Pengaruh Kitosan Terhadap Struktur dan Kadar Residu Pb pada Ginjal Tikus Putih (Rattus sp.) Jantan yang Dipapari Plumbum Asetat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ginjal
2.1.1. Anatomi Ginjal
Ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga abdominal pada tiap sisi dari aorta
dan vena kava, tepat pada posisi ventral terhadap beberapa vertebra lumbal yang
pertama. Ginjal dikatakan retroperitoneal, artinya terletak di luar rongga
peritoneal (Frandson, 1992). Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada
ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis kanan. Secara mikroskopis, sebuah ginjal
dengan potongan memanjang memberi dua gambaran dua daerah yang cukup
jelas. Daerah perifer/tepi yang beraspek gelap diebut korteks, dan selebihnya yang
agak cerah disebut medulla, berbentuk piramid terbalik. Secara mikroskopis,
korteks yang gelap tampak diselang dengan interval tertentu oleh jaringan medulla
yang berwarna agak cerah, disebut garis medulla (medullary rays). Substansi
korteks di sekitar garis medulla disebut labirin korteks. Medulla tampak lebih
cerah dan tampak adanya jalur-jalur yang disebabkan oleh buluh-buluh kemih
yang lurus dan pembuluh darahnya (Hartono, 1992).

Nabib (1987) menjelaskan secara histologi ginjal terdiri atas tiga unsur

utama, yaitu (1). Glomerulus, yakni suatu gulungan pembuluh darah kapiler yang
masuk melalui aferen, (2). Tubuli sebagai parenkim yang bersama glomerulus
membentuk nefron, suatu unit fungsional terkecil dari ginjal, dan (3).Interstisium
berikut pembuluh-pembuluh darah, limfe dan syaraf.

2.1.2. Mikrostrukrur Nefron Ginjal
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Didalam setiap ginjal terdapat
sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang
sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tubulus kontraktus proksimal,
lengkung henle dan tubulus kontraktus distal yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul. Glomerulus bersama Kapsul Bowman juga disebut badan Malpigi.

Gambar 2.2. Gambaran Mikrostruktur Nefron Ginjal Tikus
(Christensen et.al.,2002)
Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsi
sebagai penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel mempunyai
sitoplasma yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra
dengan diameter 500-1000A0 (Alatas et al., 2002).
Setiap korpus renal berdiameter 200 μm dan terdiri atas seberkas kapiler
yaitu glomerulus, dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang disebut


kapsula Bowman. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskulus renal (lamina
parietalis) yang terdiri atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis
dan selapis tipis serat retikulin. Lapisan dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler
glomerulus yang terdiri dari sel-sel podosit. Pada kutub urinarius dari korpuskulus
renal, epitel gepeng dari lapisan parietal kapsula Bowman, berhubungan langsung
dengan epitel selindris dari tubulus kontraktus proksimal. Tubulus ini lebih
panjang dari tubulus kontraktus distal dan karenanya tampak lebih banyak dekat
korpuskulus renalis dalam labirin korteks.
Lengkung henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal
descenden dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontraktus proksimal; ruas
tipis descenden dan ruas tebal ascenden strukturnya sangat mirip dengan tubulus
kontraktus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas
korteks-medula yang disebut dengan nefronjukstamedula. Nefron lainnya disebut
nefron kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan
sekresi.
Bila ruas tebal ascend lengkung henle menerobos korteks, struktur
histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan disebut tubulus
kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron yang dilapisi oleh epitel selapis
kuboid. Lumen tubulus distal lebih besar dan karena sel-sel tubulus distal lebih

gepeng dan lebih kecil dari tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan
inti dinding tubulus distal.
Urin mengalir dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens, yang
saling bergabung dan membentuk duktus koligens yang lebih besar dan lebih
lurus yaitu duktus papilaris Bellii yang berangsur-angsur

melebar sewaktu

mendekati puncak piramid. Tubulus koligens yang lebih kecil dilapisi oleh epitel
kuboid dan berdiameter kurang lebih 40μm. Dalam medulla, duktus kolagens
merupakan komponen utama dari mekanisme pemekatan urine (Junquera, 1995).

2.1.3. Fungsi Ginjal
Alatas et al (2002) menjelaskan fungsi ginjal sebagai organ ekskresi. Ginjal
memilki fungsi utama dalam menjaga keseimbangan internal dengan jalan

menjaga komposisi cairan ekstraselular. Untuk melaksakan hal itu sejumlah besar
cairan difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsopsi dan disekresi di
sepanjang nefron sehingga zat-zat yang berguna diserap kembali dan sisa-sisa
metabolisme dikeluarkan sebagai urin, lebih lanjut lagi dijelaskan fungsi ginjal

secara keseluruhan, yaitu;
1. Fungsi Ekskresi
Ginjal dapat berfungsi untuk sisa metabolisme protein (ureum, kalium,
fosfat, sulfur anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh
dikarenakan aktivitas anti-duaretik (ADH) yang akan mempengaruhi
volume urin yang akan dikeluarkan tubuh dan ginjal yang bermanfaat
dalam menjaga keseimbangan asam dan basa.
2. Fungsi Endokrin
Sebagai fungsi endokrin ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu; 1. Memiliki
partisipasi dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil zat eritropoetin yang
dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah. 2. Pengaturan tekanan
darah,

hal

ini

dikarenakan

terlepasnya


granula

rennin

dari

jukstaglomerulus yang merangsang angiotensinogen di dalam darah
menjadi angitensi I kemudian diubah kembali menjadi angiotensi II oleh
enzim konvertase di paru. Hal ini mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi
pembuluh darah perifer dan merangsang kelenjar adrenal untuk
memperoduksi aldosteron.Kombinasi kedua inilah yang mengakibatkan
terjadinya hipertensi. 3. Ginjal bertugas menjaga keseimbangan kalsium
dan fosfor dikarenakan ginal mempunyai peranan dalam metabolism
vitamin D.
Dalam melaksanakan fungsinya, ginjal dapat mengalami gangguan yang
mengarah pada kerusakan jaringan ginjal. Beberapa zat yang dapat merusak ginjal
baik struktur maupun fungsi ginjal, yaitu; 1. Makanan. Pada umumnya makanan
yang tercemar racun kimia, racun tanaman serangga atau makanan yang secara
alamiah sudah mengandung racun seperti jengkol, singkong ataupun jamur yang

dapat menyebabkan kerusakan ginjal. 2. Bahan kimia. Bahan yang mengandung
logam seperti Pb (Pb), emas, kadmium. 3. Obat-obatan antibiotik, obat kemotrapi,

sitostatik dan 4. Zat radiokontras (zat yang dapat menyerap dan memantulkan
sinar X). Dari keempatnya yang paling sering menyebabkan efek toksik pada
nefron ginjal sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal adalah obat-obatan
dan bahan kimia (Alatas et al., 2002).

2.2. Plumbum (Pb)
2.2.1. Sifat Pb
Pb adalah senyawa organometalik yang ditemukan dalam bentuk senyawa tetra
ethyllead/TEL dan Tetra metil lead/TML). Pb adalah logam lunak berwarna abuabu kebiruan mengkilat serta mudah dimurnikan dari pertambangan. Pb memiliki
titik lebur yang rendah, meleleh pada suhu 3280C (6620F) ; titik didih 17400C
(31640F); memiliki nomor atom 82 dengan berat atom 207,20. Pb juga mudah
dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga bisah digunakan untuk
melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Apabila dicampur dengan logam lain
akan terbentuk logam campuran yang lebih bagus dari logam murninya (Widowati
et al., 2008).
Pringgoutomo et al., (2002), menjelaskan sumber Pb yang okupasional
ialah; pengecatan dengan semprotan, pekerjaan bengkel besi, pekerjaan di

tambang, pembakaran aki, alat masak, makanan dalam kaleng. Sedangkan sumber
Pb yang non-okupasional ialah pipa air minum, cat tua yang mengelupas, debu
rumah, tanah di perkotaan, percetakan dan asap kendaraan bermotor.

2.2.2. Toksisitas Pb Bagi Organ Tubuh
Gangguan serius pada toksisitas Pb ini bergantung pada dua faktor yaitu
jumlah/dosis Pb yang masuk kedalam tubuh dan lamanya Pb terakumulasi
didalam tubuh. Pringgoutomo et al (2002), menuliskan bahwa pada usus orang
dewasa dapat terjadi penyerapan Pb sebesar 10% dan pada usus anak-anak
penyerapan mencapai 50%. Pb akan tertimbun dalam tulang sebesar 80-85 % dan
5-10 % di dalam darah sedangkan sisanya terdapat pada jaringan lunak. Di dalam
tubuh, keracunan Pb dapat menyebabkan perubahan pada beberapa organ seperti
sel darah, susunan saraf, saluran gastro-intestinal dan ginjal. Pada ginjal

masuknya Pb kedalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya nefritis kronik
tubulointerstisiat atau sindrom Fanconi, yang ditandai oleh glikosuria,
aminoasiduria, fosfaturia, proteinuria. Lesi ginjal dapat berlanjut sampai terjadi
gagal ginjal.
Pada penelitian Hariono (2006) pada pemberian senyawa 1,5 mg trietil Pb
asetat/kg BB/oral/hari/tikus yang dilakukan selama 10 minggu menunjukan

gambaran histopatologik pada ginjal terlihat vakuolisasi, pelebaran lumen tubulus,
banyak mengandung runtuhan sel dan ekskret debris dan pada pemeriksaan
mikroskopik elektron ditemukan adanya pembengkakan lisosom dan mitokondria.
Pada penelitian Anggraini (2008), menuliskan pada pemberian Pb sebesar
100mg/kgBB/oral/hari yang dilakuakan selama 16 minggu memperlihatkan
naiknya berat rata-rata ginjal yang disebabkan adanya subtansi air dan lemak yang
terjadi di dalam sel sehingga volume sel akan bertambah. Secara mikroskopis
pada ginjal terjadi lesi pada glomerulus ginjal yaitu terjadi vakuolisasi. Pada
pengamatan minggu ke-8 terjadi pelebaran pada lumen tubulus, akumulasi sel
debris dalam lumen, karyomegali disertai hiperplasi dan kerusakan ini semakin
bertambah pada semakin lamanya pemberian Pb.
Penelitian Sinaga (2009), yang menganalisa kandungan residu Pb dan Cd
pada hati dan ginjal babi menemukan bahwa jumlah logam berat Pb yang
terdeteksi pada ginjal sebesar 0,7921 ppm dengan rata-rata sebesar 0,1153 ppm.
Namun lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kandungan logam Pb yang tersimpan
pada ginjal tersebut masih dibawah batas maksimum residu (BMR) yang
direkomendasikan oleh pengawas makanan dan minuman (POM) pada tahun 1998
yaitu sebesar 2,000 ppm.

2.2.3. Ekskresi Pb

Ekskresi Pb melalui urin sebanyak 75-80%, melalui feces 15% dan lainnya
dapat melalui empedu, keringat, rambut dan kuku. Ekskresi Pb dalam urin lebih
dari 600 μg Pb dalam spesimen urin dalam 24 jam menandakan adanya pejanan
secara signifikan, dalam hal ini juga dituliskan oleh (Palar, 1994). Proses ekskresi
Pb dalam urin merupakan pejanan baru sehingga pemeriksaan Pb urin dipakai

untuk pajanan okupasional, hal ini juga dituliskan oleh Goldstein dan Kippen
(Ardyanto, 2005)

2.3. Kitosan
2.3.1. Struktur Kimia Kitosan
Dwiyatmoko (2008) menuliskan Kitosan pertama kali ditemukan oleh ilmuwan
Prancis Ojier, pada tahun 1823. Ojier meneliti kitosan hasil ekstrak kerak binatang
berkulit keras, seperti udang, kepiting dan serangga. Kitosan merupakan turunan
dari kitin.Kitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas.
Namun dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang
mempunyai sifat kimia yang lebih baik yaitu kitosan. Volume produksi kitosan di
alam bebas menempati peringkat kedua setelah serat, diperkirakan volume total
mahluk laut diatas 100 juta ton/tahun. Kitosan merupakan biopolymer alami
turunan


dari

kitin,

homopolymer

dari

(1-4)-amino-2-deoksi-β-D-glukosa

merupakan hasil dari deasetilisasi sebanyak mungkin dari kitin dengan
menggunakan larutan NaOH pekat.
Proses pembuatan kitosan dari kitin dilakukkan dengan tiga tahapan, yaitu;
Pertama proses deprotenisasi dengan melepaskan ikatan-ikatan protein dan kitin
dengan menggunakan larutan NaOH, yang bertujuan untuk mengubah gugus asetil
dari kitin menjadi gugus amina pada kitosan. Kedua, proses demineralisasi yang
bertujuan untuk menghilangkan garam-garam organik atau kandungan mineral
yang terdapat didalam kitin. Proses terakhir, yaitu deasetilisasi dengan
melepaskan gugus amina (-NH) agar kitosan memiliki kareteristik sebagai kation

(Suhardi, 1992).
Perbedaan kandungan amina adalah sebagai patokan untuk menentukan
apakah polimer ini dapat dibentuk menjadi kitin atau kitosan. Kitosan
mengandung gugus amina lebih besar 60%, sebaliknya kitin memiliki gugus
amina yang lebih kecil dari 60% (Robert, 1978). Keberadaan gugus hidroksil dan
amina

sepanjang

rantai

polimer

mengakibatkan

kitosan

sangat

efektif

mengadsorpsi kation ion logam berat maupun kation dari zat-zat organik (protein

dan lemak). Interaksi kation logam dan kitosan adalah melalui pembentukan kelat
koordinasi oleh atom N gugus amino dan O gugus hidroksil (Lee et al., 2001).
Struktur kimia dari kitin dan Kitosan dapat dilihat pada gambar
2.3.1.dibawah ini;

Gambar 2.3. Struktur Kimiawi Kitin dan Kitosan
(Fernandez-Kim, 2004)
2.3.2. Manfaat Kitosan
Seperti selulosa dan kitin, kitosan merupakan polimer alamiah yang sangat
melimpah keberadaannya di alam. Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan
sebagai material alami, sebab kitosan sebagai polimer alami mempunyai
karesteristik yang baik.
Kitosan bersifat sebagai pembentukan kelat (zat pengikat) yang dapat
mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat
dan pengaruh negatif dari logam berat yang terdapat dalam suatu bahan (Winarno
& Fardiaz, 1993). Kemampuan kitosan sebagai zat pengkelat (pengikat) ion logam
dengan selektif dapat menyebabkan logam berat kehilangan aktifitas biologisnya.

Konsentrasi ion logam bebas dalam cairan ekstra sel menurun karena pengikatan
ion ini oleh pembentuk kelat, karena itu ion logam dapat juga ditarik (diserap) dari
jaringan. Pembentukan kelat melalui reaksi antara pembentuk kelat dengan ion
logam dapat menyebabkan ion logam tersebut kehilangan sifat ionnya, hal inilah
yang menyebabkan logam kehilangan sebagian besar sifat toksiknya (Kawamura
et al., 1993).
Kitosan dapat digunakan untuk bahan pembuatan lensa kontak (soft lens)
maupun hard lens karena lebih murah dan awet, dapat digunakan sebagai obat anti
kolesterol, kitosan tidak menggumpalkan darah dan kitosan juga baik untuk
digunakan sebagai agent anti tumor (Shahidi et al., 1999)
Kusumawati (2009), menjelaskan beberapa pemanfaatan kitosan. Kitosan
bermanfaat dalam bidang pertanian karena kitosan menawarkan alternatif alami
dalam penggunaan bahan kimia yang terkadang berbahaya bagi lingkungan
manusia. Kitosan membuat mekanisma pertahanan pada tumbuhan (seperti vaksin
bagi manusia), menstimulus pertumbuhan. Merangsang enzim tertentu dan
biokontrol dalam bidang pengolahan air juga diuraikan kitosan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan membran ultrafiltrasi.