Policy Paper

Tim Penyusun
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR
Sektor Kesehatan
Penasehat
Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
Kepala Editor
U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas
Koordinator ICCSR
Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas
Editor
Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke
Laporan Sintesis
Koordinator Penyusun untuk Adaptasi: Djoko Santoso Abi Suroso
Laporan Sektor Kesehatan
Penyusun: Budhi Setiawan, Supratman Sukowati, Juli Soemirat Slamet
Tim Pendukung Teknis
Chandra Panjiwibowo, Hendra Julianto, Leyla Stender, Tom Harrison, Ursula Flossmann-Krauss
Tim Administrasi
Altamy Chrysan Arasty, Risnawati, Rinanda Ratna Putri, Siwi Handinah, Wahyu Hidayat, Eko Supriyatno,
Rama Ruchyama, Arlette Naomi, Maika Nurhayati, Rachman


i
ICCSR - SektoR keSehatan

uCAPAn TeRimA KAsiH
Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan
perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini
memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi,
industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan
kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui
perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen
ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul
dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen
ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan.
Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan
yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen
ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang
telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini.

Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah
ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen ICCSR
Sektor Kesehatan, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggitingginya:
Komite Pengarah
Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris Menteri,
Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Deputi Menteri Bidang Kependudukan, Kesehatan, dan
Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Jenderal, Kementerian
Kesehatan; Sekretaris Utama, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geoisika; Deputi Bidang Ekonomi,
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan, Deputi Bidang Sumber
Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Kelompok Kerja
Kementerian Kesehatan
Wan Alkadri, Budi Sampurno, Sri Endah S., Ann Natallia, Tutut Indra Wahyuni, Slamet, Mukti Rahadian,
Sonny Narou, Martini. M, Dirman Siswoyo, Agus Handito, Winarno

iii
ICCSR - SektoR keSehatan

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas

Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta,
Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari,
Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito,
Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda,
Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun
administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini.
Pembuatan dokumen ICCSR ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ)
melalui Study and Expert Fund for Advisory Services in Climate Protection. Atas dukungan tersebut, penghargaan
serta terima kasih yang setinggi-tingginya diberikan.

iv
ICCSR - SektoR keSehatan

Kata Pengantar dari menteri Perencanaan
Pembangunan nasional/ Kepala Bappenas
Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat
mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan
pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama

yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh
dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu
rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi
tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun
2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon
international yang solid – aksi kolektif untuk menghindari konlik
antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi
dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang
sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak
perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan
pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan
pembangunan yang berkelanjutan.
Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi
telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua,
emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi
geograisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian
yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim
kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan
keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko.
Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau

memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintiik yang tidak
terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan
pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan
secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa
maupun individu.
Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif perubahan iklim.
Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama berkontribusi dalam memanaskan bumi ini.
Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan

v
ICCSR - SektoR keSehatan

segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global
bumi. Kita telah meratiikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi
perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada
tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah
dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat
penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan
strategis dan penetapan prioritas.

Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR,
dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional.
Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,,
yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah,
dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita
telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan
kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan
aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor.
Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan
kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah
iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Prof. Armida S. Alisjahbana

vi
ICCSR - SektoR keSehatan


Kata Pengantar dari Deputi menteri Bidang sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas

Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global,
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi
Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam
kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan
dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan
international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi
terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari
kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan
oleh sebagian pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar tidak
terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari
intensitas energi kita yang tinggi.
Dengan lokasi geograisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk salah satu negara
yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan
untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut,
banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan,
maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil

pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai.
Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentiikasi
upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional
dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan
upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya
mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang.
Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

U. Hayati Triastuti

vii
ICCSR - SektoR keSehatan

DAFTAR isi
Tim Penyusun


i

UCAPAN TERIMA KASIH

iii

Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas

v

Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, Bappenas

vii

DAFTAR ISI

viii

DAFTAR GAMBAR


xi

DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR ISTILAH

xiv

1

2

PENDAHULUAN

1

1.1


Latar Belakang

2

1.2

Tujuan

2

1.3

Pendekatan

3

1.3.1

Pendekatan Basis Keilmuan

3

1.3.2

Proses Partisipasi Para Pemangku Kepentingan

4

PERMASALAHAN DAN TANTANGAN SEKTOR KESEHATAN

5

2.1

Kondisi dan Permasalahan Sektor Kesehatan

6

2.2

Tantangan Perubahan Lingkungan Global dan Perubahan Iklim

6

2.2.1

Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan

8

2.2.2

Metode Analisis Dampak Kesehatan terkait Perubahan Iklim

11

2.2.3

Penyakit Malaria di Indonesia

12

2.2.4

Demam Berdarah Dengue di Indonesia

17

2.2.5

Diare di Indonesia

18

2.2

Perhitungan Dampak Perubahan Iklim terhadap Penyakit Malaria, DBD, dan Diare

21

viii
ICCSR - SektoR keSehatan

2.2.1

Pengaruh Perubahan Pola Curah Hujan dan Temperatur terhadap Malaria

2.2.2

Perhitungan Pengaruh Perubahan Pola Curah Hujan dan
Temperatur terhadap Malaria

23

2.2.3

Pengaruh Perubahan Pola Curah Hujan dan Temperatur terhadap DBD

24

2.2.4

Perhitungan Pengaruh Perubahan Pola Curah Hujan dan Temperatur

2.2.5
3

21

terhadap Demam Berdarah Dengue (DBD)

27

Perhitungan Dampak Perubahan Iklim terhadap Diare

29

TINGKAT KERENTANAN SEKTOR KESEHATAN

31

3.1

Pengertian Kerentanan dalam Sektor Kesehatan

32

3.2

Paparan sebagai Faktor Kerentanan dalam Sektor Kesehatan

32

3.3

Sensitivitas sebagai Faktor Kerentanan dalam Sektor Kesehatan

33

3.3.1

Tingkat Kesejahteraan Penduduk

33

3.3.2

Angka Kematian Bayi

35

3.4

3.5

Kapasitas Adaptasi sebagai Faktor Kerentanan dalam Sektor Kesehatan

36

3.4.1

Rumah Sakit

36

3.4.2

Puskesmas

37

3.4.3

Posyandu

38

3.4.4

Jangkauan Imunisasi

39

3.4.5

Tenaga Kesehatan

40

3.4.6

Poskesdes

42

3.4.7

Polindes

43

3.4.8

Cakupan Akses Masyarakat ke Sumber Air Bersih dan Sanitasi

43

Kerentanan Penyakit Terkait Perubahan Iklim di Indonesia

45

3.5.1

Kerentanan Malaria

46

3.5.2

Kerentanan Penyakit Demam Berdarah Dengue

47

3.5.3

Kerentanan Penyakit Diare

49

ix
ICCSR - SektoR keSehatan

4

RISIKO PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KESEHATAN

51

4.1

Pengertian Risiko Perubahan Iklim

52

4.2

Hasil Perhitungan Risiko Perubahan Iklim

52

4.2.1

Risiko Penyakit Malaria

54

4.2.2

Risiko Penyakit Demam Berdarah

55

4.2.3

Risiko Penyakit Diare

55

4.3
5

Kegiatan Penurunan Risiko

58

ARAH DAN TAHAPAN MASA DEPAN INTEGRASI ADAPTASI

PERUBAHAN IKLIM DI DALAM PERENCANAAN NASIONAL
UNTUK SEKTOR KESEHATAN

63

5.1

Permasalahan dan Rekomendasi Terkait Strategi Adaptasi

64

5.2

Metode Pembuatan Program Adaptasi Sektor Kesehatan

65

5.3

Tahapan Program Kesehatan Tahun 2010-2014

67

5.4

Tahapan Program Kesehatan Tahun 2015-2019

70

5.5

Tahapan Program Kesehatan Tahun 2020-2024

71

5.6

Tahapan Program Kesehatan Tahun 2025-2029

72

DAFTAR PUSTAKA

122

LAMPIRAN A

124

LAMPIRAN B

127

LAMPIRAN C

131

LAMPIRAN D

133

x
ICCSR - SektoR keSehatan

DAFTAR GAmBAR
Gambar 2.1

Keterkaitan Antara Berbagai Perubahan Lingkungan Global Utama yang
Mempengaruhi Kesehatan Manusia, Termasuk Perubahan Iklim

3

Gambar 2.2

Alur Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan

7

Gambar 2.3

Diagram Skematik Pola Hubungan Iklim Yang Mempengaruhi Kesehatan, Baik
yang Memberikan Dampak Langsung Maupun Terdapat Pengaruh Modiikasi
dari Kondisi Lingkungan, Sosial dan Sistem Kesehatan

7

Gambar 2.4

Kasus Malaria di Jawa dan Bali Pada Tahun 1989 - Tahun 2007

8

Gambar 2.5

Peta Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria Pada Tahun 2004-2005

9

Gambar 2.6

Peta Endemisitas Malaria Pada Tahun 2007

10

Gambar 2.7

Peta Sebaran Kasus Malaria Tahun 2008

12

Gambar 2.8

Distribusi Spesies Vektor Malaria di Indonesia

13

Gambar 2.9

Morbiditas dan Mortalitas DBD di Indonesia dari tahun 1997 sampai tahun
2007 yang dinyatakan dengan IR (garis hitam) dan CFR (garis merah)

17

Gambar 2.10

Peta Sebaran Demam Berdarah Dengue Tahun 2008

18

Gambar 2.11

Insidens Diare Balita di Indonesia pada Tahun 1989-2006

19

Gambar 2.12

Kasus Diare di Indonesia Pada Tahun 1981-2008

19

Gambar 2.13

Kejadian Diare Berdasarkan Bulan di Indonesia

20

Gambar 2.14

Peta Sebaran Diare Tahun 2008

20

Gambar 2.15

Hubungan Antara Kasus Malaria, Curah Hujan dan

21

Gambar 2.16

Peta Sebaran Curah Hujan Maksimum Pancaroba di Indonesia

22

Gambar 2.17

Peta Standar Deviasi Curah Hujan di Indonesia

22

Gambar 2.18

Perkembangan Kasus DBD Setiap Tahun di Wilayah Jakarta

23

Gambar 2.19

Time Series Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Curah Hujan

23

Gambar 2.20

Rata-Rata Curah Hujan dan Penderita DBD bulanan.

25

Gambar 2.21

Hubungan Antara Curah Hujan dan Jumlah Penderita DBD, dengan curah
hujan optimum berkisar antara 250mm/bulan sampai 300mm/bulan

26

xi
ICCSR - SektoR keSehatan

Gambar 2.22

Peta Curah Hujan Optimum Pancaroba di Indonesia

27

Gambar 2.23

Peta Potensi Kejadian Bahaya Banjir, Kekeringan, dan Penurunan Ketersediaan
Air di Indonesia

27

Gambar 3.1

Peta Kepadatan Penduduk Tahun 2008 (Sumber : BPS, 2009)

28

Gambar 3.2

Peta Tingkat Kesejahteraan Penduduk (Sumber : BPS, 2009)

29

Gambar 3.3

Peta Angka Kematian Bayi

30

Gambar 3.4

Peta Penyebaran Rumah Sakit Tahun 2008

32

Gambar 3.5

Peta Sebaran Puskesmas Tahun 2008

33

Gambar 3.6

Peta Penyebaran Posyandu Tahun 2008

37

Gambar 3.7

Peta Persebaran Jangkauan Imunisasi Tahun 2008

38

Gambar 3.8

Peta Sebaran Tempat Praktik Dokter Tahun 2008

39

Gambar 3.9

Peta Sebaran Tempat Praktik Bidan Tahun 2008

39

Gambar 3.10

Peta Sebaran Poskesdes Tahun 2008

40

Gambar 3.11

Sebaran Polindes Tahun 2008

40

Gambar 3.12

Prosentase Akses Masyarakat ke Sumber Air Bersih

41

Gambar 3.13

Sebaran Cakupan Sanitasi

42

Gambar 3.14

Peta Kerentanan Malaria

42

Gambar 3.15

Peta Kerentanan Demam Berdarah Dengue

45

Gambar 3.16

Peta Kerentanan Diare

46

Gambar 4.1

Proses Penilaian Risiko

47

Gambar 4.2

Risiko Dampak Perubahan Iklim terhadap Kejadian Penyakit Malaria

48

Gambar 4.3

Risiko Dampak Perubahan Iklim terhadap Kejadian Penyakit Demam Berdarah
Dengue

49

Gambar 4.4

Risiko Dampak Perubahan Iklim terhadap Kejadian Penyakit Diare

50

Gambar 4.5

Skema Penurunan Risiko terkait Bahaya dan Kerentanan (dimodifikasi dari UN ISDR, 2004)

52

Gambar 5.1

Proses Perencanaan, Perancangan, dan Implementasi Program Kesehatan
Berkaitan dengan Perubahan Iklim

54

xii
ICCSR - SektoR keSehatan

DAFTAR TABeL
Tabel 2.1

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Kesehatan

8

Tabel 2.2

Dampak Bencana terkait Iklim terhadap Kesehatan

10

Tabel 3.1

Perhitungan Kerentanan Penyakit Malaria di Indonesia

46

Tabel 3.2

Tabel Perhitungan Kerentanan Penyakit DBD di Indonesia

48

Tabel 3.3

Tabel Perhitungan Kerentanan Penyakit Diare di Indonesia

49

Tabel 4.1

Risiko Malaria, Diare, dan DBD terhadap perubahan iklim di Provinsi

56

Tabel 4.2

Risiko Malaria, Diare, dan DBD terhadap perubahan iklim di Provinsi Papua

56

Tabel 4.3

Pembagian peran antara individu, pemerintah dan institusi dalam pengurangan risiko
kesehatan terkait perubahan iklim
59

xiii
ICCSR - SektoR keSehatan

DAFTAR isTiLAH
AMI

Annual Malaria Incidence

API

Annual Parasite Incidence

CDF

Cummulative Distribution Frequency

CFR

Case Fatality Rate

DBD

Demam Berdarah Dengue

EID

Infectious Diseases

ENSO

El Nino Southern Oscilation

FCCC

Framework Convention on Climate Change

FGD

Focus Group Discussion

GCM

Global Circulation Model

GHCN

Global Historical Climatological Network

GIS

Geography Information System

GPCC

Global Precipitation Climatology Center

GRK

Gas Rumah Kaca

IPCC

Intergovernmental Panel on Climate Change

ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut

KIE

Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

LCA

Life Cycle Analysis

NSDA

Neraca Sumber Daya Air

RAN MAPI

Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

RENJA

Rencana Kerja

RENSTRA

Rencana Strategis

xiv
ICCSR - SektoR keSehatan

RKP

Rencana Kerja Pemerintah

RPJM

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RPJPD

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah

RPJP

Rencana Pembangunan Jangka Panjang

RPJPMN

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional

RPJPN

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

SARS

Serve Acute Respiratory Syndrom

SIG

Sistem Informasi Geograis

SLR

Sea Level Rise

SPL

Suhu Permukaan Laut

TML

Tinggi Muka Laut

UNCED

United Nations Conference on Environment and Development

UNEP

United Nations Environmental Program

UNFCCC

United Nations Framework Convention on Climate Change

WHO

World Health Organization

WMO

World Meteorological Organization

xv
ICCSR - SektoR keSehatan

xvi
ICCSR - SektoR keSehatan

1
PenDAHuLuAn

1
ICCSR - SektoR keSehatan

1.1

Latar Belakang

Saat ini telah diketahui bahwa perubahan iklim telah terjadi dan menjadi ancaman global di berbagai
sektor termasuk sektor kesehatan di Indonesia. Ancaman bahaya perubahan iklim di Indonesia dapat
mempengaruhi kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan berbagai
penyakit, dampak psikologis, pengungsian, bahkan kematian (mortality). Bahaya perubahan iklim terkait
kesehatan diantaranya temperatur dan curah hujan yang ekstrim, peningkatan banjir dan kekeringan,
perubahan distribusi vektor penyakit (vector-borne diseases), peningkatan kasus malnutrisi, dan peningkatan
bencana terkait iklim.
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa variabilitas dan perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap
epidemiologi penyakit yang ditularkan oleh vektor (vector-borne diseases). Di Indonesia terdapat 3 penyakit
penting yang perlu dikaji yaitu malaria, demam berdarah dengue (DBD) dan diare karena penyebarannya
yang luas dan banyak di Indonesia. Selain itu, efek negatif variabilitas dan perubahan iklim akan menekan
lebih kuat terhadap populasi yang berpendapatan rendah dengan sarana kesehatan yang terbatas. Sehingga
penduduk yang berpendapatan rendah dengan akses kesehatan yang terbatas merupakan kelompok
populasi yang paling rentan terhadap dampak kesehatan akibat perubahan iklim.
Untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap sektor kesehatan diperlukan langkah adaptasi yang
ditunjang oleh tingginya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat. Langkah adaptasi sektor
kesehatan ini harus terintegrasi dalam perencanaan pembangunan Nasional. Di tingkat nasional, Bappenas
telah mencanangkan penyusunan “Roadmap Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim ke dalam
Rencana Pembangunan Nasional Indonesia 2010-2030” (disingkat: “Roadmap Perubahan Iklim”).
Roadmap sektor kesehatan memuat kajian banyak sektor diantaranya sektor kesehatan. Roadmap sektor
kesehatan memuat kajian ilmiah isu perubahan iklim, dampak, kerentanan dan risiko yang akan dihadapi,
serta strategi adaptasi sektor kesehatan yang diperlukan untuk Indonesia. Hasil akhir roadmap perubahan
iklim sektor kesehatan ini adalah arah kebijakan dan tahapan upaya adaptasi perubahan iklim sektor
kesehatan tahun 2010-2030.
Guna memudahkan penyusunan dan penyajian Roadmap, Indonesia dari sisi perwilayahan dalam roadmap
perubahan iklim ini dibagi menjadi 7 wilayah. Ketujuh wilayah tersebut adalah: 1) Pulau Sumatera dan
sekitarnya, 2) Pulau Jawa, Pulau Madura, Pulau Bali dan sekitarnya, 3) Pulau Kalimantan dan sekitarnya,
4) Pulau Sulawesi dan sekitarnya, 5) Kepulauan Nusatenggara (wilayah provinsi NTB dan NTT), 6)
Kepulauan Maluku, dan 7) Pulau Papua (wilayah Pulau Papua yang masuk kedalam wilayah Indonesia)
dan sekitarnya.

1.2

Tujuan

Dengan berpedoman kepada latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, sasaran penyusunan
roadmap perubahan iklim sektor kesehatan adalah sebagai berikut:

2
ICCSR - SektoR keSehatan

1) Mengidentiikasi permasalahan dan tantangan masa depan sektor kesehatan akibat perubahan
iklim;
2) Mengidentiikasi aspek-aspek kerentanan untuk sektor kesehatan terhadap bahaya perubahan
iklim berdasarkan analisis kualitatif dan kuantitatif menggunakan analisis informasi spasial dan
perwilayahan;
3) Mengidentiikasi dampak atau gambaran risiko sektor kesehatan akibat bahaya yang dihadapi dan
kerentanan yang telah dikenali;
4) Mengidentiikasi arah kebijakan dan pentahapan program adaptasi sektor kesehatan untuk
meminimalkan kerentanan dan risiko sektor kesehatan akibat perubahan iklim. Program adaptasi
dibuat dalam tahapan pembangunan jangka menengah yaitu 5 tahunan sejak tahun 2010 hingga
2030 (2010-2014, 2015-2019, 2020-2024, dan 2025-2029);
1.3

Pendekatan

Garis besar pendekatan/metodologi yang digunakan meliputi analisis berbasis keilmuan (scientiic basis) dan
proses partisipasi dari para pemangku kepentingan. Kedua metode digunakan secara bersamaan dan saling
terkait. Metode yang pertama, scientiic basis, digunakan dengan pendekatan tingkat makro dan disesuaikan
dengan ketersediaan data. Metode yang kedua yaitu dengan pendekatan bottom-up yang digunakan dalam
rangka menjaring data dan informasi. Data dan informasi mengenai permasalahan kesehatan di Indonesia
dan program ke depan diperoleh melalui Forum Group Discussion (FGD) dari para pemangku kepentingan
khususnya Departemen Kesehatan.
1.3.1

Pendekatan Basis Keilmuan

Analisis saintiik yang dilakukan adalah dengan pengumpulan, analisis dan sintesis terhadap berbagai data
dan informasi (dokumen, konsultasi, diskusi) sebagai berikut :

• Data dan informasi yang bersifat internal diperoleh melalui diskusi intern dengan sub-tim basis
saintiik dan sektor-sektor lainnya;

• Data dan informasi yang bersifat nasional diperoleh melalui penelusuran dokumen dan peta-peta
di berbagai instansi yang berkaitan seperti Departemen Kesehatan, Bakosurtanal, BMKG, dan
LAPAN;
• Data dan informasi yang bersifat internasional yaitu berupa dokumen-dokumen kajian dan laporan
dari lembaga seperti IPCC, UNFCCC, WHO, UNDP, dan sebagainya yang diperoleh melalui
internet.
• Koreksi isi laporan berdasarkan review dari seorang pakar perubahan iklim, yaitu Dr. Irving
Mintzer .

3
ICCSR - SektoR keSehatan

1.3.2

Proses Partisipasi Para Pemangku Kepentingan

Partisipasi pemangku kepentingan diikutsertakan dalam proses penyusunan Roadmap ini melalui beberapa
cara di antaranya:






Konsultasi dan diskusi yang dilakukan dengan pejabat, peneliti dan pakar di instansi terkait
khususnya Departemen Kesehatan RI.
Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD), Pra-FGD serta rapat-rapat koordinasi pada
Departemen Kesehatan RI dan instansi terkait yang telah dilaksanakan baik di Bappenas maupun
di Departemen Kesehatan. Dalam FGD ini juga dibahas mengenai isu lintas sektoral.
Partisipasi tidak langsung melalui situs internet Departemen Kesehatan RI

4
ICCSR - SektoR keSehatan

2
PeRmAsALAHAn DAn
TAnTAnGAn seKTOR
KeseHATAn

5
ICCSR - SektoR keSehatan

2.1

Kondisi dan Permasalahan Sektor Kesehatan

Sebagaimana tercantum dalam RPJP Departemen Kesehatan Tahun 2005-2025, kondisi kesehatan
masyarakat di Indonesia saat ini dihadapkan pada rendahnya kualitas kesehatan penduduk yang terlihat dari
masih tingginya angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak balita (AKABA) dan angka kematian
ibu melahirkan (AKI) serta tingginya proporsi anak balita yang mengalami gizi kurang; kesenjangan
kualitas kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu antar wilayah, gender dan
kelompok pendapatan; belum memadainya jumlah, penyebaran, komposisi, dan mutu tenaga kesehatan;
serta terbatasnya sumber pembiayaan dan belum optimalnya alokasi pembiayaan kesehatan.
Selain itu, RPJM Departemen Kesehatan tahun 2004-2009 menyampaikan bahwa permasalahan utama
sektor kesehatan saat ini adalah terjadinya disparitas status kesehatan, beban ganda penyakit (penduduk
yang menderita penyakit menular dan tidak menular sekaligus), kinerja dan kualitas pelayanan kesehatan
masyarakat yang rendah, dan perilaku tradisional masyarakat yang kurang mendukung pola hidup
bersih dan sehat (PHBS). Masalah lainnya adalah masih rendahnya kondisi kesehatan masyarakat umum,
kurangnya pemerataan dan keterjangkauan fasilitas pelayanan kesehatan, terbatasnya jumlah dan kualitas
tenaga kesehatan terlatih, tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan dalam suatu populasi, rendahnya
tingkat kesehatan penduduk miskin serta kendala ketersediaan dan keterjangkauan bahan baku obat,
sediaan obat, perbekalan farmasi dan alat kesehatan. Penjelasan lebih rinci terhadap permasalahan sektor
kesehatan di Indonesia disampaikan di Lampiran A.
2.2

Tantangan Perubahan Lingkungan Global dan Perubahan Iklim

Selain permasalahan kesehatan yang ada saat ini di Indonesia, perubahan lingkungan global termasuk
perubahan iklim merupakan tantangan yang dapat memperburuk masalah kesehatan di Indonesia.
Perubahan lingkungan global yang mempengaruhi kesehatan manusia diantaranya yaitu perubahan iklim,
penipisan lapisan ozon, degradasi lahan, berkurangnya sumber daya air, perubahan fungsi ekosistem, dan
kehilangan keanekaragaman hayati (lihat Gambar 2.1).

6
ICCSR - SektoR keSehatan

Gambar 2.1 Keterkaitan Antara Berbagai Perubahan Lingkungan Global Utama yang Mempengaruhi
Kesehatan Manusia, Termasuk Perubahan Iklim
(dimodiikasi dari Mc Michael, 2003)

Perubahan lingkungan dan dampaknya terhadap kesehatan dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) penipisan
lapisan ozon di stratosfer telah meningkatkan risiko terkena kanker kulit, (2) peningkatan temperatur
akibat perubahan iklim dapat meningkatkan konsentrasi ozon permukaan yang merupakan salah satu
pencemar udara utama yang dapat menyebabkan penyakit pernafasan, (3) kehilangan keanekaragaman
hayati dapat menyebabkan langkanya bahan baku obat dari tumbuhan, (4) degradasi lahan dan perubahan
fungsi ekosistem dapat menyebabkan perubahan penyebaran vektor penyakit, (5) penurunan sumber
daya air menyebabkan akses yang terbatas terhadap air bersih dan sanitasi yang sehat.

7
ICCSR - SektoR keSehatan

2.2.1

Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan

Gambar 2.2 menjelaskan alur dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. Perubahan iklim akan
mempengaruhi perubahan cuaca regional/kawasan dalam bentuk cuaca ekstrim, kenaikan temperatur,
perubahan pola curah hujan, dan kenaikan muka air laut. Dalam terminologi perubahan iklim komponen
ini dikenal dengan bahaya (hazard) perubahan iklim.

Gambar 2.2 Alur Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
(dimodiikasi dari Patz et al, 2000)

Bahaya perubahan iklim di Indonesia ke depan ditandai dengan (1) peningkatan curah hujan yang cukup
signiikan pada bulan-bulan tertentu dengan peningkatan variabilitas di daerah tertentu, (2) penurunan
curah hujan di bulan-bulan kering, sementara pada bulan-bulan musim basah curah hujan meningkat,
(3) kenaikan temperatur permukaan rata-rata. Bahaya perubahan iklim mempengaruhi kesehatan melalui
jalur kontaminasi mikroba dan transmisi dinamis. Selain itu bahaya perubahan iklim mempengaruhi
agro-ekosistem dan hidrologi, serta sosio-ekonomi dan demograi. Proses tersebut dipengaruhi juga oleh
modulasi berupa kondisi sosial, ekonomi dan pembangunan.
Dampak kesehatan yang dapat terjadi dari proses tersebut diantaranya efek peningkatan temperatur
terhadap kesakitan dan kematian, bencana akibat cuaca ekstrim, peningkatan pencemaran udara, penyakit
bawaan air dan makanan, dan penyakit bawaan vektor dan hewan pengerat.
Berdasarkan alur prosesnya, bahaya perubahan iklim dapat mempengaruhi kesehatan manusia dengan
dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung (lihat gambar 2.3):

8
ICCSR - SektoR keSehatan

(1)

Mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung berupa paparan langsung dari perubahan pola
cuaca (temperatur, curah hujan, kenaikan muka air laut, dan peningkatan frekuensi cuaca ekstrim).
Kejadian cuaca ekstrim dapat mengancam kesehatan manusia bahkan kematian.

(2)

Mempengaruhi kesehatan manusia secara tidak langsung. Mekanisme yang terjadi adalah perubahan
iklim mempengaruhi faktor lingkungan seperti perubahan kualitas lingkungan (kualitas air, udara,
dan makanan), penipisan lapisan ozon, penurunan sumber daya air, kehilangan fungsi ekosistem,
dan degradasi lahan yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kesehatan
manusia. Dampak tidak langsung berupa (a) Kematian dan kesakitan akibat penyakit. Penyakit
terkait perubahan iklim dipicu oleh adanya perubahan temperatur, pencemaran udara, penyakit
bawaan air dan makanan, serta penyakit bawaan vektor dan hewan pengerat. (b) Malnutrisi, dapat
terjadi karena terganggunya sumber makanan dan panen.

Secara rinci potensi dampak perubahan iklim terhadap sektor kesehatan dapat dilihat Tabel 2.1. Pada
Tabel 2.1 dijelaskan bahaya perubahan iklim dan mekanisme lebih lanjut dari bahaya tersebut yang dapat
mempengaruhi sektor kesehatan. Selanjutnya, bahaya tersebut dapat berdampak pada kesehatan baik
melalui dampak langsung maupun tidak langsung. Penjelasan lebih rinci tentang bahaya perubahan iklim
berupa perubahan curah hujan dan kenaikan temperatur disampaikan dalam Lampiran B.

Gambar 2.3 Diagram Skematik Pola Hubungan Iklim Yang Mempengaruhi Kesehatan, Baik yang
Memberikan Dampak Langsung Maupun Terdapat Pengaruh Modiikasi dari Kondisi Lingkungan,
Sosial dan Sistem Kesehatan
(Sumber: IPCC, Working Group II, 2008)

9
ICCSR - SektoR keSehatan

Tabel 2.1 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Kesehatan
Bahaya lebih Lanjut terhadap
Sektor Kesehatan

Bahaya
Perubahan Iklim
Kenaikan
Temperatur

-

-

Gelombang panas (heat waves)
Kenaikan evapotranspirasi
bersama dengan perubahan curah
hujan akan menurunkan aliran
permukaan, menyebabkan:
Penurunan Ketersediaan Air
Kekeringan
Gangguan keseimbangan air

Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor
Kesehatan
-

-

Perubahan Pola
Curah Hujan

Kenaikan aliran permukaan dan
kelembaban tanah, menyebabkan:
- Banjir
- Gangguan keseimbangan air
- Tanah Longsor
Bersama kenaikan temperatur akan
menurunkan aliran permukaan,
menyebabkan:
- Penurunan Ketersediaan Air
-

-

penyakit bawaan air seperti diare.
-

menyebabkan malnutrisi.

Kekeringan

-

Kenaikan
Frekuensi dan
Intensitas Iklim
Ekstrim

Dengan tingkat pengambilan air
tanah tertentu air tanah bergeser
ke atas, menyebabkan instrusi
air laut sehingga mempengaruhi
ketersediaan air
Pengaliran air di pesisir dapat
terganggu
sehingga
dapat
memperburuk sanitasi.

Curah hujan diatas normal
menyebabkan kenaikan aliran
permukaan dan kelembaban tanah,
sehingga menyebabkan banjir dan
longsor.
- Badai
-

Banjir dan gangguan keseimbangan air dapat
berpengaruh terhadap gagal panen sehingga dapat

-

-

Banjir dan gangguan keseimbangan air dapat
berpengaruh terhadap kondisi sanitasi dan penyebaran

-

Kenaikan Muka
Laut (SLR)

Peningkatan temperatur berpengaruh terhadap
perkembangbiakan, pertumbuhan, umur, dan
distribusi vektor penyakit seperti vektor malaria,
demam berdarah dengue (DBD), chikungunya, dan
ilariasis.
Peningkatan temperatur akan memperluas distribusi
vektor dan meningkatkan perkembangan dan
pertumbuhan parasit menjadi infektif.
Penurunan ketersediaan air berpengaruh terhadap
pertanian sehingga dapat menyebabkan gagal panen
sehingga secara tidak langsung menyebabkan mal
nutrisi.

-

Curah hujan berpengaruh terhadap tipe dan jumlah
habitat perkembangbiakan vektor penyakit.
Perubahan curah hujan bersama dengan perubahan
temperatur dan kelembaban dapat meningkatkan atau
mengurangi kepadatan populasi vektor penyakit serta
kontak manusia dengan vektor penyakit
Gangguan fungsi sanitasi berpengaruh pada
peningkatan penyebaran penyakit bawaan air seperti
diare.
Ekosistem rawa dan mangrove dapat berubah
Pola penyebaran vektor penyakit di pantai dan pesisir
dapat berubah

- Bencana banjir, badai, dan longsor dapat menyebabkan
kematian.
- Bencana banjir, badai, dan longsor dapat menimbulkan
kerusakan rumah tinggal sehingga terjadi pengungsian
yang dapat menimbulkan banyak gangguan kesehatan.
- Berpengaruh terhadap daya tahan tubuh manusia

10
ICCSR - SektoR keSehatan

2.2.2

Metode Analisis Dampak Kesehatan terkait Perubahan Iklim

Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa dampak perubahan iklim terhadap kesehatan yang
utama terdiri dari (1) peningkatan potensi bencana, (2) malnutrisi, dan (3) peningkatan kejadian penyakit.
Berikut ini akan disampaikan metode yang dapat dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan iklim
terhadap 3 hal tersebut.
Dampak pertama yaitu peningkatan potensi bencana terkait perubahan iklim memiliki spektrum
masalah kesehatan yang luas sebagaimana secara umum dijelaskan dalam Tabel 2.2. Untuk menganalisis
dampak bencana terkait iklim terhadap kesehatan diperlukan langkah-langkah analisis sebagai berikut (1)
menentukan ruang lingkup analisis, (2) menentukan kondisi bencana terkait iklim saat ini (peta daerah
rawan bencana, sejarah kejadian bencana terkait iklim), (3) identiikasi karakteristik populasi (sosial,
ekonomi, budaya) dan kapasitas adaptasi saat ini (fasilitas kesehatan, sanitasi, dan infrastruktur penunjang)
sebagai adaptasi kondisi saat ini (baseline) (4) identiikasi strategi, kebijakan dan penanggulangan bencana
saat ini sebagai kebijakan kondisi saat ini (baseline), (5) perkiraan bencana terkait iklim menggunakan
skenario tertentu, (6) analisis dampak bencana terkait iklim terhadap kesehatan.
Tabel 2.2 Dampak Bencana terkait Iklim terhadap Kesehatan

Komponen kesehatan

Banjir/badai

Kekeringan/kebakaran hutan

Kesakitan atau kematian, luka dan
cedera

Tenggelam, tertimpa atau terbentur
benda keras, kecelakaan mobil

Dehidrasi, luka bakar ketika terjadi
kebakaran hutan

Penyakit bawaan air

Kontaminasi rumah dan lingkungan,
kekurangan air bersih dan sanitasi

Kekurangan air bersih untuk sanitasi
dan memasak, penggunaan air kotor,
sanitasi yang buruk

Penyakit bawaan vektor

Nyamuk lebih berkembang biak,
tikus masuk ke rumah

Vektor tertentu bisa lebih
berkembang biak

Penyakit pernafasan

Kondisi rumah yang tidak sehat

Kebakaran hutan menyebabkan asap

Malnutrisi

Kerusakan lahan pertanian, gagal
panen, hambatan pasokan makanan,
tidak mampu membeli makanan

Dampak kesehatan mental

Dampak psikis terhadap bahaya,
kesakitan, pengungsian, dan
kehilangan

Kerusakan lahan pertanian, gagal
panen, persediaan makanan tingkat
regional terbatas, tidak mampu
membeli makanan
Dampak psikis terhadap bahaya,
kesakitan, pengungsian, dan
kehilangan

Dampak kedua yaitu peningkatan potensi malnutrisi sangat terkait dengan sumber, distribusi, dan
penyediaan makanan. Untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap malnutrisi diperlukan data
yang komprehensif yang meliputi (1) skenario variabilitas dan perubahan iklim, (2) tingkat produksi

11
ICCSR - SektoR keSehatan

pertanian, peternakan, dan perkebunan, (3) sistem dan teknologi pengolahan pertanian, pertanian, dan
perkebunan, (4) sensitivitas pertanian, peternakan, dan perkebunan terhadap kondisi iklim tertentu, (5)
sistem transportasi dan distribusi makanan, (6) skenario populasi, tingkat malnutrisi, tingkat konsumsi,
gaya hidup, dan kemampuan membayar, (7) kebijakan pendukung: subsidi makanan bergizi, kesehatan
ibu dan anak, subsidi harga bahan makanan pokok, kebijakan konversi makanan sebagai sumber energi
terbarukan, (8) infrastruktur pendukung: fasilitas penyuluhan gizi dan sarana kesehatan.
Berdasarkan pengumpulan data yang ada, ketersediaan data bencana dan malnutrisi tidak memadai
sehingga dalam laporan ini tidak dilakukan analisis lebih lanjut. Direkomendasikan sektor kesehatan dapat
melakukan studi lanjutan tentang dampak perubahan iklim terhadap bencana dan malnutrisi ini karena
perannya yang sangat penting dalam kesehatan.
Dampak ketiga yaitu peningkatan kejadian penyakit menular sangat terkait dengan perubahan vektor
penyakit. Untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap perubahan vektor penyakit, misalnya
untuk kasus malaria, sekurangnya diperlukan data (1) skenario populasi manusia, (2) skenario variabilitas
dan perubahan iklim: temperatur dan curah hujan (3) daya tahan manusia terhadap infeksi vektor
dan tingkat penggigitan vektor terhadap manusia, (4) probabilitas daya tahan vektor terhadap faktor
lingkungan: temperatur dan curah hujan, (5) potensi transmisi vektor: kapasitas vektor, tingkat reproduksi
vektor, densitas jumlah vektor, periode inkubasi vektor, dan rentang temperatur ketika inkubasi.
Namun demikian, saat ini data penyebaran vektor penyakit di Indonesia hanya terbatas di beberapa
daerah spesiik di Indonesia, sehingga belum ada data yang lengkap secara nasional di seluruh Indonesia.
Sehubungan data penyebaran vektor penyakit level nasional belum tersedia, maka dalam studi ini digunakan
data kejadian penyakit yang relevan sebagai proxy. Proxy adalah data yang dianggap dapat mewakili suatu
parameter dengan tingkat keakuratan tertentu. Dalam hal ini data kejadian penyakit digunakan sebagai
proxy penyebaran vektor penyakit. Dalam kajian ini digunakan data incidence rate (IR) kejadian penyakit
yang kemudian dipilih 3 penyakit menular yaitu malaria, demam berdarah dengue, dan diare, karena ketiga
penyakit ini merupakan penyakit utama yang memiliki kejadian penyakit yang sangat tinggi di Indonesia.
Sebagai kesimpulan, untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap kesehatan baik langsung
maupun tidak langsung tersebut diperlukan data yang cukup memadai dengan rentang waktu yang panjang
(time series). Saat ini Departemen Kesehatan telah mengumpulkan dan mengelola data kesehatan namun
dirasa belum cukup untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap kesehatan di Indonesia secara
komprehensif. Mengingat pentingnya analisis dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, di masa yang
akan datang sektor kesehatan perlu meningkatkan program surveilans khususnya sistem dan metode
pengumpulan, pengolahan dan pengelolaan data yang terkait dengan perubahan iklim.
2.2.3

Penyakit Malaria di Indonesia

Bukti-bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa peningkatan malaria dapat diidentiikasi sebagai dampak
potensial dari perubahan iklim (M. van Lieshout dkk, 2004). Sebagai contoh, di area dengan sarana

12
ICCSR - SektoR keSehatan

kesehatan yang terbatas, kenaikan temperatur akan meningkatkan penyakit yang ditularkan vektor (vectorborne disease) karena kenaikan temperatur yang disertai dengan kenaikan curah hujan dan air permukaan
akan memperpanjang musim transmisi di daerah endemik. Secara teoritis distribusi malaria dibatasi oleh
toleransi vektor nyamuk terhadap iklim. Distribusi nyamuk akan terbatasi jika kondisi terlalu kering (curah
hujan kecil dan air permukaan kering). Selain itu, distribusi malaria dibatasi oleh kondisi biologis nyamuk
dalam bertahan hidup dan kondisinya dalam berinkubasi dalam bentuk agen terinfeksi di populasi yang
tertular.
Disribusi malaria juga tergantung pada faktor sosial, ekonomi dan lingkungan dari populasi manusia
yang tertular seperti (1) perubahan iklim global, (2) perubahan pemanfaatan lahan, (3) resistensi obat dan
vektor, (4) mobilitas penduduk, (5) perubahan sosial-ekonomi, (6) kondisi layanan kesehatan, (7) situasi
politik dan perang, (8) krisis ekonomi dan kemiskinan.
Kasus malaria di Indonesia cukup tinggi yaitu pada tahun 2007 jumlah positif malaria sebesar 311.789
kasus. Selanjutnya, jumlah kasus malaria naik turun tergantung pada intensitas program pemberantasan
malaria oleh pemerintah dan faktor-faktor lingkungan. Kasus malaria di Jawa dan Bali yang dinyatakan
dalam annual parasite incidence (API) selama periode tahun 1995-2000 meningkat dengan pesat dari 0,07 ‰
(1995) menjadi 0,81 ‰ (2000). Pada tahun 2002 dan tahun 2003 API dapat diturunkan menjadi berturutturut 0,47‰ dan 0,22‰ (lihat gambar 2.4).

Gambar 2.4 Kasus Malaria di Jawa dan Bali Pada Tahun 1989 - Tahun 2007
Sumber : SubDit P2 Malaria, Direktorat Jendral P2PL

13
ICCSR - SektoR keSehatan

Kasus malaria di luar Jawa dan Bali yang dinyatakan dalam annual malaria incidence (AMI) selama periode
tahun 1995-2003 berluktuasi tajam dari waktu ke waktu, mulai dari 20 ‰ (1995) menjadi 22,7‰ (2002).
Kemudian mengalami kondisi yang cukup stabil selama periode 2003-2004, yaitu 21,80 ‰ dan 21,20‰.
Selanjutnya mengalami peningkatan di tahun 2005 menjadi 24,75‰ dan mengalami penurunan kembali
di tahun 2006-2007 yaitu dari 23,98‰ menjadi 19,67‰. (Ditjen P2LP, Depkes RI 2008).
Untuk mengetahui sebaran penyakit malaria, ditampilkan peta Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria tahun
2004-2005 (gambar 2.5), peta endemisitas malaria pada tahun 2007 (gambar 2.6), dan peta sebaran kasus
malaria tahun 2008 (gambar 2.7). Berdasarkan peta-peta tersebut tampak bahwa penyebaran malaria
terbanyak di Pulau Papua.

Sumber: Dirjend P2&PL

Gambar 2.5 Peta Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria Pada Tahun 2004-2005

14
ICCSR - SektoR keSehatan

Sumber: Subdit Malaria, P2M&PL

Gambar 2.6 Peta Endemisitas Malaria Pada Tahun 2007
Sumber : SubDit P2 Malaria, Direktorat Jendral P2PL

Gambar 2.7 Peta Sebaran Kasus Malaria Tahun 2008
(Sumber: Pengolahan Data Depkes, RI)

15
ICCSR - SektoR keSehatan

Untuk mengetahui potensi transmisi vektor nyamuk diperlukan analisis jenis dan densitas (kepadatan)
nyamuk penyebar malaria di Indonesia (lihat Gambar 2.8). Gambar 2.8 menunjukkan distribusi spesies
vektor malaria di Indonesia. Spesies Anopheles di bagian barat Indonesia merupakan spesies oriental
di antaranya: An. aconitus, An. sundaicus, An. subpictus, An. balabacensis, An. leucosphyrus, An. minimus dan
An.barbirostris, sedangkan spesies australasian diantaranya An. farauti, An. punctulatus, An. koliensis, An.
longirostris dan An. bancrofti. Beberapa spesies oriental ada yang bermigrasi ke timur, sehingga di wilayah
Papua ditemukan kelompok oriental, demikian juga beberapa kelompok australasian bermigrasi ke
bagian barat garis Lydekker. Fauna nyamuk di Maluku merupakan campuran antara kelompok nyamuk
Australiasian dan Oriental.
Diketahui bahwa penyebaran nyamuk penyebar malaria (nyamuk Anopheles) tidak hanya berdasarkan
zoogeograi, namun juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat, pemanfaatan lahan dan ekosistem. Sebagai
contoh, di Jawa-Bali terdapat 4 spesies vektor malaria yaitu An. sundaicus sebagai vektor di daerah pantai,
An. aconitus di daerah persawahan bertingkat, An. balabacensis di daerah pegunungan bervegetasi, dan An.
maculatus di daerah pegunungan yang jarang vegetasinya.
Kepadatan populasi vektor malaria di wilayah pantai nyamuk An. sundaicus dan An. subpictus akan meningkat
pada waktu permulaan musim kemarau, dan puncak densitas terjadi kurang lebih 2-3 bulan setelah musim
kemarau. Pada musim kemarau, keadaan air di dalam tambak, lagoon dan perairan lainnya di sekitar
pantai menjadi payau memicu pertumbuhan gulma air (ganggang dan lumut). Dengan tumbuhnya gulma
akan menciptakan habitat yang sesuai bagi perkembangbiakan nyamuk An. subpictus dan An. sundaicus.

1. An. aconitus
13. An. maculatus
2. An. balabacensis 14 An. minimus.
3. An. bancroftii
15. An. nigerrimus
4. An.barbirostris
16. An. parengensis
5 An flavirostris.
17,An.sundaicus
6. An farauti
18. An.subpictus
7. An.karwari
19. An. sinensis
8. An.koliensis
20.An. umbrosus
9. An.punctulatus
21. An. vagus
10. An.ludlowi
22. An. tesselatus
11. An. letifer
12. An. leucosphyrus
.

2,11,13, 17
17

4 14
17

18

17

17
17

17

13

11

20

18

17
1 2

13

13

6

5

8 6

7

9

18

2 12

11
21

1
3
3

12

19

22

17

4,17,18
4
18
4, 17

1,17,18
4,14, 17,18

SSUKOWATI

Gambar 2.8 Distribusi Spesies Vektor Malaria di Indonesia
(Sumber : Depkes, RI)

16
ICCSR - SektoR keSehatan

2.2.4

Demam Berdarah Dengue di Indonesia

Demam berdarah dengue (DBD) telah menyebar luas ke seluruh kota di Indonesia sejak tahun 1968. Pada
tahun 1968 kasus DBD dilaporkan IR (Incidence Rate) 0,05/100.000 penduduk dengan angka kematian
41,3%, setelah itu KLB sering terjadi di berbagai daerah. Pada tahun 1998 terjadi KLB dengan jumlah
penderita 72.133 orang, dengan 1411 kematian (case fatality rate/CFR=2%) dan merupakan KLB terbesar
sejak kasus DBD dilaporkan di Indonesia. Pada tahun 2004 terjadi KLB DBD nasional yaitu letusan kasus
di 40 kabupaten/kota di 12 provinsi dengan jumlah kasus 28.077, 381 kematian (CFR=1,36%). Gambar
2.9 menunjukkan bahwa terus terjadi peningkatan nilai IR untuk demam berdarah dengue selama kurun
waktu 1999-2007 sampai mencapai angka pada 71,78 per 100.000 penduduk walaupun sebelumnya terjadi
penurunan di tahun 1998.
Sepanjang tahun 2007 terdapat 11 provinsi yang dilanda KLB DBD, yaitu : Jawa Barat, Sumatera Selatan,
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sumatra Selatan, Jawa Timur,
Banten, dan DI. Yogyakarta. Pada tahun 2007 jumlah kasus sebanyak 156.767 kasus (IR 71,18/100.000
penduduk) dengan 1570 kematian ( CFR 1,00 %). Puncak peningkatan kasus pada tahun 2007 terjadi
pada bulan Januari-Februari. Pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah kabupaten/kota yang terjangkit
DBD (Ditjen PP-PL, Depkes 2008).

Gambar 2.9 Morbiditas dan Mortalitas DBD di Indonesia dari tahun 1997 sampai tahun 2007 yang
dinyatakan dengan IR (garis hitam) dan CFR (garis merah)
(Departemen Kesehatan RI, 2009)

17
ICCSR - SektoR keSehatan

Ditjen P2PL Depkes RI, 2008 menyebutkan bahwa DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai IR
tertinggi sebesar 392,94 per 100.000 penduduk disusul kemudian dengan Bali (193,18) dan Kalimantan
Timur (193,15) per 100.000 penduduk. Provinsi dengan angka kematian tertinggi di sepanjang tahun
2007 adalah Papua sebesar 3,88% diikuti dengan provinsi Maluku Utara dan Bengkulu masing-masing
sebesar 2,55%. Pada gambar 2.10 dijelaskan sebaran Demam Berdarah Dengue tahun 2008.
Sampai saat ini obat dan vaksin untuk DBD belum tersedia, sehingga pencegahan dan pengendaliannya
dilakukan dengan cara pengendalian vektor melalui program 3M (menutup, menguras, menimbun) plus
dan dioptimalkan melalui pendekatan komunikasi perubahan perilaku berdasarkan budaya setempat. Untuk
mengurangi angka kematian perlu dilakukan peningkatan teknologi tata laksana kasus (RPJM Depkes).

Gambar 2.10 Peta Sebaran Demam Berdarah Dengue Tahun 2008
Sumber : Pengolahan Data Depkes, RI
2.2.5

Diare di Indonesia

Penyakit menular langsung seperti diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Kejadian luar biasa diare yang sangat erat hubungannya dengan fasilitas air bersih dan sanitasi yang
kurang memadai masih selalu terjadi setiap tahun. Pada Gambar 2.11 dijelaskan insidens Diare Balita di
Indonesia pada Tahun 1989-2006.

18
ICCSR - SektoR keSehatan

Per 1000 …
1400

1330

1278

1200

1100
1036

1000

878
787

784

800

838

600
400
200
0
1989

1990

1991