Etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 1967-2000
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Etnik Tionghoa merupakan salah satu etnik yang sangat menarik untuk
diperbincangkan.Sebagai salah satu etnik pendatang, mereka cukup banyak menyita
perhatian masyarakat Indonesia, banyak penulis dan sarjana yang telah mengkaji
etnik ini baik dari bidang sosial, ekonomi maupun budaya.
Ketertarikan penulis untuk mengkaji etnik Tionghoa berawal dari pertemuan
penulis dengan beberapa keturunan Tionghoa yang bisa menggunakan bahasa Toba
dan Pakpak tetapi tidak bisa menggunakan bahasa asli mereka sendiri, ada juga yang
memakai marga dari etnik lain seperti marga dari batak Toba dan Simalungun. Selain
itu penulis juga tertarik melihat keaktifan mereka dalam bidang perdagangan yang
membuat mereka menjadi orang yang sukses dibidang ekonomi.Faktor lainnya yaitu
keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia yang pernah mengalami masa-masa yang
berat dan sulit, tidak jarang mereka mendapatkan tekanan dan perlakuan yang
diskriminatif baik dalam lingkungan masyarakat juga dalam kehidupan birokrasi
Indonesia.1
Ketegangan, kebingungan, keraguan seakan-akan “harus” menjadi bagian hidup etnis
Tionghoa. Dalam kehidupan sehari-hari ia harus berhati-hati, harus memperhitungkan banyak faktor,
dalam berbicara, dalam makan-minum, dalam urusan dengan birokrasi, dalam berdagang dan
sebagainya ia tidak boleh sembarangan. Ada banyak “awas ini” dan “awas itu”. Ia seakan-akan
berjalan dalam jalan yang di penuhi rambu-rambu. Lihat I. Wibowo, Harga yang Harus Dibayar ,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. XXi.
1
1
Kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara sudah terjadi sangat lama,
berdasarkan berita Cina yang ditulis oleh Fa Hian disebutkan bahwa etnik Tionghoa
sudah datang ke Indonesia sejak sekitar abad ke-4 M. Mereka ada yang datang untuk
mengunjungi kerajaan Sriwijaya untuk belajar agama Budha, kerajaan Tarumanegara,
kerajaan Kalingga yang diperintah oleh ratu Sima dan berdagang dengan beberapa
kerajaan yang ada di Nusantara.2
Etnik Tionghoa menyebar hampir di seluruh kawasan Nusantara seperti di
Jawa, Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka-Belitung, dan Sulawesi Selatan.Hadir dan
berkembangnya etnik Tionghoa di Indonesia tidak hanya di wilayah kota-kota besar,
tetapi sampai juga ke wilayah pedesaan dan kota-kota kecil.Salah satu wilayah yang
menjadi tempat tinggal mereka yaitu Sidikalang.Sidikalang merupakan salah satu
kecamatan dan sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Sidikalang memiliki masyarakat yang heterogen, berbagai etnik tinggal di daerah ini
seperti Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Jawa, Minang, Tionghoa dan lain-lain.
Di Sidikalang kita dapat menemui wilayah tempat tinggal etnik Tionghoa
berada di pusat kota yaitu daerah Simpang Empat. Pada daerah ini, rumah mereka
berjejer sepanjang jalan dan daerah ini merupakan pusat aktivitas berbagai kegiatan
perdagangan, bentuk rumah sekaligus ruko menjadi ciri tempat tinggal mereka.
Dapat dikatakan hampir semua penduduk etnik Tionghoa membuka usaha
2
Groeneveldt, Nusantara Dalam Catatan Tionghoa , Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hal. 9.
2
perdagangan di sana seperti usaha bengkel, pembuat roti, tukang jahit, tukang mas,
gilingan kopi, kelontong, toko elektronik dan lain-lain.
Sidikalang bukan daerah pertama yang didatangi etnik Tionghoa ini ketika
meninggalkan Tiongkok, kakek mereka telah terlebih dahulu sampai ke daerah
lainnya seperti Pematang Siantar dan Berastagi.Dalam mata pencaharian banyak
mereka yang sukses dan kaya dari perdagangan, namun pada awal kedatangannya
mereka belum memiliki banyak modal/uang, sebagian dari mereka ada yang awalnya
hanya pekerja upahan pada masyarakat setempat.Mereka melewati masa-masa sulit
untuk mengumpulkan modal yang kemudian yang dipakai untuk mengembangkan
usahanya.3
Etnik Tionghoa adalah salah satu etnik yang berpengalaman dalam
berhubungan dengan sesama etnik, maupun dengan etnik lain. Relasi sosial dengan
etnik lain telah mengajarkan kepada mereka dari berbagai pengalaman historis tentang
bagaimana memanfaatkan relasi tersebut bagi diri dan kelompoknya. 4 Hal ini
memang ada benarnya jika melihat banyak mereka yang sukses terutama dibidang
3
Wawancara , Jon Antoni (45 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 03 Januari 2015, seorang
narasumber yang masih keturunan Tionghoa, beliau menjelaskan dulu kakeknya datang tanpa
membawa uang atau harta. Pertama sekali kakeknya tinggal di Berastagi dan menikah dengan seorang
perempuan suku Jawa, namun karena alasan ekonomi yang kurang baik mereka pindah ke Saribu
Dolok, disinilah mereka mendapatkan marga yaitu marga Sinaga dan tinggal menetap. Tapi Pak Jon
tidak tinggal lama di sana setelah memiliki modal, beliau pindah menetap ke Dairi dan membuka
usaha menjadi seorang toke kopi dan jagung. Beliau menikah dengan seorang perempuan dari etnik
Pakpak.
4
Suwardi Lubis, Komunikasi Antarbudaya Studi Kasus Etnik Batak Toba & Etnik Cina,
Medan: USU Press, 1999, hal. 179.
3
ekonomi yang tidak lepas dari cara adaptasi mereka. Adaptasi ialah penyesuaian
terhadap lingkungan 5, hal ini sangat diperlukan bagi setiap pendatang baru agar dapat
diterima oleh masyarakat setempat.
Etnik Tionghoa ini sendiri ternyata tidak homogen, walaupun mereka berasal
dari negara yang sama namun mereka juga terdiri dari berbagai suku. Hal inilah yang
mempengaruhi sikap atau tingkah laku mereka ketika mereka sampai di perantauan,
misalnya orang Hakka atau Khek dikenal dengan keuletannya, mereka adalah
kelompok yang miskin saat meninggalkan Cina, hanya berbekal pakaian yang
melekat di badan. Untuk menyambung hidup mereka bekerja mengumpulkan goni
botot, pemulung barang-barang bekas, pedagang kelontong keliling sampai berhasil
menjadi pedagang besar Selain itu ada juga orang Tio Ciu yang dikenal berwatak
keras, gigih, kasar dan temperamental. Kemudian, ada orang Hokkian yang berhasil
di bidang perdagangan eceran, pengusaha losmen dan penjaga toko. Ada juga suku
Puntis atau Cantonese, pada zaman perkebunan di Deli kebanyakan perempuan suku
ini berprofesi sebagai pelacur, selain itu mereka juga banyak yang berprofesi sebagai
tukang mas, tukang kayu, tukang jahit dan pedagang kain. 6
5
KBBI, Adaptasi, http:/kemdikbud.go.id/kbbi.index.php, (akses 27 Mei 2015).
6
Nasrul Hamdani, Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960,
Jakarta: LIPI Press, 2013, hal. 52
4
Dalam hal kekerabatan banyak ditemukan pernikahan antara etnik Tionghoa
dengan etnik lain dan juga pemakaian marga dari etnik Toba7. Sedangkan bidang
ekonomi,
mereka
pintar
melihat
peluang
bisnis
yang
bagus
untuk
dikembangkan.Berdasarkan penuturan masyarakat setempat, orang Tionghoa inilah
dulunya yang pertama sekali membuka berbagai jenis perdagangan di Sidikalang,
misalnya pabrik sepatu, pembukaan kilang padi, jagung dan kacang, pembukaan
bioskop, toko roti dan lain-lain.
Adaptasi ini telah membawa perubahan pada kehidupan mereka, misalnya
ketika seorang Tionghoa masuk ke dalam satu marga, maka mereka akan diberi lahan
tanah oleh yang punya marga untuk dikelola. Selain itu dengan pemakaian marga
tersebut mereka juga harus mengikuti adat-astiadat dari suku yang dipakai
marganya 8 . Meskipun etnik Tionghoa ini telah beradaptasi
dengan masyarakat
setempat, tetapi mereka tetap menggunakan kebudayaan aslinya. Mereka tetap
melakukan berbagai macam kebudayaan mereka seperti bahasa, kebiasaan pemujaan
leluhur, perayaan imlek, cap gomeh dan lain-lain.
7 Etnik Toba merupakan etnik mayoritas di Sidikalang, biasanya etnik Tionghoa akan
mengambil marga dari etnik yang mendominasi seperti Toba. Mengenai keberadaan etnik Toba di
Kabupaten Dairi Budi Agustono dalam “Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial-Politik Orang
Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003”, Disertasi, belum diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada (UGM), 2010., menjelaskan bahwa etnik Pakpak merupakan etnik asli atau etnik yang pertama
sekali mendiami Dairi, namun migrasi orang Toba membuat etnis Pakpak ini akhirnya tersingkir baik
dalam bidang sosial maupun politik, dengan kata lain etnik Toba ialah pendatang yang akhirnya
mendominasi.
8Wawancara, Alin (52 tahun), Jl. Sisingamangaraja Bawah, Sidikalang tanggal 18 Mei 2015,
beliau ialah seorang keturunan Tionghoa asli, ayahnya dulu mengambil marga Silaban kemudian
diturunkan pada anak-anaknya.
5
Keberadaan etnik Tionghoa ini sendiri telah mendapat perhatian khusus dari
pemerintah, hal ini terbukti dengan di keluarkannya berbagai macam kebijakan mengenai
keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia.Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
indonesia terhadap etnik Tionghoa berbeda-beda setiap periode kepemimpinan
pemerintahan Indonesia, masa pemerintahan Soekarno misalnya dengan di
keluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang pedagang
keturunan Tionghoa sampai ke pedesaan. 9 Hal inilah yang menyebabkan ketika
dikeluarkannya peraturan tersebut etnik Tionghoa banyak yang pergi meninggalkan
Sidikalang namun sebagian ada yang tetap tinggal di Sidikalang dan memilih
kewarganegaraan Indonesia.10
Pada masa pemerintahan Soeharto peraturan yang dikeluarkan lebih sulit lagi
yakni melarang segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Segala kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini
dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Dengan
dikeluarkannya peraturan pemerintah yang melarang segala yang berbau Tionghoa
pada tahun 1967, maka etnik Tionghoa dituntut harus melakukan adaptasi yang lebih
gigih lagi.Mereka dipaksa untuk „meng-Indonesiakan‟ nama-nama mereka, dilarang
mempraktikkan budaya Tionghoa dan dikucilkan dari kehidupan politik. Kewajiban
9
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984, hal. 140
10
Kelas pedagang Tionghoa yang WNA dan WNI berada dalam kesulitan setelah ada larangan
berdagang buat orang asing pada tahun 1959 dan hal ini talah menyebabkan larinya sekitar 100 ribu
orang Tionghoa ke Daratan Cina dari Indonesia. Lihat Stuart W. Greif, “WNI” Problematik Orang
Indonesia Asal Cina , Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 17.
6
untuk mengganti nama dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia, pembatasan
dalam melakukan aktivitas keagamaan dan menggunakan bahasa Mandarin secara
terbuka, memberikan tanda kepada masyarakat bahwa „identitas Tionghoa‟ ini
merupakan sesuatu yang mengancam hingga perlu dihapus.11
Adapun alasan pemilihan judul ini adalah untuk mengkaji etnik Tionghoa di
kecamatan Sidikalang terutama dalam hal adaptasi antara tahun 1967-2000.Dengan
dikeluarkannya peraturan tersebut tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan
mereka baik itu dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya, apalagi hal ini
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu 33 tahun. Penulis memilih
mengawali tahun 1967 karena pada tahun tersebut dikeluarkannya Inpres No. 14
tahun 1967 yang melarang segala yang serba Tionghoa di Indonesia termasuk agama,
kepercayaan, ekspresi seni, kebudayaan maupun sastra. Tahun 2000 menjadi batas
penelitian karena merupakan tahun ketika Abdurrahman Wahid saat menjabat sebgai
Presiden RI menghapus Inpres No.14 tahun 1967 dan menggantinya dengan
11
Jemma Purdey, Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999, Bali: Pustaka Larasan,
2006, hal. 32. Berbicara tentang identitas, Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s
(St. Leonard, NSW, Australia: Allen & Unwin, 1994) menyebutkan sebagian etnik Tionghoa
menganggap identitas mereka sebagai suatu beban atau kutukan. Mereka adalah orang-orang yang
sejak tahun 1967 setelah trauma peristiwa G-30-S/PKI berhasil menyembunyikan identitas “Tionghoa”
mereka dan menempatkan diri sebagai orang Indonesia atau setidaknya orang Tionghoa yang telah
ber-„asimilasi penuh‟ menjadi orang Indonesia. Beberapa orang yang pernah diwawancarai dengan
bangga mengatakan banyak orang tidak tahu bahwa mereka adalah keturunan Tionghoa. Lihat I.
Wibiwo, Harga yang Harus Dibayar, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 183.
7
keputusan presiden No.6 tahun 2000 yang mengijinkan perayaan imlek, barongsai,
cap gomeh dilakukan dengan terbuka dan sah.12
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, untuk mempermudah penulis dalam
penelitan maka perlu dibuat pembatasan masalah. Dalam penelitian “Etnik Tionghoa
di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun Tahun 1967-2000” pokok
permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah kedatangan etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang?
2. Bagaimana etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang sebelum tahun 1967?
3. Bagaimana eksistensi etnik Tionghoa menghadapi politik asimilasi
pemerintah Orde Baru di Sidikalang ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki tujuan dan manfaat yang
dicapai.Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan sejarah kedatangan etnik Tionghoa di Kecamatan
Sidikalang.
12
Yusie liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina , Jakarta: Djambatan, 2000, dalam kata
pengantar.
8
2. Untuk menjelaskan etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang sebelum
tahun 1967.
3. Untuk menjelaskan eksistensi etnik Tionghoa dalam menghadapi politik
asimilasi pemerintah Orde Baru di Kecamatan Sidikalang.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi masyarakat umum, diharapkan penelitian ini dapat memberi
pengetahuan baru tentang keberadaan dan dinamika etnik Tionghoa.
2. Aspek praktis yang mungkin diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
dapat dijadikan masukan sebagai sarana informasi bagi pemerintah daerah
maupun provinsi dalam hal pengambilan kebijakan dan keputusan demi
meningkatkan toleransi antaretnik.
3. Sebagai bahan referensi bagi para peneliti lain yang tertarik melakukan
penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam suatu penelitian tinjauan pustaka sangatlah penting dan diperlukan
sebagai bahan referensi penulis dalam melakukan penulisan tersebut dan dapat
berfungsi sebagai pendukung penelitian sehingga hasil akhir dari penulisan tersebut
tidak keluar dari rumusan-rumusan masalah yang telah dibuat.
Adapun buku-buku yang dipakai peneliti sebagai bahan acuan pendukung
penelitian yang akan dilakukan antara lain Nasrul Hamdani dalam bukunya
Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasa Tiga Kekuasaan 1930-1960 tahun 2013
menjadi salah satu buku sumber penulis, buku ini menjelaskan tentang sejarah
9
kedatangan perantau-perantau Tionghoa, strategi adaptasi, tentang perkebunan dan
dinamika masyarakat kolonial yang bertahan sebagai ciri masyarakat kota berciri
segregasi, diskriminasi, eksploitasi, penciptaan kelas sosial yang didasarkan pada
pengelompokan ekonomi di Medan. Buku ini yang sangat mendukung untuk
penelitian penulis karena membantu penulis melihat sejarah kedatangan dan strategi
adaptasi yang dilakukan orang Tionghoa.
Buku karangan Jemma Purdey Kekerasan Anti-Tionghoa Di Indonesia 19661999 tahun 2006, subjek buku ini adalah kekerasan anti-Tionghoa di Indonesia
selama masa transisi sosial, politik dan ekonomi.Dalam buku ini terlihat jelas
sentimen anti-Tionghoa yang berujung pada aksi kekerasan. Buku ini tentu akan
sangat membantu penulis untuk melihat kondisi minoritas Tionghoa ditengah situasi
politik, sosial, ekonomi pemerintahan Orde Baru.
Buku sumber selanjutnya yaitu karangan Chang-Yau Hoon yang bejudul
Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto Budaya, Politik dan Media tahun 2012,
menyajikan kritik terhadap sejumlah konsep dan teori tentang asimilasi dan
multikulturalisme dalam kaitannya dengan identitas budaya dan politik. Buku ini
akan membantu penulis karena buku ini akan menceritakan lebih terperinci
pergumulan orang-orang Tionghoa di Indonesia-khususnya dalam perjuangan
mendapatkan kembali hak-hak mereka. Secara khusus pembahasan difokuskan di
bidang budaya, politik dan media massa.
10
Selanjutnya Yusiu Liem dalam bukunya Prasangka Terhadap Etnis Cina
sebuah Intisari tahun 2000, menerangkan etnis Tionghoa di Indonesia dan aspek-
aspek sosialnya serta latar belakang sejarah permasalahan etnis Tionghoaa.Selain itu
buku ini juga membahas politik-ekonomi dan minoritas Tionghoa sampai identitas
setelah 33 tahun Rejim Soeharto.Buku ini tentu sangat membantu penulis
menjelaskan permasalahan-permasalahan dan dilema yang dihadapi warga etnis
Tionghoa di Indonesia terutama di bawah pemerintahan Orde Baru.
Buku Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia
tahun 2000 editor I. Wibowo merupakan kumpulan karangan dari berbagai sarjana
dari berbagai disiplin ilmu mencoba mengungkapkan kegalauan dan kecemasan yang
hampir seluruhnya tersimpan di dalam batin orang Tionghoa namun secara fisik
pergulatan itu tidak kelihatan. Berbagai topik seperti kegalauan orang Tionghoa
mencari sejarahnya, kegalauan mencari identitas , kagalauan dalam pergaulan dan
berbagai kegalauan lainnya yang tidak pernah diijinkan atau jarang ditampilkan ke
luar oleh etnis Tionghoa. Melalui buku ini penulis berharap bisa untuk melihat
permasalahan Tionghoa dari sudut pandang etnis Tionghoa itu sendiri.
Penulis juga menjadikan buku karangan Leo Suryadinata Dilema Minoritas
Tionghoa
tahun 1984.Buku ini membicarakan pandangan pribumi tentang
kebangsaan Indonesia dan minoritas Tionghoa, kemudian membahas perekonomian
dan masyarakat Tionghoa Indonesia. Selain itu buku ini juga membahas
kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah Indonesia terhadap minoritas Tionghoa dan
11
terhadap RRC. Sebuah buku yang tentunya akan sangat membantu penulis terutama
kajian tentang kebangsaan dan kebijakan pemerintah terhadap etnik Tionghoa.
Penulis juga menggunakan tesis karangan I Putu Putra Kusuma Yudha dengan
judul Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan
Pupuan Kabupaten Tabanan tahun 2014. Tesis ini membahas perubahan identitas
budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, faktor yang mempengaruhi perubahan
identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, serta membahas implikasi dan makna
perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Tesis ini membantu
penulis melihat budaya Tionghoa berada ditengah budaya etnik lain sehingga memicu
terjadinya akulturasi dan asimilasi.
1.5 Metode Penelitian
Di dalam metode penelitian sejarah, ada beberapa teknik ataupun langkahlangkah yang dilakukan oleh penulis untuk merampungkan tulisan atau skripsi ini.
Adapun langkah-langkah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1. Heuristik, yaitu metode pengumpulan data atau sumber melalui studi
kepustakaan, melakukan pengamatan lapangan, ataupun studi wawancara kepada
narasumber yang dapat membantu penelitian dan berkaitan dengan judul
penelitian yang diteliti. Dalam penelitian yang dilakukan, peneliti mengumpulkan
sumber-sumber pendukung dari buku-buku yang terkait dengan judul penelitian
baik yang ada di Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi daerah Sidikalang,
perpustakaan Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Universitas Negeri
12
Medan dan perpustakaan lainnya yang ada di Medan. Selain buku juga berupa
karya ilmiah, tesis dan laporan penelitian dari berbagai peneliti dan lain-lain.
Dalam pengamatan lapangan, penulis beberapa kali megunjungi daerah tempat
tinggal etnik Tionghoa yaitu daerah Simpang Empat, kemudian mengunjungi
vihara dan kuburan Tionghoa yang terdapat di desa Bintang kecamatan
Sidikalang. Selain itu, penulis juga mengunjungi Balai Pendidikan Sad Paramita
yang merupakan tempat khusus untuk belajar aliran kepercayaan Tionghoa, balai
ini terdapat di kelurahan Batang Beruh kecamatan Sidikalang. Studi wawancara
yang dilakukan adalah wawancara bebas, penulis melakukan wawancara langsung
dengan para narasumber di rumah ataupun ditempat kerja.
2. Kritik sumber, merupakan sebuah usaha yang dilakukan peneliti untuk
menyeleksi sumber atau bahan-bahan yang akan dikumpulkan. Setelah sumbersumber dikumpulkan kemudian diverifikasi melalui kritik, baik kritik ekstern
maupun kritik intern. Kritik ekstern digunakan untuk mengetahui tentang
kebenaran sumber yang diperoleh, sedangkan kritik intern digunakan untuk
menilai kelayakan sumber yang akan digunakan dalam penulisan. Dalam hal ini
yang selalu diingat bahwa sumber itu harus dapat dipercaya, ada penguatan saksi
mata, benar, tidak dipalsukan, dan handal.
3. Interpretasi merupakan tahap dimana peneliti berusaha menghubungkan data –
data yang didapat di lapangan dengan fakta yang ada. Dalam menganalisa sumber
yang diperoleh diperlukan analisa yang lebih bersifat objektif dan ilmiah terhadap
13
objek yang akan diteliti. Di sini peneliti telah memiliki konsep, ide dan gambaran
kerangka acuan untuk menulis, yang selanjutnya akan dituliskan dalam tulisan
sejarah yakni pada tahap keempat.
4. Historiografi, setelah semua sumber-sumber yang diperoleh selesai diuji
kebenaran dan kelayakannya, tahap selanjutnya yang akan dilakukan oleh peneliti
adalah merampungkan dari hasil laporan yang telah diperoleh menjadi sebuah
tulisan yang telah diperoleh dari fakta-fakta dan dituangkan secara sistematis dan
kronologis. Dalam melakukan penulisan sejarah aspek kronologis memang perlu
diperhatikan agar menghasilkan sebuah tulisan yang bernilai sejarah yang ilmiah
dan objektif.
14
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Etnik Tionghoa merupakan salah satu etnik yang sangat menarik untuk
diperbincangkan.Sebagai salah satu etnik pendatang, mereka cukup banyak menyita
perhatian masyarakat Indonesia, banyak penulis dan sarjana yang telah mengkaji
etnik ini baik dari bidang sosial, ekonomi maupun budaya.
Ketertarikan penulis untuk mengkaji etnik Tionghoa berawal dari pertemuan
penulis dengan beberapa keturunan Tionghoa yang bisa menggunakan bahasa Toba
dan Pakpak tetapi tidak bisa menggunakan bahasa asli mereka sendiri, ada juga yang
memakai marga dari etnik lain seperti marga dari batak Toba dan Simalungun. Selain
itu penulis juga tertarik melihat keaktifan mereka dalam bidang perdagangan yang
membuat mereka menjadi orang yang sukses dibidang ekonomi.Faktor lainnya yaitu
keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia yang pernah mengalami masa-masa yang
berat dan sulit, tidak jarang mereka mendapatkan tekanan dan perlakuan yang
diskriminatif baik dalam lingkungan masyarakat juga dalam kehidupan birokrasi
Indonesia.1
Ketegangan, kebingungan, keraguan seakan-akan “harus” menjadi bagian hidup etnis
Tionghoa. Dalam kehidupan sehari-hari ia harus berhati-hati, harus memperhitungkan banyak faktor,
dalam berbicara, dalam makan-minum, dalam urusan dengan birokrasi, dalam berdagang dan
sebagainya ia tidak boleh sembarangan. Ada banyak “awas ini” dan “awas itu”. Ia seakan-akan
berjalan dalam jalan yang di penuhi rambu-rambu. Lihat I. Wibowo, Harga yang Harus Dibayar ,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. XXi.
1
1
Kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara sudah terjadi sangat lama,
berdasarkan berita Cina yang ditulis oleh Fa Hian disebutkan bahwa etnik Tionghoa
sudah datang ke Indonesia sejak sekitar abad ke-4 M. Mereka ada yang datang untuk
mengunjungi kerajaan Sriwijaya untuk belajar agama Budha, kerajaan Tarumanegara,
kerajaan Kalingga yang diperintah oleh ratu Sima dan berdagang dengan beberapa
kerajaan yang ada di Nusantara.2
Etnik Tionghoa menyebar hampir di seluruh kawasan Nusantara seperti di
Jawa, Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka-Belitung, dan Sulawesi Selatan.Hadir dan
berkembangnya etnik Tionghoa di Indonesia tidak hanya di wilayah kota-kota besar,
tetapi sampai juga ke wilayah pedesaan dan kota-kota kecil.Salah satu wilayah yang
menjadi tempat tinggal mereka yaitu Sidikalang.Sidikalang merupakan salah satu
kecamatan dan sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Sidikalang memiliki masyarakat yang heterogen, berbagai etnik tinggal di daerah ini
seperti Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Jawa, Minang, Tionghoa dan lain-lain.
Di Sidikalang kita dapat menemui wilayah tempat tinggal etnik Tionghoa
berada di pusat kota yaitu daerah Simpang Empat. Pada daerah ini, rumah mereka
berjejer sepanjang jalan dan daerah ini merupakan pusat aktivitas berbagai kegiatan
perdagangan, bentuk rumah sekaligus ruko menjadi ciri tempat tinggal mereka.
Dapat dikatakan hampir semua penduduk etnik Tionghoa membuka usaha
2
Groeneveldt, Nusantara Dalam Catatan Tionghoa , Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hal. 9.
2
perdagangan di sana seperti usaha bengkel, pembuat roti, tukang jahit, tukang mas,
gilingan kopi, kelontong, toko elektronik dan lain-lain.
Sidikalang bukan daerah pertama yang didatangi etnik Tionghoa ini ketika
meninggalkan Tiongkok, kakek mereka telah terlebih dahulu sampai ke daerah
lainnya seperti Pematang Siantar dan Berastagi.Dalam mata pencaharian banyak
mereka yang sukses dan kaya dari perdagangan, namun pada awal kedatangannya
mereka belum memiliki banyak modal/uang, sebagian dari mereka ada yang awalnya
hanya pekerja upahan pada masyarakat setempat.Mereka melewati masa-masa sulit
untuk mengumpulkan modal yang kemudian yang dipakai untuk mengembangkan
usahanya.3
Etnik Tionghoa adalah salah satu etnik yang berpengalaman dalam
berhubungan dengan sesama etnik, maupun dengan etnik lain. Relasi sosial dengan
etnik lain telah mengajarkan kepada mereka dari berbagai pengalaman historis tentang
bagaimana memanfaatkan relasi tersebut bagi diri dan kelompoknya. 4 Hal ini
memang ada benarnya jika melihat banyak mereka yang sukses terutama dibidang
3
Wawancara , Jon Antoni (45 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 03 Januari 2015, seorang
narasumber yang masih keturunan Tionghoa, beliau menjelaskan dulu kakeknya datang tanpa
membawa uang atau harta. Pertama sekali kakeknya tinggal di Berastagi dan menikah dengan seorang
perempuan suku Jawa, namun karena alasan ekonomi yang kurang baik mereka pindah ke Saribu
Dolok, disinilah mereka mendapatkan marga yaitu marga Sinaga dan tinggal menetap. Tapi Pak Jon
tidak tinggal lama di sana setelah memiliki modal, beliau pindah menetap ke Dairi dan membuka
usaha menjadi seorang toke kopi dan jagung. Beliau menikah dengan seorang perempuan dari etnik
Pakpak.
4
Suwardi Lubis, Komunikasi Antarbudaya Studi Kasus Etnik Batak Toba & Etnik Cina,
Medan: USU Press, 1999, hal. 179.
3
ekonomi yang tidak lepas dari cara adaptasi mereka. Adaptasi ialah penyesuaian
terhadap lingkungan 5, hal ini sangat diperlukan bagi setiap pendatang baru agar dapat
diterima oleh masyarakat setempat.
Etnik Tionghoa ini sendiri ternyata tidak homogen, walaupun mereka berasal
dari negara yang sama namun mereka juga terdiri dari berbagai suku. Hal inilah yang
mempengaruhi sikap atau tingkah laku mereka ketika mereka sampai di perantauan,
misalnya orang Hakka atau Khek dikenal dengan keuletannya, mereka adalah
kelompok yang miskin saat meninggalkan Cina, hanya berbekal pakaian yang
melekat di badan. Untuk menyambung hidup mereka bekerja mengumpulkan goni
botot, pemulung barang-barang bekas, pedagang kelontong keliling sampai berhasil
menjadi pedagang besar Selain itu ada juga orang Tio Ciu yang dikenal berwatak
keras, gigih, kasar dan temperamental. Kemudian, ada orang Hokkian yang berhasil
di bidang perdagangan eceran, pengusaha losmen dan penjaga toko. Ada juga suku
Puntis atau Cantonese, pada zaman perkebunan di Deli kebanyakan perempuan suku
ini berprofesi sebagai pelacur, selain itu mereka juga banyak yang berprofesi sebagai
tukang mas, tukang kayu, tukang jahit dan pedagang kain. 6
5
KBBI, Adaptasi, http:/kemdikbud.go.id/kbbi.index.php, (akses 27 Mei 2015).
6
Nasrul Hamdani, Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960,
Jakarta: LIPI Press, 2013, hal. 52
4
Dalam hal kekerabatan banyak ditemukan pernikahan antara etnik Tionghoa
dengan etnik lain dan juga pemakaian marga dari etnik Toba7. Sedangkan bidang
ekonomi,
mereka
pintar
melihat
peluang
bisnis
yang
bagus
untuk
dikembangkan.Berdasarkan penuturan masyarakat setempat, orang Tionghoa inilah
dulunya yang pertama sekali membuka berbagai jenis perdagangan di Sidikalang,
misalnya pabrik sepatu, pembukaan kilang padi, jagung dan kacang, pembukaan
bioskop, toko roti dan lain-lain.
Adaptasi ini telah membawa perubahan pada kehidupan mereka, misalnya
ketika seorang Tionghoa masuk ke dalam satu marga, maka mereka akan diberi lahan
tanah oleh yang punya marga untuk dikelola. Selain itu dengan pemakaian marga
tersebut mereka juga harus mengikuti adat-astiadat dari suku yang dipakai
marganya 8 . Meskipun etnik Tionghoa ini telah beradaptasi
dengan masyarakat
setempat, tetapi mereka tetap menggunakan kebudayaan aslinya. Mereka tetap
melakukan berbagai macam kebudayaan mereka seperti bahasa, kebiasaan pemujaan
leluhur, perayaan imlek, cap gomeh dan lain-lain.
7 Etnik Toba merupakan etnik mayoritas di Sidikalang, biasanya etnik Tionghoa akan
mengambil marga dari etnik yang mendominasi seperti Toba. Mengenai keberadaan etnik Toba di
Kabupaten Dairi Budi Agustono dalam “Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial-Politik Orang
Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003”, Disertasi, belum diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada (UGM), 2010., menjelaskan bahwa etnik Pakpak merupakan etnik asli atau etnik yang pertama
sekali mendiami Dairi, namun migrasi orang Toba membuat etnis Pakpak ini akhirnya tersingkir baik
dalam bidang sosial maupun politik, dengan kata lain etnik Toba ialah pendatang yang akhirnya
mendominasi.
8Wawancara, Alin (52 tahun), Jl. Sisingamangaraja Bawah, Sidikalang tanggal 18 Mei 2015,
beliau ialah seorang keturunan Tionghoa asli, ayahnya dulu mengambil marga Silaban kemudian
diturunkan pada anak-anaknya.
5
Keberadaan etnik Tionghoa ini sendiri telah mendapat perhatian khusus dari
pemerintah, hal ini terbukti dengan di keluarkannya berbagai macam kebijakan mengenai
keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia.Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
indonesia terhadap etnik Tionghoa berbeda-beda setiap periode kepemimpinan
pemerintahan Indonesia, masa pemerintahan Soekarno misalnya dengan di
keluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang pedagang
keturunan Tionghoa sampai ke pedesaan. 9 Hal inilah yang menyebabkan ketika
dikeluarkannya peraturan tersebut etnik Tionghoa banyak yang pergi meninggalkan
Sidikalang namun sebagian ada yang tetap tinggal di Sidikalang dan memilih
kewarganegaraan Indonesia.10
Pada masa pemerintahan Soeharto peraturan yang dikeluarkan lebih sulit lagi
yakni melarang segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Segala kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini
dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Dengan
dikeluarkannya peraturan pemerintah yang melarang segala yang berbau Tionghoa
pada tahun 1967, maka etnik Tionghoa dituntut harus melakukan adaptasi yang lebih
gigih lagi.Mereka dipaksa untuk „meng-Indonesiakan‟ nama-nama mereka, dilarang
mempraktikkan budaya Tionghoa dan dikucilkan dari kehidupan politik. Kewajiban
9
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984, hal. 140
10
Kelas pedagang Tionghoa yang WNA dan WNI berada dalam kesulitan setelah ada larangan
berdagang buat orang asing pada tahun 1959 dan hal ini talah menyebabkan larinya sekitar 100 ribu
orang Tionghoa ke Daratan Cina dari Indonesia. Lihat Stuart W. Greif, “WNI” Problematik Orang
Indonesia Asal Cina , Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 17.
6
untuk mengganti nama dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia, pembatasan
dalam melakukan aktivitas keagamaan dan menggunakan bahasa Mandarin secara
terbuka, memberikan tanda kepada masyarakat bahwa „identitas Tionghoa‟ ini
merupakan sesuatu yang mengancam hingga perlu dihapus.11
Adapun alasan pemilihan judul ini adalah untuk mengkaji etnik Tionghoa di
kecamatan Sidikalang terutama dalam hal adaptasi antara tahun 1967-2000.Dengan
dikeluarkannya peraturan tersebut tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan
mereka baik itu dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya, apalagi hal ini
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu 33 tahun. Penulis memilih
mengawali tahun 1967 karena pada tahun tersebut dikeluarkannya Inpres No. 14
tahun 1967 yang melarang segala yang serba Tionghoa di Indonesia termasuk agama,
kepercayaan, ekspresi seni, kebudayaan maupun sastra. Tahun 2000 menjadi batas
penelitian karena merupakan tahun ketika Abdurrahman Wahid saat menjabat sebgai
Presiden RI menghapus Inpres No.14 tahun 1967 dan menggantinya dengan
11
Jemma Purdey, Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999, Bali: Pustaka Larasan,
2006, hal. 32. Berbicara tentang identitas, Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s
(St. Leonard, NSW, Australia: Allen & Unwin, 1994) menyebutkan sebagian etnik Tionghoa
menganggap identitas mereka sebagai suatu beban atau kutukan. Mereka adalah orang-orang yang
sejak tahun 1967 setelah trauma peristiwa G-30-S/PKI berhasil menyembunyikan identitas “Tionghoa”
mereka dan menempatkan diri sebagai orang Indonesia atau setidaknya orang Tionghoa yang telah
ber-„asimilasi penuh‟ menjadi orang Indonesia. Beberapa orang yang pernah diwawancarai dengan
bangga mengatakan banyak orang tidak tahu bahwa mereka adalah keturunan Tionghoa. Lihat I.
Wibiwo, Harga yang Harus Dibayar, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 183.
7
keputusan presiden No.6 tahun 2000 yang mengijinkan perayaan imlek, barongsai,
cap gomeh dilakukan dengan terbuka dan sah.12
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, untuk mempermudah penulis dalam
penelitan maka perlu dibuat pembatasan masalah. Dalam penelitian “Etnik Tionghoa
di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun Tahun 1967-2000” pokok
permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah kedatangan etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang?
2. Bagaimana etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang sebelum tahun 1967?
3. Bagaimana eksistensi etnik Tionghoa menghadapi politik asimilasi
pemerintah Orde Baru di Sidikalang ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki tujuan dan manfaat yang
dicapai.Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan sejarah kedatangan etnik Tionghoa di Kecamatan
Sidikalang.
12
Yusie liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina , Jakarta: Djambatan, 2000, dalam kata
pengantar.
8
2. Untuk menjelaskan etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang sebelum
tahun 1967.
3. Untuk menjelaskan eksistensi etnik Tionghoa dalam menghadapi politik
asimilasi pemerintah Orde Baru di Kecamatan Sidikalang.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi masyarakat umum, diharapkan penelitian ini dapat memberi
pengetahuan baru tentang keberadaan dan dinamika etnik Tionghoa.
2. Aspek praktis yang mungkin diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
dapat dijadikan masukan sebagai sarana informasi bagi pemerintah daerah
maupun provinsi dalam hal pengambilan kebijakan dan keputusan demi
meningkatkan toleransi antaretnik.
3. Sebagai bahan referensi bagi para peneliti lain yang tertarik melakukan
penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam suatu penelitian tinjauan pustaka sangatlah penting dan diperlukan
sebagai bahan referensi penulis dalam melakukan penulisan tersebut dan dapat
berfungsi sebagai pendukung penelitian sehingga hasil akhir dari penulisan tersebut
tidak keluar dari rumusan-rumusan masalah yang telah dibuat.
Adapun buku-buku yang dipakai peneliti sebagai bahan acuan pendukung
penelitian yang akan dilakukan antara lain Nasrul Hamdani dalam bukunya
Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasa Tiga Kekuasaan 1930-1960 tahun 2013
menjadi salah satu buku sumber penulis, buku ini menjelaskan tentang sejarah
9
kedatangan perantau-perantau Tionghoa, strategi adaptasi, tentang perkebunan dan
dinamika masyarakat kolonial yang bertahan sebagai ciri masyarakat kota berciri
segregasi, diskriminasi, eksploitasi, penciptaan kelas sosial yang didasarkan pada
pengelompokan ekonomi di Medan. Buku ini yang sangat mendukung untuk
penelitian penulis karena membantu penulis melihat sejarah kedatangan dan strategi
adaptasi yang dilakukan orang Tionghoa.
Buku karangan Jemma Purdey Kekerasan Anti-Tionghoa Di Indonesia 19661999 tahun 2006, subjek buku ini adalah kekerasan anti-Tionghoa di Indonesia
selama masa transisi sosial, politik dan ekonomi.Dalam buku ini terlihat jelas
sentimen anti-Tionghoa yang berujung pada aksi kekerasan. Buku ini tentu akan
sangat membantu penulis untuk melihat kondisi minoritas Tionghoa ditengah situasi
politik, sosial, ekonomi pemerintahan Orde Baru.
Buku sumber selanjutnya yaitu karangan Chang-Yau Hoon yang bejudul
Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto Budaya, Politik dan Media tahun 2012,
menyajikan kritik terhadap sejumlah konsep dan teori tentang asimilasi dan
multikulturalisme dalam kaitannya dengan identitas budaya dan politik. Buku ini
akan membantu penulis karena buku ini akan menceritakan lebih terperinci
pergumulan orang-orang Tionghoa di Indonesia-khususnya dalam perjuangan
mendapatkan kembali hak-hak mereka. Secara khusus pembahasan difokuskan di
bidang budaya, politik dan media massa.
10
Selanjutnya Yusiu Liem dalam bukunya Prasangka Terhadap Etnis Cina
sebuah Intisari tahun 2000, menerangkan etnis Tionghoa di Indonesia dan aspek-
aspek sosialnya serta latar belakang sejarah permasalahan etnis Tionghoaa.Selain itu
buku ini juga membahas politik-ekonomi dan minoritas Tionghoa sampai identitas
setelah 33 tahun Rejim Soeharto.Buku ini tentu sangat membantu penulis
menjelaskan permasalahan-permasalahan dan dilema yang dihadapi warga etnis
Tionghoa di Indonesia terutama di bawah pemerintahan Orde Baru.
Buku Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia
tahun 2000 editor I. Wibowo merupakan kumpulan karangan dari berbagai sarjana
dari berbagai disiplin ilmu mencoba mengungkapkan kegalauan dan kecemasan yang
hampir seluruhnya tersimpan di dalam batin orang Tionghoa namun secara fisik
pergulatan itu tidak kelihatan. Berbagai topik seperti kegalauan orang Tionghoa
mencari sejarahnya, kegalauan mencari identitas , kagalauan dalam pergaulan dan
berbagai kegalauan lainnya yang tidak pernah diijinkan atau jarang ditampilkan ke
luar oleh etnis Tionghoa. Melalui buku ini penulis berharap bisa untuk melihat
permasalahan Tionghoa dari sudut pandang etnis Tionghoa itu sendiri.
Penulis juga menjadikan buku karangan Leo Suryadinata Dilema Minoritas
Tionghoa
tahun 1984.Buku ini membicarakan pandangan pribumi tentang
kebangsaan Indonesia dan minoritas Tionghoa, kemudian membahas perekonomian
dan masyarakat Tionghoa Indonesia. Selain itu buku ini juga membahas
kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah Indonesia terhadap minoritas Tionghoa dan
11
terhadap RRC. Sebuah buku yang tentunya akan sangat membantu penulis terutama
kajian tentang kebangsaan dan kebijakan pemerintah terhadap etnik Tionghoa.
Penulis juga menggunakan tesis karangan I Putu Putra Kusuma Yudha dengan
judul Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan
Pupuan Kabupaten Tabanan tahun 2014. Tesis ini membahas perubahan identitas
budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, faktor yang mempengaruhi perubahan
identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, serta membahas implikasi dan makna
perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Tesis ini membantu
penulis melihat budaya Tionghoa berada ditengah budaya etnik lain sehingga memicu
terjadinya akulturasi dan asimilasi.
1.5 Metode Penelitian
Di dalam metode penelitian sejarah, ada beberapa teknik ataupun langkahlangkah yang dilakukan oleh penulis untuk merampungkan tulisan atau skripsi ini.
Adapun langkah-langkah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1. Heuristik, yaitu metode pengumpulan data atau sumber melalui studi
kepustakaan, melakukan pengamatan lapangan, ataupun studi wawancara kepada
narasumber yang dapat membantu penelitian dan berkaitan dengan judul
penelitian yang diteliti. Dalam penelitian yang dilakukan, peneliti mengumpulkan
sumber-sumber pendukung dari buku-buku yang terkait dengan judul penelitian
baik yang ada di Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi daerah Sidikalang,
perpustakaan Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Universitas Negeri
12
Medan dan perpustakaan lainnya yang ada di Medan. Selain buku juga berupa
karya ilmiah, tesis dan laporan penelitian dari berbagai peneliti dan lain-lain.
Dalam pengamatan lapangan, penulis beberapa kali megunjungi daerah tempat
tinggal etnik Tionghoa yaitu daerah Simpang Empat, kemudian mengunjungi
vihara dan kuburan Tionghoa yang terdapat di desa Bintang kecamatan
Sidikalang. Selain itu, penulis juga mengunjungi Balai Pendidikan Sad Paramita
yang merupakan tempat khusus untuk belajar aliran kepercayaan Tionghoa, balai
ini terdapat di kelurahan Batang Beruh kecamatan Sidikalang. Studi wawancara
yang dilakukan adalah wawancara bebas, penulis melakukan wawancara langsung
dengan para narasumber di rumah ataupun ditempat kerja.
2. Kritik sumber, merupakan sebuah usaha yang dilakukan peneliti untuk
menyeleksi sumber atau bahan-bahan yang akan dikumpulkan. Setelah sumbersumber dikumpulkan kemudian diverifikasi melalui kritik, baik kritik ekstern
maupun kritik intern. Kritik ekstern digunakan untuk mengetahui tentang
kebenaran sumber yang diperoleh, sedangkan kritik intern digunakan untuk
menilai kelayakan sumber yang akan digunakan dalam penulisan. Dalam hal ini
yang selalu diingat bahwa sumber itu harus dapat dipercaya, ada penguatan saksi
mata, benar, tidak dipalsukan, dan handal.
3. Interpretasi merupakan tahap dimana peneliti berusaha menghubungkan data –
data yang didapat di lapangan dengan fakta yang ada. Dalam menganalisa sumber
yang diperoleh diperlukan analisa yang lebih bersifat objektif dan ilmiah terhadap
13
objek yang akan diteliti. Di sini peneliti telah memiliki konsep, ide dan gambaran
kerangka acuan untuk menulis, yang selanjutnya akan dituliskan dalam tulisan
sejarah yakni pada tahap keempat.
4. Historiografi, setelah semua sumber-sumber yang diperoleh selesai diuji
kebenaran dan kelayakannya, tahap selanjutnya yang akan dilakukan oleh peneliti
adalah merampungkan dari hasil laporan yang telah diperoleh menjadi sebuah
tulisan yang telah diperoleh dari fakta-fakta dan dituangkan secara sistematis dan
kronologis. Dalam melakukan penulisan sejarah aspek kronologis memang perlu
diperhatikan agar menghasilkan sebuah tulisan yang bernilai sejarah yang ilmiah
dan objektif.
14