbeda dengan ritual
agama Islam dari golongan ahli sunnah wal jamaah. Mungkin Ahmadiyah merasa
lebih percaya diri bergabung dalam Islam walau dianggap sebagai sempalan.
Pengikut Ahmadiyah dinyatakan sebagai penganut ajaran sesat. Kegiatan ibadahnya
diganggu, rumah ibadahnya dihancurkan atau dibakar, pengikutnya dikejar, dicaci
maki dan dimusuhi masyarakat. Seluruh kegiatan mereka diharamkan ulama dan
dilarang pemerintah. Indonesia sebenarnya menganut kebebasan beragama, mungkin
sebaiknya Syi’ah dan Ahmadiyah masing-masing membentuk saja agama dengan
nama sendiri dan terbebas sepenuhnya dari nama Islam.
3
Korupsi sebagai Agama Baru
Phenomena amat menarik adalah ajaran baru yang jelas merugikan masyarakat
dan menyalahi peraturan perundang-undangan. Ajaran ini punya kepercayaan yang
secara tidak tertulis diamalkan penganut ajarranya serta diakui kemempanannya oleh
pengikut agama lain. Ajaram ini punya pengikut yang taat, punya kitab ajaran, punya
ritual yang dijalankan pengikutnya dan punya hari besar ritual. Ajaran ini punya
jaringan yang sangat kuat dan tak terkalahkan bahkan oleh hukum positif di negeri
ini. Pengikut ajaran ini punya komitmen dan nilai juang kelompok yang sangat kuat.
Hasil ibadahnya mempengaruhi seluruh sektor kehidupan bangsa. Walaupun seluruh
bangsa sudah sepakat ajaran ini telah menghancurkan seluruh sendi kehidupan
masyarakat, pemimpin dan pengikutnya masih tetap dihormati. Ajaran ini sudah
lama dibangun dan merebak di seantero republik. Itulah Korupsi.
Pengikut agama korupsi percaya dan yakin bahwa uang dan kekuasaan adalah
yang maha kuasa. Ajaran korupsi dianut pada seluruh wilayah beredarnya uang dan
kekuasaan. Ada pemimpin korupsi baik ditinjau dari volume yang dikorupsinya
maupun dari perannya dalam proses ibadah korupsi Ada pemimpin sebagai
pelaksana langsung, ada pengatur dan ada yang hanya menerima imbalan terima
bersih. Ritual ajaran korupsi tampaknya memahami benar berbagai peraturan
perundang-undangan, sehingga perilaku pengikutnya sebagian besar terlindungi.
Jaringan perilaku korupsi yang jelas melawan Undang Undang membuat korupsi di
satu sektor akan dilindungi oleh pelaku sektor lain dengan peran yang berbeda tetapi
tetap ada transaksi korupsi untuk peran perlindungan yanag diberinya. Penganut taat
ibadah korupsi di satu sektor pembangunan bekerjasama dengan penganut taat
korupsi dari sektor penegakkan hukum. Contohnya adalah adanya kesepakatan
melakukan pemeriksaan hanya melalui pembuktian administrasi, tidak perlu
pengujian fisik. Bila ada temuan kesalahan administrasi, ibadah lain bisa
membebaskan pelaku. Tentu saja tergantung bahagian dari kitab dan pasal mana
yang akan digunakan. Bisa memberatkan atau bisa meringankan dan bahkan
membebaskan.
Ajaran korupsi jelas punya pengikut yang taat dan fanatik. Mulai dari level atas
hingga level bawah, dan bahkan sulit untuk mencari elemen bangsa yang terbebas
dari ajarannya. Ada pameo di masyarakat, kalau tidak ikut akan terlindas. Semua
urusan memerlukan uang tunai. Zaman sekarang yang haram saja sukar dicari,
apalagi yang halal. Kalau hidup di zaman sekarang menganut prinsip idealis, ilmiah
dan istiqamah, maka kau dicap sebagai kelompok idiot. Berlangsunglah ajaran
korupsi dengan aman dan lancar, namun tetap di level terhormat. Kalau ada yang
tertangkap, bisa saja hanya karena sial. Bukan karena memang bersalah. Kalaupun
bersalah, masih banyak yang sebenarnya lebih bersalah lagi dan tak akan mungkin
tertangkap. Korupsi adalah perbuatan yang resikonya sangat kecil, tetapi untungnya
sangat besar dan bisa dinikmati bersama selamanya. Ajaran korupsi jelas
menguntungkan untuk diamalkan tanpa ada perlawanan berarti dari masyarakat dan
bahkan dari penegak hukum
4
Masyarakat Indonesia hanya bisa ribut dan ribut dalam taraf permainan kata.
Tidak ada gerakan yang mengejar pemimpin dan pengikut serta membasmi ajaran
korupsi seperti mengumbar ajaran agama sesat. Beberapa pejuang yang dilepas ke
medan perang dengan harapan besar bisa membasmi korupsi, bahkan tersungkur
bertekuk lutut jadi penganut setia. Penegak hukum dengan kekuasaan tertinggi di
negara ini justru jadi penganut taat dalam level yang cukup tinggi. Lembaga tertinggi
resmi bahkan mati kuyu untuk memberantasnya, sampai akhirnya ketahuan bahwa
kelompok mereka juga telah menjadi pengikut setia dalam keimanan maupun ibadah.
Lembaga maupun kelompok penentang lain ada yang cari selamat sembari
menikmati dengan pemahaman lebih baik diam dan tidak ada tindakan. Harapan
demi harapan, pejuang demi pejuang, medan pertempuran demi medan pertempuran
dibangun, semuanya seakan tidak memberi hasil. Kalah. Pelaku korupsi tetap
dihormati. Berduyun-duyun pengikut, simpatisan bahkan orang yang ditugaskan
membasminyapun secara langsung atau tidak langsung, terbuka atau sembunyisembunyi seakan membantu dan mendukung penyelamatan pelaku korupsi dan
keberlanjutan perilaku korupsi.
Membasmi korupsi yang sudah jadi “agama” bukan mudah. Pengikutnya sudah
menemukan kedamaian dan ketentraman serta kenikmatan dalam melaksanakan
ajaran dan ibadahnya secara perorangan maupun berjaringan. Ritual korupsi
berlangung setiap saat. Korupsi bisa terjadi dari pagi hingga pagi harinya lagi. Tidak
ada waktu dan batas perilaku tertentu. Mulai dari pengurusan KTP hingga surat
keterangan miskin. Mulai dari proyek kecil hingga komisi proyek besar. Ibadah
korupsi tidak membutuhkan rumah ibadah. Dimanapun bisa berlangsung. Ruang
kantor, lapangan golf, hotel mewah, dalam negeri maupun luar negeri, adalah rumah
ibadah sebagai tempat ajaran korupsi bisa diamalkan.
Bila korupsi adalah setan yang bisa terlihat, maka perseliweran uang korupsi
akan membuat kita takjub. Dia bisa berasal dan pergi darimana saja, kemana saja
serta dari siapa saja eoada siapa saja. Pelakunya bisa siapa saja, mulai dari yang
dianggap paling baik dan tidak akan mungkin berbuat, hingga yang kita tahu
memang dialah otak pelakunya. Sama seperti setan, terlihat saja sulit, apalagi
tertangkap. Kadangkala memang ada ritual penangkap setan seperti yang
ditampilkan di televisi, yang bergentayangan dengan penuh aksi adalah
penangkapnya. Kalau mereka nyatakan setannya sudah dimasukkan dalam botol,
siapa yang pernah melihat dan sanggup membuktikan bagaimana bentuk setan dalam
botol tersebut. Kalaupun memang ada yang tertangkap hanya korban dan itupun
hanya sebagian kecil.
Perayaan hari besar korupsi lebih unik lagi. Seluruh hari besar agama resmi
jadi hari besar pelaku korupsi. Tiada hentinya. Pengikutnya punya komitmen dan
nilai ibadah kelompok atau jamaah yang sangat kuat. Sesama koruptor tidak boleh
saling gigit. Korupsi tidak mungkin dilaksanakan sendiri. Bila ada yang bersolo
karir, riwayatnya pasti segera tamat. Jamaah koruptor tentu saja jadi kuat. Belum lagi
dukungan berbagai pihak baik sebagai penyelamat, pendukung, pembersih, pemandu
sorak yang masing-masing dalam perannya punya motif tersendiri. Ada yang
bertugas mengamankan supaya perkara tidak berproses. Ada yang memendam kasus
5
penindakan hingga macet tidak lanjut ke penyidikan, ada yang bertugas meringankan
hukuman. Ada yang bertugas membuat berkas tak terlihat untuk disidik dan bahkan
bisa kasusnya raib. Ada yang menyelamatkan karena hubungan pertemanan,
keluarga, bisnis, jabatan dan berbagai motivasi lainnya yang hanya jamaah koruptor
yang paling tahu menggunakan berbagai alasan tersebut untuk memuluskan
pekerjaan atau menyelamatkan diri dan kasusnya.
Pemberantasan korupsi bisa juga membuat masyarakat dan negeri ini jadi
menderita. Kerusakan fasilitas umum, baik karena tidak dibangun maupun
direhabilitasi atau diperbaiki bisa terjadi karena terkait korupsi. Tidak ada yang
berani pegang proyek pembangunan karena takut dituduh menyalah gunakan
anggaran. Dapat ayam bisa hilang lembu, bahkan kandangnyapun bisa terjual. Tidak
dapat apapun juga bisa hilang. Kalau pemberantasan korupsi ibarat membersihkan
negara ini dari perilaku tak bermoral dan melawan hukum, ada istilah dalam
masyarakat tentang bersih membersihkan yang identik dengan mencuci, sebelum
dijemur peras dulu sampai kering.
Ketakutan terhadap kata korupsi atau dicap pelaku korupsi oleh penegak
hukum sudah sama dengan takutnya orang dituduh PKI pada zaman dulu. Bisa
hanyut tak berarus, bisa tenggelam tak berdasar dan bisa melambung tak bertali.
Siapa saja bisa jadi pihak penguasa dengan kekuasaan tak terbatas dalam melakukan
penyidikan kasus korupsi. Bila ada yang dianggap kasus, maka waktu
penyelesaiannya pun bisa tak terbatas. Hukum seharusnya mengatur siapa yang
berkewenangan dan apa kewenangan serta apa batasannya seakan stroke. Perilaku
lemas tak berdaya dengan ucapan yang dikeluarkan tak jelas dan bahkan tak
bermakna. Hanya gumaman yang diterjemahkan media massa dengan berbagai
maksud dan akhirnya menjadi pengalihan perhatian. Sekarang siapa saja bisa
mengatasnamakan pemburu koruptor. KPK gadungan, jaksa gadungan, putusan
palsu, polisi gadungan, pengacara tak beretika silih berganti jadi aktor utama dan
bahan pemberitaan media massa.
Harus diakui, jamaah ajaran korupsi memang tangguh dan menggurita. Mereka
punya kekuasaan yang kadangkala sulit dipercaya akal sehat. Mereka seakan bisa
menahan air hujan jatuh dari langit, dan kalau perlu matahari akan diterbitkan dari
Barat. Semua bisa terjadi. Tentu saja ada ritual khusus dalam nuansa korupsi.
Pelapor korupsi bahkan langsung dibalas koruptornya dan dijadikan pesakitan pada
tuntutan balik. Koruptor tak tersentuh, yang melapor babak belur. Masyarakat yang
terpanggil untuk melaporkan sesuai ajakan, jadi ketakutan karena merasa tak
terlindungi. Para relawan juga harus berfikir ulang untuk melawan jamaah koruptor,
karena belum ada yang berkomitmen secara hukum melindunginya. Apalagi kalau
suatu saat lembaga yang mendorongnya untuk melawan para koruptor memilih
berkhianat. Sembari buang badan dan tidak bertanggung jawab dengan berbagai
alasan apapun, baik masuk akal maupun memang tidak mau menggunakan akal
merekapun akhirnya jadi penikmat hasil korupsi yang diterima entah dengan
berbagai cara apapun.
Penutup
6
Pemberantasan korupsi yang didasari pada pasal demi pasal perundangundangan akan jadi bahan menarik dalam dagelan, karena bisa saja maknanya
tergantung siapa yang mengucapkan. Plesetan dalam dagelan pertunjukkan wayang
pun ada pakemnya. Plesetan dalam penegakkan hukum pemberantasan korupsi tak
ada pakemnya. Semua bisa terpeleset. Begitupun siapa peduli. Anjing
menggonggong kafilah berlalu. Siapa lebih terhormat, jadi kafilah atau jadi anjing.
Berbicara soal pemberantas korupsi memang harus hati-hati. Kita berhadapan
dengan kelompok yang sangat solid, punya kekuasaan dan jelas punya uang
melimpah. Kita tidak akan tahu siapa kawan dan siapa lawan. Pengkhianatan dan
ketidak-jujuran jadi biasa. Kita bisa temukan setan berwajah malaikat. Jadi
pemimpin perjuangan, padahal sejatinya penganut setia dan penyelamat ajaran
korupsi. Duh bangsaku. Duh masyarakatku. Masih adakah ketidakpuraan-puraan dan
niat baik dalam melawan ajaran sesat yang sudah merasuk seluruh denyut nadi
kehidupan bangsa ini. Bagaimanapun korupsi harus dibasmi. Termasuk pengikut,
penyelamat, pendukung dan penikmatnya. Walau bagai timun nak melawan durian.
7