Etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 1967-2000

(1)

89

DAFTAR INFORMAN

1) Nama : S. Sihombing Umur : 81 tahun

Pekerjaan : Pensiunan Guru Etnik : Batak Toba 2) Nama :Jon Antoni

Umur : 45 tahun Pekerjaan : Wiraswasta

Etnik : Keturunan Tionghoa 3) Nama : Alin Silaban

Umur : 52 tahun Pekerjaan : Wiraswasta

Etnik : Keturunan Tionghoa 4) Nama : R. Situmeang

Umur :66 tahun Pekerjaan :Wiraswasta Etnik : Batak Toba 5) Nama : Jamesli

Umur : 59 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta dan tokoh etnik Tionghoa Etnik : Keturunan Tionhoa

6) Nama : M br Saragih Umur : 51 tahun Pekerjaan : PNS

Etnik : Simalungun 7) Nama : Aseng

Umur : 41 tahun Pekerjaan : Kuli


(2)

90 8) Nama : Lau Li Ying (Lina)

Umur :55 tahun

Pekerjaan :Pendeta Buddha Maitreya/Wiraswasta Etnik : Tionghoa Asli

9) Nama :Perpetua br Sihombing Umur : 78 tahun

Pekerjaan : Petani Etnik : Batak Toba 10)Nama : J. Sinaga

Umur : 80 tahun Pekerjaan : Petani Etnik : Batak Toba 11)Nama : Melda S

Umur : 67 tahun

Pekerjaan : Pensiunan Guru Etnik : Batak Toba 12)Nama : L. br Sinambela

Umur : 50 tahun Pekerjaan : Wiraswasta Etnik : Batak Toba 13)Nama : R. br Kaloko

Umur : 45 tahun Pekerjaan : Petani Etnik : Pakpak

14)Nama : Raja Ardin Ujung Umur : 57 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta dan tokoh adat Pakpak Etnik : Pakpak


(3)

91 15)Nama : M. Silalahi

Umur : 57 tahun Pekerjaan : Supir Etnik : Toba


(4)

92

LAMPIRAN


(5)

93

Lampiran 1

Tabel Daftar Nama Toko, Usaha Dagang dan usaha lainnya yang dikelola etnik Tionghoa di Sidikalang

No. Lokasi Nama toko dan usaha dagang

1. Jalan Pakpak Tk.Horas, Tk.Pelita, Tk.Semara, Tk.Cahaya, Tk.Dirgaputra, Tk.Gunung Kawi, Tk.Nauli, Rm.Sehat 1, Rm.Bukti 2, Mie Pangsit Siantar, Tk Surabaya, Master selular

2. Jalan Merdeka Duta Ban, Karya Service, Kedai Kopi Yang Mei Tek, Logam Service 3. Jalan Tembakau Karya Foto, Asong (Jual Goreng), Hoang Yao Yang, dr.Niko, Salon

Orlen

4. Jalan Damar Tk.Matahari, Solo Gigi, Mook Sing Phing

5. Jalan Nusantara Rm.Bukti 1, Rm.Sehat 2, Tk.Sehat, Tk.Mimi, Chai Wen, Yao (Jual Mie Pangsit), Chen Sing Huat, Hotel Angkasa Raya

5. Jalan Bintang Tukang Jahit Chen Ping Chiang

6. Jalan Ujung Chen Yek Kuang (Jual Pecel)

7. Jalan Sisingamangaraja Bengkel Elektrik, Salon Melodi, Rm.Yong Liem, Tk.Risma,

Rm.Sempurna, Tk.Semangat, Rm.Eropa 2, Tk.jakarta, Rm.Yang Cien Mei, Rm.Eropa 1, Tan Jaya, Tk.Rapi Sepeda, Tk.Sejati Motor,

Tk.Berdikari, Tk.Awan, Rm.Siang Malam, Tk.Meja, Tk.Sempurna, Bali Foto, Warung Mie Simpang 4, Tk.Sabang, Tk.Setia Motor, Tk.Makmur, Surya Mas, PT.Rajawali.

8. Jalan Sudirman Tk.Hari Makar Mas, Harapan Jaya, Teratai Baru, Kedai Kopi Atiaong, Pak Odi Jual Telur, Aciang Service, Pasar Lama Kopi Zest, Pikhai (tukang kusut)

9. Jalan Tapanuli Yang Kui Ce (jual kue)

10. Jalan barisan nauli Logam Gas, Logam Kelenteng, Akien 11. Jalan Km 2 Kilang Kacang & Jagung

(Sumber: Wawancara, Ibu Lau Li Ying, kecamatan Sidikalang tanggal 11 Agustus 2015. Beliau merupakan seorang Pandita Maitreya dan pemilik toko Gunung Kawi)


(6)

94 Lampiran 2

Pemandangan Bagian dalam Balai Sad Paramita

Keterangan: Kesan indah dan asri saat memasuki lokasi Balai. Terdapat taman yang cukup luas dengan jalan setapak dan bunga yang tertata rapi. (Sumber: Dokumentasi pribadi, 20 Agustus 2015).


(7)

95

Lampiran 3

Patung Dewa Kepercayaan Tionghoa

Keterangan: Gambar paling atas patung dewa kepercayaan Maitreya yang terdapat di Balai Pendidikan Sad Paramita, sedangkan gambar paling bawah merupakan patung dewa-dewa kepercayaan tradisional seperti Tao, Fe Kong yang terdapat di Kelenteng desa Bintang, Sidikalang. (Sumber: Dokumentasi pribadi, 20 Agustus 2015).


(8)

96

Lampiran 4

Ruang Tempat Ibadah dan Jemaat Kepercayaan Maitreya

Keterangan: Gambar pertama memperlihatkan bagian dalam Vihara Budha Maitreya,

terdapat tulisan “Tuhan Maha Esa” yang menjadi ciri khas Vihara Budha Maitreya di Indonesia. Gambar kedua menunjukkan ibu-ibu jemaat Buddha Maitreya dalam busana Batak (ulos).(Sumber: Dokumentasi pribadi dan Dokumentasi. Balai Pendidikan sad Paramita Sidikalang, 20 Agustus 2015)


(9)

97

Lampiran 5


(10)

98 Keterangan: Kuburan etnik Tionghoa dengan ukuran, bentuk dan desain yang bervariasi. Ada yang menggunakan bahan keramik, batu alam ataupun semen biasa.Terlihat jeruk dan dupa diatas kuburan sebagai bentuk penghormatan etnik Tionghoa terhdap leluhur mereka. (Sumber: Dokumentasi pribadi, 20 Agustus 2015).


(11)

99

Lampiran 6


(12)

100 Keterangan: Pemandangan sudut kota Sidikalang tepatnya Jl. Sisingamangaraja. Rumah berjejer dengan konsep ruko menjadi ciri utama rumah di sepanjang jalan. Hal ini dipengaruhioleh mata pencaharian masyarakat disana yang pada umumnya membuka usaha dagang berupa toko kelontong, toko mainan, toko bangunan, panglong ataupun usaha kedai dan rumah makan, toko perabotan, penjual mie dan usaha jual beli sepeda motor. (Sumber: Dokumentasi pribadi, 20 Agustus 2015)


(13)

86

DAFTAR PUSTAKA

Agustono, Budi, Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial-Politik Orang Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003. Disertasi, Yogyakarta: FIB, UGM, 2010. Barth, Fredrick, Kelompok Etnik dan Batasannya; Tatanan Sosial dari Perbedaan

Kebudayaan. Jakarta: UI Press, 1988.

Berutu, Lister, Nurbani Padang, Tradisi dan Perubahan – Konteks Masyarakat Pakpak Dairi. Medan: MONORA, 1998.

Bloomfield, Frena, Chinese Beliefs; Mendalami Pola-Pola Berfikir Orang Cina. Surabaya: Penerbit Liris, 2010.

Hadiluwih, Subanindyo, Studi Tentang Masalah Tionghoa di Indonesia (studi kasus: Di Medan). Medan: PT.Satria Deli Perkasa.

___________________, Konflik Etnik di Indonesia Satu Kajian Kes di Bandaraya Medan.Medan: USU Press, 2011.

Hamdani, Nasrul, Komunitas Cina di Meda Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960. Jakarta: LIPI Press, 2013.

Hoon, Chang-Yau, Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto Budaya, Politik dan Media. Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012.

Koenjtaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2004. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995. Lan, Nio Joe, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: PT Gramedia, 2013 Liem, Yusiu, Prasangka Terhadap Etnis Cina. Jakarta: Djambatan, 2000.


(14)

87 Lubis, Suwardi, Komunikasi Antarbudaya Studi Kasus Etnik Batak Toba & Etnik

Cina. Medan: USU Press,1999.

Makmur, Mariana, Lister Berutu, Aspek-aspek Kultural Etnis Pakpak Suatu eksplorasi tentang potensi lokal. Medan: Monora, 2002.

Musianto, Lukas S, “Peran Orang Tionghoa dalam Perdagangan dan Hidup Perekonomian dalam Masyarakat”, Jurnal, Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2003.

Nugroha, Adi, Membaca Kepribadian Orang-Orang China. Jogjakarta: GARASI, 2008.

Pelly, Usman, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1994.

Purdey, Jemma, Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1966-1999.Bali: Pustaka Larasan, 2013.

Setiono, Benny G, Tionghoa dalam pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka, 2008

Sinar, Tengku Luckman, Kedatangan Imigran-Imigran Cina ke Pantai Timur Sumatera Abad ke-19. Medan: Forkala-Sumut, 2013.

Suryadinata, Leo, Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1984. ______________, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: LP3ES,

1999.

Vleming Jr, J.L., Kongsi dan Spekulasi Jaringan Kerja Bisnis Cina. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988.


(15)

88 Wibowo, I., Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Yudha, I Putu Putra Kusuma,Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa Di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Program Magister, Program Studi Kajian Budaya, Progran Pascasarjana, Universitas Udayana Denpasar, 2014.

Sumber Lain

Internet:

http//www.pakpakadalahpakpak.com


(16)

32

BAB III

ETNIK TIONGHOA DI KECAMATAN SIDIKALANG SEBELUM TAHUN 1967

3.1 Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Sidikalang

Pembahasan mengenai etnik Tionghoa seolah tiada habisnya, sejarah banyak mencatat kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya Tionghoa, baik itu yang tinggal di kota-kota besar sampai yang tinggal di daerah pedesaan.Di Sidikalang sendiri etnik Tionghoa sudah ada sejak zaman kolonial Belanda,artinya mereka sudah berada cukup lama di Sidikalang.Mereka datang dari berbagai latar belakang, ada yang memang datang untuk mencari kehidupan yang lebih baik, ada juga yang datang hanya untuk keperluan berdagang. Sebagian etnik Tionghoa yang ada di Sidikalang yang berasal dari daerah lain di Sumatera Utara seperti dari Simalungun, Berastagi dan Medan. Mereka berasal dari suku yang berbeda-beda antara lain Hokkien, Hakka atau Khek, Kong Ha dan Tio Ciu.26

Jika menyimak dari kedatangannya, etnik Tionghoa yang berada di Sidikalang sebagian merupakan generasi ke-2 dan ke-3 semenjak kedatangan kakek-nenek mereka pertama sekali di Indonesia. Hal ini memungkinkan sudah berkurangnya keaslian mereka atau dengan istilah yang sering kita dengar mereka adalah

26

Di Sidikalang etnik Tionghoa yang paling mendominasi adalah suku Tio Ciu. Jika ditelusuri sejarahnya, suku ini berasal dari daerah bernama Chaozhou dan Shantou, provinsi Guangdong, Republik Rakyat Cina. Wawancara, Jamesli (59 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 05 Agustus 2015.


(17)

33 Tionghoaperanakan.27 Adanya hubungan pernikahan campuran dengan etnik-etnik lain, yang kemudian melahirkan Tionghoa peranakan juga mempengaruhieksistensi etnik Tionghoa. Tentunya Tionghoa peranakan memiliki identitas budaya yang berbeda dengan leluhurnya. Etnik Tionghoa inipun sudah kehilangan kefasihannya berbicara dalam bahasa Tionghoa karena mereka sudah banyak menyerap unsur kebudayaan tempat di mana etnik Tionghoa peranakan ini bermukim.

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa mereka dahulu ada yang masih asli atau belum bercampur sejak kedatangannya pertamakali di Sidikalang. Seperti keterangan dari Pak Jamesli yang mengatakan bahwa dulu sewaktu beliau kecil masih ada perempuan Tionghoa yang sudah tua yang memiliki kaki sangat kecil dan hanya hanya tahu bahasa Tionghoa. Mereka ini masih sangat menjaga tradisi sehingga pernikahan campuran juga tidak dilakukan.28

27

Sebelum datang ke Sidikalang, mereka sudah pernah tinggal di daerah lain seperti Pematang Siantar dan berkeluarga disana. Kemudian keturunan merekalah yang pindah ke Sidikalang. Mengenai istilah peranakan dan totok, penulis setuju memakai pendapat dari Leo Suryadinata dalam bukunya Dilema Minorita Tionghoa yang mengatakan bahwa Tionghoa Peranakan dalam arti yang menunjuk pada latar budaya, bukan hanya menunjukkan tempat lahir. Namun lebih pada mereka yang menggunakan bahasa Indonesia juga bahasa daerah sebagai alat komunikasi dan tidak lagi menguasai bahasa Tionghoa serta tidak lagi mengetahui adat-budaya secara utuh. Etnik Tionghoa yang lahir di Indonesia bukan berarti semua adalah peranakan, mereka yang masih memakai bahas Tinghoa sebagai bahasa sehari-hari dan berorientasi ke Negara Tiongkok masih dikatakan Totok.

28

Pemakaian bahasa Tionghoa terus berkurang di Sidikalang seiring semakin berbaurnya mereka dengan penduduk Sidikalang. Adanya wanita Tionghoa di Sidikalang yang berkaki kecil ini menunjukkan bahwa Tionghoa ini merupakan seorang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga Tionghoa asli. Sebab kaki kecil yang diperoleh dari cara mengikat kaki sejak kecil itu merupakan salah satu tradisi kuno (khsusnya suku Khek) yang sudah sangat lama dan sudah jarang digunakan. Wawancara, Jamesli (59 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 05 Agustus 2015.


(18)

34 Untuk lebih mengetahui awal kedatangan etnik Tionghoa ini, penulis juga mengunjungi kuburan khusus Tionghoa yang ada di desa Bintang.Dari keterangan warga setempat kuburan tersebut sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.Selain itu terdapat kelenteng yang berdiri tepat di samping lokasi kuburan tersebut.Kelenteng dan kuburan itu menjadi bukti bahwa etnik Tionghoa sudah berada di Sidikalang abad ke-19.

Saat ini rumah tempat tinggal etnik Tionghoa dominan berada di pusat kota tepatnya berjejer di sepanjang pinggir jalan besar (Jalan Sisingamangaraja). Rumah mereka ada di kiri-kanan jalan, mengikuti alur jalan besar.Diantara rumah mereka diselang-selingi rumah masyarakat non-Tinghoa. Selain disisi jalan besar, sebagian dari mereka ada juga yang tinggal di dalam kota, dan ada juga yang tinggal secara terpisah ke daerah Pasar Lama.

Jika kita telusuri, pada awal kedatangan etnik Tionghoa, ada daerah yang menjadi tempat tinggal mereka sebelum di pusat kota Sidikalang yaitu di desa Bintang atau disebut juga daerah Pasar Lama yang letaknya kurang lebih 3 km dari ibu kota Sidikalang. Pada awal kedatangan etnik Tionghoa diterima dengan baik oleh masyarakat asli yaitu etnik Pakpak. Daerah ini masih banyak terdapat lahan kosong dan penduduk yang tinggal disana juga masih sedikit Dalam usaha mendapatkan lahan untuk tempat tinggal, mereka melakukan pendekatan terhadap pemilik tanah, di Bintang pemilik tanah pada umumnya ialah marga Bintang. Pendekatan ini dilakukan dengan pemimpin atau tokoh masyarakat, kemudian mereka akan meminta ijin


(19)

35 (biasanya secara adat) agar mereka boleh di perbolehkan atau diberikan tanah untuk tempat tinggal mereka.29

Di desa Bintang inilah dulunya mereka bermukim dan mengembangkan berbagai mata pencaharian seperti berjualan eceran, tukang, pedagang dan toke. Penempatan etnik Tionghoa di Pasar lama dipengaruhi faktor saat itu pasar (onan) masih terdapat di Bintang sebelum akhirnya dipindahkan ke Sidikalang kota. Etnik Tionghoa dengan jiwa berdagangnya lebih tentu tertarik untuk mengunjungi daerah pasar (onan)sebagai pusat aktivitas jual beli. Selain itu, di daerah Sidikalang tanah/lahan lebih susah didapatkan karena sudah terlebih dahulu didiami etnik pendatang lain seperti Toba. Namun seiring dengan perkembangan sosial-ekonomi mereka banyak yang pindah ke daerah kota, bahkan sekarang hampir semua sudah berada di Sidikalang.30

3.2 Interaksi Sosial Etnik Tionghoa dengan Etnik Lain

Dalam menjalankan kehidupan bersama, berbagai etnik yang berbeda latar belakang kebudayaan tentu akan terlibat dalam hubungan timbal balik (sosial) berupa aksi saling mempengaruhi antara individu dan individu, antara individu dan

29

Perlu kita ingat bahwa situasi zaman itu berbeda dengan sekarang, zaman dulu untuk mendapatkan tanah masih mudah. Etnik Pakpak sebagai penduduk asli memilki banyak tanah kosong, itulah sebabnya mereka dengan mudah akan memberikan ijin kepada pendatang untuk tinggal di daerah mereka. Hal ini jugalah yang terjadi kepada etnik Toba ketika datang ke Dairi.

30

Setelah memiliki modal mereka banyak yang pindah, mereka menjual rumah dan tanah. Saat ini tidak ada lagi pemukiman mereka di sana. Namun dengan adanya kelenteng dan kuburan Tionghoa membuktikan bahwa di desa Bintang pernah berkembang etnik Tionghoa.


(20)

36 kelompok, dan antara kelompok dan kelompok yang disebut interaksi sosial.31 Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Begitu juga dengan etnik Tionghoa yang hadir di Sidikalang, Interaksi sosial yang dilakukan etnik Tionghoa dengan etnik non-Tionghoa inilah yang akan mempengaruhi perkembangan mereka baik dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun kebudayaan.

Di Sidikalang tidak ada pemukiman khusus etnik Tionghoa seperti di daerah lain di Indonesia (seperti kelurahan Kranggan di Semarang). Tidak ada wilayah Pecinan yang menjadi tempat tinggal khusus mereka, rumah mereka berada di antara rumah penduduk Sidikalang.Bagaimana terbentuknya lingkungan hidup yang rukun tergantung interaksi sosial yang dijaga sebaik mungkin agar tidak menimbulkan konflik ataupun keributan.Seiring berjalannya waktu interaksi dan penyesuaian diri

31

Hubungan yang terjadi antar warga masyarakat berlangsung sepanjang waktu.Rentang waktu yang panjang serta banyaknya warga yang terlibat dalam hubungan antar warga melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial.Di mana pun dan kapan pun kehidupan sosial selalu diwarnai oleh dua kecenderungan yang saling bertolak belakang. Di satu sisi manusia berinteraksi untuk saling bekerja sama, menghargai, menghormati, hidup rukun, dan bergotong royong. Di sisi lain, manusia berinteraksi dalam bentuk pertikaian, peperangan, tidak adanya rasa saling memiliki, dan lain-lain. Etnik Tionghoa di Sidikalang dalam interaksi sosial menerima berbagai reaksi dari masyarakat seperti penolakan, rasa curiga sampai kerja sama dan menghagai.


(21)

37 yang mereka lakukan talah membuat kehidupan mereka sedikit demi sedikit mengalami perubahan.32

3.3.1 Pengunaan Bahasa Daerah dan Pernikahan Campuran

Interaksi sosial antara etnik Tionghoa dengan masyarakat Sidikalang terjalin dengan baik.Hal ini di karenakan etnik tionghoa ini dengan cepat beradaptasi, salah satunya yaitu melalui bahasa. Bahasa adalah kunci utama untuk membangun komunikasi, mereka menyadari betul hal ini sehingga mereka belajar bahasa daerah seperti Pakpak dan Toba sampai mereka menjadi fasih sehingga akan mempermudah interaksi sosial dengan penduduk setempat. Selain itu untuk menjalankan usaha perdagangan yang merupakan sebagai mata pencaharian utama mereka diperlukan penguasaan bahasa. Dulu masyarakat Sidikalang bukanlah seperti sekarang yang menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Satu satunya bahasa yang dikusai adalah bahasa daerah.Itulah sebabnya sebagai pendatang etnik Tionghoa ini akhirnya harus ikut menguasai bahasa daerah.

Pada generasi awal, etnik Tionghoa selain mampu menggunkan bahasa daerah mereka juga tetap mempertahankan bahasa asli mereka.untuk komunikasi sesama Tionghoa mereka lebih memilih menggunakan bahasa sendiri. Hal inilah yang sering

32

Pecinan adalah daerah khusus tempat tinggal etnik Tionghoa, identik dengan rumah rumah toko yang berhimpitan, harum dupa, kelenteng, sampai ke suasana permukiman masyarakatnya yang khas dengan jalan-jalan yang sempit.Sebagai makhluk sosial, etnik Tionghoa tentu harus melakukan interaksi dengan masyarakat setempat (non-Tionghoa).hal ini dilakukan untuk membangun suatu hubungan harmonis dimana kedua belah pihak dapat hidup saling menerima satu sama lain.


(22)

38 menimbulkan ketidaksukaan dari etnik lain, ketika sesama etnik Tionghoa berbicara di depan etnik lain yang tidak mengerti hanya bisa menduga-duga apa yang mereka bicarakan, hal baik atau burukkah atau siapa yang sedang di mereka bicarakan.33 Lama-kelamaan penggunaan bahasa asli semakin berkurang, tinggal di lingkungan dengan etnik yang berbeda membuat setiap hari mereka harus menggunakan bahasa daerah ataupun bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Adapun penggunaan bahasa asli itu hanya sebatas di lingkungann rumah saja.

Sistem kekerabatan etnik Tionghoa tradisional adalah menurut garis bapak

atau patrilinear.Dalam sistem keluarga seperti ini yang memegang peranan penting dan berkuasa adalah ayah dan keturunan laki-laki.Apabila ayah sudah meninggal

yang memegang pimpinan dalam keluarga adalah anak laki-laki yang tertua. Anak laki-laki berperan untuk meneruskan She (nama keluarga dari keturunan ayah). Selain itu anak laki-laki juga bertanggung jawab untuk merawat abu leluhur.Oleh karena itu anak laki-laki mempunyai kewajiban untuk melakukan pemujaan terhadap roh leluhur.Tradisi ini masih ada sampai saat ini, bahkan ketika laki-laki Tionghoa telah

33

Saat etnik lain mendengar sesama etnik Tionghoa berbicara dalam bahasa Tionghoa, mereka akan marah bahkan tidak jarang mereka membentak dan melarang etnik Tionghoa untuk munggunakan bahasa Tionghoa. Karena tidak mengerti apa yang etnik Tionghoa bicarakan, mereka merasa bisa saja isi pembicaraannya sedang menjelek-jelekkan mereka ataupun hal-hal buruk lainnya.


(23)

39 menikah dari perempuan etnik lain dan menganut agama lain, dia akan tetap menjalankan pemujaan terhadap leluhur tersebut.34

Pembauran dapat terjadi melalui berbagai hal salah satunya dengan pernikahan antaretnik, seperti Tionghoa di Sidikalang yang telah melakukan pernikahan campuran dengan etnik Toba, Pakpak maupun Simalungun.Dalam hal ini pernikahan dapat kita lihat sebagai salah satu strategi adaptasi mereka, agar keberadaan mereka dapat diterima dan aman ketika berada di lingkungan yang baru. Sebagai contoh ketika mereka telah menikahi boru Batak maka akan diberi tanah panjaean (dalam tradisi Batak ada tanah yang biasa diberi kepada anak yang sudah menikah). Walaupun memang pernikahan terjadi bisa juga karena faktor lain misalnya karena tidak adanya perempua etnik Tionghoa yang ikut ke Sidikalang.35 Apapun latarbelakangnya pernikahan campuran ini akan membawa suatu dampak bagi kehidupan mereka.

Saat mereka memasuki pernikahan campuran maka secara otomatis mereka harus mengikuti adat-istiadat etnik dari pasangannya. Mereka tentu harus

34

Wawancara, Alin (52 tahun), Jl. Sisingamangaraja bawah, kecamatan Sidikalang tanggal 18 Mei 2015, beliau adalah penerus dari ayahnya yang bertanggung jawab menjaga abu leluhur dan juga melaksanakan pemujaan leluhur. Padahal beliau telah menikah dengan seorang perempuan Batak Toba dan telah menganut agama Kristen.Tapi beliau tetap tidak meninggalkan tradisi mereka walaupun sebenarnya bertentangan dengan agama yang telah dianut.

35

Pada umumnya etnik Tionghoa yang merantau ke Nusantara pada masa lampau amat jarang

membawa perempuan walau ada banyak pedagang Tionghoa yang membawa „geisha‟ berlayar

meninggalkan tanah kelahirannya tapi itu merupakan kasus langka. Mereka yang menetap itu biasanya memperistri perempuan lokal.Pememerintah Cina waktu itu memang melarng perempuan untuk keluar dari negaranya, baru sekitar akhir abad 19 larangan tersebut tidak ada lagi. Benny G. setiono,


(24)

40 berpartisipasi dalam mengikuti adat–istiadat, misalnya dalam upacara pernikahan dan kematian. Sebab jika tidak mereka akan akan dianggap kurang dalam ber‟adat. Begitu juga sebaliknya, seorang yang telah menikah dengan etnik Tionghoa maka harus mengikuti adat Tionghoa. Selain itu untuk mempererat hubungan adat, mereka akan mendapatkan marga dari pihak etnik Batak. Sebab untuk tetap dapat menjalankan Dalihan Natolu‟nya, tentu kedua belah pihak harus sama-sama memiliki marga.36

Selain karena pernikahan campuran ini etnik Tionghoa dapat juga memakai marga melalui proses adat. Mereka akan minta ijin pada tokoh salah satu marga yang nantinya akan mereka gunakan. Pemilihan marga ini juga sudah mereka pelajari dengan baik, mereka akan melihat etnik apa yang paling mendominasi di daerah itu, jika Toba maka mereka akan memasuki marga etnik tersebut. Lebih spesifik lagi, marga apa di etnik Toba itu yang paling berpengaruh di masyarakat maka itulah kemudian yang di dekati untuk di minta ijin pemakaian marga.Untuk ijin pemakaian marga tidaklah sembarangan harus dilaksanakan secara adat.

Melalui pemakaian marga tersebut maka harapannya mereka tidak akan dianggap asing lagi, masyarakat Sidikalang akan memperlakukan mereka sama sebagaimana dengan etnik mereka sendiri. Hal ini tentu akan membawa keuntungan

36

Marga yang dipilih adalah marga yang paling dekat pertaliannya dan cocok dengan keluarga. Misalnya jika si Pria akan memberi marga pada calon istri maka marga yang beri adalah

marga “tulang” si laki-laki. Jika dari pihak perempuan yang akan memberi marga, maka marga yang diberikan kepada calon pasangannya adalah marga amangboru dari si perempuan, dan biasanya pemberian marga ini akan di syahkan secara adat. Wawancara, M. Saragih (51 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 03 Agustus 2015.


(25)

41 tersendiri bagi mereka, dengan memakai marga seperti menjadi sebuah jaminan keamanan bagi mereka untuk tetap bertahan di Sidikalang. Di samping itu, ada juga beberapa orang atau tokoh masyarakat yang akan memberikan tanah lahan secara gratis jika mereka telah resmi memakai marga tersebut.

3.3.2 Kepercayaan Tradisional Etnik Tionghoa

Dalam hal agama dan kepercayaan etnik Tionghoa memiliki pandangan dan prinsip masing-masing. Adakalanya mereka telah memasuki sebuah agama akan tetapi dalam prakteknya mereka tetap melaksanakan kepercayaan leluhur mereka. Masalah kepercayaan ini lebih ke personal masing-masing. Pada masa awal kedatangannya, mereka masih membawa kepercayaan tradisional,mereka menjalankan ritual-ritual tradisi yang sama dengan yang dilakukan oleh leluhurnya di kampung halamannya. Bentuk-bentuk ritual persembahan yang dilakukan misalnya me’nyungsung abu leluhur, me’nyungsungDewa Kwan Kong dan sembahyang cetia yang terdapat di masingmasing rumah, di mana bentuk-bentuk ritual seperti ini masih dipertahankan sampai saat ini.

Ada banyak keyakinan dan kepercayaan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari etnik Tionghoa.beberapa kepercayaan terkait dengan kewajiban-kewajiba religious atau dengan keberuntungan di masa depan.Kepercayaan etnik Tionghoa angat terkait dengan upaya mengejar kesuksesan duniawi, menenangkan arwah-arwah yang sudah mati dan mengungkapkan misteri di masa depan. Ketiga hal tersebut bisa dikendalikan dengan cara memberi penghormatan ritualistik pada


(26)

42 mereka yang sudah mati sehingga arwah mereka tenang dan senang, adat, kebiasaan dan cara hidup seperti itulah yang mereka bawa ke bagian dunia manapun etnik Tionghoa bertempat tinggal.37

Di Sidikalang etnik Tionghoa tetap menjalankan kepercayaan mereka seperti Tao dan Fe Kong meski telah tinggal di lingkungan masyarakat yang memiliki agama dan kepercayaan yang sangat berbeda.Itulah sebabnya setelah meminta ijin secara adat dari masyarakat Sidikalang mereka membangun rumah ibadah berupa kelenteng di desa Bintang dan juga membuat pemakaman khusus untuk etnik Tionghoa yang berada tepat di samping kelenteng dengan luas kurang lebih 2 ha.

3.3.4 Mata Pencaharian Etnik Tionghoa

Mata pencaharian etnik Tionghoa identik dengan perdagangan.Perdagangan adalah dunia yang terbuka, siapapun dapat memasukinya. Hanya saja, tingkat kompetensi yang tinggi antara pelaku-pelaku perdagangan memerlukan nyali dan perhitungan ekonomi yang tepat dalam menghadapi dinamika yang senantiasa bergerak dan tidak semua orang mampu melakukan itu.

Etnik Tionghoa adalah etnik yang dikenal menguasai sebagian besar perdagangan di Indonesia, sebagian besar jalur distribusi barang dikuasai oleh etnik ini. Penguasaan etnik Tionghoa atas jalur distribusi terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Hal tersebut dapat talah terjadi sejak masa kolonial Belanda, etnik Tionghoa dalam struktur perdagangan kolonial telah dipakai sebagai pihak perantara

37

Frena Bloomfield, Chinese Beliefs; Mendalami Pola Berikir Orang Cina, Surabaya: Penerbit Liris, 2010, hal. 5-6.


(27)

43 antara orang-orang Belanda dengan orang-orang pribumi, selain itu mereka diberikan fasilitas monopoli perdagangan dan sebagai pelaksana rumah pegadaian, serta pemungut pajak.Pada masa pemerintahan orde baru, pedagang etnik Tionghoa juga mendapatkan fasilitas yang lebih atas perdagangan, sehingga dapat mendominasi retail, usaha kecil, perdagangan komoditas, perdagangan besar, transportasi, industri, perbankkan, dan keuangan.

Pada 1930-an merupakan awal atau cikal-bakal perkembangan ekonomi etnik Tionghoa disektor perdagangan. Sejak awal kedatangan mereka ke Sidikalang berbagai macam mata pencaharian telah mereka geluti, ada yang menjadi tukang goni botot, membuat seng (talang air), jual akan asin, pedagang keliling, jual garam dan bahkan mereka juga bekerja mengantar air dari daerah Pasar Lama untuk dijual ke penduduk Sidikalang. Karena saat itu pegelolaan air bersih belum seperti sekarang ini.Kehidupan mereka masih sangat sulit, pekerjaan mereka masih serabutan, pekerjaan apapun dilakukan asalkan menghasilkan uang.Periode ini dapat dikatakan sebagai tahap merintis.38

Selain itu, ada juga etnik Tionghoa yang bekerja sebagai pedagang perantara Sidikalang sebagai daerah pertanian, berbagai macam hasil bumi seperti kopi, nilam, kemenyan di kumpulkan dan disalurkan melalui pedagang perantara Tionghoa tadi.Belanda memberi kesempatan kepada kepada etnis Tionghoa untuk

38


(28)

44 berdagang.Posisi yang ditawarkan adalah sebagai pedagang perantara, kususnya sebagai pengumpul barang-barang hasil pertanian ataupun perkebunan dari masyarakat, lalu memperdagangkannya selanjutnya kepada pengusaha Belanda.39

Terlebih ketika jalur akses jalan ke Sidikalang dibangun oleh Belanda, sehingga memudahkan keluar masuk transaksi barang dari Dairi ke daerah lain seperti Medan, Aceh dan Berastagi. Pada masa ini etnik Tionghoa semakin banyak yang berdatangan ke Sidikalang. Mereka ada yang datang hanya untuk urusan dagang namun ada juga yang akhirnya tinggal menetap di Sidikalang.Sebagian dari mereka ada yang datang dari Medan, Berastagi, Pematang Siantar dan lain-lain.

Selanjutnya periode 1941-1958 sistem kehidupan etnis Tionghoa yang sebagai perdagangan perantara mulai bergeser, terlebih setelah masa kemerdekaan.Masyarakat etnik Tionghoadi Sidikalang menjadi pedagangan rumahan atau pertokoan.Usman Pelly mengatakan masa kemerdekaan dapat juga dikatakan sebagai masa peralihan bagi etnik Tionghoa, yaitu peralihan dari pedagang perantara menjadi pedagang grosir ataupun pedagang rumahan.Di sinilah mereka mulai membuka usaha seperti pembuat roti, pembuat tahu, pembuat sepatu, tukang jahit, tukang arloji, reparasi dan gilingan (kopi, jagung, kacang).Semua usaha tersebut merupakan bidang usaha yang selama ini belum dilirik oleh masyarakat Sidikalang.Sebagai perintis berbagai usaha industri di Sidikalang, mereka dapat

39


(29)

45 dikatakan cukup berhasil.Secara ekonomi mereka mengalami peningkatan dan dalam menjalankan usahanya mereka juga memperkerjakan penduduk Sidikalang

Etnik Tionghoa di Sidikalang juga semakin banyak membuka usaha seperti toko kelontong, alat elektronik, bengkel, jual mie dan lain-lain.Usaha ini semakin berkembang dan membuat mereka betah tinggal di Sidikalang. Selain itu keberhasilan mereka juga melahirkan orang-orang yang dianggap terkaya dan populer di Sidikalang.40Selain itu etnik Tioghoa membuka usaha jual mie yang dinamakan mie laksa.Usaha ini cukup berkembang dan diterima baik oleh masyarakat Sidikalang. Sebelumnya masyarakat Sidikalang belum banyak mengenal makanan yang berbahan mie, sehingga ketika etnik Tionghoa memperkenalkan makanan baru ini, mie laksa menjadi salah satu makanan yang sangat digemari.41

Dalam menjalankan usaha bisnisnya, etnik Tionghoa juga melibatkan masyarakat non-Tionghoa, misalnya sebagai penjaga toko dan supir angkut barang.Selain itu mereka juga melakukan kerjasama untuk mengembangkan usahanya.Misalnya bioskop Bako Raya yang merupakan hasil kerjasama antara Jamu Bako (etnik Pakpak) dengan pemilik Toko Cahaya (salah satu etnik Tionghoa yang sudah cukup lama di Sidikalang).

40

Salah satu orang Tionghoa yang sangat terkenal karena kekayaannya pada saat itu ialah Zu, beliau membuka berbagai macam usaha seperti menjadi toke kopi, penjual kain, bioskop dan toko kelontong.Beliau memiliki rumah yang cukup besar dan mewah pada waktu itu.Kemudian pada tahun 1954 bioskopnya mengalami kebakaran sehingga bioskop tersebut tidak berfungsi lagi.Wawancara, R. Situmeang (66 tahun), kecamatana Sidikalang tanggal 12 Agustus 2015.

41

Etnik Tionghoalah yang pertama sekali memperkenalkan mie laksa atau yang lebih kita kenal dengan bakmie kepada masyarakat Sidikalang. Selain itu mereka juga memperkenalkan nasi goreng yang dicampur dengan daging.


(30)

46 Memasuki tahun 1959, pada masa Orde Lama muncullah Peraturan Pemerintah(PP) 10 tahun 1959 yang mengatur mengenai larangan untuk orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten kebawah dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari1960. PP No.10 ini dimaksudkan untuk menyehatkan perekonomian nasional yang pada masa itu didominasi oleh orang asing (khususnya etnik Tionghoa). PP No.10 tahun 1959 memerintahkan agar usaha-usaha pedagang eceran bangsa asing di luar ibukota kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh berdomisili di tempat tinggalnya. Sedangkan tempatnya berjualan selama ini tidak dibenarkan digunakan untuk usaha dan semua barang-barangnya yang berada di dalam tempatnya berjualan harus diserahkan kepada koperasi. Sementara status Dairi masih menjadi bagian wilayah Residen Tapanuli, belum sah menjadi sebuah kabupaten sehingga etnik Tionghoa tidak boleh berdagang di Sidikalang.42

42

Berdasarkan surat Residen Tapanuli No. 1256 tanggal 12 September 1947, Paulus Manurung ditetapkan sebagai Kepala Daerah Tingkat II pertama di Kabupaten Dairi yang berkedudukan di Sidikalang terhitung mulai 1 Oktober 1947. Oleh sebab itu, sebenarnya sejak 1 Oktober 1947 telah ditetapkan menjadi hari jadi Kabupaten Dairi.Namun setelah itu terjadi pergolakan politik, yaitu Agresi Militer I dan II. Setelah situasi dan kondisi Indonesia kembali normal dari pergolakan Agresi Militer serta dengan adanya pengakuan kedaulatan tahun 1948, maka sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah yang sebenarnya (mulai berlaku sejak diumumkan pada 1 April 1950) menyatakan bahwa semua kabupaten yang dibentuk sejak Agresi Militer I dan Agresi Militer II harus kembali dilebur mengingat situasi dan kondisi yang belum stabil, sehingga Kabupaten Dairi harus menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Utara. Rupanya peleburan ini menimbulkan rasa tidak senang dari masyarakat Dairi karena mereka merasa bahwa Dairi memiliki kebudayaan sendiri sebagai salah satu sub suku Batak dan memiliki letak geografis yang strategis sehingga mudah untuk melakukan hubungan lalu lintas dan ekonomi dengan Kota Medan dari pada ke Tapanuli Utara. Untuk mendapatkan persetujuan ini rakyat Dairi harus sabar menunggu keputusan dari pemerintah pusat karena untuk merubah ataupun


(31)

47 Di Sidikalang sendiri diketahui bahwa setelah dikeluarkannya PP10, puluhan warga etnik Tionghoa yang menetap pergi meninggalkan Sidikalang menuju ke wilayah lainnya seperti Medan, Jakarta maupun pulang ke Tiongkok. Mereka khawatir dengan keberlangsungan kehidupan mereka setelah berlakunya PP10 dikarenakan kehidupan mereka hanya bersandar pada bidang perdagangan.

Selain PP10, kemudian keluar juga peraturan yang mengatur tentang Persetujuan antara Indonesia-Cina mengenai dwikewarganegaraan. Diwajibkan kepada setiap orang yang mempunyai dwi-kewarganegaraan untuk menentukan pilihan, apakah memilih menjadi warganegara Indonesia, atau tetap menjadi warganegara Cina dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia.Kewajiban memilih itu dibebankan kepada orang dewasa yang telah berumur 18 tahun atau pernah menikah.Pemilihan kewarganegaraan itu dilakukan dengan menyatakan kepada petugas-petugas negara, kewarganegaraan mana yang hendak dipilihnya, secara tertulis atau secara lisan, dengan disertai surat-surat keterangan diri serta keluarganya.Anak-anak yang belum dewasa menyatakan pilihannya dalam waktu satu tahunsetelah mereka dewasa.

menyetujui suatu daerah menjadi kabupaten tentunya harus mempunyai landasan hokum. Melalui Sidang DPR Republik Indonesia dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1964 Tanggal 13 Februari 1964 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi yang berlaku surut sejak 1 Januari 1964 yaitu bahwa Kabupaten Dairi menjadi daerah otonomi yang terpisah dari Tapanuli Utara serta berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Maka Dairi resmi menjadi sebuah Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi dengan ibukotanya Sidikalang.Peresmian ini dilakukan oleh Gubernur KDH Provinsi Sumatera Utara Ulung Sitepu pada 2 Mei 1964 di Gedung Nasional Sidikalang. Lihat Bappeda Sumatera Utara, Sumatera Utara Membangun, Medan: Percetakan Offset Sakti, 1976, hal. 350.


(32)

48 Adanya peraturan pemerintah ini, kemudian menjadi salah satu penyebab masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi dua pihak.Satu pihak yang memilih kewarganegaraan Indonesia, dan pihak lainnya yang memilih kewarganegaraan Cina.Di Sidikalang sendiri, etnik Tionghoa yang memilih kewarganegaraan Cina memilih keluar.Sedangkan yang memilih warganegara Indonesia tetap tinggal di Sidikalang.

Saat persaingan semakin meningkat, etnik Tionghoa yang tinggal di Sidikalang masih bisa bertahan, pengalaman dan hubungan mereka dengan etnik Tionghoa di luar kota ataupun di luar negeri membantu mereka untuk tetap bertahan dalam perdagangan. Etnik Tionghoa mampu mengusai pusat penjualan segala jenis barang-barang, seperti barang elektronik, pusat perkakas rumah tangga, barang hiasan dan barang-barang perlengkapan lainnya.

Setelah peristiwa „pengusiran‟ etnik Tionghoa tahun 1959, di satu sisi

keberadaan etnik Tionghoa yang sekalipun telah menjadi WNI tetap merasa asing

atau diasingkan.Sepetinya mereka belum bisa „diterima‟ masyarakat Sidikalang,

karakter terkesan eksklusif masih melekat dalam mainset masyarakat Sidikalang. Sedangkan dari sudut pandang etnik Tionghoa, mereka hanya berusaha menjalankan usaha dan bisnis untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan berbagai cara dan kerja keras. Sehingga kehidupan mereka berorientasi pada masalah uang, perdagangan dan


(33)

49 bisnis.Sehingga menciptakan kesan hubungan yang terjalin antara etnik Tionghoa dengan masyarakat Sidikalang hanya terbatas pada urusan dagang atau bisnis.43

Sampai pada peristiwa G30S tahun 1965 yang membuat etnik Tionghoa berada pada posisi tidak menguntungkan, membuat mereka tidak betah tinggal di Sidikalang (akan dibahas pada judul berikutnya). Usaha-usaha yang dulunya dikuasai etnik Tionghoa mulai terbagi dengan masyarakat non-Tionghoa.Mereka berusaha menyamai pedagang Tionghoa antaralain dengan membuka toko-toko kelontong, rumah makan, bengkel, toko emas dan lain-lain. Pekerjaan toke kopi, jagung, kacang yang hanya dipegang oleh etnik Tionghoa juga merambah pada masyarakat non-Tionghoa, apalagi masyarakat masih sangat kental akan adat dan tradisi, maka mereka akan memilih toko dan toke yang dikelola oleh keluarga dan teman semarga.44

Semakin meningkatnya persaingan ekonomi dengan etnik lain membuat etnik Tionghoa mencoba mencari usaha lain selain perdagangan, seperti manufaktur dan jasa, maka muncullah istilah etnik Tionghoa sebagai „economic animal‟. Mereka

43

Untuk menghadiri acara adat atau acara sosial, etnik Tionghoa jarang mau ikut terlibat secara langsung kecuali mereka yang sudah melakukan pernikahan campuran. Pemakaian marga dan penguasaan bahasa hanya sebuah strategi adaptasi untuk sebuah kepentingan. Sehingga memunculkan kesan yang kurang baik di hati masyarakat. Wawancara, M. Silalahi (57 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 20 juli 2015.

44

Dengan banyaknya etnik Tionghoa yang menutup usahanya dan meninggalkan Sidikalang telah memberikan peluang kepada etnik lain untuk berkembang dan membuka usaha perdagangan. Banyak pedagang yang membuka usaha mereka baik ditengah kota maupun di daerah lainnya. Tidak heran jika di Sidikalang banyak toko-toko yang dikelola oleh etnik Toba, Simalungun dan Pakpak.Wawancara, R. Situmeang (66 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 12 Agustus 2015.


(34)

50

dianggap sebagai binatang ekonomi yang „memakan‟ dan menguasai semua sumber

mata pencaharian sampai orang pribumi tidak dapat bagian. Hal ini dimanfaatkan sebagian orang untuk mengambil keuntungan dari etnik Tionghoa, saat mereka ingin mengembangkan usahanya mereka akan disuguhi dengan berbagai persyaratan yang

terkesan justru seperti sebuah “pemerasan” atau bahkan seperti suatu usaha “pembatasan” terhadap etnik Tionghoa. Maka etnik Tionghoa dituntut harus pintar melihat situasi dan kondisi agar tetap bertahan dan aman dalam menjalankan usaha/bisnis.45

3.4 Isu Etnik Tionghoa adalah Komunis

Sejak terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang gagal menjadi awal bagi penghancuran PKI, tindakan Angkatan Darat di bawah Soeharto yang

membantai “pemberontak” PKI telah mengintimidasi kaum keturunan Tionghoa karena identik dengan Tionghoa Komunis. Dalam tindakan menghancurkan PKI dan membantai, membunuh, memenjarakan, dan menyiksa para aktivis dan simpatisannya, warga keturunan Tionghoa juga menjadi sasaran sikap kemarahan yang didasari prasangka bahwa keturunan Tionghoa identik dengan komunis.

Etnik Tionghoa yang ada di Sidikalang saat itu juga merasakan dampak dari peristiwa G30S, memang tidak ada terjadi pembunuhan atau bentuk kekerasan yang

45

Wawancara, Jamesli (59 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 05 Agustus 2015, kehidupan ekonomi etnik Tionghoa lebih sejahtera dibanding etnik lainnya di Sidikalang, sehingga tidak jarang muncul tekanan-tekanan dari oknum-oknum tertentu yang berupa sumbangan-sumbangan sukarela, pemerasan dan pemaksaan.


(35)

51 terlihat waktu itu.Namun lebih ke tekanan batin karena masyarakat Sidikalang saat itu juga mencurigai mereka sebagai antek-antek PKI.Semua etnik Tionghoa dikatakan komunis dan pengkhianat negara serta tidak memiliki rasa nasionalis.

Beredarnya isu komunis terhadap etnik Tionghoa, pemerintah dari dari kedua Negara (Indonesia dan Tiongkok) tidak tinggal diam. Dengan kerjasama kedua belah pihak, pemerintah menyediakan kapal-kapal besar untuk mengangkut mereka kembali ke negaranya, terutama mereka yang belum menjadi Warga Negara Indonesia. Etnik Tionghoa di Sidikalang saat itu banyak yang memilih pulang ke negaranya, mereka menjual rumah dan usahanya kepada kerabat yang tinggal ataupun masyarakat Sidikalang.Akan tetapi ternyata tidak semua mereka dapat pulang ke negaranya.Sebagian dari mereka ada yang tidak mendapat kapal dan akhirnya harus kembali lagi ke Sidikalang dan menetap disana.46

Dengan keadaan yang demikian, etnik Tionghoa yang belum menjadi WNI segera mengurus kewarganegaraan ke pengadilan setempat. Selain itu demi keamanan dan kenyamanan etnik Tionghoa yang telah memilih menjadi Warga

Negara Indonesia, akan mencantumkan tulisan “WNI” pada pamflet di depan

46

Kondisi politik yang tidak menguntungkan etnik Tionghoa membuat mereka memilih meninggalkan Indonesia.akan tetapi migrasi besar-besaran ini juga membuat pemerintah khawatir, mengingat peran ekonomi yang mereka miliki cukup besar sehingga akan berdampak pada ekonomi masyarakat Indonesia. hasil wawancara dengan narasumber menceritakan saat terjadi pergolakan politik yang besar tahu 1965 mereka memutuskan untuk kembali ke Tiongkok, akan tetapi setelah menunggu lama di pelabuhan ternyata ada pemberithuan bahwa kapal terakhir telah berangkat dan tidak ada lagi kapal yang bisa mengangkut mereka. Akhirnya mereka kembali ke Sidikalang dan ada juga yang pergi ke luar seperti ke Medan, Jakarta dan lain-lain.Wawancara, Lau Li Ying (55 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal l1 Agustus 2015.


(36)

52

rumahnya bersama‟an dengan nama toko. Ini dilakukan untuk mempertegas bahwa mereka sudah sah dan sama dengan penduduk Indonesia lainnya, sehingga

keberadaan mereka tidak lagi dianggap “asing” ataupun dicurigai oleh masyarakat

Sidikalang.

Untuk memastikan Sidikalang bebas dari komunis, Kapolda Sidikalang membuat panggilan bagi seluruh etnik Tionghoa untuk menjalani pemeriksaan mengenai keterlibatan mereka dengan Komunis. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan tidak terbukti bahwa mereka ikut dan terlibat maka mereka diperbolehkan pulang dengan syarat: sekali sebulan etnik Tionghoa harus melapor ke Polda untuk melapor dan menyatakan diri tidak terlibat. Sebagian kecil etnik Tionghoa menjalankan peraturan ini, namun sebagian lagi memilih tidak menaati.Mereka merasa tidak nyaman dengan peraturan itu, yang terkesan justru sangat memojokkan.Dari sekitar 60 kk etnik Tionghoa yang ada di Sidikalang, hanya 5 kk yang datang ke Polda. Untuk mengatasi hal tersebut Polda membuat panggilan resmi berupa surat undangan/panggilan kepada tiap KK untuk menghadiri panggilan tersebut, jika mereka tidak bersedia maka kepolisian akan menindak-lanjuti dengan cara yang lebih tegas (baca keras).47

47

Wawancara, Jamesli (59 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 05 Agustus 2015, sebagai seorang tokoh yang cukup berengaruh beliau menghimbau kepada semua etnik Tionghoa yang ada di Sidikalang agar menuruti peraturan dari pemerintah karena dianggap merupakan jalan terbaik baik bagi mereka.


(37)

53 Kejadian tersebut telah membawa trauma kepada etnik Tionghoa.Tuduhan mereka adalah komunis telah menyudutkan mereka dan membuat ketidak nyamanan dalam hidup bermasyarakat.Ada perasaan kecewa, sedih, dan minder melihat kejadian tersebut.Menurut mereka tuduhan yang dilemparkan kepada mereka tidak adil.Tanpa bukti yang mendasar hanya karena faktor rasa curiga mereka mendapat perlakuan seperti itu.Hal ini menimbulkan keadaan yang semakin renggang antara etnik Tionghoa dengan masyarakat Sidikalang. Dari kedua belah pihak seolah-olah membuat jarak, etnik Tionghoa mulai membentengi diri, perasaan was-was dan sikap hati-hati menjadi karakter mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Dari masyarakat Sidikalang sendiri, pernyataan “PKI adalah pengkhianat

Negara dan Tionghoa adalah Komunis” telah memasuki pikiran mereka.Rasa curiga

bahkan benci mulai tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Sehingga jika bertemu dengan etnik Tionghoa merekaakan menjaga jarak. Di samping itu, etnik Tionghoamasih tetap dicurigai memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan.Masyarakat merasa was-was dan menjaga sikap jika bertemu dengan etnik Tionghoa.

Dampak dari fenomena yang demikian akan memunculkan streotip pada masyarakat, Menurut Gerungan (sosiolog)stereotip merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan


(38)

54 orang–orang lain yang dikenai prasangka itu.Stereotip itu terus berkembang di tengah masyarakat sehingga istilah-istilah seperti “Orang Tionghoa komunis, Tionghoa

eksklusif, Tionghoa mata duitan..” terus berkumandang dari generasi ke generasi.

Bahkan tanpa ada komunikasi atau pergaulan dengan etnik Tionghoa, suatu generasi akan menerima stereotip tersebut sebagai suatu kebenaran yang turun-temurun. Begitu juga sebaliknya stereotip etnik Tionghoa terhadap etnik lain (pribumi), mereka

juga mempunyai beberapa jargon untuk orang pribumi, seperti “pribumi malas,

pribumi bodoh, pribumi miskin..”.48

Sejak peristiwa G30S etnik Tionghoa di Sidikalang sebagian memutuskan pindah ke luar kota ataupun ke luar negeri. Mereka merasa tidak nyaman tinggal di Sidikalang dengan segala macam tuduhan dan tekanan yang mereka terima.Namun sebagian memilih tetap tinggal dengan alasan Sidikalang sudah mereka anggap kampung halaman sendiri dan tentunya juga karena Sidikalang menjadi sumber peghasilan bagi mereka. Etnik Tionghoa ini sadar akan keberadaan mereka yang penuh dengan lika-liku, sehingga anak-anak mereka setelah tamat SMA kebanyakan di kirim ke luar negeri (Singapura, Cina dan lain-lain) untuk kuliah ataupun belajar

48

Bahkan sampai sekarang streotip tersebut masih tetap berkembang, terbukti saat penulis menanyakan pendapat beberapa masyarakat Sidikalang non-Tionghoa terhadap etnik Tionghoa, mereka langsung mengatakan Tionghoa (Cina) adalah komunis dan pemberontak dan masih segar dalam ingatan penulis bagaimana orang tua dulu mengatakan bahwa peristiwa G30S adalah perbuatan PKI dan semua orang yang terlibat ataupu dianggap komunis (disini termasuk etnik Tionghoa) harus dijauhi. Memang sejak peristiwa G30S rasa anti terhadap etnik Tionghoa terus meningkat, pemerintah dibawah pimpinan Soeharto membuat suatu cara untuk meredam anti-Tionghoa yang sudah menyebar di tengah rakyar Indonesia, maka pada tanggal 28 Oktober 1977 dibentuklah Badan Semi Pemerintah yaitu Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa disingkat Bakom PKB. Para pemimpin Bakom adalah Sindhunatha dan Harry Tjan Silalahi. Lihat Leo Suryadinata, op. cit., hal. 52.


(39)

55 bisnis. Setelah tamat atau sudah menikah mereka lebih memilih tinggal di luar negeri ataupun kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan dan Kalimantan yang mereka anggap lebih nyaman daripada kembali ke Sidikalang. Hal inilah yang mempengaruhi etnik Tionghoa kurang berkembang dari segi jumlah.49

Peristiwa G30S menjadi suatu peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia yang membawa luka tersendiri bagi beberapa pihak termasuk etnik Tionghoa.Satu peristiwa sejarah yang menyakitkan yang menciptakan keadaan yang semakin sulit antara etnik Tionghoa dengan non- Tionghoa (pribumi).Peristiwa tersebut memberi sebuah cacat bagi mereka dimata bangsa Indonesia, bahkan menjadi sebuah pupuk yang menumbuhkan rasa anti-Tionghoa di hati masyarakat Indonesia.Untungnya sentimen pada etnik Tionghoa dapat sedikit dibendung dengan adaptasi mereka melalui pernikahan campuran, pemakaian marga dan agama.50

49

Wawancara, Jamesli (59 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 05 Agustus 2015 dan Lau Li Ying (55 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 11 Agustus 2015. Di daerah lain etnik Tionghoa mengalami nasib lebih buruk, tahun 1966 demonstrasi besar di Indonesia di kedutaan besar dan consult jenderal RRC, serta media massa RRC ditambah dengan meningkatnya kekerasan anti-Tionghoa semakin memperburuk krisis diplomasi internasional. Pers berbahasa Mandarin sudah ditutup sejak awal Oktober 1965, demikian pula sekolah-sekolah Tionghoa pada Mei 1966.Pada bulan Mei 1966 diperkirakan 10.000 WNA Tionghoa diusir dari Lhokseumawe, Aceh. Laporan-laporan media menyatakan bahwa mereka dipaksa untuk berdiri di bawah sinar matahari selama berjam-jam dan tubuh mereka dicoret-coret dengan slogan anti-Tionghoa (Coppel, 1983:69), lihat Jemma Purdey,

op.cit., hal. 22-23. 50

Tidak hanya etnik Tionghoa yang mendapat sebutan „penjajah‟, etnik Toba sebagai

pendatang juga dianggap sebagai „penjajah‟ oleh etnik asli (Pakpak) karena dianggap telah „merebut‟

tanah Dairi. Perkembangan etnik Toba yang melampaui etnik Pakpak baik di bidang ekonomi, sosial maupun budaya telah membuat mereka mendapat julukan „penjajah‟ .


(40)

56

BAB IV

EKSISTENSI ETNIK TONGHOA DI KECAMATAN SIDIKALANG TAHUN 1967-2000

4.1 Politik Asimilasi Pemerintah Orde Baru

Kurang berterimanya masyarakat Indonesia untuk menempatkan etnik Tionghoa sebagai etnik yang sejajar dengan etnikPribumi tentu ada yang melatarbelakanginya.Salah satunya adalah faktor ekonomi yang terwujud dalamsebuah istilah yaitu kecemburuan sosial. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, posisi etnik Tionghoa adalah "anak emas" sekaligus "anak tiri" bangsa Indonesia (khususnya pada masa orde baru). Artinya, di satu sisi etnik Tionghoa diperlakukan sangat istimewa oleh pemerintah Indonesia, tetapi di sisi lain, pada saat yang sama etnik Tionghoa dipersulit dalam berbagai hal.51

Pemerintah melihat kesenjangan ekonomi yang terjadi antara etnik Tionghoa dengan pribumi yang terus meningkat dan membuat golongan pribumi resah. Pemerintah mulai memikirkan berbagai macam cara untuk membendung pertumbuhan etnik Tionghoa agar tidak terlihat perbedaan yang mencolok antara

51

Pada masa Orde Baru, pemerintah membuka peluang bagi etnik Tionghoa untuk mengembangkan usahanya. Untuk pengusaha besar pemerintah mengajak kerjasama untuk menanamkan modal sebesar-besarnyas sedangkan untuk pengusaha kecil pemerintah mempermudah mereka untuk mengembangkan usaha dengan cara mempermudah peminjaman modal dari Bank bagi setiap etnik Tionghoa yang ingin membuka dan mengembangkan usahanya. Namun di satu sisi, pemerintah mendiskriminasi etnik Tionghoa terutama dalam hal kebudayaan seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967.


(41)

57 etnik Tionghoa dengan pribumi baik di bidang sosial, ekonomi maupun budaya. Hal inilah yang menjadi latar belakang di keluarkannya berbagai macam kebijakan ataupun peraturan mengenai keberadaan etnik Tionghoa di seluruh Indonesia.52Selain itu menurut Leo, rezim Soeharto mencurigai hubungan yang dijalin komunitas Tionghoa di Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok.Karena itu, pemerintahan yang didominasi militer ini berusaha keras untuk menciptakan sebuah 'bangsa yang homogen' dengan model pribumi.untuk mencapai indigenisasi orang Tionghoa ini, pemerintahan Soeharto melumpuhkan tiga pilar kebudayaan Tionghoa yang cukup berkembang pada era 1960-an.

Pertama, melarang media-media berbahasa Tionghoa dan organisasi-organisasi Tionghoa baik politik maupun sosial budaya.Penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa pun dilarang oleh pemerintah.Kedua, menutup sekolah-sekolah Tionghoa di seluruh Indonesia. Ketiga, peraturan mengubah nama bagi orang Tionghoa dan larangan mengadakan perayaan hari-hari raya Tionghoa seperti tahun baru Imlek atau Cap Gomeh dan tradisi Tionghoa lain yang dilakukan di depan umum. Semua larangan tersebut dibuat dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967.Adapun isi instruksi tersebut adalah “Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Tionghoa yang memiliki

52

Dengan adanya keterbukaan penanaman modal asing yang mendorong terciptanya pasar bebas dan memunculkan dominasi Tionghoa dalam sektor perekonomian seiring dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terus membaik dan stabil.Namun keadaan perekonomian yang terus membaik itu, tidak disertai dengan perbaikan ekonomi bagi para pengusaha pribumi yang merasa justru dirugikan dalam hal ini.Maka muncul berbagai kritik-kritik maupun aksi-aksi yang berisi kecaman terhadap kebijakan kebijakan yang lebih memihak golongan Tionghoa, dan cenderung dianggap mematikan usaha perekonomian golongan pribumi.


(42)

58 aspek kultural pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan; perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Tionghoa dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, tetapi dilakukan dalam lingkungan keluarga”

Selain Inpres No.14tahun 1967, dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Tionghoa harus mengubah nama menjadi nama yang dianggap lebih Indonesia, misalnya Ling Ling menjadi Dewi Lestari. Selain itu, penggunaan bahasa Tionghoa pun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Berbagai macam kebijakan dibuat khusus untuk mengurus etnikTionghoa.Pemerintah Orde Baru menjalankan kebijakan dengan melakukan pembatasan terhadap kehidupan berbudaya, agama, sosial, politik maupun ekonomi masyarakat Indonesia termasuk terhadap etnik Tionghoa yang disinyalir terkait dengan komunis.Kebijakan politik pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa terfokus pada politik penghilangan identitas etnik Tionghoa atau disebut juga politik asimilasi.53

53

Biasanya asimilasi terjadi antara golongan mayoritas dan golongan minoritas, golongan minoritas menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas. Asimilasi (assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada: 1) golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda; 2) saling bergaul langsung secara intensif untuk jangka waktu yang relative lama; 3) kebudayaan-kebudayaan dari golongan-golongan tadi masing-masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran. Lihat Koentjaraningrat, 1980, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, hal. 269.


(43)

59

4.2 Adaptasi Etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang dalam menghadapi Politik Asimilasi Pemerintah Orde Baru

4.2.1 Agama, Kepercayaan dan Rumah Ibadah Etnik Tionghoa

Larangan pemerintah Orde Baru terhadap agama tradisional Tionghoa dan kewajiban menganut salah satu agama resmi negara menyebabkan agama tradisional Tionghoa mulai ditinggalkan. Sejak Tao, Kong Hu Cu dan aliran kepercayaan laiinya menjadi ajaran yang dilarang di Indonesia, banyak etnik Tionghoa yang memilih agama Budha, Hindu, Kristen, Katolik ataupun masuk Islam. Proses perpindahan agama ini dilakukan karena setiap warga negara Indonesia diwajibkan menganut salah satu agama resmi yang diakui negara. Jika tidak beragama, berarti tidak mematuhi Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.54

Berkurangnya praktek aliran kepercayaan seperti Tao dan Fe Kong dan lain-lain di Sidikalang selain-lain karena faktor dari luar (larangan pemerintah) juga dipengaruhi faktor dari dalam (dari etnik Tionghoa itu sendiri).Para generasi tua masih mempraktekkan/meneruskan kepercayaan tradisional tersebut kepada generasi muda. Namun pengetahuan mereka sendiri akan kepercayaan tersebut sudah semakin berkurang semakin ke bawah, pemahaman akan kepercayaan semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena mereka semakin jauh dari tanah kelahirannya dan juga jauh

54

Masalah agama di Indonesia diatur oleh Negara, ada 6 agama yang diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan khonghucu. Agama yang terakhir ini memang masih sering menjadi bahan perdebatan.Khonghucu dianggap bukan agama melainkan sebuah aliran kepercayaan.Namun pada dasarnya Khonghucu memang dibawa dan dipraktekkan oleh etnik Tionghoa.


(44)

60 dari orang-orang Tionghoa yang paham/menguasai serta mempraktekkan ajaran leluhur tersebut. Selain itu, pernikahan campuran dengan etnik lain yang memiliki agama berbeda juga menjadi penyebab beberapa etnik Tionghoa memeluk agama baru mengikuti agama istri yang mengakibatkan keturunan mereka tidak akan menerima ajaran leluhurnya secara utuh.

Orde Baru dengan politik asimilasinya menggunaan agama sebagai alah satu cara untuk menekan atau menghilangkan kepercayaan Tionghoa. Negara menjadikan agama sebagai salah satu alat untuk megontrol masyarakatnya. Pemerintah berharap etnik Tionghoa sebagai etnik asing juga dapat dikontrol melalui kebijakan larangan berkembangnya aliran kepercayaan yang telah mendarah daging dan menjadi identitas bagi etnik Tionghoa.

Tabel 4

Perbadingan Jumlah Penduduk Sidikalang Menurut Agama yang Dianut tahun 1995-2000

TAHUN

JUMLAH

TOTAL

Islam Protestan Katolik Hindu Budha

1995 14.550 32864 3433 116 261 51224

1996 14550 30974 3433 116 261 49334

1997 14535 31696 3480 - 387 50098

1998 14535 31696 3480 - 387 50098

1999 14563 31762 3484 - 392 50201

2000 23434 36020 3986 - 392 63832


(45)

61 Tabel diatas menunjukkan jumlah penduduk Sidikalang berdasarkan agama yang dianut dari tahun 1995-2000. Agama Kristen Protestan mendominasi tiap tahunnya, lebih dari setengah total jumlah penduduk Sidikalang menganut agama tersebut. Diurutan kedua terdapat agama Islam dengan jumlah yang cukup stabil tiap tahun yaitu sekitar 14.000-an, tetapi di tahun 2000 terjadi peningkatan yang cukup besar menjadi 23.434 jiwa.Selanjutnya agama Katolik ada pada urutan ke tiga, untuk jumlah tidak menunjukkan peningkatan yang drastis dari tahun ke tahun, angkanya selalu berkisar di 3.400-an, kecuali tahun terakhir terjadi sedikit peningkatan menjadi 3.986 jiwa.Sementara untuk agama Hindu, ada suatu perubahan jumlah yang sangat drastis. Setelah dua tahun berurut penganut agama Hindu berjumlah 116 jiwa, pada tahun 1997 jumlah tersebut menghilang menjadi 0 sampai tahun 2000. Sedangkan agama Budha justru mengalami peningkatan dari 261 jiwa menjadi 387 dan terus meningkat sampai tahun 2000 berjumlah 392 jiwa.

Tabel 5

Banyaknya Saran/Rumah Ibadah di Kecamatan Sidikalang tahun 1995-2000

TAHUN

JUMLAH

Mesjid Musholla

Gereja Protestan

Gereja

Katolik Vihara

1995 30 - 116 7 1

1996 19 6 116 6 1

1997 20 5 116 7 1

1998 20 5 116 7 1

1999 20 6 129 8 1

2000 28 8 95 6 1


(46)

62 Dari tabel 5 terlihat jelas bahwa jumlah rumah ibadah gereja Protestan mendominasi. Namun tahun 2000 terjadi penurunan, jumlah gereja yang tadinya berkisar ratusan menurun menjadi 95. Jumlah masjid juga mengalami penurunan dari 30 menjadi 20 sampai tahun 1999 dan bertambah menjadi 28 pada tahun 2000. Gereja Katolik tahun 1995 berkurang yaitu dari 7 berkurang menjadi 6, dua tahun berikutnya kembali menjadi 7 dan pada tahun 1999 menjadi 8 namun tahun 2000 berkurang menjadi 6. Sedangkan untuk musshola jumlahnya paling banyak berada di tahun 2000 yaitu 8 sebelumnya secara bururut berjumlah 6,5,5 dan 6. Kemudian rumah ibadah Vihara adalah satu-satunya yang tidak pernah mengalami perubahan, dari tahun1995-2000 jumlah vihara yang terdapat di Sidikalang hanya ada 1 saja.

Di Indonesia ajaran Konghucu dan Taoisme maupun aliran kepercayaan lainnya diharamkan dan dilarang berkembang, akibatnya kelenteng sebagai sarana

rumah ibadah kepercayaan etnik Tionghoa‟pun tak luput dari sasaran.Sebagai salah satu program asimilasi, Pemerintahan Soeharto berusaha mengubah kelenteng menjadi vihara, walaupun secara makna dan fungsi antara keduanya sangat berbeda. Kelenteng merupakan tempat ibadah yang digunakan oleh umat Konghucu dan Tao sedangkan vihara hanya diperuntukkan bagi umat Budha. Dengan kata lain ajaran Taoisme dan Konghucu harus berlindung dibalik agama Budha.55

55

Di Indoneia masalah agama menjadi urusan pemerintah, ada 6 agama yang diakui yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha daan Khong Hu Cu. Khong Hu Cu sendiri masih sering menjadi bahan perdebatan karena dianggap bukan agama melainkan sebuah aliran kepercayaan. Namun pada umunya Khong Hu Cu memamg dibawa dan dipraktekkan oleh etnik Tionghoa.


(47)

63 Di kecamatan Sidikalang kelenteng terdapat di desa Bintang yang sudah berdiri sangat lama, yaitu hampir sama sejak kedatangan mereka di Sidikalang. Sejak ada larangan pemerintah untuk aliran kepercayaan maka kelenteng berubah nama menjadi vihara (lihat tabel 5: tidak ada kata kelenteng tapi vihara), karena kelenteng merupakan tempat beribadah penganut aliran kepercayaan (Tao dan Konghucu). masyarakat Sidikalang sampai sekarang lebih sering menggunakan kata vihara daripada kelenteng jika menyebutkan rumah ibadah etnik Tionghoa.

Setelah terjadi berbagai peristiwa politik yang diduga melibatkan etnik Tionghoa (seperti peristiwa G30S), banyak diantara mereka yang memutuskan untuk keluar dari Sidikalang. Kelenteng yang dahulunya ramai dengan berbagai macam ritual ataupun untuk sembahyang semakin lama semakin berkurang. Mereka yang masih tinggal di Sidikalang merasa ragu-ragu, was-was untuk mengunjungi kelenteng. Selain itu fisik bangunan kelenteng pun menjadi kurang terawat.

Tidak hanya pada ajarannya, pemerintah juga membatasi pembangunan kelenteng-kelenteng di seluruh Indonesia, kelenteng hanya cukup di rawat tanpa ada pembangunan yang lebih besar.Meskipun etnik Tionghoa memilki uang dan berniat untuk membangun kelenteng yang lebih besar dan bagus, maka itu hanya sebatas angan-angan saja, mereka sudah harus cukup puas dengan kelenteng yang sudah ada


(48)

64 sejak dulu.Akibatnya pada masa Orde Baru banyak kelenteng di seluruh Indonesia yang kurang terawat dan tidak berkembang, termasuk kelenteng di desa Bintang.56

Hanya pada hari-hari tertentu, kelenteng ini mendapat banyak pengunjung. Misalnya saat Imlek dan Cap Gomeh akan banyak pengunjung yang datang ke kelenteng. Mereka ada yang datang dari luar kota seperti Medan, Berastagi, Siantar, Jakarta bahkan dari luar negeri. Mereka datang untuk sembahyang di kelenteng serta mengunjungi kuburuan leluhurnya, sebagian dari mereka adalah etnik Tionghoa yang dulu pernah tinggal di Sidikalang, meskipun mereka telah meninggalkan Sidikalang, tetapi mereka tidak melupakan kewajibannya untuk selalu jiarah ke makam leluhur.57

Di Sidikalang berkembang sebuah aliran kepercayaan yaitu Budha Maitreya atau disebut juga Ikuanisme atau I kuan Tao; sebuah aliran kepercayaan yang berasal dari Taiwan berkembang di Indonesia sekitar tahun 1950-an dan sudah berkembang di Sidikalang sejak tahun 1970. Ajaran Maitreya menekankan ajaran moral yang menggabungkan aliran Konfusianisme, Taoisme dan Budha.58

Di Indonesia aliran kepercayaan Budha Maitreya berkembang sebagai satuan dari agama Budha, padahal banyak pihak dari aliran kepercayaan lainnya seperti

56

Wawancara, Aseng (41 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 24 Agustus 2015, sejak tahun 1990 beliau bekerja sebagai kuli khusus membangun kelenteng dan kuburan Tionghoa.

57

Pengelola kelenteng ialah Bapak Jamesli, beliaulah yang bertanggung jawab atas kelenteng ini. Biasanya pihak kelenteng akan memperkerjakan beberapa orang untuk membersihkan dan merapikan kelenteng tersebut, mereka selalu menjaga suasana lingkungan kelenteng nyaman dan rapi.

58

Vihara Maitreya pertama didirikan di Malang tahun 1950. Di bawah pimpinan Tan Pik Ling, Buddha Maitreya berkembang pesat ke Surabaya, Jakarta, Medan, Bagansiapi-api, Pontianak dan kota lainnya di Indonesia. Di Taiwan, I kuan Tao atau Maitreya berdiri sendiri sebagai sebuah agama, berbeda dengan Indonesia yang mendombleng nama agama Budha.


(49)

65 Theravada, Mahayana dan Tantrayana menolak kepecayaan Maitrya sebagai bagian dari agama Budha. Menurut mereka ajaran-ajaran dan ritual-ritual dalam aliran ini tidak ada hubungannya dengan agama Budha. Pemakain label Budha pada aliran kepercayaan Maitreya lebih untuk alasan politis. Sebab tanpa label Budha aliran ini akan dianggap sebagai suatu agama baru dan akan dianggap malawan hukum sebab tidak termasuk dalam 6 agama resmi yang diakui pemerintah.

Adanya tekanan dari pemerintah Orba terhadap aliran kepercayaan membuat Budha Maitreya harus mampu beradaptasi, misalnya ada larangan penggunaan bahasa Mandarin maka liturgi dan upacara keagamaan dilaksanakan menggunakan bahasa Indonesia.Selain itu Vihara Budha Maitreya di Indonesia memiliki ciri khas yaitu

tercantum kalimat “Tuhan Maha Esa” di dalam ruangan tempat ibadah.

Aliran kepercayaan Budha Maitreya ini telah memiliki sebuah balai pendidikan yang bernama Balai Pendidikan Sad Paramita yang terletak di kelurahan Batang Beruh, Sidikalang. Di sinilah mereka akan dibina dan dibimbing mengenai Maitreya itu seperti apa. Pengunjung yang datang ke balai ini tidak hanya etnik Tionghoa yang berasal dari Sidikalang tetapi juga dari luar daerah seperti dari Medan, Berastagi, Pematang Siantar, Jakarta, Bandung dan kota-kota lainnya di Indonesia. Biasanya orang tua mereka akan mengirimkan anak-anaknya untuk belajar agama di balai tersebut untuk selama kurang lebih 5 bulan.


(50)

66 Balai ini jika dilihat dari luar terkesan tertutup, karena dikelilingi tembok tinggi dan gerbang yang selalu tertutup, terlihat seperti hanya sebuah rumah, padahal luas balai ini kurang lebih 2 ha, dengan segala macam fasilitas di dalam (disana telah tersedia asrama, ruang belajar, taman dan sarana untuk sembahyang). Hal ini dapat dipahami mengingat ketentuan pemerintah yang melarang aliran kepercayaan untuk berkembang di seluruh Indonesia.


(51)

67

Gambar 1

Kelenteng di desa Bintang kecamatan Sidikalang

Gambar 2

Balai Pendidikan Sad Paramita


(52)

68 4.2.2 Tradisi Ceng Beng dan Pemujaan Leluhur Etnik Tionghoa

Etnik Tionghoa mempunyai tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur (sebutannya kia hao atau filial piety, alias rasa hormat anak pada orang tua/leluhurnya) yang dikenal dengan Ceng Beng. Tradisi ini terus dlaksanakan bahkan pada masa Orde Baru yang sangat melarang segala yang berbau Tionghoa.Politik asimilasi pemerintah bertujuan untuk mengurangi atau menghapus segala budaya Tionghoa termasuk Ceng Beng.Akan tetapi dari sekian banyak hal yang berbau Tionghoa, Ceng Beng sepertinya menjadi salah yang sulit untuk hilangkan.

Begitu juga dengan etnik Tionghoa yang di Sidikalang, mereka masih menjalankan tradisi Ceng Beng tersebut. Pada hari Ceng Beng ini, yang jatuh pada tanggal 5 April untuk setiap tahunnya, mereka datang ke makam atau kuburan orang tua untuk membersihkannya dan sekalian bersembahyang di makam sambil membawa buah-buahan, kue-kue, makanan, dan karangan bunga. Selain itu hari Ceng Beng juga dirayakan dengan caramembakar uang-uangan, sembayang dan membersihkan kuburan, lembaran kertas ditaruh di atas kuburan.

Pesan Moral Perayaan Ceng Beng terkait dengan pilar-pilar budaya Tionghoa yaitu penghormatan leluhur, makanan, kekerabatan, keselarasan dan harmoni, setia, berbakti, dan juga kebersamaan.Dan hal itu tidak hanya ada pada Ceng Beng saja tapi tercermin pada semua ajaran Tionghoa yang ada.Dengan menghormati leluhur berarti kita harus menjaga sikap hidup kita agartidak mencoreng


(53)

69 nama leluhur. Melalui Ceng Beng ini kita menyadari bagaimana cara kita menghormati leluhur, caranya sederhana yaitu berikanlah kontribusi positif pada lingkungan kita dan selalulah menjaga perilaku kita agar tidak memalukan para leluhur.

Sistem kekerabatan etnik Tionghoa memberikan pengaruh besar pada bertahannya tradisi pemujaan leluhur ini. Mereka memiliki tradisi yang harus dilaksanakan secara turun-menerun yaitu anak laki – laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Dimana pun dia berada maka ia harus tetap melaksanakan tanggung jawab itu. Makanya di rumah-rumah Tionghoa sering ditemukan rumah-rumah abu atau meja sembahyang leluhur.59

Pemujaan terhadap leluhur juga akan dilakukan saat terdapat perayaan atau kesusahan dalam keluarga. Perayaan keluarga adalah hal membahagiakan yang terjadi dalam keluarga, misalnya adanya kelahiran dalam keluarga atau adanya pernikahan.Kesusahan dalam keluarga misalnya menyangkut adanya kematian, penyakit dan musibah tak terduga dalam keluarga. Barang-barang yang dibutuhkan pada saat pemujaan leluhur, antara lain :

1. Papan Arwah

Biasanya papan arwah diletakkan di ruang tengah.Bentuk papan arwah bermacam-macam, yang paling umum adalah papan kecil berbentuk persegi panjang

59

Dari ke tiga rumah etnik Tionghoa yang penulis pernah kunjungi, ketiga-tiganya masih memiliki meja sembahyang lengkap dengan patung-patung dewa-dewinya.


(54)

70 yang terbuat dari kayu. Orang-orang biasanya akan meletakkan papan arwah di atas meja pendupaan biasa atau digantung di dinding. Tetapi saat ini sebagian besar menggunakan kertas merah untuk menggantikan papan kayu. Terhadap leluhur dalam keluarga yang telah meninggal, fotonya akan digantungkan di atas papan arwah atau langsung menggantungkannya di dinding

2. Dupa dan Lilin

Memulai pemujaan leluhur dengan menyalakan dua buah lilin merah, menandakan kemakmuran keturunan. Setelah menyalakan lilin, akan membakar dupa (hio). Secara umum, membakar dua dupa untuk memuja leluhur, sedangkan untuk memuja dewa membakar tiga dupa. Namun ada juga orang yang membakar tiga dupa, karena menganggap leluhur sama seperti dewa.

3. Uang Kertas

Uang kertas adalah „uang akhirat‟ yang disediakan untuk digunakan oleh orang yang telah meninggal.Di dunia, yang pertama dibutuhkan oleh orang adalah uang.Oleh karena itu, dalam pemujaan leluhur, sering ditemui pembakaran uang kertas.Mereka percaya bahwa uang kertas adalah uang yang digunakan orang yang telah meninggal di dunia akhirat.Hal ini menandakan bahwa mereka masih percaya kehidupan di dunia akhirat menyerupai kehidupan yang mereka jalani saat ini. Di sini membutuhkan uang, disana pun juga pasti membutuhkan. Oleh karena itu mereka berharap dengan membakar uang kertas, leluhur dapat memiliki kehidupan yang baik. 4. Makanan dan Minuman


(55)

71 Pemujaan leluhur tidak dapat dilakukan tanpa makanan.Menu makanan sembahyang leluhuryang paling sering dihidangkan adalah sansheng/samsiang, yakni suatu menu yang terdiri dari ayam, ikan dan daging babi (saat ini sebagai gani daging babi sering juga menggunakan daging sapi).Pada saat hari raya disediakan pula makanan khas seperti bakcang, kue bulan dan kue keranjang. Dalam menu makanan pemujaan juga disediakan nasi putih yang disediakan berdasarkan jumlah leluhur yang dipuja, sehingga leluhur masing-masing akan mendapatkan semangkuk nasi.Selain makanan pokok, pemujaan juga menggunakan buah-buahan dan sayur-sayuran segar. Makanan dan minuman yang disediakan untuk pemujaan leluhur, umumnya tidak hanya berdasarkan kebiasaan yang dulu, tapi juga disesuaikan dengan makanan dan minuman yang disukai oleh leluhur.

Pemerintah Orde Baru melarang adat dan istiadat etnis Tionghoa dilaksanakan didepan umum, mereka boleh melakukan aktivitas adat hanya sebatas dilingkungan keluarga saja.Sebagai contoh upacara pemakaman dan pernikahan etnik Tionghoa. 60 Masa ini upacara pemakaman dilakukan secara sederhana saja.Sebelumnya pemakaman etnik Tionghoa di Sidikalang memakai upacara adat

60

Etnik Tionghoa yang datang ke Sidikalang dengan berbagai macam status, ada yang sudah menikah dan ada juga yang belum. Jika mereka menikah dengan sesama etnik Tionghoa mereka akan melangsungkan pernikahan memakai adat mereka. Acara pernikahan itu biasanya dihadiri oleh keluarga atau kerabat saja.Budaya yang sangat berbeda menyebabkan masyarakat Sidikalang non-Tionghoa sulit menghadiri acara pernikahan mereka.Perayaan pernikahan dapat dikatakan terbatas hanya bagi kalangan mereka sendiri. Namun berbeda jika yang menikah ialah etnik Tionghoa dengan etnik lain, misalnya dengan Toba maka adat Toba juga akan digunakan. Biasanya sehari sebelum pesta adat Toba dilaksanakan, mereka akan melakukan adat Tionghoa. Pihak keluarga Toba akan mengikuti adat/ritual pernikahan yang telah ditentukan oleh keluarga Tinghoa. Begitu juga sebaliknya, keesokan harinya pesta denga adat Toba harus mereka ikuti.


(56)

72 yang mewah yaituadanya iring-iringan dari keluarga yang berduka disertai musik tradisional mereka dan juga anak-anak yang membawa bendera merah dan kuning. Sepanjang jalan dari rumah hingga ke tempat pemakaman yaitu kuburan khusus Tionghoa di desa Bintang mereka akan berdoa dan bernyanyi. Bagi pihak keluarga untuk menunjukkan kalau sedang berduka, mereka biasanya mengenakan pakaian berwarna putih dari bahan belacu (bahan yang murah).Untuk wanita biasanya mengenakan tutup kepala yang berbetuk kerucut dan berwarna putih dan untuk pria mengenakan ikat kepalakepala juga berwarna putih.61

Semenjak adanya larangan dari pemerintah hal tersebut tidak dijumpai lagi, adat dan budaya menjadi hanya untuk kalangan sendiri.Tidak boleh ditunjukkan didepan umum dan peraturan ini berlaku secara resmi di seluruh Indonesia. Namun jika yang meninggal ialah seorang etnik setempat yang memiliki suami atau istri Tionghoa maka proses penguburannya bisa menggunakan adat dan kepercayaan etnik setempat.

Adaptasi dan pembauran yang terjadi akhirnya memberikan unsur baru kepada kuburan etnik Tionghoa di Sidikalang. Ada yang berbeda antara kuburan etnik Tionghoa yang telah menganut agama Kristen, memakai marga Batak dan

61

Etnik Tionghoa merupakan salah satu suku yang sangat menghargai siklus kehidupan.Bagi masyarakat Tionghoa, lahir, tua, sakit dan mati adalah hal yang harus dilalui semua orang. Menurut masyarakat Tionghoa, kematian merupakan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat Tionghoa yang menganggap bahwa kematian merupakan sesuatu yang buruk meskipun mereka meyakini adanya kehidupan setelah kematian yang dikenal dengan istilah Reinkarnasi.


(57)

73 melakukan pernikahan campuran dengan kuburan etnik Tionghoa yang belum

„tercampur‟ dengan etnik lain. Beberapa kuburan yang merupakan hasil asimilasi tersebut memiliki beberapa perbedaan yang mendasar seperti bentuk dan ukuran kuburan yang lebih kecil, tulisan-tulisan yang terdapat di dinding sudah memakai bahasa Indonesia dan Toba serta beberapa kuburan yang sudah tidak memakai meja sesajen lagi.62

4.2.3 Perayaan Imlek dan Cap Gomeh

Pada tahun 1950-an saat imlek, etnik Tionghoa di Sidikalang akan menyelenggarakan pertunjukkan Barongsai di lapangan besar (di samping Gedung Nasional sekarang). Biasanya Barongsai di sewa dari luar kota Sidikalang khusus untuk memeriahkan imlek. Selama pertunjukan, lapangan akan dipadati masyarakat Sidikalang non-Tionghoa, mereka tertarik untuk melihat pertunjukan yang masih

tergolong “baru” tersebut.63

Namun menjelang pemerintahan Orde Baru, perayaan Imlek tidak diperbolehkan dilakukan secara terbuka, tidak boleh ada bentuk perayaan seperti

62

Wawancara, Aseng (41 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 24 Agustus 2015 menyatakan bahwa sebenarnya pemakaman Tionghoa tidak boleh digunakan oleh etnik atau agama lain. Pemakaman itu khusus untuk mereka, karena itu dianggap bertentangan dan akan mengganggu kenyamanan dipemakaman. Kita tahu mereka sangat menghormati leluhurnya yang sudah meninggal.

63

Wawancara, S. Sihombing (81 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 25 Austus 2015, selain saat saat Imlek petunjukan Barongsai juga diselenggarakan pada perayaan ulang tahun kemerdekaan RI. Barongsai akan menjadi salah satu acara hiburan saat acara 17-an bersama dengan pertunjukan lannya (tarian daerah, panjat pinang, balap karung dan lain-lain). Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Gomeh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama).Malam tahun baru imlek dikenal sebagai malam pergantian tahun.


(58)

74 pertunjukan Barongsai dan pertunjukan lainnya yang menunjukkan budaya Tionghoa. Pemerintah tidak mengeluarkan ijin untuk mereka karena dianggap sama saja memberikan kesempatan kepada etnik Tionghoa untuk mempertahankan budayanya. Sementara pemerintah menginginkan asimilasi total, dimana etnik Tionghoa diharapkan akan meninggalkan budaya dan terserap pada budaya masyarakat Indonesia.

Maka pada saat itu, perayaan Imlek di Sidikalang dilakukan di Vihara dan dirumah. Tidak ada perayaan besar seperti Barongsai, kembang api, petasan dan acara hiburan lainnya. Semua dilakukan secara tertutup dan hati-hati.Namun meskipun keadaan tidak mendukung, mereka tidak pernah melewatkan Imlek dan Cap Gomeh.

Etnik Tionghoa yang telah menganut agama Kristen ataupun Katolik juga tetap ikut merayakan. Biasanya mereka tetap akan ke Vihara dan ikut sembahyang, dirumah mereka tetap sediakan berbagai macam kue khas Imlek seperti kue keranjang, mie panjang umur, bihun, bakmi goreng, samsiang, Tanghun (sup ikan dan sup daging), buah-buahan, arak dan lain-lain. Imlek juga menjadi moment penting karena seluruh keluarga akan berkumpul. Sejauh apapun mereka merantau pada imlek mereka akan pulang ke Sidikalang untuk mengunjungi keluarga dan makam leluhur. mereka akan merayakan Imlek bersama dengan sembahyang serta serangkaian acara kecil lain.64

64Wawancara

, Lau Li Ying (55 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 11 Agustus 2015, semenjak ada larangan dari pemerintah, masyarakat Sidikalang merayakan Imlek dengan lebih


(1)

xi lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.

Intervensi : Campur tangan dalam perselisihan antar dua pihk (orang, golongan, negara dan sebagainya).

Isu :Kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya; kabar angin; desas-desus

Konflik : Percekcokan, perselisihan, pertentangan. Definisi konflik menurut sosiologis adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Kebudayaan : Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Manufaktur : Membuat atau menghasilkan dengan tangan atau mesin; proses mengubah bahan mentah menjadi barang untuk dapat digunakan atau dikonsumsi oleh manusia.

Melting pot :Daerah percampuran berbagai etnik.

Mengklaim : Meminta atau menuntut pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang (suatu organisasi, perkumpulan, negara, dan


(2)

xii sebagainya) berhak memiliki atau mempunyai hak atas sesuatu: menyatakan suatu fakta atau kebenaran sesuatu

Migran : Orang yang melakukan migrasi. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat (negara dan sebagainya) ke tempat (negara dan sebagainya) lain untuk menetap.

Multikulturalisme : Berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya), multikulturalisme adalah merupakan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur).

Nyungsung : Memuja

Onderdistrik :Daerah kecamatan

Peranakan : Sebuah istilah untuk menunnjuk orang-rang Tionghoa yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia yang kebudayaannya telah dipengaruhi oleh Indonesia. orang- orang peranakan memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan umumnya telah hilang kepandaian menggunakan bahasa Tionghoa

PKI : Partai Komunis Indonesia, didirikan pada tahun 1920 kemudian dilarang pada tahun 1027. Muncul kembali setelah


(3)

xiii Indonesia merdeka dan dibubarkan pada tahun 1965sehubungan dengan peristiwa G-30-S

Portir : Penjaga pintu (di pabrik, stasiun kereta api, kantor, dan sebagainya)

Prasangka : Kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yangmemiliki kekurangan kemampuan fisik (Daft, 1999).

Pribumi : Penduduk asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan; Rading tanoh : Tanah pemberian orangtua kepada putrinya yang menikah Streotip : Pemberian sifat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok

orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif,hanya karena ia berasal dari suatu kelompok tertentu (ingroup atau out group), yang bisa bersifat positif maupun negative. (Amanda G., 2009).

Totok : Istilah ini dignakan untuk menunjuk orang Tionghoa yang lahir di Cina dan masih berbahasa Cina. Kebanyakan mereka adalah migrant yang dalam abad ke 20.Keturunan mereka yang lahir sebelum PD II masih berkebudayaan totok tetapi yang lahiar setelah ditutupnya sekolah Cina mereka sudah lebih mirip peranakan.


(4)

xiv Ulos : Selendang tenunan Batak, biasa dipakai dalam upacara adat (pernikahan, memasuki rumah, kelahiran, kematian, dan sebagainya).

Zending : Pekabaran Injil; usaha-usaha menyebarkan agama Kristen; badan-badan penyelenggara (misi) penyebaran agama Kristen


(5)

xv DAFTAR TABEL

Tabel 1Jumlah Penduduk Sidikalang Murut Suku Bangsa Per 10 tahun ... ……….………...…...25 Tabel 2 Sarana Rumah Ibadah di Kecamatan Sidikalang………..……31 Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Agama yang Dianut………..………31 Tabel 4 perbandingan Jumlah Penduduk Sidikalang dari Tahun 1995-2000…....60 Tabel 5 Banyaknya Sarana/Rumah Ibadah di Kecamatan Sidikalang tahun………


(6)

xvi DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kelenteng di Desa Bintang Kecamatan Sidikalang ………...……….….67 Gambar 2 Balai Pendidikan Sad Paramita ……….………..67 Gambar 3 KuburanTionghoa Asli………...………...…….………….……75 Gambar 4 Kuburan Hasil Asimilasi Antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Toba …..………..75