Resume Buku Asas Asas Hukum Adat Karanga

Resume Buku “Asas-Asas Hukum Adat”
Karangan Soerojo Wignjodipoero

Aina Putri Fadilla
11010116140326
Hukum Adat Kelas J

Universitas Diponegoro
Fakultas Hukum
2017

BAB III
SEJARAH HUKUM ADAT SEBAGAI MASALAH POLITIK HUKUM, DI
DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

1. MASA MENJELANG TAHUN 1848
Pertama kalinya hukum adat mendapat sorotan sebagai masalah hukum oleh pemerintah
Belanda adalah pada saat pengangkatan Mr. G.C. Hageman sebagai ketua “Hoog Gerechtshof
Hindia-Belanda” pada tanggal 30 Juli 1830. Hageman membayangkan adanya persatuan
buku hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan bangsa Eropa. Angan-angan Hageman
tinggal angan-angan saja, sebab tempo yang diberikan kepadanya talah berakhir.

Untuk mempersiapkan tercapainya maksud menyesuaikan hukum yang berlaku di Indonesia
dengan hukum baru di negeri Belanda, maka dibentuk suatu panitia yang diketuai C.J.
Scholten. Panitia itu dibubarkan setahun kemudian karena Scholten sakit dan pulang ke
negeri Belanda. Tetapi pada tahun 1839 Scholten ditunjuk lagi untuk mengetuai sebuah
panitia yang bertugas untuk mengadakan rencana agar hukum-hukum negeri Belanda yang
baru dapat diberlakukan di Indonesia. Scholten berpendapat bahwa bangsa Indonesia
terhindar dari berlakunya asas persamaan hukum yang termaktub di dalam perintah
pemerintah Belanda.
Hasil pekerjaan Scholten diperkuat dengan seorang ahli yaitu J. van der Vinnie. Ia
beranggapan, bahwa hukum Belanda akan janggal bagi suatu negeri yang mempunyai
penduduk berjuta-juta manusia yang bukan beragama Nasrani, sedangkan penduduk yang
beragama Islam amat besar kesetiannya pada sendi-sendi agamanya seta undang-undang dan
adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga diberlakukannya hukum Belanda berarti suatu
pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat dari pada golongan penduduk yang bukan bangsa
Eropa, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak bangunan-bangunan hukum, undangundang serta adat-adat yang berlainan satu dengan yang lain.

2. HUKUM ADAT SEBAGAI MASALAH POLITIK HUKUM PADA TAHUN 1848
Suasana di sekitar tahun 1848 adalah sangat dikuasai oleh pemujaan nilai dan kepentingan
kodifikasi. Suasana inilah yang mendorong atau merupakan sebab utama adanya permulaan
untuk menggantikan hukum adat.

Maka secara ringkas undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan
hukum adat dan seterusnya di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai
berikut:
Usaha ke-1
Mr. Wichers, rencana kodifikasi Wichers gagal, karena hukum Barat tidak cocok bagi apa
yang olehnya dinamakan perhubungan-perhubungan hukum sederhana bangsa Indonesia.
Usaha ke-2
Van der Putte, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di
Indonesia untuk kepentingan agraria penguasa Belanda. Usaha ini pun gagal, karena
Parlemen Belanda menuntut lebih dahulu diadakan penyelidikan lokal mengenai hak-hak
penduduk terhadap tanah.
Usaha ke-3
Cremer, menghendaki diadakan kodifikasi lokal untuk sebagian hukum adat dengan
mendahulukan daerah-daerah di mana penduduknya telah memeluk agama Kristen.
Kehendak Cremer ini belum lagi sempat diselenggarakan sudah disusul oleh usaha
berikutnya.
Usaha ke-4
Kabinet Kuyper mengusulkan suatu rencana untuk mengantikan hukum adat dengan hukum
Eropa. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima amandemen Van Idsinga yang
hanya mengizinkan penggantian hukum adat dengan hukum Barat, jika kebutuhan-kebutuhan

sosial rakyat menghendakinya.
Usaha ke-5

Pada tahun 1914 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan rencana KUH Perdata bagi
seluruh golongan penduduk di Indonesia. Rencana ini tetap tinggal rencana yang tidak pernah
dimajukan kepada Parlemen Belanda.
Usaha ke-6
Mr. Cowan membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, diumumkan Pemerintah
Belanda sebagai rencana unifikasi dalm tahun 1923. Gagal lagi, karena kritik Van
Vollenhoven dalam karangannya “Juridisch Confeetiewerk”.
Sebab kegagalan semua usaha tersebut di atas adalah, karena bahwasanya tidak mungkin,
bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk, harus tunduk pada hukum
yang sebagian besar disesuaikan pada kebutuhan bangsa Eropa. Bangsa Indonesia tidak bisa
dimasukkan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat. Dan dalam tahun 1927
pemerintah Hindia Belanda mengubah haluannya, Ia menolak penyatuan hukum (unifikasi).

3. SEJAK TAHUN 1927 POLITIK PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP
HUKUM ADAT MULAI BARGANTI HALUAN, YAITU DARI “UNIFIKASI”
BERALIH KE “KODIFIKASI”
Konsepsi Van Vollenhoven yang isinya menganjurkan diadakan pencatatan-pencatatan yang

sistematis dari pengertian-pengertian hukum yang sesungguhnya dari penduduk, tetapi
didahului dengan penelitian dan penyelidikan yang dipimpin oleh para ahli. Tujuan ini adalah
untuk memajukan ketentuan hukum dan untuk membantu hakim yang harus mengadili
hukum adat. Akhirnya pada tahun 1927 konsepsi Van Vollenhoven ini diterima. Dan politik
pemerintah kolonial Belanda kembali secara teratur kearah dualisme.
Mr. B. Ter Haar, murid Van Vollenhoven, berusah supaya hukum adat dipertahankan dan
dilaksanakan sebagai hal yang sangat sesuai bagi kebutuhan masyarakat bangsa Indonesia
dalam kedudukannya sekarang.
Politik hukum adat semenjak tahun 1927 setelah konsepsi Vollenhoven diterima,
menghendaki juga re-organisasi sistem pengadilan. Terutama sekali Ter haar yang
mengadakan re-organisasi pengadilan, yang melaksanakan pengadilan desa dan akhirnya
pengadilan negeri, kesemuanya itu untuk memperbaiki pengadilan Mahkamah-Mahkamah
yang harus melakukan hukum adat.

Jadi yang terjadi hingga sampai jatuhnya pemerintahan kolonial Belanda kepada Balatentara
Jepang adalah kodifikasi dan bukan unifikasi.

4. DASAR HUKUM SAH BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Sebelum Undang-Undang No. 19 tahun 1964 L.N. No.107 tahun 1964, yakni UndangUndang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, diundangkan pada
tanggal 31 Oktober 1964, maka yang menjadi dasar Hukum Adat adalah masih Pasal II

Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945.
Pada zaman Belanda sumber pengetahuan tentang hal ini adalah pasal 131 Indische
Staatsregeling (disingkat IS), yang menggambarkan adanya sistem hukum yang dualistis dan
pluralistis. Kini, di Indonesia berlaku bersama-sama hukum adat dan hukum Eropa. Selain
pasal 131 IS tersebut, masih terdapat dua pasal dari IS yang masih memungkinkan
berlakunya hukum adat, yaitu pasal 21 IS ayat 2 dan pasal 130 IS.
Jauh sebelum Undang-Undang No.19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman diundangkan, sesungguhnya secara konstitusional telah dapat
diketemukan pasal-pasal yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat, yaitu
pasal 146 ayat (1) Konstitusi RIS dan pasal 104 ayat (1) Undang Undang Dasar Sementar
1950.
Dalam alinea dari penjelasan umum Undang-Undang No. 19 tahun 1964, dengan
dihubungkan dengan pasal 17 ayat 2 dan pasal 3 dari Undang-Undang tersebut diketemukan
dasar/alasan berlakunya Hukum Adat yang disebut hukum tidak tertulis. Dan dengan
diundangkannya Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman
ini, maka gugurlah perundang-undangan kolonia/pasal 131 IS (6)/sebagai dasar hukum
berlakunya Hukum Adat.
Karena ketentuan dalam pasal 19 UU No. 19 tahun 1964 isinya bertentangan dengan jiwa
Undang Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 17 Desember 1970 dicabut dan diganti
dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang isi umumnya hampir sama. Pasal-pasal

yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat adalah Pasal 23(1) dan pasal 27
(1).

Dengan demikian, bahwa sekarang yang menjadi dasar perundang-undangan berlakunya
Hukum Adat sebagi hukum yang tidak tertulis adalah: Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959,
pasal 24 Undang Undang Dasar 1945 dan pasal 23 ayat (1). Untuk Undang-undang tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 14 tahun 1970.

5. NILAI-NILAI UNIVERSAL DALAM HUKUM ADAT
Hukum adat yang tradisional ini menunjukkan juga adanya nilai-nilai yang universal seperti:
a. Asas gotong royong.
b. Fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat.
c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum.
d. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.

6. KEPRIBADIAN HUKUM ADAT ITU BAGAIMANA?
Bangsa Indonesia berkepribadian Pancasila, sehingga hukum adat pun berkepribadian
Pancasila pula, demikian pula hukum yang dimaksud dalam Undang-undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman berkepribadian sama dengan Hukum Adat.


7. HUKUM ADAT DAPAT DIKETEMUKAN DI MANA SAJA? APAKAH YANG
MENJADI SUMBER-HUKUMNYA SERTA APAKAH YANG MENJADI SUMBER
PENGENALNYA
Hukum adat dapat dicari atau tempat-tempat hukum adat itu adalah:
a. Dalam masyarakat itu sendiri. Kalau tidak ada kesempatan untuk hidup sendiri di dalam
masyarakat yang bersangkutan, maka dapat dicari atau diketemukan dalam keputusankeputusan Penguasa masyarakat tersebut ataupun dalam kesusastraan masyarakat yang
bersangkutan dan juga dalam tulisan-tulisan, karangan-karangan ilmiah tentang masyarakat
dimaksud oleh para sarjana.

b. Catatan-catatan ataupun himpunan-himpunan peraturan-peraturan hukum adat yang
disusun dan dibukukan dalam kitab-kitab.
Sumber hukum adat adalah:
 Kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat (Van
Vollenhoven).
 Kebudayaan tradisional rakyat (Tar Haar).
 Ugeran-ugeran (Djojodiguno).
 Perasaan keadilan yang hidup di dalam hati nurani rakyat (Supomo).
Sumber pengenalnya adalah:








Pepatah-pepatah adat.
Yurisprudensi adat.
Laporan-laporan dari komisi-komisi penelitian.
Dokumen-dokumen yang memuat ketentuan hukum yang hidup pada waktu itu.
Buku-buku undang-undang yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-sultan.
Buku-buku karangan sarjana.

8. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM TATA HUKUM NASIONAL
INDONESIA
Dalam lampiran A dari Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 pada paragraf 402 No. 34 dan 35
disebut dengan jelas asas-asas yang harus diperhatikan oleh para Pembina Hukum Nasional
yaitu:
a. Pembangunan hukum Nasional harus diarahkan kepada homogeniet hukum dengan
memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
b. Harus sesuai dengan haluan Negara dan berlandaskan Hukum Adat yang tidak

menghambat perkembangan Masyarakat adil dan makmur.
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang diadakan dengan keputusan Presiden nomor 107
tahun 1958 diberi tugas:
Melaksanakan pembinaan Hukum Nasional sesuai yang dikehendaki oleh ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960 (berdasarkan Hukum Adat) dengan
tujuan mencapai Tata Hukum Nasional sebagai berikut:

A. Menyiapkan rancangan-rancangan peraturan perundang-undangan
B. Menyelenggarakan masalah-masalah yang belum diatur dalam suatu peraturan perundangundangan.

9. BAGAIMANA KEDUDUKAN HUKUM ADAT INI DI KEMUDIAN HARI?
Prof. Soepomo di dalam Dies Natalis pada tanggal 17 Maret 1947 menegaskan sebagai
berikut:
a. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai
masyarakat Indonesia.
b. Bahwa hukum pidana dari sesuatu Negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat
bangsanya atau masyrakat itu sendiri.
c. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tak tertulis akan tetap menjadi sumber
hukum baru dalam hal-hal yang belum/tidak diterapkan oleh undang-undang.
Prof. M. Nasrun S.H. dalam buku beliau “Dasar falsafah adat Minagkabau” menyatakan

bahwa, justru adat itulah yang menentukan sifat dan corak ke-Indonesiaan dari kepribadian
bangsa Indonesia. Justru adat itulah yang merupakan salah satu penjelmaan jiwa Indonesia
dari abad ke abad.
Dari kesimpulan Seminar Hukum Nasional ke-4 dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam
hukum Adat masih tetap akan mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan Hukum
Nasional kita yang akan datang.