Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Kabupaten Karo secara geografis berada diantara 2050’-3019’ LU dan 970 –98038’
BT dengan luas 2.127,25 Km2 atau 2,97 persen dari luas Propinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Karo terletak pada jajaran Bukit Barisan dan sebagian besar
wilayahnya merupakan dataran tinggi. Wilayah Kabupaten Karo berada pada
ketinggian 120-1.420 m di atas permukaan laut (BPS Karo, 2012). Selanjutnya
Ginting (2008) menjelaskan bahwa Kabupaten Karo dikenal sebagai daerah
penghasil berbagai sayur-sayuran, buah-buahan dan bunga-bungaan. Disamping
itu Kabupaten Karo memiliki hutan yang cukup luas, yaitu mencapai 129.749 ha
atau 60,99 persen dari luas Kabupaten Karo.
Hutan Gunung Sinabung merupakan hutan gunung dengan puncak
tertinggi di Sumatera Utara yaitu 2.370 m dpl. Gunung ini terletak di Kabupaten
Karo. Masyarakat sekitar memanfaatkan keindahan Gunung Sinabung sebagai
tempat wisata dan lahan di kaki gunung banyak dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian, perkebunan, peternakan dan lain sebagainya. Lahan yang digunakan
merupakan lahan hutan sekunder yang terdapat di hutan Gunung Sinabung
tersebut.
Hutan yang terdapat di Kabupaten Karo diantaranya adalah berupa hutan

lindung seluas ± 98.644,5 ha, hutan suaka alam seluas ± 7 ha, hutan produksi
terbatas ± 15.592 ha dan hutan produksi ± 15.592 ha (BPS Karo, 2012).
Selanjutnya dijelaskan bahwa hutan sekunder yang terdapat di Kabupaten Karo
dikembangkan untuk Agroforestri, diantaranya dengan menanami tanaman kopi,
jeruk, cabe, tomat, bawang dan sebagainya. Dimana yang paling banyak di tanam
adalah tanaman kopi karena tanaman kopi merupakan tanaman yang mudah di
rawat atau tanpa perlu perawatan yang khusus, misalnya pemberian pupuk dan
pestisida.
Sistem agroforestri kompleks singkatnya agroforestri adalah sistem-sistem
yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan

Universitas Sumatera Utara

atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip ekosistem hutan
alam primer maupun sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah hutanhutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami,
melainkan merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan.
Kebun-kebun agroforestri dibangun pada lahan-lahan yang sebelumnya dibabati
kemudian ditanami dan diperkaya (Foresta et al., 2000).
Beralihnya sistem penggunaan lahan dari hutan alam menjadi lahan
pertanian, perkebunan atau hutan produksi atau hutan tanaman industri

mengakibatkan terjadinya perubahan jenis dan komposisi spesies di lahan
bersangkutan.

Widianto et al., (2003) menjelaskan bahwa hal ini membawa

berbagai konsekuensi terhadap aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Konversi hutan
menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lainnya akan menurunkan populasi
flora dan fauna tanah yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati atau
biodiversitas berkurang, diantaranya adalah Collembola tanah.
Collembola umumnya dikenal sebagai organisme yang hidup di tanah
dan memiliki peran penting sebagai perombak bahan organik tanah. Dalam
ekosistem pertanian Collembola terdapat dalam jumlah yang melimpah.
Collembola pada

ekosistem pertanian

merupakan pakan

alternatif


bagi

berbagai jenis predator (Greenslade et al., 2000). Selain mendekomposisi
bahan organik, fauna tanah tersebut meningkatkan kesuburan dan memperbaiki
sifat fisik kimia tanah (Simanungkalit et al., 2006; Indriyati & Wibowo, 2008).
Penelitian mengenai Collembola dan peranannya belum banyak dilakukan
di Indonesia. Faktor penyebab kurang populernya Collembola di Indonesia antara
lain ukuran tubuh kecil, habitat berada dalam tanah dan peranan yang tidak
langsung dirasakan manusia. Akibatnya Collembola menjadi kurang dikenal
keragaman spesies, habitat, daerah sebaran dan sifat biologinya. Daerah yang
pernah dikoleksi Collembolanya di Indonesia adalah beberapa tempat di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, Sumatera Barat, Kalimantan,
Sulawesi dan Irian Barat (Suhardjono, 2006).
Mengingat jumlah Collembola yang banyak dan perannya sebagai
bioindikator dan monitoring suatu ekosistem, maka dilakukan penelitian mengenai
“Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan

Universitas Sumatera Utara

Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung, Kecamatan

Namanteran, Kabupaten Karo”.
1.2. Permasalahan
Adanya alih-fungsi lahan hutan yang banyak digunakan sebagai lahan pertanian
serta perkembangan pertanian dengan konsep agroforestri yang dikembangkan di
Kabupaten Karo, akan memberikan pengaruh terhadap Collembola permukaan
tanah. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah
Komposisi dan Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder
dan Agroforesti di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten
Karo.

1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Komposisi Komunitas Collembola
Permukaan Tanah dan Collembola sebagai bioindikator pada Hutan Sekunder dan
Agroforestri Kopi di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten
Karo.

1.4.Hipotesis
Terdapat perbedaan Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah antara
lahan Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kuta Gugung, Kecamatan
Naman Teran, Kabupaten Karo.


1.5. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang Komposisi dan
Komunitas Collembola pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Tanah
Karo, dan dapat digunakan sebagai informasi dan referensi bagi peneliti
selanjutnya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara