Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pemilik Satwa yang Dilindungi Tanpa Izin (Studi Putusan PN Surabaya No. 469 Pid.B 2010 Pn.Sby)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sumber daya keanekaragaman
hayati dengan tingkat endemis yang tinggi. Satwa yang ada di habitat wilayah
Indonesia adalah ciri suatu pulau yang didiami satwa tersebut, karena ekosistem di
dalamnya mendukung untuk perkembangan satwa itu sendiri.1 Berdasarkan
informasi yang dihimpun oleh Tim Cegah Satwa Punah dari ProFauna Indonesia,
sekitar 300.000 jenis satwa liar atau 17% dari jenis satwa di dunia berada di
Indonesia.2
Hal tersebut merupakan suatu peluang bangsa Indonesia untuk dapat
memanfaatkan kekayaan sumber daya ini untuk meningkatkan pendapatan
ekonomi, terutama yang hidup di sekitar habitat satwa. Namun pemanfaatan ini
harus betul-betul memperhatikan kondisi populasi yang dimanfaatkan untuk
menjaga laju populasinya agar memperoleh manfaat yang berkelanjutan.3
Disamping peluang pemanfaatan peningkatan ekonomi cukup besar, Indonesia
juga merupakan salah satu negara dengan tingkat laju kepunahan berbagai jenis
satwanya cukup tinggi. Banyak satwa yang berada diambang kepunahan. Dapat
kita lihat dari semakin jarangnya kita menemui beberapa jenis hewan tersebut


1

Muhammad Iqbal, Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan Dan Penjualan Satwa
Langka Tanpa Izin di Indonesia, Jurnal Beraja NITI Volume 3 Nomor 3, Samarinda, 2014, hlm 2.
2
Website Profauna Indonesia.co.id, Slamet Khoiri, Satwa Liar Indonesia, 25 Februari
2016, diakses pukul 21.47 WIB
3
Website WWF Indonesia.co.id, Choirul Saleh, Pelaksanaan CITIES di Indonesia, 25
Februari 2016 diakses pukul 21.55 WIB

Universitas Sumatera Utara

seperti kakak tua jambul kuning, harimau sumatera, orang utan, badak bercula
satu, dan masih banyak lagi hewan lainnya hidup di daratan, perairan dan udara
hidup di daerah aslinya, bahkan ada beberapa diantaranya sudah hidup di
penangkaran untuk mencegah kepunahannya.
Hal ini tidak lepas dari aktivitas manusia yang mengancam kelestarian
satwa-satwa tersebut. Penebangan liar (illegal loging),perburuan liar, pembakaran
hutan, alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan atau perluasan pemukiman,

pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya. Kondisi ini semakin diperparah
dengan adanya keinginan untuk memiliki atau memelihara satwa yang terancam
punah tersebut. Banyak orang beranggapan dengan memelihara satwa yang
terancam punah tersebut dapat menaikkan nilai sosialnya dimasyarakat.
Beberapa tahun terakhir beberapa kasus mencuat terkait dengan
penangkapan terhadap para pemilik satwa yang terancam punah tersebut.
Kebanyakan dari mereka tidak dapat menunjukkan dokumen resmi izin
pemeliharan atau kepemilikan satwa tersebut. Sejak Januari hingga November
2015, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat menganai 25 kasus
satwa liar yang kehidupannya dilidungi undang-undang. Kasus tersebut berasal
dari operasi penertiban kepemilikan satwa hingga penyerahan sukarela oleh
masyarakat.4
Untuk megatasi hal tersebut, Indonesia telah meratifikasi Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies
4

Website Tempo.Co, Bandung, BKSDA Jawa Barat Tangani Kasus Satwa Liar Hingga
November, 25 Februari 2016, diakses pukul 22:45 WIB


Universitas Sumatera Utara

terancam punah. Perjanjian internasional antarnegara ini disusun berdasarkan
resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) pada tahun 1963
dimana Indonesia adalah salah satu negara anggotanya. Konvensi ini bertujuan
melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional maupun
kepemilikan spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian
spesies tersebut terancam punah. Dalam CITES menetapkan berbagai tingkat
proteksi untuk lebih dari 33.000 spesies terancam punah. Pemerintah Indonesia
meratifikasi CITES dengan Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978.5
Pada perkembangannya, Pemerintah Indonesia penetapkan peraturan
perundang-undangan berupa UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut UU
Konservasi), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Meskipun telah ada peraturan
pedoman di Indonesia yang mengatur tentang perdagangan maupun kepemilikan
satwa tersebut, namun tetap banyak pihak yag tidak mematuhi peraturan tersebut.
Hal ini dikarenakan banyak pihak di Indonesia masih kurang mengenal jenis
satwa yang dilindungi sehingga dapat dengan mudah memperolehnya untuk

kemudian dijadikan sebagai koleksi pribadi.
Bagaimanapun juga, apabila hal ini tidak segera ditindak lanjuti, maka
akan semakin banyak masyarakat yang tidak peduli dengan keberadaan satwa
yang dilindungi tersebut, masyarakat akan terus berupaya untuk mengoleksinya
mejadi peliharaan pribadi yang tanpa sadar telah melanggar ketentuan peraturan
Website Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Apakah ” CITES”. diakses
tanggal 27 Februari 2016 pukul 10.00 WIB
5

Universitas Sumatera Utara

perundang-undangan yang berlaku dan tentunya menghambat perkembangan
satwa tersebut yang pada akhirnya akan punah dan tentu merugikan dan merusak
ekosistem yang ada, bahkan mengganggu sistem rantai makanan yang akan
berdampak pada kelangsungan mahluk hidup di bumi.
Produk-produk hukum merupakan suatu alat perlindungan bagi semua
pihak, tanpa terkecuali tumbuhan, satwa dan lingkungan hidup. Tujuan hukum itu
sendiri adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, dengan menciptakan
ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat.6 Banyaknya kasus kepemilikan
satwa langka di Indonesia perlu ditanggulangi. Para pelaku tindak pidana perlu

dikenakan sanksi pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukannya untuk memberikan efek jera,
memberi peringatan kepada orang lain, dan tentu untuk menjaga kelestarian satwa
yang dilindungi itu sendiri.
Seperti yang pada kasus yang dianalisis pada skripsi ini, dimana pelaku
tidak mengetahui bahwa hewan yang dipelihara termasuk dalam satwa yang
dilindungi

berdasarkan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan.

Pelaku

memperoleh satwa tersebut dari pasar burung, tentu hal ini harus mendapat
perhatian lebih, bahwa ternyata banyak masyarakat tidak mengetahui jenis-jenis

satwa yang dilindungi bahkan memperolehnya dengan mudah. Perlu ada suatu
sosialisai yang lebih membuka wawasan banyak pihak tentang keberadaan satwa
yang dilindungi tersebut. Pihak terkait juga perlu melakukan pengawasan secara
intensif, bukan secara insidensial, dimana pihak terkait mengetahui adanya
6

Sudikno Mertukusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar , Liberti, Yogyakarta,
1991, hlm 15

Universitas Sumatera Utara

pemilik satwa dilindungi tanpa izin hanya karena suatu kebetulan. Juga dalam hal
penjatuhan sanksi pidana bagi para pemilik satwa tanpa izin, perlu ada suatu
sanksi tegas baik administratif maupun penjara, agar kemudian orang-orang tidak
melakukan tindakan yang sama. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penulisan
skripsi ini. Skipsi ini menganilisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana pemilik satwa dilindungi tanpa ijin yang dikaji secara teoritis
berdasarkan perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, serta pengaturan lain yang
berkaitan dengan perlindugan satwa, termasuk juga penerapannya melalui putusan

Pengadilan Negeri Surabaya, dengan kasus kepemilikan satwa yang dilindungi
tanpa ada surat atau dokumen resmi bukti kepemilikan satwa tersebut. Kasus
tersebut dianalisis berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya dengan
register nomor 469/Pid.B/2010/PN.SBY.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.

Bagaimana regulasi pengaturan peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan pelaku tindak pidana kepemilikan satwa yang
dilindungi tanpa ijin?

2.

Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana kepemilikan satwa yang dilindungi tanpa ijin (Putusan PN
Surabaya No. 469/Pid.B/2010/Pn.Sby)?


Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengarturan yang terkait dengan Tindak Pidana
Kepemilikan Satwa yang Dilindungi Tanpa Izin menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya.
2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku yang memiliki satwa yang dilindungi tanpa ijin.
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
sumbangsih ilmu pengetahuan, dan memperluas wawasan tentang
kasus tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi tanpa ijin.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat dijadikan rujukan dalam melakukan penelitian yang
berhubungan dengan tindak pidana kepemilikan satwa yang
dilindungi tanpa ijin.
b. Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat

tentang pentingnya untuk melindungi dan melestarikan satwa
yang dilindungi.

Universitas Sumatera Utara

D. Keaslian Penulisan
Mengenai keaslian penulisan ini, karya ilmiah ini dibuat oleh penulis
dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur, maupun
pengumpulan data-data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti buku-buku
maupun media elektronik seperti internet, sekaligus hasil pemikiran penulis
sendiri.
Berdasarkan peninjauan yang dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, belum pernah ada yang membuat karya ilmiah ini
dan dapat saya pertanggungjawabkan secara moral. Apabila kemudian hari
terdapat judul yang dan permasalahan yang sama, maka penulis siap untuk
mempertanggungjawabkannya.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Perbuatan Pidana
a. Pengertian Perbuatan Pidana

Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana
adalah membicarakan tiga hal, yaitu :
1. Perbuatan yang dilarang
2. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu
3. Pidana yang diancamkan terhadap yang dilanggar itu7
Mengenai “perbuatan yang dilarang” dalam hukum pidana mempunyai
pengertian dan istilah masing-masing karena bersumber dari bahasa Belanda Het
7

M. Hamdan, Tindak Piana Lingkungan Hidup, CV. Mandar Maju, Medan, 2000, hlm.

35

Universitas Sumatera Utara

Strafbar Feit. Tetapi tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud

dengan Het Strafbar Feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum memcoba
memberikan pengertian dari isi istilah tersebut, namun sayangnya sampai kini
belum ada keseragaman pendapat.8

Berikut beberapa definisi Het Strafbar Feit dari beberapa pendapat para
ahli :
1. Vas : menyatakan bahwa delik adalah feit yang dinyatakan dapat
dihukum berdasarkan undang-undang.
2. Van Hamel : menyatakan kelakuan orang yang dirumuskan dalam
undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan.9
3. Simons : menyatakan bahwa delik adalah suatu tindakan melawan
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang
tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat
dihukum.10
Menurut Moeljatno, pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.11 Pada

8

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001, hlm. 67.
9
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005, hlm. ,10.
10
S. R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
AHAEM-PTHAEM, Jakarta, 1986, hlm. 205
11
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta,
2008., hlm. 59

Universitas Sumatera Utara

kesempatan lain dia juga mengatakan dengan substansi yang sama bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
barangsiapa melanggar larangan tersebut.12 Roeslan saleh mengemukakan
pendapatnya mengenai perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh
aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.13
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
barangsiapa yang melakukannya. Dengan pengertian ini, maka pendapat Simons
dan Van Hamel dapat

ditolak.14

Pendapat

Simons

dan Van Hamel

mencampuradukkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa unsur-unsur perbuatan pidana adalah
unsur-unsur

yang

terdapat

dalam

pengertian

yang

dipisahkan

dengan

pertanggungjawaban pidana, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi
beberapa hal, antara lain :
a. Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang
berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh
hukum.
b. Kelakuan dan kibar yang timbul harus bersifat melawan hukum baik
dalam pengertian formil maupun materil.

12

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara,
Jakarta, 1983, hlm. 11.
13
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana : Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 13.
14
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 98.

Universitas Sumatera Utara

c. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya
kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.15
Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya
berbeda-beda sesuai dengan ketentuan Pasal hukum pidana yang ada dalam
undang-undang. Misalnya, berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana, tempat
terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan,
dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.16
b. Pelaku Tindak Pidana
Berdasarkan bunyi Pasal 55 KUHP, maka yang dimaksud dengan pelaku
tindak pidana adalah :
1. Orang yang melakukan (pleger )
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger )
3. Orang yang turut serta melakukan (mede pleger )
4. Orang yang membujuk melakukan (uit lokken)
ad.1. Orang yang melakukan (pleger )17
Dalam hal ini adalah seseorang yang secara sendiri melakukan semua
unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Seseorang yang disebut pleger dapat
diketahui dengan melihat 2 kriteria :
1. Perbuatannya adalah perbuatan yang menentukan terwujudnya
perbuatan pidana
2. Perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur perbuatan pidana

15

Ibid, hlm 100
ibid
17
Adami Chazawi, Percobaan & Penyertaan (Pelajaran Hukum Pidana 3), Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 17
16

Universitas Sumatera Utara

Ad.2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger )18
Dalam hal ini, paling sedikit harus ada dua orang, yaitu orang yang
menyuruh melakukan dan orang yang disuruh untuk melakukan suatu suatu
perbuatan pidana.
a. Orang lain sebagai alat di dalam tangannya
Yang dimaksud dengan orang lain sebagai alat di dalam tangannya
adalah apabila orang/pelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan
tindak pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat
penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif. Dalam doktrin hukum pidana orang
yang diperalat disebut sebagai manus ministra sedangkan orang yang memperalat
disebut sebagai manus domina juga disebut sebagai middelijke dader (pembuat
tidak langsung).
Ada tiga konsekuensi logis, terhadap tindak pidana yang dilakukan
dengan cara memperlalat orang lain:


Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pembuat
penyuruh, tetapi oleh perbuatan orang lain (manus ministra);



Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatannya yang pada
kenyataannya telah melahirkan tindak pidana;



Manus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah

pembuatan penyuruh.
b. Tanpa kesengajaan atau kealpaan

18

ibid

Universitas Sumatera Utara

Yang dimaksud dengan tanpa kesengajaan atau tanpa kealpaan adalah
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh (manus ministra) tidak
dilandasi oleh kesengajaan untuk mewujudkan tindak pidana, juga terjadinya
tindak pidana bukan karena adanya kealpaan, karena sesungguhnya inisiatif
perbuatan datang dari pembuat penyuruh, demikian juga niat untuk mewujudkan
tindak pidana itu hanya berada pada pembuat penyuruh (doen pleger).
c. Karena tersesatkan19
Yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau
kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabaklan oleh pengaruh
dari orang lain dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas kesalahpahaman itu
maka memutuskan kehendak untuk berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang
lain itu timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan pembuat
penyuruh sendiri.
d. Karena kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) di sini adalah perbuatan yang
dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada
orang, mengakibatkan orang itu tidak berdaya.
Dari apa yang telah diterangkan di atas maka jelaslah bahwa orang yang
disuruh melakukan tidak dapat dipidana. Di dalam hukum orang yang disuruh
melakukan ini dikategorikan sebagai manus ministra , sementara orang menyuruh
melakukan dikategorikan manus domina .

19

Ibid

Universitas Sumatera Utara

ad.3. Orang yang turut serta melakukan (mede pleger )20
KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan
turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk
dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana harus memenuhi dua syarat ;




harus adanya kerjasama secara fisik
harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerjasama untuk
melakukan tindak pidana
Yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger) oleh MvT

dijelaskan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja
berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana. Penelasan MvT ini,
merupakan penjelasan yang singkat yang masih membutuhkan penjabaran lebih
lanjut.
Dari berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk
menentukan pembuat peserta (medepleger), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
untuk menentukan seseorang sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan
orang tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang
telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana (pleger) untuk
mewujudkan tindak pidana tersebut.
Perbuatan pembuat peserta tidak perlu memenuhi seluruh unsur tindak
pidana, asalkan perbuatannya memiliki andil terhadap terwuudnya tindak pidana
tersebut, serta di dalam diri pembuat peserta telah terbentuk niat yang sama
dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan tindak pidana.

20

Ibid

Universitas Sumatera Utara

ad.4. Orang yang membujuk melakukan (uit lokken)21
Syarat-syarat uit lokken :


harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan
tindak pidana



harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana



cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang
tersebut didalam pasal 55(1) sub 2e (pemberian,perjanjian, ancaman, dan
lain sebagainya)



orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai
dengan keinginan orang yang menggerakan
Ditinjau dari sudut pertanggung jawabannya maka pasal 55(1) KUHP

tersebut di atas, maka semua mereka adalah sebagai penanggung jawab penuh,
yang artinya mereka semua diancam dengan hukuman maksimum pidana pokok
dari tindak pidana yang dilakukan.

2. Pertanggungjawaban Pidana
a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Membicarakan pertanggungjawaban pidana harus didahului dengan
mengetahui apa itu perbuatan pidana. Sebab seseorang tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana,

21

Ibid

Universitas Sumatera Utara

karena akan tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu
tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.22
Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk kedalam pengertian
pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang
dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang
melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung apakah dalam
melakukan perbuatan itu, orang tersebut memiliki kesalahan (Geen straf zonder
schuld; actus non facit reum nisi mens sist rea).23

Dalam hukum pidana, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan jaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea . Dalam bahasa Inggris doktrin
tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind
is legally blameworthy (suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah

kecuali jika pikiran orang itu jahat). Berasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang
harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu perbuatan lahiriah yang
terlarang/perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat (mens rea).24
Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan diteruskannya celaan
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.25 Dasar adanya perbuatan
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya seseorang adalah
asas kesalahan. Hubungan mengenai pertanggungjawaban pidana dengan
22

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana...op.cit., hlm. 20-23
Moeljatno, Asas-Asas....op.cit., hlm 165
24
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No.
11 Tahun 1999, hlm 27
25
Mahrus Ali, Dasar-Dasar...op.cit., hlm 156
23

Universitas Sumatera Utara

kesalahan tersebut ddipertegas oleh Roeslan Salah dalam bukunya yang berjudul
Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam
Dalam Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa :
“Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pelaku bukanlah
bergantung apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada
apakah si terdakwa tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana
itu. Karena itulah maka juga dikatakan : dasar daripada adanya perbuatan
pidana adalah asas terlarang dan diancam dengan pidana barang siapa
yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat
adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.26
Perbedaan mendasar dari delik pidana dengan pertanggungjawaban
pidana terletak pada unsurnya. Walaupun unsur tiap delik berbeda, namun pada
umumnya memiliki unsur yang sama seperti:
a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif
b. Akibat Yang ditimbulkan
c. Melawan hukum formil dan melawan hukum materil
d. Tidak ada alasan pembenar27
Sedangkan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah sebagai
berikut :
a. Kemampuan bertanggungjawab
b. Kesalahan pembuat
c. Tidak ada dasar pemaaf28
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesalahan
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidanakan seseorang. Tanpa
itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Oleh karena itu dalam
26

Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm 76
H. A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika , Jakarta, 2007, hlm. 221.
28
Ibid, hlm,. 223

27

Universitas Sumatera Utara

hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder
schuld).

b. Kesengajaan
Wetboek van Strafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai

kehendak untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang
atau diharuskan oleh undang-undang.29 Sedangkan menurut Memoring van
Toelichting

kesengajaan

sama

dengan

“willens

en

wetens”

atau

diketahui/dikendaki.30 Satochid kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud
“willwens en wetens” adalah seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja
harus mengkehendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsyafi atau mengerti
(weten) akan akibat perbuatan itu.31
Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya
yang berisi menghendaki dan mengetahui, maka dalam ilmu hukum pidana
terdapat dua teori, yaitu teori kehendak yang dikemukakan oleh Von Hippel
dalam “Die Grenze von Vorsatz und Fahrlassigkeil” 1903 dan teori
membayangkan yang dikemukakan Frank dalam “Festcshrift Gieszen” 1907.
Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak menyatakan bahwa
kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari
perbuatan itu. Dengan demikian, “sengaja” adalah apabila akibat itu menjadi
benar-benar maksud dari tindakan yang dilakukan tersebut. Sedangkan teori
membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki suatu tindakan,
29

D. Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorious, Hukum Pidana, Editor penerjemah, J. E
Sahetapy, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 87.
30
E. Utrecht, Hukum Piana I, Pustaka Tinta Emas, Surabaya, 1986, hlm. 300.
31
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian Satu, Hukum Pidana, bagian Dua,
Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, Tanpa Tahun, hlm. 291

Universitas Sumatera Utara

manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu
akibat. Rumus Frank berbunyi “sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan
karena suatu tindakan dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan
sesuai dengan bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut.32
Secara teoritis terdapat dua bentuk kesengajaan (dolus), yaitu dolus
malus dan dolus eventualis. Dolus malus pada hakikatnya merupakan inti

gabungan dari teori pengetahuan (voorstelling theorie) dan teori kehendak
(wilstheorie). Menurut teori pengetahuan, seseorang sudah dapat dikatakan
sengaja melakukan perbuatan pidana jika saat berbuat orang tersebut mengetahui
atau menyadari bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang
hukum.33 Teori ini menitikberatkan pada apa yang dikendaki atau dibayangkan
oleh pelaku pada saat melakukan perbuatan hukum pidana. Sedangkan teori
kehendak menyatakan, bahwa seseorang dianggap sengaja melakukan suatu
perbuatan pidana apabila orang itu menghendaki dilakukannya perbuatan itu.
Dalam hal ini, kesengajaan merupakan kehendak

yang diarahkan pada

terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang.34
Dolus eventualis adalah sengaja yang bersifat kemungkinan. Dikatakan

demikian karena pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatan
untuk meninbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah
menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang

32

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif tentang Sistem Pertanggungjawaban
Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004, hlm. 44
33
M. Abdul Kholiq, op.cit., hlm 133
34
Moeljatno, Asas....op.cit., hlm 186

Universitas Sumatera Utara

memang ia kehendaki. Jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi
kenyataan,

terhadap

kenyataan

tersebut

ia

katakan

mempunyai

suatu

kesengajaan.35
Van Bemmelen mengatakan bahwa yang dinamakan dolus eventualis
adalah kesengajaan bersyarat yang bertolak dari kemungkinan, dalam arti tidak
pernah lebih banyak dikehendaki kemungkinan matinya orang lain itu misalnya.
Seseorang yang menghendaki matinya orang lain, tidak dapat dikatakan bahwa ia
menghendaki supaya orang tersebut mati. Tetapi, jika seseorang melakukan suatu
perbuatan dengan kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat menyebabkan
matinya orang lain, hal itu menunjukkan bahwa ia memang menghendaki
kematian orang tersebut.36
Berdasarkan uraian mengenai dolus ventualis di atas, dapat disimpulkan
bahwa pelaku perbuatan pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat
mungkin akan menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum.
Namun meski ia menyadarinya, sikap yang muncul alam dirinya bukannya
menjauhi perbuatan itu, melainkan justru tetap melakukannya. Dalam hbubungan
ini, dolus eventualis disebut dengan inklauf theorie atau teori apa boleh buat.37

c. Kealpaan
KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan
(culpa ), sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud
35

Lamintang, Dasar-Dasar hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm.

301
36

Leden Marpaung, Asas-Teori...op.cit., hlm 18.
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaruan, UMM
Press, Malang, 2008, hlm. 276.
37

Universitas Sumatera Utara

dengan kealpaan. Kealpaan terjadi apabila seseorang tetap melakukan perbuatan
itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya
akibat itu lebih dahulu oleh pelaku merupaka syarat mutlak. Suatu akibat yang
tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
sebagai kealpaan.38
Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat
gecompliceered, yang di satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan

seseorang secara lahiriah, dan disisi lain mengarah padakeadaan batin orang itu.
Dengan pengertian tersebut, maka di dalam kealpaan (culpa ) terkandung makna
kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan
antara kesengajaan ddan kealpaan, dimana dalam kesengajaan terapat suatu sifat
positif, yaitu kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan perbuatan yang
dilarang, sedangkan kealpaan sifat positif ini tidak ditemukan.39
Dilihat dari bentuknya, Moldderman mengatakn bahwa terdapat dua
bentuk kealpaan (culpa ), yaitu kelapaan yang disadari (bewuste culpa ) dan
kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa ). Dia mengatakan bahwa corak
kealpaan yang paling ringan adalah orang yang melakukan pelanggaran hukum
dengan tidak menginsyafi sama sekali dan corak kelapaan yang lebih berat
dinamakan dengan bewuste shuld, yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan
menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi, tetapi karena kepandaiannya

38
39

Ibid
Moeljatno, Asas...op.cit, hlm 217

Universitas Sumatera Utara

atau diadakannya tindakan-tindakan yang mencegahnya, kemungkinan itu
diharapkan tidak timbul.40
Keadaan kealpaan yang disadari (bewuste culpa ), pelaku dapat menyadari
tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, tetapi ia percaya dan berharap
bahwa akibat buruk itu tidak akan terjadi. Pelaku telah membayangkan atau
menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk
mencegah, akibat itu terjadi juga.41 Sedangkan dalam kealpaan yang tidak disadari
(onbewuste culpa ), pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya
akibat yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, padahal ia
seharusnya memperhitungkan adanya kemungkinan akan timbulnya akibat itu.42
Berdasarkan pengertian kealpaan di atas dapat disimpulkan bahwa
dikatakan culpa jika keadaan batin pelaku perbuatan pidana bersifat ceroboh,
teledor, atau kurang hati-hati sehingga perbuatan dan akibat yang dilarang oleh
hukum terjadi.43 Jika dalam kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali memang
tidak ada niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan pidana
yang dilarang hukum. Meskupin demikian, ia patut dipersalahkan atas terjadinya
perbuatan dan akibat yang dilarang hukum karena sikapnya yang ceroboh
tersebut. Hal ini karena nilai-nilai kepatutan yang ada dalam kehidupan
masyarakat mengharuskan setiap orang berhati-hati dalam bertindak.44

40

Ibid., hlm. 227.
Tongat, op.cit., hlm 289
42
Ibid., hlm 290
43
Mahrus Ali, op.cit., hlm 178
44
Ibid., hlm 178
41

Universitas Sumatera Utara

d. Kemampuan bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab adalah unsur dari kesalahan. Oleh karena
itu, tidak adanya kemampuan bertanggungjawab mengakibatkan tidak adanya pula
kesalahan, dan oleh karena itu pulalah tidak ada tindakan pemidanaan, dengan
demikian berlaku asas tidak ada pidana tanpa ada kesalahan.45
Menurut KUHP, tidak ada batasan tentang “mampu bertanggungjawab”
(torekeningsyat baarheid). Yang ada dalam KUHP adalah sebaliknya, yaitu

pengertian negatif yakni “tidak dapat dipertanggungjawabkan” yang disebut
dalam pasal 44 KUHP, yaitu “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau
jiwanya terganggu karena penyakit”.
Atas penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk adanya
kemampuan bertanggungjawab harus ada dua hal, yaitu : pertama, kemampuan
untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai
hukum dan yang melawan hukum. Kedua, kemampuan untuk menentukan
kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi.46
Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal
pembuat. Akalnya apat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan
perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membedabedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan menyebabkan
yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika
melakukan tinak pidana. Dapat dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat
45

Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Cetakan
Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 78
46
Moeljatno Asas-Asas...op.cit., hlm 165

Universitas Sumatera Utara

dapat membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan
oleh hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang
ditentukan hukum.47
Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat
memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas “tiada
pertanggungjawaban

pidana

tanpa

kesalahan”

maka

pembuat

dapat

dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Keadaan batin pembuat yang
normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan atau mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu
yang berada diluar pengertian kesalahan.48 Mampu bertanggungjawab adalah
syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri.
Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggungjawab
merupakan unsur pertanggugjawaban pidana sekaligus syarat kesalahan.49
Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi
pidana.

Berarti,

ketika

ditemukan

tanda

seseorang

tidak

mampu

bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawaban berhenti. Orang itu hanya
dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak perlu
diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapus kesalahan
dalam dirinya. Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya dapat

47

Choirul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, hlm 89
48
Mahrus Ali, op.cit., hlm 172
49
M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hlm 129

Universitas Sumatera Utara

berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak dimaksud untuk menghapuskan
pidana.50
e. Tidak Ada Alasan Pemaaf
Dalam keadaan tertentu, pembuat tidnak pidana dapat berbuat lain yang
berujung

pada

terjadinya

tindak

pidana,

sekalipun

sebenarnya

tidak

diinginkannya. Sehingga tidak pada tempatnya apabila masyarakat masih
mengharapkan kepada yang bersangkutan untuk tetap dihadapkan kedalam
penyelesaian secara hukum. Terjadinya tindak pidana ada kalanya tidak dapat
dihindari oleh pembuat tindak pidana karena sesuatu yang berasal dari luar
dirinya. 51 Faktor yang berasal dari luar dirinya itulah yang menyebabkan pembuat
tindak pidana tidak dapat berbuat lain yang mengakibatkan kesalahannya menjadi
terhapus.
Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau yang dikenal dengan alasan
pembenar dan alasan penghapus kesalahan atau yang dikenal dengan alasan
pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya
mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada
pembenaran atas tindak pidana yang sepintas melawan hukum, sedangkan adanya
alasan pemaaf berdampak pada pemaafan perbuatannya sekalipun telah
melakukan tindak pidana yang melawan hukum.52
Dalam hukum pidana yang termasuk kedalam alasan penghapus
kesalahan atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa (overmacht) pembelaan
50

Mahrus Ali, op.cit, hlm 174
M. Abdul Kholiq, Buku ...op.cit., hlm. 142
52
Chairul Huda, Dari Pidana ...op.cit., hlm. 121.

51

Universitas Sumatera Utara

terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses ), dan pelaksanaan perintah tanpa
wewenang yang didasari oleh itikad baik.
Dalam KUHP, daya paksa diatur di dalam Pasal 48 yang menyatakan
bahwa:
“barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana”
Secara teoritis terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu vis absoluuta dan
vis compusilva. Vis absoluuta adalah daya paksaan yang pada umumnya

dilakukan dengan kekuasaan tenaga manusia (fisik) oleh orang lain, sedangkan vis
compusilva adalah paksaan yang kemungkinan dapat dielakkan walaupun secara

perhitungan yang layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan
memaksa tersebut akan mengadakan perlawanan.53 Dalam vis compusilva yang
terjadi adalah alasan psikis, dalam arti sekalipun tidak memaksa secara mutlak,
tetapi hal demikian tetap disebut dengan memaksa.54
Daya paksa yang dikategorikan sebagai alasan pemaaf adalah daya paksa
psikis atau vis compusiva. Alasannya, orang yang berbuat bukan yang terkena
paksaan, tetapi orang yang memberi paksaan psikis. Vis compusilava dibagi
menjadi menjadi dua bagian, yaitu daya paksa dalam arti sempit (overmacht in
enge zin) dan keadaan darurat (noodtoestand). Pengertian daya paksa dalam arti

sempit adalah sumber datangnya paksaan itu berasal dari luar diri orang yang
dipaksa, sehingga orang tersebut tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti
kemauan orang yang memaksanya. Sedangkan dalam keadaan darurat orang yang

53
54

Leden Marpaung, Asas-Asas ....op.cit., hlm. 55
Moeljatno, Asas..op.cit., hlm. 151

Universitas Sumatera Utara

terkena daya paksa sebenarnya masih memiliki kebebasan untuk memilih
perbuatan mana yang akan dilakukan.55
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwees ekses) diartikan
sebagai dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan seperlunya itu harus
disebabkan karena pengaruh dari suatu goncangan jiwa yang demikian hebat,
yang bukan semata-mata disebabkan karena adanya perasaan takut atau
ketidaktahuan tentang apa yang harus dilakukan, melainkan juga yang disebabkan
oleh hal-hal lain seperti kemarahan atau perasaan kasihan.56 Dengan demikian,
pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah perbuatan pidana yang
dilakukan sebagai pembelaan pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau
ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari ancaman hukum jika sifat
pembelaan tersebut sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu
sendiri.
Noodweer ekses diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang menyatakan

bahwa;
“pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan
oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana”
Pasal ini menjelaskan bahwa dalam noodweer ekses, perbuatan seseorang
yang pada hakikatnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena memang
serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang disebabkan
kegoncangan jiwa yang hebat adalah melawan hukum, namun serangan yang
diebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat membuat fungsi batin orang

55
56

Ibid., hlm 152
Lamintang, Dasar-Dasar...op.cit., hlm. 475.

Universitas Sumatera Utara

tersebut tidak berjalan secara normal. Hal inilah yang menyebabkan dalam diri
orang tersebut terdapat alasan pemaaf.57
Menurut doktrin hukum pidana terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi
agar perbuatan tersebut dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (noodweer ekses), yaitu melampaui batas pembelaan yang
diperlukan, kegoncangan jiwa yang hebat, dan adanya hubungan kausal antara
serangan dengan timbulnya kegoncangan jiwa yang hebat.58
Pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad
baik. Hal ini tertulis dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan:
“Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana,
kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah
diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam
lingkungan pekerjaannya”
Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar perbuatan orang itu
dikategorikan sebagai alasan pemaaf. Pertama, keadaan batin orang yang
diperintah harus mengira bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang sah
baik dilihat dari pejabat yang mengeluarkan perintah maupun dilihat dari
macamnya perintah itu. Kedua, perintah yang dilaksanakan itu berdasarkan itikad
baiknya harus merupakan bagian dari lingkungan pekerjaannya, dalam arti
perintah tersebut memang sesuai dengan job description orang itu, bukan diluar
pekerjaan orang itu.59 Apabila dalam suatu perbuatan pidana tidak ditemukan
unsur-unsur di atas, maka sudah selayaknya perbuatan tersebut dikatakan tidak
terdapat alasan pemaaf yang mengakibatkan seseorang dapat dipidana karena
perbuatan tersebut.
57

Mahrus Ali....op.cit., hlm. 183.
Leden Marpaung..,op.cit., hlm. 65
59
Moeljatno,,.op.cit., hlm. 163.

58

Universitas Sumatera Utara

3. Pengertian Satwa yang Dilindungi
Menurut pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, satwa
adalah “semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang hidup di darat maupun
air. Pasal 1 butir 7 menyebutkan bahwa pengertian satwa liar adalah “semua
binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih
mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara
manusia”. Dalam penjelasan pasal 1 butir 7 memuat batasan mengenai definisi
satwa liar, bahwa “ikan dan ternak tidak termasuk alam pengertian satwa liar,
tetapi termasuk dalam pengertian satwa”.
Konvensi Internasional juga mengatur mengenai satwa langka, CITES
dan IUCN Red List, di dalam Bab I, ketentuan umum, bagian ke 1, pasal 1
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor 447/Kpts-II/2003,
membagi kelompok satwa terancam punah ke dalam beberapa apendiks, terdiri
dari :
1.

Apendiks I : daftar seluruh spesies tumbuhan satwa yang dilarang
dalam segala bentuk perdagangan internasional.

2.

Apendiks II : daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi
mungkin terancam punah bila perangangan terus berlanjut tanpa
adanya pengaturan.

3.

Apendiks III : daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang
dilindungi

negara

tertentu

dalam

batasan-batasan

kawasan

Universitas Sumatera Utara

habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam
Apendiks II atau Apendiks I.
Menurut IUCN Red List (International Union for Nature and Natural
Resource Red List of The Treataned Species), yaitu konvensi yang membahas

tentang daftar status konversi berbagai jenis mahluk hidup seperti hewan dan
tumbuhan, membagi status konversi kedalam beberapa kategori, antara lain :
1. Jenis tercatat dalam kategori kritis (spesies menghadapi resiko
tinggi kepunahan dalam waktu dekat), seperti: harimau sumatera,
badak jawa, jalak bali, arwana asia, penyu sisik.
2. Jenis tercatat dalam kategori genting (spesis yang menghadapi
resiko kepunahan sangat tinggi diwaktu mendatang), seperti:
orangutan, banteng, anoa, elang jawa, penyu belimbing.
3. Jenis tercatat dalam kategori rentan (spesies menghadapi resiko
tinggi kepunahan dimasa depan), seperti: babi rusa.
4. Jenis tercatat dalam kategori rendah (spesies menghadapi
ancaman langsung kelangsungan hidup spesies tersebut), seperti:
ayam hutan, macan tutul.60
Hal yang berkaitan erat dengan satwa adalah “habitat”. Pengertian habitat
menurut Undang-Unang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 butir 8 adalah “Lingkungan
tempat tumbuhan dan satwa dapat hidup dan berkembang secara alami”.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, perlindungan
terhadap jenis-jenis hewan tertentu diatur pada Dierenbeschermings Ordonantie
60

Website http://id.wikipedia.org/wiki/IUCN.Red.List, diakses tanggal 27 Februari
2016 pukul 10.04 WIB

Universitas Sumatera Utara

1931 dan Dierenbeschermings Verordening 1931. Berdasarkan peraturan tersebut,

Menteri Pertanian menentukan jenis-jenis satwa yang dilindungi berdasarkan
keputusan-keputusan berikut:
a. Nomor : 421/Ktps/Um/8/1970
b. Nomor : 327/Kpts/7/1972
c. Nomor : 66/Kpts/7/1972
Ketiga keputusan tersebut menentukan perlindungan satwa yang terdiri
dari :
a. Mamalia

: 95 jenis

b. Aves

: 372 jenis

c. Reptilia

: 28 jenis

d. Pisces

: 20 jenis61

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis
Tumbuhan dan Satwa, dalam Pasal 4 membedakan jenis tumbuhan dan satwa
dalam beberapa golongan, seperti :
a. Tumbuhan dan satwa yang dilindungi
b. Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi
Kriteria satwa yang dilindungi harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai populasi kecil
b. Adanya penurunan yang tajam padda jumlah individu di alam
c. Daerah penyebarannya terbatas (endemik)62

61

Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Erlangga,
Jakarta, 1995, hlm 50.
62
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Universitas Sumatera Utara

Dapat disimpulkan bahwa, satwa yang dilindungi adalah jenis satwa yang
populasinya sedikit dan habitatnya hanya terdapat di daerah tertentu saja
(endemik).

F. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang
memenuhi kriteria, dibutuhkan data-data yang relevan dari skripsi ini. Dalam
upaya pengumpulan data yang diperlukan, diterapkan metode pengumpulan data
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang
dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan primer dan
bahan sekunder.63 Dapat dikatakan bahwa pendekatan yang bersifat yuridis
normatif adalah dengan mengkaji, menganalisis data sekunder berupa bahanbahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan
memahami hukum sebagai seperangkat peraturan norma-norma positif di dalam
suatu sistem perundang-undangan yang mengatur kehidupan manusia.
2. Sumber Data
Penelitian hukum yang bersifat normatif menitikberatkan pada data
sekunder. Data sekunder tersebut meliputi:

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2007, hlm. 13-14
63

Universitas Sumatera Utara

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat
yang ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yaitu berupa peraturan
perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, dan Konvensi CITES.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen atau bahan yang memberi
informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain
Putusan Pengadilan Negeri No. 469/Pid.b/2010/Pn.Sby, buku-buku,
jurnal, makalah, surat kabar, internet, dan lain sebagainya yang berkaitan
dengan masalah penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan
studi kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang digunakan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi
seperti buku-buku, artikel, makalah, dan berita yang diperoleh dari internet
dengan tujuan untuk memperoleh bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak
pidana kepemilikan satwa yang dilindungi tanpa izin.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah kualitatif yang
berarti bahwa penelitian dilakukan dengan memakai semaksimal mungkin bahan
yang ada berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada
dan menarik kesimpulan dari bahan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam empat bab yang tiap-tiap bab dibagi menjadi
beberapa sub-sub bab yang saling mendukung. Bab-bab tersebut tersusun menjadi
satu kesatuan yang saing berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Adapun
sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I:

Membicarakan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka (yang terdiri
dari pengertian tindak pidana, pelaku tindak pidana, pengertian
pertanggungjawaban

pidana,

kemampuan

bertanggungjawab,

kesengajaan, kelalaian, dan pengertian satwa dilindungi), metode
penelitian dan sistematika penulisan
BAB II: Membahas

mengenai

berbagai

aturan

yang

berkaitan

dengan

pertanggungjawaban pidana terhadap pemilik satwa yang dilindungi
tanpa izin serta pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana
kepemilikan satwa yang dilindungi tanpa izin
BAB III: Membahas tentang analisis kasus terhadap putusan Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor 469/Pid.B/2010/Pn.Sby.
BAB IV: Berisi rangkuman terhadap Bab I – Bab III berupa kesimpulan serta
saran-saran yang nantinya dapat dijadikan acuan terhadap permasalahan
yang timbul

Universitas Sumatera Utara