Full Paper P00195

RI N GK ASAN
Selama tahun 2010 – 2013 Kota Salatiga mengalami laju pertumbuhan penduduk
yang cenderung menungkat. Pada tahun 2010 laju pertumbuhan penduduk Salatiga sebesar
1,09 % kemudian meningkat tajam pada tahun 2013 yakni sebesar 2,7 %. Kenaikan ini
salah satunya disebabkan karena jumlah usia produktif yang besar dan peristiwa pernikahan
usia dini yang terjadi pada suatu wilayah. Jumlah penduduk di Salatiga untuk kategori
remaja tengah dan akhir yaitu usia 15-24 tahun yaitu sekitar 18,52%. Pada usia ini sangat
rentan terhadap perilaku tidak sehat seperti perilaku seks pranikah. Hal ini terbukti dari
penelitian mengenai dampak pernikahan usia dini dan angka pertama kali melakukan seks
pranikah dari umur 8 tahun dan terjadi peningkatan pada usia 13 – 20 tahun, serta peristiwa
perkawinan yang tercatat di Pengadilan Agama Salatiga yang menyebutkan bahwa terdapat
suatu kebijakan Dispensasi Kawin karena Hubungan Luar Nikah.
Terkait dengan permasalahan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah
pengembangan model solusi startegik analisis dampak kependudukan untuk mengatasi
pernikahan usia dini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis
penelitian diskriptif eksplanatif. Sebagai unit amatan adalah para pihak yang terkait dengan
permasalahan penelitian, yang meliputi pihak yang terkait dengan kebijakan, keluarga atau
individu yang melakukan perkawinan usia dini, Bapermas Kota Salatiga, PLKB, PIK
Mahasiswa UKSW, dan LSM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelibatan actor dan jejaring actor dalam
mengatasi pernikahan usia dini sangat penting untuk dilakukan dalam setiap tahapan dan

atau kegiatan sosialisasi maupun advokasi. Dalam pengembangan model solusi strategik
untuk mengatasi pernikahan usia dini dapat dilakukan dengan berbagai model, sebagai
berikut: (1) Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan formal maupun informal akan
menjadi lebih bermakna apabila menggunakan pendekatan interpersonal dengan opinion
leader, (2) Penggunaan komunikasi interpersonal dan komunikasi persuasif dalam
Internalisasi Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui pendidikan sexualitas,
kesehatan reproduksi, dan perilaku. Demikian pula dalam peningkatan kapasitas orang tua
dalam mengenalkan sejak dini tentang pendidikan sex, (3) Penggunaan media sosial seperti
internet, gadget, new media, facebook, instagram lebih dapat menjembatani atau
menjangkau gap yang terjadi khususnya anak-anak muda dan remaja dari pada cara-cara
tradisionil seperti ceramah, diskusi kelompok dll. (5) Pendekatan komunikasi interpersonal,
persuasi dan pemanfaatan media digunakan dalam pengembangan kader-kader muda
supaya dapat menjangkau anak-anak muda maupun remaja.
Keywords: Pernikahan usia dini, Aktor dan jaringan aktor, Komunikasi interpersonal
dan komunikasi persuasif, media, Pengembangan model solusi kebijakan.

ii

DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN


............................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah

.............................................................................................. 3

C. Tujuan Penelitian

.............................................................................................. 3

D. Manfaat Penelitian

.............................................................................................. 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

.................................................................................. 4


A. Remaja dan Perilaku Sosial ………………………………………………………….. 4
B. Teori Tindakan Aktor dan Jaringan Aktor ......................................................................6
C. Komunikasi Interpersonal .............................................................................................. 8
D. Komunikasi Persuasif

................................................................................................ 12

E. Media: Kesesuaian Media Dengan Audience .................................................................17

BAB III. METODE PENELITIAN

........................................................................... 22

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

............................................................................. 22

B. Unit Amatan dan Unit Analisa

................................................................................ 22


C. Teknik Pengumpulan Data

................................................................................ 23

D. Teknik Analisa Data

............................................................................................ 23

E. Rencana dan Jadwal Penelitian …………………………………………………….. 25
F. Anggaran Pembiayaan ……………………………………………………………... 25
G. Organisasi Penelitian ………………………………………………………………. 25

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................................... 26
A. Pengembangan Model Solusi Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi ........................ 27
B. Pengembangan Model Solusi dan Komunikasi Interpersonal …………………….. 30
C. Pengembangan Model Solusi dan Komunikasi Persuasif ………………………… 31
D. Pengembangan Model Solusi dan Media …………………………………………. 31
E. Peran Komunikasi Di dalam Sosialisasi dan Advokasi Melalui
Saluran/jaringan Formal Maupun Informal .............................................................. 33

F. Pendidikan sexualitas, kesehatan reproduksi, dan Perilaku Menyimpang
Sejak Dini Dengan Menggunakan Komunikasi Interpersonal
dan Komunikasi Persuasif ........................................................................................ 34
iii

G. Peningkatan kapasitas orang tua mengenai pendidikan sex dengan
menggunakan komunikasi, komunikasi interpersonal
dan komunikasi persuasif ......................................................................................... 35
H. Media Untuk Menjangkau gap pada Anak-Anak Muda ......................................... 36
I. Perlunya pengkaderan terhadap kader-kader muda supaya dapat
menjangkau anak-anak muda maupun remaja ......................................................... 38

BAB V KESIMPULAN ................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 42

iv

PENGEMBANGAN MODEL SOLUSI STRATEGIK
ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN UNTUK
MENGATASI PERNIKAHAN USIA DINI

Oleh:
Daru Purnomo, Drs., M.Si1, dan Seto Herwandito S.Pd.,M.M.M.Ikom2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan umumnya dilakukan oleh orang dewasa, karena jika dilakukan di usia
dini/muda tidak baik untuk kesehatan janin dan mengakibatkan banyak faktor seperti
kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian. Kultur pernikahan dini di Indonesia
sepertinya belum berakhir. Menurut United Nations Development Economic and Social
Affairs (UNDESA), Indonesia merupakan Negara ke-37 dengan jumlah perkawinan dini
terbanyak di dunia. Untuk level ASEAN, Indonesia menempati urutan kedua terbanyak
setelah Kamboja3. Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), tahun 2014, presentase pasangan yang menikah diusia dini yaitu berada pada
kisaran usia 15-19 tahun mencapai 46 %, sedangkan yang menikah dibawah usia 15 tahun
sekitar 5%.
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, Badan Kesejahteraan
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan akibat tren menikah dini yang
meningkat, kini rata-rata kelahiran pada remaja (Age Specific Fertility Rate / ASFR) usia 1519 tahun meningkat 35 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 menjadi 45 per 1000 di

tahun 2012. Demikian halnya Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Tengah mengungkapkan,

1
2

3

Dekan Fakult as Ilm u Sosial dan Ilm u Kom unikasi, Universit as Krist en Sat ya Wacana, Salatiga
St aff Pengajar Pada Fakult as Ilm u Sosial dan Ilm u Kom unikasi Universit as Krist en Sat ya Wacana, Salat iga

m.metrotvnews.com/read/2013/07/12/16763/jumlah-pernikahan-dini-indonesia-terbanyak(terakhir diakses pada tanggal 5 Oktober 2015 puku 20.03 WIB)

kedua-di-asean
1

Provinsi Jawa Tengah masuk kategori tinggi dalam angka kelahiran pada usia remaja (15-19)
tahun, yakni mencapai 36 dari 1000 kelahiran4.
Permasalahan mengenai perkawinan usia muda memang menjadi masalah bersama,
tak terkecuali negara Indonesia yang masuk ke dalam negara berkembang Perkawinan usia
muda seringkali dikaitkan dengan aborsi dan perilaku sex pranikah yang tidak aman dan

kondisi inilah yang memicu penyebab kematian anak umur 15-19 tahun (Gennari 2013; Gray,
Azzopardi, Kennedy, Willersdorf, and Creati 2013).
Tingginya angka pernikahan dini merupakan masalah yang serius dan membutuhkan
penanganan yang tepat dan komprehensif. Fenomena pernikahan anak ini terjadi tidak hanya
berdasar pada faktor tradisi atau pemahaman agama, tetapi lebih dilandasi faktor ekonomi,
kultural, dan sistem sosial yang berlaku dalam lingkungan yang mempraktikkan pernikahan
anak. Kurangnya pendidikan, keterbukaan informasi mengenai hak asasi manusia khususnya
hak anak, ketidaktahuan akan dampak buruk yang bisa dialami anak yang menikah di usia
muda, serta persepsi bahwa anak perempuan adalah objek menjadi faktor-faktor pendukung
keberlangsungan pernikahan anak.
Dalam penelitian tentang dampak perkawinan usia dini dengan mengambil kasus di
Kota Salatiga (Purnomo dan Seto, 2013) menunjukkan bahwa beberapa faktor penyebab
terjadinya pernikahan usia dini adalah (1) . faktor pendidikan anak dan orang tua, dimana
faktor ini menjadi salah satu variable terhadap ketidak-tahuan hukum struktural terkait
dengan kebijakan perkawinan dan pentingnya menghindari perkawinan usia dini. Kondisi ini
menyebabkan acuan perkawinan berdasarkan pada adat tradisi yang berlaku atau terjadi di
lingkungannya. Rendahnya pendidikan anak karena ketiadaan biaya (terutama perempuan)
menyebabkan ketidak-berdayaan/ kerentanan perempuan untuk mampu menolak keinginan
orang tua (berumah tangga). (2) Faktor pendidikan sexualitas, dimana faktor ini merupakan
penyebab awal terjadinya perkawinan usia dini. “Kecelakaan” atau Kehamilan Tidak

Diinginkan (KTD) pada usia muda merupakan pintu masuk terjadinya perkawinan dini.
Minimnya

pengetahuan

kesehatan

reproduksi

rendahnya

tingkat

“melek

media”

menyebabkan remaja tidak memperoleh informasi secara benar, sehingga akan memicu rasa
ingin tahu untuk mencobanya. Selain itu adanya internet serta media social lainnya
menyebabkan remaja secara leluasa dapat mencari dan memperoleh secara mudah. Alhasil

informasi tersebut merupakan stimulus yang kuat, dorongan internal yang menyebabkan
banyaknya hormon yang dihasilkan untuk memberi dorongan siswa/remaja/anak muda untuk
4

m.tribunnews.com/kesehatan/2014/04/29/pernikahan-dini-di-indonesia-tergolong-tinggi. (terakhir diakses pada
tanggal 5 Oktober 2015 20:54 WIB)
2

mencoba melakukan hubungan seks. Dan (3) faktor lingkungan keluarga dan masyarakat
yang semakin longgar (permisif). Kesibukan orang tua karena pekerjaan mereka sedikit
banyak juga mempengaruhi terjadinya pernikahan usia muda. Orang tua terkadang memiliki
waktu yang sangat sedikit untuk berkumpul dengan keluarga terutama anak-anak. Selain itu
lingkungan pertemanan yang kurang sehat menjadi variable penting terjadinya perilaku sex
pra-nikah dan menjadi faktor potensial terjadinya perkawinan usia muda.
Untuk mengatasi permasalahan perkawinan usia dini, maka diperlukan adanya model
kebijakan strategic dampak kependudukan untuk mengatasi perkawinan usia dini. Dari hasil
kajian penelitian terkait dengan hal tersebut (Purnomo, Daru.,dkk, 2014) maka dalam model
kebijakan sebaiknya secara maksimal melibatkan Aktor, Jaringan Aktor dan Aktan (actor
pengendali). Model ini mendasari setiap kegiatan sosialisasi dan atau advokasi dalam rangka
internalisasi untuk mengatasi perkawinan usia dini di kalangan remaja dan mahasiswa.

Atas dasar hal itu maka sangatlah penting dalam penelitian ini untuk menguji atau
mengembangkan model solusi strategic uktuk mengatasi pernikahan usia dini. Diharapkan
melalui penegmbangan model ini akan bisa diketahui efektifitas dan kendala-kendala yang di
lapangan yang dihadapi oleh para pihak yang memiliki kepentingan terkait dengan
permasalahan kependudukan.
B. Rumusan Masalah
“Bagaimana pengembangan model solusi strategik dampak kependudukan untuk
mengatasi perkawinan usia dini kota Salatiga?

C. Tujuan Penelitian
1. Menggambarkan model-model solusi strategik untuk mengatasi perkawinan usia dini
di Kota Salatiga
2. Mengembangkan dan menjelaskan solusi strategik dampak perkawinan usia dini di
Kota Salatiga.

D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan gambaran mengenai model-solusi strategik untuk mengatasi perkawinan
usia dini
2. Memberikan sumbangan dalam pengembangan model solusi strategik untuk
mengatasi masalah perkawinan usia dini

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja dan Perilaku Sosial
Definisi remaja penting digunakan untuk memandang para remaja sebagai suatu
kelompok yang heterogen karena kemunculan sebuah gambaran yang berbeda tergantung
pada seperangkat kareakteristik khusus para remaja yang digambarkan (Santrock, 2002).
Masa remaja digambarkan sebagai suatu masa dimana kematangan sudah dicapai, suatu masa
trasisi dari kanank-kanak menuju dewasa, suatu masa dimana kematangan emosional
seseorang masih belum stabil, sedangan fisik dan mentalnya sudah mengalami pertumbuhan.
Dimasa ini pula remaja mulai mengenal seks. Hall juga berpendapat bahwa remaja
merupakan strum and drang yaitu periode yang berada dalam situasi antara kegoncangan,
penderitaan, asmara, dan pemberontakan dengan otoritas orang dewas (Bachtiar, 2004).
Hurlock (1980) istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata
bedanya adolescentia yang berarti remaja) yang berati tumbuh. Istilah remaja mempunyai arti
yang mencakup kematang mental, emosional, sosial dan fisik. Menurut Piaget, secara
psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,
usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan
berada dalam tingkatan yang sama.
Dari beberapa definisi mengenai remaja dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa
transisi atau masa peralihan dari status kanak-kanak menuju status dewasa. Pada masa ini
remaja mulai tertarik untuk mengenal hal-hal baru seperti seks, dimana remaja mempunyai
hasrat yang sangat kuat dan mereka cenderung akan selalu berusaha memenuhi hasrat
tersebut.
Sebagai pedoman umum dapat menggunakan batasan usia 11-21 tahun dan belum
menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut
(Sarwono, 2000) :
1. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai
nampak (kriteria fisik).
2. Banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akhir balik, baik
menurut adat maupun agama, sehingga tidak lagi diperlakukan sebagai anak-anak
(kriteria sosial).
4

3. Mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya
identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan
tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral (kriteria psikologis).
4. Batas usia 21 tahun merupakan batasan maksimal yaitu untuk memberikan peluang
bagi mereka yang sampai batas tersebut masih bergantung pada orang tua, belum bisa
memberikan pendapat sendiri, belum dapat memenuhi prasyarat kedewasaan secara
sosial maupun psikologis, masih dapat digolongkan remaja.
5. Status perkawinan sangat menentukan, karena arti perkawinan masih sangat penting
dimasyarkat secara menyeluruh. Orang yang sudah menikah, dianggap sebagai
dewasa penuh, baik secara hukum maupun kehidupan bermasyarakat dan keluarga.
Garrison mencatat 7 kebutuhan khas remaja sebagai berikut (Sarwono, 2000) :
1. Kebutuhan akan kasih sayang, terlihat adanya sejak masa yang lebih muda dan
menunjukkan berbagai cara perwujudan selama masa remaja.
2. Kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok merupakan hal yang
sangat penting, sejak remaja “melepaskan diri” dari keterikatan keluarga dan berusaha
memnatapkan hubungan-hubungan dengan teman lawan jenis.
3. Kebutuhan untuk berdiri sendiri yang dimulai sejak usia lebih muda menjadi sangat
penting selama masa remaja, manakala remaja dituntut untuk membuat berbagai
pilihan dan mengambil keputusan.
4. Kebutuhan untuk berprestasi menjadi sangat penting dan pasti seirama dengan
pertumbuhan secara individual mengarah pada kematangan atau kedewasaan.
5. Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain sangat penting sejak mereka bergantung
dalam hubungan teman sebaya dan penerimaan teman sebaya.
6. Kebutuhan untuk dihargai dirasakan berdasarkan pandangan atau ukurannya sendiri
yang menurutnya pantas bagi dirinya dan menjadi bertambah penting seirama denga
pertambahan kematangan.
Kehidupan sosial adalah kehidupan yang ditandai dengan adanya unsur-unsur sosial
masyarakat (Ahmadi, 1979). Sebuah kehidupan sosial disebut sebagai kehidupan sosial jika
terdapat interaksi antara individu dengan individu yang lain dan individu dengan kelompok.
Selain itu juga terjadi komunikasi yang kemudian berkembang menjadi saling membutuhkan.
5

Dalam kaitannya dengan pengembangan model solusi strategic dampak kependudukan untuk
mengatasi pernikahan usia dini, maka yang menjadi fokus peneliti adalah model strategic
yang digunakan fasilitator atau petugas kependudukan dalam melakukan sosialisasi atau
advokasi dampak kependudukan untuk mengatasi pernikahan usia dini.

B. Teori Tindakan Aktor dan Jaringan Aktor

1. Teori Tindakan Aktor
Istilah peran sangat berkaitan dengan istilah praktik dalam pengertian Pierre
Bourdieu. Menurut Bourdieu (dalam Adib, 2012) praktik (secara sosial) merupakan
hubungan relasional yakni struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku,
terjalin secara dialektik. Fenomena sosial apa pun merupakan produk dari tindakan-tindakan
individual. Oleh karena itu, logika tindakan harus dilihat (dicari) pada sisi rasionalitas
pelakunya (Haryatmoko, 2003).
Habitus adalah “produk dari internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh
sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Menurut
Bourdieu, habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan
dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka
gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial.
Melalui skema ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya
(Ritzer dan Goodman, 2010).
Ranah adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya (Ritzer dan Goodman,
2010). Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Ranah
merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya
atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan;
(2) semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu
dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Oleh karena itu,
ranah juga dimaknai sebagai “arena perjuangan”
Menurut Bourdieu (Adib 2012), dalam ranah sosial akan selalu terjadi perbedaan
tindakan individu yang sangat tergantung pada modal dan habitus yang dimiliki oleh individu
tersebut. Individu yang tidak memiliki modal dan habitus akan cenderung sulit untuk
melakukan tindakan merubah struktur yang ada. Modal dalam penjelasan Bourdieu terdiri
dari 4 (empat) macam yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal
simbolik.
6

Modal ekonomi mencakup kepemilikan alat-alat produksi (seperti mesin, tanah, dan
buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang. Sedangkan modal sosial mencakup
keseluruhan kepemilikan nilai, kepercayaan sosial dan jejaring sosial (Adib, 2012).
Kemudian modal simbolik ini berupa, akumulasi prestasi, penghargaan, harga diri, jabatan,
status, kehormatan, wibawa, reputasi, termasuk gelar akademis (Bourdieu, 1989). Di sisi lain,
modal budaya mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui
pendidikan formal maupun warisan keluarga. Menurut Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003),
keseluruhan kepemilikan modal tersebut, dapat membentuk sebuah struktur tindakan sosial
(termasuk praktek keseharian) maupun lingkup sosial individu dalam masyarakat. Dalam
konteks penelitian ini konsep-konsep Piere Bourdieu digunakan untuk melakukan analisis
terhadap peran modal-modal aktor keterlibatannya dalam mengatasi masalah dampak
kependudukan untuk mengatasi pernikahan usia dini. Konteks modal dalam penelitian ini
adalah hubungan dialetik keempat modal dalam perspektif Piere Bourdieu yang
mempengaruhi praktik sosial aktor dalam mengatasi masalah pernikahan usia dini.
2. Aktor-Network Theory
Aktor-teori jaringan (ANT) berevolusi dari karya Michel Callon (1991) dan Bruno
Latour (1992) di Ecole des Mines di Paris. Analisis mereka dari serangkaian perundingan
konstitusi menggambarkan progresif dari jaringan di mana kedua manusia dan non-manusia
menganggap identitas pelaku sesuai dengan strategi yang berlaku interaksi. Aktor 'identitas
dan kualitas yang ditetapkan selama negosiasi antara wakil-wakil dari manusia dan nonmanusia aktan.. Dalam perspektif ini, "representasi" dipahami dalam dimensi politik, sebagai
proses delegasi. Dalam teori jaringan aktor, baik aktor dan berbagi aktan adegan dalam
rekonstruksi jaringan interaksi yang mengarah pada pemantapan sistem. Namun perbedaan
penting antara mereka adalah bahwa hanya aktor mampu menempatkan aktan yang beredar
dalam sistem.
Teori Jaringan Aktor (ANT) dapat dilihat sebagai cara sistematis untuk membawa
keluar infrastruktur yang biasanya dibiarkan keluar dari "heroik" bagian prestasi ilmiah dan
teknologi. Newton tidak benar-benar bertindak sendiri dalam menciptakan teori gravitasi: ia
membutuhkan data pengamatan dari Astronomer Royal, John Flamsteed, ia membutuhkan
dukungan publikasi dari Royal Society dan anggotanya (paling terutama Edmund Halley), ia
membutuhkan geometri Euclid, astronomi dari Kepler, Galileo mekanika, ruangan,
laboratorium, makanan, dll di Trinity College, seorang asisten untuk bekerja di laboratorium,
7

ide mistik tindakan dari jauh, dan lebih banyak, banyak lagi (lihat buku oleh Michael White).
Hal yang sama dapat dikatakan ilmiah atau proyek teknologi.
ANT lahir dari upaya berkelanjutan dalam bidang ilmu-ilmu sosial yang disebut ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bidang studi sosial teknologi pada umumnya dan ANT secara
khusus berkembang dengan cepat. Ketika melakukan bisnis Anda - menyetir mobil atau
menulis dokumen menggunakan kata-prosesor - ada banyak hal yang mempengaruhi
bagaimana Anda melakukannya. Misalnya, ketika mengendarai mobil, Anda terpengaruh
oleh peraturan lalu lintas, sebelum mengemudi pengalaman dan kemampuan manuver mobil,
penggunaan kata-prosesor ini dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya menggunakan itu,
fungsi kata-prosesor dan sebagainya. Semua faktor ini berkaitan atau tersambung dengan
bagaimana Anda bertindak. Anda tidak pergi untuk melakukan bisnis Anda di vakum total
tetapi lebih di bawah pengaruh berbagai faktor sekitarnya. Tindakan yang Anda bawa keluar
dan semua faktor-faktor yang mempengaruhi harus dipertimbangkan bersama-sama. Ini
adalah apa yang istilah menyelesaikan jaringan aktor. Jaringan aktor, kemudian, adalah
tindakan dihubungkan bersama-sama dengan segala faktor-faktor yang mempengaruhi (yang
lagi dihubungkan), menghasilkan jaringan. Jaringan aktor terdiri dari dan link bersama-sama
baik teknis dan non-teknis elemen. Tidak hanya kapasitas mesin mobil, tetapi juga pelatihan
mengemudi Anda, pengaruh mengemudi Anda. Oleh karena itu, ANT berbicara tentang sifat
heterogen jaringan aktor.

C. Komunikasi Interpersonal
Dari semua pengetahuan dan keterampilan yang kita miliki, pengetahuan dan
keterampilan yang menyangkut komunikasi termasuk di antara yang paling penting dan
berguna. Melalui komunikasi antar pribadi kita berinteraksi dengan orang lain, mengenal
mereka dan diri kita sendiri, dan mengungkapkan diri sendiri kepada orang lain. Apakah
kepada pimpinan, teman sekerja, teman seprofesi, kekasih, atau anggota keluarga, melalui
komunikasi antar pribadilah kita membina, memelihara, kadang-kadang merusak (dan ada
kalangnya memperbaiki) hubungan pribadi kita.
Menurut

Devito

(2007:

10-21)

merumuskan

elemen-elemen

komunikasi

interpersonal:
1. Sumber-Penerima
Komunikasi interpersonal melibatkan paling sedikit dua orang. Setiap ndividu dalam
komunikasi tersebut melakukan kedua fungsi sebagai sumber-penerima. Setiap orang
8

melakukan fungsi sumber (merumuskan dan mengirimkan pesan) dan juga melakukan
fungsi penerima (mempersepsikan dan memahami pesan). Didalam gambar diatas sumber
adalah Petugas KB, sedangkan penerima adalah Masyarakat. Akan tetapi tidak hanya hal
ini saja, ada faktor yang mempengaruhi, sebagai contoh adalah antara sumber dan
penerima haruslah equal atau setara. Bisa dibayangkan apabila sumber yang sudah senior
akan memberi pesan kepada anak muda/masyarakat sebagai penerima, tentu saja hal ini
akan menganggu dalam proses penerimaan pesan. Selain itu jika yang memberi pesan
adalah petugas senior dan penerimanya adalah anak muda, maka akan timbul rasa
canggung, rikuh5, malu, dll yang dialami oleh anak muda.
2. Encoding-Decoding
Istilah encoding (berbicara atau menulis) dan decoding (mendengar atau membaca) untuk
menekankan bahwa kedua aktivitas dilakukan dalam kombinasi oleh setiap partisipan.
Didalam gambar diatas bisa diartikan bahwa encoding dan decoding adalah proses
dimana pesan tersebut diartikan atau dicerna.
3. Pesan
Pesan adalah sinyal yang disajikan sebagai stimuli untuk penerima, mungkin bisa
didengar, dilihat, disentuh, berbau, dirasakan, atau kombinasi apapun. Cara kita berbicara,
berjabat tangan, menyisir rambut, duduk, tersenyum, adalah sinyal dari pesan komunikasi
interpersonal tentang diri kita. Komunikasi interpersonal dapat terjadi melalui telepon,
tatap muka, dan bahkan melalui komputer (DeVito, 2007:12). Pesan disini dapat diartikan
sebagai program KB yang disajikan oleh sumber (pertugas KB). Adapun pesan perlu
memperhatikan hal sebagai berikut:


Pesan haruslah dipahami oleh sumber maupun penerima, sebagai contoh
penggunaan bahasa dalam menyampaikan pesan tersebut. Penggunaan bahasa
gaul tentu saja akan membuat petugas KB yang senior tidak tahu atau akan
mendapat kesulitan dalam mencerna. Begitu pula dengan sebaliknya bahasa
yang kaku yang disampaikan oleh petugas KB yang senior akan membuat
penerima (anak muda) merasa bosan, sehingga pesan tidak dapat tersampaikan
secara utuh.

4. Media
Media adalah sarana dimana pesan bisa lewat. Ini adalah jembatan yang menghubungkan
sumber dan penerima. Komunikasi jarang terjadi hanya di satu media melainkan dua,
tiga, atau empat media sering digunakan serentak. Contohnya, interaksi tatap muka, kita
5

Bahasa Jaw a, diart ikan sebagai perasaan t idak enak/ tidak nyam an

9

berbicara dan mendengar, tetapi kita juga bergerak dan menerima sinyal secara visual,
dan kita mengeluarkan bau dan mencium bau orang lain.
5. Feedback/ Balikan
Feedback atau balikan adalah dimana para sumber (penyampai pesan) mendapatkan
balikan dari penerima (masyarakat). Balikan tersebut bisa bermacam-macam bentuknya
bisa berbentuk non verbal seperti: anggukan kepala (bermakna iya), menggelengkan
kepala (bermakna tidak) dan berbentuk verbal atau perkataan, seperti: perkataan “iya”,
“he’em”, dll.
6. Gangguan
Gangguan adalah sesuatu yang merubah pesan, sesuatu yang mencegah penerima
menerima pesan (DeVito, 2007: 15). Di dalam konteks penyampaian pesan (program KB)
kepada masyarakat, memungkinkan sekali untuk terjadi gangguan, sebagai contoh suara
dari Petugas KB sebagai komunikator yang lirih/ pelan/ tidak dapat di dengar bisa
merubah pesan kepada penerimanya. Selain itu gangguan lain seperti suara dari luar
(angin, musik, kendaraan, gemuruh, dll) bisa mempengaruhi didalam prosen
penyampaian pesan kepada masyarakat.
7. Konteks
Konteks adalah secara fisik, psikologi, sosial dan lingkungan sementara dimana
komunikasi terjadi (DeVito, 2007: 331). Di dalam konteks penyampaian pesan/ program
KB konteks sangatlah penting untuk memudahkan kedua belah pihak (komunikator/
petugas KB dan Masyarakat) untuk memahami konteks yang sedang dibicarakan. Jika
kedua belah pihak tidak memahami konteks yang berlaku maka akan menjadi berat
sebelah, akibatnya pesan yang disampaikan dari petugas KB kepada masyarakat tidak
sampai, sehingga akan menjadi “tidak nyambung” pesan tersebut.
8. Etika
Etika dalam komunikasi adalah moralitas dari tingkah laku pesan (Devito, 2007: 332)
9. Kompetisi
Dalam komunikasi interpersonal, artinya pengetahuan tentang komunikasi dan
kemampuan untuk melibatkan dalam komunikasi secara efektif. (DeVito, 2007: 330)
Di dalam menjalankan tugas keseharian seorang petugas KB, aspek komunikasi
sangatlah penting. Dengan cara inilah seorang bidan mengemukakan gagasan dan ide-idenya
kepada msyarakat, dan pasien pada khususnya. Apabila komunikasi antara keduanya
berlangsung dengan baik, maka hasil yang diharapkan akan lebih mudah diwujudkan dan

10

pada akhirnya akan memberikan kepuasan baik fisik maupun psikis bagi masyarakat sebagai
mereka yang merasakan dampak dari pelayanan KB.
Komunikasi interpersonal merupakan alat yang sangat menentukan dalam proses
konseling. Tanpa mengetahui proses komunikasi yang baik tidak mungkin bisa melaksanakan
konseling dengan baik. Karena konseling berlangsung diatas proses komunikasi interpersonal
yang aktif dan dinamis. Ada sejumlah kebutuhan manusia yang hanya dapat dipenuhi dengan
komunikasi. Olehkarena sangat penting bagi kita terutama petugas lapangan keluarga
berencana (PLKB/PKB) yang selalu berhubungan dengan masyarakat untuk terampil dalam
berkomunikasi baik dalam memberi penyuluhan, KIE, Bimbingan, motivafasi advokasi, lebilebih dalam konseling. Dengan demikian sebelum mengetahui apa dan bagaimana konseling
itu harus terlebih dahulu perlu untuk mengetahui cara menyampaikan mengenai konseling
tersebut.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Interpersonal
Rakhmat (1992) menyebutkan tiga hal yang mempengaruhi komunikasi interpersonal, yaitu:
1. Percaya
Adanya rasa percaya membuat seseorang akan terbuka dalam mengungkapkan pikiran
dan perasaan kepada orang lain sehingga meningkatkan komunikasi interpersonal.
Seperti halnya dalam advokasi yang dilakukan oleh PLKB, dimana petugas maupun
kader haruslah menjalin kepercayaan dengan audience-nya yaitu masyarakat. Karena
program KB bukanlah program yang mudah untuk dijalani, melainkan keputusan dari
tiap pasangan untuk melakukannya, sehingga perlu untuk membangun kepercayaan
kepada sasaran audience nya yaitu masyarakat. Tentu saja kepercayaan dari
masyarakat ini bukanlah hal yang gampang untuk dibentuk, membutuhkan bertahuntahun untuk membangun, sehingga masyarakat menjadi percaya.
2. Sikap Suportif
Ciri sikap suportif adalah deskriptif, yaitu menyampaikan perasaan dan persepsi tanpa
menilai, mengkomunikasikan keinginan bentuk bekerja sama dalam mencari
pemecahan masalah, bersikap jujur dan spontan, memiliki empati, menghormati
perbedaan pandangan dari keyakinan yang ada, dan bersedia mengakui kesalahan.
PLKB ataupun kader KB haruslah memiliki sikap yang suportif, setara, bersahabat,
dengan sikap tersebut maka masyarkat akan menjadi lebih mudah untuk percaya.

11

3. Sikap Terbuka
Untuk menumbuhkan sikap percaya dan suportif, maka yang pertama haruslah
dilakukan adalah terbuka dahulu kepada audience. Sikap terbuka berpengaruh dalam
menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif.

Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal
Laswell (1987) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek komunikasi interpersonal, yaitu:
1. Keterbukaan
Merupakan aspek penting dalam kualitas komunikasi, yaitu tingkat keterbukaan
antara dua pasangan. Keterbukaan membuka kesempatan bagi individu untuk
berusaha memahami orang lain
2. Kejujuran
Agar komunikasi tetap terpelihara kita tidak perlu mengetahui apa yang dirasakan dan
dipikirkan orang lain, tapi yang lebih penting lagi adalah informasi yang kita
sampaikan bisa dipercaya orang lain.
3. Percaya
Untuk memudahkan kepercayaan dalam berkomunikasi, pendengar harus merespon
pesan yang disampaikan oleh komunikator dengan tulus hati, bukan mementingkan
diri sendiri tetapi berusaha menciptakan kepentingan bersama antara dua belah pihak
4. Empati
Kemampuan untuk dapat merasakan keadaan emosi yang sam seperti yang dirasakan
oleh orang lain meskipun ketika tidak benar-benar berbagi perasaan yang sama itu
5. Kemampuan mendengarkan
Mendengarkan juga memerlukan suatu kemampuan untuk dapat memberi umpan
balik pada apa yang telah disampaikan oleh orang lain

D. Komunikasi Persuasif
Komunikasi persuasif sebagai salah satu jenis komunikasi diantara komunikasi yang
lainnya, komunikasi persuasif ini ialah untuk mengetahui seberapa tingginya pengaruh yang
disampaikan dalam merubah perilaku manusia dalam menerima isi pesan yang terdapat
dalam sebuah komunikasi persuasif. Selain itu juga komunikasi persuasif dapat digambarkan
dalam berbagai macam model pelaksanaannya. Model komunikasi persuasif dibuat untuk
membantu dalam memberi pengaruh kepada obyek dan atau sasaran tentang isi pesan yang
akan dan sudah disampaikan.
12

Komunikasi persuasif menurut Dedy Iriantara adalah komunikasi yang bersifat
mempengaruhi tindakan, perilaku, pikiran dan pendapat tanpa dengan cara paksaan baik itu
fisik, atau nonfisik. Menurutnya dalam melakukan komunikasi persuasif, argumen
komunikator haruslah argumen yang masuk akal atau rasional, sehingga dapat meyakinkan
lawan bicaranya atau komunikan, sehingga komunikan akhirnya mau berperilaku seperti
yang diinginkan komunikator, Djamaluddin (1997 : 243).
Komunikasi persuasif adalah sebagai suatu proses, yakni proses mempengaruhi sikap,
pendapat dan perilaku orang lain, baik secara verbal maupun nonverbal. Proses itu sendiri
adalah setiap gejala atau fenomena yang menunjukkan suatu perubahan yang terus-menerus
dalam konteks waktu, setiap pelaksanaan atau perlakuan secara terus-menerus. Hal yang
perlu diperhatikan dalam berkomunikasi persuasif adalah karakteristik dari komunikator.
Karena ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh bukan hanya yang
dikatakannya, tetapi keadaan komunikator itu sendiri. Komunikator tidak dapat merubah
sikap komunikan hanya dengan yang dikatakannya.

Unsur-Unsur Komunikasi Persuasif
Ada 6 unsur komunikasi persuasif yang harus dipahami dan berkaitan dengan yang
lainnya, yaitu 1) sumber dan penerima (Persuader dan Persuadee), menurut Berlo (dalam
Soemirat, dkk, 2008:2.25), persuader adalah orang dari suatu sekelompok orang yang
menyampaikan pesan dengan tujuan untuk mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku orang
lain baik secara verbal maupun nonverbal sedangkan persuadee adalah orang yang menjadi
tujuan pesan itu tersampaikan di saluran oleh persuader baik secara verbal maupun
nonverbal. 2) pesan, Isi pesan persuasif juga perlu di perhatikan karena isi pesan persuasif
harus berusaha untuk mengkondisikan, menguatkan, atau membuat pengubahan tanggapan
sasaran. 3) saluran, menurut Reed H. Blake dan Edwin O. Haroldesn (dalam Soemirat, dkk,
2008:6.3) media yang di gunakan untuk membawa pesan, hal ini berarti bahwa saluran
merupakan jalan atau alat untuk perjalanan pesan antara komunikator (sumber atau pengirim)
dengan komunikan (penerima). 4) umpan balik menurut Sastropoetra (dalam Soemirat, dkk,
2008:2.38) umpan balik adalah jawaban atau reaksi yang datang dari komunikasi atau dari
pesan itu sendiri. 5) efek menurut Satropoetra (dalam Soemirat, dkk, 2008:2.38) efek
komunikasi persuasif adalah perubahan yang terjadi pada diri persuade sebagai akibat dan
diterimanya pesan melalui proses komunikasi, efek yang terjadi dapat berbentuk perubahan
sikap, pendapat dan tingkah laku.

13

Gambar 1
Komunikasi persuasif

6

Proses Komunikasi Persuasif
Dalam memahami proses komunikasi persuasif secara sederhana. Dimulai dengan
bagaimana sumber memahami pesan dan menggambarkan laju internal dalam tahap paralel
untuk sumber dan penerima, sebagai berikut:
1. Tahap Pemahaman Pesan (Conceiving the Message), dalam tahap ini di mana sumber
menyelesi berbagai alternative pilihan pikiran dan perasaannya untuk disampaikan.
Tahap ini jika diterjemahkan ke dalam model strategik adalah sebagai berikut: PLKB
atau Kader KB haruslah mencerna dahulu mengenai pesan yang ingin mereka
sampaikan kepada sasarannya (masyarakat). Menyiapkan pikiran, perkataan,
perbuatan yang nanti akan disampaikan pada saat menyampaikan pesan. Lihat dahulu
perasaan atau mood (suasana hati) sasaran setelah itu baru menyiapkan perasaan pada
saat menyampaikan pesan.
2. Tahap Menyandi Pesan (Encoding the Message), tahan ini pesan dibentuk secara
linguistik kemudian dipindahkan ke dalam stimulasi fisikal yang dapat berjalan
melalui ruang. Dalam tahap ini kemampuan atau kreatifitas sangat dibutuhkan untuk
menterjemahkan pesan dari kata-kata menjadi suatu tindakan. Otomatis kemampuan
untuk mengolah kata-kata, gerak tubuh, ataupun alat bantu di sekliling kita sangatlah
perlu.
3. Tahap Pengkodean Kembali Pesan (Decoding the Message), dalam tahap ketiga ini
dimana penerima memidahkan kembali stimulus fisikal ke dalam bentuk-bentuk yang
disepakati secara semantik. Tahap ini membutuhkan kejelian dan ketelitian untuk
6

Sum ber w w w.bkkbn.go.id diakses t anggal 26 November 2015 jam 23.00 WIB

14

menterjemahkan kode yang dikirim dari penerima kembali ke komunikator (PLKB/.
Kader KB). Kode-kode yang dikirim oleh penerima (masyarakat) bermacam-macam
bentuknya, bisa verbal (perkataan) atau non verbal (gerak tubuh, contoh: anggukan
kepala yang berarti “iya” atau “paham”)
4. Tahap Evaluasi (the Evaluative Stage), dalam tahap evaluasi dimana sumber
memperoleh beberapa kecocokan antara pesan yang ia terima dengan apa yang ia
pikirkan dan rasakan (dalam Soemirat, dkk, 2008: 2.11). Tahap ini berfungsi sebagai
“pintu terakhir” dimana akan menentukan apakah penerima pesan paham dan
mengerti akan pesan yang komunikator (PLKB/ Kader KB) sampaikan.

Gambar 2
Tehnik Komunikasi Persuasif7

Teknik-Teknik Komunikasi Persuasif
Menurut William S. Howell, dkk (dalam Soemirat, dkk, 2008:8.5) mengemukakan
teknik-teknik persuasi secara singkat:
1. The Yes Respons Technique bertujuan untuk mengarahkan sasaran persuasi
(persuadee) pada pembentukan suatu pendapat, sikap atau bahkan perilaku tertentu
dengan cara mengemukakan pertanyaanpertanyaan yang saling berhubungan.
2. Putiing It Up To You, persuader berusaha untuk menjalin hubungan secara psikologis
dengan sasaran (persuadee). Cara yang dilakukan yakni dengan berulang kali
7

Sum ber: ht t p:/ / refram epositive.com / w p-cont ent / uploads/ 2015/ 05/ st oryt elling.jpg diakses t anggal 28
Novem ber 2015 jam 21.00 WIB

15

menanyakan kejelasan, kesetujuan atau ketidaksetujuan pendapat, penilaian, dan lainlain dari topik yang dibicarakan.
3. Simulated Disinterest, persuader berupaya untuk menekan perasaan cemas dan sikap
memaksan sasaran untuk mengikuti keinginannya.
4. Transfer adalah athmosphere atau lingkungan yang terasa berpengaruh pada hasil
persuasi yang kita lakukan.
5. Bandwagon

Technique

bertujuan

untuk

membujuk

sasaran

dengan

cara

mengemukakan bahwa setiap orang sebagaimana halnya kita menyetujui gagasan
yang dikemukakan atau mengerjakan hal tersebut atau membeli produk yang
ditawarkan.
6. Say It with Flowers, kita berusaha mengambil hati sasaran dengan cara menguji
kelebihan, kecakapan, kemampuan, dan kepandaian mereka.
7. Don’t Ask If, Ask which dilakukan dengan cara memberikan berbagai penawaran
kepada sasaran yang terdiri atas banyak pilihan tentang seseuatu yang lain,
menghindari penawaran sesiatu dan tidak ada apa-apa.
8. The Swap Technique dilakukan dengan cara barter baik yang berkaitan dengan barter
barang maupun informasi.
9. Reassurance, melalui teknik ini anda menjalin hubungan secara psikologis dengan
sasaran persuasi anda. Hal yang dilakuakn adalah setelah anda memberi persuasi pada
sasaran tentang apa saja, maka jangan biarkan hubungan yang terlah terjadi terputus
begitu saja.
10. Technique of Irritation, dilakukan dengan cara membujuk sasaran agar membeli
produk dan membuat keputusan.
Faktor Penghambat Komunikasi Persuasif
Ada tiga faktor yang dapat menghambat berjalannya komunikasi persuasif
diantaranya adalah:
1. Faktor Motivasi. Sudah dikemukakan bagaimana motivasi seseorang atau sesuatu
kelomopok dapat mempengaruhi opini. Kepentingan seseorang akan mendorong
orang itu untuk berbuat dan bersikap sesuai dengan kebutuhannya.
2. Faktor Prejudice atau Prasangka. Bila seseorang sudah dihinggapi dan perasaan
Prejudice terhadap sesuatu, misalnya golongan, suku, ras, dan sebagaiannya orang itu
dalam penilaiannya terhadap hal tersebut tidak akan objektif lagi.

16

3. Faktor Semantic. Kata-kata yang mempunyai arti tidak sama dengan komunikator dan
komunikan atau ejean yang berbeda, tapi bunyinya hampir sema, dapat menimbulkan
salah pengertian dan sangat mengganggu
E. Media: Kesesuaian Media Dengan Audience
Menurut Rudi Brets dalam buku Media Pembelajaran (2008 : 52) membagi media
berdasarkan indera yang terlibat yaitu : Media Audio, Media Visual dan Media Audio Visual.
Untuk media sangat bergantung dari penerimanya maupun dari sumbernya, dalam artian
sebagai berikut:


Media disesuaikan dengan penerimanya (Contoh: anak muda, maka media
yang tepat untuk menyampaikan pesan (program KB) adalah melalui iklan di
internet, atau SMS/WA/Instragram, atau yang digemari oleh anak muda, dll)



Media disesuaikan dengan sumbernya (Contoh: Jika petugas KB yang sudah
senior maka akan sangat sulit bagi sumber jika menyampaikan pesan (program
KB) dengan peralatan yang canggih atau high technology. Alangkah baiknya
jika petugas KB yang senior

menggunakan media sesuai dengan

kemampuannya.
Media Audio
Media audio yaitu media yang hanya melibatkan indera pendengaran dan hanya
mampu memanipulasi kemampuan suara semata. Dilihat dari sifat pesan yang diterimanya
media audio ini menerima pesan verbal dan non- verbal. Pesan verbal audio yakni bahasa
lisan atau kata-kata, dan pesan nonverbal audio adalah seperti bunyi-bunyian dan vokalisasi,
seperti gerutuan, gumam, musik, dan lain-lain.
Contoh mudah dalam Media Audio radio, karena radio melibatkan indera
pendengaran dan memanipulasi kemampuan suara. Untuk media ini sangat dibutuhkan
kesesuaian antara komunikator dan komunikan atau penerima. Kepada siapakah kira-kira
target program KB tersebut apakah masyarakat dengan rentang umur remaja, pemuda atau
PUS. Suara dengan bahasa gaul atau bahasa anak muda akan lebih mudah dicerna oleh
masyarakat dengan rentangan umur remaja atau pemuda, begitu pula dengan suara yang
ramah, komedi, tidak ada istilah-istilah anak muda akan lebih mudah dicerna oleh masyarakat
rentang umur tua/ dewasa.

17

Media Visual
Media visual yaitu media yang hanya melibatkan indera penglihatan. termasuk dalam
jenis media ini adalah media cetak-verbal, media cetak-grafis, dan media visual non-cetak.
Pertama, media visual-verbal adalah media visual yang memuat pesan verbal (pesan
linguistik berbentuk tulisan). Kedua, media visual non-verbal-grafis adalah media visual yang
memuat pesan non-verbal yakni berupa simbol-simbol visual atau unsur-unsur grafis , seperti
gambar (sketsa, lukisan dan foto), grafik, diagram, bagan, dan peta. Ketiga, media visual nonverbal tiga dimensi adalah media visual yang memiliki tiga dimensi, berupa model, seperti
miniatur, mock up, specimen, dan diorama.
Sederhananya adalah media visual melibatkan mata sebagai alat untuk menerima
pesan, otomatis apa yang kita lihat akan kita cerna. Hanya saja kita itu banyak sekali, artinya
kita anak remaja, kita anak muda atau kita yang sudah dewasa/tua. Contoh media visual yang
sering sekali kita jumpai adalah pamflet dan poster. Sama halnya dengan media audio, poster
atau pamflet juga harus disesuaikan target atau sasaran penerima pesan ini siapa (audience/
komunikan). Akan menjadi tidak pas apabila poster/ pamflet dengan gambar, bahasa gaul,
warna-warni diberikan kepada penerima pesan yang tua/ masyarakat dewasa/tua. Begitu pula
dengan sebaliknya, poster atau pamflet dengan bahasa yang baku/ EYD, tidak berwarna
warni, banyak kata-kata, diberikan kepada remaja atau pemuda. Bagi remaja atau pemuda
contoh poster atau pamflet semacam ini akan dianggap membosankan/ boring.

Gambar 3
Contoh Media Visual8
8

Sum ber: ht t p:/ / cont ohdokumen.com / wp-content / uploads/ Brosur-Pengenalan-Alat-Kontrasepsi-Versi-1Depan.jpg diakses tanggal 28 Novem ber 2015 jam 21.00 WIB

18

Gambar 4
Contoh media visual di tranportasi umum9

Gambar 510
Contoh poster yang sesuai untuk anak muda (remaja/pemuda)

9

Sum ber: ht t p:/ / 1.bp.blogspot .com / -LeYnKWfnziU/ VTM TCbf4slI/ AAAAAAAACTs/ t Uw 0c9XXs0/ s1600/ ikut KB.jpg diakses t anggal 27 Novem ber 2015 jam 21.00 WIB
10
Sum ber: ht t p:/ / jat im .bkkbn.go.id/ w p-cont ent / uploads/ 2015/ 03/ GENRE_POSTER.jpg dan
ht t p:/ / 4.bp.blogspot .com / EyL4_tqEG0s/ UalLKNb8nCI/ AAAAAAAAAjk/ QV7_cSw DOXs/ s1600/ 285434_408167679245351_1205087929_n.j
pg diakses t anggal 25 Novem ber 2015 jam 21.00 WIB

19

Media AudioVisual
Media audio visual adalah media yang melibatkan indera pendengaran dan
penglihatan sekaligus dalam suatu proses. Sifat pesan yang dapat disalurkan melalui media
dapat berupa pesan verbal dan non-verbal yang terdengar layaknya media visual juga pesan
verbal yang terdengar layaknya media audio diatas. Pesan visual yang terdengar dan terlihat
itu dapat disajikan melalui program audio visual seperti film dokumenter, film drama, dan
lain-lain.
Untuk media ini prinsipnya sama dengan media audio dan media visual, disamakan
dengan target atau sasarana dari penerima pesan. Apakah penerima pesannya adalah anak
muda atau dewasa/ tua. Tentu saja untuk media ini akan lebih rumit karena menampilkan
kekuatan mata dan kekuatan suara/ pendengaran. Ada banyak faktor yang mempengaruhi
pesan tersebut bisa diterima oleh penerima pesan/ komunikan. Oleh sebab itu bahasa, talent/
artis yang akan dipakai, suaranya, tampilannya, durasi, istilah-istilah kekinian perlu
diperhatikan.

Gambar 6
Contoh Video KB di YouTube11

11

Sum ber: ht t ps:/ / w w w .yout ube.com / result s?search_query=keluarga+berencana diakses tanggal 28
Novem ber 2015 jam 21.00 WIB

20

Gambar 712
Contoh video menggunakan animasi dengan sasaran remaja/ pemuda

12

Sum ber: ht t ps:/ / w w w .yout ube.com / w at ch?v=VZTCdqqF-j0 diakses t anggal 28 Novem ber 2015 jam 21.00
WIB

21

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian

ini

menggunakan

paradigma

konstruktivisme,

Salim

(2006)

mengungkapkan bahwa konstruktivisme merupakan paham yang digunakan untuk
menggambarkan realitas, karena setiap realitas adalah unik serta khas, untuk mendapatkan
validitasnya lebih banyak tergantung pada kemampuan peneliti dalam mengkonstruksi
realitas tersebut. Kemudian pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Menurut
Sugiyono (2005), penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek ilmiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif eksplanatif.
jenis penelitian diskriptif digunakan agar diperoleh suatu pencandraan terhadap model solusi
strategic yang digunakan dalam rangka mengatasi pernikahan usia dini secara lebih
mendalam sehingga diperoleh suatu gambaran yang mendalam terkait dengan substansi
permasalahannya, sedangkan jenis penelitian eksplanatori (explanatory research) seperti
dijelaskan Sanapiah (2005), yakni tidak cukup dengan hanya menggambarkan apa adanya
data, tapi juga menjelaskannya dan melihat korelasinya dengan variabel-variabel lain.
B. Unit Amatan dan Unit Analisa
Satuan amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam
rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis (Ihalauw, 2004:178). Oleh
karena itu, yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah para pihak yang terkait
dengan kebijakan, dengan key informan meliputi: keluarga atau individu yang melakukan
perkawinan usia dini, orang tua dari individu yang melakukan perkawinan usia dini, para
pihak terkait dengan kependudukan seperti, PLKB Bapermas kota Salatiga, pengurus PIK
mahasiswa, LSM dan Tokoh-tokoh masyarakat.
Terkait dengan unit analisa, Abell (dalam Ihalauw, 2004:174) menyatakan bahwa
satuan analisis adalah hakekat dari populasi yang tentangnya hasil penelitian berlaku. Unit
Analisis dalam penelitian ini adalah pengembangan model solusi strategic dampak
kependudukan untuk mengatasi pernikahan usia dini.

22

C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi, yaitu teknik yang
menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang ada.
Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda
dari sumber data yang sama, atau dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang sama
dari sumber data yang berbeda.
Adapun teknik triangulasi mengabungkan beberapa teknik pengumpulan data seperti :
1. Wawancara mendalam.
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan tanya jawab kepada informan
yang dilakukan untuk memperoleh gambaran dan infromasi yang seluas-luasnya
berkaitan dengan persoalan yang diteliti.
2. Observasi partisipatif.
Observasi partisipatif yaitu teknik pengambilan data dimana peneliti terlibat dalam
kegiatan sehari-hari sumber data. Lebih lanjut Stainback dalam (Sugiyono, 2006:
256), menyatakan bahwa

dalam observasi partisipatif, peneliti mengamati yang

dikerjakan oran