Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo

2.1. Komposisi Komunitas
Komunitas adalah sistem kehidupan bersama dari sekelompok populasi organisme
yang saling berhubungan karena ada saling pengaruh satu dengan yang lainnya
dan berkaitan pula dengan lingkungan-lingkungan hidupnya. Dalam komunitas
organisme hidup saling berhubungan atau berinteraksi secara fungsional.
Komposisi organisme penyusun komunitas yang menempati suatu daerah dapat
ditulis berupa nama jenis penyusunnya, dan biasanya disusun dalam bentuk tabel.
Tabel komposisi organisme pada suatu lokasi biasanya disusun atas kelompokan
organisme itu berdasarkan taksonomi. Semua jenis organisme yang ditemukan
pada lokasi penelitian dilaporkan termasuk jenis yang jarang. Dalam meneliti
komposisi organisme penyusun komunitas, organisme yang jarang kepadatannya
bisa digunakan sebagai indikator dalam lokasi penelitian (Suin, 2002).

2.2. Karakteristik Collembola
Collembola berasal dari bahasa Yunani, yaitu colle (=lem) dan embolon (=piston).
Penamaan ini berdasarkan adanya tabung ventral (kolofor) pada sisi ventral ruas
abdomen pertama yang menghasilkan perekat (Hopkin, 1997). Collembola juga
dikenal dengan istilah Springtails (ekorpegas) karena mempunyai struktur (furka)
pada bagian ventral ruas abdomen keempat (Gambar 2.1). Saat istirahat furka
terlipat ke depan dan dijepit oleh gigi retinakulum. Retinakulum atau tenakulum
merupakan embelan berbentuk capit yang terdapat pada bagian ventral abdomen

ketiga. Ketika otot berkontraksi, furka kembali ke posisi tidak lentur kemudian
akan memukul substrat sehingga mendorong Collembola ke udara (Greenslade,
1996).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Morfologi Collembola (Sumber : http://web.ipb.ac.id)
Collembola mempunyai ciri bentuk serangga muda dan dewasanya sama
dan biasanya dianggap sebagai serangga yang primitif, karena srtruktur anggota
tubuhnya relatif sederhana. Antena mempunyai 4-6 ruas, dapat lebih pendek dari
kepala atau lebih panjang dari seluruh tubuh dan memiliki saraf internal yang
mampu menggerakkan tiap segmen. Dibelakang antena terdapat sepasang mata
majemuk dan organ yang menyerupai cincin atau roset yang dikenal sebagai
sensor penciuman (Amir, 2008).
Collembola atau ekorpegas ini pada umumnya berukuran kecil, panjang
berkisar 0,1-9 mm. Sesuai dengan ukurannya maka ada yang mikroskopis tetapi
ada juga yang kasat mata, mudah dilihat dengan mata telanjang. Bentuk tubuh
Collembola bervariasi, ada yang gilik, oval, bundar atau pipih dorso-ventral.
Selain bentuk, warna tubuh juga bervariasi, yaitu dari putih, hitam dan bahkan ada
yang tidak berwarna. Beberapa kelompok ada yang polos, tetapi banyak pula yang

bercorak seperti bintik atau noda, garis atau mozaik tidak beraturan bentuk
coraknya. Warna dan letak corak bervariasi, pada bagian tubuh tertentu tergantung
kelompok taksonnya. Karena bervariasi, kadang-kadang ditemui spesies yang
sama memiliki corak pola corak warna berbeda, maka warna dan bentuk corak
tidak dapat dijadikan sebagai penciri pemiliknya, tetapi pada kelompok tertentu
dapat membantu. Permukaan tubuh Collembola bervariasi, ada yang licin,
granulat, atau tidak rata dan ada yang mulus (Suhardjono et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.3 Klasifikasi Collembola
Pada awalnya Collembola digolongkan di dalam takson Hexapoda dengan status
sebagai salah satu ordo dari kelas Insecta. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kegiatan penelitian, maka terjadi revisi kedudukan beberapa
takson. Ada takson yang berkembang sehingga naik jenjang, seperti Collembola
yang semula berstatus ordo berkembang dan terpisah dari Insecta dan menjadi
kelas tersendiri. Perubahan klasifikasi Hexapoda juga berpengaruh terhadap
klasifikasi Collembola. Dengan semakin banyaknya jenis yang dideskripsi,
Collembola menunjukkan keanekaragaman yang tinggi. Klasifikasi yang
dikemukakan oleh Gisin (1960) dan Chritiansen & Bellinger (1980-1981)

merupakan tatanan yang sederhana. Namun kesederhanaan tersebut akan
menimbulkan dampak terjadinya kompleks takson di bawah ordo karena di dalam
satu ordo akan mencakup kelompok famili, genus atau spesies yang cukup besar
(Suhardjono et al., 2012).
Klasifikasi yang telah ada dipertegas oleh Deharveng (2004) dan diperkuat
oleh Soto-Adames (2006). Dalam klasifikasi yang dibuat untuk membedakan
takson Deharveng (2004) memadukan banyak karakter taksonomi baru yang
semuanya berdasarkan ketoksasi bagian-bagian tubuh antena, tungkai, tergit, pola
S-seta pada tergit, bagian mulut, labrum, serta labium. Dari defenisi klas yang
diungkapkan Soto- Adames (2006) memperjelas bahwa Collembola memang
berbeda nyata dari anggota Arthropoda lainnya. Dengan klasifikasi yang baru ini,
maka kedudukan Collembola adalah klas yang mempunyai empat ordo yaitu
Poduromorpha, Entomobryomorpha, Symphypleona dan Neelipleona.

2.4. Peranan Collembola
Sebagai komponen ekosistem, Collembola mempunyai peran yang beranekaragam
bergantung pada jenis atau kelompoknya. Peran tersebut dapat sebagai perombak
bahan organik, penunjuk (indikator), perubahan keadaan tanah, penyeimbang
fauna tanah, pemangsa, hama dan/ atau penyerbuk. Pada umumnya Collembola
dikenal sebagai hewan tanah. Oleh karena itu, peran Collembola yang paling

menonjol adalah sebagai perombak bahan organik dalam tanah. Peran perombak
ini dapat ditunjukkan dengan adanya fraksi-fraksi bahan organik tanah berupa

Universitas Sumatera Utara

miselium, spora, bagian bangkai hewan, mayat atau kotoran dan bahan lain yang
sudah terfermentasi di dalam saluran pencernaannya (Suhardjono, 1992).
Sebagai pemakan jamur ternyata Collembola juga dapat dimanfaatkan
untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian akibat serangan jamur.
Keberadaannya di lahan pertanian dapat menekan serangan patogen tersebut
(Sabatini & Innocetti 2000). Selanjutnya Suhardjono et al., (2012) menjelaskan
bahwa Collembola telah dikenal dapat dimanfaatkan sebagai indikator hayati
tingkat kesuburan atau keadaan tanah. Peran ini sudah banyak dibahas
dimanfaatkan di kawasan Eropa dan Amerika, tetapi belum banyak diketahui di
Indonesia. Hal itu dimungkinkan karena beberapa jenis Collembola tertentu peka
terhadap unsur atau senyawa kimia tertentu di dalam tanah.
Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator adanya ion-ion
racun dan logam berat. Ion racun dan logam berat yang terperangkap tidak
berpengaruh terhadap Collembola sendiri, karena akan hilang bersama dengan
proses pergantian kulit. Oleh karena itu, Collembola tanah diharapkan jasanya

sebagai penunjuk adanya pencemaran tanah oleh racun atau logam berat yang
terdapat di dalam tubuh Collembola. Pemeriksaan kandungan logam berat dan ion
racun ini pernah dilakukan di Belanda dan Amerika. Pemanfaatan jasa Collembola
sebagai bioindikator ini sangat dimungkinkan di Indonesia (Suhardjono, 1992).

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Collembola
Kehidupan fauna tanah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan
abiotik. Faktor lingkungan biotik adalah adanya organisme lain yang berada di
habitat yang sama, seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan fauna
lainnya (Suin, 2006).
Faktor abiotik dapat berupa faktor fisik dan kimia seperti pH, suhu,
kelembaban, keberadaan zat pencemar di dalam tanah, kedalaman tanah, serta
iklim atau musim. Suhu dan penguapan dapat mempengaruhi komunitas
Collembola. Selain faktor fisik dan kimia, faktor biotik juga berpengaruh terhadap
keberadaan Collembola. Vegetasi penutup merupakan faktor yang tidak dapat
diabaikan karena dapat mempengaruhi sifat keadaan tanah. Keanekaragaman
vegetasi mempengaruhi keanekaragaman Collembola (Rahmadi et al., 2004).

Universitas Sumatera Utara


Curah hujan dapat berpengaruh tidak langsung terhadap sintasan
Collembola. Tingkat kematian akan lebih tinggi pada musim kering, karena
mereka tidak tahan terhadap kekeringan. Mereka peka terhadap perubahan
kelembaban tanah baik yang terjadi di atas permukaan maupun di dalam tanah
sendiri. Perubahan kelembaban sangat berkaitan dengan perubahan suhu di
lingkungan tanah dan sekitarnya. Manakala terjadi perubahan suhu dan atau
kelembaban di sekitar tempat hidupnya, mereka berusaha mempertahankan diri
dengan berpindah tempat ke lapisan tanah lebih dalam untuk mencapai
perlindungan. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok yang hidup di tajuk atau
di sela-sela lumut pohon, mereka mencari tempat persembunyian yang lebih
terlindung dari perubahan suhu dan kelembaban (Suhardjono et al., 2012).

2.6. Habitat Collembola
Berdasarkan habitatnya, fauna tanah ada yang digolongkan sebagai epigeon,
hemiedafon dan

euedafon. Hewan epigeon hidup pada

lapisan


tumbuh-

tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah dan
euedafon hidup pada tanah lapisan mineral (Suin, 2006).

Collembola dapat ditemukan di berbagai macam habitat dari tepi laut atau
pantai sampai pegunungan tinggi yang bersalju sekalipun. Setiap macam habitat
mempunyai komposisi keanekaragaman Collembola yang berbeda. Namun,
sebagian besar mereka hidup pada habitat yang berkaitan dengan tanah, seperti di
dalam tanah, permukaan tanah, serasah yang membusuk, kotoran binatang, sarang
binatang dan liang-liang. Habitat yang lain adalah vegetasi di atas permukaan
tanah terutama yang lembab dan hangat. Dalam hal ini Collembola dapat dijumpai
di antara lembar-lembar lumut, dedaunan, atau ranting-ranting perdu dan serasah
yang tertampung pada rumpun paku-pakuan yang menempel di batang pohon
(Suhardjono et al., 2012).

2.7. Hutan
Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 menjelaskan bahwa hutan adalah kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, satu dengan


Universitas Sumatera Utara

lainnya tidak dapat dipisahkan yang terletak pada suatu kawasan. Kehutanan
merupakan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, dan hasil hutan
yang diselenggarakan secara terpadu. Pengurusan hutn bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan lestari untuk kemakmuran
rakyat.
Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh
pohon-pohon yang menempati suatu tempat dimana terdapat hubungan timbal
balik antara tumbuhan tersebut dengan lingkungannya. Pepohonan yang tinggi
sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga
kesuburan tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi
vegetasi hutan (Ewuise, 1990).
Hutan

bukan

semata-mata


kumpulan

pohon-pohon

yang

hanya

dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup
alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas
pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan dan alam
lingkungannya (Arief, 2001).
Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa hutan alam adalah hutan yang
terjadi melalui proses suksesi secara alam. Hutan alam ini dibagi atas dua jenis
sebagai berikut:
a. Hutan alam primer merupakan hutan alam asli yang belum pernah dilakukan
penebangan oleh manusia. Hutan itu dicirikan oleh pohon-pohon tinggi
berumur ratusan tahun yang tumbuh dari biji. Hutan alam primer mencakup
hutan perawan, hutan alam primer tua, dan hutan alam primer muda.
b. Hutan alam sekunder merupakan hutan asli yang pernah mengalami kerusakan

oleh kegiatan alam. Hutan itu dicirikan oleh pohon-pohon yang lebih rendah
dan kecil apabila dibandingkan dengan pohon-pohon pada hutan alam primer.
Akan tetapi, apabila umur pohon sudah mencapai ratusan tahun, hutan itu akan
sulit dibedakan dengan hutan alam primer, kecuali diketahui sejarah proses
suksesi yang terjadi. Hutan alam sekunder mencakup hutan vulkanogen, hutan
kebakaran alam, dan hutan penggembalaan alam.
Hutan sekunder merupakan hutan yang fase pertumbuhan dari keadaan
tapak gundul, karena alam atau antropogen, sampai menjadi klimaks kembali.

Universitas Sumatera Utara

Sebagaimana halnya pada seluruh hutan lainnya, karakteristik-karaktristik dan
perkembanan hutan-hutan sekunder juga tergantung pada kondisi-kondisi spesifik
pertumbuhannya. Kondisi-kondisi spesifik tersebut mencakup tidak hanya
perkembangan dari pertumbuhan riap atau volume tegakan saja, melainkan juga
struktur dan komposisi tegakan. Kondisi-kondisi regional, serta oleh karakteristik
dan perkembangan hutan tersbut (Irwanto, 2006).
Zain (1992) menjelaskan bahwa hutan memiliki manfaat bagi kehidupan
manusia yaitu: berupa manfaat langsung dirasakan maupun yang tidak langsung.
Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin ekstensinya sehingga

dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari
hutan akan memberikan peranan nyata apabia pengelolaan sumberdaya alam
berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan
nasional bekelanjutan, yaitu pembangunan yang tetap memperhatikan prinsipprinsip konservasi.
Hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1)
pengembangan dan penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen
yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan dan
proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai
terhadap erosi, (5) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil hutan,
(6) manfaat penting lainnya seperti nilai estesis, rekreasi, kondisi alam asli dan
taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan
dengan pengelolaan hutan (Daniel et al., 1992).

2.8. Agroforestri
Agroforestri merupakan suatu sistem manajemen lahan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman
pertanian dan tanaman hutan dan atau hewan secara simultan atau berurutan
dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai budaya
masyarakat setempat (Rauf, 2011).
Agroforestri merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan
terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan
ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam, maka

Universitas Sumatera Utara

agrofrestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat dengan hutan
dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai
batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai
hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi (Widianto et al., 2003).
Hairiah & Sitompul (2000) menjelaskan bahwa pada umumnya alih-guna
lahan hutan menjadi lahan Agroforestri baik monokultur maupun polikultur akan
menurunkan keanekaragaman biota tanah dan kualitas air. Pada lahan pertanian,
rendahnya jumlah dan diversitas dalam suatu luasan menyebabkan rendahnya
keragaman kualitas masukan bahan organik dan tingkat penutupan permukaan
tanah oleh lapisan serasah. Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah
pada permukaan tanah berhubungan erat dengan laju dekomposisinya.
Alih-guna lahan dari hutan menjadi pertanian mengakibatkan timbulnya
aneka dampak. Sebagai salah satu sistem penggunaan lahan alternatif, agroforestri
memberikan tawaran yang cukup menjanjikan bagi pemulihan fungsi hutan yang
hilang setelah dialihgunakan. Namun perlu dipahami bahwa tidak semua fungsi
yang hilang itu dapat dipulihkan melalui penerapan agroforestri. Demikian pula
tidak semua sistem agroforestri dapat menghasilkan fungsi yang sama (baik
macam ataupun kualitasnya) (Widianto et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara