Metode Simple Additive Weighting dan Profile Matching dalam Pemilihan Lahan Tembakau (Studi Kasus: PTPN II – Kebun Bulu Cina)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Sistem Pendukung Keputusan

Istilah sistem pendukung keputusan pertama kali digagas oleh P.G.W Keen, seorang
akademisi Inggris yang kemudian melanjutkan karir di USA. Pada tahun 1978 Keen
dan Scott Morton menerbitkan sebuah buku dengan judul Decision Support Systems :
An Organisation Perspective. Dimana dalam buku tersebut mereka menyebutkan
bahwa sistem komputer berdampak pada keputusan yang akan dibuat, karena
komputer dan analisis merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan dalam
menetapkan sebuah keputusan (Power, 2009).
Sistem pendukung keputusan adalah sebuah sistem yang efektif dalam
membantu mengambil suatu keputusan yang kompleks, sistem ini menggunakan
aturan-aturan pengambilan keputusan, model analisis, database yang komprehensif
dan pengetahuan dari pengambil keputusan itu sendiri (Janakiraman, 1999).

2.1.1. Syarat sistem pendukung keputusan
Menurut Bidgoli (1989) syarat dari sebuah sistem keputusan adalah :
1. Memerlukan perangkat keras

2. Memerlukan perangkat lunak
3. Memerlukan manusia (perancang dan pengguna)
4. Dirancang untuk mendukung sebuah pengambilan keputusan
5. Harus dapat membantu pengambil keputusan pada setiap level keputusan
6. Menekankan masalah tidak terstruktur dan semi terstruktur

Universitas Sumatera Utara

7

2.1.2. Komponen sistem pendukung keputusan
Sistem Pendukung Keputusan terdiri dari empat subsistem (Turban, 2005), yaitu:
1. Manajemen Data, meliputi basis data yang berisi data-data yang relevan
dengan keadaan dan dikelola oleh perangkat lunak yang disebut Database
Management System (DBMS).
2. Manajemen Model, berupa sebuah paket perangkat lunak yang berisi modelmodel finansial, statistik, management science, atau model kuantitatif yang
menyediakan kemampuan analisa dan perangkat lunak manajemen yang
sesuai.
3. Subsistem Dialog, merupakan subsistem yang dipakai oleh user untuk
berkomunikasi dan memberi perintah (menyediakan user interface).

4. Manajemen Knowledge, yang mendukung subsistem lain atau berlaku sebagai
komponen yang berdiri sendiri.

Berdasarkan komponen sistem keputusan yang telah dijelaskan, berikut
diberikan penggambaran mengenai komponen sistem pendukung keputusan pada
Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Komponen Sistem Pendukung Keputusan

Berdasarkan Gambar 2.1. dapat dikatakan bahwa sistem pendukung keputusan
harus mencakup tiga komponen utama dari DataBase Management System (DBMS),
Model-Base Management System (MBMS) dan antarmuka pengguna. Subsistem

Universitas Sumatera Utara

8

manajemen berbasis pengetahuan adalah opsional, tetapi dapat memberikan banyak
manfaat karena dapat memberikan intelegensi bagi ketiga komponen utama tersebut.


2.1.3. Karakteristik sistem pendukung keputusan
Adapun karakteristik dari suatu sistem pendukung keputusan (Suryadi, 1998) adalah
sebagai berikut:
1. Mendukung seluruh kegiatan organisasi
2. Mendukung beberapa keputusan yang saling berinteraksi
3. Dapat digunakan berulang kali dan bersifat konstan
4. Terdapat dua komponen utama, yaitu data dan model
5. Menggunakan baik data eksternal dan internal
6. Memiliki kemampuan what-if analysis dan goal seeking analysis
7. Menggunakan beberapa model kuantitatif

2.1.4. Kriteria sistem pendukung keputusan
Sistem Pendukung Keputusan (SPK) merupakan sebuah sistem yang memiliki kriteria
sebagai berikut (Turban, 1995):
1. Penggunaan model, komunikasi antara pengambil keputusan dan sistem
terjalin

melalui

model-model


matematis,

jadi

pengambil

keputusan

bertanggung jawab membangun model matematis berdasarkan permasalahan
yang dihadapinya.
2. Berbasis komputer, sistem ini mempertemukan penilaian manusia (pengambil
keputusan) dengan informasi komputer. Informasi komputer ini dapat berasal
dari perangkat lunak komputer yang merupakan implementasi dari metode
numeris untuk permasalahan matematis yang bersangkutan.
3. Fleksibel, sistem harus dapat beradaptasi terhadap timbulnya perubahan pada
permasalahan yang ada. Jadi pengambil keputusan harus dibolehkan untuk
melakukan perubahan pada model yang telah diberikannya kepada sistem,
ataupun memberikan model yang baru.
4. Interaktif dan mudah digunakan, pengambil keputusan bertanggung jawab

untuk menentukan apakah jawaban yang diberikan oleh sistem memuaskan
atau tidak. Bagaimanapun juga sistem bertugas mendukung, bukan
menggantikan pengambil keputusan. Jadi sistem harus memiliki kemampuan

Universitas Sumatera Utara

9

interaktif: pengambil keputusan harus diijinkan untuk menjelajahi alternatif
jawaban dengan cara memvariasi parameter-parameter yang ada pada sistem.

2.1.5. Tahap-tahap dalam pengambilan keputusan
Tahapan-tahapan dalam pengambilan keputusan menurut Basyaib (2006) adalah :
1. Intelijen
a) Pembentukan persepsi terhadap situasi yang dihadapi.
Ialah mengenali situasi keputusan dan pendefinisian karakteristik
utama yang ada pada situasi tersebut.
b) Membangun model yang mewakili situasi.
Sebuah


model

merupakan

kendaraan

yang

membantu

dalam

mengestimasi hasil yang mungkin terjadi dari sebuah situasi keputusan.
c) Penentuan ukuran kuantitatif terhadap biaya (disbenefits) dan manfaat
yang paling tepat untuk situasi yang dihadapi.
Sistem ukuran seragam yang akan digunakan dalam membandingkan
alternatif langkah keputusan.

2. Desain
Penentuan dengan spesifik alternatif yang dimiliki dengan mengenali dan

merumuskan dengan jelas langkah – langkah yang mungkin dilakukan.
3. Pilihan
a) Evaluasi manfaat dan biaya (disbenefits) dari semua langkah alternatif.
Ialah penilaian akibat penerapan setiap langkah alternatif dengan
menggunakan ukuran biaya dan manfaat.
b) Menetapkan kriteria dalam memilih langkah terbaik.
Adalah penetapan peraturan dengan mengaitkan hasil dengan tujuan
pembuatan keputusan.
c) Penyelesaian situasi keputusan.
Ialah mengambil sebuah langkah dengan dasar kriteria yang dapat
diterima.

Universitas Sumatera Utara

10

2.2. Fuzzy Multiple Attribute Decision Making (FMADM)

Fuzzy Multiple Attribute Decision Making (FMADM) adalah suatu metode yang
digunakan untuk mencari alternatif optimal dari sejumlah alternatif dengan kriteria

tertentu. Inti dari FMADM adalah menentukan nilai bobot untuk setiap atribut,
kemudian dilanjutkan dengan proses perankingan yang akan menyeleksi alternatif
yang sudah diberikan. Pada dasarnya, ada 3 pendekatan untuk mencari nilai bobot
atribut, yaitu pendekatan subyektif, pendekatan obyektif dan pendekatan integrasi
antara subyektif & obyektif. Masing- masing pendekatan memiliki kelebihan dan
kelemahan. Pada pendekatan subyektif, nilai bobot ditentukan berdasarkan
subyektifitas dari para pengambil keputusan, sehingga beberapa faktor dalam proses
perankingan alternatif bisa ditentukan secara bebas. Sedangkan pada pendekatan
obyektif, nilai bobot dihitung secara matematis sehingga mengabaikan subyektifitas
dari pengambil keputusan. ( Kusumadewi, 2006).
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah
FMADM, antara lain (Kusumadewi, 2006):
a. Simple Additive Weighting (SAW)
b. Weighted Product (WP)
c. ELECTRE
d. Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)
e. Analytic Hierarchy Process (AHP)

2.3. Metode Simple Additive Weighting (SAW)


Metode Simple Additive Weighting (SAW) sering juga dikenal dengan istilah metode
penjumlahan terbobot. Konsep dasar metode SAW adalah mencari penjumlahan
terbobot dari rating kinerja pada setiap alternatif pada semua atribut. Metode SAW
membutuhkan proses normalisasi matriks keputusan (X) ke suatu skala yang dapat
diperbandingkan dengan semua rating alternatif yang ada (Rahman, 2014).

2.3.1. Langkah-langkah penyelesaian
Adapun langkah penyelesaian dalam menggunakan metode Simple Additive Weighting
adalah (Kusumadewi, 2006):

Universitas Sumatera Utara

11

1. Menentukan alternatif, yaitu Ai.
2. Menentukan kriteria yang akan dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan,
yaitu Cj.
3. Memberikan nilai rating kecocokan setiap alternatif pada setiap kriteria.
4. Menentukan bobot preferensi atau tingkat kepentingan (W) setiap kriteria.
W = [W1, W2, W3, … , WJ] ...................................(1)

5. Membuat tabel rating kecocokan dari setiap alternatif pada setiap kriteria.
6. Membuat matrik keputusan (X) yang dibentuk dari tabel rating kecocokan dari
setiap alternatif pada setiap kriteria. Nilai X setiap alternatif (Ai) pada setiap
kriteria (Cj) yang sudah ditentukan, dimana, i= 1, 2, …m dan j= 1, 2, …n.
[

]

...................................(2)

7. Melakukan normalisasi matrik keputusan dengan cara menghitung nilai rating
kinerja ternomalisasi (rij) dari alternatif Ai pada kriteria Cj.
{

...................................(3)

Keterangan :
a. Kriteria keuntungan (benefit) apabila nilai memberikan keuntungan bagi
pengambil keputusan, sebaliknya kriteria biaya (cost) apabila menimbulkan
biaya bagi pengambil keputusan.

b. Apabila berupa kriteria keuntungan (benefit) maka nilai dibagi dengan nilai
dari setiap kolom, sedangkan untuk kriteria biaya (cost), nilai dari setiap
kolom dibagi dengan nilai

.

8. Hasil dari nilai rating kinerja ternomalisasi (rij) membentuk matrik
ternormalisasi (R).
[

]

...................................(4)

9. Hasil akhir nilai preferensi (Vi) diperoleh dari penjumlahan dari perkalian
elemen baris matrik ternormalisasi (R) dengan bobot preferensi (W) yang
bersesuaian elemen kolom matrik (W).


...................................(5)

Universitas Sumatera Utara

12

Hasil perhitungan nilai Vi yang lebih besar mengindikasikan bahwa alternatif
Ai merupakan alternatif terbaik menurut perhitungan metode Simple Additive
Weighting.

2.4. Metode Profile Matching

Profile Matching adalah salah satu dari metode dalam pengambilan keputusan yang
mekanismenya mengasumsikan bahwa terdapat tingkat variabel prediktor yang ideal
yang harus dimiliki oleh pegawai. Bukannya tingkat minimal yang harus dipenuhi
atau dilewati (Kusrini, 2007). Dalam Profile Matching pegawai yang bisa
dipromosikan untuk menduduki suatu jabatan (kenaikan jabatan) adalah pegawai yang
paling mendekati profil ideal (Ekasari, 2010).

2.4.1. Langkah-langkah penyelesaian
Langkah-langkah dalam melakukan metode ini adalah (Khoiruddin, 2011):
1. Menentukan tujuan dan alternatif yang akan dipilih
2. Menentukan aspek dan subaspek yang digunakan untuk penilaian
3. Melakukan pemetaan GAP
GAP yang dimaksud adalah perbedaan antara profil jabatan dengan profil
karyawan atau bisa ditunjukkaan pada rumus di bawah ini:
GAP = Profil Pribadi – Profil

...................................(8)

4. Melakukan perhitungan core factor dan secondary factor
Setelah menentukan bobot nilai gap untuk ketiga aspek, yaitu aspek kapasitas
intelektual, sikap kerja, dan perilaku dengan cara sama, setiap kriteria atau
aspek dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok core factor dan
secondary factor.
a.

Perhitungan core factor menggunakan rumus dibawah ini:


dimana:



...................................(9)

NRC = Nilai rata-rata core factor tiap aspek
NC

= Jumlah total nilai core factor tiap aspek

IC

= Jumlah item tiap aspek

Universitas Sumatera Utara

13

b.

Untuk menghitung nilai Secondary Factor digunakan rumus:


dimana:

c.



...................................(10)

NRS

= Nilai rata-rata secondary factor tiap aspek

NS

= Jumlah total nilai secondary factor tiap aspek

IS

= Jumlah item tiap aspek

Untuk menghitung nilai total digunakan rumus:
60% (CF) + 40% (SF)

...................................(11)

5. Perhitungan Nilai Total
Dari hasil setiap aspek di atas berikutnya dihitung nilai total berdasakan
presentasi dari nilai core factor dan secondary factor yang diperkirakan
berpengaruh terhadap kinerja tiap-tiap profil.
6. Perhitungan Nilai Ranking
Hasil akhir dari proses Profile Matching adalah ranking dari kepribadian yang
dominan dari setiap alternatif. Penentuan ranking mengacu pada hasil
perhitungan tertentu. Perhitungan tersebut dapat ditunjukkan pada rumus :
Ranking = A% (K1) + B%(K2) + C% (K3) + D%(K4) + E%(K5) + F% (K6)
+ G%(K7) + H% (K8) ...................................(12)
Dimana :
K = nilai kriteria

2.5. Sejarah Perkebunan Tembakau Deli di Bulu Cina

Tahun 1864-1872 merupakan tahap awal memperkenalkan tanaman tembakau Deli
yang dipelopori J. Nienhuys. Tahap selanjutnya tahun 1873-1884 merupakan tahap
perkembangan yang penuh dari tanaman tembakau Deli. Pada tahun 1882, Kebun
Bulu Cina dibuka untuk penanaman tembakau secara aktif. Bangkitnya nilai untuk
komoditi tembakau Deli, membuat bukan saja kawasan Bulu Cina strategis dan cocok
untuk ditanami tembakau Deli, tetapi kawasan sekitar Bulu Cina juga dibuka untuk
penanaman tembakau Deli (Hutahaean, 2013). Berikut terdapat peta perkebunan Bulu
Cina (Agustina, 2013) yang terlampir di dalam Gambar 2.2.

Universitas Sumatera Utara

14

Gambar 2.2. Peta Perkebunan Bulu Cina (Sumber: PTPN 2 Kebun Bulu Cina)

Pada tahun 1909 Kebun Bulu Cina mendapat tanah konsesi seluas 11.325
bidang, tetapi lahan yang telah digarap untuk penanaman tembakau hanya seluas 415
m². Tanah yang cukup luas ini yang dimiliki oleh Kebun Bulu Cina dikerjakan oleh
para tenaga kerja, yang terdiri dari tenaga kerja tetap dan tenaga kerja kontrak. Hasil
yang diperoleh dari perkebunan ini di tahun 1910 sebanyak 4350 pikul. Namun pada
tahun 1911 hasil produksi tembakau Deli menurun menjadi 4.300 pikul. Menurunnya
produksi tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap proses produksi tembakau di
perkebunan Bulu Cina, karena di dalam memproduksi tembakau Deli pasti mengalami
fluktuasi (naik-turunnya) hasil produksi. (Hutahaean, 2013).

Universitas Sumatera Utara

15

2.6. Karakteristik dan Kualitas Lahan Tembakau

Faktor jenis lahan sangat ditentukan oleh kualitas lahan dan karakteristik lahan.
Kualitas lahan kemungkinan berperan positif dan negatif terhadap penggunaan lahan
tergantung dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan positif tentu yang sifatnya
sangat menguntungkan bagi suatu penggunaan, misalnya untuk tanaman tembakau.
Sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif karena keberadaanya akan merugikan
terhadap penggunaan tertentu, bisa merupakan faktor pembatas atau penghambat
(Siswanto, 2004).
Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau atribut yang bersifat kompleks
dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan yang berpengaruh
terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau
lebih karakteristik lahan. Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara
langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik
lahan (FAO, 1976).
Kualitas lahan yang berhubungan dan berpengaruh terhadap hasil atau
produksi tanaman di dalam FAO (1976), antara lain terdiri atas: ketersediaan air,
ketersediaan hara, ketersediaan oksigen dalam zona perakaran, kondisi dan sifat fisik
dan morfologi tanah, kemudahan lahan untuk diolah, salinitas dan alkalinitas,
toksisitas tanah (misalnya aluminium, pirit), ketahanan terhadap erosi, hama dan
penyakit tanaman yang berhubungan dengan kondisi lahan, bahaya banjir, rezim
temperatur, energi radiasi, bahaya unsur iklim terhadap pertumbuhan tanaman (angin,
kekeringan), dan kelembaban udara yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Karakteristik lahan merupakan sifat lahan yang dapat diukur atau diduga.
Menurut FAO (1976), karakteristik lahan terdiri atas:
a. Karakteristik tunggal, misalnya total curah hujan, kedalaman tanah, lereng dan lain
lain.
b. Karakteristik majemuk, misalnya permeabilitas tanah, drainase, kapasitas tanah
menahan air dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

16

2.7. Penelitian Terdahulu

Berikut beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang diangkat
oleh penulis, diantaranya:
1. Alfi Rahman (2014) membuat penelitian dengan judul Implementasi Metode
Simple Additive Weighting (SAW) dan Profile Matching dalam Menentukan
Pejabat Struktural pada Pemerintah Kota Tebing Tinggi, menyimpulkan bahwa
waktu penyelesaian perhitungan proses pada metode Simple Additive Weighting
yaitu 1.0183 detik, lebih cepat dari metode Profile Matching yaitu 1.0434 detik
dan pada metode Simple Additive Weighting profil pegawai terbaik bisa menjadi
solusi terbaik sedangkan pada metode Profile Matching profil pegawai yang
mendekati profil jabatan ideal yang menjadi solusi terbaik tidak harus profil
pegawai yang terbaik (Rahman, 2014).
2. Ibrahim Ahmad Harahap (2014) membuat penelitian dengan judul Implementasi
Perbandingan dengan Metode Profile Matching dan Simple Additive Weighting
(SAW) dalam Penilaian Kinerja Karyawan (Studi Kasus Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Sumatera Utara), menyimpulkan bahwa metode Simple
Additive Weighting memperoleh hasil penilaian dua kali sama dengan hasil
penilaian yang dilakukan oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Provinsi Sumatera
Utara sehingga terbukti lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan metode
Profile Matching dalam kasus ini (Harahap, 2014).
3. Sartana Fitra Amir (2011) membuat penelitian dengan judul Analisis dan
Perancangan Sistem Pendukung Keputusan Menggunakan Model Simple Additive
Weighting untuk Seleksi Penerima Beasiswa Bidik Misi Universitas Sumatera
Utara, menyimpulkan bahwa pada model Simple Additive Weighting menggunakan
metode MADM dan FMADM, setiap kriteria dianggap independen dan tidak
saling mempengaruhi satu sama lain sehingga diharapkan agar menambahkan
beberapa kriteria yang dapat saling melengkapi dan mempengaruhi satu sama lain
dan menggabungkannya dengan metode Multi-Attribute Utility Theory (MAUT)
(Amir, 2011).

Universitas Sumatera Utara