Karakteristik Distress Spiritual pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan

7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Spiritualitas
2.1.1. Definisi Spiritualitas
Spiritualitas diartikan sebagai keyakinan dalam hubungannya dengan
Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Pencipta (Hamid, 2009). Menurut
Mickey, et al (1992 dalam Hamid, 2009) menguraikan bahwa spiritualitas
adalah suatu hal yang multidimensi yaitu dimensi eksistensial dan dimensi
agama. Dimensi eksistensial lebih berfokus pada makna dan tujuan hidup
sedangkan dimensi agama berfokus pada hubungan seseorang dengan Yang
Maha Pencipta atau Yang Maha Kuasa.
Selanjutnya, Stoll (1998 dalam Kozier et al, 1995) menjelaskan bahwa
spiritualitas adalah konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi
horizontal. Dimensi vertikal adalah hubunganya dengan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Dimensi horizontal adalah hubungannya dengan diri sendiri, orang
lain dan juga lingkungan. Sementara itu menurut Dossey, et al (2000 dalam
Young dan Koopsen, 2007) spiritualitas merupakan hakikat dari siapa dan

bagaimana manusia bisa hidup di dunia. Spiritualitas dapat diartikan seperti
nafas yang sangat berarti bagi kehidupan manusia.
Spiritualitas juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang dipercaya oleh
seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan)
yang menimbulkan suatu kebutuhan, serta rasa cinta terhadap adanya Tuhan
dan permohonan maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat (Hidayat,
2009).

Universitas Sumatera Utara

8

2.1.2. Aspek Spiritualitas
Menurut Burkhardt (1993 dalam Hamid, 2009) spiritualitas terdiri dari
berbagai aspek, yaitu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau
ketidakpastian dalam hidup, menemukan arti dan tujuan hidup, menyadari
kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri
dan yang terakhir mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan
dengan Yang Maha Tinggi.
2.1.3. Dimensi Spiritualitas

Stoll (1998 dalam Hamid, 2009) menguraikan bahwa spiritual terdiri
dari dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi
vertikal adalah hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Tinggi yang
menuntun kehidupan manusia sedangkan dimensi horizontal adalah
hubungannya dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan atau alam.
2.1.4. Karakteristik Spiritualitas
Karakteristik spiritual menggambarkan bagaimana keadaan spiritual
seseorang. Terdapat beberapa karakteristik spiritualitas yaitu sebagai berikut
(Hamid, 2009).
2.1.4.1. Hubungan dengan Diri Sendiri
Hubungan dengan diri sendiri meliputi tentang pengetahuan diri
yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya serta mengenai sikap
yang menyangkut percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan
masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan dengan diri
sendiri.

Universitas Sumatera Utara

9


2.1.4.2. Hubungan dengan Alam
Hubungan dengan alam harmonis dan selaras yaitu mengetahui
tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim serta melindungi alam dan
berkomunikasi dengan alam contohnya bertanam dan berjalan kaki.
2.1.4.3. Hubungan dengan Orang Lain
Hubungan ini dibagi atas harmonis dan tidak harmonisnya
hubungan dengan orang lain.

Hubungan yang harmonis meliputi

berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik,
mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang sakit, serta meyakini
kehidupan dan kematian contohnya dengan mengunjungi, melayat,
dan lain-lain. Apabila hubungannya tidak harmonis maka akan terjadi
konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan dan friksi.
2.1.4.4. Hubungan dengan Ketuhanan
Hubungan dengan ketuhanan dapat dilihat pada orang-orang
agamis atapun tidak agamis. Dalam hal ini meliputi tindakan individu
dalam praktik ibadahnya seperti sembayang, berdoa, meditasi.

2.1.5. Fungsi Spiritualitas
Spiritualitas menjadi sumber dukungan, pada saat individu mengalami
stress maka individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya.
Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima sakit yang dialami,
khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang
lama dengan hasil yang belum pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca
kitab suci dan praktik keagamaan lainnya sering membantu memenuhi

Universitas Sumatera Utara

10

kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh
(Hamid, 2009).
Spiritualitas juga menjadi sumber kekuatan dan penyembuhan. Miller
(1995 dalam Young dan Koopsen, 2007) mengatakan bahwa spiritualitas
merupakan daya semangat, prinsip hidup atau hakikat eksistensi manusia.
Menurut Burkhardt dan Nagai-Jacobson (2002 dalam Young, 2007)
spiritualitas


dan

penyembuhan

berkaitan

sangat

erat

kaitannya.

Penyembuhan merupakan proses spiritual yang bertujuan agar seseorang
sehat. Penyembuhan terjadi sepanjang waktu, berlanjut sepanjang perjalanan
hidup manusia dan menjadi cara hidup yang mengalir dari mencerminkan
dan memelihara jiwa.

Penyembuhan bersifat spiritual, tak tampak dan

eksperiensial (dialami), yang mengintegrasikan tubuh, jiwa dan spirit.

2.1.6. Pengaruh Budaya pada Spiritual
Martsolf (1997 dalam Young &Koopsen, 2007) mengemukakan
bahwa spiritualitas dapat dipengaruhi oleh budaya maupun pengalaman
pribadi yang berlawanan dengan norma budaya. Sikap, keyakinan, dan nilai
yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan budaya.
Pada umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual
keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama termasuk
nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk
kegiatan keagamaan.
Setiap kebudayaan memiliki sistem kepercayaanya sendiri. Sistem
kepercayaan ini menyediakan suatu kerangka kerja yang mempengaruhi
bagaimana manusia memandang dunia. Budaya membantu manusia

Universitas Sumatera Utara

11

menentukan siapa yang mereka imani, budaya mempengaruhi cara manusia
menghadapi hidup, kematian, kelahiran, mengandung, membesarkan anak,
sakit, dan relasi (Hitchcock, et al 1999 dalam Young & Koopsen, 2007).

2.1.7. Peran Perawat dalam Kesehatan Spiritual
Dahulu spiritual care belum dianggap sebagai suatu dimensi nursing
terapeutik, tetapi dengan munculnya Holistic Nursing maka Spiritual care
menjadi aspek yang harus diperhatikan dan pengkajian kebutuhan spiritual
pasien berkembang dan dikenal sebagai aktivitas-aktivitas legitimasi dalam
domain keperawatan (O’Brien, 1999). Perawat selalu hadir ketika seseorang
sakit, kelahiran, dan kematian. Pada peristiwa kehidupan tersebut kebutuhan
spiritual sering menonjol, dalam hal ini perawat berperan untuk memberikan
spiritual care (Cavendish, 2003).
Baldacchino (2006) meyimpulkan bahwa perawat berperan dalam
proses keperawatan yaitu melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa
keperawatan, menyusun rencana dan implementasi keperawatan serta
melakukan evaluasi kebutuhan spiritual pasien. Perawat juga berperan
dalam komunikasi dengan pasien, tim kesehatan lainnya dan organisasi
klinik/pendidikan, serta menjaga masalah etik dalam keperawatan.

Universitas Sumatera Utara

12


2.1.8. Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas
Menurut Taylor (1997) dan Craven & Himle (1996) dalam Hamid
(2009) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang
adalah sebagai berikut:
Tahap perkembangan, berdasarkan hasil penelitian terhadap anakanak dengan empat agama yang berbeda, ditemukan bahwa mereka
mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda
menurut usia, seks, agama dan kepribadian anak. Mereka mempersepsikan
Tuhan dalam bentuk atau hal yang berbeda-beda, contohnya gambaran
tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan manusia dan saling
keterikatan dengan kehidupan. Ada yang mempercayai bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan dan selanjutnya merasa takut menghadapi kekuasaan
Tuhan, dan ada juga anak-anak yang menggambarkan Tuhan itu adalah
gambaran cahaya atau sinar.
Keluarga, peran orang tua sangat berpengaruh dalam menentukan
perkembangan spiritualitas anak. Perlu diperhatikan, hal yang penting itu
adalah bukan apa yang diajarkan oleh orang tua terhadap anaknya mengenai
Tuhan, tetapi apa yang anak peajari mengenai Tuhan, kehidupan dan diri
sendiri dari perilaku orang tua mereka. Keluarga dan orang tua adalah
lingkungan


terdekat

dan

pengalaman

pertama

bagi

anak

untuk

mempersepsikan kehidupan di dunia.
Latar belakang etnik dan budaya, sikap, keyakinan, dan nilai yang
dimiliki seseorang dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan budaya.
Pada umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual

Universitas Sumatera Utara


13

keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama termasuk
nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk
kegiatan keagamaan.
Pengalaman hidup sebelumnya, pengalaman hidup yang baik dan
buruk dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dapat
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian
atau pengalaman tersebut. Sebagai contoh, dua orang ibu yang percaya
dengan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan mencintai umatnya
kehilangan anak yang mereka cintai karena kecelakaan. Salah satu dari
mereka bereaksi dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan dan tidak mau
sembahyang lagi. Sebaliknya ibu yang satunya lagi akan terus berdoa dan
meminta Tuhan membantunya untuk bisa menerima kehilangan anaknya.
Krisis dan perubahan, krisis dan perubahan dapat menguatkan
kedalaman spiritual seseorang.

Krisis sering dialami ketika seseorang


menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, bahkan
kematian khususnya pada pasien dengan penyakit terminal.

Perubahan

dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman
spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisik dan emosional. Krisis
dapat berhubungan dengan perubahan patofisiologi, terapi atau pengobatan
dan situasi yang mempengaruhi seseorang. Diagnosis penyakit pada
umumnya akan menimbulakan pertanyaan tentang sistem kepercayaan
seseorang.
Terpisah dari ikatan spiritual, menderita sakit terutama yang
bersifat akut, seringkali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan

Universitas Sumatera Utara

14

sistem dukungan sosial. Individu yang dirawat merasa terisolasi dalam
ruangan yang asing baginya dan merasa tidak nyaman. Dengan dirawatnya
individu maka akan terjadi perubahan pada kebiasaan hidup sehari-hari
contohnya tidak dapat menghadiri suatu acara, tidak dapat mengikuti
kegiatan keagamaan, ataupun tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau
teman dekat yang biasa memberi dukungan setiap saat diinginkan.
Terpisahnya klien dari kegiatan spiritual dan orang-orang di sekitarnya
dapat beresiko terjadinya perubahan spiritual pada klien.
Isu moral terkait dengan terapi, pada sebagian agama, proses
penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan menunjukkan kebesarannya
walaupun ada juga sebagian yang menolak proses pengobatan. Prosedur
medik sering kali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama misalnya
transplantasi organ, pencegahan kehamilan.
Asuhan keperawatan yang kurang sesuai, ketika memberikan
asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan peka terhadap
kebutuhan spiritual klien dan mampu memberikan asuhan spiritual kepada
klien. Tetapi ada berbagai alasan yang membuat perawat tidak mampu dan
menghindar dalam memberikan asuhan spiritual kepada klien. Alasan
tersebut antara lain perawat kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya,
menganggap kurang pentingnya kebutuhan spiritual, merasa pemenuhan
spiritual hanya diberikan oleh pemuka agama atau mungkin belum
mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual dalam keperawatan.

Universitas Sumatera Utara

15

2.1.9. Kebutuhan Spiritualitas
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahanakan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta
kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai dan
menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan juga
dapat diartikan sebagai kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan
untuk mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan maaf dan
mendapat maaf (Carson, 1989 dalam Hamid, 2009).
Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual
adalah distress spiritual, yang merupakan suatu keadaan ketika individu atau
kelompok

mengalami

atau

beresiko

mengalami

gangguan

dalam

kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan dan
arti kehidupan (Hidayat, 2009).
2.2.

Distres Spiritual
2.2.1. Definisi Distress Spiritual
Menurut Bergren-Thomas dan Griggs (1995 dalam Young &
Koopsen, 2007) menjelaskan bahwa distress spiritual adalah suatu keadaan
dimana seseorang mengalami gangguan atau kekacauan nilai dan keyakinan
yang biasanya memberikan kekuatan, harapan dan makna hidup. Menurut
Herdman & Kamitsuru (2014) dijelaskan bahwa distress spiritual
merupakan suatu keadaan penderitaan yang terkait dengan gangguan
kemampuan untuk mengalami makna dalam hidup melalui hubungan
dengan diri sendiri, orang lain, dunia atau alam dan kekuatan yang lebih
besar dari diri sendiri.

Universitas Sumatera Utara

16

Distress spiritual atau krisis spiritual terjadi ketika seseorang tidak
dapat menemukan makna dan tujuan hidup, harapan, cinta, kedamaian atau
kekeuatan dalam hidup mereka. Krisis ini bisa terjadi saat seseorang
mengalami ketiadaan hubungan dengan hidup, sesama, alam dan ketika
situasi

hidup

bertentangan

dengan

keyakinan

yang

dimilikinya

(Anandarajah dan Hight, 2001 dalam Young dan Koopsen, 2007).
Distress spiritual mengacu pada tantangan dari kesejahteraan spiritual
atau sistem kepercayaan yang memberikan kekuatan, harapan dan arti hidup
(Carpenito 2002 dalam Kozier et al, 2004). Pendapat lain menjelaskan
bahwa distress spiritual merupakan masalah yang sering terjadi pada
pemenuhan kebutuhan spiritual (Hidayat, 2009). Kebutuhan spiritual yang
dimaksud yaitu kebutuhan untuk mencari makna dan tujuan hidup,
kebutuhan mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk memberi maaf dan
dimaafkan (Hamid, 2009).
2.2.2. Ciri-ciri Khusus Distress Spiritual
Menurut Benedict dan Taylor (2002, dalam Young dan Koopsen,
2007) ciri-ciri khusus dari distress spiritual meliputi hal berikut: pertanyaan
tentang implikasi moral/etis dari aturan terapeutik, perasaan tidak bernilai,
kepahitan, penolakan, rasa salah dan rasa takut, mimpi buruk, gangguan
tidur, anorexia, keluhan somatis, pengungkapan konflik dalam batin atas
kepercayaan yang dihayati, ketidakmampuan dalam berpartisipasi dalam
praktik keagamaan yang biasa diikuti, mencari bantuan spiritual,
mempertanyakan

makna

penderitaan,

mempertanyakan

makna

keberadaan/eksistensi manusia, amarah pada Tuhan, kekacauan dalam

Universitas Sumatera Utara

17

perasaan atau perilaku (marah, menangis, menarik diri, cemas, apatis dan
sebagainya), dan untuk yang terakhir menghindari humor.
2.2.3. Batasan Karakteristik Distress Spiritual
Menurut Herdman & Kamitsuru (2014) batasan karakteristik dari
distress spiritual yaitu sebagai berikut.
2.2.3.1. Hubungan dengan Diri Sendiri
Yang berhubungan dengan diri sendiri meliputi: marah,
kurangnya ketenangan atau kedamaian, perasaan tidak dicintai, rasa
bersalah, kurang dapat menerima atau kurang pasrah, koping yang
tidak efektif, tidak cukup tabah, mengungkapkan kurangnya makna
hidup.
2.2.3.2. Hubungan dengan Orang Lain
Berhubungan dengan orang lain meliputi: mengungkapkan rasa
terasing, menolak berinteraksi dengan pemimpin spiritual, menolak
berinteraksi dengan orang yang dianggap penting, pemisahan dari
sistem pendukung.
2.2.3.3. Hubungan dengan Seni, Musik, Literatur, Alam
Berhubungan dengan seni, musik, literatur, alam meliputi
ketidakmampuan mengungkapkan kondisi kreativitas sebelumnya
(misalnya menyanyi, mendengarkan musik ataupun menulis), dan
tidak berminat atau tertarik pada alam maupun membaca literatur
spiritual.

Universitas Sumatera Utara

18

2.2.3.4. Hubungan dengan Kekuatan yang Lebih Besar
Berhubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya
meliputi mengungkapkan kemarahan terhadap kekuatan yang lebih
besar dari dirinya, merasa ditinggalkan, putus asa, ketidakmampuan
untuk introspeksi diri, ketidakmampuan untuk mengalami pengalaman
religiositas,

ketidakmampuan

berpartisipasi

dalam

kegiatan

keagamaan, ketidakmampuan untuk berdoa, merasakan penderitaan,
meminta menemui pemimpin keagamaan, dan mengalami perubahan
yang tiba-tiba dalam praktik spiritual.
Menurut Carpenito (2013) batasan karakteristik distress spiritual
dibagi berdasarkan mayor dan minor. Karakteristik mayor adalah
karakteristik yang harus ada pada distress spiritual yaitu klien mengalami
suatu gangguan dalam sistem keyakinan. Batasan karakteristik minor yaitu
karakteristik yang mungkin ada pada klien dengan distress yaitu (Carpenito,
2013) meliputi:
1. Mempertanyakan makna kehidupan, kematian, dan penderitaan
2. Mempertanyakan kredibilitas terhadap sistem keyakinan
3. Mendemonstrasikan keputusan atau kekecewaan
4. Memilih untuk tidak melakukan ritual keagamaan yang biasa
dilakukan
5. Mempunyai perasaan ambivalen (ragu) mengenai keyakinan
6. Mengungkapkan bahwa ia tidak mempunyai alasan untuk
hidup
7. Merasakan perasaan kekosongan spiritual

Universitas Sumatera Utara

19

8. Menunjukkan keterpisahan emosional dari diri sendiri dan
orang lain
9. Menunjukkan

kekhawatiran-marah,

dendam,

ketakutan-

mengenai arti kehidupan, penderitaan, kematian
10. Meminta bantuan spiritual terhadap suatu gangguan dalam
sistem keyakinan.
2.2.4. Faktor yang Berhubungan Distress Spiritual
Menurut Anandarajah dan Hight (2001, dalam Young dan Koopsen,
2007) distress atau krisis spiritual dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan
mental dan sering diperburuk oleh penyakit medis atau takut mati. Faktor
tambahan lain yang berhubungan dengan distress spiritual meliputi (Taylor,
2002 dalam Young dan Koopsen 2007) : kehilangan orang yang dicintai,
rendahnya harga diri, penyakit mental, penyakit alamiah, penyakit fisik,
perasaan kehilangan sesaat, penyalahgunaan benda terlarang, reaksi yang
buruk dengan sesama, tekanan fisik atau psikologis, ketidakmampuan untuk
mengampuni, kekurangan mencintai diri sendiri dan yg terakhir kecemasan
ekstrem.
Menurut Herdman (2012) faktor yang berhubungan dengan distress
spiritual yaitu sebagai berikut: menjelang ajal, ansietas, sakit kronis,
kematian, perubahan hidup, kesepian, nyeyi, keterasingan diri maupun
sosial dan gangguan sosiokultural.

Universitas Sumatera Utara

20

2.2.5. Proses Keperawatan Distress Spiritual
Proses keperawatan distress spiritual terdiri dari 5 tahap yaitu:
1. Proses keperawatan – pengkajian. Pada proses pengkajian yaitu
dilakukan pengkajian terhadap keyakinan klien seperti sumber
kekuatan dan arti spiritual pada klien, mengkaji bagaimana kepuasan
atau pencapain hidup, hubungan dengan masyarakat, ritual dan
praktek keagamaan, pekerjaan dan harapan klien.
2. Proses keperawatan – diagnosa. Kesejahteraan spiritual sebaiknya
dipikirkan secara luas dan tidak terbatas pada agama. Semua orang
beragama, dalam arti bahwa mereka membutuhkan sesuatu yang
dapat memberikan arti dalam hidup mereka. Untuk sebagian orang
hal ini berarti percaya kepada Tuhan dalam arti tradisional, untuk
yang lainnya hal ini merupakan perasaan keselarasan dengan alam,
sementara yang lainnya lagi hal ini dapat keluarga dan anak-anak.
Ketika pasien percaya bahwa hidup tidak memiliki arti dan tujuan
hidup dalam arti apapun saat itulah terjadi distress spiritual.
3. Proses keperawatan – perencanaan. Pada proses perencanaan perlu
diperhatikan kolaborasi dengan klien dan keluarga akan pilihan
intervensi, konsul dengan pemimpin keagamaan, ritual spiritual dan
observasi.
4. Proses keperawatan – implementasi. Dalam melaksanakan spiritual
care yaitu perawat perlu mendengarkan pasien, perawat perlu hadir
setiap saat untuk pasien, kemampuan perawat untuk menerima apa
yang disampaikan pasien, dan menyikapi dengan bijaksana

Universitas Sumatera Utara

21

keterbukaan pasien pada perawat. Promosi kesehatan yaitu
menyatakan pentingnya kebutuhan spiritual pada pasien. Membantu
berdoa atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu tindakan
keperawatan terkait spiritual pasien, menghubungi atau merujuk
pasien kepada pemuka agama, perawat dan pemuka agama dapat
bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien.
5. Proses keperawatan – evaluasi. Untuk melengkapi siklus proses
keperawatan spiritual pasien, perawat harus melakukan evaluasi
yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah tercapai. Hal ini sulit
dilakukan karena dimensi spiritual yang bersifat subjektif dan lebih
kompleks. Membahas hasil dengan pasien dari implementasi yang
telah dilakukan tampaknya menjadi cara yang baik untuk
mengevaluasi spiritual care pasien (Govier, 2000).
2.3.

HIV/AIDS
2.3.1. Definisi HIV/AIDS
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus dalam
bahasa indonesia yang berarti virus penyebab menurunnya kekebalan tubuh
manusia. Virus ini termasuk RNA virus genus Lentivirus golongan
retrovirus famili retroviridae. Spesies HIV-1 dan HIV-2 merupakan
penyebab infeksi HIV pada manusia (Soedarto, 2010). Jadi, HIV adalah
virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian
menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih
yang berfungsi untuk kekebalan tubuh. Virus HIV ditemukan dalam darah,
cairan vagina, cairan sperma, dan ASI (Maryunani & Aeman, 2009).

Universitas Sumatera Utara

22

AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome. Acquired berarti didapat bukan keturunan, immune terkait
dengan sistem kekebalan tubuh, deficiency berarti kekurangan dan
syndrome berarti penyakit dengan kumpulan gejala bukan gejala tertentu.
Maka AIDS dapat sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia yang didapat bukan karena
keturunan, tetapi disebabkan oleh virus HIV (Maryunani & Aeman, 2009).
Menurut Djuanda (2007) AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan
tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia
sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan
kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi
bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain
itu penderita AIDS sering sekali menderita keganasan, khususnya sarkoma
kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak.
Menurut Hermawan (2006) AIDS adalah sindrom atau kumpulan
gejala yang disebabkan oleh HIV yang mudah menular dan mematikan.
Virus tersebut menyerang sistem kekebalan tubuh, dengan akibat turunnya /
hilangnya daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terjangkit dan meninggal
karena penyakit infeksi, keganasan dan lain-lain.
2.3.2. Penyebab HIV/AIDS
Beberapa peneliti sependapat bahwa penyebab AIDS adalah sejenis
retrovirus yang disebut Lymphadenopathy Associated Virus (LAV) atau
Human T-Cell Leukemia Virus III (HTLV-III) yang juga disebut Human TCell Lymphotrophic Virus (retrovirus). LAV ditemukan oleh Montagnier

Universitas Sumatera Utara

23

dkk pada tahun 1983 di Perancis, sedangkan HTLV-III ditemukan oleh
Gallo di Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini
ternyata banyak ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200
monyet hijau Afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa
menimbulkan penyakit. HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 yang merupakan
peyebab infeksi HIV pada manusia (Djuanda, 2007).
HIV diklasifikasikan sebagai retrovirus, yaitu virus asam ribonukleat
(RNA). Retrovirus memiliki enzim yang disebut transkriptase balik yang
memberikan kemampuan untuk mengubah kode RNA mereka menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA). Kemudian, DNA retrovirus berintegrasi ke dalam
DNA sel inang sehingga membuat sel inang menjadi pabrik HIV. Pada
manusia, yang berperan sebagai sel inang adalah sistem imun dan dikenal
sebagai sel cluster of differentiation 4 (CD4) (French, 2015).
2.3.3. Cara penularan HIV/AIDS
Cairan tubuh yang dapat mengandung HIV yakni air mani, darah,
cairan vagina, air susu ibu, air mata, air liur, air seni, air ketuban dan cairan
serebrospinal. Akan tetapi yang potensial sebagai media penularan hanya air
mani, darah, dan cairan vagina. Hingga saat ini cara penularan yang
diketahui ialah melalui hubungan seksual, darah, dan secara perinata yakni
dari ibu ke bayi yang dikandungnya (Hermawan, 2006).
Menurut French (2015) HIV bukan fenomena yang terjadi secara
alamiah, virus ini harus ditransmisikan dari mana pun agar seseorang dapat
terinfeksi. Transmisi HIV dapat terjadi baik melalui kontak seksual, via
darah atupun produk darah, atau dari ibu ke bayinya.

Universitas Sumatera Utara

24

a. Kontak seksual – Sebagian besar infeksi HIV terjadi melalui
hubungan intim tanpa pelindung. HIV terdapat pada semen, precum, cairan vagina, dan darah haid. Selama berhubungan intim tanpa

pelindung dengan pasangan yang terinfeksi, HIV dapat berpindah
dari satu orang ke orang lain melalui kontak dengan membran
mukosa. Seperti melalui hubungan seksual anal dan vaginal tanpa
pelindung, HIV dapat ditransmisikan juga melalui seks oral tanpa
pelindung meskipun beberapa bukti menyatakan bahwa metode ini
berisiko lebih kecil untuk mengalami infeksi. Beberapa faktor
tertentu akan membuat transmisi HIV lebih memungkinkan,
contohnya, jika seorang individu sudah mengalami SAI, seperti
klamidia ia lebih rentan terhadap infeksi (French, 2015). Dalam
Hermawan

(2006)

disebutkan

juga

bahwa

kontak

dengan

menggunakan mulut, hubungan seksual menggunakan kondom,
ciuman mulut dengan mulut, dan ciuman mulut dengan kelamin
dapat memberikan risiko penularan HIV.
b. Kontak darah dengan darah – HIV terdapat di dalam darah, setiap
kontak dengan darah yang terinfeksi HIV berpotensi menyebabkan
infeksi. Metode infeksi yang paling umum adalah melalui berbagai
peralatan injeksi

di

antara

pengguna

obat

terlarang yang

diinjeksikan. Saat ini, infeksi HIV jarang terjadi melalui tranfusi
darah karena semua darah yang didonasikan untuk tranfusi di Inggris
sudah diperiksa untuk HIV dan pemeriksaan tersebut sudah
dilakukan sejak tahun 1985. Infeksi HIV melalui luka akibat jarum

Universitas Sumatera Utara

25

injeksi jarang terjadi dan hanya terjadi pada sekitar kurang dari 1%
individu.
c. Transmisi ibu ke anak – HIV dapat ditularkan ibu ke bayinya, baik
sebelum atau selama persalinan atau ketika menyusui. Semua ibu
hamil ditawarkan dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan HIV
karena jika HIV dikonfirmasi selama kehamilan, medikasi dapat
diberikan

ke

ibu

untuk

mengurangi

risiko

infeksi

HIV

ditransmisikan ke janin.
2.3.4. Gambaran klinis HIV/AIDS
Global Programme on AIDS dari badan kesehatan dunia (WHO)
mengusulkan “Pembagian Tingkat Klinik Penyakit Infeksi HIV” sesudah
mengadakan pertemuan di Geneva bulan Juni 1989 dan bulan Februari
1990. Usulan tersebut berdasarkan penelitian terhadap 907 penderita
seropositif HIV dari 26 Pusat Perawatan yang berasal dari 5 benua.
Pembagian tingkat klinik infeksi HIV tersebut adalah sebagai berikut
(Djoerban, 2001)
Tingkat klinik 1 (Asimptomatik/LGP)
1. Tanpa gejala sama sekali
2. Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran
kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap.

Universitas Sumatera Utara

26

Tingkat klinik 2 (Dini)
1. Penurunan berat badan kurang dari 10%
2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis
seboroika, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut
berulag dan cheilitis angularis
3. Herpes Zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya sinusitis
Pada tingkat ini pasien sudah menunjukkan gejala tetapi aktivitas tetap
normal.
Tingkat klinik 3 (menengah)
1. Penurunan berat badan >10% berat badan
2. Diare kronik >1 bulan, penyebab tidak diketahui
3. Panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan,
hilang timbul maupun terus-menerus
4. Kandidiasis mulut
5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukoplakia)
6. Tuberkulosis paru setahun terakhir
7. Infeksi bakterial berat, misalnya pneumonia
Pada tingkat klinik 3 penderita biasanya berbaring di tempat tidur lebih
dari 12 jam sehari, selama sebulan terakhir.
Tingkat klinik 4 (lanjut)
1. Badan menjadi kurus (HIV wasting syndrome), yaitu berat badan
turun lebih dari 10% dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya

Universitas Sumatera Utara

27

selama lebih dari 1 bulan atau kelemahan kronik dan panas tanpa
diketahui sebabnya lebih dari 1 bulan
2. Pnemonia Pneumocystis carinii
3. Toksoplasmosis otak
4. Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan
5. Kriptokokosis di luar paru
6. Infeksi sitomegalo virus pada organ tubuh kecuali di limpa, hati atau
kelenjar getah bening
7. Infeksi virus herpes simpleks di mukokutan lebih dari 1 bulan atau di
alat dalam (viseral) lamanya tidak dibatasi
8. Mikosis apa saja (misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis) yang
endemik, menyerang banyak organ tubuh (diseminata)
9. Kandidosis esofagus, trakea, bronkus, atau paru
10. Mikobakteriosis atipik diseminata
11. Septikemia salmonella non tifoid
12. Tuberkulosis di luar paru
13. Limfoma
14. Sarkoma kaposi
15. Ensefalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau
disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif
sesudah beberapa minggu atau bulan, tanpa dapat ditemukan
penyebab lain kecuali HIV

Universitas Sumatera Utara

28

2.3.5. Tahapan infeksi HIV/AIDS
Progresi penyakit HIV dibagi menjadi empat tahap utama (French,
2015) yaitu:
2.3.5.1. Primer
Individu yang terinfeksi HIV seringkali tidak menyadari bahwa
mereka telah terinfeksi karena mereka tidak menemukan atau
mengalami gejala yang dapat diidentifikasi . beberapa orang akan
mengalami kondisi sakit dalam periode pendek segera setelah mereka
terinfeksi, kondisi ini disebut “penyakit serokonversi” karena terjadi
sesaat sebelum antibodi untuk HIV diproduksi di dalam tubuh, ketika
kadar HIV mencapai angka tertinggi di dalam darah yang bersirkulasi.
Pada saat ini, orang yang terinfeksi menjadi sangat infeksius.
Serokonversi

Gejala untuk penyakit serokonversi bersifat samar dan sering kali
dideskripsikan sebagai gejala “seperti flu”. Umumnya, gejala mulai
terjadi pada 2-6 minggu pasca-infeksi HIV dan akan terjadi sekitar 1014 hari. Gejala dapat mencakup :
a. Demam dan rasa nyeri pada ekstremitas
b. Ruam berbercak merah pada tubuh bagian atas
c. Sakit tenggorok (faringitis)
d. Ulserasi pada mulut atau genital
e. Diare
f. Sakit kepala berat
g. Tidak dapat melihat cahaya

Universitas Sumatera Utara

29

Diperkirakan hingga 80% orang yang terinfeksi HIV akan
mengalami beberapa gejala ini; namun beberapa gejala ini amat
samar dan berkaaitan dengan penyakit minor lainnya; gejala ini
tidak dikaitkan dengan infeksi HIV. Gejala yang lebih jarang
mencakup meningitis, paralisis, infeksi oportunistik. Jika gejala
yang jarang terjadi ini dialami atau jika gejala terjadi lebih dari
yang

diperkirakan,

prognosisnya

buruk.

Tanpa

medikasi

antiretroviral, diagnosis AIDS cenderung dapat ditegakkan dalam 5
tahun.
2.3.5.2. Asimtomatik
Tahap infeksi asimtomatik disebut seperti itu karena orang yang
terinfeksi HIV sering kali menunjukkan tanda infeksi yang tidak
terlihat dan tidak adanya progresi penyakit pada tahap ini. Tahap
infeksi HIV ini dapat berlangsung selama beberapa tahun.
Jika terdapat gejala-gejala tersebut, mayoritas dari individu akan
mengalami pembengkakan kelenjar getah bening, yang disebut PGL.
PGL adalah tanda dari tubuh yang mencoba melawan infeksi HIV dari
pada tanda kerusakan pada sistem imun.
Walaupun individu dengan HIV tidak akan memiliki tandatanda infeksi yang kasat mata, terkadang terdapat kerusakan pada
sistem imun mereka yang hanya dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
darah spesifik. Pemeriksaan darah ini termasuk hitung sel CD4 dan
pemeriksaan beban virus.

Universitas Sumatera Utara

30

2.3.5.3. Simtomatik
Penelitian telah menunjukkan bahwa jika dibiarkan tanpa
diterapi, HIV akan terus menerus menyerang sistem imun sel inang
dan menyebabkan lebih banyak gangguan. Kecepatan terjadinya
gangguan amat bergantung pada respons spesifim individu terhadap
virus. Semakin parah imunosupresi maka individu akan semakin
rentan mengalami infeksi dan/atau tumor yang mengindikasikan
infeksi HIV simtomatik.
a. Aksi spesifik HIV

Sebagian besar gejala yang terlihat pada individu yang terinfeksi
HIV disebabkan oleh penurunan sistem imun dibanding aksi virus
itu sendiri. Satu-satunya pengecualian dari kondisi tersebut adalah
sindrom wasting HIV dan demensia HIV, yang disebabkan oleh
aksi langsung HIV.
b. Infeksi oportunistik

Infeksi

oportunistik

adalah

infeksi

yang

masih

dapat

dikendalikan oleh sistem imun yang sehat, tetapi setelah sistem
imun mengalami gangguan akibat HIV; infeksi mengambil
“kesempatan” untuk menimbulkan masalah dan menyebabkan
kondisi sakit. Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi di
Inggris adalah Pneumocystis jiroveci (carinii) pneumonia.
2.3.5.4. AIDS
AIDS adalah diagnosis yang ditegakkan hanya jika kriteria
medis tertentu telah ditemukan. Sebagai contoh, individu yang

Universitas Sumatera Utara

31

didiagnosis AIDS akan ditemukan kondisi oportunistik, seperti PCP
atau Sarkoma Kaposi, dan mengalami imunosupresi yang nyata.
2.3.6. Penegakan diagnosis HIV/AIDS
Diagnosis AIDS dan infeksi HIV seringkali terlewat, tak terdiagnosis.
Kriteria diagnosis yang dipakai di Amerika sukar diterapkan di negara
berkembang termasuk Indonesia, karena memerlukan pemeriksaanpemeriksaan yang rumit.
Pada tahun 1985, WHO menerbitkan definisi Bangui, suatu pedoman
untuk menetapkan definsi AIDS secara klinik di negara berkembang dengan
fasilitas laboratorium yang terbatas. Gambaran klinik sebagian besar
penderita AIDS di Jakarta sesuai dengan kriteria tersebut, sehingga dapat
dipakai sebagai dasar untuk mencurigai AIDS.
Tanda mayor kriteria tersebut adalah panas lebih dari 1 bulan, berat
badan turun lebih dari 10% dan diare lebih dari 1 bulan. Tanda minornya
adalah dermatitis pruritik generalisata, herpes zooster berulang, candidiasis
mulut dan pharyng, herpes simplek ulseratif, pembesaran getah bening.
Kemudian dilanjutkan dengan tes HIV yang positif yaitu:
a. Uji ELISA positif yang dikonfirmasikan dengan Western-Blot atau
b. Apabila fasilitas pemeriksaan diatas kurang, maka patut diduga
apabila ELISA 3x (dengan reagensia yang berlainan) didapatkan
hasil yang positif atau
c. Pembuktian adanya infeksi oportunistik atau kanker tertentu.

Universitas Sumatera Utara

32

2.3.7. Pencegahan HIV/AIDS
Belum ditemukannya obat yang dapat menyembuhkan AIDS maupun
vaksin yang terinfeksi untuk mencegah penyakit AIDS, menyebabkan upaya
pencegahan merupakan satu-satunya upaya penangkalan terhadap penyakit
AIDS (Hermawan, 2006).
Pencegahan hanya dapat dilakukan dengan menghindari kontak
dengan virus yang berasal dari penderita baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui barang-barang yang tercemar dengan bahan infektif
berasal dari penderita HIV (Soedarto, 2010).
Penyuluhan harus menekankan bahwa risiko terinfeksi HIV
meningkat pada orang yang memiliki banyak mitra seksual dan pada
penggunaan jarum suntik bersama, serta harus diberi petunjuk untuk
menghindari faktor risiko tersebut. Hindari hubungan seksual dengan
pengidap atau yang diduga terinfeksi HIV. Risiko penularan melalui
hubungan seksual dapat dikurangi dengan penggunaan kondom lateks.
Hubungan monogami jangka panjang antara 2 orang yang tidak terinfeksi
HIV tidak mempunyai risiko untuk tertular HIV.
Pencegahan penularan HIV melalui transfusi darah dan komponen
darah dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV sebelumnya. Donor
darah, organ, jaringan atau sel (termasuk semen untuk inseminasi buatan)
tidak diambil dari orang yang memiliki perilau berisiko terinfeksi HIV.
Semua calon donir harus diuji untuk HIV lebih dulu. Jarum dan alat tajam
lain

harus

diperlukan

secara

hati-hati

sejak

penggunaan

sampai

pembuangan. Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan lateks

Universitas Sumatera Utara

33

bila kontak dengan darah atau cairan tubuh lain yang tampak berdarah
termasuk gigi. Percikan darah pasien pada petugas kesehatan harus segera
dicuci dengan sabun atau air (Hermawan, 2006).
2.3.8. Pengobatan HIV/AIDS
Pengobatan infeksi HIV mutakhir adalah dengan antiretrovirus (ARV)
yang sangat aktif (Highly Active Antiretroviral Therapy, HAART) yang
menggunakan protease inhibitor, berupa kombinasi sedikitnya 3 ARV
berasal dari sedikitnya 2 jenis / kelas yang berbeda. Kombinasi ARV yang
umum digunakan adalah NRTI (nucleoside analogue reverse transcriptase
inhibitor ), dengan protease inhibitor atau dengan non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI). Penerapan HAART meningkatkan kualitas

hidup dan kesehatan umum penderita HIV, menurunkan dengan drastis
angka kesakitan dan angka kematian HIV. Pada prinsipnya ARV harus
diberikan segera sesudah diagnosis HIV ditegakkan (Soedarto, 2010).
Tabel 2.1. Obat antiretroviral (NRTI) yang telah disetujui FDA
Singkatan

Nama Generik

Nama Dagang Cara Pemberian

3TC

Lamivudine

Epivir

Dengan atau tanpa makanan

ABC

Abacavir

Ziagen

Dengan atau tanpa makanan

AZT/ZDT Zidovudine

Retrovir

Dengan atau sesudah makan

D4T

Stavudine

Zerit

Dengan atau tanpa makanan

DdC

Zalcitabine

Hivid

Dengan atau sesudah makan

Ddl

Didanosine

Videx

Berikan

30

menit

sebelum

makan; hindari alkohol

Universitas Sumatera Utara

34

Tabel 2.2. Obat antiretroviral (NNRTI) yang disetujui FDA
Singkatan

Nama Generik

Nama Dagang

Cara Pemberian

DLV

Delavirdine

Rescriptor

Dengan

atau

tanpa

makanan
EFV

Efavirenz

Sustiva/Stocrin

Berikan waktu lambung
dalam keadaan kosong

ETR

Etravirine

Intelence

Berikan bersama makanan

NVP

Nevirapine

Viramune

Dengan

atau

tanpa

makanan

Tabel 2.3. Protease Inhibitor yang disetujui FDA
Singkatan

Nama Generik

Nama Dagang

Cara Pemberian

APV

Amprenavir

Agenerase

Dengan

atau

tanpa

makanan
Hindari makanan berlemak
FOS-APV

Fosamprenavir

Lexiva

Dengan

Telzir

makanan

atau

tanpa

Universitas Sumatera Utara

35

2.3.9. Spiritualitas HIV/AIDS
Permasalahan spiritual juga bisa dialami HIV/ AIDS tersebut antara
lain menyalahkan Tuhan, menolak beribadah, beribadah tidak sesuai
ketentuan, gangguan dalam beribadah maupun distress spiritual. Studi
kualitatif mengindikasikan bahwa pasien HIV/ AIDS akan berakibat buruk
pada spiritualitasnya setelah mengetahui bahwa mereka terdiagnosis HIV/
AIDS (Tarakesh, et al, 2006 dalam Trevino, dkk, 2010).
Berdasarkan penelitian Hardiansyah, Amiruddin, dan Asyad (2014)
terhadap 21 responden ODHA mengenai kualitas hidup orang dengan
HIV/AIDS di kota Makassar menunjukkan bahwa dari domain psikologis
52,4% responden sering merasakan feeling blue (kesepian, putus asa, cemas,
dan depresi). Berdasarkan domain spiritual terdapat 33,3% responden sering
merasa takut akan masa depan dan 38,1% responden biasa merasakan
khawatir akan kematian.

Universitas Sumatera Utara