Identitas Diri Dalam Komunitas Punks (Studi Kasus Identitas Diri Anak Punk Yang Sudah Bekerja Dalam Konteks Komunikasi Antarpribadi Pada Komunitas Punks Di Kota Medan)

29

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Paradigma Konstruktivisme
Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivisme yang diharapkan
dapat menggambarkan hubungan interaksi sosial di dalamnya. Konstruktivisme,
satu di antara paham yang menyatakan bahwa positivisme dan postpositivisme
merupakan paham yang keliru dalam mengungkapkan realitas dunia. Karena itu,
kerangka berpikir kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan
paham yang bersifat konstruktif. Paradigma ini muncul melalui proses yang cukup
lama setelah sekian generasi ilmuwan berpegang teguh pada paradigma
positivisme. Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak tiga
prinsip dasar positivisme: (1) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas; (2)
hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan; (3) hasil
temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu dan
tempat yang berbeda.
Pada awal perkembangannya, paradigma ini mengembangkan sejumlah
indikator sebagai pijakan dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan
ilmu. Beberapa indikator itu antara lain: (1) penggunaan metode kualitatif dalam

proses pengumpulan data dan kegiatan analisis data; (2) mencari relevansi
indikator kualitas untuk mencari data lapangan; (3) teori-teori yang dikembangkan
harus bersifat natural (apa adanya) dalam pengamatan dan menghindarkan diri
dengan kegiatan penelitian yang telah diatur dan bersifat serta berorientasi
laboratorium; (5) pola-pola yang diteliti dan berisi kategori-kategori jawaban

Universitas Sumatera Utara

30

menjadi unit analisis dari variabel-variabel penelitian yang kaku dan steril; (6)
penelitian lebih bersifat partisipatif dari pada mengontrol sumber-sumber
informasi dan lain-lainnya (Muslih, 2004: 34).
Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi
yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya.
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan
bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya.
Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang
kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang
melihat sesuatu (Morissan, 2009:107)

Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial
dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari
masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan
secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat
bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis.
Karena itu, paham ini menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu
fenomena alam atau sosial. Jika tujuan penemuan ilmu dalam positivisme adalah
untuk

membuat

generalisasi

terhadap

fenomena

alam

lainnya,


maka

konstruktivisme lebih cenderung menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam
bentuk pola teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja,
bersifat sementara, lokal dan spesifik. Dengan pernyataan lain, bahwa realitas itu
merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan
spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Karena itu suatu realitas

Universitas Sumatera Utara

31

yang diamati seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti
yang biasa dilakukan kalangan positivis atau postpositivis.
Sejalan dengan itu, secara filosofis, hubungan epistemologis antara
pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan, subjektif dan
merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya. Sementara secara
metodologis, paham ini secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan
di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya (natural) untuk

menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur
tangan dan manipulasi pengamat atau pihak penelitian. Dengan setting natural ini,
maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode kualitatif daripada
metode kuantitatif.
Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya,
dalam bentuk hipotesis bagaimana dalam penelitian kuantitatif. Untuk itu
pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeneutik dan dialektik yang
difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial.
Metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi
pendapat dari orang-perorang, sedangkan metode kedua mencoba untuk
membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang-perorang yang diperoleh
melalui metode pertama untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang
disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran
merupakan perpaduan pendapat yang bersifat reflektif, subjektif dan spesifik
mengenai hal-hal tertentu.

Universitas Sumatera Utara

32


Ditemukannya paradigma konstruktivisme ini dapat memberikan alternatif
paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus menandai
terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturanaturan ke model rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan
interpretasi mental. Konstruktivisme dapat melihat warna dan corak yang berbeda
dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu-ilmu sosial, yang
memerlukan intensitas interaksi antara penelitian dan objek yang dicermati,
sehingga akan berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut, etika, akumulasi
pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah (Muslih, 2004: 35-36).

2.2. Kajian Terdahulu

Adapun kajian-kajian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan tema
penelitian adalah sebagai berikut:
1)

Penelitian sebelumnya yang berjudul Identitas Diri Anggota Komunitas

Punk di Bandung, tesis oleh Dian Maria Sari, berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa terdapat tiga kategori identitas diri angggota komunitas punk,

yaitu identitas diri yang masih menjadi anggota komunitas punk, identitas diri
yang mulai merasa jenuh dan bimbang dalam komunitas punk, dan identitas diri
anggota komunitas punk yang sudah insaf. Identitas diri tersebut terdiri dari faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal berasal dari pola asuh orangtua, dan
faktor internal berasal dari latar belakang subjek.

Universitas Sumatera Utara

33

Identitas diri anggota komunitas punk di Bandung yaitu ingin menutupi
ketidakpuasan atau ketidakberdayaan hidup maupun perasaan inferior mereka
dalam bentuk penampilan yang superior dan unik di mata masyarakat. Anggota
komunitas punk tersebut juga ingin mengekspresikan kemarahannya melalui suatu
simbolisme berupa atribut bergaya punk dan pemikiran-pemikiran ideologi antikemapanan. Hal tersebut merupakan suatu bentuk kompensasi diri anggota
komunitas punk untuk menutupi kemarahan dan rasa frustasi dari ketidakpuasan
terhadap sistem yang telah diterapkan baik oleh orangtua maupun masyarakat
(http://www.eprints.undip.ac.id ).

2)


Penelitian berjudul Konsep Diri Remaja Punk, skripsi oleh Ulfa Amalia,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri remaja punk. Masa remaja
merupakan masa transisi, keadaan emosi remaja belumlah stabil. Idealnya seorang
remaja dapat menjaga sikap dan berperilaku sesuai nilai moral yang ada di
masyarakat, karena bagaimanapun remaja adalah generasi penerus bangsa. Namun
saat ini, problem sosial yang sering muncul adalah remaja lebih senang
berkelompok atau membentuk peers group, di mana rasa solidaritas remaja
dituntut di dalam kelompok tersebut. Peran yang diukur dalam kelompok sebaya
sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai dirinya sendiri atau
konsep dirinya.

Universitas Sumatera Utara

34

Saat ini di Yogyakarta bermunculan anak muda yang tergabung dalam
suatu kelompok yang mereka namakan dengan kelompok punk dengan gaya yang
khas dengan rambutnya yang Mohawk, atribut rantai yang tergantung di saku

celana, sepatu boot, kaos hitam, jaket kulit penuh badge, tindik (piercing) di
hidung, bibir, telinga, alis dan tato. Mereka berkumpul dengan teman-teman
sesama punk hingga larut malam bahkan sampai pagi hari, sekedar bermain gitar,
merokok, minum-minuman keras, ngamen, mereka tidak mengetahui apakah yang
mereka lakukan sesuai dengan pribadinya, yang mereka inginkan adalah menjadi
punkers seumur hidupnya.

Subjek penelitian ini adalah remaja punk yang memiliki karakteristik yaitu
berusia antara 13-19 tahun, berjenis kelamin laki-laki, berasal dan tinggal di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Subyek penelitian berjumlah lima informan
penelitian, yang merupakan orang-orang yang dekat dan mengenal baik subjek
penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan

metode

fenomenologis dengan metode pengambilan data adalah wawancara mendalam.
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan
penandaan/pengkodean (coding). Dari hasil wawancara didapatkan gambaran
mengenai konsep diri remaja punk, di mana konsep diri mereka dipengaruhi dari

dalam maupun lingkungan luar dirinya Dalam penelitian ini juga diketahui latar
belakang dan dampak yang ditimbulkan dengan menjadi remaja punk, serta nilainilai positif yang dimiliki remaja punk. Rincian mengenai hasil penelitian
dideskripsikan

dalam

laporan

penelitian

ini

(http://www.naskah-

publika.psychologi.uii.ac.id).

Universitas Sumatera Utara

35


3)

Penelitian berjudul Keberadaan Komunitas Punk di Kota Bukit Tinggi,

skripsi oleh Jhoni Akbar. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa perilaku
komunitas punk yang berada di kota Bukit Tinggi dapat dilihat dari segi
pengetahuan, sikap dan tindakan semua anggotanya. Dari segi pengetahuan,
mereka sangat mengetahui dan memahami ideologi-ideologi yang dimiliki punk
secara umum. Dari segi sikap, mereka menghayati dan menilai bahwa tidak semua
ideologi dapat diterima, akan tetapi juga memikirkan kemampuannya di dalam
menerapkan ideologi tersebut.
Segi tindakan, penerapan ideologi tersebut dapat dilihat dalam hal
penampilan dan asesoris yang dipakai serta kegiatan-kegiatan yang dilakukannya,
seperti mengamen, berkumpul-kumpul, meminum tuak, tidur di emperan-emperan
toko, bergaul bebas, jalan-jalan ke luar daerah dengan cara estafet, menato dan
menindik. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong keberadaan komunitas punk
di kota Bukit Tinggi dapat dilihat dari faktor eksternal dan internal. Dari faktor
eksternal, seperti adanya proses perekrutan anggota yang dilakukan oleh
komunitas punk secara terus menerus, anarkisme komunitas punk yang kuat, dan
keberadaan anggota komunitas punk itu sendiri. Dari faktor internal, seperti

ketertarikan anggotanya terhadap penampilan dan kesesuaian dengan ideologi
yang dimiliki oleh komunitas punk dan kemauan dari diri sendiri untuk berada di
jalanan (http://ww.repository.unand.ac.id).

Universitas Sumatera Utara

36

4)

Penelitian selanjutnya berjudul Busana dalam lingkup kelompok punk,

reggae dan black metal di Surakarta , skripsi oleh Yudhistira Ardi Nugroho.

Dalam penelitian ini objek yang diteliti adalah pengembangan busana kelompok
budaya

“Punk”,

“Reggae”

dan

“Blackmetal”

di

Surakarta.

Selain

memperlihatkan aspek historis penciptaan busana penelitian ini menekankan pada
aspek-aspek simbolis dan filosofis yang dikandung dalam perwujudan busananya.
Berdasarkan wujudnya busana kelompok budaya kawula muda “Punk”,
“Reggae” dan “Blackmetal” diciptakan atas dasar konsep ‘anti kemapanan’
seperti latar belakang munculnya kelompok budaya “Punk” yang muncul sebagai
bentuk melawan arus kemapanan menurut faham kapitalisme. Konsep ‘anti
kemapanan’ melahirkan tata busana yang jauh dari estetis di mata masyarakat
awam. Meskipun secara tampilan visual tata busana tidak estetis namun telah
terbukti fashion “Punk”, “Reggae” dan “Blackmetal” telah menjadi bagian dari
kehidupan kawula muda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka
data yang diperoleh diolah dan dianalisis melalui cara kualitatif.
Proses dalam penelitian ini mencakup tiga alur kegiatan yang dilakukan
secara bersamaan, yaitu reduksi (seleksi) data, pengujian data dan penarikan
kesimpulan. Perwujudan busana “Punk”,“Reggae” dan “Blackmetal” merupakan
cerminan dari kehidupan sosial budaya dan falsafah hidup anak muda kalangan
bawah. Simbolisasi dapat digambarkan melalui busana dan aksesoris. Berdasarkan
pemikiran yang melatarbelakangi penciptaan busana “Punk”, dapat disebutkan
tata rambut “Mohawk” adalah lambang keberanian, sepatu boots dan bahan jeans
yang dipakai adalah simbol dari kelas buruh, aksesoris dari logam dan rantai
adalah alat pertahanan diri. Dalam busana “Reggae” tata rambut dreadlock atau

Universitas Sumatera Utara

37

rambut gimbal adalah penyatuan dengan alam dan keyakinan dalam ajaran
“rastafara“. Sementara dalam busana “Blackmetal” seperti setan menjadi pesan
bahwa manusia bisa tidak ada bedanya dengan setan. Pakaian serba hitam dan
lambang-lambang setan yang dikenakan menjadi peringatan bagi manusia
terhadap kematian dan kegelapan (http://www.eprints.uns.ac.id).

5)

Penelitian berjudul Tanggapan Masyarakat terhadap Perilaku Budaya

Anak Punk di Kota Medan, skripsi oleh Fransiskus B.Marbun. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat Lingkungan II Kelurahan Sei
Kambing C II – Medan Helvetia, terhadap perilaku budaya anak punk di
Kelurahan tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
komunikasi, komunikasi antar budaya, dan perilaku budaya. Metode penelitian ini
adalah kuantitatif dengan menggunakan penyebaran kuesioner kepada sejumlah
responden sebanyak 72 orang. Jumlah sampel didapat dengan menggunakan
rumus Arikunto, dengan cara mengambil 20% dari total populasi sebanyak 362
orang.
Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tunggal. Tahapantahapan dalam pengelolahan data dimulai dengan penomoran kuesioner, editing,
coding, inventarisasi tabel, dan tabulasi data. Dari hasil penelitian ditemukan

bahwa sebagian besar masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini
berpendapat bahwa perilaku budaya anak punk dinilai kurang menarik dan
terkesan negatif di mata masyarakat. Sebagian besar responden dalam penelitian
ini menanggapi bahwa perilaku budaya anak punk merupaka perilaku budaya

Universitas Sumatera Utara

38

yang menyimpang dan masih menganggap bahwa budaya yang diadopsi oleh anak
punk tersebut adalah hal yang sangat berbeda dengan budaya yang ada pada

masyarakat Indonesia pada umumnya (Fransiskus B. Marbun, 2012: 2-5).

2.3. Komunikasi Antarpribadi

2.3. Definisi Komunikasi Antarpribadi
Para ahli teori komunikasi mendefinisikan komunikasi antarpribadi secara
berbeda-beda (Bochner,1978;Cappella, 1987;Miller, 1990) (dalam Devito, 2011:
252) ada tiga definisi pendekatan utama yaitu :
A.Definisi Berdasarkan Komponen (Componential)
Definisi berdasarkan komponen menjelaskan komunikasi antarpribadi
dengan mengamati komponen-komponen utamanya, dalam hal ini penyampaian
pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok
kecil orang, dengan berbagai dampaknya dengan peluang untuk memberikan
umpan balik segera.
B.Definisi Berdasarkan Hubungan Diadik (Relational dyadic)
Dalam definisi berdasarkan hubungan, kita mendefinisikan komunikasi
antar pribadi sebagai komunikasi yang berlangsung di antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. Jadi misalnya, komunikasi
antarpribadi meliputi komunikasi yang terjadi antara pramuniaga dan pelanggan,
anak dan ayah, dua orang dalam suatu wawancara, dan sebagainya. Dengan
definisi ini hampir tidak mungkin ada komunikasi diadik (dua orang) yang bukan
komunikasi antarpribadi. Tidaklah mengherankan, definisi ini juga disebut
sebagai definisi diadik. Hampir tidak terhindarkan, selalu ada hubungan antara
dua orang. Bahkan seseorang asing di sebuah kota yang menanyakan arah jalan ke
seseorang penduduk mempunyai hubungan yang jelas dengan penduduk itu segera
setelah disampaikan. Ada kalanya definisi hubungan ini diperluas sehingga
mencakup juga sekelompok kecil orang, seperti anggota keluarga atau kelompok
yang terdiri atas 3 atau empat orang.
C. Definisi Berdasarkan Pengembangan (Developmental)
Dalam pendekatan pengembangan, komunikasi antarpribadi dilihat
sebagai akhir dari perkembangan dari komunikasi yang bersifat tak-pribadi
(impersonal) pada suatu ekstrem menjadi komunikasi antarpribadi atau intim pada
ekstrem yang lain. Perkembangan mengisyaratkan atau mendefenisikan
pengembangan komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi ditandai oleh
dan dibedakan dari komunikasi tak-pribadi berdasarkan data psikologis,
pengetahuan dan aturan secara pribadi.

Universitas Sumatera Utara

39

2.3.2. Fungsi Komunikasi Antarpribadi

Menurut Miller dan Steinberg, fungsi adalah sebagai tujuan di mana
komunikasi digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi utama komunikasi
ialah mengendalikan lingkungan guna memperoleh imbalan-imbalan tertentu
berupa fisik, ekonomi dan sosial. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
komunikasi insani atau human communication baik
maupun antarpribadi yang

yang

non-antarpribadi

antar pribadi semuanya mengenai pengendalian

lingkungan guna mendapatkan imbalan seperti dalam bentuk fisik, ekonomi, dan
sosial. Keberhasilan yang relatif dalam melakukan pengendalian lingkungan
melalui komunikasi menambah kemungkinan menjadi bahagia, kehidupan pribadi
yang produktif. Kegagalan relatif mengarah kepada ketidakbahagiaan akhirnya
bisa terjadi krisis identitas diri (Budyatna, 2011: 27).
Imbalan ialah setiap akibat berupa perolehan fisik, ekonomi dan sosial
yang dinilai positif. Uang sebagai akibat perolehan ekonomi yang dinilai positif.
Jika seorang pegawai berhasil mengendalikan perilaku atasannya, seperti rajin,
prestasi kerja baik, dan jujur, maka menurut logikanya ia akan memperoleh
kenaikan upah atau gaji. Inilah yang disebut imbalan dalam bentuk ekonomi
berupa uang. Sedangkan atasannya juga mendapatkan imbalan dalam bentuk
sosial berupa kepuasan karena ia merasa puas akan kinerja bawahannya yang
baik. Demikian pula jika seorang sales mampu mengendalikan reaksi
pelanggannya yaitu mau membeli produk yang ditawarkannya, maka ia akan
memperoleh imbalan dalam bentuk ekonomi berupa komisi dari perusahaannya.
Imbalan berupa hal-hal yang menyenangkan seperti atasan tadi yang bukan berupa
nilai materi berupa senyuman dengan wajah yang menyenangkan sebagai rasa

Universitas Sumatera Utara

40

terima kasih kepada pihak lain. Rasa puas kalau kita dapat menolong orang dalam
kesusahan sebagai imbalan dalam bentuk sosial.
Kita dapat membedakan pengendalikan lingkungan dalam dua tingkatan,
yaitu:
1) Hasil yang diperoleh sesuai dengan apa yang diinginkan yang dinamakan
compliance.

2) Hasil yang diperoleh mencerminkan adanya kompromi dari keinginan
semula bagi pihak-pihak yang terlibat, yang dinamakan penyelesaian
konflik atau conflict resolution (Budyatna, 2011: 28).

2.3.3. Ciri-ciri Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi juga memiliki ciri-ciri yang dapat membedakan
komunikasi antarpribadi dengan model komunikasi lainnya, ada enam
karakteristik komunikasi antarpribadi menurut Judy C. Pearson, yaitu:
1) Komunikasi antarpribadi dimulai dengan diri pribadi (self). Berbagai
persepsi komunikasi yang menyangkut pengamatan dan pemahaman
berawal dari diri kita, artinya dibatasi oleh siapa diri kita dan bagaimana
pengalaman kita.
2) Komunikasi antarpribadi bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu
pada tindakan pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak
menyampaikan dan menerima pesan.
3) Komunikasi antarpribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan
antarpribadi. Maksudnya komunikasi antarpribadi tidak hanya berkenaan
berkomunikasi dan hubungan kita dengan partner tersebut.
4) Komunikasi antar pribadi mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara
pihak-pihak yang berkomunikasi.
5) Komunikasi antarpribadi melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung
satu sama lain (interdependen) dengan isi pesan yang dipertukarkan, tetapi
juga melibatkan partner dalam proses komunikasi.
6) Komunikasi antarpribadi tidak dapat diubah ataupun diulang, jika kita
salah mengucapkan sesuatu pada partner kita maka mungkin kita dapat
meminta maaf dan diberikan maaf, namun itu tidak berarti menghapus apa
yang pernah kita ucapkan (Senjaya, 2005: 21).

Universitas Sumatera Utara

41

Menurut Devito ada 5 ciri-ciri komunikasi antarpribadi yang umum yaitu
sebagai berikut:
1) Keterbukaan (Openess)
Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan ide atau gagasan
bahkan permasalahan secara bebas dan terbuka tanpa ada rasa malu.
Keduanya saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing.
2) Empati (Emphaty)
Komunikator dan komunikan merasakan situasi dan kondisi yang dialami
mereka tanpa berpura-pura dan keduanya menanggapi apa-apa saja yang
dikomunikasikan dengan penuh perhatian. Empati merupakan kemampuan
seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain.
Apabila komunikator atau komunikan mempunyai kemampuan untuk
melakukan empati satu sama lain, kemungkinan besar akan terjadi
komunikasi yang efektif.
3) Dukungan (Supportiveness)
Setiap pendapat atau ide serta gagasan yang disampaikan akan
mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan
membantu seseseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan
aktivitas serta meraih tujuan yang diharapkan.
4) Rasa Positif (Possitivenes)
Apabila pembicaraan antara komunikator dan komunikan mendapat
tanggapan positif dari kedua belah pihak, maka percakapan selanjutnya
akan lebih mudah dan lancar. Rasa positif menjadikan orang-orang yang
berkomunikasi tidak berprasangka atau curiga yang dapat mengganggu
jalinan komunikasi.
5) Kesamaan (Equality)
Komunikasi akan lebih akrab dan jalinan pribadi akan menjadi semakin
kuat apabila memiliki kesamaan tertentu antara komunikator dan
komunikan dalam hal pandangan, sikap, kesamaan ideologi dan lain
sebagainya (Liliweri, 1991: 13).

Universitas Sumatera Utara

42

2.3.4. Proses Komunikasi Antarpribadi
Berkomunikasi secara efektif memiliki arti bahwa komunikator dan
komunikan memiliki pengertian yang sama tentang isi suatu pesan. Komunikasi
antarpribadi dikatakan efektif apabila pertemuan komunikasi merupakan hal yang
menyenangkan bagi komunikan dan dalam proses komunikasi antarpribadi
tersebut tercipta sebuah kebersamaan dalam makna yang secara langsung hasilnya
dapat diperoleh, jika peserta komunikasi cepat tanggap dan paham terhadap setiap
pesan yang dipertukarkan. Selain itu, Menurut Steward L. Tubs dan Sylvia Moss
(dalam Rakhmat, 2005: 133) menambahkan bahwa tanda-tanda komunikasi yang
efektif setidaknya menimbulkan hal sebagai berikut:
1) Saling pengertian
2) Memberikan kesenangan
3) Mempengaruhi sikap
Komunikasi antarpribadi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui
media dan tatap muka. Meskipun demikian, yang dianggap paling sukses adalah
komunikasi antarpribadi secara tatap muka, sebab dalam komunikasi antarpribadi
yang dilakukan melalui tatap muka pengiriman pesan dan umpan baliknya dapat
diamati secara langsung dengan melihat, mendengar, mencium, meraba dan
merasa. Proses berkomunikasi antarpribadi menggunakan lambang-lambang
sebagai media penyampaian pesan yaitu:

Universitas Sumatera Utara

43

1) Lambang Verbal
Lambang verbal ini biasanya dalam bentuk bahasa, oleh karena itu, dengan
bahasa seorang komunikator dapat mengunggkapkan pikirannya mengenai hal
atau peristiwa, baik yang kongkrit maupun yang abstrak yang terjadi pada masa
lalu, masa kini dan masa depan kepada komunikannya.

2) Lambang Non Verbal
Lambang Non Verbal adalah lambang yang dipergunakan dalam
komunikasi yang berbentuk isyarat dengan menggunakan anggota tubuh seperti
kepala, mata, jari dan lainnya.
Batasan komunikasi non verbal secara garis besar sebenarnya sebagai arah
dari suatu gejala seperti setiap bentuk penampilan wajah dan gerak gerik tubuh
seseorang sebagai suatu cara dan simbol dari statusnya, dengan isyarat non verbal
seorang individu dapat memahami orang lain ketika orang lain tersebut berbicara
atau menulis bahasanya untuk menyatakan sesuatu tentang dirinya (Rakhmat,
2005: 134).

Universitas Sumatera Utara

44

2.3.5. Sifat Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi sama halnya dengan ilmu-ilmu lain yang pasti
memiliki sifatnya tersendiri sehingga menjadi suatu ciri khas pada ilmu tersebut.
Beberapa sifat yang dapat menunjukan komunikasi antara dua orang, yang
mengarah pada komunikasi antarpribadi yaitu didalamnya melibatkan perilaku
verbal maupun nonverbal, yang dapat menunjukkan seberapa jauh hubungan
antara pihak yang terlibat di dalamnya.
Berikut adalah beberapa sifat yang dimiliki oleh komunikasi antarpribadi:
1. Komunikasi antarpribadi melibatkan perilaku yang spontan, perilaku ini
timbul karena kekuasaan emosi yang bebas dari campur tangan kognisi.
2. Komunikasi antarpribadi harus menghasilkan umpan balik agar
mempunyai interaksi dan koherensi, artinya suatu komunikasi antarpribadi
harus ditandai dengan adanya umpan balik serta adanya interaksi yang
melibatkan suatu perubahan di dalam sikap, perasaan, perilaku dan
pendapat tertentu.
3. Komunikasi antarpribadi biasanya bersifat intrinsik dan ekstrinsik.
Intrinsik merupakan suatu standar perilaku yang dikembangkan oleh
seseorang sebagai panduan melaksanakan komunikasi, sedangkan
ekstrinsik yaitu aturan lain yang ditimbulkan karena pengaruh kondisi
sehingga komunikasi antar manusia harus diperbaiki atau malah harus
berakhir.
4. Komunikasi antarpribadi menunjukan adanya suatu tindakan. Sifat yang
dimaksud adalah suatu hubungan sebab akibat yang dilandasi adanya
tindakan bersama sehingga menghasilkan proses komunikasi yang baik.
5. Komunikasi antarpribadi menunjukkan adanya suatu tindakan. Sifat yang
dimaksud adalah suatu hubungan sebab akibat yang dilandasi adanya
tindakan bersama sehinnga menghasilkan proses komunikasi yang baik
(Liliweri, 1991: 29).

Universitas Sumatera Utara

45

2.3.6. Hubungan Antarpribadi
Hubungan antar pribadi dapat di identifikasikan dua karakteristik penting
yang pertama hubungan antar pribadi berlangsung melalui berapa tahap, mulai
dari tahap interaksi awal sampai ke pemutusan (dissolution). Kedua hubungan
antarpribadi berbeda-beda dalam bentuk hal keluasan (breadth) dan kedalamannya
(depth). Kebanyakan hubungan, mungkin semua, berkembang melalui tahaptahap. Ada lima model tahap dalam hubungan antar pribadi yaitu kontak,
keterlibatan, keakraban, perusakan, dan pemutusan. Tahap-tahap ini tidak
mengevaluasi atau menguraikan bagaimana seharusnya hubungan itu berlangsung
(Devito, 2011: 254-255):
1.Kontak
Pada tahap pertama kita membuat kontak. Ada beberapa macam persepsi
alat indra yaitu mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Pada tahap inilah
penampilann fisik begitu penting, karena dimensi fisik paling terbuka untuk
diamati secara mudah. Meskipun demikian, kualitas-kualitas lain seperti sikap
bersahabat, kehangatan, keterbukaan dan dinamis juga terungkap pada tahap ini.
2.Keterlibatan
Tahap keterlibatan adalah tahap pengenalan lebih jauh, ketika kita
mengikatkan diri kita untuk lebih mengenal orang lain dan juga mengungkapkan
diri kita. Jika ini adalah hubungan yang bersifat romantik, mungkin anda
melakukan kencan pada tahap ini. Jika ini merupakan hubungan persahabatan,
anda mungkin melakukan sesuatu yang menjadi minat bersama seperti ke
bioskop, atau pergi ke pertandingan olahraga bersama-sama.
3.Keakraban
Pada tahap keakraban, maka ada ikatan diri yaitu membuatnya hubungan
primer, di mana orang ini akan menjadi sahabat yang baik atau menjadi kekasih.
Komitmen ini dapat mempunyai berbagai bentuk; perkawinan, membantu orang
itu, atau mengungkapkan rahasia terbesar anda. Tahap ini hanya disediakan untuk
sedikit orang saja, kadang-kadang hanya satu, dan kadang-kadang dua, tiga atau
empat orang saja. Jarang sekali orang mempunyai lebih dari empat orang sahabat
akrab, kecuali dalam keluarga.
4.Perusakan
Dua tahap berikutnya merupakan penurunan hubungan, ketika ikatan di
antara kedua belah pihak melemah. Pada tahap perusakan mulai merasa bahwa
hubungan tidak sepenting dan tidak seperti yang dipikirkan.
5.Pemutusan
Tahap pemutusan adalah pemutusan ikatan kedua belah pihak. Jika bentuk
ikatan itu adalah perkawinan maka akan diputuskan melalui perceraian.

Universitas Sumatera Utara

46

Aplikasi dan implikasi dari hubungan antar pribadi (dalam Littlejhon,
2011: 312) diantaranya adalah:
1.Hubungan terbentuk, terjaga, dan berubah melalui komunikasi
Dalam interaksi maju mundur dari sebuah percakapan, banyak hal yang
dan dapat diketahui dari makna gerak tubuh, mendefinisikan objek, menciptakan
konotasi baru untuk kata-kata, mencapai tujuan dan mengubah gambar diri. Akan
tetapi jika terlalu sering berbicara dengan orang lain, akan menciptakan sesuatu
yang lain (sebuah hubungan). Hal ini dapat berupa pertemanan, hubungan antara
rekan kerja, pernikahan, hubungan antara tua anak, hubungan dengan pelanggan,
hubungan antar tetangga, atau sejumlah hubungan lain. Dalam hal ini terlihat jelas
bahwa setiap hubungan dibentuk oleh pelaku percakapan dalam sebuah
percakapan. Hubungan tidak terjadi begitu saja, hubungan diciptakan dan dijaga
melalui komunikasi.
2. Hubungan adalah sesuatu yang teratur
Sebagain besar dalam kehidupan modern kita harus menghadapi masamasa stabilitas dan masa-masa perubahan dalam hubungan. Bakhtin (dalam
Littlejhon, 2011: 315) mengatakan masa-masa perubahan yaitu masa sentripetal
dan massa sentrifugal. Namun, selalu ada kecenderungan untuk menemukan
sebuah cara untuk mengatur atau menyelaraskan interaksi di dalam hubungan.
Bahkan,

pengaturan

tekanan

dinamis

antara

kekuatan-kekuatan

yang

berbentangan juga diatur atau disusun, dalam beberapa cara.

Universitas Sumatera Utara

47

Koerner dan Fitzpatrick (dalam Littlejhon, 2011: 316) telah menunjukkan
bahwa keluarga-keluarga pada akhirnya cenderung terbagi beberapa tipe.
Beberapa tipe ini seperti keluarga protektif sangat stabil dan saling melengkapi
dalam pola hubungan, sedangkan keluarga pluralistis akan cukup dinamis.
Ada dua pola dasar organisasional yang biasanya ditemukan dalam
hubungan, yaitu simetri dan pelengkapnya. Setiap bentuk dapat bersifat
fungsional dan nyaman atau bersifat merusak dan tidak nyaman, tetapi bagaimana
pola-pola dalam sebuah hubungan saling merespon akan selalu mengatur interaksi
tersebut. Bahkan, sebuah perebutan kekuasaan biasanya tidak nyaman adalah
sebuah cara untuk menyusun sebuah hubungan. Walaupun sebuah hubungan
selalu memiliki susunan, susunan tersebut tidak selalu diatur dengan cara yang
sama dan susunan tersbut pasti akan berubah. Fitzpatrick dan koleganya lebih
melihat pada susunan hubungan yang stabil, sedangkan Baxter dan koleganya
melihat pada sifat hubungan yang dinamis dan berorientasi pada proses
(Littlejhon,2011:317).
3.Hubungan bersifat dinamis
Bakhtin (dalam Littlejhon,2011:318) mengatakan bahwa kita hidup dalam
dunia dengan banyak suara, sebuah dunia heteroglossia. Metafora suara dianggap
berharga karena hal tersebut mengingatkan kita bahwa percakapan terdiri atas
suara-suara yang harus disusun atau diatur menjadi wacana di balik pesan
seseorang. Tidak seperti berbicara pada diri sendiri, sebuah percakapan (terpisah
dari hubungan) mengharuskan untuk mencampur atau menghubungkan suara kita
dengan orang lain. Kadang, hal ini sangat mudah karena setiap orang memiliki

Universitas Sumatera Utara

48

pandangan yang umum tentang bagaimana berinteraksi dan berhubungan. Dalam
hal ini, sebagian besar aturan dibagi dan percakapannya pertalian, tidak seperti
sebuah paduan suara. Kadang, mengatur pembicaraan adalah hal yang sulit karena
adanya ketidakcocokan tradisi budaya yang sangat berbeda, pandangan politik
yang berbeda yang harus didengar, dan suara-suara yang tidak tercampur dengan
baik.

2.4. Teori Pengembangan Hubungan
Barangkali tidak ada yang lebih penting bagi kita selain kontak atau
hubungan dengan sesama manusia. Begitu pentingnya kontak ini sehingga bila
kita tidak berhubungan dengan orang lain dalam waktu yang lama, rasa tertekan
akan timbul, rasa ragu terhadap diri sendiri mucul, dan orang merasa sulit untuk
menjalani kehidupan sehari-harinya. Desmond Morris, dalam Intimate Behaviour,
mencatat bahwa kontak dengan orang lain begitu pentingnya sehingga kultur kita
telah membentuk segala macam substitusi untuk menggantikan ketiadaan
hubungan ini. Orang sering kali mengunjungi profesional seperti dokter, perawat
dan pemijat bukan karena sakit fisik, melainkan karena kebutuhan kontak
(Littlejohn, 2011: 268).

Universitas Sumatera Utara

49

Setiap hubungan bersifat unik beegitu juga masing-masing dari kita
membina hubungan karena alasan yang unik. Meskipun demikian, dalam
keragaman ini, ada beberapa prinsip umum yang berlaku. Pertama, kita membahas
beberapa alasan umum untuk mengembangkan sebagian besar hubungan. Kedua,
kita membahas proses memprakarsai hubungan dan beberapa saran non-verbal
serta verbal untuk membuat jumpa pertama yang lebih efektif.
Self Disclosure atau proses pengungkapan diri yang tealah lama menjadi

fokus penelitian dari teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses
mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya. Sidney
Jourard menandai sehat atau tidaknya komunikasi antar pribadi dengan melihat
keterbukaan yang terjadi dalam komunikasi. Mengungkapkan yang sebenarnya
mengenai diri kita kepada orang lain yang juga bersedia mengungkapkan yang
sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal
(Senjaya, 2007: 244).
Setelah mengurangi penderitaan umum untuk pengembangan hubungan
yaitu mengurangi kesepian, mendapatkan rangsangan, mendapatkan pengetahuan
diri, dan memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan. Alasanalasan untuk pengembangan hubungan (dalam Devito, 2011: 268):
1. Mengurangi Kesepian
Kontak dengan sesama manuasia mengurangi kesepian. Ada kalanya kita
mengalami kesepian karena fisik kita sendirian, walaupun kesendirian tidak selalu
berarti kesepian. Barang kali kita kesepian meskipun kita bersama orang lain, kita
mempunyai kebutuhan yang terpenuhi akan kontak yang dekat, kadang secara

Universitas Sumatera Utara

50

fisik, adakalanya secara emosional, dan lebih sering lagi kedua-duanya (Peplau
dan Periman, 1982; Rubenstein dan Shever, 1982).
Sementara

orang,

dalam

upaya,

mengurangi

kesepian,

berusaha

melingkungi dirinya dengan banyak kenalan. Kadang-kadang ini membantu,
tetapi sering kali malah membuat rasa sepi makin parah. Satu hubungan yang
dekat biasanya malah lebih baik. Kebanyakan dari kita mngetahui hal ini, dan
itulah sebabnya kita berusaha membina hubungan antar pribadi (Perlman dan
Peplau, 1981).
2. Mendapatkan Rangsangan (Stimulasi).
Manusia membutuhkan stimulasi. Jika kita tidak menerima stimulasi, kita
mengalami kemunduran dan bisa mati. Kontak antar manusia merupakan salah
satu cara terbaik untuk mendapatkan stimulasi ini. Kita merupakan gabungan dari
banyak dimensi yang berbeda-beda dan semua dimensi kita membutuhkan
stimulasi. Kita adalah makhluk intelektual, dan karenanya kita membutuhkan
stimulasi intelektual. Kita membicarakan gagasan, mengikuti kegiatan kelas, dan
berdebat tentang interpretasi yang berbeda dalam suatu hal. Dengan cara itu kita
mengasah kemampuan penalaran, analisis dan interpretasi kita. Kemudian dengan
melakukannya,

kita

meningkatkan,

mempertajam

dan

mengembangkan

kemampuan-kemampuan ini.

Universitas Sumatera Utara

51

3. Mendapatkan Pengetahuan Diri (Self-Knowledge)
Sebagian besar melalui kontak dengan sesama manusia ialah kita belajar
mengenai diri kita, belajar mengenai diri kita sendiri. Dalam diskusi tentang
kesadaran diri telah dijelaskan bahwa kita melihat diri sendiri sebagian melalui
mata orang lain. Jika kawan-kawan kita melihat kita sebagai orang yang hangat
dan pemuarah, misalnya barang kali kita juga akan memandang diri sendiri
sebagai hangat dan pemurah. Persepsi diri kita sangat dipengaruhi oleh apa yang
kita yakini dan kita pikirkan orang tentang diri kita.
4. Memaksimalkan Kesenangan, Meminimalkan Penderitaan
Alasan paling umum untuk membina hubungan dan alasan yang dapat
mencakup semua alasan lainnya, adalah bahwa kita berusaha berhubungan dengan
manusia lain untuk memaksimalkan kesenangan kita dan meminimalkan
penderitaan kita. Kita perlu berbagi rasa dengan orang lain mengenai nasib baik
kita serta mengenai penderitaan emosi dan fisik kita. Barangkali kebutuhan yang
terakhir ini bermula di masa kanak-kanak, ketika anda berlari mendekati ibu
sehingga beliau dapat mengecup luka anda dan menikmati kegembiraan anda.
Sekarang kita tentu sulit untuk berlari dan mendekati ibu, karena anda mencari
orang lain, umumnya kawan-kawan yang akan memberikan dukungan yang sama
seperti yang pernah dilakukan ibu di waktu lalu.

Universitas Sumatera Utara

52

2.4.1. Teori Penetrasi Sosial
Teori ini merupakan bagian teori dari pengembangan hubungan atau
relation ship development theory. Teori penetrasi sosial dikembangkan oleh Irwin
Altman dan Dalmas Taylor. Menurut kedua pakar ini komunikasi adalah penting
dalam mengembangkan hubungan pribadi. Teori penetrasi sosial menfokuskan
diri pada pengembangan hubungan. Hal ini terutama berkaitan dengan perilaku
antarpribadi yang nyata dalam interaksi sosial dan proses-proses kognitif internal
yang mendahului, menyertai dan mengikuti pembentukan hubungan (Budyatna,
2011: 227).
Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman dan Dalmas
Taylor. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses
komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam proses
berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi
semacam proses adaptasi di antara keduanya, atau dalam bahasa Altman dan
Taylor: penetrasi sosial. Altman dan Taylor (dalam Griffin, 2003: 132)
membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu hubungan.
Menurut mereka, pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan dengan
seseorang yang lain sejauh kita mampu melalui proses “gradual and orderly
fashion from superficial to intimate levels of exchange as a function of both
immediate and forecast outcomes.”
Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah.
Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan
kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan
lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia. Lapisan kulit terluar
dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa
kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi. Jika kita
mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada lapisan
yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih bersifat
semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu saja,

orang terdekat misalnya.

Universitas Sumatera Utara

53

Lapisan yang paling dalam adalah wilayah private, di mana di dalamnya
terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi
yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh
siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua, atau orang terdekat manapun. Akan
tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling berperan dalam
kehidupan seseorang.

Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat
dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi.
Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian
yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat
dengan kita. Taraf kedekatan hubungan seseorang dapat dilihat dari sini.

Dalam perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan
beberapa penjabaran sebagai berikut (Griffin, 2003: 133):
1. Kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan
terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang hal-hal
yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, daripada membicarakan
tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin ke dalam kita
berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita hadapi juga
akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin mencoba akrab ke
dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula.
2. Keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik), terutama
pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal suatu
hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka diri,
dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau
semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut
semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka juga
semakin tidak bersifat timbal balik.

Universitas Sumatera Utara

54

3. Penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika
semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah “langsung
akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang panjang
biasanya banyak terjadi dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh
sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor
yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah
goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya
hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih bermakna dan lebih bertahan lama.
4. Penetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya
adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha
semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak
secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya bertahap dan semakin
memudar.

Teori penetrasi sosial menekankan kedalaman suatu hubungan adalah
penting. Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Maksudnya adalah
mungkin dalam beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat
terbuka kepada seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan berarti juga
kita dapat membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya. Mungkin kita bisa
terbuka dalam urusan asmara, namun kita tidak dapat terbuka dalam urusan
pengalaman di masa lalu. Atau yang lainnya. Karena hanya ada satu area saja
yang terbuka bagi orang lain (misalkan urusan asmara tadi), maka hal ini
menggambarkan situasi di mana hubungan mungkin bersifat mendalam akan
tetapi tidak meluas (depth without breadth). Dan kebalikannya, luas tapi tidak
mendalam (breadth without depth) mungkin ibarat hubungan “halo, apa kabar?”,
suatu hubungan yang biasa-biasa saja. Hubungan yang intim adalah di mana
meliputi keduanya, dalam dan juga luas (Griffin, 2003: 134-135).

Universitas Sumatera Utara

55

Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori
penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis).
Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor
untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan
indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Begitu juga
yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika hubungan
tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan
lebih besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.

Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold
Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut
mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain
adalah soal relational outcomes, relational satisfaction dan relational stability.
Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan
keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan
orang lain sebelum kita melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untungrugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan
jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk
membina relasi lebih lanjut (Griffin, 2003: 136).

Universitas Sumatera Utara

56

Masa-masa awal hubungan kita dengan seseorang biasanya kita melihat
penampilan fisik atau tampilan luar dari orang tersebut, kesamaan latar belakang,
dan banyaknya kesamaan atau ketidaksamaan terhadap hal-hal yang disukai atau
disenangi. Hal ini biasanya juga dianggap sebagai suatu “keuntungan”. Akan
tetapi dalam suatu hubungan yang sudah sangat akrab seringkali kita bahkan
sudah tidak mempermasalahkan mengenai beberapa perbedaan di antara kedua
belah pihak dan kita cenderung menghargai masing-masing perbedaan tersebut.
Karena kalau kita sudah melihat bahwa ada banyak keuntungan yang kita
dapatkan daripada kerugian dalam suatu hubungan, maka kita biasanya ingin
mengetahui lebih banyak tentang diri orang tersebut.

Teori pertukaran sosial memaparkan (dalam Griffin, 2003: 137-138) kita
sebenarnya kesulitan dalam menentukan atau memprediksi keuntungan apa yang
akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Karena
secara psikologis apa yang dianggap sebagai “keuntungan” tadi berbeda-beda
tiap-tiap orang. Teori pertukaran sosial mengajukan dua standar umum tentang
apa-apa yang dijadikan perbandingan atau tolok ukur dalam mengevaluasi suatu
hubungan interpersonal. Yang pertama, terkait dengan relative satisfaction
(kepuasan relatif): seberapa jauh hubungan interpersonal tersebut dapat membuat
kita bahagia atau justru tidak bahagia. Thibaut dan Kelley menyebut hal ini
sebagai comparison level.

Universitas Sumatera Utara

57

Contohnya ketika kita mengobrol dengan kekasih kita melalui telpon. Jika
kita biasanya berbincang melalui telpon dengan kekasih kita dalam hitungan
waktu satu jam, maka angka satu jam akan menjadi tolok ukur kepuasan kita
dalam hubungan tersebut. Jika ternyata kita mengobrol lebih lama dari satu jam,
katakanlah satu jam tiga puluh menit maka kita akan menilai hal tersebut lebih
dari memuaskan. Akan tetapi begitu pula sebaliknya, jika ternyata kita hanya
berbincang kurang dari 1 jam kita cenderung menganggap obrolan kita tersebut
kurang memuaskan. Ini memang hanya salah satu faktor saja dalam menilai
kepuasan dalam hubungan via telpon tersebut.

Faktor lainnnya yang juga dijadikan pertimbangan adalah nada bicara,
intonasi, topik yang dibicarakan, kehangatan bicara dan seterusnya. Selain itu,
comparison level kita dalam hal pertemanan, asmara, hubungan keluarga, banyak

dipengaruhi oleh bagaimana sejarah hubungan interpersonal kita di masa lalu.
Kita menilai nilai suatu hubungan berdasarkan perbandingan dengan pengalaman
kita di masa yang lampau. Kita cenderung menyimpan secara baik kenangan kita
dalam hubungan interpersonal dengan pihak lain untuk dijadikan semacam
perbandingan dalam hubungan interpersonal kita di masa sekarang dan di masa
depan. Ini juga tolok ukur yang sangat penting.

Kedua, oleh Thibaut dan Kelley disebut sebagai the comparison level of
alternatives. Pada tahapan ini kita memunculkan suatu pertanyaan dalam

hubungan interpersonal kita. Kita mulai mempertanyakan kemungkinan apa yang
ada di luar hubungan yang sedang dijalani tersebut. Pertanyaan tersebut antara
lain “Apakah saya akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak jika saya

Universitas Sumatera Utara

58

berhubungan dengan orang yang lain?” atau pertanyaan “Kemungkinan terburuk
apa yang akan saya dapatkan jika saya tetap berhubungan dengan orang ini?”.
Semakin menarik kemungkinan yang lain di luar hubungan tersebut maka
ketidakstabilan dalam hubungan kita akan semakin besar. Dalam hal ini terkesan
teori pertukaran sosial ini lebih mirip dengan kalkulasi ekonomis tentang untungrugi, memang. Banyak pihak yang menyebutkan teori ini sebagai theory of
economic behavior . Tidak seperti comparison level, comparison level of
alternatives tidak mengukur tentang kepuasan. Konsep ini tidak menjelaskan

mengapa banyak orang yang tetap bertahan dalam suatu hubungan dengan orang
yang sering menyiksa dirinya, sering menyakiti.

Menurut teori ini, kunci dari suatu hubungan yang akan tetap terbina
adalah sejauh mana suatu hubungan itu memberikan keuntungan, sejuah mana
hubungan tersebut mampu menghasilkan kepuasan, sejauh mana hubungan
tersebut tetap stabil, dan tidak adanya kemungkinan yang lain yang lebih menarik
daripada hubungan yang sedang mereka jalani tersebut. Teori ini sendiri tidak
terlepas dari sejumlah kritikan. Ada kritikan yang menyatakan bahwa seringkali
cepat-lambatnya suatu hubungan tidak bersifat sengaja atau mampu diprediksikan
sebelumnya. Ada kalanya ketika kita dengan terpaksa harus cepat mengakrabkan
diri dengan seseorang tertentu, dan kita tidak memiliki pilihan yang lain. Teori
tersebut tidak mampu menjelaskan soal ini.

Universitas Sumatera Utara

59

Teori

ini

juga

tidak

mengungkapkan

persoalan

gender

dalam

penjelasannya. Padahal perbedaan gender akan sangat berpengaruh kepada
persoalan keterbukaan-diri dalam relasi interpersonal. Bahkan penelitian
selanjutnya dari Altman dan Taylor mengungkapkan bahwa males are less open
than females. Altman dan Taylor juga hampir secara konsisten menggunakan

perspektif untung-rugi dalam menilai atau mengukur suatu relasi interpersonal.
Pertanyaannya yang pertama muncul adalah sejauh mana kita akan konsisten
dalam menilai yang mana yang merupakan keuntungan dan yang mana yang
merupakan kerugian bagi diri kita dalam hubungan tersebut? Dan pertanyaan yang
kedua adalah sejauh mana kita akan terus bersifat egois dalam suatu hubungan
dengan orang lain? Kita juga sering merasa bahwa dalam suatu hubungan
interpersonal bahwa segalanya tidak melulu tentang diri kita, tentang apa
keuntungan yang kita dapatkan dalam hubungan tersebut. Bahkan kita seringkali
merasa senang bahwa teman kita mendapatkan suatu keuntungan atau kabar yang
menggembirakan. Walaupun hal itu bukan terjadi pada diri kita, ternyata kita juga