PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI UPAYA MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Studi Kasus Putusan PN Surabaya No:3054/Pid.B/2010/PN.SBY.

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

MERSHINTA KAMEGA ARIMAWAN NPM : 0671010116

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA


(2)

Studi Kasus Putusan Nomor : 3054/Pid.B/2010/PN.SBY Disusun Oleh :

MERSHINTA KAMEGA ARIMAWAN NPM. 0671010116

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Hariyo Sulistyantoro, SH.MM Yana Indawati, SH,Mkn NIP. 19620625 199103 1 001 NIP. 37901070224

Mengetahui,

Hariyo Sulistyantoro, SH.MM NIP. 19620625 199103 1 001


(3)

Studi Kasus Putusan Nomor : 3054/Pid.B/2010/PN.SBY Disusun Oleh :

MERSHINTA KAMEGA ARIMAWAN NPM. 0671010116

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 10 juni 2011

Tim Penguji, Tanda Tangan,

1. H. Sutrisno, SH, M.Hum (...) NIP. 196012121988031001

2. Haryo Sulistiyantoro, SH, MM (...) NIP. 196206251991031001

3. Subani, SH, M.Si (………..)

NIP. 19510504 198303 1 001

Mengetahui, Dekan,

Haryo Sulistiyantoro, SH, MM NIP. 196206251991031001


(4)

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, dengan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Skripsi ini, dengan judul “ PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI UPAYA MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (studi kasus putusan PN Surabaya No:3054/Pid.B/2010/PN.SBY)

Skripsi ini disusun guna memenuhi tuntunan sesuai kurikulum yang ada di Fakultas Hukum UPN Veteran Jawa Timur. Skripsi ini juga dimaksudkan sebagai wahana untuk menambah wawasan serta untuk menerapkan dan membandingkan teori yang telah diterima dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Di samping itu juga diharapkan dapat memberikan bekal tentang pengetahuan khususnya pengetahuan tentang visum et repertum, demi mengadakan pembaharuan bagi penegakan Hukum di masa yang akan datang.

Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, SH.MM selaku Dekan Fakultas Hukum, sekaligus sebagai

dosen pembimbing utama yang memiliki empati terhadap penyusun 2. Bapak Sutrisno, SH.M.Hum selaku wadek I Fakultas Hukum. 3. Bapak Drs.Ec.Gendut, M.Si selaku wadek II Fakultas Hukum.

4. Bapak Subani, SH.M.Si, selaku Ketua Program Studi Fakultas Hukum

5. Ibu Yana Indawati, SH.M,Kn selaku dosen pembimbing pendamping yang meluruskan kesalahan-kesalahan penyusun.


(5)

dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Kedua orang tua penyusun, yang tiada hentinya memberikan doa dan dukungannya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat hati penyusun, Nadiful Alim yang tiada hentinya memberikan doa dan dukungan yang sangat berarti bagi penyusun untuk menyelesaikan skripsi ini.

10.Kedua orang tua Nadiful Alim, yang tiada hentinya memberikan doa dan dukungannya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.

11.Sahabat-sahabat penyusun, khususnya Riska Yourina yang dengan sabar dan semangat memberikan dukungannya, Sigit, Intan, Farid, Udhe, Mamik, Mada, mbak Ayik, Rima, Lusi, Dika, Uli, Lila, rista, Amel, Indah, mbak Dian dan bunda kantin Fakultas Hukum, Vita, temen-temen kos, tim Marlboro dan teman-teman yang lain yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan, doa dan memberikan saran sebagai masukkan di dalam pembuatan skripsi ini hingga selesai.

. Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini jauh dari sempurna. Karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun penyusun harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan penelitian selanjutnya, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Surabaya, Juni 2011


(6)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN REVISI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 8

1.3Tujuan Penelitian ... 9

1.4Manfaat Penelitian ... 9

1.5Kajian Pustaka ... 10

1.6Metode Penelitian ... 35

1.6.1 Jenis dan Tipe Penelitian ... 35

1.6.2 Sumber Data ... 35

1.6.3 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36


(7)

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ... 40

2.1 Posisi kasus ... 40

2.2 Visum Et Repertum kasus ... 41

2.3 Analisa Visum Et Repertum dalam mengungkap kasus ... 47

BAB III KENDALA PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ... 54

3.1 Kendala Kasus ... 54

3.2 Analisa Kendala ... 54

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 58


(8)

Nama : Mershinta Kamega Arimawan Tempat/tgl lahir : Surabaya. 17 Maret 1988 Npm : 0671010116

Konsentrasi : Hukum Pidana.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya yang berjudul : Peranan Visum et repertum sebagai upaya mengungkap tindak pidana pembunuhan

“study kasus putusan PN Sby No :3054/Pid.B/2010/PN.SBY” dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya ciptaan saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat).

Apabila dikemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat), maka saya bersedia dituntut di depan pengadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana hukum) yang saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.

Mengetahui, Surabaya, 07-06-2011 KAPROGDI Penulis


(9)

Nama Mahasiswa : Mershinta Kamega Arimawan

NPM : 0671010116

Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 17 Maret 1988 Program Studi : Strata 1 (S1) Ilmu Hukum Judul Skripsi :

PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI UPAYA MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN.

“Studi Kasus Putusan PN Sby No: 3054/Pid.B/2010/PN.SBY”

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana peran visum et repertum dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan serta untuk mengetahui kendala yang menyebabkan visum et repertum dalam tindak pidana pembunuhan tidak optimal.

metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian hukum Normatif yakni mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai Norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Pengumpulan data hukum primer yaitu bahan yang mengikat berupa Undang-undang, data sekunder bahan yang erat hubunganya dan membantu dalam menganalisis bahan hukum primer. Analisis data dilakukan dengan cara mengumpulkan semua data yang ada, baik data primer maupun data sekunder, serta wawancara dan studi pustaka yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan.

Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan, bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut Visum et Repertum. Dengan demikian, menurut KUHAP keterangan ahli yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya disebut Visum et Repertum

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa peran visum et repertum dalam hukum pidana diperlukan sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHP, serta terdapat kendala internal dan eksternal di dalam penggunaan visum et repertum


(10)

1. Latar Belakang

Hakekat dari suatu proses peradilan Pidana adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Dimana aparat penegak hukum wajib memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan atas perkara tersebut. Selanjutnya perkara akan dibawa dipersidangan untuk mendapatkan putusan pidana. Putusan Pidana oleh hakim itu sendiri didasarkan pada adanya kebenaran materiil yang tepat dan berlaku menurut ketentuan Undang-Undang, dalam hal ini hukum acara pidana.

Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah pembuktian, yaitu tentang kejadian yang konkret dan senyatanya. Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra, mengutarakan hal-hal tersebut dan berpikir secara logika. Hal ini karena hukum pidana hanya mengenal pembuktian yang dapat diterima oleh akal sehat berdasarkan peristiwa yang konkret.


(11)

Pembuktian dalam perkara pidana menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat sebagai KUHAP) memerlukan adanya alat bukti sah, yaitu :

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk; dan

e. Keterangan terdakwa.

Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana menurut Pasal 183 KUHAP, sekurang-kurangnya berdasarkan dua alat bukti sah, yang dapat membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, sering kali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.

Mengenai perlunya bantuan seorang ahli dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan keahliannya untuk membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof. A. Karim Nasution menyatakan : “Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain, namun


(12)

pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada soal-soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim di muka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang-orang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu. Agar tugas-tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh Undang-Undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut.”

Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.

Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang


(13)

diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya. Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.

Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap


(14)

penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut. Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.


(15)

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pembuktian perkara pidana, adalah meminta bantuan dokter sebagai saksi ahli. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHP) dan KUHAP mengatur kewajiban setiap orang untuk menjadi saksi. Ketentuan Pasal 224 dan 522 KUHP mengancam sanksi pidana terhadap setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa. Dengan demikian, setiap orang yang dipanggil sebagai saksi wajib untuk memberikan kesaksiannya, baik pada pemeriksaan penyidikan, maupun persidangan. Namun demikian, pada ketentuan pasal 168 dan 170 KUHAP mengatur hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi karena alasan tertentu.

Seorang Dokter bisa menjadi saksi ahli dalam suatu persidangan pidana. Biasanya dalam sidang peradilan pidana khususnya kasus pembunuhan maka dibutuhkan keikutsertaan seorang dokter khususnya dokter forensik untuk membuatkan keterangan yang berisi hal-hal yang menyebabkan kematian. Yang kemudian dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan atau biasa disebut dengan Visum Et Repertum.Untuk bisa dilakukan suatu Visum maka dibutuhkan kerjasama dari pihak kepolisian dan kedokteran. Visum biasanya dibutuhkan untuk kasus pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan.

Visum Et Repertum juga dapat menjadi bukti keterangan ahli berdasar ketentuan pemerintah tanggal 22 Mei 1937 dalam Lembaran Negara 1937 (Staatsblad 1937 No. 350) Pasal 1 menyatakan bahwa: “Visum Et Repertum dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Negeri Belanda atau Indonesia


(16)

atau sumpah khusus, sebagai dimaksud Pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa”. Dalam Pasal 186 KUHAP dan Lembaran Negara 1937 (Staatsblad 1937 No. 350) Pasal 1, sama-sama menerangkan bahwa sebelum dokter (ahli) memberikan keterangan harus mengucap sumpah didepan hakim. Meski sebelumnya seorang Dokter dalam menjalankan jabatannya telah disumpah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter pasal 1 yang berbunyi : “saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya…….” Dengan lafal sumpah yang telah dijalankan seorang Dokter sebelum menjalankan jabatannya maka seorang Dokter mempunyai kewajiban untuk menjalankan profesinya baik kaitannya dengan keilmuannya dalam menyembuhkan penderita maupun kaitannya dengan keahliannya dalam memberikan keterangan dibidang keahliannya.

Dalam perkara pidana yang lain dimana tanda buktinya (Corpus Delicti) merupakan suatu benda (tidak bernyawa) misalnya senjata tajam atau senjata api yang digunakan untuk melakukan sesuatu tindak pidana, barang hasil curian atau penggelapan, mata uang yang dipalsukan, barang-barang hasil penyelundupan dan lain-lain pada umumnya selalu dapat diajukan dimuka pengadilan sebagai barang bukti. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Corpus Delicti (tanda bukti) yang berupa tubuh manusia, oleh karena misalnya luka-luka pada tubuh seseorang akan selalu berubah-ubah yaitu


(17)

mungkin akan sembuh, membusuk atau akhirnya menimbulkan kematian dan mayatnya akan menjadi busuk dan dikubur; jadi kesimpulannya keadaan itu tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan dilakukan, maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian itu tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum Et Repertum.

Atas dasar berbagai permasalahan tersebut, maka penulis menganggap perlu mengangkat masalah ini untuk diteliti lebih lanjut. Oleh karena itu diperlukan adanya kajian terhadap permasalahan mengenai

PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI UPAYA

MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Putusan PN Surabaya nomor : 3054/Pid.B/2010/PN.SBY Kasus pembunuhan Rizal Abdul Syukur di kota Surabaya).

2. Rumusan Masalah.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan peneliti angkat dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana peran Visum et Repertum dalam upaya mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan?

2. Apa kendala pembuatan Visum et Repertum dalam upaya mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan?


(18)

3. Tujuan Penelitian.

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana peran Visum et Repertum dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan apa kendala yang menyebabkan peran Visum et Repertum dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan tidak optimal.

4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis :

Memberikan sumbangan dan manfaat perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya mengenai Proses Penyidikan dan Hukum Pidana, bidang ilmu yang lain yang terkait di dalamnya, serta memberikan pertimbangan hukum baru dalam hal pentingnya Visum et Repertum untuk mengungkap suatu Tindak Pidana.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pemerintah : dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menentukan sarana dan prasarana, serta fleksibilitas kebijakan yang diperlukan berkaitan dengan pentingnya Visum et Repertum.

b. Bagi masyarakat : lebih memahami akan peranan visum et repertum dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana tertentu.


(19)

c. Bagi penyidik : diharapkan bagi penyidik dalam memberikan visum et repertum yang bekerja sama dengan dokter ahli khususnya ahli forensik bisa terlaksana dengan cepat sehingga proses BAP bisa segera dilimpahkan ke kejaksaan.

5. Kajian Pustaka

5.1.1 Tinjauan Umum tentang Visum et Repertum

a. Pengertian Visum et Repertum

Pengertian yang terkandung dalam Visum Et Repertum ialah : ”YANG DILIHAT DAN DIKETEMUKAN”. Jadi Visum Et Repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang ”dilihat dan diketemukan” di dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat. Jadi merupakan kesaksian tertulis.

Istilah Visum et Repertum tidak disebutkan dalam KUHAP, tetapi terdapat dalam Staatsbald. Tahun 1937 No. 350 tentang Visa Reperta. Visa Reperta merupakan Bahasa Latin. Visa berarti penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu; dan reperta berarti laporan. Dengan demikian, apabila diterjemahkan secara bebas berdasarkan arti kata, Visa Reperta, berarti laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu.

Visum et Repertum merupakan bentuk tunggal dari Visa et Reperta. Stbl. Tahun 1937 No. 350 yang berisi “Visa Reperta para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada waktu


(20)

menyelesaikan pelajarannya di Indonesia, maupun atas sumpah khusus seperti tercantum dalam Pasal 2, mempunyai daya bukti yang sah dalam perkara pidana, selama berisi keterangan mengenai hal yang dilihat oleh dokter itu pada benda yang diperiksa.”

Staatsblad Tahun 1937 No. 350 hingga saat ini belum dicabut, meskipun KUHAP telah berlaku lebih dari dua puluh tahun. Namun demikian, KUHAP tidak menggunakan istilah Visum et Repertum untuk menyebut keterangan ahli, yang merupakan hasil pemeriksaan ahli kedokteran kahakiman. Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan, bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut Visum et Repertum. Dengan demikian, menurut KUHAP keterangan ahli yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokterdan atau ahli lainnya disebut Visum et Repertum.

Menurut pendapat Dr. Tjan Han Tjong Visum Et Repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya CORPUS DELICTI (tanda bukti), seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan CORPUS DELICTI.

Dalam perkara pidana yang lain dimana tanda buktinya (Corpus Delicti) merupakan suatu benda (tidak bernyawa) misalnya senjata tajam/api yang dipakai untuk melakukan suatu tindak pidana, barang


(21)

hasil curian/penggelapan, mata uang yang dipalsukan, barang-barang hasil penyelundupan dan lain-lain pada umumnya selalu dapat diajukan di muka persidangan pengadilan sebagai barang/tanda bukti.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Corpus Delicti yang berupa tubuh manusia,oleh karena misalnya luka-luka pada tubuh seseorang akan selalu berubah-ubah yaitu mungkin akan sembuh, membusuk atau akhirnya menimbulkan kematian dan mayatnya akan menjdi busuk dan dikubur; jadi kesimpulannya keadaan itu tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan dilakukan, maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian itu tidak mungkin disediakan/diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum Et Repertum.

Agar dapat keseragaman dalam bentuk dari Visum Et Repertum maka diadakan ketentuan pokok yaitu 3 kerangka daripada Visum Et Repertum ialah sebagai berikut :

I. Pendahuluan :

Di sebelah kiri atas ditulis kata-kata : ”PRO JUSTITIA”

saya bertanda tangan di bawah ini : Dr ... X Pada hari ini ... tanggal ... 19 telah memeriksa seorang/mayat seorang pria/wanita bernama ... umur ... th, tempat dan tgl lahir... pekerjaan ... tempat tinggal di ... atas


(22)

permintaan ... dalam suratnya tanggal ... No...

II. Pemberitaan :

Dalam pemberitaan harus lengkap yaitu dicantumkan segala ciri yang ada pada si korban seperti pakaiannya, rambutnya, warna kulit dan lain-lain, akhirnya tentang luka-lukanya, hal ini penting untuk menghindarkan kekeliruan.

Pemeriksan dilanjutkan meliputi semua bagian tubuh yang penting seperti otak, lambung, limpa (milt) dan lain-lain walaupun lukanya bukan di bagian itu.

Hal ini penting karena ada kemungkinan kematian seseorang bukan disebabkan langsung oleh luka karena penganiayaan atau tabrakan, akan tetapi misalnya disebabkan oleh ”terkejut” (shock) atau karena memang limpanya pecah disebabkan ia telah lama menderita penyakit malaria.

Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa pemberitaan adalah analoog dengan suatu kesaksian, sebab dalam pemberitaan dimasukkan segala apa yang dilihat dan diketemukan. Umpamanya dalam hal tabrakan, pada pemberitaan memuat segala hal-ihwal yang berhubungan dengan tabrakan itu sehingga akan sama dengan kesaksian dari orang yang melihat tabrakan itu, hanya bedanya jika kesaksian dari orang yang meihat tabrakan itu diperoleh di tempat


(23)

kejadian sedangkan pemberitaan seorang dokter diperoleh dari barang bukti yang diperiksanya.

III. Kesimpulan

Kesimpulan harus didasarkan pada ajaran Sebab dan Akibat (Causaliteits leer). Misalnya tidak boleh hanya dikatakan bahwa kematian seseorang disebabkan karena pendarahan saja, melainkan harus diterangkan juga bahwa pendarahan itu disebabkan oleh luka pada limpanya dan lukanya itu disebabkan pula oleh tusukan senjata tajam.

Di bagian bawah harus dicantumkan ”sumpah”. Hal ini berarti bahwa setiap Visum Et Repertum harus dibuat diatas sumpah, yaitu sumpah dokter. Sebagai catatan mengenai sumpah ini ada 2 pendapat, ialah :

1. Pada tiap-tiap Visum Et Repertum harus dicantumkan sumpah dokter yang khusus untuk sesuatu pemeriksaan tersebut. 2. Berhubung dengan dalam praktek sulit dilaksanakannya, maka

untuk Visum Et Repertum dianggap cukup dengan sumpah yang diucapkan oleh dokter yang bersangkutan pada waktu pertama kali menerima jabatan sebagai dokter, hal ini berlaku baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia (Staatsblad 1937 No. 350. Ordonansi tanggal 22 Mei 1937. Dengan adanya ”sumpah” ini barulah Visum Et Repertum merupakan dan mempunyai kekuatan sebgai bukti yang sah.


(24)

b. Tujuan Visum et Repertum

Seperti yang telah diutarakan di atas (Bab. I Paragrap 1) bahwa tugas seorang dokter dalam bidang ilmu kedokteran kehakiman adalah membantu para petugas kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana yang berhubungan dengan perusakan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, sehingga bekerjanya harus objektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan, maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan dalam ”pemberitaan” dari Visum Et Repertum itu harus yang sesungguh-sungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu pemeriksaan dan dengan demikian Visum Et Repertum merupakan kesaksian tertulis.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa tubuh manusia selalu berubah-ubah jadi keadaannya tidak statis, misalnya pada suatu kasus perkara pidana ada orang yang kena tusukan sehingga luka, lalu perkara ini diajukan ke sidang pengadilan, akan tetapi sidangnya mungkin baru dilaksanakan beberapa bulan kemudian dan sementara itu lukanya mungkin sudah sembuh atau semakin membusuk, keadaan luka itu sudah lain daripada waktu penusukkan itu terjadi dan oleh karena itu diperlukan suatu keterangan yaitu Visum Et Repertum yang menerangkan keadaan luka pada saat atau tidak lama setelah peristiwa


(25)

tersebut terjadi. Oleh sebab itu pengiriman barang bukti harus dilakukan dengan cepat.

Visum Et Repertum merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan secara obyektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya daripadanya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat.

Selain itu Visum Et Repertum dipakai pula sebagai dokumen dengan nama ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila yang bersangkutan (Jaksa, Hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut.

Contoh : dalam suatu kasus pengeroyokan seseorang telah ditikam oleh senjata tajam sehingga luka-luka dan karenanya banyak sekali mengeluarkan darah dan iapun mendapat pukulan dengan benda keras di kepalanya, sehingga ia mati.

Setelah diadakan pemeriksaan, dokter menyatakan bahwa kematiannya disebabkan karena ia mengeluarkan darah sebanyak lk. 1500 cc. Jaksa meragukan hasil pemeriksaan tersebut, lalu ia minta kepada dokter lain agar memeriksa kembali mayat si korban dan hasil pemeriksaannya menyatakan bahwa kematian si korban disebabkan karena otaknya rusak. Perbedaan ini penting untuk menentukan siapa yang bersalah atas kematian si korban. Manakah yang vatal, apakah


(26)

tikaman yang mengakibatkan luka dan mengeluarkan darah lk. 1500 cc ataukah pukulan di kepala dengan benda keras yang mengakibatkan rusakya otak.

Ada kemungkinan keluarga si korban berkeberatan dan menentang /menghalang-halangi untuk diadakan pemeriksaan bedah mayat (sectio), apabila demikian dapat dikenakan pasal 222 KUHPidana yang berbunyi :

”Barangsiapa dengan sengaja menghalang-halangi, merintangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 4500,-”

Dari uraian tersebut diatas maka dapat ditarik simpulan bahwa tujuan Visum Et Repertum ialah :

a.Harus sepenuhnya mengganti barang bukti yang diperiksa b.Merupakan dokumen kedokteran

c. Syarat Pembuatan Visum et Repertum

Pembuatan Visum et Repertum haruslah memenuhi syarat formil dan materiil. Syarat formil, yaitu menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatannya. Menurut Instruksi Kepala Polisi Republik Indonesia No. Pol. : INS/E/20/IX/75 tentang Tata Cara Permohonan/Pencabutan Visum et Repertum, adalah :

1. Permintaan Visum et Repertum haruslah secara tertulis (sesuai dengan Pasal 133 ayat (2) KUHAP);


(27)

2. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya dilakukan bedah mayat;

3. Permintaan Visum et Repertum hanya dilakukan terhadap peristiwa Pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan atas peristiwa yang telah lampau;

4. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat; 5. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka

polisi perlu melakukan pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat;

Syarat materiil dalam pembuatan Visum et Repertum adalah berkaitan dengan isi, yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang diperiksa, pada saat diterimanya Surat Permintaan Visum et Repertum dari Penyidik. Di samping itu, isi Visum et Repertum tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya. Dengan demikian, Visum et Repertum sah sebagai alat bukti dalam perkara Pidana, apabila pembuatannya memenuhi syarat formil dan materiil.

d. Pentingnya Visum et Repertum dalam Perkara Pidana

Pembuatan Visum et Repertum diperlukan untuk beberapa peristiwa pidana menyangkut korban manusia, baik hidup maupun mati, dan benda yang diduga sebagai bagian dari tubuh manusia. Peristiwa


(28)

Pidana yang memerlukan pembuatan Visum et Repertum, seperti ditentukan dalam KUHP adalah :

1. Pelaku Tindak Pidana yang diduga menderita kelainan jiwa, yaitu berkaitan dengan berlakunya ketentuan Pasal 44;

2. Penentuan umur korban/pelaku Tindak Pidana :

−Berkaitan dengan korban Tindak Pidana terhadap anak, khususnya di bidang kesusilaan misalnya, ditentukan dalam Pasal 287, 288, 290 sampai dengan 295, 300 dan 301.

−Berkaitan dengan pelaku Tindak Pidana anak yang ditentukan dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak.

3. Kejahatan kesusilaan diatur dalam Pasal 284 sampai dengan 290, dan Pasal 292 sampai dengan 294;

4. Kejahatan terhadap nyawa, yaitu Pasal 338 sampai dengan 348; 5. Penganiayaan, berkaitan dengan Pasal 351 sampai dengan 355, 6. Perbuatan alpa yang mengakibatkan mati atau luka orang lain,

yaitu Pasal 359 dan 360.

Permintaan Visum et Repertum antara lain bertujuan untuk membuat terang peristiwa Pidana yang terjadi. Oleh karena itu, penyidik dalam permintaan tertulisnya pada dokter menyebutkan jenis Visum et Repertum yang dikehendaki dengan menggunakan format sesuai dengan kasus yang sedang ditangani. Macam Visum et Repertum berdasarkan penggunaannya adalah :


(29)

c. Visum et Repertum untuk korban hidup; d. Visum et Repertum untuk mayat;

e. Visum et Repertum korban perkosaan atau Tindak Pidana di bidang kesusilaan;

f. Visum et Repertum penggalian mayat;

Pemeriksaan atas barang bukti yang berasal dari tubuh manusia, misalnya berupa muntahan korban, bercak darah, sperma, rambut, dan sebagainya, yang dilakukan di laboratorium forensik dituangkan dalam berita acara pemeriksaan atas barang bukti. Di samping itu, dikenal pemeriksaan di tempat kejadian perkara, yang hasil pemeriksaannya dituangkan pula dalam bentuk berita acara pemeriksaan.

Penggunaan istilah mayat atau jenazah belum ada kesatuan pendapat. Penyebab pasti kematian seseorang dapat berhubungan baik dengan hukum Pidana, maupun hukum Perdata. Berhubungan dengan hukum Perdata, misalnya dalam asuransi atau hak waris. Kecurigaan tentang penyebab kematian ditentukan oleh polisi, meskipun peristiwanya berhubungan dengan Hukum Perdata. Namun demikian, atas penyebab kematian seseorang juga merupakan Kejahatan terhadap Nyawa yang berhubungan dengan Hukum Pidana.

e. Kendala Internal dalam Pembuatan Visum Et Repertum

Kendala internal merupakan faktor atau keadaan dari dalam yang membatasi, menghalangi pencapaian sasaran. Dalam hal ini sasaran yang ingin dicapai adalah pembuatan Visum Et Repertum atas korban Tindak


(30)

terkadang menemui beberapa kendala yang menyebabkan terhambatnya dibuat Visum Et Repertum, meliputi :

1. Keterlambatan Permintaan Visum oleh Pihak Penyidik.

Hal ini bisa terjadi karena begitu mendapatkan laporan atau pengaduan, Penyidik lebih fokus untuk mengumpulkan bukti-bukti berupa benda sehingga terkadang terlambat untuk membuat surat pengantar kepada Dokter ahli untuk membuat Hasil pemeriksaan atas korban tindak pidana, yang dituangkan dalam surat keterangan atas hasil pemeriksaan atau biasa disebut Visum Et Repertum. Apabila tidak ada permintaan secara tertulis oleh pihak penyidik maka Dokter Ahli forensik atau Dokter ahli lain tidak akan melakukan pemeriksaan atas jenazah korban tindak pidana pembunuhan, penganiayaan ataupun perkosaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 133 KUHAP yang menyebutkan bahwa permintaan atas Visum Et Repertum harus dibuat secara tertulis. 2. Keadaan mayat sudah membusuk,

Keadaan seperti ini dapat mempengaruhi hasil Visum Et Repertum. Biasanya hasil organ tubuh yang memberikan hasil positif pada pemeriksaan toksiologi sudah mengalami pembusukan maka dapat mengakibatkan hasil menjadi negatif. Sehingga mempengaruhi pembuatan Visum Et Repertum menjadi tidak lengkap, dikarenakan Visum Et Repertum tidak dilakukan sesegera mungkin dan mayat menjadi busuk.


(31)

3. Kurangnya koordinasi antara Pihak Penyidik dengan Dokter, yang mengakibatkan prosedur permintaan Visum Et Repertum menjadi lebih lama. Hal ini berkaitan dengan kendala internal nomor 1.

f. Kendala Eksternal dalam Pembuatan Visum Et Repertum

Kendala Eksternal adalah faktor atau keadaan dari luar yang menghalangi pembuatan Visum Et Repertum. Kendala Eksternal dalam pembuatan Visum Et Repertum meliputi :

1. Lokasi Rumah Sakit Umum Daerah yang sangat jauh, bisa jauh dari tempat kejadian, ataupun dari kantor polisi tempat pengusutan perkara. Sehingga memakan waktu lama dalam proses pembuatan Visum Et Repertum.

2. Kurangnya tenaga Dokter Kehakiman atau Dokter ahli Forensik, ataupun Dokter ahli lainnya. Sehingga dalam hal ini mengakibatkan efisiensi waktu pembuatan Visum Et Repertum menjadi lama. Dan juga terkadang Dokter membutuhkan tempat untuk mengadakan pemeriksaan lanjutan. Dimana jika menempati Rumah Sakit Umum Daerah maka sulit untuk meminta tempat khusus dalam melakukan pemeriksaan outopsi (bedah mayat), karena kondisi Rumah Sakit yang padat akan pasien perawatan ataupun pasien yang meninggal dunia.

3. Dari pihak keluarga yang tidak mengijinkan untuk melakukan autopsi (bedah mayat). Hal ini sering terjadi. Dimana pada kondisi umumnya keluarga korban merasa tidak tega jika salah satu anggota keluarganya


(32)

yang menjadi korban tindak pidana khususnya tindak pidana pembunuhan, tubuhnya di periksa secara mendalam. Apabila hal ini terjadi seorang Penyidik yang mempunyai kewenangan untuk memaksa pihak keluarga korban harus menyerahkan jenazah korban untuk di autopsi (bedah mayat) sebagai pemenuhan Pemeriksaan penyidikan yang nantinya akan tertuang dalam BAP kepolisian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 134 ayat (3) KUHAP “Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan dari pihak keluarga yang telah diberitahu oleh penyidik, maka penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3) KUHAP

5.1.2 Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum kita membahas mengenai pengertian tindak pidana, maka perlu diketahui bahwa tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum belanda yaitu strafbaarfet. Ada pula yang mengistilahkan menjadi delict yang berasal dari bahasa latin selictum. Hukum pidana Negara anglo saxon memakai istilah offense atau criminal act. Oleh karena itu Kitab Undang Undang


(33)

Hukum Pidana (KUHP) Indonesia bersumber padaWvs belanda, maka memakai istilah aslinya pun sama yaitu Strafboarfeit1

Strafboarfeit telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai :

a. Perbuatan yang dapat atau oleh dihukum. b. Peristiwa pidana.

c. Perbuatan pidana. d. Tindak pidana dan e. Delik.

Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran, baik yang disebutkan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Abdoel Djamali mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari :

1. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.

2. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh Undang - undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).

Dilihat dari Unsur-unsur pidana ini, maka suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya


(34)

dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Menurut Abdoel Djamali, syarat- syarat yang harus dipenuhi ialah sebagai berikut: 1. Harus adanya suatu perbuatan.

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum, yakni :

a. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.

b. Harus berlawanan dengan hukum. c. Harus tersedia ancaman Hukumannya.

Hari Saherodji mengatakan, bahwa Tindak Pidana merupakan suatu kejahatan yang dapat diartikan sebagai berikut : 1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau

Undang-undang pada suatu waktu tertentu.

2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan, serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara.

Dalam KUHP tidak memberikan satupun definisi mengenai kejahatan, walaupun Bab II dalam KUHP bertitel tentang kejahatan akan tetapi dalam pasal pasalnya memakai kata tindak pidana dan pada bab ini KUHP hanya memberikan rumusan mengenai perbuatan perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan. Dalam sistem perundang-undangan kita telah dipakai istilah tindak pidana, seperti Undang-undang tindak pidana ekonomi, Undang-Undang-undang tindak pidana korupsi, dan seterusnya maka dipandang tepat menggunakan istilah


(35)

Kejahatan secara yuridis diartikan oleh R. Susilo sebagai perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-undang. Dengan melihat kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar Undang-undang, maka peraturan atau Undang undang harus dibuat lebih dahulu sebelu adanya peristiwa pidana, hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan agar tidak terjadi kesewenang wenangan dari penguasa.

Selanjutnya pemakaian istilah tindak pidana dan kejahatan seringkali mengalami kerancuan dan tumpang tindih dalam pemakaian istilah ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa istilah yang dipakai dalam rumusan pasal-pasal yang ada dalam rumusan KUHP adalah istilah tindak pidana, walaupun buku II bertitel kejahatan. Dalam hukum pidana sendiri istilah tindak pidana dikenal dengan strafbarfeit dan memiliki penjelasan yang berbeda-beda akan tetapi intinya sama yaitu peristiwa pidana atau sebagai tindak pidana. Menurut Van Hamel, strafbarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet atau undang-undang yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan2.

Berikut ini merupakan rumusan dari para ahli tentang tindak pidana yaitu :


(36)

Menurut P. Simons yang menggunakan istilah peristiwa pidana adalah perbuatan atau tindakan yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab3. Simon memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak pidana dan tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya (crime act) tindak pidana dengan unsur yang melekat pada aliran tindak pidana (criminal responsibility atau criminal liability pertanggung jawaban pidana). Kemudian dia menyebut Unsur-unsur tindak pidana yaitu : 1. Perbuatan manusia

2. Diancam dengan pidana 3. Melawan hukum

4. Dilakukan dengan kesalahan

5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

Unsur-unsur tersebut oleh Simon dibedakan antara unsur obyektif dan unsur subyektif. Yang termasuk unsur obyektif adalah : Perbuatan orang, Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, dan kemungkinan adanya keadaan tertentu yang menyertainya. Unsur subyektif adalah orang yang mampu bertanggung jawab dan adanya kesalahan4.

E.Mezger mengemukakan Unsur-unsur Tindak Pidana sebagai berikut:

3


(37)

1. perbuatan dalam arti yang luas dari manusia; 2. sifat melawan hukum;

3. dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; 4. diancam pidana.

Moeljatno memberikan pengertian tentang perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejadian itu5. Moeljatno memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility yang menjadi unsur tindak pidana.

Menurut Moeljatno hanyalah Unsur-unsur yang melekat pada criminal act (perbuatan yang dapat dipidana). Sedangkan yang termasuk Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :

a. Perbuatan (manusia)

b. Memenuhi rumusan Undang-undang c. Bersifat melawan hukum

Hazel Suringa, mempunyai pandangan lain mengenai Unsur-unsur tindak pidana. Ia tidak menganut aliran monistis maupun aliran dualisis. Ia mengemukakan Unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud adalah:

1. Unsur tingkah laku manusia. Unsur ini dalam Undang-undang dirumuskan dengan menggunakan kata kerja. Misalnya


(38)

“mengambil” merupakan unsur tingkag laku manusia yang dirumuskan dalam pasal 362 KUHP.

2. Unsur melawan hukum. Apabila sifat melawan hukum itu dirumuskan secara tegas dalam Undang-undang, maka ini akan menjadi unsur mutlak tindak pidana.

3. Unsur kesalahan. Unsur ini harus diartikan sebagai bentuk-bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).

4. Dalam tindak pidana materiil diperlukan adanya unsur akibat konstitutif. Misalnya “hilangnya nyawa” pada tindak pidana pembunuhan pasal 338 KUHP.

5. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana.

6. Unsur keadaan yang menyertai. Baik yang bersifat obyektif maupun subyektif.6

Mengenai rumusan Undang-undang yang bersifat formil. Keharusan demikian merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Bersifat melawan hukum merupakan syarat materiil. Keharusan demikian karena perbuatan yang dilakukan itu harus betul betul oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Bersifat melawan hukum itu merupakan syarat mutlak untuk tindak pidana. Masrucin Ruba’i berpendapat bahwa tindak pidana terdapat dua pandangan, yang pertama menurut pandangan kualitatif dibagi menjadi dua yaitu tindak pidana kejahatan yang bersifat rechts delict dan tindak pidana pelanggaran bersifat wet delict. Recht delict maksudnya tindak pidana kejahatan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas dari apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-undang atau tidak. Sedangkan wet delict adalah merupakan suatu perbuatan yang dipandang sebagai tindak pidana pelanggaran apabila perbuatan itu baru disadari sebagai tindak pidana setelah adanya


(39)

Undang-undang yang mengatur. Tindak pidana bisa juga berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana, sehingga disini pelaku dapat dikatakan merupakan subyek dari tindak pidana. b. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen bet leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia.7

Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas dua dasar, yaitu:

1. Atas dasar unsur kesalahannya, dan 2. Atas dasar obyeknya (nyawa)

Atas dasar kesalahannya ada dua kelompok kejahatan terhadap nyawa, yaitu:

1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal 338-350 KUHP.

2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakuakan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven), dimuat dalam Bab XXI (khusus pasal 359 KUHP).

7


(40)

Sedangkan atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam tiga macam, yakni:

1. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam pasal 338, 339, 340, 344, 345 KUHP.

2. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam pasal 341, 342 dan 343 KUHP.

3. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348 dan 349 KUHP. a.d. Kejahatan terhadap Nyawa yang Dilakukan dengan Sengaja

Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja disebut atau diberi kualifikasi sebagai pembunuhan, yang terdiri dari: 1. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok ( pasal 338 KUHP). 2. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahuluai dengan

tindak pidana lain (pasal 339 KUHP). 3. Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP).

4. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan (pasal 341, 342, dan 343 KUHP).

5. Pembunuhan atas permintaan korban (pasal 344 KUHP).

6. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri (pasal 345 KUHP).


(41)

7. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (pasal 346-349 KUHP)

a.d. Kejahatan terhadap Nyawa yang Dilakukan dengan Tidak Sengaja

Kejahatan yang dilakukan tidak dengan sengaja adalah kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 359 KUHP, yang berbunyi: “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”8 Unsur-unsur dari rumusan tersebut di atas adalah:

1. Adanya unsur kelalaian (kulpa); 2. Adanya wujud perbuatan tertentu; 3. Adanya akibat kematian orang lain;

4. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.

Kalimat “menyebabkan orang lain mati” mengandung tiga unsur, yakni unsur: 2, 3 dan 4. tiga unsur ini tidak berbeda dengan unsur perbuatan menghilangkan nyawa dari pembunuhan (pasal 338 KUHP). Perbedaanya dengan pembunuhan hanyalah terletak pada unsur kesalahannya, yakni pada pasal 359 KUHP ini adalah

8


(42)

kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (kulpa), sedangkan kesalahan dalam pembunuhan adalah kesengajaan.

Adapun unsur kulpa atau kurang hati-hati dalam kejahatan pasal 359 KUHP adalah bukan ditujukan pada kurang hati-hatinya perbuatan, tetapi ditujukan pada akibat. Karena, seseorang tidak membayangkan akibat selanjutnya dari sebuah perbuatan yang ia lakukan, yang seharusnya ia membayangkan, atau ia membayangkan tetapi pertimbangannya akibat itu tidak akan terjadi yang ternyata terjadi. Karena itu dalam melakukan perbuatan yang dikehendaki itu tidak boleh tanpa membayangkan akibat yang lain yang tidak dikehendaki tapi yang mungkin dapat terjadi, atau yang dibayangkan dapat terjadi, dan dengan demikian lalu mengabaikan akan kemungkinan itu.

Mengenai menyebutkan unsur kelalaian (kulpa atau kurang hati-hati) dalam pasal 359 KUHP dengan perkataan “karena kesalahannya” dirasa kurang pas, karena sudah menjadi istilah dalam hukum bahwa kesalahan adalah lebih luas pengertiannya daripada kelalaian (kulpa), karena kulpa itu adalah bagian dari kesalahan.

c. Pelaku Tindak Pidana.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Pelaku


(43)

perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana, dalam hal ini perbuatan pidana yang dilakukan adalah tindakan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.

Menurut KUHP, macam pelaku yang dapat dipidana terdapat pada pasal 55 dan 56 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :

A. Pasal 55 KUHP.

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

a) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.

b) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja yang dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

B. Pasal 56 KUHP.

Dipidana sebagai pelaku kejahatan :

a) Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.

b) Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.


(44)

6. Metode Penelitian

6.1 Jenis dan Tipe Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan ”metode penelitian hukum Normatif”, yaitu mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai Norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Jadi dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hokum normatif dan tipe penelitian menggunakan penelitian hukum deskriptif.

6.2 Sumber Bahan Hukum.

Data yang digunakan dalam penelitian adalah Data Sekunder yakni Data yang diperoleh dari sumber-sumber bahan hukum maupun perundang-undangan. Hal ini dikarenakan dalam penelitian Hukum Normatif, sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum Normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.9 Data sekunder terdiri atas :


(45)

1. Sumber Bahan Hukum Primer

Sumber Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan secara hierarki dan putusan-putusan pengadilan. Bahan Hukum primer diperoleh melalui bahan yang mendasari dan berkaitan dengan penulisan ini, yaitu : a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); d) Putusan-putusan Hakim

2. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Adalah bahan hukum yang menjelaskan secara umum mengenai bahan hukum sekunder, hal ini bisa berupa:

a) Buku-buku ilmu hukum; b) Jurnal ilmu hukum;

c) Laporan penelitian ilmu hukum;

d) Internet dan bahan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.

6.3 Metode Pengumpulan Data.

Data sekunder akan diperoleh dengan cara melalui : a. Studi kepustakaan.

Yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah dengan mengumpulkan literatur-literatur, baik berupa buku-buku,


(46)

peraturan perundang-undangan, surat kabar, internet dan beberapa literatur lain yang berkaitan dengan penelitian penulis. b Dokumentasi.

Yang dimaksud dengan dokumentasi adalah dengan cara menyalin dokumen-dokumen, catatan-catatan advokasi berupa data-data yang berhubungan langsung dengan topik penelitian.

6.4 Analisis Data.

Proses analisis dalam penelitian ini akan dimulai dengan cara mengumpulkan semua data yang ada, baik data primer maupun data sekunder. Selanjutnya terhadap data-data tersebut dilakukan proses editing dan interpretasi. Analisis data ini dilakukan secara bertahap sehingga data yang kurang dapat diketahui dan dilengkapi dengan pengambilan data tambahan.

Analisis data dilakukan secara deskriptif analisis. Maksud dari analisis ini adalah bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini, kadang-kadang berawal dari fakta hukum atau dapat juga tidak bertolak dari hipotesis, dapat membentuk teori-teori baru atau memperkuat teori yang sudah ada, dan dapat menggunakan data kualitatif atau kuantitatif.10 Analisa ini dilakukan dengan cara memaparkan data yang diperoleh dari


(47)

wawancara dan studi pustaka atas beberapa literatur kemudian dianalisa dan diinterpretasikan dengan memberikan beberapa kesimpulan.

6.5 Penulisan Sistematika

Untuk memudahkan pemahaman dalam menjawab rumusan masalah yang terdapat pada proposal skripsi ini maka penulisan sistematika terdiri atas empat Bab sebagai berikut :

Bab I merupakan bab Pendahuluan. Dalam Bab ini memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang akan di bahas dalam penulisan skripsi, dimana meliputi : latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, serta penulisan sistematika.

Bab II berisi mengenai jawaban atas rumusan masalah yang pertama, yaitu mengenai Peran Visum et Repertum dalam Upaya mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan. Dalam Bab dua ini terdiri atas tiga sub bab yaitu pertama berisi posisi Kasus Putusan Nomor : 3054/Pid.B/2010/PN.SBY, kedua berisi Visum et Repertum Kasus Pembunuhan Putusan nomor : 3054/Pid.B/2010/PN.SBY, ketiga mengenai Analisa Peran Visum et Repertum dalam mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan dalam Putusan nomor : 3054/Pid.B/2010/PN.SBY.

Bab III berisi mengenai jawaban atas permasalahan yang kedua yakni mengenai kendala dalam penggunaan Visum et Repertum dalam upaya


(48)

mengungkap Tindak Pidana pembunuhan (studi kasus Putusan Nomor :3054/Pid.B/2010/PN.SBY). Dalam bab ini terdiri atas tiga sub bab yakni pertama mengenai kendala internal dalam pemberian Visum et repertum atas suatu tindak pidana pembunuhan, dan kedua kendala eksternal dalam pemberian keterangan Visum et Repertum, ketiga tentang analisa kendala yang terjadi pada pemberian Visum et Repertum pada kasus pumbunuhan putusan nomor : 3054/Pid.B/2010/PN.SBY.

Bab IV merupakan bab Penutup yang berisikan kesimpulan atas pembahasan pada bab dua dan bab tiga serta berisi saran-saran atas permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.


(49)

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan Nomor :

3054/Pid.B/2010/PN.SBY)

2.1 Posisi Kasus

Pada kasus yang penyusun angkat dalam skripsi ini adalah kasus

pembunuhan yang terjadi di Surabaya, dimana yang menjadi korban adalah Rizal dan Fahmi Abdul Syukur. Keduanya adalah saudara yang bertempat tinggal di sebuah kamar kost tepatnya di jalan Medokan Ayu MA blok I-G/19 atau di jalan Rungkut Asri Tengah XIX/5 Surabaya. Dimana sesuai dengan Berkas Perkara Kepolisian dengan Nomor Polisi :BP/458/IX/2010/Satreskrim, pada hari Sabtu tanggal 7 Agustus 2010 kira-kira jam 04.00 WIB pelaku yang bernama Dimas Nusantoro bin Mochammad Yakin yang merupakan tersangka dalam kasus pembunuhan ini tiba-tiba masuk kedalam kamar kost korban yang tidak terkunci sambil menggenggam pisau sangkur, yang ketika itu kedua korban sedang tidur. Kemudian tersangka langsung menusukkan pisau sangkur kearah kepala bagian belakang korban Fahmi dan seketika itu korban Fahmi tidak berdaya. Kemudian korban Rizal terbangun, lalu tersangka langsung menusukkan pisau sangkurnya ke arah dada korban Rizal, yang selanjutnya korban Rizal lari keluar kamar sambil teriak-teriak, dan kemudian tersangka mengejar yang akhirnya korban Rizal terjatuh terlentang didekat


(50)

pintu keluar-masuk (dekat ruangan nonton TV),yang selanjutnya tersangka menyerang korban dengan menusukkan pisau sangkur kearah tubuh korban Rizal berulang kali. Kemudian saksi Mochammad Faik melerai dengan cara mendorong-dorongkan jemuran pakaian ke arah tersangka dan selanjutnya tersangka langsung keluar rumah kost. Selanjutnya kedua korban diberi pertolongan dengan dibawa ke Rumah Sakit, namun akhirnya kedua korban terebut meninggal dunia.

Berdasarkan disposisi kasus tersebut diatas dengan meninggalnya kedua korban maka telah terjadi tindak pidana pembunuhan, sehingga polisi segera memproses dalam suatu Berita Acara Penyidikan sehingga berkas ini nantinya akan dilimpahkan ke Kejaksaan sebagai dasar untuk membuat Surat Dakwaan.

2.2 Visum et Repertum Kasus Pembunuhan Putusan nomor : 3054/Pid.B/2010/PN.SBY

Berdasar kasus diatas maka setelah pihak Kepolisian mendapatkan

laporan dan membuat Berita Acara Penyidikan maka Pihak Kepolisian khususnya dalam hal ini Polsek Rungkut membuat surat pengantar untuk permintaan Visum Et Repertum mayat, yang ditujukan kepada Kepala Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo di Surabaya. Dimana dalam surat tersebut akan disebutkan identitas korban pembunuhan tersebut diatas yakni Rizal dan Fahmi Abdul sukur Latief. Pada surat pengantar permintaan


(51)

penyebab kematian, tempos dan dolus delicti yakni waktu kejadian hari sabtu tanggal 7 Agutus 2010 bertempat di Medokan Asri Barat MA 1 G no. 19 Kecamatan Rungkut Surabaya, dengan akbiat kematian diduga karena penganiayaan/pembunuhan.

Setelah mendapat surat pengantar dari pihak kepolisian maka dilakukan otopsi oleh pihak Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, yang dalam kasus ini dilakukan oleh Dokter Theresia Lindawati. Terdapat 2 (dua) hasil Pemeriksaan Visum Et Repertum yakni yang pertama Visum Et

Repertum atas Jenazah Korban Rizal Abdul Sukur Latief, dengan hasil

pemeriksaan Luar yakni :

1. Jenazah laki-laki berumur sekitar dua puluh tahun, panjang seratus tujuh puluh lima sentimeter, berat tujuh puluh dua koma lima kilogram, kulit kuning langsat, keadaan gizi cukup.

2. Pakaian : Jenazah mengenakan celana pendek berwarna ungu gelap 3. Jenazah berlabel dan tidak bersegel

4. Lebam pada leher, punggung, paha dan betis. Ditemukan kaku mayat lengkap dan tidak ditemukan tanda-tanda pembusukan

5. Kepala :

a. Bentuk kepala: Bulat lonjong simetris. Tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan

b. Rambut : warna hitam, berombak, panjang rata-rata enam sentimeter


(52)

c. Mata : ditemukan selaput lendir kelopak dan bola mata pucat, selaput bening mata keruh dan manik-manik mata berdiameter rata-rata tiga milimeter

d. Hidung : simetris. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan e. Mulut : Bibir pucat. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan 6. Leher : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan

7. Dada : Ditemukan luka tusuk berbentuk oval yang menyerong dengan ukuran panjang tiga sentimeter pada dada kiri dengan jarak lima sentimeter dibawah garis puting susu dan sepuluh sentimeter sebelah kiri garis tengah tubuh

8. Perut : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan

9. Punggung : ditemukan dua luka tusuk pada punggung kiri. Luka pertama berbentuk oval yang mendatar dengan ukuran panjang satu koma lima sentimeter dengan jarak sebelas sentimeter diatas garis tulang belikat dan enam belas sentimeter disebelah kiri garis tengah tubuh. Luka kedua berbentuk oval mendatar dengan ukuran panjang tiga sentimeter dengan jarak dua sentimeter dibawah luka yang pertama. 10.Anggota gerak atas :

• Kanan : ujung-ujung jari pucat. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan

• Kiri : ujung-ujung jari pucat. Ditemukan luka iris dengan ukuran panjang dua koma lima sentimeter pada lengan kiri bawah dengan jarak delapan sentimeter diatas pergelangan tangan


(53)

11.Anggota gerak bawah : ujung-ujung jari pucat. Tidak ditemukan kelaianan dan tanda-tanda kekerasan.

12.Alat kelamin dan dubur : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.

Dengan berdasar dari hasil pemeriksaan luar maka dr. Theresia Lindawati memberikan kesimpulan bahwa :

1. Jenazah laki-laki, berumur sekitar dua puluh tahun, panjang badan seratus tujuh puluh lima sentimeter, berat badan tujuh puluh dua koma lima kilogram, warna kuning langsat, keadaan gizi cukup. 2. Pada pemeriksaan luar ditemukan :

a. Luka tusuk pada dada dan punggung b. Luka iris pada lengan bawah

c. Kelainan diatas akibat persentuhan dengan benda tajam

3. Sebab kematian tidak dapat ditentukan dengan pasti oleh karena tidak dilakukan pemeriksaan dalam (otopsi), namun adanya perdarahan yang banyak yang bisa menyebabkan kematian.

Hasil pemeriksaan Luar Visum Et Repertum Jenazah kedua yakni korban Fahmi Abdul Sukur Latief, yakni :

1. Jenazah laki-laki berumur sekitar dua puluh tahun, panjang seratus enam puluh lima sentimeter, berat enam puluh lima kilogram, kulit kuning langsat, keadaan gizi cukup.

2. Pakaian : Jenazah tidak mengenakan pakaian 3. Jenazah berlabel dan tidak bersegel


(54)

4. Lebam mayat pada leher, punggung, paha dan betis. Ditemukan kaku mayat lengkap dan tidak ditemukan tanda-tanda pembusukan 5. Kepala :

a. Bentuk kepala: Bulat lonjong simetris. Ditemukan luka terbuka (iris) dengan ukuran panjang tujuh belas sentimeter yang dijahit dengan benang sebanyak empat puluh tujuh jahutan pada pelipis kanan hingga kepala bagian belakang.

b. Rambut : digundul

c. Mata : ditemukan selaput lendir kelopak dan bola mata pucat, selaput bening mata keruh dan manik-manik mata berdiameter rata-rata tiga milimeter

d. Hidung : simetris. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan e. Mulut : Bibir pucat. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan 6. Leher : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan 7. Dada : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan 8. Perut : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan 9. Punggung : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan 10. Anggota gerak atas :

• Kanan : ditemukan luka terbuka dengan ukuran panjang dua setimeter pada jari pertama yang dijahit dengan benang sebanyak empat jahitan.


(55)

11. Anggota gerak bawah : Tidak ditemukan kelaianan dan tanda-tanda kekerasan.

12. Alat kelamin dan dubur : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.

Berdasar hasil pemeriksaan diatas maka kesimpulan dari Visum Et Repertum jenazah diatas adalah :

1. Jenazah laki-laki, berumur sekitar dua puluh tahun, panjang badan seratus enam puluh lima sentimeter, berat badan enam puluh lima kilogram, warna kuning langsat, keadaan gizi cukup.

2. Pada pemeriksaan luar ditemukan :

a. Luka iris pada kepala akibat tindakan operasi (trepanasi) kepala

b. Luka robek pada jari akibat persentuhan dengan benda tajam 3. Sebab kematian tidak dapat ditentukan dengan pasti oleh karena

tidak dilakukan pemeriksaan dalam (otopsi), namun adanya cedera otak berat bisa menyebabkan kematian

Berdasar Visum Et Repertum jenazah atas kedua korban baik Rizal dan Fahmi Abdul Sukur Latif yang dilakukan oleh dr. Theresia Linawati, hanya melakukan pemeriksaan Luar dan tidak melakukan pemeriksaan dalam. Dimana dalam pemeriksaan luar sudah bisa disimpulkan bahwa penyebab kematian atas kedua korban adalah untuk Rizal penyebab kematian dikarenakan perdarahan yang banyak,


(56)

sedangkan untuk korban Fahmi penyebab kematian karena cedera otak berat.

2.3. Analisa Peran Visum Et Repertum

Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 133 KUHAP

yang menyebutkan:

1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya

2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat

3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada Rumah Sakit harus dilakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat

Berdasar ketentuan di atas jelas bahwa kewenangan untuk melakukan Visum Et Repertum ada di tangan pihak Penyidik untuk melengkapi berkas acara penyidikan. Dimana hal ini bisa dilakukan oleh seorang Penyidik untuk kasus Tindak Pidana yang mana timbul korban baik luka, keracunan ataupun mati, seperti yang disebutkan pada ketentuan Pasal 133 ayat (1) KUHAP. Permintaan Visum Et Repertum dilakukan secara tertulis oleh pihak Penyidik. Dalam surat pengantar permintaan

Visum akan terdapat jenis Visum yang diinginkan oleh Pihak Penyidik.


(57)

Visum mayat. Selain itu terdapat sedikit informasi mengenai korban yang telah meninggal. Ketentuan permintaan Visum Et Repertum memang diwajibkan secara tertulis sesuai yang tercantum pada ketentuan Pasal 133 ayat (2) KUHAP. Dari permintaan tertulis inilah akan dimulai otopsi atas jenazah korban pembunuhan. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya dilakukan bedah mayat. Pihak Penyidik atau Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat, apabila diperlukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu melakukan pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat.

Melihat juga pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengenai alat bukti yang sah meliputi :

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa

Maka Surat hasil pemeriksaan yang dibuat oleh Dokter Ahli yang ditunjuk atas pemeriksaan outopsi (bedah mayat) jenazah merupakan alat bukti yang kuat. Hal ini diperkuat juga dalam ketentuan Pasal 186 huruf c KUHAP yang menyebutkan ”surat keterangan dari seorang ahli, yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya, mengenai sesuatu hal atau sesuatu


(58)

keadaan yang diminta secara resmi daripadanya” . Sehingga berdasarkan pada aturan-aturan tersebut maka Visum Et Repertum merupakan salah satu alat bukti, yang merupakan surat keterangan dari dokter ahli berdasarkan keahliannya memeriksa segala sesuatu pada korban tindak pidana yang mengalami luka, keracunan ataupun mati.

Berdasar kasus putusan nomor : 3054/Pid.B/PN.SBY maka peranan Visum Et Repertum jenazah atas korban Rizal dan Fahmi dibutuhkan untuk memenuhi analisis yuridis ketentuan pasal yang akan didakwakan pada pelaku pembunuhan. Pada kasus putusan nomor 3054/Pid.B/PN. SBY Dimas Nusantoro bin Moch. Yakin disangkakan atas ketentuan Pasal 338 dan 340 KUHP. Berarti dalam hal ini unsur-unsur dalam ketentuan pasal-pasal tersebut . Sesuai dengan bunyi Asas Legalitas

Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Legi Poenali ” artinya ”

Tidak delik ,tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Dari rumusan tersebut dapat ditarik 2 garis besar yakni :

1. Bahwa jika suatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum dalam undang-undang pidana. 2. Dan ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut dengan satu

kekecualian yang tercantum di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP.

Dalam Hukum Pidana untuk bisa disebut sebagai Tindak Pidana maka kesemua unsur dalam ketentuan Pasal KUHP yang disangkakan harus terpenuhi. Pada kasus yang penyusun angkat adalah kasus pembunuhan


(59)

yang dilakukan oleh Dimas Nusantoro bin Mochamad Yakin terhadap korban Rizal dan Fahmi Abdul Sukur. Sehingga Polisi dalam BAP mensangkakan tindak pidana yang dilakukan oleh Dimas Nusantoro bin Mochammad Yakin dengan Pasal Pasal 338 KUHP berbunyi ” Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun) ”

Disangkakan ketentuan Pasal 340 KUHP berbunyi : ”Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Dalam pemenuhan alat bukti terhadap unsur-unsur ”Barang siapa”

yakni ada empat alat bukti meliputi :

1. Keterangan para saksi-saksi ditempat kejadian yang menyebutkan bahwa tersangka yakni Dimas Nusantoro bin Moch. Yakin yang telah melakukan perbuatan pembunuhan terhadap Rizal dan Fahmi penghuni kamar kost Nomor 9 jalan Medokan Ayu MA Blok l-G/19.

2. Surat : hasil Visum Et Repertum dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo no. KF 10.655 atas nama korban / jenazah Rizal Abdul Sukur Latief dan No. KF. 10.658 atas nama korban / jenazah Fahmi Abdul Sukur Latif

3. Penarapan barang bukti yakni sebuah bantal yang ada bercak darahnya, satu buah guling ada bercak darahnya, satu buah karpet ada bercak darahnya, satu buah keset ada bercak darahnya dan satu buah jemuran


(60)

pakaian yang ada bercak darahnya serta sebilah pisau sangkur ada bercak darahnya serta satu buah sarung pisau sangkur

4. Keterangan dari tersangka (pelaku pembunuhan) bahwa telah melakukan penganiayaan pada hari sabtu tanggal 7 Agustus 2010 sekitar pukul 04.00 WIB dirumah kost Jl. Medokan Ayu MA blok I G/ 19 Surabaya terhadap korban Rizal dan Fahmi Abdul Sukur Latif.

Begitu juga dalam pemenuhan unsur ”dengan sengaja”, atau

”dengan rencana terlebih dahulu” selalu terdapat unsur pembuktian

Hasil Visum Et Repertum dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya atas kedua korban pembunuhan diatas. Sehingga dalam hal ini jelas bahwa Visum Et Repertum mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses mengungkap suatu tindak pidana pada awal penyidikan. Pada kasus diatas Visum Et Repertum atas jenazah Korban Pembunuhan Rizal dan Fahmi Abdul Sukur Latif diperlukan untuk membuktikan bahwa kedua korban merupakan korban tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh Dimas Nusantoro Bin Moch. Yakin. Yang mana dalam Kesimpulan dari Hasil Visum Et Repertum dijelaskan bahwa kedua korban meninggal akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan yang dalam hal ini adalah dimas sehingga mengakibatkan Korban Rizal mengalami perdarahan yang hebat sehingga menyebabkan kematian, begitu juga untuk korban Fahmi mengalami cedera otak berat sehingga akhirnya meninggal.


(61)

Berdasar uraian diatas maka peranan Visum Et Repertum meliputi :

1. Berperan sebagai alat bukti yang sah , hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP jo Pasal 186 huruf c KUHAP. Bahwa Visum Et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana, dimana dalam Visum Et Repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam pemberitaan dan juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan tersebut yang tertuang dibagian kesimpulan, yang karenanya dianggap sebagai salah satu barang bukti. Disamping itu peranan Visum et Repertum merupakan langkah awal untuk melakukan outopsi(bedah mayat) atas jenazah atau mayat yang menjadi korban tindak pidana pembunuhan, yang nantinya hasil Visum Et Repertum akan dijadikan dasar pembuktian untuk pemenuhan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal KUHP yang disangkakan. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 133 KUHAP.

2. Visum Et Repertum menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda

bukti) seperti diketahui dalam perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta menghilangkan nyawa manusia, maka si tubuh korban merupakan Corpus Delicti sehingga pada proses persidangan hal ini tidak dapat diajukan di persidangan, oleh karena itu secara mutlak diganti dengan Visum Et Repertum.

3. Bukti penahanan tersangka. Dalam perkara pidana, seorang penyidik diwajibkan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka, maka dari


(62)

itu penyidik dituntut untuk segera menemukan bukti-bukti yang cukup agar dapat menahan tersangka. Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan tersangka terhadap korban. Visum Et Repertum yang dibuat oleh Dokter dapat dipakai oleh penyidik sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah penahanan tersangka.

Mengenai semua biaya yang timbul untuk pembuatan Visum Et

Repertum menjadi tanggung jawab Negara. Hal ini telah diatur dalam

ketentuan Pasal 136 KUHAP berbunyi ”semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua bab XIV ditanggung oleh Negara”. Dengan demikian ketentuan yang mengatur tentang visum et repertum dalam KUHAP, yakni Pasal 133 KUHAP dan Pasal 136 KUHAP wajib dilakukan dan dipenuhi untuk proses awal penanganan perkara tindak pidana khususnya dalam sanksi ini adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Dimas.


(63)

MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

3.1 Kendala Kasus

Terdapat kendala eksternal dalam kasus ini surat permintaan Visum Et Repertum jenazah korban Fahmi Abdul Sukur Latief baru dibuat tanggal 10 Agustus 2010. Hal ini dikarenakan Korban Fahmi sempat mengalami perawatan di Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya dan kemudian meninggal pada tanggal 10 Agustus 2010 pukul 16.20 WIB. Jenazah Fahmi dari Rumah Sakit Islam Surabaya dikirim ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hal ini dikarenakan Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik ada di RSUD Dr.Soetomo. Jadi untuk kendala secara internal dalam pembuatan Visum Et Repertum atas jenazah korban Fahmi tidak ada tetapi yang ada adalah kendala secara eksternal. Dimana untuk persebaran Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik tidak merata karena tidak semua Rumah Sakit memilikinya.

3.3 Analisa Kendala pembuatan Visum Et Repertum

Mengenai kendala yang timbul pada kasus yang penyusun angkat dalam skripsi ini, dapat dilihat mulai sejak kejadian tindak pidananya sampai dibuatnya Visum Et Repertum oleh Dokter Ahli forensik ataupun Dokter Kehakiman. Pada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Dimas


(64)

Nusantoro bin Moch. Yakin terhadap korban Rizal dan Fahmi Abdul Sukur pada tanggal 7 Agustus 2010, Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan dikeluarkan tanggal 11 Agustus 2010. Hal ini dikarenakan pihak kepolisian harus mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh Dimas Nusantoro bin Moch.Yakin. Untuk permintaan Visum Et Repertum atas jenazah korban Rizal Abdul Sukur Latief, telah dibuat surat permintaan Visum Et Repertum pada tanggal 7 Agustus 2010 kepada Kepala Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo. Hal ini dikarenakan Rizal ditemukan meninggal ditempat pada kejadian Tindak Pidana tersebut, sehingga pihak Kepolisian Rungkut segera membuat Surat Permintaan Visum Et Repertum,bersama dengan pengiriman jenazah ke kamar jenazah di RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Dan mayat korban juga tidak mengalami pembusukan karena begitu meninggal ditempat karena dibunuh oleh Dimas, langsung dibawa ke kamar jenazah untuk dilakukan autopsi (bedah mayat),sesuai dengan permintaan Visum Et Repertum dari pihak Penyidik Kepolisian Rungkut. Jadi dalam hal ini tidak ada kendala internal yang menghalangi pembuatan Visum Et Repertum atas jenazah korban Rizal.

Sedang pada jenazah korban Fahmi Abdul Sukur Latief surat permintaan Visum Et Repertum baru dibuat tanggal 10 Agustus 2010. Hal ini dikarenakan Korban Fahmi sempat mengalami perawatan di Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya dan kemudian meninggal pada tanggal 10 Agustus 2010 pukul 16.20 WIB. Jenazah Fahmi dari Rumah Sakit Islam


(65)

Surabaya dikirim ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hal ini dikarenakan Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik ada di RSUD Dr.Soetomo. Jadi untuk kendala secara internal dalam pembuatan Visum Et Repertum atas jenazah korban Fahmi tidak ada tetapi yang ada adalah kendala secara eksternal. Dimana untuk persebaran Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik tidak merata karena tidak semua Rumah Sakit memilikinya. Sedang dari pihak keluarga korban yakni kedua orang tua korban Rizal dan Fahmi Abdul Sukur Latief tidak keberatan apabila dilakukan autopsi (bedah mayat) atas ke dua anak mereka yang telah menjadi korban atas tindak pidana yang dilakukan oleh Dimas Nusantoro bin Moch. Yakin. Begitu autopsi (bedah mayat) telah selesai dilakukan barulah kedua orangtua korban membawa jenazah anaknya pulang kampung untuk dikuburkan ditempat kelahiran mereka.

Untuk kendala eksternal lainnya yaitu Lokasi Rumah Sakit yang jauh dari lokasi kejadian dan Kepolisian Rungkut. RSUD Dr.Soetomo. Pada kasus pembunuhan ini masih bisa dijangkau dengan baik karena dalam waktu kurang dari sehari surat permintaan Visum Et Repertum dan pengiriman jenazah korban langsung bisa diterima oleh pihak Rumah Sakit. Sehingga Visum Et Repertum bisa segera dilakukan. Dan dalam hal ini tidak terdapat kendala dalam pembuatan Visum Et Repertum atas jenazah korban pembunuhan Rizal dan Fahmi Abdul Sukur Latief.

Berdasarkan uraian diatas maka bisa diambil kesimpulan bahwa kendala yang muncul atas pembuatan Visum Et Repertum pada jenazah


(66)

korban pembunuhan Rizal dan Fahmi Abdul Sukur Latief, adalah kendala secara eksternal yakni tidak terdapatnya Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik disetiap Rumah Sakit yang ada di Surabaya. Dimana biasanya Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik hanya terdapat pada Rumah Sakit pemerintah. Untuk Rumah Sakit Swasta jarang sekali terdapat Dokter Kehakiman atau Dokter Ahli Forensik. Sehingga pada kasus diatas jenazah korban Fahmi yang dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya yang kemudian meninggal lalu dirujuk pengirimannya jenazahnya ke RSUD Dr. Soetomo.


(1)

Surabaya dikirim ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hal ini dikarenakan Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik ada di RSUD Dr.Soetomo. Jadi untuk kendala secara internal dalam pembuatan Visum Et Repertum

atas jenazah korban Fahmi tidak ada tetapi yang ada adalah kendala secara eksternal. Dimana untuk persebaran Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik tidak merata karena tidak semua Rumah Sakit memilikinya. Sedang dari pihak keluarga korban yakni kedua orang tua korban Rizal dan Fahmi Abdul Sukur Latief tidak keberatan apabila dilakukan autopsi (bedah mayat) atas ke dua anak mereka yang telah menjadi korban atas tindak pidana yang dilakukan oleh Dimas Nusantoro bin Moch. Yakin. Begitu autopsi (bedah mayat) telah selesai dilakukan barulah kedua orangtua korban membawa jenazah anaknya pulang kampung untuk dikuburkan ditempat kelahiran mereka.

Untuk kendala eksternal lainnya yaitu Lokasi Rumah Sakit yang

jauh dari lokasi kejadian dan Kepolisian Rungkut. RSUD Dr.Soetomo. Pada kasus pembunuhan ini masih bisa dijangkau dengan baik karena dalam waktu kurang dari sehari surat permintaan Visum Et Repertum dan pengiriman jenazah korban langsung bisa diterima oleh pihak Rumah Sakit. Sehingga Visum Et Repertum bisa segera dilakukan. Dan dalam hal ini tidak terdapat kendala dalam pembuatan Visum Et Repertum atas jenazah korban pembunuhan Rizal dan Fahmi Abdul Sukur Latief.

Berdasarkan uraian diatas maka bisa diambil kesimpulan bahwa


(2)

57

korban pembunuhan Rizal dan Fahmi Abdul Sukur Latief, adalah kendala secara eksternal yakni tidak terdapatnya Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik disetiap Rumah Sakit yang ada di Surabaya. Dimana biasanya Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik hanya terdapat pada Rumah Sakit pemerintah. Untuk Rumah Sakit Swasta jarang sekali terdapat Dokter Kehakiman atau Dokter Ahli Forensik. Sehingga pada kasus diatas jenazah korban Fahmi yang dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya yang kemudian meninggal lalu dirujuk pengirimannya jenazahnya ke RSUD Dr. Soetomo.


(3)

4.1 KESIMPULAN

1. Peranan Visum Et Repertum dalam Hukum Pidana diperlukan sebagai Alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHP. Dimana Visum Et Repertum sangat dibutuhkan untuk pemenuhan unsur-unsur yang disangkakan dalam Berita Acara Penyidikan atau biasa disebut BAP yang dibuat oleh pihak Kepolisian. Visum Et Repertum ini digunakan untuk tindak pidana yang menimbulkan korban baik luka, keracunan ataupun mati seperti yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 133 ayat (1) KUHAP. Pada contoh kasus yang penyusun angkat dalam skripsi ini Visum Et Repertum digunakan untuk memenuhi unsur-unsur pembuktian dalam tindak pidana pembunuhan seperti yang disangkakan dalam BAP Kepolisan Rungkut yakni ketentuan Pasal 338 dan 340 KUHP. Dimana pada Hasil Visum Et Repertum atas jenazah Korban Rizal dan Fahmi Abdul Sukur menunjukkan bahwa kedua korban meninggal akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku yakni Dimas Nusantoro bin Moch. Yakin, sehingga kedua korban mengalami luka pendarahan yang menyebabkan kematian.

2. Visum Et Repertum atas jenazah korban pembunuhan berisi tentang identitas mayat, serta kesimpulan tentang sebab-sebab kematian dari korban pembunuhan dari Dokter Kehakiman atau dokter ahli forensik


(4)

59

setelah melakukan pemeriksaan atas jenazah korban melalui autopsi (bedah mayat).

3. Kendala dalam penggunaan Visum Et Repertum secara garis besar ada dua kendala yakni kendala secara internal dan kendala eksternal. Kendala Internal meliputi keterlambatan permintaan Visum Et Repertum dari pihak penyidik kepada Dokter Kehakiman atau Dokter Ahlu Forensik, mayat yang sudah membusuk sehingga mengakibatkan susahnya dilakukan pemeriksaan toksiologi atas mayat, serta kurangnya koordinasi antara Dokter Kehakiman dan dokter ahli forensik dengan pihak penyidik. Kendala eksternal meliputi lokasi Rumah Sakit yang jauh dari tempat kejadian, kurangnya Dokter Kehakiman atau Dokter ahli forensik

serta pihak keluarga yang menghalang-halangi pembuatan Visum Et

Repertum.

4.2 SARAN

1. Bagi Pihak Kepolisian hendaknya secara khusus mempunyai lingkup

tersendiri dalam pembuatan Visum Et Repertum, sehingga apabila terjadi tindak pidana yang membutuhkan Visum segera ditangani secara khusus tanpa menunggu jawaban dari dokter forensik di Rumah Sakit Umum daerah.

2. Bagi Pihak Keluarga yang salah satu anggota keluarganya yang menjadi korban baik Tindak Pidana Pembunuhan, penganiayaan, perkosaan hendaknya lebih bisa kooperatif sehingga tindak pidana bisa segera


(5)

diproses untuk unsur-unsur pembuktiannya dengan dibuat Visum Et repertum.

3. Antara Pihak Penyidik dengan Dokter Kehakiman atau Dokter Ahli

Forensik lebih bisa koordinatif sehingga pembuatan Visum Et Repertum


(6)

1

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal 55.

Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal 84.

Badudu-Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, hal 1642.

Hari Saherodji Dalam Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan

terhadap korban kekerasan seksual, Bandung, Rafika Aditama, 2001, hal 28.

Masruchin Ruba’I, 2001, Asas-Asas Hukum Pidana, Malang, hal 23-24.

Masruchin Ruba’I – Made S. Astuti Djanuli, 1989, Hukum Pidana I, Malang, hal 35.

Moeljatno,1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal 56.

Moeljatno, 1999, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara.

S.R. Sianturi, Asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, Alumni

Ahaem Pelete.

Wiryono Prodjodikoro, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco,

Bandung, hal 55.

Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Surabaya : Karya anda. Staatsblad Tahun 1937 No. 350

Lain-lain